0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
409 tayangan15 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas makna ritual Larung Sesaji di Gunung Kelud, Kediri sebagai bentuk ketahanan budaya di era globalisasi.
2) Ritual Larung Sesaji dilakukan sebagai syukur atas panen melimpah dan untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan keberkahan.
3) Masyarakat Kediri melestarikan tradisi ini dan menjadikannya aset pariwisata untuk mel
Deskripsi Asli:
Makna tradisi Larung Sesaji di kawah gunung Kelud yang merupakan tradisi tahunan di gunung Kelud Kediri. Tradisi yang memiliki nilai magis dan sakral.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas makna ritual Larung Sesaji di Gunung Kelud, Kediri sebagai bentuk ketahanan budaya di era globalisasi.
2) Ritual Larung Sesaji dilakukan sebagai syukur atas panen melimpah dan untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan keberkahan.
3) Masyarakat Kediri melestarikan tradisi ini dan menjadikannya aset pariwisata untuk mel
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Dokumen tersebut membahas makna ritual Larung Sesaji di Gunung Kelud, Kediri sebagai bentuk ketahanan budaya di era globalisasi.
2) Ritual Larung Sesaji dilakukan sebagai syukur atas panen melimpah dan untuk memohon keselamatan, kesehatan, dan keberkahan.
3) Masyarakat Kediri melestarikan tradisi ini dan menjadikannya aset pariwisata untuk mel
S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya Email: nandaeka342@gmail.com Abstrak Penelitian ini berlokasi di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1.) mendeskripsikan makna Kelud Gunung Kelaji; 2.) Menjelaskan arti dari Kelurahan Gunung Sesaji yang digunakan sebagai daya tahan budaya di era globalisasi. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan fenomenologis. Temuan data dianalisis menggunakan teori fenomenologi oleh Alfred Schutz tentang bagaimana meme dan motif adalah karena motif orang-orang Kediri dalam melaksanakan ritual Larung Sesaji. Hasil penelitian ini dapat ditemukan bahwa masyarakat Kediri menafsirkan ritual-ritual Larung tentang persembahan yang dilakukan dalam adat Jawa sebagai tradisi tahunan sebagai bentuk penghormatan terhadap penguasa Gunung Kelud dan yang tidak boleh ditinggalkan. Tujuan dari ritual Larung Sesaji adalah untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan untuk menghormati para penguasa Gunung Kelud, yang diyakini berada di Gunung Kelud, raja Suro Ox. Mengenai ketahanan budaya, masyarakat Kediri telah mencoba melestarikan tradisi Larung Sesaji dan menjadikannya aset pariwisata untuk melindungi budaya lokal dari ancaman globalisasi budaya. Kata kunci: penawaran hambatan, ketahanan budaya, globalisasi. Abstract This research is located in Sugihwaras Village, Ngancar District, Kediri Regency. The purpose of this study is to: 1.) describe the meaning of the Kelud Gunung Kelaji; 2.) Describe the meaning of the Kelurahan Gunung Sesaji which is used as a cultural endurance in the era of globalization. The research method used is a qualitative and phenomenological approach. The findings of the data were analyzed using the phenomenology theory by Alfred Schutz about how memes and motives were due to the motives of the Kediri people in carrying out the Larung Sesaji ritual. The results of this study can be found that the Kediri people interpret the Larung rituals of offerings performed in Javanese customs as an annual tradition as a form of respect for the rulers of Mount Kelud and which should not be abandoned. The purpose of the Larung Sesaji ritual is to pray to God the Almighty and to honor the rulers of Mount Kelud, who is believed to be on Mount Kelud, king of the Suro Ox. Regarding cultural resilience, the Kediri people have tried to preserve the Larung Sesaji tradition and make it a tourism asset to safeguard local culture from the threat of cultural globalization. Keywords: Barrier offerings, cultural resilience, globalization.
PENDAHULUAN oleh sesepuh desa ketika mengawali kegiatan
Indonesia adalah negara dengan larung sesaji dan ketika melakukan “ujub” pada keanekaragaman budaya dan tradisi dari Sabang kegiatan inti larung Sesaji. Selain meminta sampai Merauke. Salah satunya seperti budaya keselamatan dan kesehatan, ritual larung Sesaji larung saji di gunung Kelud-Kediri. Masyarakat juga bertujuan agar masyarakat Kediri semuanya Kediri memiliki kepercayaan terhadap Lembu sejahtera dan hasil panen selalu melimpah yang Suro sebagai simbol penguasa gunung Kelud direfleksikan melalui kegaiatan sedekah bumi yang telah ada sekaligus sebagai wujud dimana setiap kecamatan membawa tumpengan kepercayaan masyarakat. Kepercayaan tersebut atau sedekah bumi yang diarak sampai ke diwujudkan dalam bentuk ritual tahunan yang puncak gunung kelud kemudian setelah disebut dengan tradisi Larung Sesaji. dilakukan pemanjatan doa-doa oleh sesepuh, Tradisi Larung Sesaji merupakan ritual masyarakat akan berebut berkah atau memakan masyarakat Kediri yang sudah dilakukan secara tumpengan secara bersama-sama. Masyarakat turun temurun. Larung sesaji adalah ritual Kediri memercayai apabila memakan hasil sedekah alam yang dilakukan untuk bersyukur sedekah bumi atau tumpengan akan atas segala nikmat-Nya. Selain itu, sebagai mendapatkan berkahnya. bentuk rasa syukur terhadap kesejahteraan Larung Sesaji merupakan ritual yang berupa hasil bumi berupa hasil panen. Asal - mengandung pesan-pesan moral yang usul tradisi Larung Sesaji, merupakan tradisi dilambangkan dalam simbol-simbol didalam yang berkembang di dalam masyarakat sekitar tradisi prosesi Larung Sesaji dari awal hingga yang tinggal di kaki gunung Kelud. Sosialisasi proses akhir. Simbol-simbol yang terdapat penanaman nilai-nilai dalam ritual tradisi dalam ritual Larung Sesaji merupakan hal yang Larung Sesaji ini dilakukan oleh generasi unik dan sangat menarik untuk diteliti. pendahulu sejak dahulu kemudian diwariskan Larung Sesaji merupakan ritual simbolik melalui cerita dari generasi ke generasi yang syarat akan makna. Simbol-simbol yang selanjutnya. Tujuan dari ritual sesaji ini adalah terkandung di dalamnya perlu untuk diungkap untuk meminta keselamatan, kesehatan, dan agar dapat dipahami dan dapat dijadikan keberkahan lainnya kepada Tuhan Yang maha pedoman oleh masyarakat untuk menjalankan Esa agar masyaraklat Kediri khususnya norma-norma kolektif sebagai upaya untuk masyarakat yang tinggal di kaki gunung Kelud, meningkatkan solidaritas sosial. Karena dimana harapan-harapan tersebut direfleksikan solidaritas sosial yang kuat dapat memperkuat melalui doa-doa yang diujubkan dan dilantunkan ketahanan budaya dalam era globalisasi dalam menghadapi globalisasi budaya yang Larung Sesaji Gunung Kelud yang digunakan mengancam negara Indonesia. sebagai ketahanan budaya di era globalisasi. Ritual Larung Sesaji pernah dikaji dalam Manfaat penelitian yang diharapkan dalam berbagai fokus kajian, diantaranya kajian yang penelitian “Makna Larung Sesaji Gunung dilakukan oleh Annisaul dengan judul “Makna Kelud-Kediri Sebagai Ketahanan Budaya Di Era Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud”. Gobalisasi” adalah sebagai berikut : 1.) Secara Menggunakan metode kualitatif deskriptif dan teoritis, penelitian tersebut diharapkan dapat pendekatan semiotik. Hasil penelitian ini adalah menambah kajian tentang makna secara mendeskripsikan prosesi ritual Larung Sesaji subyektif yang digali dengan menggunakan dan mendeskripsikan symbol nonverbal terkait metode penelitian fenomenologi. 2.) Secara baju dan sesaji dalam ritual Larung Sesaji. praktis, penelitian ini diharapkan mampu Menyadari untuk memahami tradisi Larung menunjukkan kepada masyarakat luas tentang Sesaji secara mendalam secara subyektif oleh perlunya mempertahankan ritual larung sesaji pelaku ritual Larung Sesaji maka untuk sebagai salah satu bentuk upaya menjaga memperoleh kedalaman data dan memperoleh warisan budaya local. kedalaman dalam menganalisis hasil data yang telah ditemukan, peneliti menggunakan metode METODE PENELITIAN fenomenologi dalam melakukan pengambilan Sifat Penelitian data dan menggunakan teori fenomenologi oleh Penelitian ini bersifat penelitian Alfred Schutz dalam melakukan analisis data. kualitatif bertujuan untuk memperoleh gambaran Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan yang jelas mengenai makna secara subyektif maslah terkait “Makna Larung Sesaji Gunung oleh masyarakat tentang Larung Sesaji gunung Kelud-Kediri Sebagai Ketahanan Budaya Di Era Kelud, serta untuk mengetahui bagaimana Gobalisasi” sebagai berikut : 1.) Bagaimana respon masyarakat tentang Larung Sesaji makna Larung Sesaji Gunung Kelud Kediri ? gunung Kelud. Metode penelitian yang 2.) Bagaimana makna Larung Sesaji Gunung digunakan adalah metode fenomenologi dengan Kelud sebagai ketahanan budaya di era tujuan untuk mendeskripsikan makna tradisi globalisasi ? Larung Sesaji gunung Kelud dan latar belakang Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam kepercayaan masyarakat secara magis dan penelitian “Makna Larung Sesaji Gunung spiritual yang kompleks dari wawancara secara Kelud-Kediri Sebagai Ketahanan Budaya Di Era mendalam dengan subyek penelitian dan Gobalisasi” adalah sebagai berikut : 1.) Untuk informan terkait tradisi Larung Sesaji gunung mendeskripsikan makna Larung Sesaji Gunung Kelud. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk Kelud, 2.) Untuk mendeskripsikan makna menggambarkan bagaimana makna subyek tentang Larung Sesaji gunung Kelud serta untuk mendapatkan data primer yang diperlukan dan mendeskripsikan proses tradisi Larung Sesaji untuk memahami makna subyektif masyarakat gunung Kelud. tentang Larung Sesaji gunung Kelud. Hal Lokasi dan Waktu Penelitian tersebut meliputi bagaimana makna secara Penelitian mengenai ritual Larung Sesaji subyektif masyarakat kecamatan Ngancar Gunung Kelud dilakukan di desa Ngancar yang tentang Larung Sesaji gunung Kelud dan ada di Kecamatan Ngancar. Desa ini dipilih bagaimana respon masyarakat terkait Larung sebagai lokasi penelitian karena ritual tersebut Sesaji gunung Kelud. dilakukan oleh tiga desa di Kecamatan Ngancar. Secara garis besar, pengumpulan data Peneliti mengambil salah satu desa tersebut pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara, sebagai lokasi penelitian karena pada saat itu yaitu penggalian data primer dan data sekunder. sedang dilakukan tradisi Larung Sesaji dan Penggalian data primer dilakukan dengan dua kebetulan proses wawancara dengan subyek cara. Pertama, melalui observasi partisipatif. penelitian berada di wilayah desa tersebut. Dimana dalam melakukan observasi partisipasi Penelitian ini dilakukan sejak perkuliahan ini peneliti melakukan pengamatan dengan cara minggu ke-tiga sampai perkuliahan minggu ke- peneliti ikut ambil bagian dalam kegiatan tujuh dari awal persiapan penelitian, menyusun tradisis Larung Sesaji gunung Kelud, dengan bahan sebagai instrument penelitian, terjun ke mengamati dan berpartisipasi secara langsung lapangan, hingga melakukan analisis data. dalam kegiatan selama rangkaian ritual Larung Subyek Penelitian Sesaji dari awal kegiatan ritual hingga Subyek penelitian dalam penelitian ini berakhirnya pelaksanaan ritual Larung Sesaji. adalah tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pelaku Selama proses observasi partisipatif akan ritual Larung Sesaji yang ada di desa Ngancar didokumentasikan dalam bentuk video dan foto Kecamatan Ngancar Kabupaen Kediri Provinsi yang diambil oleh peneliti selama ritual Jawa Timur. Subyek dipilih karena sebagai berlangsung yang diambil menggunakan kamera informan kunci dan mengetahui secara handphone. mendalam tentang makna ritual Larung Sesaji. Kedua, in-depth interview (wawancara Selain itu subyek juga sebagai pelaku yang mendalam). Melalui teknik ini, terlebih dahulu terlibat secara langsung dalam ritual Larung melakukan getting in dengan berinteraksi Sesaji. bersama informan. Setelah getting in berhasil, Teknik Pengumpulan Data kemudian melakukan wawancara secara intensif Penelitian ini menggunakan pendekatan berdasarkan pedoman wawancara yang telah fenomenologi. Fenomenologi sebagai dirancang sebelumnya untuk mendapatkan data pendekatan metode penelitian untuk atau informasi tentang pemaknaan secara subyektif yang tekandung dalam ritual Larung penggalian data, untuk memudahkan peneliti Sesaji. Jenis pertanyaan yang terangkum dalam dalam menganalisis data, dan sumber-sumber pedoman wawancara adalah pertanyaan terbuka literature di atas memang berkaitan dengan agar informan dapat memberikan pertanyaan penelitian terkait “Makna Larung Sesaji dengan bebas dan terbuka selama masih dalam Gunung Kelud-Kediri Sebagai Ketahanan koridor pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya, Budaya di Era Globalisasi” segala informasi yang diperoleh di lapangan, Proses pencarian data juga dilakukan baik melalui proses pengamatan berpartisipasi dengan indept-interview untuk memahami maupun in-depth interview (wawancara makna subyektif masyarakat tentang Laraung mendalam) dicatat dalam bentuk transkrip Sesaji gunung Kelud. Dan untuk mengetahui wawancara. Catatan dalam bentuk transkrip symbol-simbol yang terkandung dalam ritual wawancara kemudian diolah dalam bentuk field Larung Sesaji gunung Kelud seperti symbol note (catatan lapangan). Data yang diperoleh tumpengan, doa-doa, arak- arakan, sampai dari pengamatan berpartisipasi dan wawancara symbol yang terkandung dalam ritual Larung mendalam dijadikan sebagai bahan untuk Sesaji itu sendiri. memproduksi film dokumenter. Alasan menggunakan pendekatan Penggalian data sekunder dilakukan fenomenologi karena pendekatan ini dapat dengan penelusuran buku buku tentang digunakan untuk mengamati individu-individu kebudayaan, buku tentang teori fenomenologi, dalam lingkungan hidupnya saat berinteraksi serta artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam dengan individu lainnya, mencoba untuk jurnal ilmiah yang berkaitan dengan memahami habitus yang akan dijadikan permasalahan yang diteliti, seperti “Makna penelitian dan berusaha untuk mendekati serta Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung Kelud” berinteraksi dengan individu yang berhubungan oleh Annisaul Dzikrun Ni Mah, dimana dengan focus penelitian dan tujuan penelitian. penelitian ini dilakukan di Desa Sugihwaras, Penggunaan pendekatan fenomenologi penting Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri. di penelitian ini untuk memahami makna ritual Penelitian lainnya yang dilakukan sebelumnya Larung Sesaji yang dipahami berdasarkan motif adalah “Potensi Gunung Kelud Sebagai Daya ‘karena’ dan motif ‘agar’ masyakat dalam TarikWisata Kabupaten Kediri” oleh Iriyanto melaksanakan ritual Larung Sesaji di gunung Setyo Buqori dalam jurnal diglib.uns.ac.id. Kelud-Kediri. Penelitian dilakukan di desa ngancar Kecamatan Teknik Analisis Data Ngancar kabupaten Kediri, Jawa Timur. Peneliti Data yang telah dikumpulkan pada tahap mengambil data sekunder tersebut dikarenakan penggalian data primer dan data sekunder untuk menunjang kelengkapan data dalam kemudian tahap selanjutnya adalah analisis data menggunakan metode analisis fenomenologi, keinginan untuk diwujudkan di masa mendatang yaitu melakukan pemahaman simbolik terhadap melalui tindakannya. Motif ‘agar’ masyarakat data yang terkumpul. Pendekatan ini adalah Kediri mengikuti tradisi tahunan Larung Sesaji suatu metode yang digunakan untuk adalah untuk menyampaikan doa-doa kepada menganalisa masalah atau peristiwa yang benar- Tuhan Yang Maha Esa dan untuk memberikan benar terjadi dalam masyarakat kecamatan penghormatan kepada makhluk lain yang Ngancar terkait bagaimana memaknai tradisi diyakini keberadaannya di dalam gunung Kelud. Larung Sesaji yang diselenggarakat setiap Because of motive (motif karena) adalah motif setahun sekali. yang mengacu pada peristiwa di masa lampau Teknik analisis data menggunakan yang menjadi sebab-sebab tindakan manusia. teknik analisis penelitian kualitatif dan Motif ‘karena’ adalah motif yang menjadi factor menggunakan metode analisis fenomenologi actor dalam melakukan tindakan berdasarkan dalam memahami makna ritual Larung Sesaji di pengalaman masa lampau. Motif ‘karena’ gunung Kelud-Kediri. Pada penelitian ini masyarakat Kediri dalam melaksanakan tradisi peneliti meninggalkan pengetahuan yang Larung Sesaji adalah karena tradisi tersebut dimiliki sebelumnya untuk memahami makna merupakan tradisi yang diyakini memiliki nilai secara subyektif masyarakat Kediri dalam spiritual dan nilai magis dalam setiap tahapan memaknai tradisi Larung Sesaji di gunung ritualnya. Tradisi ini tetap dilakukan karena latar Kelud. Pada penelitian ini peneliti belakang masyarakatnya adalah masyarakat mendeskripsikan hasil temuan data dengan apa yang tinggal di Kediri dan sangat meyakini akan adanya tanpa adanya manipulasi data, karena ciri keberadaan Lembu Suro dan Kili Suci yang penelitian fenomenologi adalah penelitian yang menjadi tokoh dalam ritual Larung Sesaji. apa adanya dan bersifat objektif. Pemaknaan tindakan dari Alfred Schutz ini Pemaknaan Larung Sesaji yang digali adalah tentang pemaknaan yang ingin dicapai melalui pendekatan fenomenologi dalam atau disebut sebagai in order to motive. perspektif Alfred Schutz adalah pemaknaan berdasarkan motif-motif yang dimiliki oleh HASIL DAN PEMBAHASAN subyek penelitian. Motif-motif yang Penelitian Terdahulu melatarbelakangi pembangunan makna ini Penelitian terdahulu terkait Larung terbagi menjadi dua motif yaitu in order to Sesaji gunung Kelud, diantaranya tentang motive (motif agar) dan because of motive (motif “Makna Simbolik Ritual Sesaji Anak Gunung karena). In order to motive (motif agar) adalah Kelud” oleh Annisaul, dkk (2018). Penelitian ini motif yang mengacu pada keadaan manusia di mendeskripsikan tentang pelaksanaan prosesi masa mendatang. Dimana subyek memiliki ritual Larung Sesaji di anak gunung kelud, makna simbolik pada sesaji, makna pakaian bencana tidak ada korban. Upacara tersebut juga yang dikenakan sesepuh, para pini sesepuh, dan wujud syukur atas berkah dari hasil panen yang para pengurus desa yang berupa pakaian memuaskan karena mata pencaharian terbesar berwarna hitam lengkap dengan asesoring dari desa Sugihwaras adalah sebagai petani. penutup kepala. Dapat disimpulkan bahwa Selain itu ritual sacral sebagai bentuk terima pelaksanaan ritual Larung Sesaji memerlukan kasih kepada desa sebgai penguasa, dan juga perhitungan dan perenungan. Unsur-unsur sebagi wujud penghormatan kepada penguasa didalamnya merupakan kesatuan yang tidak gunung kelud. Tradisi Larung Sesaji sebagai dapat dipisahkan. Keunikan ritual Larung Sesaji pelestarian budaya local yang memiliki nilai- tersebut sarat akan makna dan sarat akan hal-hal nillai spiritual dan magis, dan tradisi Larung yang bersifat magis dan sakral. Sesaji merupakan asset pariwisata sehingga Ubo rampen sesaji merupakan wujud dapat meningkatkan perekonian masyarakat penghormatan kepada penghuni gunung kelud sekitar. yaitu Lembu Suro yang diyakini sebagai Ritual Tradisi Larung Sesaji Gunung Kelud penunggu gunung tersebut. Susunan sesaji Tradisi ritual secara adat Jawa Larung memiliki makna simbolik yang memiliki makna Sesaji dalam pelaksanaannya dilakukan setiap sacral sehinggga tidak boleh ada komponen setahun sekali pada bulan Syuro. Pada tahun ini yang tertinggal dalam pelaksanaan ritual ritual Larung Sesaji dilaksanakan pada hari tersebut. Ritual sedekah bumi hingga Larung Minggu, 16 September 2018 dimana jika dalam Sesaji merupakan bentuk rasa syukur tanggalan jawa masuk pada hitungan Minggu masyarakat Kediri kepada Allah SWT atas wage, 5 Suro. nikmat dari kelimpahan hasil alam yang Tradisi Larung Sesaji selain bertujuan dirasakan oleh masyarakat Kediri dari hasil untuk meminta keselamatan dan untuk hasil panen yang melimpah. panen yang melimpah, tradisi yang dilakukan Penelitian “Function and Values of secara turun temurun ini merupakan wujud Ritual “Larung Sesaji” In The Community Of penghargaan masyarakat Kediri kepada Arround kelud Mountain” oleh Anam,dkk penghuni gunung Kelud yang bernama Lembu (2017). Penelitian ini mendeskripsikan ritual Suro. Masyarakat Kediri meyakini akan adanya tradisional Larung Sesaji merupakan ritual Lembu Suro sebagai penunggu gunung Kelud tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dan dewi Kilisuci dibagian lain di gunung Kelud Kediri bertujuan untuk memanjatkan doa-doa tersebut.Kepercayaan masyarakat Kediri atau harapan-harapan kepada Allah SWT agar terhadap mitos-mitos bahwa letusan gunung warga desa Sugihwaras dan desa-desa sekitarnya kelud merupakan bentuk kemarahan dari Lembu diberikan keselamatan, untuk misalnya terjadi Suro, maka agar tidak menimbulkan bencana besar atau korban ketika terjadinya gunung gadis Kediri yang masih perawan. Ratu Kilisuci meletus, maka masyrakat Kediri rutin dalam pemberangkatannya pun terdapat symbol- melaksanakan ritual Larung Sesaji setiap tahun simbol di dalamnya, yaitu menaiki kereta sekali. kencana yang diperanggul oleh sejumlah orang Ritual Larung Sesaji dilaksanakan pada laki-laki yang mengenakan pakaian serba hita. pukul 07:00 sampai selesai. Berlokasi di lokasi Hanya yang memakai pakaian serba hitam yang gunung kelud. Prosesi ritual Larung Sesaji memiliki kewajiban membawa kereta kencana dilakukan secara adat jawa, berikut rangkaian ratu Kilisuci. Dibagian belakang kereta kencana acara tersebut: 1.) Diawali dengan terdapat barisan para dayang-dayang dan prajurit pemberangkatan masyarakat Kediri menuju yang mengiringi ratu Kilisuci. Dimana para lokasi ritual yang diawali oleh Ratu Kilisuci dayang-dayang, prajurit, dan pangeran panji yang diperankan oleh gadis Kediri dan Pangeran mengenakan pakaian adat Jawa lengkap dengan Panji yang diperankan oleh pemuda Kediri asesorisnya. besera para dayang-dayang dan para Prosesi kedua, serah terima sesaji. pendamping pangeran sebagai cucuk lampah Prosesi ketiga, arak-arakan sesaji dan serta pembawa sesaji, terlihat pada gambar di tumpengan beserta sedekah bumi menuju bawah ini yang diambil pada prosesi awal gunung kelud, yang diikuti oleh masyarakat pemberangkatan Ratu Kilisuci menuju puncak Kediri dan khususnya masyarakat Ngancar. gunung Kelud: Prosesi ke-empat adalah sesepuh melakukan doa-doa untuk “mengujubkan” tumpengan kemudian tumpeng berupa makanan dan hasil bumi dibagikan kepada masyarakat yang mengikuti prosesi tersebut. Doa-doa yang diucapkan oleh sesepuh dalam “mengujubkan” tumpengan tersebut adalah: “Djoto Suro, Lembu Suro, Maheso Suro, ugi ngapektheni pepunden ingkang manggen puniko plapan Kitunggo lulung, Mbok Foto Ratu Kilisuci. Sumber: eksplorengancar. Ratu Emas, Ki Buto Lusono, Den Bagus, sedoyo Didapat dari web internet (42004097_1867520290033515_4097864185860325 ingkang manggen ing panggen mriki dipun 376_n). apekteni kalian panjenengan bapak Lurah Dalam gambar tersebut dapat Sukami ugih masyarakat sedoyo saugeri, mboten dideskripsikan bahwa symbol ratu Kilisicu yang ketinggalan. Nyuwun sapatuhu kang wilujeng cantik jelita, dan masih muda diperankan oleh anggenipun mbeto ubo rampen cok bakal sak rangket. Mbonten wonten kirangipun bapak untuk melakukan kegiatan musyrik seperti Camat, bapak Kepala Desa, masyarakat mengagungkan gunung Kelud atau menyembah Njambon, dudo, rondo, soman, nyuwon gunung Kelud. Penyebutan beberapa tokoh di sapanggen kang wilujeng wonten dinten, wonten awal doa adalah bermakna sebagai ulan Suro meniko, minggu wage, semonto ugi penghormatan kepada pada leluhur yang masyarakat Sugih Waras, nyuwon ketentreman dipercaya mendiami gunung Kelud. ing puniko ngantuko rahayu masyarakat Prosesi kelima adalah pembakaran ubo Sugihwaras, anggenioun nyambut damel ngarso rampen sesaji di depan kawah gunung kelud ing sambong sedoyo, mbok bilih Kepala Desa oleh sesepuh dan orang-orang yang diijinkan wonten salah, nyueon pangapuranipun. mengikuti prosesi khusus Larung Sesaji. Prosesi Bismillaahirrohmaanirrohim, asyhadu allaa ini sangat sacral. Tidak boleh ada orang ilaaha illallah wa asyhadu anna sembarangan yang mengikuti ritual ini kecuali muhammaddarrosuulullah 2x, Allahumma diijinkan seperti (wartawan). Yang sayyida muhhammad wa ala aalihi ajma’in diperbolehkan mengikuti ritual ini hanya orang- alhamdulillahirobbil ‘alamiin. Onok rugi orang tertentu, dimana mereka yang dusongko ugi rogo gawe-gawe, masyarakat, pak mengenakan pakaian serba hitam. Camat, bapak Kepala Desa, onok rugi dusongko, Prosesi ritual yang ke-enam adalah kabeh tenogone gusti Allah, Laaa ilaha illallah Penyampaian sesaji. Penyampaian sesaji ini juga laaa ilaaha illallah. Masyarakat Rejomulyo, hanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki Sugihwaras, kang siro cedek Allah, tenogone wewenang, yaitu sesepuh yang dihormati. Allah, keno sukune Allah. Laaa ilaha illallah Prosesi tahapan ritual yang ke-tujuh laaa ilaaha illallah” adalah pembacaan doa oleh sesepuh di depan Makna dari doa-doa yang diucapkan kawah gunung kelud. Pembacaan doa ini hanya dalam bahasa Jawa dan bahasa Arab tersebut dilakukan oleh sesepuh yang dipercayai bermakna meminta kepada Allah SWT untuk diberikan wewenang, dihormati, dan disegani meminta keselamatan seluruh lapisan msyarakat oleh masyarakat Kediri sebagai juru kunci dari Kepala Desa, bapak Camat, masyarakat gunung Kelud. seluruh Kediri, masyarakay yang duda, janda, Tahapan yang ke-delapan adalah maupun belum menikah, dan meminta ampunan pelarungan sesaji di kawah gunung kelud oleh kepada Allah ketika manusia memiliki seseorang yang memiliki wewenang dalam kekeliruan dan banyak dosa. Doa-doa tersebut melarungkan sesaji setiap ritual Larung Sesaji di bermakna bahwa tujuan mereka melakukan gunung kelud (hasil wawancara dengan Bu tradisi tersebut yaitu untuk melakukan doa-doa Dinah Kepala Desa PandanTuyo pada 16 yang dipanjatkan kepada Allah SWT bukan September 2018). Makna simbolik terkait para tokoh yang merupakan symbol penghormatan kepada diwajibkan hadir dalam prosesi Larung Sesaji penguasa gunung Kelud bahwa penghormatan termasuk juga dalam prosesi sedekah bumi dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat adalah sesepuh, para pini sesepuh, para kepala Kediri termasuk orang di masa lalu seperti desa, tamu undangan perwakilan dari setiap Pangeran Panji dan Dewi Kilisuci yang hidup di kecamatan, dan masyarakat Kediri secara umum. jaman kerajaan. Terdapat symbol dimana akan kehadiran Dewi Maka dari itu prosesi doa-doa ketika Kilisuci yang diperankan oleh putri Kediri yang sedekah bumi yang berada di puncak gunung didampingi oleh dayang-dayangnya berjumlah Kelud harus menunggu kedatangan Pangeran sebelas perempuan cantik yang merupakan Panji dan Dewi Kilisuci dan rombongannya tiba warga asli Kediri yang mengenakan pakaian di lokasi tersebut. adat jawa lengkap dengan segala assesorisnya. Sebelum prosesi ritual pelarungan sesaji Kemudian terdapat kehadiran Pangeran Panji di kawah gunung kelud, terdapat kegaiatan yang diperankan oleh Pemuda warga Kediri sedekah bumi dimana setiap kecamatan yang didampingi oleh para prajurit berjumlah 10 membawa tumpengan atau sedekah bumi yang orang yang mengenakan pakaian adat Jawa diarak sampai ke puncak gunung kelud lengkap dengan assesoris kalung dari bunga kemudian setelah dilakukan pemanjatan doa-doa melati dan penutup kepala berupa mahkota yang oleh sesepuh, diikuti oleh pini sesepuh, para desain dan warnanya berbeda dengan desain dan perangkat desa, dan masyarakat Kediri, warna mahkota yang dikenakan oleh pangeran masyarakat akan berebut berkah atau memakan Panji. tumpengan secara bersama-sama. Masyarakat Dihadiri pula oleh sesepuh, pini Kediri memercayai apabila memakan hasil sesepuh, para kepala desa, dan tamu undangan sedekah bumi atau tumpengan akan perwakilan dari setiap kecamatan Kabupaten mendapatkan berkahnya. Kediri yang mengenakan pakaian serba hitam Pada saat masyarakat berebut hasil lengkap dengan assesoris penutup kepala dengan gunungan sedekah bumi yang dibagikan oleh motif batik. Pakaian serba hitam ini dimaknai pini sesepuh, terlihat seseorang yang membawa sebagai symbol penghormatan kepada penguasa air suci menyiramkan air suci dan menaburkan gunung Kelud yaitu Lembu Suro. beras kuning kepada kerumunan masyrakat yang Prosesi Larung Sesaji yang diwajibkan berebut berkah. Makna simbolik dari akan kehadiran Pangeran Panji, Dewi Kilisuci, penyiraman air suci dan beras kuning adalah Sesepuh, para Pini Sesepuh, pata tamu undangan agar masyarakat mendapatkan berkahnya setelah perwakilan dari setiap kecamatan Kabupaten dilakukan pemanjatan doa-doa oleh sesepuh. Kediri, dan masyarakat Kediri secara umum Prosesi yang memiliki makna simbolik gunung Kelud agar mudah untuk sampai kepada adalah pembakaran sesaji di depan kawah penguasa gunung Kelud. gunung kelud yang dilakukan oleh sesepuh dan Makna ritual Larung Sesaji diyakini para pendampingnya. Pembakaran ubo rampen masyarakat sebagai tradisi yang memiliki nilai- sesaji hanya boleh dilakukan oleh sesepuh atau nilai magis dan sacral sehingga setiap tahunnya juru kunci gunung kelud bernama Mbah Ronggo tidak boleh ditinggalkan. Masyarakat meyakini yang telah dipercaya secara turun temurun (N, tradisi tersebut dikarenakan tradisi tersebut telah D. Annisaul “Makna simbolik Ritual Larung diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu Sesaji Anak Gunung Kelud”). dan diyakinkan kepada penerusnya untuk tidak Setelah dilakukan pembakaran ubo ditinggalkan. rampen oleh sesepuh, maka sesepuh Koentjraningrat sebagai ahli kebudayaan membacakan doa-doa secara Islami. Prosesi ini Jawa mengemukakan bahwa sistem nilai-nilai bermakna menyampaikan dengan menyebut pada budaya sebagai bagian dari nilai-nilai adat nama Lembu Suro di awal pembacaan doa dimana merupakan wujud ideal dari kemudian sesepuh memanjatkan doa yang berisi kebudayaan, mempunyai kedudukan yang paling keselamatan warga sekitar beserta masyarakat tinggi dan paling abstrak. Nilai budaya adalah Kediri. Pembacaan doa secara Islami ini konsep-konsep terkait apa yang ada dalam alam bermakna bahwa masyarakat Kediri yang pikiran sebagian besar dari masyarakat terkait terlibat langsung dalam ritual Larung Sesaji suatu hal yang dianggap bernilai, berharga dan tetap mengetahui bahwa tujuan dari berdoa dianggap penting di dalam hidup manusia, adalah menyampaikan doa kepada Tuhan Yang sehingga hal itu menjadi acuan yang memberi Maha Esa, ritual Larung Sesaji di gunung Kelud pandangan atau tujuan dan berorientasi dalam hanya untuk sarana menghormati makhluk lain lingkungan social kehidupan masyarakat. yang diyakini keberadaannya di gunung Kelud Selanjutnya nilai-nilai dari kebudayaan itu tersebut. Sesaji yang disajikan bermakna untuk diwariskan secara turun-temurun melalui memberikan penghormatan kepada Lembu Suro sosialiasasi. yang diyakini sebagai makhluk halus penunggu Dalam hal ini sosialisasi tradisi Larung gunung Kelud (N, D. Annisaul, dkk “Makna Sesaji pertama kali diwariskan secara turun- simbolik Ritual Larung Sesaji Anak Gunung temurun yang dilakukan sejak dini sehingga Kelud”). Masyarakat Kediri meyakini bahwa tradisi tersebut menjadi kebiasaan dan sesaji yang di larungkan akan sampai kepada membudaya. Hingga pada akhirnya menjadi Lembu Suro dan akan dimakan olehnya. Maka budaya masyarakat sekitar dan menjadi aset dari itu penyampaian sesaji harus dilarungkan pariwisata. atau dialirkan atau ditenggelamkan di kawah Jika suatu kelompok-kelompok dari dikonsumsi secara mentah-mentah. Di sisi lain, individu atau seluruh masyarakat telah terjadi adaptasi budaya pada masyarakat sebagai didominasi oleh konsep ini, maka tradisi yang proses pembauran budaya yang menghasilkan dibangun berdasarkan kebiasaan dan budaya baru (Asha, dkk, 2017:5) kebudayaan mereka dipengaruhi oleh kebiasaan Ketahanan Budaya atau tradisi yang sudah lama ada dan tertata Senada dengan pendapat healey (2006 secara mapan sebagai struktur sosial yang dalam Asha, dkk, 2017:5-6) bahwa ketahanan diterima dengan mudah tanpa menimbulkan budaya adalah kapasitas dari komunitas atau persoalan, ini merupakan seperti yang terjadi sistem yang berbeda untuk menyerap gangguan dalam masyarakat Kediri khususnya kecamatan dan menata ulang sambil mengalami perubahan Ngancar mengenai ritual Larung Sesaji. Satu- sehingga dapat mempertahankan elemen kunci satunya pembenaran yang disampaikan oleh dari struktur dan identitas yang menjaga masyarakat Jawa dalam hal ini bahwa metode ini keunikannya. telah dilakukan oleh pendahulunya dan oleh para Ruslan (2015 dalam Asha, dkk, 2017: 6) leluhur mereka pada generasi sebelumnya. menyatakan bahwa terdapat empat ketahanan Demikian metode ini diwariskan pada generasi yang wajib dimiliki oleh anggota masyarakat berikutnya. dalam menghadapi pesatnya arus budaya asing Globalisasi Budaya yaitu: pertama, masyarakat memiliki Budaya akan terus berubah dikarenakan kemampuan untuk tetap menjaga sistem nilai- agen budaya yaitu manusia selalu berinteraksi nilai budaya yang berkembang di dalam dengan agen lai yang menyebabkan terjadinya masyarakat, karena budaya adalah refleksi dari perubahan termasuk dalam berubahnya budaya. tradisi tindakan dan perilaku mausia. Kedua, Globalisasi mempercepat interaksi manusia masyarakat memiliki kemampuan untuk dengan manusia lainnya sehingga beradaptasi dengan budaya dunia yang bersifat menyebabkkan mempercepat interaksi budaya dinamis. Ketiga, terdapat fungsi integrasi dari dan mendukung terjadinya transmisi nilai-nilai unsure-unsur di dalam masyarakat yang budaya yang berkembang di lingkungan social memiliki keanekaragaman yang dapat agen budaya. Dampak dari globalisasi budaya membangun solidaritas sehingga tercipta dalam hal homogenisasi dunia di bawah kesatuan di dalam masyarakat. Keempat, naungan Amerika atas budaya popular atau masyarakat diharuskan memiliki tujuan di dalam konsumerisme Barat atau Amerika. Namun masyarakat yang bersifat tujuan bersama yang meskipun ada pengaruh globalisasi budaya yang terus menerus mengalami perbaikan mengikuti signifikan dari budaya Amerika atau budaya perkembangan jaman dan mengikuti dinamika popular Barat, tidak selalu budaya akan kehidupan masyarakat. Terkait ketahanan budaya, masyarakat Sejarah Dan Budaya yang diikuti oleh anak-anak Kediri telah berupaya melestarikan tradisi SMA seluruh SMA di Kediri. Lokasi lawatan ini Larung Sesaji dan menjadikannya asset bertempat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pariwisata untuk menjaga budaya local dari Kabupaten Kediri. Anak-anak SMA ini ancaman globalisasi budaya. Penanaman rasa mendapatkan materi bagaimana caranya cinta kepada generasi muda mampu menjadikan menggali potensi daerah untuk diperkenalkan ke tradisi Larung Sesaji tetap eksis di era masyarakat luas, diberikan pembekalan globalisasi saat ini. Apabila makna Larung bagaimana menjadi duta pariwisata untuk Sesaji telah hilang atau sudah tidak dimaknai kepentingan pariwisata budaya Kediri dan secara spiritual dan secara magis dan memiliki diberikan materi menjadi presenter dalam nilai filosofis, maka tradisi Larung Sesaji akan memperkenalkan kebudayaan Kediri. Strategi ini kehilangan esensinya dan akan hilang pula sangata berperan dalam menggali potensi eksistensinya. Esensi inilah yang membuat budaya local di desa-desa yang ada di Kediri. tradisi Larung Sesaji tetap dilakukan setiap Strategi pemilihan duta pariwisata ini tahunnya karena masyarakat Kediri meyakini merupakan program tahunan yang dilakukan tradisi ini adalah tradisi waji tahunan yang harus masyarakat Kediri baik oleh generasi muda dan dilakukan. Apabila tidak dilakukan akan generasi lanjut dalam menjaga eksistensi tradisi menimbulkan bencana. Baik bencana berupa Larung Sesaji gunung Kelud yang dilakukan terancamnya keselamatan masyarakat Kediri setahun sekali. ketika terjadi letusan gunung Kelud dan hilangnya kesejahteraan petani pada masyarakat PENUTUP Kediri. Simpulan Strategi ketahanan budaya dalam Kesimpulan dari makna ritual Larung menjaga eksistensi keberadaan budaya Larung Sesaji gunung Kelud yang dimaknai secara Sesaji juga dilakukan oleh lembaga Dinas subyektif oleh masyarakat desa Sugihwaras, Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Kediri. Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri sebagai Bentuk strategi yang dilakukan adalah ritual tahunan yang dilakukan setahun sekali membentuk pemuda-pemudi atau disebut Raden setiah 5 Suro. Ritual larung sesaji di tahun 2018 Mas dan Raden Ayu Kediri. Strategi ini juga dilakukan pada hari Minggu, 16 September 2018 digunakan sebagai strategi menggait masyarakat atau apabila dilihat dari kalender Jawa jatuh lain untuk memajukan daerah melalui potensi pada hari Minggu wage 5 Suro. Tradisi Larung kebudayaan dan pariwisata daerah local. Sesaji adalah tradisi sacral yang dilakukan Pada tahun 2016 Dinas Kebudayaan dan dengan penuh pertimbangan dan perhitungan. Pariwisata menyelenggarakan kegiatan Lawatan Karena Larung Sesaji merupakan tradisi yang mengandung makna simbolik dan sarat akan DAFTAR PUSTAKA nilai-nilai magis dan spiritual. Ritzer, G. & G, J Douglas. 2008. Teori Makna ritual Larung Sesaji dalam Sosiologi. M, Ridwan I. Bantul: KREASI aspek ketahanan budaya, dapat digali dari WACANA. pemaknaan masyarakat Kediri dalam meyakini N, D. Annisaul.dkk. 2012. Makna Simbolik ritual Larung Sesaji sebagai warisan budaya Ritual Sesaji Ankan Gunung Kelud. kearifan local yang harus dilestarikan dan pada Malang:Jurnal Online Universitas negeri akhirnya menjadi aset pariwisata. Pewarisan Malang. (Online) (https://jurnal- budaya secara turun-temurun yang dilakukan online.um.ac.id/data/artikel/artikelB4A90046 sejak dini mampu menumbuhkan rasa cinta 34D3EBA57DBD272E95E2E181.pdf). kepada warisan budaya local tersebut. Ritual Diakses pada Sabtu, 6 Oktober 2018 pada Larung Sesaji merupakan serangkaian kegiatan pukul 21:00. yang sarat akan makna sehingga dalam H, M. Anam.dkk. 2017. Function and Values of pelaksanaannya tidak diperbolehkan terdapat Ritual “Larung Sesaji Kelud” in the suatu komponen yang tertinggal karena ritual Community of around Kelud Mountain. tersebut dianggap sacral oleh masyarakat Kediri. Bandung: Universitas Islam Bandung. Saran (Online) Peran pemuda Kediri dalam (https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/medi melestarikan warisan budaya local sangat ator/article/view/2744) Diakses pada 6 menentukan eksistensi dari budaya Larung Oktober 2018 pada pukul 21:00. Sesaji tersebut. Perlu digencarkan lagi pengenalan kepada public terkait pesona gunung Foto Putri Kediri Dalam Acara Larung Sesaji Kelud. Kepada masyarakat umum diharapkan Gunung Kelud 2018. Eksplorengancar. mau memahami ritual Larung Sesaji sebagai (Online) tradisi yang sarat akan makna magis dan (https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q= spiritual bukan hanya tradisi tahunan semata. &esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&ua Para generasi muda diharapkan mampu ct=8&ved=2ahUKEwiY3oDpz7HeAhWLo4 menyaring budaya popular dari Barat agar tidak 8KHaXYD7sQjRx6BAgBEAU&url=%2Furl mengikis budaya kearifan lokal yang sangat %3Fsa%3Di%26rct%3Dj%26q%3D%26esrc bernilai dalam keberagaman budaya Indonesia. %3Ds%26source%3Dimages%26cd%3D%2 6ved%3D2ahUKEwiY3oDpz7HeAhWLo48 KHaXYD7sQjRx6BAgBEAU%26url%3Dhtt ps%253A%252F%252Fdeskgram.net%252F explore%252Ftags%252Feksplorengancar%2 6psig%3DAOvVaw0WzI6uqsfxoeXipf86rLq Asha, dkk. 2017. Meretas Nilai Filosofis ritual E%26ust%3D1541107727858832&psig=AO Seblang Banyuwangi Sebagai Strategi vVaw0WzI6uqsfxoeXipf86rLqE&ust=15411 Cultural Resilence Menghadapi Globalisasi 07727858832) Diakses pada 11 November Budaya. Proposal Program Kreativitas 2018 pada pukul 4:33 WIB. Mahasiswa. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya.