Anda di halaman 1dari 6

TUGAS MATA KULIAH

PANCASILA

ESAI TENTANG

TRADISI LARUNG SESAJI GUNUNG KELUD

Oleh:

Nama : Ilham Kurniawan

NIM : 205061107111036

Kelas :B
JURUSAN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021

Esai tentang Tradisi Larung Sesaji Gunung Kelud daerah Kabupaten Kediri

Indonesia adalah negara yang terkenal akan keberagaman budayanya, tidak heran
Indonesia terkenal sebagai negara multikultural. Budaya itu sendiri tidak dipungkiri sebagian
dari kepercayaan oleh mitos kepercayaan yang memang sudah mengakar di masyarakat yang
kemudian mencetuskan sebuah tradisi budaya yang juga terkenal sebagai kearifan lokal.

Di daerah tempat tinggal Saya yaitu di daerah Kabupaten Kediri, terdapat tradisi
budaya berupa larung sesaji yang diadakan di Gunung Kelud atas dasar kepercayaan
masyarakat Desa Sugih Waras, Kabupaten Kediri. Kegiatan tersebut sebagai upaya
melestarikan nilai luhur budaya dan juga sebagai bentuk pemujaan kepada yang dianggap
berkuasa dengan nilai religi didalamnya.

Tradisi ini berawal dari mitos atau legenda Dewi Kilisuci dan Mahesasura. Menurut
legenda, Gunung Kelud terbentuk dari sebuah pengkhianatan cinta seorang putri bernama
Dewi Kilisuci terhadap dua raja sakti mahesa Suro dan Lembu Suro. Kala itu, Dewi Kilisuci
anak putri Jenggolo Manik yang terkenal akan kecantikannya dilamar dua orang raja. Namun
yang melamar bukan dari bangsa manusia, karena yang satu berkepala lembu bernama Raja
Lembu Suro dan satunya lagu berkepala kerbau bernama Mahesa Suro.Untuk menolak
lamaran tersebut,Dewi Kilisuci membuat sayembara yang tidak mungkin dikerjakan oleh
manusia biasa, yaitu membuat dua sumur di atas puncak gunung Kelud, yang satu harus
berbau amis dan yang satunya harus berbau wangi dan harus selesai dalam satu malam atau
sampai ayam berkokok.

Akhirnya dengan kesaktian Mahesa Suro dan Lembu Suro, sayembara tersebut
disanggupi. Setelah berkerja semalaman, kedua-duanya menang dalam sayembara. Tetapi
Dewi Kilisuci masih belum mau diperistri. Kemudian Dewi Kilisuci mengajukan satu
permintaan lagi. Yakni kedua raja tersebut harus membuktikan dahulu bahwa kedua sumur
tersebut benar benar berbau wangi dan amis dengan cara mereka berdua harus masuk ke
dalam sumur. Terpedaya oleh rayuan tersebut, keduanyapun masuk ke dalam sumur yang
sangat dalam tersebut. Begitu mereka sudah berada di dalam sumur, lalu Dewi Kilisuci
memerintahkan prajurit Jenggala untuk menimbun keduanya dengan batu. Maka matilah
Mahesa Suro dan Lembu Suro. Tetapi sebelum mati Lembu Suro sempat bersumpah dengan
mengatakan: “Oyoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping
yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.” (Ya, orang
Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri akan jadi sungai, Blitar
akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau). Dari legenda ini akhirnya masyarakat
lereng Gunung kelud melakukan sesaji sebagai tolak balak supah itu yang disebut Larung
Sesaji. Upacara adat Larung Sesaji biasa digelar di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar,
Kabupaten Kediri dimaksudkan untuk menolak bala sumpah Lembu Suro yang merasa
terkhianai oleh Dewi Kilisuci. Sebagian masyarakat mempercayai larung sesaji sebagai
wujud syukur kepada Tuhan dan juga bentuk hormat pada penguasa Gunung Kelud.

Upacara adat ini digelar setahun sekali pada tanggal 23 bulan Surau, yang didatangi
oleh berbagai kalangan masyarakat, khususnya para penganut Hindu dari Bali, Yogyakarta,
Surabaya, dan Semarang. Dimulai pada pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 13.00.
Awalnya, acara larung sesaji diadakan di kawah Gunung Kelud, namun karena lokasi kawah
itu sekarang sudah menjadi batu, ritual ini hanya diselenggarakan di tepian kawah. Adapun
isi sesaji dalam ritual ini terdiri dari nasi, sayuran, lauk-pauk, buahbuahan yang dikemas
dalam bentuk tumpeng. Tumpeng tersebut terdapat dua jenis, nasi putih dan nasi kuning yang
dihias dan ditata sedemikian rupa. Semua makanan tersebut dikumpulkan di tengah, dan
dikeliling oleh masyarakat. Mereka duduk sambil mendengarkan pemangku adat membaca
doa, kemudian mereka berbondong-bondong memperebutkan hasil sesaji tersebut. Bahan
sesaji dalam ritual larung sesaji di kawah Gunung Kelud adalah wedang kopi murni, lada
tawar, badek, ayam panggang dan lain-lain. Sarana penting dalam ritual tersebut adalah
melarungkan batu intan ke Kawah Gunung Kelud.

Kegiatan dalam larung sesaji mencerminkan nilai dari sila pertama pancasila, yakni
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Masyarakat sekitar gunung Kelud mempercayai bahwa acara
larung sesaji merupakan acara yang digelar sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas berlimpahnya hasil bumi dan penghormatan kepada para leluhur. Terdapat ritual doa
bersama yang dilakukan oleh masyarakat sekitar yang dipimpin oleh tokoh agama setempat
dan juru kunci gunung Kelud. Ritual doa yang dilakukan selain sebagi wujud rasa syukur,
juga memiliki tujuan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kediri, dan
harapan tidak terjadinya bencana sehingga dapat terwujudnya keselamatan. Menurut Saya,
nilai sila pertama tercermin pada tradisi yang bertujuan sebagai wujud syukur kepada Tuhan
dan penghormatan kepada para leluhur.

Kegiatan larung sesaji juga mewujudkan nilai dari sila ke-2 pancasila yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam acara larung sesaji terdapat ritual pembagian
hasil bumi kepada seluruh masyarakat yang hadir dengan istilah royokan dan pemberian
sedekah kepada masyarakat sekitar yang kurang mampu. Pembagian hasil bumi dengan cara
royokan tersebut tidak memandang usia, jenis kelamin, asal daerah, suku, maupun agama.
Semua masyarakat yang hadir dapat berpartisipasi dalam acara royokan tersebut. Setelah
acara larung sesaji selesai, panitia akan membagikan hasil bumi yang sudah disediakan
kepada masyarakat miskin disekitar gunung Kelud. Panitia mendatangi langsung ke rumah
warga untuk menyerahkaan sedekah tersebut. Pemberian sedekah diutamakan untuk lansia
dan janda miskin. Menurut Saya, nilai sila ke-2 pancasila tercermin ketika masyarakat dalam
pelaksanaan upacara tradisional kegiatan kemanusiaan yakni sedekah serta sikap saling
menghormati dan menghargai antara masyarakat.

Kegiatan larung sesaji Gunung Kelud ini mencerminkan sila ketiga pancasila yakni
“Persatuan Indonesia”. Tradisi larung sesaji ini diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten
Kediri bersama masyarakat setempat dengan saling bergotong royong tanpa melihat
perbedaan diantara mereka, semua warga Kediri ataupun warga sekitar dapat menghadiri
acara ini tanpa ada syarat tertentu. Acara ini digelar dalam waktu tiga hari. Banyak wisatawan
atau pengunjung dari luar derah yang datang untuk menyaksikan acara ini, semua masyarakat
boleh hadir dalam acara ini, tidak memandang usia, jenis kelamin, asal daerah, suku, maupun
agama. sehingga acara ini dapat mempersatukan semua golongan masyarakat. Dalam
kegiatan larung sesaji tak ada perbedaan status dan kasta antara si kaya dan si miskin, semua
bekerja sama melakukan ritual larung sesaji yang dianggap sakral oleh masyarakat daerah
setempat. Menurut Saya, nilai sila ke-3 pancasila tercermin ketika masyarakat sekitar
pendatang yang berbeda agama dan kepercayaan datang berkumpul untuk mempersiapkan
upacara tradisional karena adanya rasa persatuan. Nilai sila ketiga pancasila yang jarang
disadari oleh masyarakat tercermin ketika masyarakat setempat dan sekitarnya tetap ingin
menjaga dan melestarikan budaya.

Kegiatan larung sesaji ini juga mencerimkan sila keempat pancasila yang berbunyi
“Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusywaratan
Perwakilan”. Dalam penyelenggaraan acara ini, Pemerintah Kabupaten Kediri bekerja sama
dengan warga Desa Sugihwaras. Dalam penyelenggaraannya, Pemerintah Kabupaten Kediri
melalui Dinas Pariwisata bermusyawarah untuk pembentukan panita larung sesaji gunung
kelud. Panitia tersebut dibentuk sekitar H-1 bulan acara larung sesaji. Para panitia setiap
harinya menjelang acara selalu bermusyawarah untuk perencanaan atau penyusunan acara
sampai pelaksanaan acara ritual larung sesaji gunung kelud, untuk dapat tercapainya acara
yang sukses dan lancar. Menurut Saya, nilai pancasila sila ke-4 tercermin ketika sebelum
pelaksanaan acara, penitia terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan ketua adat untuk
menemukan suatu mufakat atau keputusan bersama. Pada saat musyawarah tersebut,
pemimpin dijadikan sebagai pedoman, namun pemimpin juga tidak boleh seenaknya sendiri.
Pemimpin harus mendengarkan dan menerima saran dan pendapat atau pendapat dari anggota
yang lain. Saling gotong royong dalam mempersiapkan upacara juga merupakan nilai
pancasila.

Acara larung sesaji Gunung Kelud ini juga merupakan perwujudan dari nilai sila
kelima pancasila yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Acara larung sesaji
ini digelar selama tiga hari. Pada hari pertama adalah inti dari acara yakni adanya ritual
sesajen dan pembagian hasil bumi. Pada hari kedua dan ketiga diadakan festival jaranan yang
dapat diikuti oleh semua paguyuban jaranan di seluruh Kabupaten Kediri maupun
disekitarnya. Seluruh paguyuban jaranan dapat mengikuti acara ini, dan acara ini juga
diperlombakan, sehingga seluruh masyarakat dapat berpartisipasi untuk menunjukan
kreativitasnya masing-masing. dalam festival ini semua peserta akan dinilai secara adil oleh
dewan juri yang terhormat, dan pemenangnya akan diberikan hadiah secara langsung oleh
Bupati Kabupaten Kediri. Selain memberikan wadah untuk seniman jaranan setempat, panitia
juga menyelenggarakan lomba kuliner yang dapat diikuti oleh seluruh masayarakat sekitar
dan lomba ini juga akan dinilai secara adil oleh dewan juri dan pemenangnya akan diberikan
hadiah oleh Bupati Kabupaten Kediri. Menurut Saya, nilai pancasila sila ke-5 tercermin
dalam kegiatan ritual atau upacara yang adanya sebuah keadilan seperti bersikap adil
terhadap sesama, menghormati hak-hak orang lain, menolong sesama, menghargai orang lain,
dan melakukan pekerjaan yang berguna bagi kepentingan umum dan bersama.
Daftar Pustaka

Fatimah, R., Arum, P. D. A., Ratnasari, T. A., Dewi, S. (2019). Nilai dalam Budaya Larung
Sesaji Gunung Kelud. Jurnal Studi Budaya Nusantara. 3(2): 109-116.

Huda, A. M., Bajari, A., Muhtadi, A. S., & Rahmat, D. (2017). Functions and values of ritual
“larung sesaji kelud” in the Community of around Kelud Mountain. MediaTor.
10(02): 156-164.

Nugroho, Danang Martantyo. (2018). Daya Tarik Wisata di Kawasan Gunung Kelud Kediri
Jawa Timur. Domestic Case Study: Yogyakarta.

Sulistyowati, Mulia. (2018). Mitos dan Nilai Local Wisdon (Kearifan Lokal) Tradisi Larung
Sesaji Sebagai Tolak Bala di Kawah Gunung Kelud Desa Sugih Waras Kabupaten
Kediri. Studi Budaya Nusantara. 01(01): 41-48.

Anda mungkin juga menyukai