Anda di halaman 1dari 5

Tempat Ibadah Kelenteng Kwan Tee Kiong Yogyakarta dan Simbol Multikulturalisme

Resti Susanti, 211214010

Sebelumnya, berbicara tentang perihal multikulturalisme yang ada di Indonesia, saya sendiri
mempunyai latar belakang sebagai keluarga Tionghoa yang tinggal di tengah masyarakat dengan
berbagai suku, budaya, maupun agama. Saya lahir di Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi,
Provinsi Kalimantan Barat. Pada wilayah saya ini termasuk banyak penyebaran masyarakat
Tionghoa yang menjadi penduduk setempat ataupun masyarakat Tionghoa yang memang lahir
diwilayah ini. Mulai dari nenek moyang hingga kakek-nenek saya dulu yang lahir dari Tiongok
(RRC) dan melakukan perjalanan hingga ke Indonesia, kemudian melanjutkan keturunan di wilayah
tempat saya lahir. Sehingga, dapat mewarisi keturunan suku dan kebudayaan Tionghoa kepada Ibu
dan ayah saya. Maka dari itu, adat istiadat Tionghoa di keluarga kami terbilang masih kental dan
harus tetap dilestarikan. Sedari kecil, saya sudah dibiasakan untuk mendengar obrolan orang tua dan
kakak-kakak saya menggunakan bahasa Khek. Sehingga, saya diajarkan untuk tetap berbicara
menggunakan bahasa khek ketika berada di rumah dan bersama keluarga saya.
Kemudian, mulai dari saya SD saya juga terbiasa mengikuti tradisi sembayang kubur yang
dilaksanakan dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Agustus. Awalnya, saya berfikir
tradisi sembayang kubur ini sangat unik dan bertanya kepada oran tua saya “Mengapa kita harus
tetap melakukan tradisi ini? Apakah keluarga kita yang sudah meninggal benar-benar dapat melihat
kita, ketika kita berkunjung ke makam mereka dan memberikan makanan, buah-buahan, kue,
ataupun uang kertas yang dibakar?” Tanya saya, ketika saya masih sangat penasaran dan belum
mengerti dengan adat istiadat sembayang kubur tersebut. Kemudian, orang tua saya menjawab “Itu
memang sudah tradisi tionghoa dari dulu dan hanya sebagai simbol bahwa kita menghormati
keluarga kita yang sudah mendahului kita dan memberitahu kepada mereka bahwa kita berkunjung
untuk melihat makam mereka, serta mengirimkan doa kepada Tuhan untuk keluarga yang telah
tiada” Ucap orangtuaku. Setelah mengetahui alasan yang masuk akal itu, akupun tidak merasa
penasaran lagi. Selain melaksanakan tradisi sembayang kubur, kami juga ikut merayakan perayaan
Imlek, Cap Go Meh, hari bulan, dan tradisi tionghoa lainnya.
Saya juga masih ingat saat berada di kampung halaman dan merayakan Imlek ataupun hari
raya Cap Go Meh yang selalu diperingati dengan petasan yang sangat meriah pada pukul 00:00
WIB, tengah malam menjelang Imlek. Saya bersama keluarga juga biasanya menyalakan petasan
panjang yang digantung dengan suara yang amat besar dan mengagetkan. Tetapi, rasanya penuh
suka cita untuk menyambut perayaan imlek, terlebih dapat berkumpul bersama keluarga besar.
Dulu, ketika saya masih kecil saya sangat takut dengan barongsai dan naga, karena bagi saya itu
menyeramkan. Tetapi, sekarang tentunya saya tidak merasa takut lagi dan justru senang untuk
menyaksikan pertunjukan ataupun atraksi dari barongsai dan naga setiap adanya perayaan Imlek
ataupun Cap Go Meh. Meskipun kami merupakan keluarga suku Tionghoa yang bertetanggaan
dengan suku Dayak, ataupun perbedaan religius dengan tetangga kami yang lainnya yang menganut
agama Muslim, kami tetap memiliki rasa toleransi yang tinggi dan hidup rukun antar sesama. Setiap
kali ada perayaan tionghoa, biasanya ibu saya membuat kue ataupun memasak dan membagikannya
ke tetangga lainnya, terkadang mereka juga berkunjung ke rumah kami ketika Imlek.
Begitu juga sebaliknya, kami juga berkunjung disaat lebaran ke tetangga yang Muslim dan
berkunjung saat perayaan natal ke tempat tetangga kami yang memiliki suku Dayak untuk
bersilahturami. Saling mrnghargai dan menghormati ditengah keberagaman yang ada, merupakan
suatu hal yang penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan multikulturalisme yang ada di
Indonesia, tidak lupa juga untuk saling bertegur sapa, senyum, dan saling tolong-menolong adalah
kunci agar kita dapat hidup rukun dengan masyarakat lainnya yang ada di dalam lingkungan tempat
tinggal kita. Selanjutnya, setelah mengetahui sedikit mengenai latar belakang saya sebagai
keturunan tionghoa dan hubungannya dengan multikulturalisme, maka sekarang saya akan
membahas tentang salah satu kelenteng tertua yang ada di Yogyakarta. Sabtu, 4 Maret 2023, saya
melakukan kegiatan observasi ke kelenteng Kwan Tee Kiong Yogyakarta atau yang lebih dikenal
dengan nama Kelenteng Pancowinatan. Kelenteng ini beralamat di Jalan Pancowinatan No 16,
Yogyakarta. Setibanya saya di kelenteng Pancowinatan, saya meminta ijin kepada penjaga di depan
atau warga yang berjualan di depan untuk masuk ke dalam kelenteng tersebut, kemudian saya
dipersilahkan untuk masuk.
Ini merupakan pengalaman pertama kalinya saya bisa masuk langsung ke dalam kelenteng
dan mengamati isi kelenteng. Karena saya dan keluarga memiliki religi sebagai Katolik dan tidak
beribadah di kelenteng. Saat itu masih siang, dan kebetulan ketika saya mencari penjaga kelenteng
atau Bapak Margo Mulyo, beliau sedang berada di tempat. Setelah itu, saya langsung menyapa
beliau dan menyampaikan maksud dan tujuan saya mengunjungi kelenteng tersebut. Beliaupun
mempersilahkan saya untuk mengobservasi terlebih dahulu atau berkeliling untuk mengamati seisi
kelenteng. Cukup lama saya melihat dan mengamati bangunan, serta isi kelenteng sambil
mengambil foto (sebelumnya saya sudah meminta ijin untuk mengambil foto dan mewawancarai
beliau). Kesan saya pertama kali ketika saya berada di kelenteng Pancowinatan adalah saya merasa
kagum dan berfikir betapa uniknya keberagaman religi dan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Bangunan kelenteng ini tampak sudah lama didirikan dan tidak heran mengapa orang menyebutnya
sebagai salah satu kelenteng tertua di Yogyakarta. Kelenteng ini bercorak warna khas merah dan
keemasan, juga diatas bangunan kelenteng ada motif naga. Kemudian, selesai mengamati isi
kelenteng, saya berbincang atau mewawancarai Bapak Margo Mulyo dengan beberapa pertanyaan
yang sudah saya persiapkan.
Informasi yang saya dapatkan seputar kelenteng Pancowinatan dari bapak Margo Mulyo
adalah kelenteng ini sudah didirikan atau dibangun pada tahun 1879 dan selesai dibangun pada
tahun 1981, oleh Sultan Hamengku Buwono VII di atas tanah hibah Keraton Jogja dan diberikan
kepada masyarakat Tiongoa. Alasan mengapa bangunan tersebut didirikan di daerah Pancowinatan
sendiri karena dari inormasi beliau, menurut sejarah Tionghoa, kelenten ini dibangun dengan arah
Utara tugu jogja yang dulunya merupakan kawasan etnis Tionghoa, dan juga adanya pasar di daerah
Pancowinatan mengijinkan tempat itu dibangun sebagai tempat ibadah atau kelenteng Pancowinatan
dan memiliki perkembangan yang berupa pendidikan dan dibuka pada tahun 1997 atau disebut
dengan sekolah pertama Tionghoa pertama kalinya di Jogja. Pendidikan tersebut sepenuhnya
menggunakan bahasa Mandarin. Kemudian, terdapat 3 religi yang dikhususkan untuk dapat
beribadah di klenteng ini, yaitu Khonghucu, Budha, dan Tao. Tetapi, bagi masyarakat lain yang
percaya, maka dipersilahkan untuk beribadah di kelenteng ini. Kelenteng Pancowinatan mulai buka
pukul 08:00 pagi sampai sore kurang lebih pukul 16:00 sore.
Untuk bagian interior terdapat dupa, sebagai sarana atau alat ibadah saja. Kemudian disetiap
bilik terdapat banyak ruangan doa dan menurut pak Margo maknanya yaitu orang yang datang
beribadah memiliki dewanya masing-masing, dengan patung dewa yang berbeda, tetapi seluruh
dewa sama-sama tetap dihormati hanya saja berbeda dewa yang dipercaya. Kemudian di setiap
depan ruangan doa, terdapat tempat khusus untuk membakar uang kertas, yang menyimbolkan
ungkapan rasa terima kasih. Kemudian, terdapat tiga tradisi yang dirayakan di kelenteng
Pancowinatan, yaitu perayaan Tahun Baru Imlek, ulang tahun kelenteng, dan hari raya kue bulan.
Kemudian interior lainnya terdapat bedug yang dibunyikan pada perayaan hari raya atau tradisi di
kelenteng, yang memilki makna untuk menandakan siang dan malam dan juga memang
menandakan bahwa ada acara perayaan di kelenteng. Bedug dibunyikan sebelum jam 11:00 untuk
menandakan siang dan malam sebelum jam 00:00 malam dibunyikan. Pada ruang utama doa
terdapat lilin besar dan lilin kecil, tentunya perbedaan lilin ini hanya berbeda pada kualitas
penerangan dan harga lilin. Lilin ini menyimbolkan sebagai pengharapan dan juga sebagai cahaya
atau penerangan disaat orang berdoa atau beribadah.
Terdapat pula uang-uangan kertas berwarna emas yang dibentuk atau dilipat menyerupai
kapal, nantinya uang itulah yang akan dibakar ditempat khusus bakar yang disediakan didepan
ruang doa, sama seperti symbol uang yang dibakar melambangkan rasa ungkapan syukur.
Kemudian, juga terdapat banyak buku ataupun kitab suci pada ruang doa utama yang berisikan
tulisan mandarin tentang ajaran-ajaran kitab suci kepercayaan yang dianut. Jadi, uraian diatas
adalah beberapa informasi yang saya dapatkan melalui wawancara dengan Bapak Margo Mulyo
selaku penjaga dan pengurus kelenteng Pancowinatan. Hal-hal yang dapat kita pelajari dan nilai
yang saya ambil adalah kelenteng sebagai tempat ibadah yang memiliki nilai sejarah dan budaya
penting, maka klenteng perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya agar dapat terus menjadi saksi
sejarah perjuangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Beberapa cara untuk menjaga keberagaman
kelenteng adalah dengan memperhatikan tata cara dan aturan yang ada di dalam kelenteng, sehingga
tidak mengganggu pengunjung lain dan menghormati pengunjung lain, memberikan penghargaan
terhadap perbedaan budaya dan agama, serta menyediakan informasi sejarah dan tradisi kelenteng
untuk semua pengunjung. Dengan menjaga keberagaman dan melestarikan kelenteng sebagai
tempat beribadah, kita dapat memperkaya dan memupuk rasa saling menghrmati dan menjaga
persatuan multikulturalisme yang ada di Indonesia.
Lampiran Dokumentasi Observasi Kelenteng

Gambar Kitab suci bertulisan mandarin

Gambar tempat pembakaran uang kertas sebagai ucapan rasa syukur

Gambar alamat kelenteng Poncowinatan

Gambar Bedug
Gambar setiap bilik ruang doa

Gambar uang kertas yang dilipat menyerupai bentuk kapal

Gambar ruang utama doa


Gambar wawancara bersama Bapak Margo Mulyo

Gambar tampak depan kelenteng Poncowinatan

Anda mungkin juga menyukai