Eci Milzawati (211021004)
Eci Milzawati (211021004)
TENTANG
DISUSUN OLEH :
DOSEN PENGAMPU :
Dr. Usman Yahya, M.Ag
1
MELURUSKAN TAUHID DALAM TRADISI TARI ASEK DI
KERINCI
Eci Milzawati1
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana (S2), Institut Agama
Islam Negeri Kerinci, Desa Tanjung Pauh Hilir, Kabupaten Kerinci, Jambi, Indonesia,
3711, milzawatie@gmail.com
ABSTRAK : Masyarakat Kerinci memiliki berbagai adat istiadat yang diwarisi secara turun temurun dari
nenek moyang mereka. Salah satunya adalah Tarei Asyeikyang merupakan ritualpersembahan untuk
roh nenek moyang yang diyakini ada di sekitar dan melindungi mereka dengan menggerak-
gerakan tubuh mereka. Menari seringkali merupakan suatu unsurpenting dalam banyak upacara
keagamaan. Menari dalam upacara keagamaan juga mempunyai dasar yang lain, yaitu sebagai
suatu teknik untuk mencapai keadaan trance(khusuk)kemasukan ruh dalam upacara-upacara
syamanisme. Dalam ritual tersebut disediakan sesajian berupa makanan dari beras putih, beras kuning,
beras merah, beras hitam, telur ayam, telur bebek, lemang, ayam panggang, air jeruk, bermacam-macam
bunga, daun sirih, dan lain-lainnya. Tarian ini juga dilengkapi dengan sebilah keris. Sampai tahun
1950-an Tarei Asyeikdilaksanakan oleh masyarakat selama seminggu berturut-turut. Sekarang
masyarakat hanya melaksanakannya dari matahari tenggelam hingga matahari terbit atau semalam
suntuk. Ritual ini dilaksanakan jika ada yang mendapat musibah (kemalangan) dan pelaksanaan niat
(nazar), seperti sakit, belum mendapat keturunan, atau kurang mendapat rezeki, dan juga bila ada
yang bernazar agar terhindar dari malapetaka, sukses dalam perdagangan, hasil pertanian meningkat dan
lain sebagainya.
KATA KUNCI: Tauhid, Tradisi, Tari Asek.
ABSTRACT : The Kerinci people have various customs that have been passed down from generation to
generation from their ancestors. One of them is Tarei Asyeik which is a ritual offering to the spirits of the
ancestors who are believed to be around and protect them by moving their bodies. Dancing is often an
important element in many religious ceremonies. Dancing in religious ceremonies also has another basis,
namely as a technique to achieve a trance (solemn) of being possessed by the spirit in shamanistic
ceremonies. In this ritual, offerings are made of white rice, yellow rice, brown rice, black rice, chicken
eggs, duck eggs, lemang, grilled chicken, orange juice, various flowers, betel leaves, and others. This
dance is also equipped with a dagger. Until the 1950s Tarei Asyeik was performed by the community for
a week in a row. Now people only do it from sunset to sunrise or all night long. This ritual is carried out if
someone has a disaster (misfortune) and the implementation of intentions (votives), such as being sick,
not having children, or not getting enough sustenance, and also if someone makes a vow to avoid
calamity, success in trade, increase in agricultural output and so on. etc.
2
LATAR BELAKANG
Keanekaragaman suku bangsa dapat melahirkan berbagai macam kebudayaan.
Salah satu jenis kebudayaan yaitu tarian. Budaya menari hidup dan berkembang
didalam kelompok masyarakat yang akhirnya melahirkan tarian tradisi. Tari tradisi
adalah tari yang lahir, tumbuh, berkembang pada suatu masyarakat yang kemudian
diturunkan atau diwariskan secara terus menerus dari generasi kegenerasi serta sesuai
dengan adat kebiasaannya itu sendiri dan telah diakui oleh masyarakat pendukungnya.
Setiap tarian tradisonal di dunia ini memiliki asal usulnya. Oleh karena itu, artikel ini
bertujuan untuk mendesripsikan asal usul budaya sakral: tari asik mahligai kaco.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.
Teknik pengumpulan data melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara dan
studi dokumentasi. Penelitian dilakukan di Desa Senimpik, Kecamatan Siulak Mukai,
Kabupaten Kerinci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tari asik mahligai kaco di
temukan oleh siti haris atau nduk siarni melalui wangsit (pesan gaib), memiliki makna
tarian yang dilakukan secara khusyuk untuk mencapai sebuah tujuan yaitu untuk
memperoleh atau menaikkan tahta serta tidak bisa ditarikan oleh sembarang orang,
karena tarian ini bersifat sakral dan magis.
KAJIAN TEORETIK
Daerah Kerinci memiliki bermacam-macam bentuk kesenian, seperti tarian,
pencaksilat, dan musik yang sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat
Kerinci untuk dijadikan wahana berekspresi dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan
berekspresi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam mengungkapkan seluruh jiwa
dan demi kepuasan bathin para penikmat seni bagi masyarakat Kerinci.
Di kecamatan Siulak Mukai terdapat beberapa kesenian yang diwariskan secara
turun temurun oleh nenek moyang dahulunya. Kesenian yang ada di daerah Siulak
Mukai terdapat tari-tarian diantaranya tari rangguk, tari tauh, tari asik ngayun luci, tari
asik nyabung, tari asik tolak bala, tari asik mandi taman, dan tari asik mahligai kaco.
Semua jenis tarian ini digunakan sebagai sarana dalam upacara yang berkaitan dengan
pemujaan roh-roh nenek moyang yang memiliki unsur ritual.
Tari asik mahligai kaco berasal dari kata "Asik" yang merupakan salah satu tari
tradisi masyarakat Kerinci. Hafiful Hadi Sunliensyar (2016), menyatakan bahwa Asik
yang biasa disebut oleh masyarakat Kerinci adalah ritual yang disertai sesajian,
nyanyian, musik dan tarian untuk upacara persembahan pada roh leluhur dan dilakukan
pada waktu tertentu, Tarian magis ini digunakan sebagai tarian dalam upacara adat
dengan memuja roh-roh nenek moyang. Kata "Mahligai" diartikan sebagai tahta.
Kemudian kata "Kaco" yang dalam bahasa Indonesia berarti kaca. Tari asik mahligai
kaco memiliki makna tarian yang dilakukan secara khusyuk untuk mencapai sebuah
tujuan yaitu untuk memperoleh atau menaikkan tahta.
Tari asik merupakan kesenian tari tradisional yang berasal dari, Desa Senimpik,
Kecamatan Siulak Mukai, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Tarian asik mahligai
kaco ditemukan oleh salah seorang penduduk di bumi sakti alam Kerinci yang bernama
Siti Haris atau nduk siarni (77 tahun).
3
Hal ini sejalan dengan yang di sampaikan oleh Syamsir salah satu tokoh adat Desa
Senimpik, mengatakan bahwa tari ini dikenal pertama kali oleh masyarakat yang
ditarikan oleh nduk siarni dikediaman nya. Dengan atraksi yang berbahaya sempat
mengejutkan masyarakat yang menyaksikan pada waktu itu.
Tari asik mahligai kaco berasal dari kata "Asik" yang merupakan salah satu tari
tradisi masyarakat Kerinci. Hafiful Hadi Sunliensyar (2016), menyatakan bahwa Asik
yang biasa disebut oleh masyarakat Kerinci adalah ritual yang disertai sesajian,
nyanyian, musik dan tarian untuk upacara persembahan pada roh leluhur dan dilakukan
pada waktu tertentu.
Kepercayaan terhadap adanya hubungan antara roh leluhur dengan anak cucunya
masih hidup dalam sebagian masyarakat Kerinci Provinsi Jambi. Mereka percaya bahwa
leluhur yang telah meninggal dunia dapat mempengaruhi kehidupan anak cucunya, baik
dalam hal mendatangkan kebaikan, membiarkan datangnya musibah dan juga
memberikan teguran/hukuman. Dengan kata lain, roh nenek moyang turut menentukan
keseimbangan dalam kehidupan mereka. Kepercayaan ini melahirkan sikap hormat
kepada nenek moyang. Iskandar Zakaria (2006) mengatakan, puncak dari rasa hormat
orang Kerinci kepada nenek moyang mereka diwujudkan dalam suatu bentuk upacara
yang disebut upacara Aseik .
Upacara aseik telah lama mentradisi dalam masyarakat Kerinci. Setiap desa di
wilayah Kerinci memiliki tradisi upacara aseik masing-masing, namun dalam 20 tahun
terakhir berbagai perubahan kultural dalam masyarakat telah menekan keberadaan
upacara aseik, sehingga semakin jarang dilaksanakan. Berpijak pada pemikiran Geertz
(1992) bahwa manusia adalah mahkluk simbolik yang hidup dalam jaringan makna,
tulisan ini berusaha menjelaskan ancaman terhadap keberadaan upacara aseik dalam
masyarakat kerinci saat ini . Pada bagian akhir tulisan dipaparkan pula solusi pelestarian
upacara aseik dalam masyarakat Kerinci.
Pelaksanaan Upacara Aseik.
Upacara aseik adalah suatu tradisi dalam masyarakat Kerinci yang dilakukan
untuk berhubungan dengan roh nenek moyang. Pada masa pra Islam hingga masa awal
pengembangan ajaran Islam, upacara aseik diartikan sebagai sebuah upacara penyucian
jiwa dari segala bentuk perbuatan buruk yang dipercaya disebabkan oleh roh-roh jahat.
Setelah ajaran Islam dianut secara utuh, upacara aseik diartikan sebagai sebuah upacara
yang dilakukan untuk memohon doa kepada Allah swt dan sekaligus meminta maaf
kepada nenek moyang.
Dari pengertian kedua ini tampak jelas adanya usaha memadukan tradisi lama
dengan ajaran Islam. Orang Kerinci meyakini apabila dilakukan dengan benar, upacara
aseik memberikan manfaat positif baik bagi pribadi maupun masyarakat, seperti
semangat kerja meningkat, tubuh segar dan sehat, jauh dari sifat-sifat buruk (prsangka,
dengki, dendam dll), berani menegakkan kebenaran, usaha pertanian dan perdagangan
lebih baik, dan terwujudnya masyarakat yang tentram dan makmur.
Berdasarkan keyakinan tersebut, orang Kerinci melaksanakan upacara aseik untuk tiga
4
tujuan. Pertama, untuk menolak segala musibah (tolak bala) yang mungkin menimpa
suatu desa. Kedua, untuk menyempurnakan proses pengobatan (pemati obat) bagi
orang-orang yang berobat kepada dukun kampung. Ketiga, sebagai bentuk rasa syukur
kepada Allah swt dan ucapan terima kasih kepada nenek moyang yang telah melindungi
anak cucunya dari gangguan roh jahat.
Setelah seluruh peserta selesai melempar bertih padi, dilanjutkan dengan tahap
mulang kejo yaitu penyerahan pelaksanaan upacara dari orang jadoi kepada imang yang
diwakili oleh imam nan empat. Pada tahap ini orang jadoi menyerahkan piring putih
berisi bungo radang tujuh kepada imam nan empat seraya berkata “wahai kayo, pada
hari ini kami menyerahkan pekerjaan yang tidak sanggup kami kerjakan sendiri,
6
menepati janji dan membayar nazar, Itulah tujuan kami, kayo lah yang mengurusnya.
Apabila ada yang kurang kami lengkapi, apabila ada yang salah kami perbaiki”. Apabila
sesajen dan segala kebutuhan upacara aseik sudah lengkap, maka dijawab oleh imam
nan empat “sepertinya tidak ada lagi yang kurang, semua telah lengkap, mari kita
kerjakan bersama-sama”.
Upacara aseik kemudian dilanjutkan dengan tahap memanggil roh nenek moyang
atau yang disebut dengan tahap mamanggai. Pemanggilan roh nenek moyang dilakukan
dengan cara menari dengan gerakan mengayunkan piring putih yang berisi air dan
bungo radang tujuh, sambil melantunkan tale yang berbunyi : “datanglah wahai nenek
moyang, untuk mengobati dan membersihkan jiwa cucu yang sakit, menambah rahmat
Tuhan yang maka kuasa, menerima segala nazar dan menjauhkan segala musibah yang
akan menimpa”.
Tahapan selanjutnya adalah marancah limou yaitu membuat ramuan dari empat
macam limau (jeruk), yang dilakukan oleh orang saleih dan imam nan empat. Jenis
jeruk yang biasa digunakan adalah jeruk purut, jeruk kunci, jeruk nipis dan jeruk prigi.
Keempat jeruk tersebut dipotong-potong kecil, kemudian dicampur dengan air. Air
limau tersebut dipergunakan untuk membersihkan benda-benda pusaka aseik atau yang
biasa disebut pedandang, yaitu peralatan upacara aseik yang dipergunakan orang jadoi
atau orang saleih pada zaman dahulu. Sambil marancah limou, imang dan seluruh
peserta tetap bertale yang menyebutkan nama-nama limou serta bagian-bagiannya.
Tahap selanjutnya adalah bacelak, yaitu menghiasi / menerangi “jalan” nenek moyang
menuju tempat upacara. Bacelak dilakukan dengan cara memercikkan air bungo radang
tujuh keempat penjuru pondok tempat upacara aseik. Sambil memercikkan air tersebut,
imang dan peserta upacara terus bertale memanggil roh nenek moyang. Sambil bertale
imang, imam nan empat, orang jadoi serta orang saleih yang perempuan mengambil
sekuntum bungo radang tujuh dan menyelipkan di sanggul mereka.
Setelah bacelak, imang, imam nan empat, orang jadoi dan orang saleih menari
mengelilingi sajen sambil menjunjung piring yang berisi bungo radang tujuh. Sambil
menari mereka terus bertale dengan syair tentang sejarah nenek moyang yang mereka
panggil. Pada tahapan ini biasanya roh nenek moyang telah datang ke tempat upacara,
ditandai dengan dicapainya tingkatan kekhusyuk’an tertinggi yang disebut dengan aseik.
Orang jadoi atau orang saleih yang mencapai aseik akan kehilangan kesadaran mereka
(mengalami trans) sehingga terlihat “hanyut” (sangat menikmati) dalam tarian dan tale
yang dilantunkan. Peserta yang memiliki kesalahan biasanya akan dirasuki roh nenek
moyang atau roh jahat dan bertingkah aneh seperti tersungkur dan mengalami kejang.
Imang kemudian bertanya kepada roh yang merasuki peserta, kesalahan apa yang telah
diperbuat oleh yang bersangkutan atau masyarakat desa secara umum. Roh tersebut,
dengan menggunakan jasad peserta yang dirasuki, menyampaikan semua kesalahan-
kesalahan yang telah dilakukan, sengaja ataupun tidak disengaja. Kesalahan yang biasa
disampaikan adalah pelanggaran aturan adat, dan tatakrama dalam pergaulan keluarga
dan masyarakat. Setelah menyebutkan semua kesalahan dan didengar oleh semua
hadirin, pawang mempersilahkan roh tersebut keluar dari tubuh peserta upacara aseik.
7
Tarian dan tale aseik terus berlangsung hingga tidak ada lagi orang jadoi dan orang
saleih yang kesurupan.
Setelah selesai menari aseik, pawang memukul-mukul orang jadoi dan orang
saleih dengan arai pinang. Hal ini dilakukan agar orang jadoi dan orang saleih benar-
benar terlepas dari gangguan roh jahat. Setelah itu pawang memilih beberapa orang
saleih untuk membawa sajen di dalam sako tinggai ke kuburan salah seorang nenek
moyang. Sajen tersebut diletakkan di dekat kuburan nenek moyang. Imang kemudian
membakar kemenyan, dan berdoa sejenak. Setelah doa selesai, maka selesai pula
pelaksanaan upacara aseik. Seluruh peserta upacara aseik kembali ke rumah masing-
masing dengan membawa lemang, nasi dan bungo radang tujuh. Nasi dan lemang
dimakan bersama keluarga, sedangkan bungo radang tujuh ditaburkan pada sudut rumah
secara diam-diam. Pada malam harinya, pawang dan orang saleih mengantarkan sako
tinggai ke hutan agar dimakan oleh dubalang, yaitu roh jahat yang berwujud hewan
buas. Pemberian makan ini bertujuan agar roh jahat tersebut tidak mengganggu
masyarakat yang pergi ke ladang atau ke hutan.
Perubahan Makna Upacara Aseik
Semua tindakan manusia sebagai mahkluk sosial sejatinya adalah sebuah simbol
atau rangkaian simbol yang mengandung makna tertentu, dan menjadi landasan
dilakukannya tindakan tersebut. Demikian juga dengan upacara aseik dalam masyarakat
Kerinci. Upacara aseik dilakukan karena bermakna bagi masyarakatnya. Bagi
masyarakat Kerinci upacara aseik merupakan sarana mencapain tujuan hidup setiap
manusia. Mereka memahami bahwa tujuan menjadi seorang manusia bukanlah
pencapaian kesempurnaan fisik, materi atau aspek kebendaan lainnya, melainkan
tercapainya kesempurnaan atau kesucian jiwa. Jiwa dalam konteks ini diartikan sebagai
sesuatu yang ada dalam tubuh manusia dan merupakan perpaduan utuh antara kalbu dan
fikiran.
Orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan jiwa akan terlihat dari
tingkahlakunya. Ia akan selalu berbuat kebaikan, penuh kasih sayang, tenggang rasa,
menghormati orang lain, selalu mematuhi norma yang berlaku dalam masyarakat dan
menjadi teladan bagi masyarakat. Selain itu, sempurnanya jiwa seseorang akan
berdampak positif bagi fisik yang sehat dan semangat kerja yang tinggi.
Menjadi manusia sejati yang sempurna tidak dapat dicapai begitu saja, tetapi harus
melalui berbagai tahap dalam kehidupan. Untuk mencapai kesempurnaan jiwa
diperlukan suatu mekanisme pembersihan yang dilakukan secara berkesinambungan,
karena pada dasarnya setiap manusia adalah mahkluk yang rentan terhadap godaan
setan dan gangguan roh jahat yang menyebabkan jiwa manusia menjadi kotor atau tidak
sempurna. Jiwa yang kotor menyebabkan datangnya azab dari Tuhan dan kemarahan
dari nenek moyang. Jiwa yang kotor tampak dari berbagai perilaku yang melanggar
adat, sifat malas, sangat mudah terpancing dalam konflik, selalu dalam keresahan,
mendapatkan penyakit berat dan kehidupan menjadi serba sulit.
Oleh karena itu, diperlukan upacara aseik untuk memohon ampunan kepada
Tuhan dan meminta maaf serta pertolongan kepada nenek moyang sehingga jiwa
8
manusia kembali bersih. Upacara aseik dijadikan sebagai media pembersihan jiwa
karena melalui upacara aseik kesalahan dapat diungkap dan kebenaran dapat ditemukan.
Dengan kata lain, melalui upacara aseik manusia dapat menghapus kotoran jiwanya
dengan mengakui kesalahan yang telah dilakukan dan berjanji tidak akan
mengulanginya. Makin sering seseorang melaksanakan upacara aseik, semakin dekat ia
dengan kesempurnaan jiwa.
Manusia yang berhasil mencapai kesempurnaan jiwa akan selalu abadi, dalam
pengertian bahwa setiap manusia pasti mengalami kematian, tetapi manusia yang
mencapai kesucian jiwa diyakini terus berhubungan dengan anak cucunya sebagai
pelindung dan untuk membersihkan jiwa anak cucu yang masih hidup di alam dunia.
Pada hari kiamat roh setiap manusia akan mendapatkan tempat sesuai dengan amalan
perbuatannya selama hidup di dunia. Manusia yang telah mencapai kesempurnaan jiwa,
diyakini akan menikmati keabadian surga. Sebaliknya, seorang manusia yang jiwanya
kotor akan menderita di dalam neraka.
Sejak sekitar tahun 1990-an, mulai terjadi perubahan pemaknaan terhadap upacara
aseik. Upacara aseik tidak lagi dimaknai sebagai suatu sarana pembersihan jiwa dan
jalan mencapai kesempurnaan jiwa. Upacara aseik lebih dimaknai sebagai suatu bukti
ketidak pahaman terhadap ajaran Islam. Upacara aseik dimaknai sebagai suatu
perbuatan yang menodai keislaman orang Kerinci, karena dianggap memberikan
penyembahan kepada mahkluk gaib, entah itu roh nenek moyang atau roh-roh jahat.
Perubahan makna tersebut didorong oleh usaha pemurnian ajaran Islam yang dilakukan
para ulama di Kerinci. Selain itu, sebagian masyarakat memaknai upacara aseik sebagai
suatu tradisi pengobatan belaka, yang sangat sulit diuji kebenarannya. Dengan
terjadinya perubahan makna, maka upacara aseik sebagai simbol yang membawa makna
awalnya, menjadi sulit dipertahankan. Upacara aseik dapat terus bertahan dan bahkan
semakin berkembang apabila upacara aseik diberikan makna baru yang tidak
bertentangan dengan nilai agama dan budaya masyarakat Kerinci.
METODE
Pembahasan ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi literatur.
Teknik pengambilan data dengan cara mengkaji berbagai sumber literatur yang berasal
dari berbagai dokumen. Gunawan (2013:175) mencatat bahwa sifat utama data
dokumen ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada
peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. Secara detail
bahan dokumenter terbagi beberapa macam, yaitu otobiografi, surat-surat pribadi, buku,
catatan harian, memorial kliping, dokumen pemerintah atau swasta, data di server,
flasdisk, dan website. Penulis mengumpulkan sumber literatur dalam bentuk dokumen,
baik dari buku, jurnal, hasil seminar, dan diskusi dengan ahli yang relevan dengan
penelitian. Setelah data terkumpul maka dilakukan analisis data. Pembahasan yang
dilakukan terhadap informasi yang berasal dari dokumentasi baik dalam bentuk tulisan,
rekaman, dan gambar, biasa dikenal dengan penelitian analisis isi (Arikunto, 2013: 24).
Penulis menggunakan teknik analisis isi, yakni dengan cara menginterpretasi data,
menambahkan penjelasan, dan penarikan kesimpulan.
9
TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Berawal dari Siti Haris atau sering dipanggil nduk siarni (penemu tarian asik
mahligai kaco) merasakan demam dan beberapa hari sudah mencari obat kesana kemari.
Bertepatan dengan hal tersebut, Siti Haris atau nduk siarni mendapatkan wangsit (pesan
gaib) dari nenek moyangnya yang disampaikan melalui mimpi ketika beliau sedang
tidur siang sendirian dirumah.
Dalam mimpi tersebut diceritakan ada seorang sosok laki-laki yang mengetuk
pintu rumahnya kemudian datang menghampiri beliau dengan membawa kain yang
sudah lusuh di gantungkan pada bahu sebelah kiri yang berisikan beling kaca (nyandang
kain jaek, baiisi pcah kaco) dalam bahasa Siulak Mukai. Melihat hal itu Siti Haris atau
nduk siarni merasa ketakutan dan cemas, karena kenapa ada orang yang tiba-tiba datang
kerumah membawa beling kaca.
Kemudian, sosok laki-laki tersebut membentangkan kain yang berisi beling kaca
dihadapan nduk sirani dan beliau langsung berjalan mengelilingi beling kaca yang
berserakan sebanyak tiga kali putaran. Siti Haris atau nduk siarni semakin ketakutan dan
cemas melihat hal tersebut karena keluarga beliau tidak satupun yang berada dirumah.
Selanjutnya, sosok laki-laki itu meminta kepada nduk siarni mempraktekkan hal yang
sama.
Nduk siarni diperintahkan untuk menari di atas beling kaca dan beliau pun merasa
ketakutan serta sempat menolak perintah dari sosok laki-laki tersebut, hingga pada
akhirnya nduk siarni pun memberanikan diri untuk mencoba mengelilingi dan menari di
atas beling kaca sebanyak tiga kali putaran. Anehnya, nduk siarni tidak merasakan sakit
sedikitpun dan tidak pula mengalami luka pada bagian telapak kaki.
Pada saat terbangun dari mimpi, beliau langsung sontak dan mengatakan kepada
sang suami agar pecahan beling kaca segera dikumpulkan sebanyak mungkin. Sang
suami sempat menanyakan untuk apa beling kaca tersebut kepada kepada Siti Haris atau
nduk siarni, akan tetapi dengan cepat nduk siarni menjawab dengan alasan yang tidak
jelas. Pada intinya beliau ingin sekali memiliki beling kaca tersebut. Mendengar
jawaban dari sang istri, kemudian beliau langsung bergegas untuk mencari dan
mengumpulkan beling kaca.
Setelah beling kaca tersebut terkumpul, lalu dibersihkan atau dicuci kemudian
dijemur. Disamping itu, nduk siarni langsung menyiapkan sesajian seperti mangkuk
cinano (mangkok berisikan bunga cina), mangkuk limau (mangkok berisikan jeruk
purut), cawan dingan breh kunyit (cangkir berisikan beras yang diberi kunyit),
menyiapkan api kemenyan, api kemenyan ini wajib ada dalam setiap melakukan
persembahan atau ritual yang berguna untuk mengasapi alat-alat sesajian.
Kemudian, sesajian tidak sempurna apabila tidak menyiapkan ikat. Ikat adalah
salah satu syarat untuk melengkapi sesajian. Ikat berisi breh scupak tigo nggam (beras
satu kaleng susu kecil ditambah tiga genggaman). Beras tiga genggam memiliki makna
bahwa yang sebagai pemangku adat atau memberikan ajun arah kepada masyarakat
Kerinci, terkhusus pada masyarakat Siulak Mukai itu adalah depati, ninik mamak dan
10
teganai yang disebut dengan sko tigo takah. Orang-orang yang tergabung dalam sko tigo
takah ini masih sangat di agungkan atau di hormati oleh masyarakat.
Selain breh scupak tigo nggam, Sihih (sirih), pinang, canggan (tempat meletakkan
sirih dan pinang) dan cincin dingan sibentuk (satu buah cincin, cincin ini terbuat dari
bahan tembaga dan kuningan), kapeh dingan burambu (kapas yang berambu), bnang
dingan spuluh (sepuluh lilitan benang) juga tergabung dalam ikat yang dimasukkan
dalam bakun (bakul).
Selanjutnya, beliau menyiapkan kain 4 warna yang memiliki makna. Kain hitam
pengganti rambut, kain kuning pengganti urat, kain merah pengganti darah, dan kain
putih pengganti otak. Tarian asik mahligai kaco ini sifatnya berbahaya dan hanya penari
nya saja yang bisa menarikan. Oleh karena itu, Filosofi dari kain 4 warna ini adalah
bahwa seluruh penari atau pun pemusik dalam tarian ini sudah menyerahkan pengganti
dari otak, rambut, urat dan darah nya.
Setelah menyiapkan sesajian, selanjutnya beliau membaca mantra untuk
menghadap serta meminta petunjuk arahan dari roh-roh nenek moyang (menghadap
luwen atau masdie). Mantra atau kalimat yang dibacakan oleh nduk siarni berbunyi
sebagai berikut :
"Jangan rusak jangan binaso, jangan lilut jangan sumbing, go yo pngaja kayo ini,
ka laut kito barenang, kabukit kito mak tibo kak gunong, pngaja kayo mbuh aku nuhun"
Dalam bahasa Indonesia artian dari mantra tersebut adalah jangan rusak jangan
binasa, jangan robek jangan sumbing, ke laut kita berenang, ke bukit biar sampai ke
gunung, kalau benar hal tersebut merupakan ajaran dari nenek moyang nya atau orang
gaib, beliau mau menurutinya, kalimat ini merupakan sarana komunikasi nduk siarni
terhadap nenek moyangnya yang bertujuan apabila beliau menarikan tarian asik
mahligai kaco supaya tidak terjadi cidera dan memohon perlindungan serta mau
mengikuti ajaran dan petunjuk dari nenek moyangnya.
Setelah meminta petunjuk, beliau membentangkan tikar pandan yang mana tikar
pandan ini dianyam langsung oleh nduk siarni dari tanaman pandan dan beliau
menyerakkan beling kaca, lalu beliau menari diatas beling kaca, berputar di atas sirigi
atau bambu runcing dan menancapkan keris di bagian perut dengan kondisi tidak
sadarkan diri. Orang-orang yang ada disekitar ketakutan dan bergegas untuk
meninggalkan rumah beliau akibat dari melihat aksi atau tingkah nduk siarni.
Dalam rentangan tahun 2001-2002 yang ketika itu Kabupaten Kerinci dipimpin
oleh Letkol Czi (Purn.) H. Fauzi Siin sebagai bupati dan Drs. H. Zulkifli Nurdin, M.B.A
sebagai gubernur, tarian asik mahligai kaco diundang ke beberapa tempat diantaranya
adalah Malaysia, Bali dan Jakarta. Pada saat Kabupaten Kerinci menyelenggarakan
suatu acara dan di hadiri oleh beberapa pejabat yang berasal dari luar negeri, seperti
Malaysia.
Kemudian, pejabat dari Malaysia tersebut sontak mendengar cerita bahwa di
Kabupaten Kerinci ada seorang wanita paruh baya yang bisa menari di atas beling kaca
tanpa luka atau tidak merasa kesakitan sedikit pun. Kemudian, beliau tertarik dan
penasaran apakah benar cerita tersebut, sehingga beliau mengundang tarian asik
11
mahligai kaco ini ke Malaysia. Selanjutnya, dalam selang waktu yang tidak lama tarian
ini pun diundang lagi ke Bali dan Jakarta.
Hal tersebut tidak lepas dari campur tangan pemerintah yang membantu
mensosialisasi dan mempromosikan tari asik mahligai kaco ke berbagai daerah maupun
keluar negeri. Sajundai (wawancara, 19 Juni 2012) dalam Eke Pebrianti (2013),
mengatakan bahwa salah satu campur tangan Pemerintah dalam membantu yaitu terlihat
dari banyaknya bantuan Pemerintah melalui Dinas Pariwisata dari segi membudayakan,
mensosialisasikan dan mempromosikan tari asik Mahligai kaco di dalam dan luar
daerah Kerinci, baik ke luar propinsi maupun keluar negeri, yaitu pada even budaya
nasional maupun internasional.
Terbukti tari asik Mahligai kaco pernah diundang oleh Pemerintah Kota Bali
untuk tampil di Denpasar, bahkan kota lain seperti Bogor, Surabaya, Kalimantan,
Sulawesi dan Jakarta, dan bahkan pernah tampil di Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Selain itu juga, Dinas Pariwisata Kabupaten Kerinci membantu kelompok tari asik
mahligai kaco untuk pembelian busana dan perlengkapan tari asik Mahligai kaco.
Tari asik mahligai kaco beranggotakan 6 orang, 3 dari kaum laki-laki (pak siarni,
bahtiar atau pak ipi, dan suami au salih) dan 3 dari kaum perempuan (siti haris atau
nduk siarni, nurbaiti atau nduk ipi, dan raji atau au salih). Dan kebetulan anggota atau
personil dari tari asik Mahligai kaco sepasang suami istri. Kaum laki-laki sebagai
pemain musik dan kaum perempuan sebagai penari.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi dan membuat irama dalam tarian
asik mahligai kaco yakni berupa dap atau rebana (sejenis gendang yang terbuat dari
kayu yang di kedua penampangnya sama besar), suling (seruling), gong (terbuat dari
lempengan-lempengan logam) dan lain sebagainya. Salah satu dari pemain musik dan
juga penari adalah Bahtiar (pemain musik) dan Siti Haris atau nduk siarni selaku penari
serta tukang nyaro.
Nyaro dalam bahasa Kerinci diartikan sebagai salah satu cara yang digunakan
untuk memanggil roh-roh nenek moyang agar datang dan masuk kedalam tubuh si
penari. Atau dengan kata lain Nyaro ini merupakan mantra yang berisikan pujian
terhadap arwah leluhur atau mantra yang digunakan untuk memanggil arwah leluhur.
Syair nyaro yang di lantunkan oleh siti haris atau nduk siarni dan bahtiar berbunyi
sebagai berikut:
"Aaiiiiiiiiii....Aeh guru kanti sijalan, aeh tuan kanti sidirin, belum jatuh
kusambutlah, maih aman maih kusambut, kusambut munjari aluh, kujawat dingan lidih
mipih. Dapat ari simalam ini, kito nak asik mamintak, mintak lamat pangaruh abu,
mintak lamat pangaruh umah"
Gerakan tari asik mahligai kaco tidak beraturan, hanya mengikuti irama musik
yang dimainkan oleh kaum laki-laki. Ketika irama musik seruling, rebana dan gong
ditabuh, maka hentakan kakipun mengikuti dengan gerakan nurani, tanpa perintah,
tanganpun melambai mengikuti gendang.
Kostum atau pakaian yang digunakan adalah pakaian adat daerah Kerinci yang
berwarna hitam dengan hiasan sulaman benang berwarna kuning pada dada. Sedangkan
12
untuk hiasan kepala menggunakan sungkun atau kuluk yang berwarna hitam dan dengan
manik-manik serta bunga sebagai penghias atau (turai) yang biasa disebut oleh
masyarakat Kerinci khususnya masyarakat Siulak Mukai.
Komponen dari turai diantara nya adalah bungo aut (semacam kayu pilihan yang
diraut, sehingga tampak mengembang. Tidak semua orang kerinci bisa membuat nya
dan tidak semua jenis kayu bisa dipakai untuk membuatnya), seruput, dan pabung yang
terbuat dari empulur batang tumbuhan yang bersembunyi. Para penari juga
menggunakan kain bawahan yang biasa disebut tehhap, kain yang digunakan adalah
kain songket.
Tentunya kostum yang digunakan memiliki makna simbolis tersendiri bagi tokoh-
tokoh dalam tarian asik mahligai kaco itu sendiri. Pertunjukkan tarian tari asik mahligai
kaco jarang di tampilkan pada acara-acara yang biasa seperti acara resepsi pernikahan
atau semacamnya karena sifat dari tarian ini sakral dan berbahaya.
Selepas dari tahun 2002 eksistensi dari tarian asik mahligai kaco berangsur pudar
yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain dikarenakan
personilnya banyak yang sudah meninggal dunia dan tidak ada lagi penggantinya.
DAFTAR RUJUKAN
Hafiful Hadi Sunliensyar. (2016). Ritual Asyeik Sebagai Akulturasi Antara Kebudayaan
Islam Dengan Kebudayaan Pra-Islam Suku Kerinci. Siddhayatra Vol. 21 (2) November
2016: 107-128.
Mahendra, Agustia (2020) Tari Niti Mahligai Kaco Masyarakat Siulak Kerinci Sebagai
Sumber Belajar Sejarah. S1 thesis, Universitas Jambi.
Ayu Messi Yeri. Eva Brammanti Putra Pelestari Kesenian Kerinci Niti Naik Mahligai
(2001-2014). Jurnal STKIP PGRI SUMBAR.
Eke Febrianti. (2013). Keberadaan Tari Asik Niti Naik Mahligai Di Desa Siulak Mukai
Kecamatan Siulak Kabupaten Kerinci. Jurnal Program Studi Pendidikan Sendratasik
FBS Universitas Negeri Padang.
Geertz Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan (terj). Yogyakarta : Kanisius. (Karya Asli
Diterbitkan Tahun 1974).
13