Anda di halaman 1dari 4

Informasi Buku

Apa yang kau pikirkan ketika kau baru saja meniup lilin ulang tahunmu yang ke-18 Tahun.
Apa harapanmu, tujuan mungkin? Kemana kau akan pergi? Kapan kamu pergi ke kota di
belahan dunia lain untuk menentukan hidupmu sendiri.

Sebagai perempuan dari keluarga biasa saja, keinginanku juga biasa saja sebenarnya.
Memiliki pekerjaan, bersenang-senang lalu menikah aku tidak ingin menghabiskan masa tua
sendirian, bayangkan betapa mengerikannya itu.

Tapi, orang-orang di sekitarku ingin hal lain yang lebih besar dari itu, aku belum punya
jawaban apapun saat ini. Aku merasa langkahku berputar-putar pada keseharian
perempuan zaman dulu yang menikah muda karena tidak diperbolehkan bekerja diluar.

Karena itu, aku menulis buku ini. Aku bukan anak yang tahu apa yang kuinginkan seperti
kakak perempuanku yang bekerja setelah lulus SMA, atau kakak laki-lakiki yang pintar dan
mendapat beasiswa dan berkuliah, atau adikku yang sejak di taman kanak-kanak hingga
sekarang selalu meraih ranking satu dan hanya ada piala serta piagam penghargaan
miliknya terpajang di samping pigura Perjamuan Kudus yang selalu ada dirumah rumah
orang kristen.

Aku berbeda, kusadari itu sejak awal. Jadi, aku membagikan cerita ini karena aku merasa
aku tidak sendiri. Ada orang yang membacanya di kamar dengan redupnya cahaya lampu
atau merenung di toilet saat mata pelajaran matematika berlangsung, aku benci Matematika.

Jadi kuharap kau baik-baik saja. Tidak ada yang salah denganmu, kau hanya bingung,
sama sepertiku sekarang, ketika kau baca ini aku mungkin sudah menjadi sesuatu
sekarang. Karena itulah, kau harus sabar, meski kalimatmu tidak terdengar sempurna
karena kau terlalu malu bicara, biarkan saja seperti itu dulu, temukan alasan kau harus
berteriak, bernyanyi, menari, atau menangis dikamar mandi.

Bukan tidak mungkin, kau si pemalu juga bisa punya panggung untuk dirimu.
Seragam penuh warna

Hari itu aku tengah bersiap, mengenakan seragam yang masih sangat bagus karena tak
bisa dipakai selama tiga tahun penuh, kau tahu? Saat-saat masa pandemi berlangsung dan
kami harus belajar dirumah adalah alasan seragam sekolahku masih sangat baru.

Benda persegi bergerigi itu mulai menari di atas kepalaku, menyapu helaian rambut hingga
akhir agar rapi, kuputuskan untuk mengepang rambutku karena aku menyaksikan live
Instagram rose blackpink ketika dia memberi tutorial cara mengepang rambutnya dan kupikir
akan terlihat bagus juga padaku. Kemudian aku mengantongi ponselku, berjalan beberapa
meter lalu sampai di rumah temanku, kami selalu berangkat bersama karena dia punya
sepeda motor, aku tidak– kami puja punya sepeda motor tapi aku tidak bisa
mengendarainya jadi bersama dengan sahabatku lah aku menumpang untuk berangkat. Aku
bisa menghemat karena tak harus mengeluarkan ongkos angkot meski hanya sekitar empat
ribu rupiah untuk pulang balik.

Kami naik motor merahnya melaju tanpa tas karena ini adalah perayaan kelulusan, tidak ada
prom night ala anak-anak gadis Amerika yang akan sibuk membeli gaun dan mencari teman
dansa, tidak ada acara resmi dimana orang tua ikut hadir. Hanya kami para siswa dan guru.

Ketika kami tiba, hari sudah terik. Sebuah terpal khas yang biasa digunakan untuk
pernikahan terlihat berdiri dengan kursi plastik yang berjejer, dibelakangnya ada meja besar
menampung kotak berisi kado untuk para guru.

Sebuah alat musik bluetooth besar ada di depan podium tempat guru memberi arahan, tidak
ada yang spesial. Aku bahkan tidak ingin datang jika bukan karena sahabatku memaksa
katanya kami akan kepantai dan melakukan tradisi yang biasanya anak sekolah yang baru
saja lulus lakukan. Yaitu, mencorat-coret seragam yang dibubuhi dengan tanda tangan, kata
dia kami juga akan berfoto bersama. Padahal aku malas, kami menghabiskan hampir
seluruh masa SMA dengan belajar daring dari rumah, sebagian besar teman sekolahku
adalah teman-teman SMP ku juga, tapi aku tidak terlalu dekat dengan mereka, lagipula saat
itu aku yakin mantan kekasihku yang masih aku sukai tidak akan datang, dia lebih memilih
merayakan upacara kelulusan dengan pacar barunya.

"Ayo, disini biar lebih Deket sama musiknya, nanti bakalan panas jadi kalo disini aman
nggak bakal gosong" ucap sahabatku menarik lengan dan duduk dibarisan kursi ke empat
dari depan, bukan hanya aku tapi beberapa teman dekat duduk bersama.

Acara dimulai, pidato kepala sekolah tentang meraih cita-cita untuk masa depan yang cerah
sudah membuatku pusing, ada lebih dari empat puluh guru dan kami masih harus
mendengarkan mereka satu persatu.

Kamera mengelilingi kami untuk mengambil video di sela pidato, dan aku yakin hasilnya
buruk, ucapan sahabatku tentang tidak akan terkena panas matahari salah, wajahku panas
sebelah, aku merasa sunsreen yang kupakai tidak mampu membantu melindungi kulitku dari
sengatan matahari.

***
Kami mulai menyanyi, setiap kelas kebagian jatah menyanyi didepan teman dan aku berada
dibelakang. Badanku yang kecil tidak akan terlihat pikirku, entah kenapa aku selalu
menyorot tempat paling akhir sebagai tempat sempurna padahal aku kecil, laki-laki dikelas
selalu berkata aku tidak tahu diri. Memang tubuh kecil dan kurus, tapi masih ada yang lebih
pendek dariku.

Kami menyanyikan lagu masa SMA dan lagi milik kisah kasih di sekolah, lagi jadul yang aku
sendiri tidak hapal liriknya, aku paling tidak suka mendengar lagu masa SMA karena
menurutku lagu itu cocok dinyanyikan untuk lagi pemakaman, melodi sedih itu membuatku
tidak tahan.

Kevin seorang yang pintar di kelas kami mulai menyanyi lagi Charlie Puth see you again
dengan lirik dan pengucapan yang sangat aneh karena logat Batak yang kental.

Apa yang kulakukan dibelakang, hanya melambaikan tangan mengikuti dan sesekali berseru
jika aku hapal liriknya. Sudah cukup lama kami bernyanyi sampai kelas lain heboh dan
menyuruh kami turun panggung, kami turun dan mulai mencari seksi dokumentasi untuk
mengambil gambar dengan wali kelas menggunakan kamera Canon miliknya karena itu
adalah kamera paling mahal yang bisa sekolah beli.

***

Motor dan mobil, cctv yang terpajang disana, di sebuah tempat rindang dari kayu sebagai
tempat berteduh para mobil dan sepeda motor. Kami duduk selonjoran di belakang salah
satu kelas tepat didepan parkiran jika dilihat dari depan jalan, karena memang bentuknya
begitu. Satu hal yang membuatku senang berada disini adalah karena ayahku yang
merenovasi sekolah ini dulu jadi itu satu-satunya hal yang paling aku senangi dari sekolah
selain teman dan ya guru mata pelajaran bahasa Inggris favoritku, kebetulan dia juga
mantan guru kakakku jadi kami dekat.

Disini kami merencanakan perjalanan pergi kepantai, motor siapa yang akan digunakan,
siapa yang akan bertiga di satu motor, ini adalah saat dimana aku merindukan mantan
kekasihku yang kuputuskan saat hubungan kami baru lima bulan. Karena jika kami masih
bersama dan dia disini, aku tidak perlu repot mencari teman yang akan membawaku pergi,
sahabat? Si rambut pendek pucat itu tidak diizinkan membawa sepeda motor mereka untuk
pergi kemanapun kecuali sekolah, dia bahkan hampir tidak bisa ikut karena orangtuanya
terlalu mengekang.

"Jadi kereta si Dian nggak bisa, keretaku sendiri aku sama pacarku" ucap Josh ketua kelas
selaku orang yang selalu merencanakan acara kami. Kulihat dia melirik kearah Sofi gadis
pintar berkerudung.

Ketika melihat mereka aku menjadi aneh, bagaimana bisa Sofi yang notabenenya adalah
muslim sejati berkencan dengan Josh guru agama kristen sekaligus pendeta di sebuah
gereja di desa kami, menurut kabar yang kudengar ayah Josh menyuruhnya melanjutkan
pendidikan teologi, bayangan jika mereka berpacaran dalam waktu yang lama dan berakhir
pada perpisahan itu akan sangat menyakitkan.
Kami bertengkar karena masalah sepeda motor yang tak cukup membawa kami. Belum lagi
kami masih harus pulang dan melakukan sedikit banyaknya hal untuk mempersiapkan acara
ini. Jadi kami memutuskan untuk pulang dan berkumpul di rumah Dian, kami akan
membujuk agar kereta Dian diizinkan untuk kami pakai.

***

Anda mungkin juga menyukai