Anda di halaman 1dari 11

BUDAYA COLOK-COLOK

Oleh:
Siti Iswarini

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan budaya. Setiap daerah yang
ada di Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat yang khas. Masuknya agama
Hindu pada sekian abad yang lalu sebagai agama pertama yang tersebar di
Indonesia, membawa pengaruh yang besar bagi kebudayaan Indonesia. Budayabudaya yang diajarkan dalam agama Hindu bahkan masih tumbuh dan
berkembang di dalam agama lain seperti pada agama Islam. Hal ini tidak lain
karena agama Islam masuk ke Indonesia setelah agama Hindu telah tersebar
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga agar agama Islam dapat diterima
oleh masyarakat dilakukanlah akulturasi budaya selama proses penyebarannya.
Alhasil, dengan cara ini agama Islam berhasil berkembang dengan sangat baik
bahkan menjadi agama mayoritas bagi penduduk Indonesia. Tetapi sampai saat
ini, akulturasi budaya tersebut masih tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat. Kita masih sering menjumpai budaya yang diajarkan oleh agama
Hindu masih terus dilaksanakan bahkan oleh umat yang tidak beragama Hindu.
Hal ini sering kita jumpai pada prosesi pernikahan adat jawa, pada saat peringatan
setelah kelahiran, dan peringatan setelah kematian seseorang yang pada dasarnya
masih sangat kental dengan kebudayaan agama Hindu walaupun saat ini sudah
ada beberapa yang dimodifikasi dengan ajaran agama Islam Meskipun saat ini
sudah terjadi globalisasi dimana sedikit demi sedikit mengikis kebudayaan
tersebut, namun masih ada masyarakat tertentu yang melakukan budaya tersebut.
Salah satu budaya dari agama Hindu yang masih hidup dan tumbuh di kalangan
masyarakat sampai saat ini adalah budaya colok-colok. Budaya colok-colok masih
dilaksanakan setiap tahun oleh warga Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk
Kabupaten Bojonegoro pada malam ke-29 bulan Ramadhan. Masyarakat Desa
Banjarsari masih tetap melaksanakan budaya tersebut sampai sekarang,

dikarenakan mereka ingin melestarikan budaya tersebut agar tidak punah ditelan
zaman.

PEMBAHASAN
Masuknya agama Hindu sebagai agama pertama yang tersebar di
Indonesia pada abad ke-4 tidak bisa dipungkiri telah membawa pengaruh yang
sangat besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia terutama di bidang budaya.
Banyak sekali kebudayaan dari agama Hindu yang sampai saat ini masih
dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia bahkan kebanyakan dilaksanakan oleh
masyarakat yang tidak beragama Hindu, seperti umat agama Islam. Walapun
agama Islam telah lama masuk di Indonesia dan menjelaskan tentang mana
budaya yang merupakan atau sesuai dengan agama Islam dengan mana budaya
yang bukan merupakan atau tidak sesuai dengan agama Islam, namun pada
kenyataannya sampai saat ini masyarakat masih tetap melaksakan budaya
tersebut.
Salah satu kebudayaan dari agama Hindu yang masih dilaksanakan sampai
saat ini adalah budaya colok-colok. Budaya colok-colok adalah suatu budaya
dimana setiap masyarakat harus memberikan penerangan pada setiap pintu masuk
yang ada di setiap rumah (kecuali pintu kamar), seperti pada pintu gerbang, pintu
masuk rumah (pintu depan atau pintu belakang), dan pintu kamar mandi (jika
kamar mandi berada di luar rumah). Dinamakan colok-colok karena penerangan
yang diletakkan pada setiap pintu masuk dicolokkan atau ditancapkan di samping
pintu masuk tersebut. Budaya ini dilaksanakan oleh masyarakat Desa Banjarsari
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
Budaya colok-colok dilaksanakan pada malam ke-29 di bulan Ramadhan.
Penerangan yang digunakan tidak sembarangan, artinya harus penerangan yang
menggunakan api sebagai sumbernya. Pada umumnya penerangan yang
digunakan terbuat dari bambu dan kain yang sudah tidak terpakai. Cara
membuatnya adalah bambu dipotong menjadi beberapa bagian dengan lebar
sekitar 3-5 cm dan panjang sekitar 30 cm atau bisa juga dibuat dengan ukuran
sesuai selera masing-masing pribadi. Kemudian di atasnya dibalut dengan kain
yang sudah tidak dipakai lagi. Ujung bawah dari bambu tersebut dibuat runcing

dengan tujuan agar mudah ditancapkan ke dalam tanah. Ujung atas yang sudah
dibalut dengan kain tersebut kemudian direndam ke dalam minyak tanah. Setelah
direndam kemudian barulah ditancapkan pada setiap pintu masuk yang ada di
rumah. Bambu yang telah ditancapkan ini baru akan dinyalakan ketika adzan
magrib berkumandang. Penggunaan bambu sebagai penerangan saat ini sudah
mulai digantikan dengan lilin ataupun obor oleh beberapa masyaraka tertentu. Hal
ini dikarenakan rumah beberapa penduduk sudah dipaving artinya tidak ada tanah
yang bisa digunakan untuk menancapkan bambu-bambu tersebut. Walaupun
digunakan media penerangan yang berbeda namun tidak mengurangi nilai dari
pelaksanaan colok-colok tersebut.
Awalnya tujuan dari diletakkannya penerangan pada masing-masing pintu
tersebut adalah karena masyarakat percaya bahwa pada malam yang suci tersebut
yaitu malam ke-29 bulan Ramadhan, arwah dari sanak saudara atau anggota
keluarga mereka yang sudah meninggal akan datang kembali ke rumah
(berkunjung ke rumah), sehingga agar arwah atau roh dari anggota keluarga yang
sudah meninggal tersebut tidak tersesat saat mereka akan kembali ke rumah, maka
dipasanglah penerangan pada setiap pintu masuk tersebut. Dengan kata lain
masyarakat Desa Banjarsari ingin menyambut kedatangan sanak saudara atau
anggota keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut. Dalam rangka
penyambutan ini, masyarakat tidak hanya memasang penerangan pada setiap pintu
masuk tetapi mereka juga melakukan hal yang lain seperti mengisi bak air dalam
kamar mandi sampai penuh. Hal ini dilakukan karena mereka berkeyakinan bahwa
mereka harus menyediakan air yang cukup agar saat arwah atau roh anggota
keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut ingin mampir ke kamar mandi
untuk mandi atau yang lainnya, sudah tersedia air yang cukup.
Selain memasang colok-colok dan mengisi penuh bak mandi, pada malam
ke-29 Ramadhan juga dilaksanakan tasyakuran atau dalam bahasa jawa biasa
disebut bancakan yang dilaksanakan di masjid-masjid yang ada di Desa
Banjarsari. Setiap rumah wajib mengirimkan atau membawa makanan berupa nasi
beserta lauknya kemudian ditempatkan ke dalam bak atau tempat makan yang

biasanya digunakan ketika melaksanakan bancakan ke masjid-masjid terdekat


(dalam bahasa jawa biasa disebut berkat). Kemudian setelah selesai sholat magrib,
seluruh warga Desa Banjarsari terutama yang laki-laki mengadakan doa bersama
di dalam masjid. Doa tersebut terutama ditunjukkan kepada sanak saudara atau
anggota keluarga yang sudah meninggal agar mereka mendapatkan tempat yang
tenang di alam sana, serta bertujuan agar kami yang masih hidup diberikan
panjang umur, kelancaran rezeki, diterima amal dan ibadahnya di bulan
Ramadhan, mendapatkan barokah, kebahagiaan, serta dijauhkan dari siksa kubur
dan siksa api neraka.
Dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan pada malam ke-29 bulan
Ramadhan tersebut, kita dapat melihat bahwa pengaruh agama Hindu masih
sangat kental di kalangan masyarakat, terutama masyarakat Desa Banjarsari.
Kepercayaan tentang kembalinya arwah seseorang yang telah meninggal pada
tanggal tertentu serta kebiasaan untuk menyambut kembalinya arwah tersebut ke
rumah

mereka

masing-masing

dengan

memberikan

penerangan

serta

mempersiapkan bak mandi yang penuh, dan melaksanakan bancakan jelas


merupakan kebudayaan yang diajarkan oleh agama Hindu. Dalam ajaran agama
Hindu terdapat kepercayaan bahwa pada waktu-waktu tertentu seseorang yang
telah meninggal akan kembali lagi (berkunjung) ke rumah mereka. Oleh karena
itu, mereka berkeyakinan bahwa mereka harus menyambut kedatangan itu dengan
menyiapkan berbagai hal. Penggunaan penerangan yang menggunakan sumber
dari api pada budaya colok-colok ini dalam ajaran agama Hindu dijelaskan bahwa
api memiliki makna sebagai peghubung antara pemuja dengan yang dipuja,
sebagai saksi penghantar persembahan, serta penetalisir dari roh - roh jahat.
Meskipun demikian, masyarakat tetap melaksanakan dan bahkan tetap
memiliki kepercayaan tersebut walaupun mereka bukanlah umat beragama Hindu,
bahkan mayoritas beragama Islam. Proses akulturasi budaya agama Islam yang
dulu dilaksanakan pada proses penyebaran agama Islam di Indonesia masih terus
dilaksanakan sampai saat ini. Tak dapat dipungkiri bahwa masuknya ajaran Hindu
dalam ajaran Islam yang disebarkan Walisongo merupakan dampak dari pola

akulturasi yang digunakan, sehingga tidak sedikit peneliti Islam dan mubaligh
yang menilai kalau sesungguhnya dakwah yang dilakukan Walisongo masih harus
diteruskan oleh para mubaligh dan ulama masa kini, agar ajaran Islam yang
dipahami dan dijalankan masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diturunkan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Tak sulit untuk memahami mengapa Walisongo menggunakan pola
akulturasi dalam menyebarkan ajaran Islam di Indonesia. Dalam buku berjudul
Nusantara: A History of Indonesia yang ditulis sejarawan Belanda Bernard H.
M. Vlekke, Luthfi Assyaukanie membuat kata pengantar yang menarik. Ia
menuliskan;
"Para raja Jawa, menurut Vlekke, memilih Islam bukan karena mereka suka
dengan agama itu, tapi karena situasi politik lah yang mendorong mereka
bertindak demikian. Pada abad ke-16 M, para pelaut Portugis mulai menjejakkan
kakinya di pantai-pantai Jawa, sehingga para raja Jawa dihadapkan pilihan sulit
antara memilih bersekutu dengan Portugis atau bekerjasama dengan Johor dan
Demak, yang berarti harus memilih antara Kristen dan Islam.
Melihat perilaku Portugis dan catatan kecurangan-kecurangan mereka, raja-raja
Jawa kemudian memilih Islam. Agaknya bukan hanya rasa kedekatan budaya dan
sejarah masa silam yang membuat mereka lebih menerima bersekutu dengan
kerajaan-kerajaan Islam, tapi juga karena agama ini memberikan fleksibilitas
yang tinggi ketimbang Kristen. Jika mereka masuk Kristen, bukan hanya mereka
harus tunduk pada kekuasaan Portugis, tapi juga harus mengganti tradisi mereka
dengan budaya baru yang dibawa oleh orang-orang kulit putih itu..."
Dari paparan di atas sangat jelas bahwa penyebaran agama Islam di Tanah
Jawa oleh Walisongo bukanlah perkara mudah, sehingga pola akulturasi pun
dipilih. Tentu saja, para Walisongo bukannya tidak mengerti dampak dari
pilihannya itu karena di antara mereka ada yang berasal dari Timur Tengah,
kawasan dimana Islam diturunkan. Namun lebih pada strategi belaka agar Islam
dapat disebarkan ke seluruh penjuru Bumi.

Dalam makalah berjudul "Islam dan Akulturasi Budaya Lokal", peneliti


Islam Irfan Salim mengatakan; "Islam adalah agama yang berkarakteristikkan
universal dengan pandangan hidup (weltanschaung) mengenai persamaan,
keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan, serta memiliki konsep teosentrisme
yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam. Pada
saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam
mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal,
selama

tidak

bertentangan

dengan

prinsip-prinsip

Islam

itu

sendiri.

Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang
diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam."
Dari beberapa penjelasan di atas, maka jelas sudah mengapa Walisongo
memilih akulturasi sebagai strategi menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Jika kita
menonton film berjudul "Walisongo" atau membaca buku-buku tentang
bagaimana para wali itu menyebarkan Islam dengan menerapkan strategi
akulturasi, maka kita akan melihat betapa efektifnya penyebaran Islam yang
mereka lakukan, sehingga berkat mereka pula lah saat ini Indonesia menjadi
negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia
Jika dipandang dari perspektif Islam, budaya tersebut memang tidak
pernah diajarkan dalam agama Islam. Budaya tersebut tidak pernah diajarkan oleh
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan juga tidak diamanatkan
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al Qur'an. Hal inilah yang menyebabkan
timbulnya berbagai kontroversi di kalangan para ulama. Sebagian ulama
menganggapnya sebagai bidah dan tidak seharusnya dilaksanakan atau bahkan
menentang keras pelaksanaan hal-hal tersebut, tetapi ada juga sebagian ulama
yang tetap memperbolehkan melaksanakan tradisi tersebut dengan syarat tujuan
dan pelaksanaan dari tradisi tersebut tidak boleh ada yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
Karena pandangan ulama yang berbeda itulah yang mengakibatkan
pelaksanaan budaya colok-colok pada saat ini hanya dijumpai di satu desa yang

ada di Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro saja yaitu di Desa Banjarsari.


Sebagian besar masyarakat lainnya sudah meninggalkan tradisi ini karena dirasa
tidak pernah diajarkan dalam ajaran agama Islam dan juga dikarenakan semakin
banyaknya budaya modern yang masuk.
Pada kenyataannya memang sangat sulit untuk menghilangkan pengaruh
budaya agama Hindu yang telah masuk ke dalam agama Islam. Kepercayaan yang
sangat kuat yang dipegang oleh masyarakat tentang betapa pentingnya
menjalankan tradisi ini dan ketakutan akan terjadinya sesuatu yang buruk yang
akan menimpa mereka jika tidak melaksanakan tradisi tersebutlah yang menjadi
faktor utama sulitnya menghilangkan budaya tersebut. Oleh karena itu, beberapa
upaya telah dilakukan oleh para ulama untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Perlu diketahui bahwa sejak beberapa tahun yang lalu (sekitar 10 tahunan)
pelaksanaan terutama tujuan dari dilaksanakannya budaya colok-colok ini sudah
berbeda dari asal mula budaya colok-colok ini dilaksanakan. Seiring dengan
berjalannya waktu yang diiringi pula dengan perkembangan teknologi yang
semakin canggih serta banyaknya dakwah yang telah disyiarkan oleh beberapa
ulama telah berhasil mengubah pemikiran masyarakat Desa Banjarsari. Mereka
mulai dapat berpikir logis bahwa secara logika seseorang yang sudah meninggal
tidak akan pernah mungkin kembali lagi ke dunia ini, bahkan dalam wujud roh
sekalipun. Dan yang lebih tidak logis lagi, roh atau arwah seseorang tidak akan
bisa mandi, dalam artian hanya raga manusia saja yang bisa dimandikan. Di sisi
lain, tujuan dari pelaksanaan budaya colok-colok ini juga telah berubah, yang
dulunya untuk menyambut anggota keluarga yang sudah meninggal, saat ini murni
hanya untuk menjalankan tradisi saja. Tidak ada tujuan lain yang tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam lagi. Meskipun hampir seluruh masyarakat Desa
Banjarsari sudah mengetahui tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai
pelaksanaan serangkaian budaya yang dilaksanakan pada malam ke-29 bulan
Ramadhan ini, namun mereka masih merasa sangat sulit untuk menghilangkan
budaya tersebut karena budaya tersebut sudah dilakukan secara turun-temurun
dari zaman nenek moyang mereka dulu. Ditambah lagi sebagian besar masyarakat

Desa Banjarsari lebih sependapat dengan pendapat sebagian ulama yang


memperbolehkan pelaksanaan budaya tersebut asalkan dari segi tujuan dan
pelaksanaan budaya tersebut tidak ada yang melanggar ajaran agama Islam.
Sehingga dalam rangka melestarikan budaya, masyarakat Desa Banjarsari tersebut
masih tetap melaksanakan kegiatan tersebut dengan menghilangkan beberapa hal
yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Penggunaan penerangan yang
dipasang di pintu-pintu masuk juga tidak diperketat seperti dulu lagi (dalam arti
tidak harus menggunkan media bambu dan kain bekas). Mereka sudah
diperbolehkan menggunakan lilin atau obor sebagai media penerangan. Beberapa
masyarakat juga sudah mulai meninggalkan budaya mengisi penuh bak mandi
mereka di malam ke-29 Ramadhan. Kegiatan bancakan juga tetap dilaksanakan
karena pada pelaksanaannya memang tidak ada kegiatan yang menyimpang dari
ajaran agama Islam. Doa yang dipanjatkan pada saat bancakan hanya ditujukan
kepada Allah SWT semata, bukan untuk yang lain. Selain itu, tidak ada lagi
kewajiban yang mengharuskan masyarakat untuk membawa makanan yang dalam
bahasa jawa disebut berkat ke masjid-masjid terdekat. Namun, para kyai tetap
menganjurkan untuk membawa berkat pada malam ke-29 Ramadhan. Tetapi
semua itu dikembalikan kepada masing-masing individu, mereka tetap boleh
memilih mau membawa berkat atau tidak.
Jika kita memandang dari perspektif lain selain dari sudut pandang agama,
budaya colok-colok juga memiliki nilai-nilai yang positif. Beberapa nilai positif
dari budaya ini adalah meningkat rasa solidaritas, kerukunan dan semangat
gotong-royong antar masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada saat pembuatan
penerangan yang terbuat dari bambu. Tidak semua masyarakat Desa Banjarsari
mempunyai pohon bambu, sehingga warga yang mempunyai pohon bambu harus
meminta kepada warga yang mempunyai pohon bambu. Warga yang dimintaipun
dengan suka rela memberikan bambu tersebut kepada warga yang meminta. Selain
itu, pada saat penebangan bambu, beberapa warga bergotong-royong membantu
menebang serta memotong bambu tersebut menjadi beberapa bagian. Kemudian
dilaksanakannya bancakan pada setiap masjid terbukti dapat meningkatkan

semangat kerukunan antar sesama, karena bancakan menjadi salah satu ajang
untuk saling bersilaturrahim antar sesama. Nilai-nilai inilah yang terkadang tidak
kita dapatkan dari budaya modern. Budaya modern yang saat ini banyak
berkembang terutama di masyarakat perkotaaan justru semakin membuat kita
menjadi masyarakat yang semakin individualis. Semakin canggihnya teknologi
yang digunakan seolah membuat kita dapat melakukan segala sesuatu sendiri dan
tidak membutuhkan bantuan orang lain. Hal ini justru semakin mengurangi proses
interaksi dan rasa solidaritas antar sesama yang sebenarnya merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini pulalah
yang menjadi salah satu alasan mengapa masyarakat Desa Banjarsari merasa
sangat sulit untuk menghapuskan budaya colok-colok tersebut.
Selain itu, budaya colok-colok dan bancakan yang dilaksanakan pada
malam ke-29 bulan Ramadhan merupakan serangkaian kegiatan yang semakin
menyemarakkan suasana di bulan suci Ramadhan. Terutama pada saat menjelang
berbuka puasa, banyak warga baik itu orang dewasa maupun anak-anak yang
berkumpul di depan rumah untuk menunggu colok-colok dinyalakan. Dan setelah
dikumandangkannya adzan magrib, terlihat kebahagiaan yang terpancar dari
wajah-wajah seluruh masyarakat terutama anak-anak kecil yang sangat
bersemangat untuk membantu menyalakan colok-colok tersebut. Suasana yang
membahagiakan ini akan hilang jika budaya colok-colok tersebut dihilangkan.
Oleh karena itu, budaya colok-colok masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat
Desa Banjarsari dengan tujuan untuk meramaikan suasana pada bulan suci
Ramadhan. Apalagi tinggal malam-malam terakhir sebelum meninggalkan bulan
yang penuh rahmat ini. Oleh karena itu, perlu diadakan kegiatan untuk semakin
meramaikan suasana di bulan suci ini sebelum bulan suci ini berakhir.
Beberapa penjelasan yang telah dijelaskan di atas merupakan alasan
mengapa tradisi colok-colok dan bancakan masih tetap hidup dan berkembang di
dalam masyarakat Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro
sampai saat ini.

PENUTUP
Budaya colok-colok yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Banjarsari
Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro memang menoreh kontroversi dari
kalangan para ulama. Ada yang memperbolehkan untuk dilaksanakan asalkan dari
segi tujuan dan pelaksanaan tidak ada yang menyimpang dari ajaran agama Islam.
Namun, ada juga yang tidak memperbolehkan dengan alasan bidah karena
Rasulullah SAW tidak pernah mengajarkan hal-hal itu, dan di Al-Quran juga
tidak terdapat perintah untuk melaksanakan hal tersebut. Semua itu kembali lagi
kepada pribadi masing-masing. Masyarakat Desa Banjarsari memilih untuk tetap
melaksanakan budaya tersebut dengan alasan ingin melestarikan budaya dan
karena pada saat ini tujuan dan pelaksanaan budaya tersebut sudah sesuai dengan
ajaran agama Islam. Selain itu, banyak sekali nilai-nilai positif yang diperoleh dari
budaya colok-colok dan bancakan tersebut. Ditambah lagi, serangkaian kegiatan
colok-colok dan bancakan tersebut juga semakin menyemarakkan saat-saat
terakhir bulan suci. Ramadhan. Dikarenakan beberapa alasan itulah, masyarakat
Desa Banjarsari Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro masih tetap
mempertahankan tradisi (yang sudah dimodifikasi) tersebut sampai saat ini.
Pada dasarnya setiap budaya yang ada di Indonesia masih tetap boleh
dilaksanakan sampai saat ini, asal dalam tujuan serta pelaksanaanya tidak ada
yang melanggar ajaran agama apapun. Karena bisa jadi dalam budaya tersebut
terdapat nilai-nilai positif yang sangat kita perlukan dalam kehidupan
bermasyarakat.

Anda mungkin juga menyukai