Anda di halaman 1dari 8

1

UNGGAH UNGGAHAN, RITUAL ISLAM KEJAWEN MASYARAKAT PEKUNCEN


Oleh : Almira Ajeng Pangestika
SMA N 2 PURWOKERTO

Penyebaran globalisasi ke seluruh penjuru dunia berlangsung secara


cepat dan meluas ke semua negara baik itu negara maju, berkembang, atau
negara miskin sekalipun. Globalisasi tampil sebagai fenomena yang tidak
terelakkan dan sangat berpotensi menjadi ancaman bagi keberadaan dan
kelestarian nilai/budaya lokal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai etnis, suku bangsa, dan
budaya sebenarnya telah memiliki modal untuk menjaga diri dari pengaruh
globalisasi melalui sebuah kearifan lokal (local wisdom).

Kearifan lokal merupakan kepribadian budaya suatu kelompok yang lahir


dari kecerdasan manusia serta tertanam sekaligus diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Di dalam kearifan lokal terkandung pula kearifan budaya lokal
yang artinya yaitu pengetahuan lokal yang sudah menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, dan budaya, serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos
yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Salah satu kearifan lokal wilayah
Banyumas yang masih dilangsungkan dan masih eksis sampai sekarang adalah
tradisi unggah unggahan masyarakat Bonokeling.

Masyarakat Islam Kejawen Bonokeling di Desa Pekuncen, Jatilawang,


Banyumas, Jawa Tengah dianggap sukses dalam memegang teguh pranata dan
budaya lokal di tengah gempuran datangnya budaya globalisasi seperti sekarang
ini. Hal ini dikarenakan tradisi unggah unggahan berlangsung secara turun
temurun (lebih dari 30 generasi) tanpa ada perubahan dalam tata cara ritualnya.
Faktor ini pula yang menarik minat Presiden Soeharto untuk menetapkan ritual
Unggah unggahan Bonokeling sebagai cagar dan situs budaya berdasarkan UU RI
No. 05 Tahun 1992 dan PP No. 10 Tahun 1993.
2

Desa Pekuncen yang terletak di Kecamatan Jatilawang Kabupaten


Banyumas berjarak 20 km dari Purwokerto. Komplek situs Bonokeling terdiri
dari sebuah makam tua yang diperkirakan makam Mbah Bonokeling, seorang
penyebar agama Islam di daerah tersebut. Keberadaan makam dan komplek situs
yang bernuansa tradisional tersebut sudah ada sejak awal penyebaran Islam di
Banyumas (abad ke-15 M).

Bonokeling adalah tokoh penyebar agama Islam di wilayah Jatilawang


yang memadukan Islam dengan unsur kejawen yang sangat kuat. Namun ajaran
Islam yang diberikan belum sempurna karena Bonokeling tiba-tiba meninggal
dunia. Di kawasan itu berdiri kompleks menyerupai bangunan pusat perkantoran
Jawa klasik (bedogol). Rumah tempat tinggal dinamakan Balai Badung,
sementara tempat menggelar pertemuan dinamai Balai Malang yang fungsinya
digunakan sebagai tempat digelarnya pertemuan dan ritual kepercayaan.

Dengan sistem keyakinannya sebagai penganut Islam Kejawen


(perpaduan ajaran Islam dan ajaran asli Jawa), mayarakat Bonokeling menggelar
dua ritual utama tiap tahunnya. Ritual unggah unggahan digelar oleh ribuan
orang penganut Islam Jawa yang ada di sekitar Banyumas dan Cilacap selama
tujuh hari sebelum memasuki bulan puasa dan upacara parlon turunan diadakan
di Bulan Syawal.

KYAI BONOKELING

Inkulturasi kebudayaan yang dilakukan oleh Kyai Bonokeling dalam


menyebarkan agama Islam di wilayah Pekuncen dapat dianggap luar biasa karena
sampai sekarang para pengikutnya masih setia melangsungkan tiap ritual leluhur
mereka tanpa ada proses atau tahapan yang dihilangkan. Selain sebagai
penyebar agama Islam di daerah Pekuncen, Banyumas, Kyai Bonokeling dikenal
pula dalam sejarah di berbagai tempat seperti di kota Madiun, Jawa Timur dan
Babad Pacitan sebagai seorang sosok kesatria Raja Brawijaya.
3

Sejarah dan asal usul Kyai Bonokeling dirahasiakan oleh para pengikutnya
di desa Pekuncen. Masyarakat sengaja membiarkan asal usul leluhur mereka,
Kyai Bonokeling, menjadi rahasia dan menjadi kearifan lokal di Desa Pekuncen
khususnya bagi keturunan Kyai Bonokeling.

Selain itu di tempat terpisah, peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Purwokerto, Dr. Ridwan, mempunyai versi tersendiri tentang
Bonokeling. Dalam riset etnografinya, nama Bonokeling identik dengan tokoh
misterius, karena merupakan nama samaran (bukan nama sesungguhnya).
Apabila diterjemahkan, Bonokeling dapat diartikan sebagai wadah hitam. Bono
artinya wadah (tempat), dan keling berarti hitam. Hal ini tercermin dari pakaian
serba hitam masyarakat Bonokeling dalam berbagai ritual mereka. Kerahasiaan
identitas Kyai Bonokeling dianggap oleh Ridwan sebagai sesuatu yang luar biasa,
karena selama ratusan tahun para tetua adat masyarakat Bonokeling masih bisa
menjaga rahasia tentang leluhurnya dan akan tetap terjaga selama 100 tahun
kedepan atau akan tetap menjadi kearifan lokal yang kekal (dikutip dalam Jurnal
Nasional hal. 27, 9 Juli 2013).

RITUAL UNGGAH UNGGAHAN

Acara ritual ini dilakukan oleh ribuan penganut Islam Jawa yang ada di
sekitar Banyumas dan Cilacap setahun sekali, yaitu pada hari Jumat terakhir
sebelum memasuki bulan puasa. Selain warga pribumi, ratusan orang kerabat
Bonokeling juga datang dari sejumlah kecamatan Kabupaten Cilacap. Sebagian
besar dari mereka menempuh jarak hingga 60 km dengan bertelanjang kaki dan
mengenakan pakaian adat Jawa. Setiba di perbatasan Pekuncen Kecamatan
Jatilawang, mereka dijemput oleh warga pribumi. Barang bawaan yang mereka
pikul berupa hasil bumi dan sayur mayur kemudian diserahkan ke penduduk
setempat untuk diolah. Para pengikut Bonokeling dari luar daerah melebur
dengan penduduk setempat.
4

Usai tengah malam tiba, para warga yang telah duduk berombongan
terpisah lelaki dan perempuan, mengikuti Nedu atau membaca dzikir berbahasa
Jawa dalam rangka memuji syukur ke hadirat Tuhan. Mereka duduk berjejer di
rumah adat Balai Pasemuan yang dipimpin Kyai Bedogol bersama juru kunci
tertinggi dari pukul 02.00 hingga 05.00 WIB. Sedangkan untuk pencahayaan
mereka menggunakan dlepak atau lentera minyak kelapa bersumbu potongan
kapas.

Gambar 1. Pengikut Bonokeling di desa Pekuncen, Jatilawang, Banyumas


Sumber: Suara Merdeka, Minggu, 11 Agustus 2013, hal. 6

Sementara para perempuan pribumi memasak nasi dan lauk untuk


makanan slametan usai ziarah. Sedangkan para bapak menyembelih puluhan
ekor kambing dan ratusan ayam. Bersama dengan santan dan bumbu lainnya,
mereka memasak daging tersebut di dapur umum dadakan di samping Balai
Pasemuan. Gulai kambing yang disebut becek itu dimasak di dalam ratusan
kuali, kendil dan panci dengan tungku batang pisang. Usai matang becek
kemudian ditaruh dalam wadah janur dan daun pisang untuk dijadikan takir.
5

Dalam rangkaian upacara ini, semua pria memakai blangkon, ikat, baju
warna hitam dan sarung. Sedangkan wanita memakai kemben yang sebagian
berwarna putih. Menurut Sumitro dikutip dari Suara Merdeka tanggal 22 Juli
2011, blangkon berarti ketika belum gamblang (jelas) maka harus takon
(bertanyalah). Sementara untuk sarung mempunyai maksud bahwa manusia
jangan sampai kesasar (tersesat) dan kedlarung (terjebak) ke hal yang buruk.
Sementara warna hitam dalam baju yang dikenakan itu menandakan teguh
cekelan waton atau kuat memegang prinsip. Sedangkan untuk iket mengandung
arti, bentuk segi empat iket menyimbolkan empat kiblat manusia dalam dunia
dan menandakan pula empat saudara manusia. Setelah digelar, maka iket dibuat
segitiga ketika harus dipakai di kepala, berarti simbol dari kakang kawah atau
kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu, tempat dilahirkannya manusia.
Sehingga, pemakaian iket menandakan penghormatan kepada ibu.

Di saat warga pribumi memasak dan mempersiapkan hidangan slametan


(syukuran), tamu kerabat Bonokeling yang berasal dari luar daerah
melaksanakan prosesi ungah-unggahan. Setelah meminta izin kepada juru kunci,
dengan telanjang kaki, para ibu dan remaja putri yang memakai kain secara
bergantian memasuki areal Makam Kyai Bonokeling. Usai masuk gerbang
pertama, mereka antri bersuci di mata air di kompleks sebelum melakukan ritual
ziarah. Setelah diri mereka suci, maka merekapun secara bergantian naik menuju
kompleks makam yang berada di atas bukit. Sebelum memasuki pintu gerbang
makam kedua, berulang kali mereka melaksanakan sembah pangabekti dengan
duduk jongkok sungkem. Tak lupa sebagian peziarah juga menabur bunga dan
membakar kemenyan serta mengucap permintaan sesampai di makam Kyai
Bonokeling. Sumitro menambahkan bahwa dengan ziarah, mereka meminta ke
Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT).

Banyaknya peziarah yang bergantian berdoa, membuat prosesi unggah-


unggahan berlangsung hingga malam. Usai ziarah selesai, dipimpin oleh juru
6

kunci mbah Bonokeling, Kartasari, prosesi doa bersama dan slametan


dilaksanakan. Sambil menghadap takir berisi becek, mereka memanjatkan doa
keselamatan dalam puncak upacara unggah-unggahan tersebut. Hari berikutnya,
Sabtu, menjadi hari bagi ziarah umum untuk warga di sini, sambil membersihkan
area makam seusai upacara dan slametan unggah-unggahan hari Jumat kemarin.
Sedangkan hari Minggu diadakan sadranan dengan cara masing-masing rumah
membuat makanan yang nantinya didoakan oleh para Kyai Bedogol. Selanjutnya,
makanan ini diberikan diberikan kepada Kyai Bedogol dan sanak kerabatnya yang
ada. Sehingga, makna dari sadranan ini dalam rangka untuk menunjukkan garis
keturunan kepada anak cucu.

Gambar 2. Juru Kunci Bonokeling, Kyai Kartasari


Sumber: Media Indonesia, Senin, 2 Agustus 2010, hal. 7

Upacara unggah-unggahan ini merupakan upacara pada saat akan


menanam padi dan biasanya dilaksanakan di bulan Sadran. Namun seiring
dengan masuknya Islam di Banyumas, upacara ini terakulturasi dengan adanya
penyambutan bulan Ramadhan dengan cara berziarah ke makam mbah
7

Bonokeling. Sehingga, usai upacara unggah-unggahan pun, akan dilaksanakan


kembali upacara yang dulunya berasal saat petani akan memulai panen padi dan
ini dilaksanakan di bulan Syawal.

KESIMPULAN

Dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi serta budaya asing dalam
era globalisasi yang kian cepat tidak mempengaruhi seni ritual dari masyarakat
Islam Kejawen Desa Pekuncen atau pengikut ajaran Kyai Bonokeling. Mereka
tetap teguh untuk melaksanakan ritual dari leluhur mereka dan tidak mengubah
proses ritual yang ada. Namun, pengikut Bonokeling, sebagai masyarakat
minoritas di daerah Pekuncen, Jatilawang, tersebut membentuk komunitas
sendiri sehingga cenderung mengelompok serta kurang terbuka akan kehadiran
orang lain/asing. Bahkan untuk memasuki pemukiman ini harus terlebih dahulu
meminta ijin pada pemuka adat. Meskipun begitu, masyarakat ini tidak dapat
melepaskan diri dari kemajuan globalisasi. Tidak menutup kemungkinan apabila
beberapa properti modern ikut membantu terselenggaranya ritual ini.

Tidak banyak masyarakat yang tahu tentang adanya kelompok minoritas


Islam Kejawen di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas ini.
Ketidaktahuan masyarakat khususnya masyarakat Banyumas menjadi salah satu
faktor mengapa masih sedikit wisatawan yang datang untuk melihat
keluarbiasaan masyarakat Islam Kejawen tersebut dalam melestarikan dan
mematuhi ajaran leluhur mereka.

Campur tangan pemerintah Banyumas masih hanya sebatas penyebaran


pamflet pariwisata daerah Banyumas, namun untuk seni dari ritual masyarakat
Islam Kejawen ini belum dijelaskan lebih rinci lagi. Padahal adanya
perkembangan dan kemajuan globalisasi selain menjadi tantangan kebudayaan
juga dapat menjadi alat untuk menyebarkan dan mempopulerkan seni Islam
Kejawen masyarakat Bonokeling kepada masyarakat luar.
8

Selain itu masih sedikitnya informasi dan artikel baik itu di media cetak
maupun elektronik tentang seni pengikut Bonokeling juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi ketidaktahuan masyarakat umum.

Dengan memanfaatkan kemajuan globalisasi, Pemerintah Banyumas


seharusnya dapat memanfaatkan adanya alat informasi dan teknologi seperti
stasiun TV lokal, BANYUMAS TV, sebagai media yang ampuh dalam
mempopulerkan kesenian ini sehingga keunikan dan keindahan dari ritual ini
tidak hanya diketahui oleh masyarakat setempat di daerah Pekuncen saja, tetapi
masyarakat umum dapat pula menikmati kesenian yang tergolong langka dan
harus tetap dilestarikan sebagai kearifan lokal Desa Pekuncen.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2010). Situs Bonokeling, Jatilawang Banyumas. [Online]. Tersedia:


www.gunung slamet256.wordpress.com/2010/09/03/situs-bonokeling-
jatilawang-banyumas/ [25 September 2014].

Fitriyani. (2013). Kearifan Lokal sebagai Tameng Globalisasi. [Online]. Tersedia:


www.choiriafitriyani.wordpress.com/2013/01/04/kearifan-lokal-
sebagai-tameng-globalisasi/ [21 September 2014].

Sukmono, Nugroho Pandhu dan Susanto. 2013. Ketika Keturunan Bonokeling


Berkumpul. Suara Merdeka, hal. 6, 11 Agustus 2013.

Susanto. 2011. Ribuan Pengikut Bonokeling Ikuti Unggah-unggahan. Suara


Merdeka, 22 Juli 2011.

Steve Saputra. Juli 2013, Siapakah Kyai Bonokeling?. Jurnal Nasional. Hal. 27,
www.jurnas.com/emobile/27/2013-07-09, 9 Juli 2013.

Wita Widyandini, Desember 2012, Memaknai Pasemuan dan Balai Malang


sebagai Bangunan Ritual Masyarakat Islam Kejawen Bonokeling.
Theodolita. Volume 13, No. 2, http://wita.unwiku.ac.id/?p=1, Desember
2012 hal 68-74.

Anda mungkin juga menyukai