Anda di halaman 1dari 14

UAS Komunitas Inklusif– Christo Benito 0254203219

A. Pengantar
Sebagai seorang murid Kristus, kita dipanggil untuk mewartakan
Yesus sang jalan, kebenaran, dan hidup. 1 Misi itu perlu dijalakan dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak perlu usaha yang besar-besar cukup dimulai
dalam hal0hal sederhana. Kita juga perlu menyadari bahwa manusia tidak
hidup sendirian. Ada manusia lain yang tentu berbeda satu dengan yang
lain. Hidup bersama dengan manusia lain tidak serta merta terbentuk
begitu saja, harus ada suatu sikap terbuka satu sama lain apa lagi
dengan segala latar belakang yang berbeda itu. Dengan terus
mengusahakan hal itu, keteraturan dapat tercipta sehingga kita, sebagai
seorang Katolik, dapat mengamalkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. 2
B. Hidup Bersama Umat Muslim
Relasi dengan umat muslim pertama-pertama aku alami di dalam
keluarga besarku sendiri. Keluarga dari mamaku, terutama yang berasal
dari Wonosari, sebagian besar adalah penganut agama Islam. Ketika aku
masih kecil, aku merasa semua berjalan dengan harmonis tanpa ada
konflik yang begitu berarti, mungkin itu karena aku masih belum
mengerti apa-apa. Hingga sampai beberapa waktu lalu mamaku bercerita
bahwa sebenarnya keluarga Wonosari ini tidak baik-baik saja.
Mungkin ini tidak dapat dikatakan sebagai akar permasalahan,
namun bolehlah jika aku menyebutnya sebagai sebuah pemicu. Nenekku
atau aku biasa memanggilnya mbah, memutuskan untuk menjadi seorang
Katolik pada tahun 1967. Singkat cerita, mbahku yang tadinya adalah
seorang muslim sudah memiliki ketertarikan dengan agama Katolik
melalui sosok gurunya di sekolah. Beliau akhirnya memutuskan untuk
dibaptis ketika hendak menikah dengan kakekku yang seorang Katolik.
Dari antara adik dan kakak-kakaknya, mbah adalah satu-satunya orang
Katolik. Banyak yang tidak setuju dengan keputusan itu, tetapi kehidupan
tetap berjalan.

1
Bdk. Yoh 14:6.
2
Bdk. Lumen Gentium art. 50
Kisah ini maju ke tahun 2000-an ketika aku sudah lahir. Seperti
yang sudah diceritakan di atas, aku merasa hubungan di dalam keluarga
besar ini cenderung baik-baik saja bahkan sangat baik. Aku berpendapat
demikian karena setiap kali hari-hari raya besar, misalkan Natal atau Idul
Fitri, pasti kami saling mengunjungi dan saling mengucapkan selamat.
Semua keluarga duduk dan makan bersama. Aku sendiri secara tidak
langsung diajarkan untuk terus menghargai walaupun berbeda dalam hal
agama.
Satu minggu sebelum tulisan ini dikumpulkan, aku mendapat berita
bahwa salah satu kakak dari mbahku, namanya Mbah Mijah, meninggal di
Wonosari. Mamaku pergi ke sana untuk melayat sebagai perwakilan mbah
yang sudah tidak kuat jika harus melakukan perjalanan jauh dari Jakarta
ke kampung. Sampai di sana, mama merasa ada sesuatu yang ganjil.
Setelah ditelusuri, ternyata saudara sepupu mama yang tinggal di
Wonosari berusaha untuk menguasai harta peninggalan Alm. Mbah Mijah.
Sudah sejak beberapa tahun lalu hubungan antara keluarga mbah
yang di Jakarta dan Wonosari tidak terlalu baik. Akar permasalahannya
tidak jauh-jauh dari mengenai masalah harta warisan yang sebenarnya
tidak banyak. Banyak dari pihak keluarga di Jakarta jengkel dengan
situasi ini, terutama adik mamaku. Akan tetapi, mama berpesan kepada
adiknya itu bahwa kita tidak perlu seperti mereka yang licik. Kita boleh
marah atau emosi tetapi tetap yang kita pegang adalah kasih. Prinsip
Salah satu pengalaman hidup berdampingan dengan umat muslim
yang paling berkesan adalah ketika aku menjalani program live-in pada
saat kelas 10 di Seminari Menengah Wacana Bhakti. Aku dan teman-
teman angkatanku diutus untuk tinggal bersama di rumah-rumah warga
binaan Forum Warga Jakarta (FAKTA). Aku tinggal bersama satu keluarga
muslim yang beranggotakan sepasang suami istri dan tiga orang anak di
daerah Cipinang Muara dekat Kali Malang. Aku menjadi anak angkat
mereka selama sepuluh hari dan pada waktu itu merupakan bulan puasa.
Bapak dan ibu angkatku ini bekerja di Pasar Ciplak sebagai tukang jagal
ayam dan penjual ayam. Tugasku selama sepuluh hari itu adalah
2
membantu bapak di tempat penjagalan ayam dari pagi hingga siang hari
dan sorenya aku membantu mempersiapkan jualan gorengan.
Selama aku tinggal di rumah mereka yang sederhana, ibu angkatku
mengatakan bahwa aku tidak perlu ikut puasa karena takut aku tidak
kuat dan lagi pula itu ibadah mereka, bukan suatu kewajiban bagiku. Aku
merasa nyaman berada di tengah keluarga ini. Mereka sangat terbuka
pada perbedaan. Keterbukaan mereka sudah jelas terlihat sejak awal
mereka mau menerimaku untuk tinggal bersama-sama dengan mereka.
Seperti yang dijelaskan dalam Dignitatis Humane art. 2, setiap orang itu
berhak untuk memperoleh kesejahteraan terlepas dari apa pun
agamanya. Hidup bersama, entah di dalam satu rumah atau di dalam
suatu lingkungan, dengan mereka yang berbeda keyakinan akan semakin
mudah jika setiap orang mau untuk berdialog.
Aku tinggal di sebuah kompleks perumahan yang mayoritas
penduduknya adalah umat muslim. Kompleks perumahanku ini secara
rutin merayakan Hari Raya Lebaran atau Idulfitri secara bersama-sama.
Semua perayaan dimulai sejak satu hari sebelum Lebaran atau sering
disebut dengan Malam Takbir. Mengikuti Umat muslim akan berkumpul di
musala atau masjid dari siang atau sore hari. Mereka akan
mengumandangkan takbir sambil menabuh beduk. Pada malam harinya,
akan ada pawai obor keliling kompleks kami. Dibandingkan dengan orang
dewasa, ada banyak anak-anak sampai remaja yang mengikuti kegiatan
ini. Aku sendiri tidak merasa terganggu walaupun mereka
mengumandangkan takbir sambil berkeliling perumahan, bahkan aku
sering kali mengikuti pawai tersebut.
Keesokan harinya, setelah para tetanggaku yang beragama Islam
akan menjalankan salat Idulfitri, aku bersama orang tuaku akan
berkunjung ke rumah-rumah tetangga untuk mengucapkan selamat
Idulfitri. Kami akan mulai dari tetangga yang ada di dekat rumah
kemudian bersama-sama mereka mengunjungi rumah sesepuh atau
orang yang dituakan di RT dan RW kami. Sesudah mengucapkan selamat

3
kepada tuan rumah yang kami kunjungi, tuan rumah akan menawarkan
untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan.
Hari Idulfitri tidak pernah terlepas dari tradisi membagi-bagikan
uang kepada anak-anak. Aku yang kala itu masih anak-anak juga
mendapatkan uang dari setiap tuan rumah yang aku kunjungi. Semua
anak yang datang ke suatu rumah biasanya akan berbaris dan
mengucapkan selamat Idulfitri kemudian tuan rumah akan memberikan
uang yang dimasukkan ke dalam amplop-amplop kecil. Kebiasaan ini
memang terasa mirip atau bahkan sama dengan kebudayaan Tionghoa ,
yaitu membagikan angpau pada Tahun Baru Imlek.
Dua tradisi yang terjadi setiap menjelang dan pada Hari Idulfitri,
mengumandangkan takbir dan membagikan uang, ternyata berkaitan
dengan amalan yang dapat dilakukan ketika Idulfitri. Salah satunya
adalah untuk memperbanyak mengucapkan takbir. 3 Sunah ini berasal dari
Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan untuk terus mengucapkan
takbir bahkan dimulai sejak malam sebelum Idulfitri. Takbir sendiri berarti
Kata-kata yang diucapkan dalam takbir ( ‫ هللا َأ ْكبَر‬Allahu Akbar) berasal dari
bahasa Arab yang berarti Allah Maha Besar. Takbir memiliki makna bahwa
Allah lebih besar dari segala sesuatu dan tidak ada yang lebih besar dan
lebih agung dari-Nya.4
Kebiasaan takbir sambil berkeliling di Indonesia sendiri memang
bukan tradisi Islam tetapi ini telah menjadi kebiasaan yang selalu
dihidupkan setiap tahunnya di Indonesia, termasuk di daerah tempah aku
tinggal. Memperbanyak takbir adalah sebuah sunah atau ajaran yang
dianjurkan untuk dilakukan pada satu hari sebelum Hari Raya Idulfitri ini.
Takbir juga merupakan bentuk ungkapan syukur setelah menjalani puasa
selama Bulan Suci Ramadhan.5
3
Dinda Permata, “6 Amalah Sunah yang Dianjurkan Sebelum Sholat Idulfitri,” Liputan 6,
https://www.liputan6.com/ramadan/read/4555138/6-amalan-sunah-yang-dianjurkan-sebelum-sholat-idul-fitri,
diakses pada 29 Maret 2022.
4
Berita Hari Ini, “Arti dan Makna Takbir Allahu Akbar Bagi Umat Islam,” Kumparan,
https://kumparan.com/berita-hari-ini/arti-dan-makna-takbir-allahu-akbar-bagi-umat-islam-1wRWpDyAZpy/full,
diakses pada 29 Maret 2022.
5
Ahmad Baiquni, “Makna Takbiran untuk Umat Islam Sambut Idulfitri,” Dream.co.id.,
https://www.dream.co.id/your-story/makna-takbiran-untuk-umat-islam-sambut-idul-fitri-2105106.html, diakses
4
Tradisi lain yang sudah disebutkan sebelumnya adalah membagikan
uang kepada anak-anak. Menurut Kepala Program Studi Indonesia
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Sunu Wasono,
tradisi membagikan uang ketika lebaran sudah ada sejak dulu. 6 Ada
kemungkinan bahwa tradisi membagikan uang saat Lebaran atau Idulfitri
terpengaruh oleh budaya Tionghoa seperti membagikan angpau pada saat
Tahun Baru Imlek. Tradisi membagikan uang ini dimaknai sebagai simbol
semangat berbagi dari orang yang memiliki rezeki lebih. Uang baru yang
dibagikan juga memiliki makna tersendiri yaitu simbol semangat baru
setelah menjalani ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Hari Raya Idulfitri tidak pernah terlepas dari satu bulan yang
dianggap sebagai bulan suci oleh umat Muslim, yaitu Bulan Ramadhan.
Dalam Bulan Ramadhan ini semua orang muslim menjalankan ibadah
puasa; mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Ini adalah salah satu
hal yang aku kagumi dari mereka, terutama teman-teman sebayaku yang
mulai belajar untuk berpuasa. Aku memiliki satu teman kelas yang
beragama Islam ketika aku masih mengenyam pendidikan Sekolah Dasar.
Namanya adalah Ricky. Aku ingat waktu itu kami masih kelas 3 SD dan
sejauh aku tahu, anak-anak masih diperbolehkan untuk berpuasa selama
setengah hari saja. Akan tetapi, Ricky tidak berpuasa setengah hari saja.
Dia menjalani puasa selama satu hari penuh. Aku merasa kagum pada
dirinya waktu itu, padahal waktu itu teman-temannya yang lain tidak
berpuasa.
Ibadah puasa dan Hari Raya Idulfitri menurutku menjadi sebuah
kesempatan bagi umat Islam untuk kembali pada fitrah mereka. Identitas
mereka sebagai seorang muslim sungguh terlihat sebagaimana mereka
menjadi umat yang “berbakti kepada Allah terutama dalam doa, dengan
memberikan sedekah, dan berpuasa.”7 Ibadah puasa merupakan cultus
yang digunakan oleh umat Islam untuk terus menghormati dan
pada 29 Maret 2022.
6
Retia Kartika Dewi, “Sejarah Membagikan Uang Saat Lebaran, dari Mana Asalnya?” Kompas.com,
https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/15/064500865/sejarah-membagikan-uang-saat-lebaran-dari-mana-
asalnya-?page=all,
7
Nostra Aetate, art. 3.
5
memelihara relasinya dengan kekuasaan Adi-manusia secara resmi dan
berkala.
Sebagai seorang Katolik yang juga memiliki tradisi untuk berpuasa
dan berpantang, terutama pada masa Prapaskah, aku merasa diriku ini
belum bisa memegang komitmen sekuat orang muslim yang berpuasa.
Aku sering kali melakukan tindakan-tindakan permisif . Pantang dan
puasa bagi orang Katolik adalah sebuah latihan rohani yang bertujuan
untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama. Sebagai bagian dari
Tubuh Mistik Kristus, aku juga harus terus berusaha untuk menjadi satu
dengan Kristus yang telah menjadikan kita satu dengan dia dan
mengaruniakan Roh Kudus secara gaib membentuk diriku menjadi
Tubuhnya.8
Pengalaman ini membuat Lumen Gentium art. 1 dan 8 menjadi
makin jelas bagiku. Gereja Katolik melalui Konsili Vatikan II mengajak
seluruh umat beriman untuk mewartakan Injil kepada segala makhluk
serta dalam agama-agama lain juga ada unsur-unsur kekudusan dan
kebenaran yang bersumber dari Allah sendiri. Allah telah melimpahkan
kasihnya kepada semua orang termasuk mereka yang jatuh pada
kelemahan manusiawinya.9 Ini juga menjadi dasar dalam usaha dialog
antar agama bahwa setiap orang tanpa terkecuali itu memperoleh rahmat
kasih dari Allah. Dengan rahmat yang sama itu, kita harus mengusahakan
dialog lintas agama itu agar pengertian akan satu sama lain dapat
diperoleh. Martabat dan hak setiap manusia itu sama, maka segala usaha
perlu diupayakan bersama agar tidak terjadi lagi diskriminasi hingga
penganiayaan-penganiayaan yang berlawanan dengan semangat
Kristus.10
Dalam beberapa sisi, pengalamanku hidup secara berdampingan
dengan umat muslim terasa cukup baik, tetapi tidak semuanya berjalan
dengan lancar begitu saja; tentu saja ada tantangannya. Pada awal tahun
2020, kompleks perumahan kami dilanda banjir. Tidak lama setelah banjir
8
Bdk. Lumen Gentium, art. 7.
9
Bdk. Lumen Gentium art. 8
10
Bdk. Nostra Aetate art. 5.
6
mereda, ada banyak bantuan dari berbagai pihak; mulai dari pemerintah
setempat, badan swasta, perorangan, dan tidak ketinggalan dari pihak
Paroki Taman Galaksi. Pada suatu kesempatan, mamaku membantu
pembagian sumbangan seperti baju-baju bekas dan makanan instan.
Ketika mama mengecek, beliau menemukan masih ada banyak pakaian
bekas dan paket makanan instan yang semacam ditimbun oleh beberapa
warga yang ikut membantu. Mama menegur orang-orang itu dan
bertanya mengapa barang-barang ini ditimbun dan tidak segera
dibagikan, padahal masing-masing dari mereka sudah mendapatkan
jatah. Bukannya sadar perbuatan mereka bahwa tindakan mereka tidak
benar, salah satu dari mereka menyeletuk, “Bu Dedy mah enak udah
dapet bantuan dari gereja.” Bagiku, pernyataan ini tidak sepenuhnya
salah, hanya saja jadi sedikit terbukti bahwa mereka masih memiliki
sedikit sentimen terhadap orang yang berbeda.
Akan tetapi, mamaku tidak memikirkan kejadian itu lebih lanjut
karena yang terpenting adalah bagaimana bantuan-bantuan yang banyak
itu dapat segera sampai kepada mereka yang membutuhkan. Saya
kembali menegaskan poin dari dokumen Dignitatis Humane bahwa dalam
menjalani kehidupan bersama di tengah keberagaman memerlukan sikap
untuk saling menghargai agar dapat tercapai kesejahteraan bersama.
Setiap orang perlu melepaskan segala prasangka-prasangka buruk dan
mulai berusaha untuk memahami serta menghargai yang lain. Kita perlu
untuk setia pada keyakinan sendiri, menemukan perbedaan, serta berani
untuk mengamalkan, menghayati, dan mengungkapkannya secara wajar.
C. Bertumbuh di Keluarga yang Beragam
Pada bagian awal, aku sempat menyinggung bahwa aku tidak
tumbuh di tengah kebudayaan yang begitu kental. Aku menyadari pula
bahwa diriku ini tumbuh di tengah lingkungan yang relatif homogen dan
bernuansa Katolik. Pada bagian sebelumnya aku bercerita kalau aku
tinggal di daerah dengan mayoritas umat beragama Islam. Sampai saat
ini aku telah mengenyam pendidikan selama delapan belas tahun ini
praktis di tengah lingkungan Katolik. Kesempatan untuk berjumpa
7
ataupun mengenal orang-orang yang beragama lain atau memiliki aliran
kepercayaan yang berbeda sangat sedikit.
Aku berasal dari keluarga yang sangat beragam yaitu Flores, Jawa,
dan Sunda. Aku sadar warisan kesukuan yang masih aku alami sampai
sekarang adalah dalam hal panggilan terhadap kerabat. Aku menyapa
nenek dari pihak mamaku dengan sebutan mbah, karena beliau adalah
orang Jawa. Kakak dari mamaku juga kupanggil dengan sapaan bude.
Dari pihak keluarga papa, ketika aku mau menyapa kakak dari papaku,
aku menggunakan sapaan uak. Warisan kesukuan yang masih sering aku
gunakan memang hanya sebatas itu, tetapi dalam ingatanku ada sebuah
pengalaman tidak biasa berkaitan dengan aliran kepercayaan terlihat dari
keluarga Floresku.
Aku sering bermain ke rumah mbah sewaktu masih kecil, entah
sekadar datang untuk berkunjung atau memang ada acara khusus
tertentu seperti peringatan arwah kakekku yang telah meninggal tiga
puluh tahun yang lalu. Ketika memang ada acara tertentu, tidak jarang
ada kakak sepupu mama datang dari Pulau Lembata ke Jakarta untuk
menghadiri acara itu, yaitu Bapak Gabriel. Dari sebelum acara mulai
sampai acara selesai, Bapak Gabriel akan menginap di rumah mbah dan
menempati satu kamar paling depan. Pernah suatu kali aku tidak sengaja
masuk ke kamar tempat Bapak Gabriel beristirahat. Di dalamnya aku
melihat ada sebuah altar kecil dan di atasnya terdapat banyak mangkok
atau piring kecil yang berisikan nasi dan berbagai makanan serta
beberapa cangkir minuman. Aku mendapati hal ini tidak dalam satu
kesempatan saja. Setiap kali Bapak Gabriel datang ke rumah Mbah di
Jakarta, beliau pasti selalu menyiapkan sajian-sajian itu.
Pada waktu itu, aku agak bingung dan bertanya-tanya dalam
pikiran sendiri tetapi aku tidak pernah menanyakan itu kepada Bapak
Gabriel ataupun mama sampai akhirnya ada tugas dalam Mata Kuliah
Nostra Aetate ini. Aku yang merasa miskin dalam hal perjumpaan dengan
sesuatu yang berkaitan dengan aliran kepercayaan ataupun tradisi
mencoba untuk menggali lebih dalam pengalaman masa kecilku itu. Aku
8
mencoba menghubungi mamaku untuk menanyakan kebiasaan yang
dilakukan Bapak Gabriel ketika datang ke rumah mbah. Awalnya aku
agak ragu kalau mama dapat memberikan aku kejelasan mengenai tradisi
yang dimiliki keluarga Flores kami, tetapi ternyata mama mengetahui
banyak hal.
Mama menjelaskan bahwa tradisi itu memang ada di keluarga kami,
bahkan tidak hanya dari keluarga kakekku yang orang Flores tetapi juga
ada di keluarga mbah. Dari pihak kakek atau aku menyebutnya opa,
sajen selalu disiapkan setiap kali ada acara besar ataupun acara
peringatan orang meninggal. Bapak Gabriel selalu menyiapkan altar atau
meja kecil di kamar bersama dengan semangkuk nasi putih, telur rebus,
segelas air putih, secangkir kopi, secangkir teh, dan aneka makanan yang
akan disajikan dalam acara tersebut. Selain di altar di dalam kamar,
secangkir kopi juga diletakkan di dekat pintu rumah. Semua persiapan itu
kemudian ditujukan kepada roh leluhur untuk menghormati mereka dan
acara yang akan diselenggarakan ini mendapat restu dari mereka
sehingga berjalan dengan baik.
Ritual yang aku lihat ini merupakan suatu bentuk atau usaha
manusia untuk mengungkapkan bakti di hati yang mengarah kepada Yang
Transenden.11 Sifat cultus dalam tradisi menyiapkan sajen terlihat dari
tindakannya yang berkaitan dengan pribadi yang dihormati, dalam hal ini
adalah arwah para leluhur dari keluarga kami.
D. Bersaudara dengan Gereja Denominasi
Kisah yang sebelumnya adalah kisah dari sisi keluarga mamaku
yang sarat dengan corak Flores-Jawa dan Katolik yang lebih kuat. Kisah
yang hendak kubagikan ini adalah kisah keluarga dari sisi papa. Keluarga
papaku memiliki adalah keturunan Suku Sunda dan beliau adalah anak
kedua dari sembilan bersaudara. Oma Hartati atau ibu dari papaku
berasal dari Gunung Putri sedangkan Opa Rasman, bapak dari papaku,
berasal dari daerah Banyumas. Papaku cenderung lebih dekat dengan

11
B. S. Mardiatmadja, Hubungan Umat Katolik dengan Orang yang Beragama dan Berkeyakinan Lain, Diktat
Kuliah Nostra Aetate, STF Driyarkara 2022, 23.
9
keluarga besar dari omaku di Gunung Putri bahkan kami beberapa kali
mengadakan pertemuan keluarga sangat besar.12 Nenekku berasal dari
Keluarga Djiun dan hampir semua anggota keluarga ini merupakan
anggota Gereja Kristen Pasundan. Memang ada beberapa orang yang
berpindah ke Gereja denominasi lain setelah menikah atau pindah rumah.
Beberapa paman dan bibiku bergabung ke Gereja Kristen Indonesia,
Gereja Kristen Jawa, Gerakan Reformed Injili, dan Gereja Suara
Kebenaran Injili.
Relasiku lebih dekat dengan keluarga Rasman. Setiap akhir tahun
atau ketika ulang tahun oma tiba, kami akan berkumpul di rumah tempat
nenekku tinggal. Seluruh anak, menantu, cucu, dan cicit akan berkumpul
untuk beribadah dan berdoa bersama. Ibadah biasanya dipimpin oleh
uakku sebagai anak pertama dari oma yang juga masih melayani sebagai
penatua di gerejanya dan permenungan Kitab Suci akan dibawakan oleh
salah seorang pamanku.
Ketika aku dan sepupuku masih kecil, kami sering kurang serius
dalam mengikuti ibadah. Kami akan bermain di dalam salah satu kamar
bersama-sama. Akan tetapi ketika sudah menjadi seminaris aku mulai
mengikuti ibadah secara lebih serius dan baru bermain dengan yang lain
ketika ibadah selesai. Aku sendiri pernah ditunjuk untuk menyampaikan
doa syafaat yang pada waktu itu aku anggap sebagai doa umat spontan.
Saat itu terpintas sebuah pertanyaan kelakar dalam pikiranku, apakah ini
semacam ibadah ekumenis? Aku sendiri belum pernah mengikuti ibadah
ekumenis, jadi aku hanya berandai-andai.
Keluarga kami pada masa pandemi ini baru beberapa kali bertemu.
Uakku yang biasa memimpin ibadah tahu bahwa aku adalah seorang
frater dan beliau paham bahwa aku sudah cukup mendalami Kitab Suci
atau kasarnya sudah bisa membuat renungan. Beliau seperti bercanda
dan berkata kepadaku, “wah, berarti Christo sudah bisa memberi
renungan, nih.” Aku hanya tersenyum dan menjawab, “ya... mesti
dipersiapkan dulu uak.”
12
Kalau dalam tradisi Jawa, biasanya disebut trah
10
Pengalaman ini membuat Unitatis Redintegeratio menjadi makin
jelas bagiku dan tetap diperlukan meski sudah ada pendasaran dari
Lumen Gentium. Unitatis Redintegeratio mengobarkan semangat
ekumenisme. Gereja dipanggil untuk memulihkan kesatuan di antara
seluruh murid Kristus.13 Sikap bersaudara dengan penuh hormat dan cinta
kasih selalu aku upayakan meskipun kami berbeda secara Gereja.
Unitatis Redintegeratio memiliki cita-cita ekumenis yang dengan rahmat
berusaha untuk mendukung kesatuan umat Kristen. Lagi-lagi dialog
menjadi jalan bagi seluruh Gereja dengan segala perbedaannya untuk
bertemu dan saling membuka diri agar dapat dikenal ciri coraknya
masing-masing.
Berada bersama dengan yang lain mendorong seseorang untuk
keluar dari dirinya sendiri, berusaha untuk mengenal, dan bertanggung
jawab terhadap orang lain. Perbedaan keyakinan atau tradisi yang ada di
tengah kehidupan masyarakat memang sering kali menjadi hambatan
bagi manusia untuk bisa mengenal orang lain. Kecurigaan tidak jarang
tumbuh terlebih dahulu dibandingkan perasaan untuk mau memahami
orang lain. Gereja sendiri telah menyadari dan menyatakan bahwa kita
tidak menolak keberadaan agama-agama lain. Gereja mengakui bahwa
agama-agama itu serba benar dan suci. Setiap agama berusaha untuk
menanggapi kegelisahan hati manusia dengan berbagai ajaran-ajaran
suci.14
Jembatan dari segala unsur perbedaan dan kecurigaan itu adalah
dialog. Dialog pertama-tama menuntut suatu sikap yang menghargai
orang lain, rendah hati dan tulus. Dengan demikian, setiap orang dapat
berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Komunitas Seminari Tinggi
KAJ St. Yohanes Paulus II pun menekankan setiap calon imam haru
memiliki kebiasaan berbagi, peduli, tolong menolong, terbuka serta sadar
bahwa hidup panggilan akan berbuah ketika dijalankan dalam
kebersamaan seperti sharing, baik di dalam angkatan maupun lintas

13
Unitatis Redintegeratio art. 1.
14
Bdk. Nostra Aatate, art. 2.
11
angkatan.15 Tidak hanya dialog dengan agama-agama lain, tetapi juga
perbedaan yang juga terdapat di dalam Gereja sendiri yang Gereja Ritus
Timur. Tugas dialog lebih ditujukan kepada para pemimpin Gereja, secara
khusus para uskup, demi menanggapi segala kebutuhan dalam semangat
ekumenis.16
E. Masalah Saat ini
Kemajuan teknologi yang tidak terelakkan telah membawa
fenomena yang aneh bagiku. Ketika dulu semua orang memiliki
kesempatan yang lebih banyak untuk bertemu atau bercengkerama
secara langsung, setidaknya di lingkungan rumahku, ujaran kebencian
atau diskriminasi terhadap orang atau kelompok yang berbeda agama
sangat jarang terdengar. Akan tetapi, perkembangan teknologi tidak
hanya membawa pengaruh positif tetapi juga negatif. Internet atau ruang
siber telah membuat masyarakat dapat menjadi sesuatu yang anonim. 17
Kesempatan anonim ini membuat orang dengan mudahnya menyebarkan
ujaran kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Kenyataan ini membuat kita atau paling tidak diriku untuk semakin
waspada dalam menggunakan internet. Sebagai murid Kristus, aku harus
berani untuk memberikan kesaksian tentang Kristus dan bertanggung
jawab atas iman yang kupegang.18
F. Saran
Saya hendak memberikan saran kepada tiga pihak. Pertama kepada
setiap umat beragama yang begitu beragam di Indonesia. Setiap orang
pasti mendambakan kesejahteraan dalam hidup. Kehidupan bersama
dengan segala keberagamannya hanya akan dapat berjalan dengan baik
dan lancar jika setiap orang di dalamnya dapat bekerja sama dengan
baik. Ibarat sebuah kapal besar yang sedang berlayar, kapal itu akan

15
Bdk. Buku Saku Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II, 19.
16
Bdk. Orientalium Ecclesiarum art. 4.
17
Dwi Cahyo Prasetyo, ” Identitas Diri dalam Politik Masyarakat Virtual: Sebuah Tinjauan tentang
Anonimitas,” Jurnal Pustaka Ilmiah Volume 4, nomor 1 (2018), 525,
https://www.researchgate.net/publication/337538413_IDENTITAS_DIRI_DALAM_POLITIK_MASYARAKA
T_VIRTUAL_SEBUAH_TINJAUAN_TENTANG_ANONIMITAS, diakses pada 29 Maret 2022.
18
Bdk. Lumen Gentium, art. 10.
12
mencapai tujuannya jika setiap awak yang ada di atas kapal itu saling
bekerja sama. Kerja sama tidak akan terlepas dari yang namanya
komunikasi atau dialog. Dialog akan berjalan dengan baik jika semua
pihak mau saling mendengarkan dengan rendah hati dan tanpa
mengedepankan kepentingan pribadinya.
Kedua, bagi pihak Gereja Katolik Indonesia. Gerakan iekumenisme
yang disuarakan oleh Konsili Vatikan II tampaknya belum diketahui dan
dipahami oleh banyak umat. Gerakan ini masih perlu diperkenalkan
kepada semakin banyak umat agar Gereja dapat berjalan bersama-sama
memperjuangkan kesatuannya di bawah naungan Yesus Kristus.
Ketiga, bagi pemerintah. Pemerintah sudah memberikan wadah
dialog antar agama seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Akan tetapi, dalam beberapa kasus lembaga ini tidak dapat
menyelesaikan masalah kerukunan umat beragama di beberapa tempat
dan berkesan tidak netral. Kesalahan yang ada memang tidak dapat
dilimpahkan kepada lembaga bersangkutan karena ternyata masih ada
masyarakat beragama yang berpikir bahwa dirinya superior dan dapat
bertindak seenaknya terhadap orang yang beragama lain. Oleh karena
itu, kesadaran akan sikap dialogis yaitu menghargai dan menghormati
orang lain yang berbeda harus ditanamkan sejak dini mulai dari keluarga
dan sekolah-sekolah.

13
i

Anda mungkin juga menyukai