Anda di halaman 1dari 12

Ainun Najmah Alhadid

(2)
XII MIPA 3

Teks Sejarah

Ainun Najmah Alhadid

Nama saya Ainun Najmah Alhadid, keluarga saya memanggil saya dengan
panggilan Najmah, tetapi orang lain lebih sering memanggil saya Ainun. Saya lahir di
Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam pada 24 November 2003, tetapi saya besar di
Bekasi dan Jakarta. Walaupun saya lahir di sana, sebenarnya saya bukan orang asli
Meulaboh. Orang tua saya, Muhammad Alhadid dan Susi Yanti, adalah orang asli
Payakumbuh, Sumatra Barat. Ayah saya sekarang bekerja sebagai pendakwah dan ibu
saya adalah ibu rumah tangga. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki bernama
Muhammad Haykal Alhadid yang usianya lebih tua 3 tahun dari saya dan seorang adik
laki-laki bernama Ismail Halim Alhadid yang berjarak 13 tahun dari saya.

Keluarga saya memang sering berpindah tempat tinggal sejak dulu. Setelah
kakak saya lahir di Kota Padang, Sumatra Barat, ayah saya mendapatkan pekerjaan
sebagai apoteker di salah satu apotek di Meulaboh, sebuah kota di Aceh yang berada di
daerah pesisir. Sehingga, satu keluarga pun langsung berpindah provinsi. Di kota itu,
ibu mengandung saya. Orang tua saya sering bercerita bahwa ibu saya mengandung
saya ketika keadaan kota kelahiran saya sedang cukup mencekam. Saat itu, tengah
diberlakukan masa Darurat Militer akibat ancaman serangan dari kelompok Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Kelompok separatis tersebut bisa kapan saja datang ke
lingkungan tempat tinggal kami untuk merekrut dan menghasut orang serta melakukan
kekerasan di sana. Mereka juga tidak menyukai adanya pendatang di Aceh. Jadi, jika
mereka menemukan orang yang bukan orang asli Aceh, seperti kami, tinggal di sana,
mereka akan mengusir orang tersebut, atau lebih parah lagi, membunuhnya. Ayah saya
harus ikut melakukan jaga malam setiap seminggu sekali. Beliau bercerita, kadang
orang dari militer ikut berjaga malam dengan masyarakat.

Saya lahir di hari Senin, 24 November 2003, tepatnya di pagi hari, sekitar jam
10.00 di rumah dengan dibantu seorang bidan. Ibu saya mengatakan bahwa orang
sekitar sana memang sudah biasa melakukan persalinan di rumah masing-masing.
Setelah saya lahir, kondisi belum membaik. GAM masih ada dan kami harus selalu
berjaga. Ibu saya bercerita bahwa kami bertiga: beliau, saya, dan kakak saya, yang
masih berusia 3 tahun ketiga saya lahir, kadang harus ditinggal di rumah tanpa adanya
laki-laki dewasa selama ayah saya melakukan jaga malam. Keadaan di rumah juga tidak
seratus persen aman karena rumah dikelilingi oleh kebun karet yang ditinggali kodok
dan biawak yang kadang terlihat menampakkan diri di depan rumah. Tetapi, kami selalu
berusaha menjaga satu sama lain.

Meskipun sempat tinggal di Meulaboh, saya tidak bisa mempelajari bahasa dan
budaya di sana. Lebih tepatnya, saya tidak memiliki kesempatan untuk mengenal kota
kelahiran saya sendiri. Hal itu disebabkan karena adanya bencana besar yang melanda
Aceh sebulan setelah ulang tahun pertama saya. Bencana besar yang membuat heboh
satu Indonesia, yang hingga kini masih dikenang di dalam benak masyarakat Indonesia
pada umumnya dan masyarakat Aceh pada khususnya.

Pada tanggal 26 November 2004, sekitar pukul 8 pagi, sebuah gempa 9,1 SR
melanda Aceh. Setelah gempa reda, ayah saya mengajak kami sekeluarga keluar dari
rumah untuk melihat keadaan sekitar. Kami melihat bangunan sekitar kami banyak
yang mengalami keretakan. Tidak lama kemudian, barulah orang-orang mulai berteriak
histeris. Mereka memberitahukan yang lain bahwa air laut mulai naik. Tanpa pikir
panjang, kami sekeluarga pun segera berlari menyelamatkan diri. Kami berusaha
mencari bangunan yang aman dan cukup tinggi untuk berlindung. Ketika itulah, kami
menemukan Gedung DPRD, kami pun masuk. Di lantai satu kantor DPRD tersebut,
seseorang menyarankan agar kami langsung naik ke lantai dua untuk berlindung.
Jadilah, diselimuti kegelapan karena listrik yang padam, lantai dua tersebut menjadi
tempat perlindungan kami selama tsunami mengamuk di luar.
Gambar 1. Kota Meulaboh yang luluh lantah

Kota kelahiran saya, Meulaboh, rusak parah akibat bencana gempa bumi dan
tsunami tersebut karena alasan yang jelas, kota tersebut berada tepat di pesisir. Sejak
saat itu, kami mulai berpindah menumpang tempat tinggal dari satu tempat ke tempat
yang lain, mulai dari rumah orang lain yang baik hati membiarkan kami menumpang,
hingga ke daerah pengungsian. Sesekali, ayah saya mengunjungi kembali rumah kami
yang sudah hancur lebur untuk menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan,
terutama dokumen-dokumen penting, seperti akte kelahiran. Tetapi, sebenarnya, ada
sisi baik dari terjadinya bencana tersebut. Akibat terjadinya bencana ini, GAM tidak
lagi menjadi ancaman bagi kami karena para anggota GAM sendiri sibuk
menyelamatkan keluarga mereka masing-masing.

Akibat bencana, kami terpaksa harus pulang ke kampung halaman kami di


Payakumbuh, Sumatra Barat, sebelum akhirnya pindah lagi ke Bekasi, Jawa Barat. Saya
menghabiskan masa kecil saya di kota tersebut. Meskipun di Bekasi pun kami sering
berpindah dari rumah ke rumah, bisa dikatakan masa kecil saya cukup bahagia. Saya
mulai masuk Taman Kanak-kanak ketika usia saya 5 tahun 8 bulan, tepatnya di Taman
Kanak-kanak Ainul Yaqien. Akibat saya yang lahir di akhir tahun 2003, saya termasuk
sedikit terlambat untuk masuk sekolah di tahun itu. Orang tua saya tidak pernah
memaksa saya untuk belajar membaca dan menulis. Sehingga, saya ingat bahwa saya
sedikit memiliki kesulitan di awal masuk TK. Tetapi, saya cepat mengatasinya dengan
belajar membaca lansung perkata, bukan dengan mengeja. Saya tidak mengalami
masalah seperti itu lagi setelahnya. Di TK, saya memiliki cukup banyak teman. Saya
menikmati pelajaran kerajinan tangan. Salah satu memori yang paling saya ingat ketika
TK adalah memori saya yang belajar membentuk plastisin. Saat itu, saya membentuk
plastisin membentuk bunga sederhana. Ibu guru saya ketika itu suka dengan apa yang
saya buat dan menempelkannya di papan tulis kelas. Ketika lulus dari TK, saya diberi
piala sebagai juara kelas di kelas saya saat itu, kelas B2 Marwah.

Gambar 2. Foto kelulusan TK

Setelahnya, saya langsung didaftarkan ke SDN Jatirasa III di usia saya yang ke-
6 tahun 8 bulan. Kebanyakan teman saya lebih muda dari saya. Mereka kebanyakan
lahir di tahun 2004. Di SD, saya menikmati bermain dengan teman-teman saya dan
mengikuti ekstrakulikuler pramuka. Di luar itu, saya sering memimpin senam setiap
seminggu sekali.
Gambar 3. Foto saat SD kelas 2

Gambar 4. Saya (paling rendah, di tengah) mengikuti ekstrakulikuler pramuka

Tetapi, bagian yang paling saya suka adalah mengikuti lomba-lomba. Lomba
pertama yang saya ikuti adalah Lomba Calistung se-Kecamatan Jatiasih di kelas 3 SD.
Meskipun sudah berusaha, saya tidak memenangkan lomba tersebut. Saya masih ingat
bahwa ketika saya pulang setelah mengikuti perlombaan, saya bermimpi bagaimana
indahnya kalau saya bisa memenangkan lomba suatu hari nanti.
Gambar 5. Saya dalam sebuah artikel di sebuah koran pendidikan

Impian itu menjadi kenyataan tidak lama setelah itu. Guru saya memutuskan
untuk mengirim saya berlomba di Lomba Pidato se-Kecamatan Jatiasih. Saya meraih
juara 1. Setelahnya, saya banyak diikutsertakan lomba-lomba lainnya, yaitu Lomba
Baca Puisi dan Lomba Siswa Berprestasi. Saya sering mengikuti Lomba Baca Puisi,
tetapi hanya satu yang berhasil menjadi juara 1 tingkat Kota Bekasi.
Gambar 6. Sertifikat Juara 1 Lomba Baca dan Cipta Puisi se-Kota Bekasi

Pada Lomba Baca Puisi se-Kota Bekasi tersebut, saya harus menulis puisi
sendiri sekaligus membacakannya. Sebenarnya, guru SD saya tidak pernah
memberitahukan pada saya bahwa saya harus membacakannya di tempat. Beliau hanya
bilang bahwa saya hanya perlu menulis. Alhasil, tanpa persiapan apa-apa, saya
membacakan puisi yang saya buat dengan judul “Bersatulah Negeriku” di depan tiga
juri, salah satu dari mereka adalah Kong Guntur Elmogas, seorang budayawan Bekasi
yang terkenal atas pemecahan rekornya membacakan pantun Betawi selama 12 jam
tanpa henti. Syukurlah, saya berhasil meraih juara 1 dan memiliki kesempatan untuk
berfoto dengan budayawan tersebut. Sayangnya, foto tersebut ada di HP lama saya yang
tidak bisa dipakai kembali.
Gambar 7. Saya (dalam gamis pink dan biru) dalam salah satu lomba pidato

Sedangkan di lomba yang lain, kebanyakan hanya meraih juara 1 dan 2 di


tingkat kecamatan. Kebanyakan dari lomba tersebut tidak diteruskan ke tingkat kota.
Sedangkan untuk Lomba Siswa Berprestasi, saya hanya pernah ikut sekali dan berhasil
meraih juara harapan 2 se-Kecamatan Jatiasih. Pada akhirnya, saya berhasil
mempersembahkan lima piala untuk SD saya.

Gambar 8. Adik saya yang baru lahir

Di tahun terakhir saya di SD, saya hanya tinggal berjuang untuk UN. Ketika itu,
ibu saya sedang hamil adik saya. Tetapi, beliau tetap ingin menemani saya belajar
hingga larut malam.

Pada tanggal 18 Juni 2016, saat saya masih libur setelah UN dan hanya tinggal
menunggu NEM, ibu saya melahirkan adik laki-laki saya, Ismail Halim Alhadid pada
jam 02.30 pagi. Saya tidak menyangka saya akan punya adik yang usianya berbeda 13
tahun dari saya. Meskipun begitu, saya menyayanginya dan berusaha melakukan apa
yang saya bisa untuk membantu ibu mengurus adik saya.

Setelah saya mendapatkan NEM, saya memutuskan untuk melanjutkan ke


SMPN 9 Kota Bekasi. Ketika itu, sudah ada sistem PPDB Online. Saya berhasil masuk
melalui jalur dalam kota dan bertarung dengan NEM yang saya miliki. Beberapa teman
saya dari SD masuk ke SMP yang sama. Tetapi, saya lebih akrab dengan teman-teman
baru. Tahun pertama SMP adalah masa yang cukup sulit. Saya mengalami
perundungan. Untungnya, tidak ada yang merundung saya secara fisik, hanya secara
verbal.

Gambar 9. Saya (orang ketiga dari kiri, barisan depan, yang paling rendah) mengikuti
PMR

Saya masih menikmati waktu saya di tahun itu. Saya ikut dalam kegiatan
ekstrakulikuler PMR dan ikut dalam study tour yang kadang-kadang diadakan sekolah.
Meskipun perundungan masih berlangsung, saya hanya berusaha menjauh dari
kelompok orang-orang yang sering menjahili saya.

Tetapi, perundungan itu mencapai puncaknya ketika beberapa orang di kelas


saya merobek kertas berisi jawaban dari soal-soal yang harus saya jawab ketika
kegiatan study tour yang sudah saya kumpulkan di lemari kelas. Ketika itu, sekolah
saya dilanda banjir dan hampir semua kertas murid basah. Guru saya mengarahkan
kami untuk mengambil kertas masing-masing dan mengeringkannya karena kertas
tersebut harus tetap dinilai. Ketika saya mencari kertas jawaban saya, saya tidak bisa
menemukannya, padahal teman-teman lain sudah menemukan milik mereka. Akhirnya,
setelah berjam-jam mencari saya terpaksa menyerah.

Ketika saya ingin pergi shalat setelah mencari kertas milik saya, saya melihat
kertas jawaban saya sudah ada di tempat sampah. Kertas tersebut sudah dirobek dua.
Robekannya cukup rapi dan kelihatannya tidak mungkin rusak karena banjir. Saya
melaporkan ke guru saya, tetapi tidak ada yang bisa beliau lakukan. Saya cukup yakin
ada yang merusak kertas itu dengan segaja, tetapi saya tidak punya bukti untuk
menuduh siapa-siapa. Untungnya, masalah itu selesai begitu saja karena guru kami
tidak jadi meminta kertas tersebut untuk dikumpulkan.

Perundungan tersebut mereda di kelas 2 dan akhirnya hilang di kelas 3. Di masa


SMP, saya meneruskan apa yang saya sukai di SD, berkarya dalam bidang sastra dan
berbicara di depan umum. Saya pernah ikut kegiatan literasi yang mengharuskan saya
membaca banyak buku dan me-review buku-buku tersebut. Saya masih terus membaca
puisi dan berpidato.

Gambar 10. Saya membaca pidato dalam Lomba Pidato Islam se-Provinsi Jawa Barat
Pengalaman lomba saya yang paling berkesan adalah ketika saya menjuarai
Lomba Pidato Islam se-Kota Bekasi. Saya pun berhak mewakili Kota Bekasi ke tingkat
provinsi. Saya pun pergi ke Kota Bandung bersama perwakilan dari cabang lomba lain.
Di sana, kami menginap di sebuah penginapan yang kecil, tetapi tetap nyaman bernama
Pondok Eve di Cilampeni, Kec. Katapan, Bandung. Saya menikmati waktu berkenalan
dengan teman-teman dari sekolah lain. Saat itu, saya sekamar dengan dua orang dari
beberapa hari tanpa membawa piala pulang. Tetapi, saya tetap senang karena itu adalah
pertama kalinya saya keluar kota tanpa orang tua selama berhari-hari di luar study tour
sekolah.

Lomba lain yang saya menangkan adalah dua lomba baca puisi, yang pertama
adalah juara harapan 2 se-Kota Bekasi dan yang kedua adalah juara 2 se-Kota Bekasi.

Gambar 11. Saya (barisan depan, orang ketiga dari kiri) bersama teman sekelas di
SMP

Di kelas tiga, saya memang sudah tidak bisa mengikuti lomba lagi. Tetapi, saat
itu, saya merasa paling akrab dengan teman-teman saya, terutama karena kelas kami
tidak pernah diacak sejak kelas satu. Ketika sedang tidak stress memikirkan UN, saya
akan mengobrol dengan teman-teman di sekolah.
Lulus dari SMPN 9 Kota Bekasi, saya meneruskan ke SMAN 81 Jakarta.
Keputusan itu merupakan keputusan terbesar yang saya pernah ambil karena saya harus
pindah ke lingkungan yang benar-benar baru. Meskipun Jakarta dan Bekasi tidak begitu
jauh, lingkungan di sini sangatlah berbeda. Saya berhasil masuk setelah bertarung
melalui PPDB Online jalur luar kota yang mengharuskan saya menggunkan NEM untuk
menyingkirkan peserta lain dari 10 kursi yang tersedia.

Di SMA, saya ikut ekstrakulikuler English Club. Saya dilatih untuk lebih
percaya diri dalam menggunakan bahasa Inggris. Saya masih suka mempelajari sastra
Indonesia, seperti puisi. Namun, ketertarikan saya pada bahasa dan sastra asing juga
tumbuh. Saya suka mengekspresikan diri saya dalam bahasa Inggris dengan teman-
teman sesama English Club. Selain itu, saya juga suka membaca artikel dan
mengonsumsi media-media lain yang berbahasa Inggris, seperti film dan game.

Saya pernah mengikuti Lomba Speech di SMAN 5 Bekasi dan masuk dalam 5
besar. Selain itu, saya juga meraih juara 1 dalam Lomba Baca Puisi di Bulan Bahasa
tahun 2019 dan juara 2 dalam Lomba Baca Puisi di Bulan Bahasa 2020.

Bahasa dan sastra selalu menjadi bagian dari kehidupan saya. Ke depannya,
saya ingin meneruskan mempelajari bidang kebahasaan dan kesusasteraan, khususnya
bahasa dan sastra Inggris, di jenjang perguruan tinggi.

Anda mungkin juga menyukai