KYAI BONOKELING
Sejarah dan asal usul Kyai Bonokeling dirahasiakan oleh para pengikutnya
di desa Pekuncen. Masyarakat sengaja membiarkan asal usul leluhur mereka,
Kyai Bonokeling, menjadi rahasia dan menjadi kearifan lokal di Desa Pekuncen
khususnya bagi keturunan Kyai Bonokeling.
Selain itu di tempat terpisah, peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Purwokerto, Dr. Ridwan, mempunyai versi tersendiri tentang
Bonokeling. Dalam riset etnografinya, nama Bonokeling identik dengan tokoh
misterius, karena merupakan nama samaran (bukan nama sesungguhnya).
Apabila diterjemahkan, Bonokeling dapat diartikan sebagai wadah hitam. Bono
artinya wadah (tempat), dan keling berarti hitam. Hal ini tercermin dari pakaian
serba hitam masyarakat Bonokeling dalam berbagai ritual mereka. Kerahasiaan
identitas Kyai Bonokeling dianggap oleh Ridwan sebagai sesuatu yang luar biasa,
karena selama ratusan tahun para tetua adat masyarakat Bonokeling masih bisa
menjaga rahasia tentang leluhurnya dan akan tetap terjaga selama 100 tahun
kedepan atau akan tetap menjadi kearifan lokal yang kekal (dikutip dalam Jurnal
Nasional hal. 27, 9 Juli 2013).
Acara ritual ini dilakukan oleh ribuan penganut Islam Jawa yang ada di
sekitar Banyumas dan Cilacap setahun sekali, yaitu pada hari Jumat terakhir
sebelum memasuki bulan puasa. Selain warga pribumi, ratusan orang kerabat
Bonokeling juga datang dari sejumlah kecamatan Kabupaten Cilacap. Sebagian
besar dari mereka menempuh jarak hingga 60 km dengan bertelanjang kaki dan
mengenakan pakaian adat Jawa. Setiba di perbatasan Pekuncen Kecamatan
Jatilawang, mereka dijemput oleh warga pribumi. Barang bawaan yang mereka
pikul berupa hasil bumi dan sayur mayur kemudian diserahkan ke penduduk
setempat untuk diolah. Para pengikut Bonokeling dari luar daerah melebur
dengan penduduk setempat.
4
Usai tengah malam tiba, para warga yang telah duduk berombongan
terpisah lelaki dan perempuan, mengikuti Nedu atau membaca dzikir berbahasa
Jawa dalam rangka memuji syukur ke hadirat Tuhan. Mereka duduk berjejer di
rumah adat Balai Pasemuan yang dipimpin Kyai Bedogol bersama juru kunci
tertinggi dari pukul 02.00 hingga 05.00 WIB. Sedangkan untuk pencahayaan
mereka menggunakan dlepak atau lentera minyak kelapa bersumbu potongan
kapas.
Dalam rangkaian upacara ini, semua pria memakai blangkon, ikat, baju
warna hitam dan sarung. Sedangkan wanita memakai kemben yang sebagian
berwarna putih. Menurut Sumitro dikutip dari Suara Merdeka tanggal 22 Juli
2011, blangkon berarti ketika belum gamblang (jelas) maka harus takon
(bertanyalah). Sementara untuk sarung mempunyai maksud bahwa manusia
jangan sampai kesasar (tersesat) dan kedlarung (terjebak) ke hal yang buruk.
Sementara warna hitam dalam baju yang dikenakan itu menandakan teguh
cekelan waton atau kuat memegang prinsip. Sedangkan untuk iket mengandung
arti, bentuk segi empat iket menyimbolkan empat kiblat manusia dalam dunia
dan menandakan pula empat saudara manusia. Setelah digelar, maka iket dibuat
segitiga ketika harus dipakai di kepala, berarti simbol dari kakang kawah atau
kandungan tempat ketuban dalam rahim ibu, tempat dilahirkannya manusia.
Sehingga, pemakaian iket menandakan penghormatan kepada ibu.
KESIMPULAN
Dampak dari perkembangan ilmu dan teknologi serta budaya asing dalam
era globalisasi yang kian cepat tidak mempengaruhi seni ritual dari masyarakat
Islam Kejawen Desa Pekuncen atau pengikut ajaran Kyai Bonokeling. Mereka
tetap teguh untuk melaksanakan ritual dari leluhur mereka dan tidak mengubah
proses ritual yang ada. Namun, pengikut Bonokeling, sebagai masyarakat
minoritas di daerah Pekuncen, Jatilawang, tersebut membentuk komunitas
sendiri sehingga cenderung mengelompok serta kurang terbuka akan kehadiran
orang lain/asing. Bahkan untuk memasuki pemukiman ini harus terlebih dahulu
meminta ijin pada pemuka adat. Meskipun begitu, masyarakat ini tidak dapat
melepaskan diri dari kemajuan globalisasi. Tidak menutup kemungkinan apabila
beberapa properti modern ikut membantu terselenggaranya ritual ini.
Selain itu masih sedikitnya informasi dan artikel baik itu di media cetak
maupun elektronik tentang seni pengikut Bonokeling juga menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi ketidaktahuan masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Steve Saputra. Juli 2013, Siapakah Kyai Bonokeling?. Jurnal Nasional. Hal. 27,
www.jurnas.com/emobile/27/2013-07-09, 9 Juli 2013.