Anda di halaman 1dari 3

Ritual Dhawuhan dan Misteri Gang Manggis, Unforgottable Experiences during KKN

Oleh Falya Junaidatil Qurrok (KKN TAPAKREJO 2020)

Kuliah kerja nyata atau biasa disebut KKN adalah bentuk kegiatan pengabdian kepada
masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuwan dan sektoral pada waktu
dan daerah tertentu di Indonesia. Kegiatan KKN IAIN Tulungagung biasanya dilakasanakn
pada liburan semester 5 atau semester 6. Pelaksanaan KKN merupakan hal wajib untuk
mahasiswa. Mengapa ? karena dengan adanya kegiatan KKN ini mahasiswa tidak hanya
belajar tentang teori di kampus saja, namun juga praktik di lapangan atau tepatnya di
masyarakat daerah tertentu untuk mengasah dan mengamalkan ilmu yang mereka dapat di
kampus dengan harapan dapat memberikan perubahan dalam bidang multisektoral kepada
daerah tersebut. Tahun ini adalah tahun dimana giliran angkatan kami yang melaksanakan.
Kegiatan KKN IAIN Tulungagung 2020 akan dibagi menjadi 2 gelombang. Gelombang
pertama dilaksanakan mulai tanggal 10 Januari sampai 16 Februari 2020. Sedangkan
gelombang kedua akan dilaksanakan bulan Juli atau Agustus. Ada sekitar 2000 lebih
mahasiswa yang mengikuti KKN gelombang pertama dan akan dikirim ke beberapa
kecamatan di kabupaten Tulungagung atau Blitar. Setelah melewati beberapa proses
pendaftaran kami akhirnya ditempatkan di desa Tapakrejo, Kecamatan Kesamben ,
Kabupaten Blitar. Ada 40 mahasiswa yang dibagi menjadi 2 kelompok menempati desa ini.
Saya bergabung dengan teman-teman kelompok 2 yang akan tinggal di dusun Mangkurejo,
tepatnya di kediaman kakung Samsudin. Kamis, 9 Januari 2020 merupakan hari dimana
kampus tercinta IAIN Tulungagung melepas kami ke desa masing-masing. Setelah acara
pelepasan selesai, sebagian dari kami berangkat ke posko untuk mengantar ke barang-barang,
sedangkan yang lain akan menyusul keesokan harinya.

Desa Tapakrejo merupakan desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam,


namun ada beberapa masyarakat lainnya yang beragama non Islam, seperti Kristen dan Hindu
yang mana antar tokoh agama tersebut tetap menjaga solidaritas dan menghargai setiap
kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing agama, hal ini terbukti dengan adanya banyak
kegiatan keagamaan, seperti Yasinan, Diba’an, Khotmil Qur’an. Selain itu, ada sebuah ritual
keagamaan yang mana merupakan perpaduan antara tradisi agama Islam dengan Hindu yaitu
tradisi “Dhawuhan”. Pengertian dari ritual “Dhawuhan” sendiri adalah berasal dari kata
bahasa Jawa yang mmiliki arti yaitu suatu tempat yang sangat besar dan merupakan tempat
berhentinya air atau di dalam bahasa Jawa disebut Dam besar (bembekan). Sedangkan
menurut istilah itu sendiri ritual tersebut merupakan suatu ritual yang dilakukan oleh satu
kalangan masyarakat yang bertujuan untuk meminta hujan kepada yang Maha Kuasa dan
juga dayangan yang bertempat di situ, namun menurut warga setempat (Kakung Sam), ritual
ini merupakan ritual yang masih dijaga turun temurun untuk menjaga kesadaran bersama
menjaga mata air sebagai sumber penghidupan untuk pertanian dan kehidupan lainnya.
Minggu pagi, 12 Januari 2020 Kakung Sam mengajak kami mengikuti ritual ini. Bersama para
warga kamidengan membawa makanan khas kejawen berangkat menuju sebuah kali yang tak
jauh dari posko kami yang merupakan sumber dari penghidupan desa ini. Jalan terjal bebatuan
dan licin menemani perjalanan kami menuju kali tersebut. Ritual dhawuhan merupakan
peninggalan masa akhir Masa Pemerintahan Majapahit. Ritual dimulai dengan membersihkan
kotoran yang menyumbat aliran kali dan sekitar kali. Kemudian, dilanjutkan berdoa bersama
dengan harapan mata air yang merupakan sumber penghidupan desa Tapakrejo selalu dapat
mengalir dan tidak ada masalah yang menghambat aliran kali tersebut. Doa dimpin oleh
sesepuh desa Tapakrejo. Setelah acara doa bersama kemudian dilanjutkan dengan makan
bersama makanan yang telah masyarakat setempat bawa. Menu makanan dalam ritul ini
adalah khas kejawen, layaknya menu kenduri di tradisi Jawa, seperti nasi gurih, gudhangan,
ikan asin, ingkung ayam, dan sebagainya. Makan bersama ini merupakan wujud syukur atas
anugerah alam yang diberikan dan kebaikan penghidupan serta wujud kegembiraan atas
kebaikan penghidupan. Ritual ini juga menggambarkan betapa rukun dan makmurnya
masyarakat desa Taparejo ini.

Selain ritual yang belum pernah kami jalani sebelumnya, saya dengan beberapa teman
saya juga mengalami peristiwa yang belum pernah kami lalui sebelumnya. Peristiwa tersebut
dimulai ketika saya dan teman-teman berkunjung ke salah satu teman pesantren saya, sebut
saja Aina (nama samaran) yang rumahnya tidak jauh dari posko kami. Awalnya saya ragu
untuk pergi karena hari mulai petang dan menurut Aina jalan menuju rumahnya cukup sulit,
namun masih dapat dijangkau, namun beberapa teman meyakinkan untuk tetap berangkat.
Sebelumnya kami mohon izin pada Kakung Sam bahwa akan turun gunung sebentar. Kami
berangkat sekitar pukul 17.15 WIB. Kami teridiri dari 4 orang, diantaranya saya, atma, aya,
dan winda. Kami mulai mencari rumah Aina. Rumahnya terletak di Gang Manggis. Kami
mulai masuk gang tersebut. Kedua teman saya, atma dan aya mulai merasakan hawa yang
berbeda, namun winda meyakinkan kami bertiga untuk tetap melanjutkan karena dirasa akan
sia-sia jika memotong perjalanan begitu saja. Kami akhirnya meneruskan perjalanan. Kami
melewati banyak pohon bambu dan sawah-sawah. Beberapa menit kemudian kami sampai
tujuan. Kami berbincang-bincang sebentar. Sesekali kami bertanya mengenai gang ini
Penasaran saja, di wilayah pelosok yang jauh dari keramaian masih ada pemukiman kecil
disini. Menurut Aina, kebanyakan orang yang berkunjung disini pasti akan menginap.
Sebersit perasaan tidak enak, namun kami mencoba berpikir positif. Suara adzan pun
terdengar, karena tiga orang dari kami sedang halangan, kami akhirnya menunggu aya dan
aina sholat terlebih dahulu. Seusai sholat akhirnya kami berpamitan. Tak lupa kami bertanya
pada Aina adakah jalan yang lebih mudah dijangkau. Namun hasilnya tidak ada. Akhirnya
kami memberanikan diri. Di sepanjang perjalanan, bibir kami tak berhenti komat-kamit. Doa
dan ayat kursi tak berhenti kami ucapkan. 20 menit kemudian akhirnya kami sampai di posko.
Sesampai di posko, kami bercerita pada Kakung. Hal yang mengejutkan bagi kami adalah
menurut cerita Kakung wilayah Gang Manggis adalah tempat makhluk halus desa ini.
beberapa warga setempat atau pendatang yang sedang berkunjung tak jarang ditemui
makhluk-makhluk mistis. Pernah ada seorang guru (teman Kakung) pindah tempat tinggal
karna hal tersebut. Terlebih lagi, malam itu adalah malam Jum’at Kliwon yang man warga di
sana mempercayai bahwa malam tersebut adalah malam yang lebih menyeramkan dari malam
biasanya. Kami sangat bersyukur bisa sampai di posko dengan keadaan selamat.

Dari kedua pengalaman tersebut, saya memperoleh pelajaran akan pentingnya


menghargai walaupun perbedaan ada di tengah-tengah kita. Kami juga sadar bahwa
kecerobohan (sembrono) bisa menyebabkan kita pada hal-hal buruk yang tidak pernah kita
inginkan, terlebih itu bukan daerah tempat tinggal kita. Selain itu, menelusuri sebuah perkara
terlebih dahulu sebelum bertindak sangatlah penting. Jika kami dan teman-teman bertanya
terlebih dahulu kepada Kakung atau penduduk desa, maka peristiwa itu mungkin saja tidak
terjadi.

SEKIAN DAN TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai