Anda di halaman 1dari 61

PATAH HATI

Malam ini, di gedung putih berlantai tiga ini, berkumpul seluruh mahasiswa dan
dosen yang paling kami cintai serta beberapa jajarannya untuk melaksanakan acara
pemakzulan anggota organisasi BEM yang lama sekaligus pelantikan anggota
organisasi BEM yang baru. Para mahasiswa terlihat rapi dengan jas almamaternya
masing-masing.

Aku duduk di bangku belakang, memperhatikan jalannya acara, sembari


menyempatkan mencuri pandang agar dapat kulihat wajah itu. Wajah yang senantiasa
indah memancarkan kejernihan hati dan kedalaman ilmu. Wajah yang selalu ampuh
menjadi pelipur lara bagi jiwa-jiwa yang dirundung nestapa. Wajah yang senantiasa
mengobarkan semangat dalam dada untuk melakukan yang terbaik setiap harinya.
Siapa lagi kalau bukan wajah dosenku itu.

Dimulailah acara demi acara, hingga sampai pada bagian ketika seseorang itu maju ke
muka menyampaikan sambutan sebagai ketua BEM mewakili anggota BEM lama.
Kuingat betul apa yang disampaikannya, walau tak kutulis malam itu karena lupa
membawa buku dan alat tulis, lupa pula membawa HP. Seseorang dengan tenang
menyampaikan bahwa keadaan BEM lama selayaknya seorang penulis pemula.
Tertatih-tatih ia menulis menuangkan idenya. Karena penulis pemula tentu banyak
sekali kesalahan tanda baca, antar paragraf banyak ditemukan kalimat sumbang,
tulisannya masih jauh dari sistematis, beberapa bagian pun ada yang kurang
konsisten. Maka sudah selayaknya BEM baru memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.

Kusadari betul malam itu, kutatap lekat-lekat dia melalui punggung-punggung


mahasiswa. Aduhai hati ini, terkadang masih nyeri dibuatnya. Mengingat bahwa
hatinya telah tertambat pada perempuan lain.

Seketika aku mendongak ke atas, barangkali atapnya berlubang, tapi tak mungkin, di
atas sana masih ada gedung lagi pun di luar tidak ada hujan. Lantas dari mana air ini,
tiba-tiba saja sudah ada di punggung tangan. Eh apa ini! kenapa ketika berkedip
kurasakan bulu mataku basah.

Kutepuk pelan-pelan dadaku sembari menarik nafas dalam-dalam. Tak apa, sungguh
tak apa. Sakit hati setidaknya membuktikan bahwa aku benar-benar masih hidup. Lagi
pula apa yang kuharapkan jika dia juga memiliki perasaan yang sama? Chat tiap
waktu? Perhatian darinya untuk mengingatkan makan, minum dan sholat? Ah, terlalu
murah, rasa cinta di hati ini jika kugadaikan dengan hal-hal temporal semacam itu.

Aku jadi teringat teman-temanku yang biasanya bercerita mengenai pacarnya. Sebagai
teman tentu tak hanya kudengarkan ceritanya, apalagi berpendapat yang pendapat itu
dapat mengembangkan bunga-bunga di taman hatinya, namun juga ku ingatkan.
Ketika kuingatkan itu kebanyakan mereka selalu menyanggah dengan dalih “Dia itu
beda dengan laki-laki lain. Dia itu dewasa, sering mengingatkan ini dan itu”. Karena
pernah mengalami perakara semacam itu, di mana hati ini mencintai seorang dengan
cinta buta, maka tak kulanjutkan perdebatan semacam itu. Orang yang tengah
terserang virus merah jambu memiliki pertimbangan-pertimbangannya sendiri, mau
kita se-kekeuh apapun memberi pertimbangan pun pada akhirnya yang digunakan
pertimbangannya sendiri.

Dari cerita-cerita itu pula dapat kusimpulkan. Tak ada istimewanya lelaki-lelaki itu.
Tak ada bedanya. Beda itu jika dia tak sama dengan kebanyakan. Bagaimana mungkin
dia disebut beda saat banyak lelaki yang sama dengan dirinya. Buktinya? Pernyataan
mereka sendiri, setiap perempuan yang memiliki pacar, lantas bercerita kepadaku
selalu mengatakan “Dia itu beda!”

Lelaki itu sudah kodratnya untuk selalu ingin melindungi perempuan yang
disayanginya. Jika lelaki itu perhatian terhadap kita, bukan berarti sepenuhnya karena
kitanya, melainkan karena rasa sayang yang dimiliki oleh lelaki itu kepada kita. Hal
itu tentu saja sudah menjadi hal yang wajar, jika terdapat perbedaan dalam
memperlakukan satu perempuan dengan perempuan lainnya. Jika sayang itu sudah
tercerabut dalam hatinya (laki-laki), perhatiannya pun akan tercerabut pula.

Menghadapi tantangan sebagai seorang pembelajar yang semakin hari semakin


kompleks, seharusnya kita membentengi diri dengan mengembangkan beberapa sikap
orientasi yang kondusif pada “kemajuan” yakni orientasi kepada perbuatan, kualitas,
tujuan dan masa depan. Dalam pengertian lain, menjadi seorang manusia wajib
menyadari dirinya adalah seorang manusia. Karena seorang manusia sikap yang
ditunjukkannya harusnya cenderung merealisasikan segala cita, rasa dan karsanya ke
dalam karya nyata dan cenderung meningkatkan karyanya menjadi karya dan prestasi
terbaik dalam proses dinamis dan sistematis untuk menghampiri cita-cita, sebagai
manifestasi dari penghadapan ke masa depan.
Jika tiap-tiap individu memiliki beberapa orientasi tersebut, walau diserang virus
merah jambu, walau kapal kendaraannya berlayar dihantam ombak dia akan tetap
bertahan, dia tidak merusak dirinya dengan menikmati kepatahatiannya, atas nama
orientasi-orientasi tersebut.
KEPUTUSAN

Aku sudah memutuskan, untuk mencintai seseorang yang belum atau bahkan tidak
akan membalas perasaanku. Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku sudah
menyadari bahwasannya cepat atau lambat perasaan itu akan kuspesialkan dalam hati,
kurawat, kubiarkan ia bermekaran. Namun kubiarkan perasaan itu berproses dengan
beberapa pertimbangan.

Dalam berproses tersebut walau banyak hal dalam dirinya yang menyamai banyak hal
dalam diriku, yang kadang beberapa hal tersebut sangat tidak kusukai namun rupanya
aku tetap bertahan, selalu membuka asumsi baru, memilah beberapa hal darinya yang
dapat mengahapus beberapa hal darinya yang tidak kusukai.

Perasaan itu pernah meredup, bahkan hampir saja nyalanya hilang ditiup angin dan
ditelan waktu. Karena kudapati ia ternyata juga menanam perasaan itu, tapi bukan
untukku melainkan untuk orang lain. Hari itu untuk pertama kalinya aku merasakan
nyeri di hati yang tiada kira, ingin rasanya menangis, namun tidak juga keluar air
mata. Tidak keluar air mata inilah yang justru menyiksaku.

Maka aku memilih untuk berusaha tidak lagi menspesialkan perasaan itu,
kuperlakukan ia bagai rumput liar, mau tumbuh silahkan, tidak pun terserah. Aku
sama sekali tidak peduli. Kugigit dalam-dalam nasihat lama itu bahwasannya
perempuan yang baik untuk lelaki yang baik begitupun sebaliknya, maka yang
dilakukan oleh tiap-tiap manusia harusnya memperbaiki diri bukan mengejar suatu hal
yang tidak pasti. Hari itu pula kuputuskan untuk menyibukkan diri, membaca buku,
menulis, mengajar, mengabdi, melakukan rutinitas harian sebaik mungkin.

Kalian tahu apa yang terjadi? Aku justru terperosok dalam bentuk cinta yang lain.
Aku mencintai guruku, teramat. Cinta ini bukan cinta dalam artian laki-laki dan
perempuan, melainkan cinta seorang murid terhadap gurunya. Aku percaya
bahwasannya kaidah mencintai itu adalah mencintai setiap apa-apa yang dicintai oleh
orang yang kita cintai. Maka aku pun melakukan hal yang sama, berusaha mencintai
apa-apa yang dicintai guruku. Banyak sekali hal yang dicintai guruku. Ternyata cinta
itu ada alasannya, dan alasan itu adalah karena beliau mencintaiNya.

Aku mencintaiNya, dan setiap jiwa memang ditakdirkan untuk merindukan kecintaan
itu. Aku bukan orang yang kuat yang bisa mencariNya dengan usahaku sendiri.
MenemukanNya, mencintaiNya, merindukanNya, kemudian perasaan itu membias
dan menjadikan aku seseorang yang penuh cinta. Rupanya perasaanku terhadapNya
tidak mengikuti pola deduktif melainkan induktif. Di mulai dari aku mencintai
serpihan-serpihannya terlebih dahulu, hingga kemudian sampai pada mencintai
Keutuhan itu.

Di waktu ini, banyak hal yang aku revisi perihal mencintai. Mencintai harusnya tidak
membuat orang nestapa, bermuram durja, seakan-akan lupa terhadap realitas yang
harus dijalaninya. Kita lupa bahwa terdapat tujuh milyar lebih manusia di bumi dan
sangat tidak rasional jika kita tetap menganggap bahwa kita sendiri yang mengalami
patah hati. Tidak hanya itu, cinta harusnya menyembuhkan dan menguatkan. Cinta
adalah ketulusan, jika kecewa maka kita telah memupuk cinta itu dengan harapan.
Dan dengan berharap maka cinta bukan lagi cinta, karena kutegaskan sekali lagi cinta
adalah ketulusan.

Diizinkan Allah untuk mencintaiNya adalah sebuah anugerah yang oleh seniman
manapun tidak akan terlukiskan, oleh sastrawan manapun tidak dapat digambarkan
keindahannya. Tidak ada hidup yang rumit, menyesakkan apalagi tidak adil. Jika kita
berada dalam kondisi yang tidak kita ingini, maka dengan cintaNya kita tidak akan
takut menjalaninya. Kita akan menyadari bahwa demikianlah hidup, ujian adalah
bagian dari proses. Kita takkan lagi mempersoalkan cacian dan pujian, karena
keduanya bukanlah tujuan.

Namun ketahuilah, dengan diizinkanNya untuk merasakan cinta itu, hal tersebut
bukanlah final dari perjuangan kita dalam menggapai keridhaanNya. Karena selalu
ada nafsu yang mengrongrong jiwa. Maka tugas kita selanjutnya adalah bukan
mencari, namun mempertahankan dan inilah justru perjuangan yang sesungguhnya.

Aku melihatnya dengan kaca mata yang berbeda. Bahwa aku belum mengenalnya
sama sekali. Aku tidak pernah sama mengenalnya, karena ia selalu berdinamika
dengan dirinya. Seiring berjalannya waktu, banyak hal yang berubah dari dirinya,
walaupun di sana-sini masih banyak hal yang tidak kusukai. Rupanya aku telah
berdamai dengan perasaanku. Dan benarlah nasihat lama itu bahwa Allah yang lebih
tahu apa yang terbaik buat kita. Boleh jadi seseorang yang kita anggap tidak cocok
menjadi partner hidup, setelah kita menikah dengannya, ternyata banyak sisi yang
tidak kita ketahui sebelumnya, yang membuat kita begitu takjub dan bersyukur
memilikinya.

Kesadaran akan hal itu harusnya membuatku untuk menyerahkan urusan jodoh
kepadaNya, bukan malah justru memutuskan untuk mencintainya, menghidupkan
kembali denyut perasaan itu. Tapi aku sudah mengambil keputusan dan keputusan itu
telah bulat adanya.

Aku akan mencintainya, namun bukan cinta seperti dahulu ketika SMA. Di mana aku
semakin tidak menjadi diriku sendiri. Karena tidak bisa mengontrol perasaan, degub
jantung, gemetar, aku jadi terhambat untuk berkarya. Berorganisasi tidak terlalu
berkontribusi karena ada dia yang kusukai. Sekian lama waktu kubiarkan berlalu,
hanya untuk membahas hal-hal yang tidak perlu dengannya. Keseruan bermain
bersama sahabat jadi nomor dua. Perasaan suka kepada laki-laki, ketika telah hilang
maka akan berubah menjadi jijik, namun terhadap sahabat perasaan suka walau
dihantam salah paham tidak akan pernah berubah menjadi jijik sampai kapanpun
masanya. Dan aku ingin diperkenankan olehNya untuk mencintainya. Karena
diperkenankan olehNya maka cinta itu tidak akan bertransformasi menjadi perasaan
jijik atau muak bukan?
KEPULANGAN

Memasuki musim kemarau, waktu subuh seperti ini sudah bisa dipastikan dinginnya
tiada terkira. Namun langit yang seakan menggelar orkestra mampu menjadi obat
penawarnya. Taburan bintang gemintang yang bagai wijen di onde-onde –makanan
tradisional orang Jawa—terlebih bulan yang berbentuk sabit membuat hati diselusupi
perasaan yang dinamakan ketenangan. Ditambah suara adzan dan pujian yang saling
susul menyusul di berbagai belahan.

Aku berjalan seorang diri, mendongak ke langit, tersenyum, bergumam dan sesekali
menyentuh dada. Andai ada orang yang melihatku, pasti mereka sudah menganggap
aku gila! Pandemi ini tak selalu menyedihkan kok, ada hikmahnya, kapan lagi pondok
libur dua bulan?

Tiba-tiba telingaku menangkap suara gemericik air, perlahan aku memperlambat


langkah kaki dan mempertajam pendengaran. Benar suara gemericik air.

Banyak hal yang mengingatkanku akan dirinya. Salah satunya adalah suara gemericik
air. Awal masuk kuliah hingga semester empat, hatiku dipenuhi oleh rasa was-was
yang datang dari berbagai macam arah. Bingung, merasa tidak mampu mengikuti
ritme yang ada, merasa sendiri, hampa, kosong dan perasaan lain sejenisnya. Otomatis
aku sering menyendiri, mencari tempat yang sepi dan kebetulan tempat itu adalah
masjid di lantai dua.

Terduduk aku, bersandar di tiang masjid yang besarnya sebesar dua pelukan orang
dewasa, menimbang-nimbang, melamun, menangis kemudian terkantuk-kantuk.
Dalam keterkantukan itulah kemudian aku akan memilih untuk berdiri, melihat ke
sekeliling.

Terang kulihat masjid Sendangduwur di atas, masjid itu merupakan tempat


dimakamkannya Sunan Sendang atau R. Noer Rochmat, pohon-pohon yang melambai
ditiup angin dan gedung-gedung yang terus dibangun. Tak berapa lama kemudian
terdengar suara gemericik air dari bawah, di tempat wudhu laki-laki. Kulangkahkan
kaki perlahan menuju tepian masjid dan kudapati ternyata dia.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya ketika itu, sudah menjadi kebiasaannya kah
salat dhuha? Hanya saja aku merasa senasib sepenanggungan dengannya. Merasa
bahwa aku tak menghadapi kegamangan ini seorang diri.

Sejak itu aku melihatnya dengan perspektif yang berbeda, di mana di awal kuanggap
dia sebagai orang yang suka mendramatisir suatu hal, karena mendramatisir otomatis
dia abai dengan lingkungannya, menjadi sosok yang berjuang sekuat tenaga melawan
dirinya sendiri. Digempur bagaimanapun dia rupanya tetap berusaha untuk berdiri,
tertatih-tatih. Walaupun dia merasa tidak yakin akan keputusannya, namun dia tetap
melakukan yang terbaik. Membaca buku, menulis, mengajar, melakukan tugas-tugas
ketika di pondok dan menghafal alquran.

Kutepuk dadaku pelan, mengajaknya untuk bersabar dan bertahan, meyakinkannya


bahwa dia (hatiku) tidak sendiri.

Aku menggelengkan kepala pelan. Sepagi ini aku sudah memikirkan dirinya? Yang
benar saja!

Perlu kalian ketahui, aku kecil dan dibesarkan di lingkungan NU. Melakukan pujian
ketika selesai adzan, dhiba’an setiap malam selasa, istighasahan ketika malam jumat,
tahlilan ketika malam minggu, membaca qunut ketika sholat subuh dan serangkaian
ritual lainnya yang khas NU. Tetapi karena ibuku memiliki prinsip menuntut ilmu itu
bisa di mana saja, maka ketika SMA aku disekolahkan di sekolah swasta milik
Muhammadiyah. Membaca do’a iftitah yang awalannya Allahumma baid baini wa
baina bukan lagi Allahuakbar kabirawalhamdulillah, salat tarawih pun menjadi
delapan rakaat ditambah tiga rakaat salat witir sekaligus.

Kujumpai orang-orang Muhammadiyah kebanyakan mereka sekolah hingga


perguruan tinggi, cara mereka bergaul, tersenyum dan berfikir sangat membuatku
terkagum-kagum, ingin rasanya kupeluk Muhammadiyah andai saja fisiknya
bereksistensi dalam dunia materi ini.

Maka ketika pulang ke desa, aku salat di masjid Muhammadiyah, bukan karena NU
sudah tidak sejalan lagi denganku, hanya saja aku ingin memiliki sudut pandang baru.
Dan sudut pandang itu kuperoleh bukan dari buku, apalagi ‘kata orang’ melainkan
aku bersentuhan langsung dengan objek yang sedang kuteliti, dalam hal ini adalah
orang-orang Muhammadiyah di desaku. Hal itu ternyata membuat orang-orang di
desaku –yang kebanyakan orang NU—‘geger’. Tapi lagi-lagi karena ibuku dengan
prinsip itu dan aku pun sedikit mewarisi keteguhan itu, maka aku tak mengambil
pusing bisik-bisik orang tentangku.

Perlu kalian ketahui lagi, di desaku seperti tradisi orang NU pada umumnya, mereka
memiliki seseorang yang sangat dihormati. Selayaknya kyai dalam pesantren.
Seseorang itu di desaku biasa disebut Pakde Po –harusnya nama beliau adalah
Musthafa, orang Jawa lidahnya sering kepleset kalau bertemu dengan huruf f atau v,
ingat?

Pakde Po adalah seorang anak dari keluarga sederhana. Pada zaman dahulu entah dari
mana keinginan itu muncul, beliau sangat ingin mempelajari ilmu agama. Maka setiap
pagi beliau akan pergi mengaji ke Pondok Langitan dengan sepedah jengkinya,
kemudian sorenya beliau akan pulang ke rumah. Begitu seterusnya selama bertahun-
tahun di samping pergi ke sawah untuk membantu kedua orangtuanya. Cerita ini baru-
baru ini saja kuketahui dari ibuku. Kemudian setelah dirasanya cukup amunisi, beliau
memutuskan untuk mengajar orang-orang di desa.

Jujur saja setiap kali bulan ramadhan yang paling kurindukan selain bulan ramadhan
itu sendiri adalah mendengar beliau menjelaskan sebuah kitab. Nada beliau ketika
berbicara, sikap beliau yang sesekali membenarkan letak kacamata atau ketika beliau
menegur anak kecil yang ramai di sela-sela penjelasannya.

Aku tidak tahu apakah beliau mendengar bisik-bisik orang tentangku itu atau tidak.
Aku juga tidak bisa menebak jika beliau mendengar bagaimana sikapnya. Yang jelas
dari dahulu anak-anak kecil termasuk aku sangat ‘sungkan’ berinteraksi dengannya.

Namun dikarenakan tuan guru yang kutemui ketika kuliah, aku jadi sangat ingin
memiliki hubungan yang harmonis bagai seorang guru dan murid yang saling
menyayangi dan mengkasihi. Selain itu juga entah dari mana perasaan rindu terhadap
beliau ini datang secara menggebu-gebu. Setiap kali sehabis salat selalu kuusahakan
untuk menata sandal beliau, memposisikan agar ketika beliau ingin memakainya tidak
merasa susah. Sayangnya sampai detik ini, aku belum pernah menyapa beliau secara
langsung, begitupun juga dengan beliau.

Ah tuh udah sampai saja di depan musala dan kudapati beliau tengah mengangkat
kedua tangannya, takbir
LAKU PARA PECINTA

Hari ini sudah kujadwalkan untuk mencurahkan segenap jiwa dan raga membersihkan
rumah. Ah orang desa berbeda sekali dengan orang kota yang setiap harinya
senantiasa menyapu dan mengepel rumahnya. Orang-orang desa melakukan itu paling
cepat satu bulan dan kebanyakan satu tahun dua kali yakni ketika menyambut bulan
suci Ramadhan dan hari raya Idhul Fitri. Namun bukan berarti rumahnya tak
dibersihkan, dibersihkan, hanya saja bagian-bagian yang dapat dijangkau oleh mata,
tidak intensif!

Kumulai dari membersihkan gudang terlebih dahulu. Gudang ini sebagian besar berisi
buku. Bukuku dan dua saudara perempuanku dari ketika kita SD –punyaku dari TK—
hingga kini. Sepertinya aku mewarisi sifat bapakku, yakni suka menyimpan dan
merapikan barang. Jadi wajar bukan jika sebagian besar buku-buku itu adalah bukuku,
karena akulah yang merawatnya bagai anak sendiri.

buku-buku itu tidak kutaruh rak buku, selain tidak punya juga dikarenakan takut
berdebu mengurusi. Bapak sudah tua jadi jiwa suka merapikannya tidak seperti dulu.
Sedangkan ibu, ah jangan berharap! Ibu malah berkali-kali secara diam-diam
mengambil buku dari gudang ini sebagai umpan menyalakan api. Teganya! Adikku?
Ah si sibuk itu! jangankan buku-buku ini, bukunya sendiri saja seringnya aku yang
mengurusi. Di rumahpun banyak tikusnya, apalagi rumah bagian belakang, tempat
gudang ini berada.

kegiatan merapikan buku bagiku adalah kegiatan yang menguras emosi. Karena
bukulah sasi biksu perjalanan hidupku. Dari buku-buku itu aku memanggil kenangan-
kenangan yang kurindu. Ah buku!

contohnya ini nih, kusibak salah satu buku di antara buku-buku lainnya. bukuku
ketika SD, buku pelajaran Pendidikan Agama Islam. di bagian belakang buku tulis
tersebut terdapat banyak sekali gambar. Salah satunya adalah gambar Kakbah, jalanan
panjang, gajah dan titi-titik kecil yang menyimbolkan banyaknya orang. kalian bisa
menebaknya itu menggambarkan peristiwa apa? yap benar! Peristiwa penghancuran
Kakbah oleh tentara bergajah yang dipimpin Raja Abrahah.

Sengaja dulu kugambar untuk menguatkan ingatan. Karena biasanya Pak Huri –guru
agamaku—hanya menuliskan poin-poin pentingnya saja di papan tulis. Sedangkan
ceritanya beliau sampaikan melalui lisan. Hari itu ada sih buku rujukan, tapi hanya
satu dan hanya dipegang oleh guru.

Nah ini nih, kuraih buku dairy kecil berwarna biru. Aku ingat betul, hanya untuk
membeli buku ini aku harus rela tidak jajan selama satu minggu. Tulisannya pun lucu,
kebanyakan menceritakan kisah pertengkaranku kalau tidak dengan saudara, teman ya
orangtua.

Segera kumasukkan semua buku ke dalam kardus yang telah kusiapkan.


Kukelompokkan berdasarkan si empunya masing-masing. Kemudian kukelompokkan
lagi berdasarkan jenjang pendidikan. Lantas kulakban. Tertawa-tawa aku dalam hati,
membayangkan ibu sudah tidak akan bisa lagi mengambil buku sebagai umpan untuk
menyalakan api.

Setelah selesai merapikan buku-buku di gudang, kemudian membersihkan seluruh


bagian rumah lainnya, aku ingin menutup jadwal pagi ini dengan berkebun!
Kukeluarkan sepatu-sepatu yang sudah tidak terpakai namun sudah kucuci kemarin
dari dalam karung. Kumasukkan tanah dan pupuk ke dalamnya. Kalian bisa menebak
bukan, sepatu-sepatu ini hendak kujadikan apa? Benar, pot bunga! Karena di sekitar
rumahku banyak sekali bunga Zinnia maka bunga itu yang akan kutanam dalam
sepatu. Perlu kalian ketahui bunga yang termasuk ke dalam jenis bunga matahari di
keluara aster ini berhasil tumbuh dan mekar di awal 2016 di ruang nol gravitasi
antariksa. Sekitar pertengahan November 2015 NASA mengumumkan bahwa salah
satu astronotnya Kjell Lindgren merancang eksperimen penanaman bunga jenis
Zinnia di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Menarik bukan? kalian sudah
pernah melihat film Iqra’ My Universe? Jika belum tontonlah! Bagi penggemar
astronomi tentunya. Di film itu juga disinggung mengenai bunga yang berhasil
tumbuh di ruang sana, tetapi bukan bunga Zinnia melainkan bunga Krisan.

Berbicara tentang bunga, aku jadi teringat tentang jenis-jenis orang yang sedang jatuh
cinta. Ada jenis orang yang terang-terangan mengakui bahwa dirinya sedang
mencinta. Ada yang hanya diam, memendam perasaannya dalam-dalam, hanya
diceritakan pada buku, pada ombak yang saling kejar-kejaran, pada angin yang
berdesir, pada hujan, pada matahari, pada bunga-bunga, pada kumbang dan pada yang
lain-lainnya. Ada juga orang yang mencinta tapi dia memilih bersikap defensif.
Memperlihatkan laku seoalah-olah orang yang dicintainya adalah musuh
bebuyutannya, padahal di hatinya sangat ramai oleh warni-warni bunga yang
bermekaran karena bisa berinteraksi dengan dia yang dicintainya. Bagaimana
denganku? Orang jenis manakah aku dalam mencintai? Aku berada di jenis orang
nomor empat yakni seorang yang mencinta, dia sadar bahwa dirinya sedang jatuh
cinta, dia katakan dengan jujur kepada semua orang yang menanyainya perihal
perasaannya namun dikemas seolah-olah itu hanya sebuah ‘guyonan’, hingga
membuat orang-orang yang mendengarnya berada di posisi percaya tidak percaya. Ia
menggunakan kertas dan pena walaupun ia tahu bahwa cinta lebih tajam ketika
menerangkan dirinya sendiri.

Suatu hari salah seorang guru bahasa Inggris di pondok sedang mengambil cuti untuk
melahirkan, sekitar tiga bulan. Aku tiba-tiba didaulat untuk menggantikan beliau.
Kata tuan guru yang merekomendasikanku sebagai guru pengganti, namaku dan
namanya tiba-tiba terlintas dalam benaknya ketika tuan guru dimintai sang Kepala
Sekolah untuk memilih mahasiswanya berkenaan dengan cuti guru bahasa Inggris
tersebut. Melihat namaku dan namanya di pesan tuan guru itu ada perasaan senang
yang menjalari seluruh bagian tubuh hingga membuatku tersenyum-senyum seorang
diri.

Hal yang membuatku bahagia adalah ketika aku dan dia bekerjasama melakukan
suatu kebermanfaatan. Walau raga kami terpisah dan jauh sekalipun.

Suatu hari lagi pernah kami memperdebatkan suatu hal yakni tentang relevansi.
Relevansi adalah tema yang cukup menyita perhatian kami semasa kuliah. Pentingkah
relevansi? Bagaimana kita melakukan relevansi? Apa konsekuensinya jika kita tidak
melakukan relevansi? Wajar sih kita kuliah di jurusan tafsir alquran.

Alquran. Sebuah kitab suci yang telah diklaim oleh banyak orang bahwa dia shahih li
kulli zaman wa makan. Kebenarannya melintasi berbagai macam dimensi.
Konsekuensinya, hal itu melahirkan banyak sekali sudut pandang dalam
memahaminya. Teks, konteks dan kontekstualisasi adalah tiga kata yang senantiasa
melingkupinya.

Kebahagiaanku bukan ketika aku setuju dengan pendapatnya atau berada di pihaknya,
kebahagianku justru hadir ketika aku berhasil menyelisihinya. Fenomena itu kerapkali
membuatku terjebak oleh perkataanku sendiri yang tanpa kusadari inkonsisten dan dia
dengan cara berfikirnya tentu sangat mengenali bau-bau ketidakonsistenan itu.
Kenapa? karena dengan menyelisihinya aku akan mendapat sesuatu yang lebih
darinya. Entah itu menguatkan keyakinanku atau membuatku memilih keyakinan
yang lain.

Suatu harinya lagi dia pernah mengajakku –hanya aku—untuk foto dengan salah
seorang penulis di acara seminar. Penulis itu berada di tengah dan kami masing-
masing berada di samping kanan dan kirinya sembari menggenggam buku sang
penulis. Dia memegang buku bersampulkan putih berpadu biru sedangkan aku
memegang buku bersampulkan putih berpadu hijau. Menatap kamera kemudian
tersenyum. Aku tak begitu jelas mendengar alasannya mengapa dia tiba-tiba
mengajakku berfoto dengan Sang Penulis itu. Tapi itulah yang justru membuatku
bahagia. Kenapa? Karena aku bebas berasumsi!

Demikianlah posisiku dalam mencintai.

Apaan sih! Orang lagi berkebun juga masih sempat-sempatnya bucin! HUH.
ADA MUTIARA DI DALAM LUMPUR

Matahari terang benderang di atas sana, membuat badanku bercucuran oleh keringat.
Burung-burung kecil ini pun tak lelah-lelahnya mencuri kesempatan agar dapat
memakan padi. Ah, betapa kasihan petani tahun ini selain burung, tanaman mereka
dirusak oleh hama tikus yang sedang merajalela. Ada seorang yang tanahnya
berpetak-petak, namun padinya sudah habis terlebih dahulu dimakan tikus sebelum
bisa dipanen. Begitu pula padi ibuku. Lihatlah dari enam petak sawah yang ditanami
padi, yang dapat diharapkan hanya dua petak.

Kupukul kentongan yang terbuat dari bambu keras-keras ketika kujumpai


segerombolan burung hendak singgah. Berhamburanlah mereka, bertengger ke dahan-
dahan pohon terdekat.

Penat rasanya, ingin menangis, tugas ujian masih banyak yang belum dikerjakan
sedangkan di rumah, ibu selalu menyuruhku pagi dan sore untuk pergi ke sawah
menjaga padi. Belum terhitung kulit yang akan semakin menghitam, sia-sialah aku
memimingit diri di pondok. Tapi sebentar, dengan berjalan mondar-mandir seperti ini
di bawah sinar matahari semoga saja bisa membakar lemak, lantas ketika masuk
kuliah aku sudah sekurus , . astagfirullah, pemikiran macam apa sih ini!

Aku memilih duduk di bawah pohon mangga, bersandar.

Ah, bagi perempuan apalagi yang baperan, komentar negatif tentang tubuhnya,
beberapa di antaranya kadang memiliki akibat yang sangat fatal. Kita bisa menjumpai
fakta itu dari berita-berita di berbagai macam media akhir-akhir ini. Ada yang bunuh
diri, ada pula yang terlalu memaksakan dirinya untuk diet jadi terbunuh oleh tekadnya
sendiri. Agaknya hal tersebut disebabkan oleh adanya standar kecantikan yang
kebanyakan ditentukan oleh laki-laki. Putih dan kurus –aku tidak menyebutkan tinggi,
karena bagi kebanyakan wanita perawakan tinggi atau istilah kasarnya bongsor
membuat dirinya minder.

Begitupun denganku yang mengalami pertumbuhan secara signifikan. Awal masuk


SMP tinggiku hanya 125 cm, waktu itu aku termasuk jajaran orang-orang mungil. Di
akhir masa SMA ku ukur lagi tinggi badan sebagai salah satu rangkaian cek kesehatan
di BP Muhammadiyah, kudapati tinggiku ternyata bertambah menjadi 157 cm dengan
berat badan 45 cm. Kemudian di waktu kuliah ini, ketika sudah memasuki semester
tua yakni semester tujuh kudapati tinggiku ternyata masih bisa bertambah yakni 5 cm
menjadi 162 cm dengan berat badan berkisar di antara 51 dan 52. Aku cukup
insecure, karena belum pernah di posisi seperti ini. Sewaktu SMA walau 157 itu
termasuk tinggi, namun ada banyak yang masih lebih tinggi dan lebih berisi dariku.
Masalah tubuh pun pada zaman itu belum terlalu dipersoalkan. Berbeda dengan
kuliah, entah mungkin hatiku ini semakin mudah tersinggung atau memang benar
realitasnya tubuh menjadi topik yang acap kali diperbincangkan, aku sangat
‘tertekan’.

Karena tinggal di lingkungan pondok, sesama mahasiswa ketika kuliah sering saling
pinjam meminjami baju. Kata-kata seperti, “Tidakkah kebesaran bajumu daku
kenakan?”, “Cukupkah bajuku kamu pakai karena itu sudah ku kecilkan?”, “Oleh
sebab apa yang menyebabkan tubuh ini tak berisi-isi sepertimu?”, atau misal ketika
berpergian dan aku yang memegang kemudi orang yang kubonceng tiba-tiba
nyeletuk, “Janganlah ngebut jika mengendarai, karena bisa menyebabkan diri ini
dihembuskan angin, berbeda dengan engkau.” Ada saja perbincangan tiap hari yang
menyinggung tubuh. Mau tak mau dengan pertimbangan akal, tetap kupaksakan bibir
ini tersenyum dan semangat menjalani hari-hari.

Namun seiring berlalunya waktu, semakin dibiarkan kata-kata seperti itu memenuhi
kepalaku, saling berhimpit, berdesak-desakkan, apa yang kulakukan akhirnya?
Berpuasa dengan paket kesklusif! Aku tak lagi berpuasa seperti biasanya yang
kulakukan bersama temanku. Sepertinya aku harus memaparkan terlebih dahulu
mengenai temanku ini, jadi:

Semasa SMA, aku menyadari kondisi hati yang tidak lagi utuh, suci, bersih sesuai
dengan keadaan ketika manusia pertama kali lahir. Kusadari banyak sekali lubangnya,
ditambal pun sudah sangat buruk rupanya. Aku bersimpuh di hadapan Tuhan,
meminta belas kasihannya agar Dia berkenan membebaskanku dari keadaan itu.
Keadaan di mana, manusia sadar bahwa dia salah tapi sangat sulit untuk
meninggalkan kesalahan itu dan amat berat berbenah diri serta melakukan kebaikan.
Kemudian ketika kuliah aku mendapati atmosfir yang berbeda, terlebih dipertemukan
dengan seorang gadis yang sangat lembut hatinya. Kujumpai dia pertama kali di
masjid pondok lantai dua, sedang menghadap kiblat seorang diri dan angin membuat
jilbab dan pakaiannya melambai-lambai. Ternyata pertemuan itu tak berhenti di situ,
dia menjadi sosok yang kemudian sangat berarti dalam hidupku.

Dia mengajariku hal-hal yang sebelumnya tak kuketahui, baik tentang syariat dalam
beragama, cara memperlakukan alquran, bersikap kepada orang lain sesuai dengan
tempatnya dan kemudian membawakanku obat dan mengoleskannya setiap hari ke
hatiku. Salah satunya adalah berpuasa. Dengan puasa itu aku jadi memiliki banyak
kenangan dengan dirinya. Aku yang memang orangnya terlalu ekspresif dan bertindak
semau sendiri –terhadap orang yang benar-benar dekat— sering mengajaknya pergi
keluar untuk mencari takjil. Menu favorit kami adalah bakso, walau pernah sesekali
makan seafood di rumah makan yang letaknya teramat jauh dari pondok kami. Kami
pun sering safari melihat keindahan alam, kemudian bersama-sama memuji Allah
bahwa betapa besar kuasa-Nya. Detik-detik berpuka puasa adalah detik paling indah,
karena kami kemudian saling mendoakan dan mengingatkan niat masing-masing
dalam berpuasa.

Berpisah dengannya –walau hanya ruang kamar—oleh sebab keadaan dan semakin
intensifnya pembahasan mengenai tubuh membuatku seringkali membubuhi niat
puasa yang awalnya untuk ber-taqarrub kepada Allah itu dengan niat untuk
menurunkan berat badan. Menu berbuka puasa pun sangat kuperhatikan, tidak lagi
seperti dulu, inilah yang ku sebut puasa dengan paket ekslusif. Tiga hari aku tak
makan nasi, namun kemudian hilang kendali dan makan banyak sekali, kemudian
menyesal, merutuki diri sendiri, mengkohkan niat lagi untuk kurus, menekan diri agar
tak terlalu banyak makanan yang dikonsumsi, kemudian ketika datang bulan, kambuh
lagi menuruti hawa nafsu untuk mengenyangkan perut. Begitu seterusnya, aku
hampir-hampir stres dibuatnya.

Namun dari kejadian itu aku jadi menyadari satu pelajaran penting bahwa memang
seharusnya penuntut ilmu, orang-orang yang berusaha mencari keridhaanNya tak
wajar makan hingga perutnya kenyang. Menuruti hawa nafsunya secara berlebihan.
Ketika berpuasa, aku menjadi sangat ajeg, tidak mudah bosan ketika membaca dan
justru sangat bersemangat melakukan ibadah-ibadah lainnya. Berbeda dengan kondisi
di mana ketika perutku kenyang, aku jadi tidak nyaman dengan diriku sendiri dan
bermalas-malasan. Otak diajak berfikir pun ogah-ogahan. Puasa seakan menjadi alat
untuk mensistematiskan rutinitas harian.
Maka sungguh benar apa yang dikatakan al-Imam al-Ghazali dalam bukunya yang
berjudul Kimya’ al-Sa’adah bahwa di antara pintu masuknya setan adalah makan
hingga kenyang, walau makanan itu makanan yang halal lagi bersih. Sebab
kekenyangan akan memperkuat syahwat, sementara syahwat itu adalah senjata setan.
Dikatakan bahwasannya banyak makan menyebabkan timbulnya enam macam sifat
tercela yakni: menghilangkan rasa takut kepada Allah; menghilangkan rasa kasih
sayang terhadap sesama; menciptakan rasa berat melakukan ketaatan; jika mendengar
kata-kata hikmah, ia tidak mendapatkan kelembutan hati padanya; jika ia
menyampaikan kata-kata hikmah kepada orang lain, maka tak satupun membekas
pada hati pendengarnya; dan mengundang berbagai penyakit.

Nah nah lihat itu, burung-burung sedang mengambil posisi untuk mendarat di padi
milik ibuku.
SEMAKIN SIBUK, SEMAKIN BANYAK WAKTU LUANG!

Walau puasa mampu mensistematisasikan aktivitas harian, namun yang namanya hati
(baca: iman) itu senantiasa terbolak-balik. Dahulu tatkala Adam diturunkan ke bumi
berlangsung negosiasi antara Adam dengan Allah dan antara Iblis dengan Allah. Di
mana Adam pada masa itu sangat memohon belas kasihanNya dalam
ketidakberdayaannya menghadapi godaan Iblis, dia pun mendapatkan keringanan
bahwasannya setiap kelahiran anak manusia pasti ditugaskan seorang malaikat untuk
menjaganya. Begitu pula dengan Iblis, Allah menjajikan kepadanya bahwa setiap
kelahiran anak manusia, tentu lahir pula seorang anak dari jenisnya. Maka dari itu tak
heran jika kita sering mengalami konflik di dalam diri kita. Saling tawar menawar,
tarik menarik untuk mendominasi satu atas yang lainnya. Bahwa kita tak pernah
terbebaskan dari godaan iblis dan bala tentaranya.

Aku masih sering membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak perlu, semisal
menonton TV, melamun sembari menatap jendela, duduk lama ketika hendak
melakukan aktivitas setelah tidur, menonton film di laptob dan aktivitas-aktivitas
unfaedah lainnya.

Akhirnya kuputuskan untuk mengisolasi diri, kabur dari rumah dan pergi ke
pondokku sewaktu SMA. Karena masih libur, tentu kamar santri kosong. Lagi pula
ustadz/ustadzahku dan orangtuaku sudah mengizinkannya. Mengizinkan itu pun
dengan tatapan meremehkan, katanya aku tak akan bertahan, bahkan seminggu pun
tak akan, apalagi sebulan, tidak mungkin! Wah sebegitukah citra penakutku di mata
mereka!

Hari pertama, walaupun susah sekali tidur tapi aktivitas harianku berjalan sesuai yang
kuharapkan. Setelah salat subuh aku membersihkan seluruh pondok termasuk
menyapu daun-daun nangka di pelataran yang jatuh berguguran. Dilanjut dengan
bersepedah menggunakan sepedah ontel milik anak ustadz/ustadzahku. Sembari
menikmati sinar mentari yang menyiram pagi, mengusir kabut dan gelap, aku juga
bernostalgia masa-masa ketika masih duduk di bangku SMA. Wah indah sekali masa-
masa itu, terlebih masa di mana ketika guruku menyukaiku. Ih pemikiran apalagi sih
ini! Ingat Meg beliau sudah menikah! Dasar bucin!
Sesampainya di area persawahan, kuparkir sepeda di tepi jalan raya, lantas memilih
posisi duduk paling nyaman di bibir sungai, menyaksikan air mengalir dan tentu saja
ikan, dan bunga dari tanaman perdu yang berasal dari familly Apocynaceae, bunga
jepun/mentega/kamboja hanyut terbawa aliran sungai. Bunga itu berwarna putih
berpadu dengan warna kuning.

Aku jadi teringat dirinya yang menyukai gadis penyuka tanaman itu. Tatapannya
ketika membicarakan dia, senyumnya dan gesture wajahnya. Kubuka HP, kemudian
memutar lagu “Menepi” yang akhir-akhir ini sedang femous.

Tapi tak apa sungguh tak apa, dia berhak menyukai gadis itu, seperti aku yang
memiliki hak untuk menyukainya. Terbayanglah diri ini, bagaimana jika sudah
kembali ke pondok, sulit sekali rasanya mengontrol diri, tugas kuliah, tugas mengabdi
dan selentingan-selentingan hubungan dia dengan gadis itu. Ya Allah, perasaan itu
seperti gule kepala ikan bukan? Hanya karena kuspesialkan, maka ia bagai bumerang
bagi diriku sendiri, namun setelah kuanggap gule kepala ikan itu seperti masakan-
masakan lainnya, takkan lagi ia menepati tempat spesial di hatiku. Awas kau gule
kepala ikan, akan kupersiapkan amunisi sebaik mungkin untuk memusnahkanmu.
Akan kupanggil Tony Stark agar menyiapkan senjata terbaik untuk
menghancurkanmu. Hahahaha, tunggu saja!

Tapi tunggu dulu, bukankah aku telah menetapkan konsep tentang mencintai.
Mencintai itu tentang perasaan itu sendiri Mega. Baiklah, Tony Stark memang kau
harusnya menghadapi Thanos bukan urusan remeh temeh semacam ini.

Beberapa saat kemudian setalah kurasa matahari sedikit meninggi, aku memutuskan
untuk kembali ke pondok, mandi.

Aneh sekali padahal aku membaca alquran hingga mencapai 3-4 juz sehari, namun
hal-hal yang ingin ku kerjakan lainnya mendapat jatah waktu, malah terselesaikan
dengan baik. Padahal selama ini, aku selalu terburu-buru membaca alquran atas nama
mendahulukan hal yang lebih urgen namun biasanya justru banyak yang tidak sesuai
dengan target.

Wah ini sebabnya mengapa jika aku bertanya bagaimana menjaga hati, rajin membaca
dan menulis, merealisasikan hal-hal yang telah kutargetkan dalam hal tugas-tugas
membuat makalah di tengah padatnya jadwal mengabdi di pondok, beliau hanya
menjawab singkat saja, perbanyak dzikr dan membaca alquran. Hanya itu, sungguh.

Rupa-rupanya benar sekali kata beliau.


PEKA DONG!

Kupukul kepalaku, kurutuki jalan yang ku langkahi, tak peduli banyak orang berlalu
lalang, beberapa di antara mereka mengenalku sekalipun aku tak peduli. Aduh kenapa
sih dia tak jauh-jauh hari bilang jika ingin mengajak berbicara, mendiskusikan suatu
tema, kenapa harus mendadak. Untuk menata hati ini butuh berwaktu-waktu, agar
lidah tak tiba-tiba kelu, butuh berkali-kali jam terbang.

Dahulu sewaktu masa putih abu-abu, aku juga pernah mengagumi seseorang namun
tak pernah merasa seperti ini. untuk menanggapi apa yang dikatakannya pun, aku
selayaknya orang yang di bawa jalan-jalan ke lautan–Ingat Kapten Yoo ketika
mengajak Dr. Kang ke Pantai di Urk?—lantas ditenggelamkan, tergagap-gagap tentu,
karena tak bisa berenang. Menggapai-gapai udara.

Tak pernah kuajak dia berbicara terlebih dahulu. Padahal untuk teman-teman laki-laki
lainnya tak pernah aku merasa canggung, apalagi menjaga image. Jika tak suka terang
kuucapkan tak suka. Jika menyenangkan hati terang pula kutunjukkan kesenangan itu.

Pernah suatu kali, pada suatu sore ketika diri ini hendak mencari tempat yang sepi
untuk membaca sebuah bacaan yang sangat besar kemungkinan akan membuatku
menitikan air mata, dan kutemukan tempat itu ada di ruang kelas, beberapa lama
kemudian dia datang. Memabwa tas laptobnya dan beberapa buku. Hanya kulirik, tak
kuasa mata memandangnya. Takut betul ada yang memperhatikanku dan aku
tertangkap basah bahwa sedang mengamati dia.

Beginakah penyakit orang jatuh cinta? Menjaga perasaannya agar tak banyak orang
yang tahu, seperti seorang ilmuwan yang menemukan teknolgi baru. Kalian tentu tahu
bukan, jika ilmuwan berada di posisi tersebut, dia akan menjaga sedapat mungkin
agar teknologi baru yang berhasil diciptakannya itu tidak diketahui banyak orang,
sebelum dia mematenkan hak patennya kepada lembaga yang berwajib. Agar tidak
diaku oleh ilmuwan lainnya. Menjaga otensitas.

Dia bertanya kepada orang-orang yang ada di kelas saat itu mengenai suatu hal yang
kutahu apa jawabnya. Tapi aku memilih membisu, pura-pura tidak dengar. Menunggu
ada mahasiswa lain yang menjawab. Dirasanya tak ada yang menggubris, dia
menanyai kami satu persatu, tak ada yang tahu, kemudian sampai dia menyebut
namaku. Kucoba memasang muka sedatar mungkin lantas menjawab pertanyaannya.
Ah mengingat kejadian itu aku jadi teringat beberapa kejadian lainnya.

Di lingkungan terkecil seperti keluarga hingga negara, ada suatu term yang acap kali
dilontarkan yakni mengenai kepekaan. Di rumah, ibu beberapa kali mengomeliku,
jika letih pulang dari sawah dan mendapati ayam peliharaannya kelaparan, belum
dikasih makan. Aku yang sudah lama tidak di rumah, abai perkara itu, terlalu
tenggelam kepada kesibukan sendiri, mengetik dan membaca sepanjang waktu.
Mendengar keluhan ibu, aku akan bergegas mengambil tempat makan ayam dengan
menjinjing-jinjingkan kaki dikarenakan takut betul menginjak tai ayam yang
berserakan, kemudian mengambil bekatul atau biasa disebut dedak, lantas
menyeduhkan air dan mengaduknya hingga merata. Biasanya aku akan menyelipkan
kata seperti ini, “Nah ibu kok sebelum ke sawah tak mengamanatkan suatu pekerjaan
yang harus ananda lakukan.” jika ibu tak henti-hentinya mengomel. Padahal setelah
itu aku akan menyesal, karena ibu bukannya malah berhenti tapi semakin panjang
omelannya. Di akhir omelan itu beliau akan menutup dengan kalimat, “Masak nunggu
diperintah dulu!” yang secara tidak langsung dia menuntut kepekaanku.

Begitupun juga ketika aku di pondok ataupun di kampus. Seringkali ada teman yang
membutuhkan bantuan yang aku memiliki kemampuan untuk membantunya, tapi aku
memilih diam sampai dia secara langsung memintaku untuk membantunya. Jika
dibakukan dalam kalimat verbal, permintaan itu berbunyi, “Meg bisa kau
membantuku?” ingat harus ada “Meg” nya dan kedua matanya sempurna menatapku.
Mengingat tentang dia, aku jadi tersadarkan oleh sesuatu. Kadang kita tidak peka
bukan berarti kita memang tidak bisa peka, melainkan kita yang membuatnya seperti
itu –berada dalam ketidakpekaan—karena kita sedang menimbang seberapa
dibutuhkannya kita oleh orang-orang di sekeliling kita.

Keadaan ini juga mengingatkanku akan orang-orang yang tidak mau menyuruh,
memerintah ataupun minta tolong. Mereka menunggu orang lain peka. Selain
memang merasa tidak enak, boleh jadi dalam kehalusan perasaan itu dia sedang
menimbang seberapa berharganya dia bagi orang-orang di sekelilingnya.

Jika kesadaran ini disadari oleh setiap orang, hematku tidak akan ada lagi perasaan
dongkol di hati. Orang pertama –yang harus disuruh ketika mengerjakan sesusatu—
tidak akan memaksakan kehendaknya itu, karena dia sadar bahwasannya orang yang
menyuruhnya itu sedang sangat mengharapkan dirinya untuk menolong tanpa harus
diminta terlebih dahulu.

Hal yang sama juga berlaku terhadap orang yang menuntut kepekaan, dia tak akan
lagi gengsi, merasa tak enak hati, jika dirinya memang benar-benar butuh bantuan, dia
akan terang meminta bantuan, karena dia sadar bahwa orang itu sangat menanti
dirinya mengatakan, “Tolong”.

Namun kesadaran semacam itu juga belum lengkap. Harus dilengkapi dengan
kehalusan budi dan pengertian bahwasannya perlakukan seseorang sesuai dengan apa
yang kita harapkan dari orang ketika memperlakukan kita. Jika kita tidak suka disakiti
dengan sering dimarah-marahi tidak jelas, dibohongi, dikhianati, jangan pula kita
menyakiti orang lain dengan marah tidak jelas, membohongi dan mengkhianati.

Tahu tidak? Hal-hal semacam ini memang terlihat remeh dan receh, tetapi
sesungguhnya hal-hal semacam ini pula yang menimbulkan kesalahpahaman yang
lebih besar lagi. Memutuskan hubungan di antara orang yang awalnya saling kasih
mengkasihi dan saling menyayangi. Dengan demikian, agaknya kita memang harus
benar-benar mengenali diri sendiri, jikapun kita tak bisa mengenali diri sendiri lantas
kita mengatakan bahwa telah mengenali orang lain, itu hal yang mustahil dan patut
dipertanyakan. Selayaknya seorang saudagar kaya yang telah bangkrut lantas
mengatakan bahwa dirinya mampu memberi makan semua penduduk di kotanya, apa
mungkin?

Nah kenapa aku jadi memikirkan kejadian tempo lalu itu? Dikarenakan sekarang ini
aku sedang menikmati semangkok bakso dengan teh manis seorang diri di salah satu
warung makan yang terdapat di pasar. Sedangkan tidak jauh dari tempatku duduk
sedang kusaksikan dua sejoli yang tampak malu-malu. Yang laki-laki terlihat ingin
memulai pembicaraan, sedangkan si perempuan mencari kesibukan dengan memutar-
mutar HP, menunggu diajak bicara.

Ini adalah hari kedua di pondok sekaligus hari terakhirku. Besok aku akan pulang,
kembali ke rumah. Selain karena merasa was-was tidur seorang diri di kamar yang
dipenuhi oleh dipan-dipan kosong, juga aku telah menemukan amunisi bagaimana
mengatur hati agar tidak moody. Yey!!
TENTANG DIA

Kututup telepon dari saudara perempuanku yang sekarang di Papua, tepatnya di


Timika. Berbicara tentang Timika, selalu ku ingat kata seorang guru ketika aku kelas
tiga SD bahwa orang-orang asli sana, mereka tidur beralaskan emas, namun untuk
makan pun mereka tak mampu. Teringat pula diri sendiri yang berlinang air mata di
depan umum hanya karena membicarakan tambang emas itu. Setalah berapi-api,
layaknya Bung Karno dan Bung Tomo berpidato menggetarkan masa, tak kusangka
luruh juga air yang tersimpan di pelupuk mata. Ketika ada orang lain yang
mengingatkan kejadian itu, aku hanya bisa menyeringai layaknya kuda!

Indonesia ini kaya, kata seorang pejabat Mesir ketika berkunjung ke Indonesia, negeri
ini layaknya secuil surga yang diturankan Tuhan ke dunia. Namun sungguh sangat
disayangkan, banyak alam yang telah rusak. Alam diekspolitasi secara besar-besaran.
Berbagai macam penambangan baik itu emas, batu bara, minyak dan sebagainya,
mungkin karena sebagian besar mereka bukanlah penduduk asli negeri ini, manusia
yang lahir dan dibesarkan oleh bumi pertiwi maka yang mereka lakukan sesuka
hatinya sendiri. Tak hanya mengeruk habis kekayaan alam, mereka juga mencemari
lingkungan dengan limbah industri pertambangan.

Dewasa ini perubahan iklim yang ekstrim akibat pemanasan global telah membawa
pengaruh buruk terhadap lingkungan hidup termasuk manusia di dalamnya.
Menurutku pihak yang paling dirugikan selain alam adalah orang-orang dari kelas
ekonomi ke bawah. Seperti orang-orang yang hidupnya jauh dari perkotaan. Mereka
begitu sederhana memahami kehidupan ini, mengambil seperlunya dari alam, agar
esok lusa alam itu tetap berproduksi. Tidak ada ketamakan apalagi pemikiran ingin
mendominasi dan menguasai. Namun mereka terkena dampak dari pemanasan global
tersebut. Banjir, tanah longsor dan timbulnya penyakit-penyakit baru. Secara
berkelanjutan hal itu akan mengakibatkan barang-barang pokok melonjak harganya.
Hanya karena untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, sebagian besar makhluk hidup
di bumi harus merasakan imbasnya. Tak ikut memakan nangkanya, namun mereka
terkena getahnya.

“Mega, melamun lagi!” Nah itu, Kanjeng Mami telah berseru dan sangat hobi sekali
memecahkan lamunanku, mau tak mau karena kedudukanku sebagai seorang anak,
kudatangi juga beliau. Hal semacam ini pertanda bahwa ibu minta dibantu. “Mau
sampai kapan sampah itu kau biarkan teronggok di situ, membuat hidung tak sedap
membau, mata perih melihat. Lekas buang sana!” Aku hanya menunduduk bagai
MABA yang sedang diospekin katingnya.

Sebenarnya ibu sudah mengomel dua hari yang lalu agar selekas mungkin membuang
sampah ‘roti tawar berselai strobery’—selanjutnya disebut roti tawar—yang
kubungkus dengan plastik hitam lantas kuletakkan tak jauh dari kamar mandi. Karena
belum juga selesai datang bulannya maka kujawab saja “Iya!” namun tidak
kuindahkan dalam pelaksanaannya. Sengaja, agar sekalian membuangnya.

Roti tawar itu tak kumasukkan ke dalam WC seperti yang dicontohkan beberapa
teman perempuan ketika di sekolahan dulu, karena di rumahku ini, di desa terpencil
lagi terpelosok, sumber air bersih tak selalu terpenuhi. Sedangkan membuang Rroti
tawar itu menguras bergayung-gayung air, maka kuhimpun dalam sebuah plastik,
setelah itu kupendam di dalam tanah atau dibuang ke hutan bambu yang letaknya tak
jauh dari rumah. Ramai orang membuangnya di situ sejak dulu, namun kebanyakan
orang itu bukan dari masyarakat di desaku.

Di desa ini, penggunaan sampah plastik masih sangat minim. Belum lagi kebanyakan
dari mereka memiliki tempat pembuangan sampah masing-masing, entah itu akhirnya
akan dipendam ataupun dibakar. Mereka jarang membuang sampah-sampah itu ke
hutan bambu, kalau tidaklah sangat mendesak.

Maka sore ini karena kuyakin tak ada lagi ‘selai strobery’, ku bawa sekantong plastik
kecil itu berjalan menuju hutan bambu. Aku merasa dalam kondisi terdesak, karena
malas mencangkul tanah di belakang rumah yang banyak sekali tai ayamnya.
Sesampainya di sana, kujumpai banyak sekali sampah, tak hanya dedaunan dan
ranting bambu, namun juga berjenis-jenis sampah lainnya. Macam-macam warna
plastik bersatu padu, merah, putih, kuning, hitam dan hijau. Tanganku yang sudah
terjulur, dan satu tahapan lagi akan membawa Roti tawar ini menyatu dengan yang
lainnya, jadi kutarik kembali, lantas termenung.

Teringatlah lagi sosok itu, ketika berkaca-kaca bola matanya, menerangkan perihal
salah satu golongan yang prihatinkan keadaan alam dan perempuan. Katanya –
mengadopsi gagasan dari kelompok itu –bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah
dipergunakan oleh kaum lelaki untuk menunjukkan arogansinya. Mereka ubah
gunung menjadi lembah, hutan tempat tumbuh dan berkembang makhluk hidup
mereka jadikan sawah pertanian dan perkebunan, pasir dikeruknya hingga menjadikan
sungai itu keruh, dan lain sebagainya. Kaum lelaki itu telah memperkosa alam. Jika
alam rusak, hancur lebur, ekosistem tak lagi seimbang siapa yang paling dirugikan?
Perempuan! Karena merekalah yang paling berkepentingan menjaga ketahanan
pangan keluarga.

Alam seperti halnya perempuan, bukanlah benda mati, bukanlah objek yang boleh dan
layak didominasi dan dieksploitasi. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan alam
dan perempuan, kita harus selalu menjaga harmonisasi dan tidak dibenarkan
menganggapnya inferior dan subordinatif.

Dalam kajian ilmu humaniora, kajian yang memfokuskan keterkaitan antara alam,
lingkungan hidup dengan posisi dan keberadaan kaum perempuan dikenal dengan
istilah ekofeminisme.

Kudengar saja ketika dia menyampaikan hasil bacaannya itu, tak berani aku
menyanggahnya, karena belum tahu menahu mengenai golongan yang sedang
diperbincangkannya. Namun kini setelah membaca beberapa ulasan, hendak
kusanggah jua pendapatnya tempo lalu yang sempat dia sampaikan kepadaku.

Kadang pemikiran kita menjangkau terlalu jauh, atau mungkin karena kita bukanlah
bagian dari mereka (kaum kapitalis) hingga selalu melemparkan kesalahan kepada
mereka. Coba kita lihat sekali lagi bagaimana budaya masyarakat kita. Membuang
sampah di sembarang tempat bukan lagi sebuah aib melainkan hal yang jamak. Masuk
toko, beli jajan, atau minuman, disruput atau dicemilnya sambil jalan, setelah isinya
habis, ringan hati tangan membuangnya di jalanan. Banyak kujumpai fenomena
seperti ini, tak terhitung berapa kali kujumpai perempuan melakukannya.

Aku juga melihat perempuan di mana mereka tidak hidup dengan apa yang dimaunya.
Bahkan untuk urusan kecantikan pun mereka seringnya dibentuk oleh budaya
maskulinitas. Mereka cenderung mengikuti standar-standar yang berlaku umum, jika
tidak memenuhi standar itu mereka insecure dengan dirinya sendiri. Siapa yang
menentukan standar-standar itu? Sebagian besar adalah laki-laki.

Apa memang benar, perempuan diciptakan untuk laki-laki? Karena diciptakan untuk
laki-laki, maka mereka harus menjalani hidup sesuai standar yang telah ditentukan
laki-laki. Setiap kali mereka berkaca, mereka bertanya pada dirinya sendiri, sudah
sesuaikah aku? Walaupun perempuan hari ini lebih merdeka dan memiliki banyak
sekali pilihan dalam hidupnya, seperti perolehan hak yang sama dalam pendidikan
dan aktivitas di ruang publik, namun menurutku perempuan yang masih insecure
dengan dirinya sendiri, mereka belum terbebas dan masih terkungkung dalam budaya
patriarki.

Terlepas dari sanggahan itu, aku setuju bahwa kita dibebani tanggung jawab untuk
menciptakan generasi pembelajar yang berwawasan ekologis dan feminis. Generasi
yang menghargai kelestarian dan keseimbangan ekologi dan kesetaraan gender,
sehingga terciptalah kehidupan bermasyarakat yang harmonis antara manusia dengan
alam.

Barangkali demikian yang dikehendaki Allah, Allah menghendaki manusia untuk


membaca apa saja termasuk alam selama bacaan itu bismi rabbik, ketika Nabi
bertanya apa yang harus kubaca setelah malaikat berseru bacalah!

Bahwa setiap makhluk di bumi, langit, bintang, gunung, tumbuhan, hewan dan
manusia mereka senantiasa berdzikir. Memuji-Nya dengan pujian terindah.

Sampai hatikah kita memetik bunga yang tengah mekar-mekarnya, sedangkan dalam
mekarnya itu mereka sedang melantunkan kalimat-kalimat thayyibah, mereka sedang
berkhalwat dengan Penciptanya. Sampai hatikah kita merusak ekosistem di laut
dengan membuang sampah sembarangan dan merusak terumbu karang, sampai
hatikah aku mengganggu pohon-pohon bambu ini melaksanakan titah Tuhannya
dengan ikut menyumbang sampah roti tawar ini. Tidak! Jangan! Tapikan hanya
sekantong plastik kecil! Stop!

Boleh jadi sampah yang jadi banyak disebabkan oleh pertama-tama orang yang
membuangnya berfikir “Tak apa hanya satu sampah ini”, kemudian yang lain-lainnya
juga berfikir seperti itu. Tak ingatkan aku ini, salah satu kisah yang dikisahkan oleh
sebuah buku bahwa pada suatu hari di sebuah negeri, masyarakatnya dimintakan agar
menyumbangkan sesendok madu kepunyaannya lantas dimasukkan ke dalam gentong.
Salah seorang telah meniatkan di hari H acara tersebut akan membawa satu sendok air
dengan pemikiran tidak akan kentara satu sendok air di antara bersendok-sendok
madu dalam gentong itu. Namun betapa nahasnya si panitia, mereka menjumpai
gentong itu terisi air bukan madu. Karena penduduk negeri itu memiliki pemikiran
yang sama seperti orang pertama tadi.

Baiklah, aku akan melawan perasaan jijik itu sedemikian rupa, mencangkul tanah
dengan cangkulan termesra lantas membuang sampah roti tawar ini ke dalamnya.
MENONTON FILM? BOLEH KOK!

Ada satu kenangan mengani film dalam hidupku yang begitu membekas. Dahulu jika
aku dan teman-teman kecilku kehabisan ide untuk melakukan suatu permainan atau
mengetahui jadwal film yang akan tayang di TV, kami selalu menontonnya bersama-
sama di rumah salah seorang di antara kami.

“Nduk, ibu hendak pergi ke toko kelontongnya Mbak Sri dulu ya. Ada keperluan.”
Kanjeng Mami menghampiriku yang tengah duduk-duduk mengelus bunga krisan
berwarna merah yang baru saja kubeli dari toko bunga di kecamatan. Aku
mengangguk.

Perlu kuceritakan sedikit kejadian kepada kalian mengenai bunga ini. Sebelum aku
membelinya, aku tentu meminta izin dulu kepada ibu. Seperti yang kuduga ibu pasti
tidak akan mengizinkannya. Membuang-buang uang katanya. Aku juga sudah tahu
diriku yang tidak bisa dicegah begitu memiliki keinginan. Jadi permintaan izin itu
hanya sebagai formalitas. Diizinkan atau tidak aku akan tetap membelinya.

Hingga tibalah waktu itu. Waktu ketika aku telah menemukannya –menemukan bunga
Krisan. Kebetulan banyak sekali tetangga yang bertandang ke rumah, ngerumpi, khas
ibu-ibu pokoknya.

Melihatku pulang, semua mata segera menghujam ke arahku, lebih-lebih ke arah


sesuatu yang kubawa. Bunga! Semua orang yang hadir menanyakan kepadaku, begini
rata-rata bunyi pertanyaannya, termasuk Kanjeng Mami, ibuku! “Bunga apa ini kok
cantik, warnanya merah kayak Stroberry?” Kujawab dengan sepenuh hati bahwa
bunga itu bernama bunga Krisan.

Ibuku yang awalnya tidak mengizinkan jadi tersenyum-senyum mengelus-elus bunga


yang kubawa. Malah membantuku untuk memindahkannya ke pot bunga yang telah
kubeli. Kemudian membagikannya kepada tetangga yang pada saat itu hadir.
Setangkai demi setangkai.

Jadi aku membangkang ibuku itu bukannya tanpa pertimbangan. Berkali-kali


kupertimbangkan. Aku tahu apa yang disuka dan tidak disuka ibuku. Aku pun yakin
bahwa apa yang kulakukan tidak ada niatan sama sekali untuk menghambur-
hamburkan uang, murni untuk membeli bunga yang sangat kuingini. Dahulu juga
sering kejadian semacam ini. Itu contohnya –menunjuk bunga gelombang cinta yang
tak jauh dari tempatku duduk. Dahulu ibu juga tidak setuju ketika kukatakan kepada
beliau bahwa aku hendak membeli bunga gelombang cinta, seharga dua puluh lima
ribu. Ditolaknya mentah-mentah niat baik itu –untuk mempercantik pekarangan.

Ibu itu atau orangtua kebanyakan menolak permintaan kita karena dua alasan.
Pertama, karena apa yang kita minta itu benar-benar tidak penting. Kedua, karena
beliau tak sanggup memenuhinya. Maka kucoba menghilangkan anasir-anasir yang
membuatnya tidak setuju. Jadi itulah rahasianya! Kakak-kakakku itu –yang sekarang
sudah menikah—kerap iri melihatku berhasil melunakkan hati ibu. Ini loh rahasianya,
hehehe.

Jurus ini juga kupakai ketika aku meminta izin untuk sesuatu hal yang lebih besar,
misalnya? Jalan-jalan ke Banjarmasin! Atau besok ketika menikah dan beliau tidak
menyetujui pilihanku padahal aku sangat mencintainya. Eh.

Kembali ke topik awal yang akan kita bicarakan dalam bab ini. Selain fakta di atas –
kesukaan menonton film—ada film yang senantiasa kita tunggu-tunggu setiap bulan.
Film apa itu? Film kartun hadiah dari susu Dancow. Salah satu film kartun yang
selalu kuingat hingga detailnya itu adalah kisah sang raja yang hendak membuat
taman terindah di seluruh negerinya. Taman pribadi! Karena pribadi tak seorangpun
diizinkan untuk memasukinya. Bahkan para pengawal yang menjaga di gerbang
ketika menjumpai lalat hendak masuk ke taman itu, segera dibunuhnya. Taman itu
begitu indah, dirancang oleh arsitek terkenal dan terbaik di seleuruh negeri. Di
dalamnya terdapat kolam renang, air terjun, bunga dan berbagai macam buah-buahan.

Namun pada suatu hari seorang nelayan yang ketiduran di perahunya tak menyadari
bahwa dia telah memasuki taman sang raja. Ternyata kolam sang raja itu terhubung
dengan aliran sungai. Melihat taman itu dipenuhi oleh buah-buahan, pelayan itu
segera turun dari perahunya dan memetik beberapa buah untuk mengenyangkan
perutnya. Karena kekenyangan, pelayan itupun ketiduran.

Hari itu juga kebetulan adalah jadwal bagi sang raja untuk berkunjung ke tamannya.
Ketika sang raja sedang asik menikmati keindahan tamannya tiba-tiba dia melihat
pelayan itu. Dipanggilnya para pengawal agar menangkap nelayan itu. Hendak
dimasukkan nelayan itu ke penjara, namun tak jadi karena sang nelayan berkata, “Aku
menjumpai taman yang lebih indah daripada tamanmu.” Mendengar perkataan itu
sang raja marah kemudian menantang, “Tunjukkan! Jika benar apa yang kau katakan,
aku akan membebaskanmu dari hukuman. Namun jika kau berbohong, kau harus
terima hukumanmu.”

Berangkatlah sang raja dipandu nelayan itu melalui jalan rahasia yang tak senagaja
ditemukan sang nelayan. Selang beberapa waktu, Sang Raja benar-benar dibuat takjub
akan keindahan yang disaksikannya. Air terjun, kejernihan air, tumbuh-tumbuhan dan
anak-anak yang riang gembira mandi di aliran sungai tersebut. “Wahai nelayan arsitek
manakah yang menciptakan taman yang begitu indah ini?” Tanyanya kepada nelayan.
“Tuhan.” Jawab nelayan itu. Sejak itu sang Raja membuka taman yang telah
dibangunnya untuk masyarakatnya. Siapapun boleh memasukinya dan memetik buah-
buahan yang ada di dalamnya. Apakah kalian hidup sezaman denganku dan
mengkonsumsi susu Dancaow? Jika iya, harusnya kalian tahu film itu.

Film-film yang arif semacam itulah dahulu yang menghiasi masa kecilku bersama
teman-teman. Maka tak heran jika hingga sebesar ini aku lebih suka menonton film
kartun daripada menonton drama. Sebagiannya memang karena film kartun lebih
banyak mengandung nilai-nilai kebaikan, juga sebagiannya lagi karena film kartun itu
seperti memanggilku pada kenangan.

Aku tahu seorang yang menempuh Jalan Cinta mereka menjalani hidup hanya untuk
hari ini. Aku pun tahu bahwa pada hakikatnya setiap jiwa sangat menginginkan
menempuh jalan itu. Dikarenakan jalan itu teramat berat, tidak semua orang mampu
bertahan. Tidak semua dengan suka hati mampu bercerai dengan gemerlapnya dunia,
termasuk aku. Bukankah kenangan itu bagian dari dunia?

Walaupun aku lebih suka film kartun, bukan berarti aku buta dengan film-film
lainnya. Aku menonton Drama Korea, film-film action dari barat, India, Cina,
Thailand, Vietnam bahkan juga film-film Turki. Selain jalan ceritanya, entah
mengapa melihat film-film semacam itu yang tertambat di hati justru hal-hal remeh
temeh yang boleh jadi tidak menjadi fokus pembuat film atau pembuat naskah.
Contohnya? Pohon yang melambai ditiup angin di adegan film A Love So Beautiful.
Apa yang kupikirkan? Bagaimana keadaan pohon itu saat ini. Kesepiankah? Adakah
yang bernaung di bawahnya?
Selain itu menonton film juga menenangkan kondisi hatiku yang senantiasa menjerit-
jerit ketika membaca berita, melihat kabar kondisi tragis masyarakat di sebuah negara.
Aku sempat memikirkan orang-orang Cina berhari-hari. Bagaimana mereka?
Bahagiakah? Karena negaranya merupakan negara terpadat di dunia. Selain itu
kondisi negaranya yang sering berkonflik dengan beberapa negara lainnya.
Bagaimana anak-anaknya, apakah benar orangtua dan guru di sana sering memaksa
mereka untuk terus menerus belajar?

Dengan melihat film, menyaksikan bahwa ada adegan lucu, masa anak remaja yang
diwarnai dengan cinta monyet, kehidupan keluarga yang harmonis dari produksi film
orang-orang Cina, beberapa kilo beban di hatiku menjadi terangkat. Syukurlah!
Mereka masih bisa membuat dan menayangkan film semacam itu.

Nah, karena buku ini membahas seputar perasaan di hati, aku ingin menuliskan kesan
dan pesanku terhadap sebuah Drakor yang berjudul “Queen of seven Days”. Drama
itu benar-benar berhasil mendramatisasi kehidupanku selama beberapa hari ke depan
seusai aku menontonnya, begini:

Selain karena pemain utama dalam film itu berparas cantik dan ganteng, ada beberapa
hal lain yang menjadi pertimbangan mengapa film itu begitu menarik bagiku.

Pertama, setting tempat. Ada beberapa tempat yang begitu aku melihatnya, tempat-
tempat itu begitu dekat di hati. Seperti sungai dan air terjun yang mengalir, ketika Jin
Seong dan Chae Gyung melewatinya sepulang dari rumah Seo Noh. Gemericik air,
bunga sakura yang melambai ditiup angin. Ada juga tempat lainnya seperti tanah
lapang luas yang ditumbuhi bunga berwarna kuning sejauh mata memandang. Saat Jin
Seong dan Chae Gyung berteduh di sebuah dangau karena hujan.

Kedua, pesan atau amanat yang ingin disampaikan. Tidak semua orang menginginkan
menjadi seorang raja atau setidak-tidaknya memiliki kekuasaan atas sebuah wilayah.
Ada anggota kerajaan yang menolak ketika ia diberi kekuasaan, karena memiliki
pertimbangan bahwa kebahagiaan tak selalu begitu didefiniskan, dia adalah Lee Yeok.
Namun kenyataan justru tak mendukungnya. Berbagai anasir di antaranya haknya
sebagai putra mahkota, ketiranian kakak tirinya, yakni Raja Yeon San Gun /Lee Yung
dalam menjalankan sistem pemerintahan yang berimplikasi banyak masyarakat
mendambakan hadirnya seorang raja yang bijaksana. Otomatis hal tersebut
menimbulkan berbagai macam pemberontakan di beberapa wilayah kerajaan. Anasir-
anasir itu menggugat hati nuraninya hingga membuat sang pangeran menepiskan
mimpinya untuk menjadi rakyat biasa yang tak terikat oleh aturan kerajaan. Karena
menurutnya kebahagiaan bukan ketika kita memiliki kekusaan atau harta yang
berlimpah, namun hidup bersama orang-orang yang kita cintai, baik itu keluarga,
sahabat ataupun pasangan dengan saling menyayangi. Hidup di lembah-lembah
sebagai seorang petani, lebih ia sukai dibandingkan menumpahkan darah hanya untuk
memperjuangkan haknya sebagai putra mahkota yang seharusnya melanjutkan takhta.

Pesan lainnya dalam film ini adalah tentang mencintai. Hakikat mencintai itu tak
selalu menggenggam, namun juga melepas. Chae Gyung adalah putri tunggal
Sekretaris Utama Kerajaan yang menikah dengan Pangeran Jin Seong setelah
melewati penantian yang panjang. Selepas menikah dengan Lee Yeok dan telah
berhasil mengkudeta Lee Yung, ia faham bahwa kehiduapan di kerajaan tak
sesederhana pemikirannya selama ini. Dia menyadari mimpi-mimpinya bersama Jin
Seong begitu naif. Banyak orang yang mengincar posisinya hingga membuat berbagai
macam rencana baik tersutruktur maupun tidak. Hal tersebut kerap kali
membahayakan nyawa suaminya yang berusaha karas melindunginya. Maka pada
suatu hari, ketika Jin Seong menghampirinya setelah bertengkar hebat dengan para
menterinya di kerajaan karena mendapati fakta bahwa banyak menterinya yang culas,
Chae Gyung memotong pita bajunya. Di dalam tradisi kerajaan tindakan itu berarti
sang istri menghendaki perpisahan dengan sang suami.

Dia bilang, bahwa dengan mereka bersama, mereka akan selalu dalam bahaya. Lee
Yeok adalah seorang raja dan rakyat sangat membutuhkannya. Maka nyawanya tak
hanya miliknya seorang. Lee Yeok harus menjaganya, dan Chae Gyungpun akan turut
menjaganya. Bukti penjagaan Chae Gyung terhadap Lee Yeok adalah dengan
perpisahan itu. Jika Lee Yeok memang benar-benar mencintainya, maka Lee Yeok
harus bertahan dan menjadi raja yang bijaksana dan setelah ini jangan pernah saling
bertemu lagi.

Setelah itu mereka benar-benar tidak saling bertemu, walaupun jarak tempat tinggal
keduanya tak begitu jauh. Jin Seong menepati janjinya untuk menjadi raja yang
bijaksana, salah satunya adalah dengan menikah, karena kedudukakannya
menuntutnya memiliki keturunan untuk menjalankan roda pemerintahan. Suatu hari
dia sangat merindukan Chae Gyung, Chae Gyung tetap menjadi satu-satunya
perempuan yang ada di dalam hatinya. Dia mengirimkan surat yang berisi tawaran
mengembalikan status Chae Gyung sebagai seorang ratu. Mendapati surat itu, Chae
Gyung hanya tersenyum lantas menulis balasan untuk Sang Raja agar memikirkan
kembali keputusannya. Bahwa dengan statusnya yang sekarang sudah memiliki istri,
lantas keputusan untuk mengembalikan statusnya sebagai Ratu adalah tindakan
kurang bijak. Chae Gyung mengingatkan sang Raja akan kejadian berdarah-darah
ketika perebutan kekuasaan antara dirinya dan Lee Yung. Dan dia tak mau kejadian
itu terjadi kepada anak-anaknya kelak suatu saat nanti. Maka lagi-lagi Jin Seong
memilih berdamai dengan kerinduannya, memilih takzim dengan penantiannya.

Hingga tiga puluh delapan tahun kemudian. Ketika keduanya tak lagi muda. Kulit
keriput, rambut memutih, fisik tak lagi kuat. Jin Seong meminta prajurit kerajaan
untuk menjemput Chae Gyung. Hari itu ketika Chae Gyung menginjakkan kakinya
setalah tiga puluh delapan tahun, semua pintu di istana kerajaan dibuka tanpa ada
yang menjaganya. Hari itu akhirnya Jin Seong dan Chae Gyung dapat kembali
bersatu.

Pesan tentang persahabatan di film ini juga tidak kalah kuatnya. Jin Seong memiliki
dua sahabat yang senantiasa menemaninya ketika kecil dulu. Di samping itu dia juga
memiliki sahabat yang bernama Seo Noh. Seorang anak dari keluarga miskin yang
mencuri uang dan surat milik Chae Gyung, yang dari peristiwa itu justru
mengantarkannya pada hubungan pertemenan yang apapun akan dikorbankannya
termasuk nyawanya.

Demikianlah, salah satu resensi dari Drama Korea yang kutonton. Jadi menonton film
itu tidak ada salahnya kok! Asal tahu saja prioritas, mana yang harus didahulukan.
Semua harus dipertimbangkan. Juga jangan sering-sering, apalagi kalian pelajar loh!
Aku tahu banyak film itupun karena sejak kecil aku memang suka nonton film. Persis
seperti membuat makalah, aku mencicil. Jadi tidak pernah kuhabiskan waktu seharian
hanya untuk menonton film.
ALLAH MELAKUKAN RELEVANSI?

Setragis ini kondisi di desaku. Hanya untuk mencari sinyal internet saja, aku harus
mengungsi ke rumah tetangga. Duduk di teras rumahnya ditemani nyamuk yang
seakan bersorak gembira menemukan mangsanya. Kalau bukan karena takut
ketinggilan informasi seputar pondok dan kuliah, takkan kumau membiarkan tubuhku
bagaikan samsak untuk makhluk yang disebut dalam alquran itu.

Ternyata tak ada informasi yang begitu berarti. Kulihat-lihat status teman-teman di
kontakku. Tak ada yang menarik! Kebanyakan tentang rindu. Aku tahu kalian sudah
dewasa, telah bertemu banyak orang, telah mencicipi asam dan manisnya kehidupan,
telah membaca ratusan buku bahkan lebih, namun rindu itu ditujukan pada seseorang,
sesama manusia, antara laki-laki dan perempuan. Jadi asumsi kalian tak usah
melalang buana kemana-mana. Rindu Allah, rasul-Nya, malaikat muqarrabin, para
shiddiqin dan orang-orang shalih shalihin. Tak usah! Membawa kerinduan dan
kecintaan itu untuk menetap dalam hati bukanlah hal yang mudah. Cinta dan rindu
semacam itu tak mau menetap di hati orang-orang yang tidak peka!

Namun di antara status-status itu ada salah satu status yang menarik. Hehehe, benar
status miliknya. Entah dari mana sisi menariknya. Backround tulisan yang digunakan
berwarna biru dongker, kalimatnya juga tak banyak-banyak amat. Hanya sebuah
kutipan. Tapi aku sudah senyum-senyum sendiri.

Fase di mana aku disebut sebagai mahasiswa ini aku menemukan banyak hal yang
berbeda. Salah satunya adalah mengenai hubungan pertemanan. Entah mengapa aku
begitu menyayangi mereka, terlebih teman-teman yang sejak awal berbaik hati
membantuku memahami hal-hal yang tak kupahami. Mungkin karena kami tinggal di
pondok, setiap hari bertemu, melakukan aktivitas hampir dua puluh empat jam
bersama-sama. Mungkin juga karena kami telah dewasa dan lebih menghargai
hubungan pertemanan. Atau boleh jadi di antara kami ada yang diam-diam telah
tertambat kecintaan itu, kecintaan pada Penciptanya. Apa konsekuensinya? Dia akan
memiliki banyak sekali ruang di hatinya untuk mencintai banyak hal. Bahkan seluruh
dunia dan isinya, hatinya tetap akan mampu menampungnya.
Setiap hari, tak pernah kuhabiskan waktu tanpa memikirkan mereka. Selalu saja ada
hal-hal yang membuat ingatanku jatuh pada mereka. Membaca alquran misalnya.
Wajah-wajah mereka tiba-tiba berkelebat, menari di atas mushaf ketika kulantunkan
ayat-ayat-Nya. Ketika panen pisang di kebun milik ibu dan bapak, wajah-wajah
mereka pun terlukis di dedaunan, sedang berebut satu sisir pisang, hasil dari teman
yang dikunjungi orangtuanya. Ketika membaca bukupun demikian. Tawa dan
kesedihan mereka seolah menggema di balik buku-buku yang kubaca. Di antara
semual hal itu ada satu hal yang akan membuatku hanya teringat dengannya –iya
benar, ‘nya’ nya itu manusia kok, laki-laki lagi—apa itu? Daun yang berguguran. Aku
tak tahu pasti kenapa daun gugur yang justru mengingatkanku hanya dengan dia.
Kenapa tidak buku? komik? Instrument musik? Anime? Puisi? Atau langit? Hal-hal
yang begitu dekat dengannya.

Ngomong-ngomong tentang langit, dia sudah memiliki tuannya. Bulan purnama, dia
mengingatkanku dengan seseorang yang bersembunyi di kebun anggur ketika dikejar-
kejar oleh orang-orang Thaif. Bulan sabit mengingatkanku dengan seseorang yang
menutup rapat perasaan cintanya. Konon, setanpun tak dapat mengetahuinya. Bintang
gemintang mengingatkanku dengan dua orang yang satunya meninggal karena
diracun dan satunya karena dibunuh. Lantas apa yang mengingatkanku dengan-Nya?
Setiap kali aku mengingat segala sesuatu yang diciptakan-Nya. Ceritanya ini ingatan
di dalam ingatan.

Tuh, tuh kan malam semakin menunjukkan kekusaannya. Seenaknya saja membuat
orang kedinginan. Padahal aku sudah memakai baju lapis tiga, pakai jaket pula. Tetapi
dingin tetap memaksa masuk, merobek-robek pertahananku. Wahai dingin, siapalah
aku hingga kau sepertinya begitu mendendam. Begitu teganya membuatku tersiksa
semacam ini. Hiks.

Sudahlah, akan sangat menyenangkan jika aku meringkuk di balik kemul.

**

Hari ini tepat pukul 08:00 WIB, seorang teman menjemputku di rumah. Katanya dia
hendak memintaku untuk menemaninya ke Masjid Namira di Lamongan. “Untuk apa,
ada perlu apa?” tanyaku sebelum mengiyakan ajakannya. “Hanya ingin menghabiskan
waktu bersamamu sebelum kamu balik ke pondok.” Kutiliki setiap bagian wajahnya,
jujurkah ia? Hanya sekedar merayu agar aku berbaik hati mengantarnya kah? “Tak
ada Meg. Sungguh hanya itu alasanku. Lagian jika aku ada kepentingan, kepentingan
apa di Namira?” Aku tetap sanksi menatapnya, menunggunya untuk lebih
meyakinkanku bahwa tidak ada kepentingan selain kepentingan itu.

“Sebenarnya aku hendak mengajakmu pergi selain ke tempat itu. Tapi pasti kamu
tidak akan mau dan alasannya juga pasti karena panas. Aku juga tidak bisa keluar
setelah salat ashar karena di rumah ada kerjaan, jadinya aku tetap memilih tempat
itu.”

Wah berapa tahun sih dia telah mengenalku! Benar! Aku tidak akan mau keluar hanya
untuk jalan-jalan jika cuaca di luar sedang terik. Namun ada pengecualian, jalan-jalan
dengan cuaca semacam itu mau kulakukan jika tujuannya adalah Masjid Namira.
Kalian tahu kenapa? Karena Namira menyimpan salah satu fragmen kenanganku di
masa putih abu-abu. Tenang, bukan tentang cinta kok.

Aku mengangguk-angguk, tersenyum-senyum menatapnya penuh arti. Kemudian


mengangkat kedua tangan, kuberderikan jari-jemariku yang berjumlah sepuluh itu—
artinya aku butuh waktu sepuluh menit untuk bersiap-siap— dan segera masuk ke
dalam kamar.

Lihatlah di atas sana, langit bersih tak tersaput awan! Dan lihatlah minyak bagaikan
tertumpah di jalanan. Kupacu sepeda hingga kecepatannya mencapai 80 km/jam.
Tidak ada itu acara menikmati perjalanan. Kutepis rasa takutku melihat kendaraan-
kendaraan besar. Padahal aku sudah memakai kaos kaki, kaos tangan, masker dan
helm, tapi rasa panas yang menyengat ini masih saja terasa. Menyambar-nyambar
kulitku.

Sekitar 45 menit berlalu. Akhirnya aku dan temanku sampai juga di Masjid Namira.
Masjid Namira ini dahulunya cuma satu bangunannya yakni yang berada di depan.
Tak berapa lama kemudian, pembangunan segera dilakukan, areanya diperluas hingga
jadilah seperti sekarang ini yang kata kebanyakan orang suasananya mirip dengan
suasana di Makkah. Aku tak pernah ke Makkah jadi aku tak mau memberi komentar.

Sebelum masjid ini booming dan sering dikunjungi orang-orang seperti sekarang ini,
dulu aku sudah sering ke sini bersama ustadzku –tentu bersama keluarganya pula.
Kalian tahu, setiap kali diajak ke sini yang tujuannya adalah untuk mendengar kajian
yang kulakukan bukannya duduk rapi di dalam masjid sana, melainkan justru
menghampiri kolam ikan. Bermain-main dengan mereka.

Ustadzku itu sudah sering kubuat geleng-gelengkan kepala, heran. Pertama ketika
beliau menanyaiku apa alasan terbesarku masuk pondok. Kedua, kelakuan-
kelakuanku yang tak biasa selama di pondok. Mau contohnya? Pernah suatu kali,
hatiku terasa gamang. Teramat sangat ingin menangis, namun tak jua keluar air mata.
Pada sore itu seusai mengajar ngaji anak-anak TPQ, kugotong kursi panjang tepat di
tepi jalan raya. Duduk rapi di situ, kemudian setiap kali ada pengendara kulambaikan
tanganku ke arahnya sembari tersenyum-senyum seolah-olah kenal. Duh, setiap kali
mengingat kejadian itu aku selalu memukul pelan kepala, kok bisa? Walau demikian
aku tak pernah menyesalinya. Kelakuan-kelakuan aneh itu yang justru kata sebagian
teman membuat hidup mereka lebih berwarna.

Segera setelah memarkirkan sepeda motor, aku pamit pada temanku untuk pergi ke
toilet, mandi! Aku memijat-mijat dahiku dan memerhatikannya di cermin, lihatlah
garis di tengah itu, sungguh kentara! Jika kentara semacam itu, hal itu menandakan
suhu badanku tinggi dan kepalaku pening.

“Wah ternyata Allah baik sekali ya.” Kataku menghampiri temanku yang sedang
duduk-duduk di kursi warna hitam yang bisa bergoyang-goyang di depan masjid,
seusai mandi. Temanku itu menatapku sembari mengernyitkan dahi, menungguku
untuk mengatakan kalimat selanjutnya. Aku mengedikkan bahu, tersenyum menatap
lurus ke dapan, tak mau melanjutkan.

Dahulu, seringnya aku melihat ketidakadilan-Nya. Semisal kenapa orang-orang bule


begitu terlihat cantik dan tampan. Apalagi bola matanya, sungguh membuat iri orang-
orang Asia yang kebanyakan bola matanya kalau tidak berwarna hitam ya hitam
kecokelat-cokelatan. Tidak ada yang biru, hijau, abu-abu dan sebagainya. Kenapa
orang-orang barat memiliki musim semi yang ketika itu bunga-bunga indah
bernekaran. Memiliki musim salju yang ketika itu kristal-kristal bagaikan melebur
lantas luruh ke dunia. Kenapa? Orang Asia ini bagaikan makhluk alternatif. Protesku
meminta keadilan.

Tapi sekarang tidak lagi. Bayangkan Indonesia yang dinginnya semacam ini saja,
rasanya aku sudah ingin menangis. Hanya angin loh, belum es. Indonesia yang
panasnya segini saja, emosiku sering meledak dibuatnya. Walaupun aku belum pernah
merasakan panas di garis khatulistiwa, di Pontianak yang katanya hendak membuat
telur ceplok tak usah menyalakan kompor, namun panas ini sungguh menyiksa.
Beruntug, sungguh beruntung. Apa jadinya aku jika ditempatkan Allah di gurun itu.
Menjadi orang badui! Ternyata Allah juga melakukan relevansi.
PRINSIP VS REALITA

Sebelum subuh tadi hujan sempat turun, deras bahkan. Aku tahu tak hanya aku sendiri
yang menyukai hujan, merasa memiliki keterkaitan dengannya dan jika tak turun
dalam waktu yang lama hati jadi merindukannya. Apalagi setelah kemarau panjang,
mendapati hujan pertama kali turun adalah kebahagiaan yang tidak terkira. Melihat
awan hitam bergumul dan menyembunyikan matahari, disusul suara gelegar guntur,
kilat bagaikan serabut akar pohon menyambar susul menyusul, kemudian jatuhlah
milyaran tetes air yang seakan berlompatan. Namun walau deras hujan subuh tadi,
hujan tidak berlangsung lama, setelah itu angin bagaikan menggerus awan, yang
terlihat dilangit setelah hujan reda justru bulan yang menyabit dan kerlap-kerlip
bintang gemintang. Kalian tahu bagaimana perasaanku? Aku selalu ingin menangis,
tak tahu oleh sebab apa, hanya saja melihat langit membuat hatiku dipenuhi oleh
perasaan rindu.

Berbicara tentang bulan sabit, ia selain mengingatkanku akan kebesaran ciptaanNya


dan mengakui bahwa Dia Maha Indah dan mencintai keindahan adalah juga
mengingatkanku dengan Sang Imam, Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. Mengapa?
Karena bulan sabit sinarnya begitu indah, namun ia terlihat sendiri dan merasa sepi,
selayaknya Imam Ali ketika ditinggal Rasulullah, istri dan sahabat-sahabat utama
pergi ke hadirat Ilahi. Imam Ali harus menghadapi umat Islam yang senantiasa
berselisih, namun ia adalah Imam Ali yang hatinya selalu ramai oleh perasaan rindu
dan cinta kepada Rabbnya. Beliau teguh kepada prinsip hidupnya.

Mengenai prinsip hidup, hal itu kemudian mengingatkanku dengan pernyataan salah
seorang, salah seorang tersebut tak lain adalah saudara perempuanku sendiri. Sudah
takdirnya mungkin, coba kalian tanyakan pada setiap adik yang memiliki kakak
berjenis kelamin sama dengan dirinya, sang adik akan sangat mengagumi kakaknya,
begitupun juga denganku. Bagiku saudara perempuanku itu bagaikan embun, dialah
yang telah menanamkan pemahaman bagi keluargaku akan pentingnya sebuah
pendidikan. Dia jualah yang pertama kalinya mencoba membangun komunikasi yang
baik dan sehat di keluarga. Tak pernah kulupa, bagaimana berbinarnya matanya
ketika melukisi tembok yang dipenuhi jamur putih itu dengan cat air mengenai cita-
cita dan prinsip hidupnya. Tak pernah kulupa bagaimana dia memindahkan tangisku
di pipinya –kalian tahu bukan, saudara ketika melihat saudaranya menangis, ia pun
jadi ikut-ikutan menangis, aku yang dulu tak paham bahwa hal itu timbul karena
sayang, hanya termangu melihat sambil berkata dalam hati, kenapa dia jadi ikutan
menangis?— tak pernah kulupa jua bagaimana dia mengajariku memecahkan
persoalan pelik pelajaran matematika. Dialah embun yang mampu meredamkan setiap
amarah yang ada. Selalu ku ingat pula nasihat yang paling disukainya, nasihatnya
Imam Syafi’i mengenai seorang penuntut ilmu yang harus rela, sabar dan tabah
merantau bahkan jika rantauan itu jauh di negeri orang.

Waktu bergulir, bukankah manusia senantiasa berdinamika dengan dirinya? Suatu


hari kita bertengkar hebat –kita memang sering bertengkar—mengenai prinsip hidup.
Dia katakan padaku di akhir adu mulut tersebut bahwasannya pada akhirnya setiap
orang akan lebih mementingkan urusannya sendiri, mendahulukan kebutuhannya
daripada kebutuhan orang lain, bahkan keluarga sekalipun. Selesai! Tak dapat
kubantah perkataannya itu, karena walaupun usia kami hanya berbeda dua tahun, tapi
aku mengakui bahwa dia jauh lebih banyak memakan asam manisnya kehidupan.

Sejak SMP dia senang berorganisasi hingga ketika kuliah di IPB pun, dia tetap
melakoni hobinya itu, dia sering mengatakan kepadaku bahwasannya menjalin relasi
itu penting. Tapi perlu kalian ketahui bahwa di semester dua perkuliahannya di
FMIPA jurusan Kimia murni itu, dia memilih untuk out. Mengambil sebuah
keputusan yang membuat keluargaku sempat terguncang. Dalihnya yang akhir-kahir
ini baru kuketahui adalah karena tak tega melihat ibu terus-terusan bekerja sedangkan
masih ada aku dan si bungsu yang harus tetap sekolah hingga ke menara gading
apapun yang terjadi.

Maka sebelum dia mengeksekusi rencana itu, ditabungnya uang beasiswanya hingga
genap untuk membeli tiket kereta api pulang ke Lamongan, mengurus beberapa
berkas kemudian membeli tiket pesawat untuk terbang ke Papua. Sebelum itu pun dia
sudah mengkontak kakak salah seorang temannya ketika SMP yang memiliki sebuah
sekolah SD di sana, agar diizinkan dirinya untuk mengajar. Jadi ketika sampai di
Timika dia tak menganggur, malainkan langsung bekerja. Walau sebagai guru honorer
yang gajinya tak seberapa, namun menurut penuturannaya kepadaku dia teramat
senang, setidak-tidaknya dia bisa mengamalkan ilmunya. Tak hanya mengajar di
sekolah formal, dia pun membuka les-lesam, kalian punya ide apa pelajaran yang
ditawarkan dalam les-lesan tersebut? Yeah benar selain bahasa Inggris takkan
ketinggalan matematika!

Keputasannya untuk out itu saja telah membuat dadaku sesak, ditambah tak lama
setelah itu dia bilang akan menikah! Hey! Kau bercanda! namun demikianlah
kenyataannya dia menikah kemudian punya anak, kemudian kuliah di jurusan
pendidikan matematika, kemudian mengambil alih tugas ibu untuk membiayai
kebutuhanku selama masih kuliah, kemudian membuka usaha baik offline maupun
online. Yang offline dia membuka jasa percetakan dan pengetikan makalah.
Sedangkan yang online dia menjual barang-barang semisal baju dan alat kosmetik.
Bagaimana pendapat kalian mengenai saudaraku itu? Gila? Yeah aku sependapat
dengan kalian!

Namun pada suatu hari ketika dia menyemangatiku untuk tetap semangat kuliah
kemudian bekerja di Timika, kemudian baru S2 bersamanya –dia tetap ingin menjadi
dosen—kemudian menikah dengan orang yang merantau di situ (Timika) –karena
secara pekerjaan banyak lelaki yang mapan—kukatakan padanya bahwa aku tak mau
menikah dengan orang yang hanya mapan secara financial saja namun secara
pendidikan tidak. Terlebih aku juga tidak mau menikah dengan polisi atau tentara
yang dalam pandanganku sudah tercoreng namanya akibat beberapa kasus politik di
Indonesia. Apalagi polisi! Uhh hati ini dibuatnya geram! Dia tertawa, aku bisa
membayangkan muka sinisnya itu. Lantas berkata, idealismemu itu akan tergilas
ketika dibenturkan dengan realita. Uang memang bukan tujuan hidup, tetapi hidup itu
memerlukan uang. Jangan mau dibohongi oleh ilusi! Menikah dengan orang yang
sama-sama kuliah, berjuang dari nol hanyalah utopia belaka!

Tergagap aku dibuatnya. Namun tetap diam jua sikap yang kupilih untuk
menanggapinya. Ingat, dia lebih banyak merasakan asam dan manisnya kehidupan?
Statement yang pertama –mengenai orang yang selalu mendahulukan kepentingannya
—dapat kupatahkan seiring berjalannya waktu. Banyak kutemui orang yang
mengorbankan kesenangan pribadinya untuk kesenangan orang lain. Apalagi pada
zamannya Rasulullah. Kita bisa melihat sikap orang-orang anshar menyambut orang-
orang muhajirin. Mereka dengan senang hati membagi tempat tinggal, ladang bahkan
istri sekalipun. Namun statement yang kedua lagi-lagi biarkanlah waktu yang
menjawab.

AKU SUKA MEMBACA BUKU, KALIAN MAU TAHU KENAPA?

Aku sedang terduduk di balik jendela, memperhatikan pohon-pohon bambu yang


meliuk ditiup angin dan tentu saja langit. Langit yang biru tak tersaput awan. Sembari
memegang buku bacaan. Aku jadi teringat masa di mana ketika aku dan teman-teman
sedesa harus menghadapi hujan es batu bersama dengan badai sendiri tanpa orangtua.
Disebabkan orangtua kami pada waktu itu kebanyakan mereka pergi ke kecamatan,
mencairkan uang bantuan dari pemerintah. Sebuah keadaan yang membuat hatiku
berdenyar-denyar. Bahwa sepintar apapun manusia, seindah apapun dunia ini
dibangunnya akan mampu diluluhlankkan oleh alam hanya dalam waktu beberapa
menit saja. Ah aku ingin beranjak sebentar dari kenangan itu dan beralih pada
kenangan yang lain.

Banyak orang bertanya kepadaku dari mana kebiasaan suka membaca itu. Apakah
baru-baru ini saja ketika kuliah karena keadaan memaksa atau sejak dari dulu. Aku
ingin menceritakannya di bagian ini.

Menurutku kesukaan membaca buku selain karena kebiasaan, dia juga timbul karena
potensi. Semenjak kecil, aku suka dengan cerita. Baik cerita itu kudapatkan dari
penuturan orang lain atau cerita itu kudapatkan dari buku. Percaya atau tidak,
sangking senangnya aku dengan cerita, buku paket bahasa Indonesia yang
dipinjamkan oleh guruku, kubawa ke mana-mana, bahkan ketika menjaga padi di
sawah sekalipun. Dan kebiasaan itu mengakar hingga aku dewasa –ke sawah bawa
buku. Bukankah itu potensi? Karena aku belum faham waktu itu pentingnya membaca
buku bagi seorang hamba yang pada hakikatnya diciptakan untuk beribadah. Dan
salah satu ragam ibadah adalah menuntut ilmu. Aku hanya melakukan sesuatu atas
pertimbangan kesenangan.

Waktu bergulir, entah buku yang membuatku menjadi orang yang lebih dominan ke
sifat introvert atau karena aku introvert dengan demikian aku suka membaca buku?
Aku merasa sendiri. Tidak ada yang bisa memahamiku. Tidak ada orang yang mau
duduk lama menatap langit. Tidak ada yang mau memandang suatu hal dengan sudut
pandangku. Banyak hal yang membuat hatiku berdenyar justru menurut orang lain
teramat membosankan dan aneh.

Kebiasaan membaca buku yang biasanya menunggu waktu luang, kini kuusahakan
waktu luang untuk membaca buku. Aku merasa tidak ada yang mampu memahamiku
selain buku. Tidak akan ada orang yang mau menemaniku duduk lama di bawah
langit ketika sore telah tiba selain buku. Tidak akan ada orang yang mau
mendengarkan apa yang ada di dalam fikiranku selain buku. Aku merasa memiliki
keterikatan dengan buku. Keadaan yang sepi menjadi ramai ketika aku mulai
membaca buku. Buku adalah hal terindah yang pernah ada di muka bumi ini. Begitu
pekikku kala itu sembari tersenyum-senyum memeluk buku.

Ditambah semasa kuliah aku bertemu dengan seseorang yang juga suka membaca dan
nahasnya aku mencintainya. Ingatkan kaidah mencintai? Dia mencintai apa-apa yang
dicintai oleh orang yang dicintainya. Kebiasaan membaca buku sejak kecil, nyalanya
semakin terang benderang sejak bertemu dengannya. Terlebih di banyak kesempatan
beliau dan juga banyak buku yang kubaca mengatakan bahwasannya setiap bagian
dari manusia itu memiliki hak dan kewajiaban. Salah satu bagian yang memiliki hak
dan kewajiban adalah akal. Hak akal adalah mendapat asupan pengetahuan.

Aku tidak tahu bagaimana dengannya. Yang kutahu mengenainya adalah dia juga
suka membaca buku. Bahkan semua jenis buku dibacanya mulai dari novel, cerpen,
komik, hingga bacaan-bacaan berat lainnya. Sedangkan aku memang suka membaca
namun kalau disuruh membaca komik hanya komik-komik tertentu saja.

Aku kini menyadari mengapa orang susah menunaikan kewajibannya. Boleh jadi
orang itu tidak tahu akan kewajibannya, kalaupun tahu kewajibannya, ia tidak tahu
bahwa itu adalah kewajiban yang harus ditunaikan.

Eh bukunya sudah memanggil untuk dibaca lagi. Rupanya dia cemburu jika aku
terlalu asik bermesraan dengan kenangan.
AKU MERASA RAMAI DI TENGAH SEPI

Aku sedang berkutat mengerjakan latihan soal-soal TOEFL. Selain memang karena
belajar Bahasa Inggris itu perlu di dunia yang tak ada batasannya lagi ini, motivasiku
ingin bisa bahasa Inggris adalah karena aku ingin ke luar negeri khususnya ke
Belanda. Kenapa Belanda? Karena aku ingin melihat Bunga Tulip. Di Belanda
sebagian besar penduduknya bisa berbahasa Inggris, jadi modal bahasa Inggris saja
tanpa Bahasa Belanda itu sudah sangat membantu. “Nduk! Pergilah ke kebun, beri air
setetes dua tetes pohon kelengkeng yang baru saja ditanam kakakmu itu.” Seru
Kanjeng Mami yang sudah berdiri saja di daun pintu kamarku.

Aku mengangguk, meletakkan pensil, menutup buku dan segera beranjak. Menyadari
aku yang membawa keresek yang kuisi dengan buku dan sebuah pena, ibuku hanya
geleng-geleng kepala. Tak mungkin bukan ibuku bertanya, “Kok bawa buku?” Ingat
aku ini anaknya dan kebiasaan membawa buku kemana-mana sudah kulakukan sejak
dahulu kala.

Inilah kawan sumur legendaris itu. sumur ini telah menyaksikan jatuh dan bangkitnya
masyarakat di desaku. Kuingat betul-betul hari dimana orang berjubel mengantri
untuk mengambil air di sumur ini karena kemarau panjang. Kuingat pula sore dimana
aku dan kawan-kawanku mencuci baju dan mandi di sumur ini.

Jarak rumahku ke sumur tempatku mengambil air ini tidak lebih dari seratus meter
pun jarak sumur itu dari kebun buah milik orangtuaku tidak lebih pula dari seratus
meter. Kesimpulannya total perjalanan yang kulakukan pulang-pergi adalah dua ratus
meter.

Setelah mengambil air dari sumur itu sebanyak dua timba, kusiramkan ia pada pohon
kelengkeng yang daunnya jatuh berguguran, mungkin karena terkejut, cultur shock
akibat dipindahkan ke tempat baru. Tidak hanya manusia, tanaman juga butuh
adaptasi bukan?

Di tengah asik-asiknya menyiram itu tak senagaja sepasang mata ini menangkap
pemandangan yang menarik. Kuletakkan timba dan gayung di tanah, kemudian
menghampiri pemandangan yang menarik itu. Benar dugaanku! Bunga Lantana. Dia
tumbuh di antara tanaman semak lainnya. Sebenarnya habitat asli bunga ini adalah di
daerah tropis dan subtropis Amerika Utara dan Selatan. Jika kubawa pulang pasti ibu
mengomel. “Rumput kok dibawa pulang.” Seperti katanya beberapa waktu lalu, ketika aku
membawa beberapa tanaman dari sawah. Ibu! Kenapa sih engkau mensubordinatifkan
beberapa tenaman? Yang membuat adanya istilah tanaman hias dan tanaman liar itu
manusia, bukan cap dari Sang Pencipta. Itu tergantung prespektif kita. Kataku dalam hati
tanpa benar-benar menyuarakannya. Baiklah kuserahkan kehidupanmu kepada Sang
Pencipta Lantana. Hidup ataupun mati aku yakin kau tetap akan bahagia karena keduanya
adalah ketetapan dari Dia Sang Maha Pengasih.

Di kebun ibu-bapak ini terdapat berbagai macam tanaman di antaranya pohon jarak,
pohon nangka, pohon pisang, pohon jeruk, pohon mangga, buah naga, labu, kecipir
dan lain sebagainya. Aku memilih berteduh di bawah pohon nangka, memperhatikan
begitu ramainya kebun ini seusai menyirami beberapa pohon buah kelengkeng yang
baru ditanam itu.

Bertemu dengan bunga Lantana jadi mencuatkan kerinduanku untuk bertemu dengan
bunga Fritillaria Imperialis. Bunga itu termasuk ke dalam jenis spesies bunga Lily dan
banyak terdapat di Kurdistan, Irak, Pakistan sampai ke kaki bukit Himalaya. Dahulu
aku pernah bermimpi untuk melakukan penjelajahan di hutan, menjadi seorang ahli
botani. Aku yakin bahkan hingga kini banyak sekali spesies bunga yang belum
bernama. Siapa tahu namaku dinisbatka pada suatu jenis bunga, seperti bunga
Camellia. Nama Camellia itu diambil dari nama seorang ahli botani asal Cheko,
Georg Joseph Kamel dan beberapa ahli botani lainnya. Lagian penelitian tentang
jenis-jenis bunga itu juga masih sangat jarang sekali. Seperti bunga Pansy, kuketik di
pencarian google saja tidak banyak hasil yang menunjukkannya.

Aku jadi teringat tentang suatu kejadian kecil yang sering kualami dalam hidup ini
yakni tentang pilihan. Ketika salat banyak sekali yang dipikirkan, dasar setan! Salah
satunya hendak melakukan apa diri ini seusai salat. Setidaknya ada dua pilihan antara
membaca alquran dan membaca buku. Berakaat-rakaat telah kulalui sembari
dibayangi oleh keputusan apa yang akan kuambil. Dua-duanya sama baiknya,
memilih salah satu di antara keduanya harusnya bukan masalah yang besar, namun
kalian tahu setelah pertimbangan panjang itu? Aku justru memilih untuk bermain
game. Tidak masuk akal! Bermain game tidak ada dalam opsi itu. Itulah godaan dan
aku masih merangkak untuk menepisnya.
Untuk menghabiskan sisa sore ini, aku membuka keresek yang kubawa. Mengambil
sebuah dairy dan pena di dalamnya. Kububuhkan perlahan tinta penaku ke buku
dairyku. Sengaja benar aku menulisnya dan memlih tempat semacam ini. Duduk di
bawah nangka ditemani semilir angin.

Untuk kalian sahabat-sahabatku yang merasa kehilanganku

Yang jengah melihatku berkutat dengan buku

Yang jengah melihat mukaku tertekuk lesu

Untuk kalian pula sahabat-sahabatku yang merasa kasihan terhadap pilihan hidupku

Dari sejak dulu guru-guru dan keluarga sering kali mengasihani jika melihatku
berjalan atau bermain seorang diri. Percaya atau tidak, ketika SMA ustadzku
beberapa kali memanggilku ke ruangannya untuk memastikan aku baik-baik saja,
hanya karena beliau melihatku duduk sendiri ketika teman-teman sekalas lainnya
berkumpul membicarakan suatu hal dan diselingi tawa. Padahal menurut beliau aku
adalah pribadi yang sangat ekspresif. Jelas, karena beliau melihatku tertawa,
bersikap konyol ketika aku bersama dengan teman terdekatku.

Jika kutilik diriku sekali lagi benar kata buku itu, manusia memiliki banyak sisi, dia
bersikap sesuai dengan situasi dan kondisi. Tidak ada pribadi yang introvert atau
ekstrovert yang ada justru keduanya. Hanya saja salah satu di antara keduanya lebih
dominan dibanding yang lainnya. Gara-gara peristiwa itu, aku jadi memaksakan diri
untuk menjadi orang lain. Mencoba untuk melucu walau di banyak kesempatan
jatuhnya garing, hanya karena tidak mau dikatai orang lain sebagai orang yang
tidak punya teman.

Perlu kalian ketahui, aku memang memiliki sifat gampang tersinggung, sifat ini
kutujukan pada siapapun. Teman dekat atau teman yang sekedar teman. Bedanya jika
teman dekat aku akan mengekspresikan ketersinggungan itu dengan marah,
sedangkan pada teman yang hanya teman aku akan memilih untuk diam. Tidak
mengajaknya bicara, sampai dia yang memulainya terlebih dahulu. Maka ketika aku
memiliki seorang sahabat, walau terpisah jarak dan waktu kita akan selalu
terhubung. Karena dia berani mengambil resiko untuk sering mendengar
ketersinggungan dan kemarahanku setiap harinya, mereka adalah pribadi di atas
rata-rata –tentu saja ukurannya menurut kacamataku—maka akupun akan sangat
menyayanginya. Hingga tak jarang orang mengataiku terlalu serius dan
membosankan. Jika yang masuk dalam kelompok ‘tak jarang’ itu menganggapku
demikian, sahabat-sahabatku justru mengatakan aku adalah pribadi yang penyayang,
pemberani sekaligus memiliki jiwa petualang yang tinggi.

Semasa kuliah, aku menyadari bahwa sikap gampang tersinggung dan mudah marah
itu tak baik jika terus menerus kupelihara. Aku memang memiliki hak untuk bertindak
sesuka hati, tapi orang lain juga memiliki hak dan hak itu tak seharusnya kuceraikan
dari mereka. Hakku dibatasi oleh kewajibanku dan hak orang lain. Terlebih sebagai
seorang hamba yang menyadari bahwa dirinya diciptakan untuk mengabdi kepada-
Nya, bahwa setiap hal yang ada di semesta adalah ada karena cinta-Nya tak
seharusnya aku melanggar hak-hak yang dicintai-Nya tersebut. Tak seharusnya aku
berbuat baik kepada sebagian orang dan berbuat buruk kepada sebagian lainnya.
Bagaimana mungkin aku mengakui mencintai-Nya jika aku mengusik dan
mengganggu ketenteraman makhluk yang dicintai-Nya.

Kucoba berbagai macam alternatif. Seperti apa yang telah dituturkan oleh sang
Imam (al-Ghazali) bahwa untuk menghilangkan kekerasan hati adalah dengan
membiasakan salat tahajut dan salat malam; jika belum hilang juga, biasakanlah
puasa; jika belum hilang juga, sedikitkan bicara dan bergaul dengan manusia; jika
belum hilang juga bersilaturahmilah dan sayangilah anak yatim; namun jika belum
hilang juga, hal itu menandakan bahwa sesungguhnya Allah telah mengunci hatimu.
Dan kujumpai alternatif yang paling mujarab denganku adalah sedikit bicara dan
bergaul dengan manusia.

Dengan alternatif yang kupilih itu aku jadi sadar atas perjanjian yang kubuat dengan
diriku sendiri untuk membiasakan berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk
setiapkali hendak bertindak. Maka tak heran jika mukaku seringkali terlihat murung,
seperti orang yang semangatnya telah tercerabut dalam jiwanya, atau tiba-tiba
kalian melihat pundakku bergoncang, air mata mengalir di pipi bak anak sungai. Hal
itu disebabkan setiap kali aku menimbang baik dan buruk yang sudah kulakukan
dalam seharian, ternyata yang lebih berat adalah timbangan keburukan.

Aku tidak pernah melupakan kalian, bahkan seharipun. Banyak hal yang
mengingatkanku dengan kalian sahabat dan setiapkali aku mengingat itu
kumohonkan kepada Tuhan agar Dia meridai apapun jalan hidup yang telah kalian
pilih. Tak ada niatan dalam diriku untuk menggapai kesuksesan itu seorang diri. Jika
kalian melihat ketekunanku dalam membaca, itu tak lain karena aku bersyukur
kepada Rabbku yang telah mempertemukanku dengan kalian. Mengucapkan syukur
terbaik kepada Allah adalah dengan serius menjadi seorang penuntut ilmu. Hanya itu
sahabat, sama sekali tak ada niatan sedikitpun untuk melesat seorang diri. Dan untuk
kalian sahabat yang menatapku dengan tatapan kasihan seolah-olah aku tak bisa
menikmati hidup, sesungguhnya aku merasakan keramaian yang luar biasa di dalam
hati ketika aku mampu menunudukkan hawa nafsu, ketika aku mampu melawan rasa
malasku. Aku tak bisa mendeskripsikan bagaimana bentuk keramaian yang
membuncah itu, selain jika kalian merasakannya sendiri.

Setelah kububuhi titik, kututup perlahan buku dairyku.


KECEWA? KAMU SIH MEMAKAI KACAMATA ORANG!

Ibuku walau Sekolah Dasarpun tak tamat, tapi dia memiliki cara mendidik yang
cukup visioner. Contohnya saja tentang pendidikan. Ketika orang-orang di desaku
lebih membekali anaknya dengan keterampilan pekerjaan dapur dan pekerjaan sawah,
ibuku justru menekankan anak-anaknya untuk terus fokus menuntut ilmu. Pekerjaan
semacam itu tidak ditekankannya, namun bukan berarti membiarkan kami buta akan
pekerjaan-pekerjaan semisal itu. Pekerjaan yang sangat dekat dengan kehidupan kami
sebagai orang desa yang mayoritas warganya bermatapencaharian sebagai seorang
petani.

Sedari kecil kami juga dibiasakan untuk ikut berunding. Contoh paling kecilnya
adalah ibuku senantiasa meminta kami menyumbangkan pendapat jikalau beliau
hendak memasak. Bahkan untuk urusan berapa ‘umplung’ beras yang dimasakpun
menjadi perhitungannya. Dia memaksa kami untuk mengira-ngira akan makan berapa
kali, jika sudah ditetapkan maka konsekuensinya adalah menepati ketetapan itu agar
beras yang sudah dimasak tidak mubazir.

Selain itu untuk urusan pendidikan, beliau tidak memaksa kami untuk belajar setiap
hari, tapi beliau selalu menyemangati kami dengan memberi hadiah jika kami berhasil
masuk peringkat tiga besar. Aku ingat sekali apa yang kerapkali dikatakannya setiap
aku hendak meminta uang untuk beli suatu keperluan, “Selagi itu bersangkutan
dengan pendidikan, ibu tak akan segan-segan memenuhinya.”

Ibu juga membuat jadwal tak tertulis di antara kami untuk membersihkan rumah
setiap hari. Ibu memang sering mengajak kami ke sawah, menyiangi rumput untuk
makan hewan ternak, menanam tanaman biji-bijian semisal jagung, menjaga padi di
sawah, memupuk tanaman dan lain semacamnya. Anehnya kami tak pernah merasa
tertekan, mengisi liburan dengan pergi ke sawah adalah hal yang menyenangkan.
Agaknya hal itu yang membuatku merasa memiliki kedekatan dengan alam.

Namun seiring bertambahnya usia ibu menjadi sedikit ‘galak’. Yang dulunya selalu
membiarkanku berkesplorasi, kini menjadi sangat membatasi. Setiap kali libur kuliah,
aktivitasku tak pernah jauh-jauh dari rumah. Aku tak pernah berusaha untuk
bernegosiasi dengan dia, jika aku mengatakan hendak pergi ke suatu tempat tapi tak
dibolehkannya selagi kepergian itu tak begitu urgen. Sejauh ini aku belum bosan
tinggal di rumah, padahal gara-gara pandemi ini banyak anak-anak yang merasa
bosan, haha, kalian harus mencintai buku!

Maka kali ini aku hendak meminta izin darinya untuk berpergian sebelum harus
kembali ke pondok satu minggu lagi. Tujuan? Tidak ada tempat spesifik yang hendak
kutuju, aku hanya ingin bersepedah motor seorang diri ke arah Jombang. Di daerah
sana cukup banyak pabrik berkeliaran. Karena banyak pabrik, otomatis tempat itu
jauh dari rumah penduduk. Awalnya ibu kekeuh dengan penolakannya, bilang
bahwasannya jangan seperti orang yang nggak ada kerjaan, membuang-buang waktu,
tapi kemudian kuberi dia suatu kalimat yang akan membuat kekerasan hatinya luruh,
apa itu “Aku loh nggak pernah kemana-mana bu selama di pondok.” Dan seperti
dugaanku, berhasil!

Di desaku baik mau pergi ke arah utara, selatan, timur maupun barat tidak akan
pernah bisa terlepas dari medan perjalanan yang terjal berbatu. Maka perjalanan sore
ini pun ku awali dengan goncangan dan tangan yang sedikit terasa kebas. Namun tak
apa sungguh tak apa, cuaca sore ini cukup bersahabat. Lihatlah sawah membentang
sejauh mata memandang. Riuh suara anak-anak desa dengan pakaian lusuhnya
berlari-lari mengejar bola di lapangan.

Di pertigaan jalan, aku memilih untuk berbelok menuju ke arah selatan. Dahulu
sewaktu SMA jalanan ini yang selalu kulalui. Jalanan ini adalah saksi bisu
perjalananku menuntut ilmu. Ah pernah suatu kali ketika pulang sekolah sepedah
salah seorang teman tercebur ke dalam parit. Untung saja parit itu tidak ada airnya
karena sedang musim kemarau. disebabkan angin yang berhembus kuat kala itu.
padahal temanku dia berbadan besar, boncengan pula.

Setiap kali ada yang ulang tahun pun kami senantiasa merayakannya di jalanan ini,
tepatnya di bawah pohon itu, pohon ek. Jika yang ulang tahun bertepatan dengan
musim penghujan. Karena selain keteduhan yang mampu diberikan oleh pohon itu,
kami juga butuh semisal kali atau parit yang kedalamannya tidak terlalu dalam untuk
menceburkan teman kami yang pada hari itu sedang berulang tahun.

Memasuki jalan raya, kupacu terus sepeda yang kukendarai ke arah selatan. Di
samping kiri dan kanan jalan banyak hal yang telah berubah. Banyak toko-toko baru,
apalagi kedai makan, kafe, warung kopi yang memberi iming-iming wifi gratis,
merebak! Bak jamur di musim hujan. Wajar saja, milinealis adalah genarasi yang
tidak bisa jauh-jauh dari internet.

Sampailah aku di sebuah pasar yang juga menjadi saksi bisu perjalananku selama
mengarungi pendidikan di SMA. Setiap kali pening memikirkan ujian, PR dan cinta
aku selalu melarikan diri ke tempat ini, membeli sebungkus nasi jagung dengan lauk
tahu fantasi –aku tidak tahu sejarahnya mengapa tahu yang diulet bersama bihun,
potongan kecil wortel kemudian dicetak dan dicelupkan ke dalam kocokan telur lantas
digoreng disebut tahu fantasi—ikan gereh plus sayur lodeh. Atau membeli bakso di
belakang pasar dengan cabai bersendok-sendok. Ini nih yang tidak tahu kewajiban dan
hak diri! Mengikuti nafsu padahal menyesatkan. Karena apa? pagi harinya aku akan
merasakan serangan sakit perut yang luar biasa.

Sedangkan setiap pulang sekolah aku selalu menyempatkan diri untuk membeli es
kacang hijau. Sengaja benar ketika jam istirahat aku tidak membeli apapun, agar
uangnya bisa dibelikan es kacang hijau yang harganya cukup mahal pada waktu itu.
Menariknya setelah aku lulus abang tukang esnya mencariku dengan menanyakannya
pada adik kelas yang sering menemaniku membeli dagangannya. Katanya, “Kemana
mbak yang sedikit cantik itu?”. Eh pakai kata sedikit, udah deh bang kalau mau bilang
cantik ya cantik aja nggak usah pakai sedikit.

Di pertigaan ke dua ini aku memilih untuk berbelok ke arah barat, menuju jalan raya
yang lebih besar lagi. sebuah jalan raya yang dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan
besar. Dahulu Mbak Nur sempat khawatir ketika untuk pertama kalinya aku diujinya
mengemudi di jalan raya Babat, ada bus lewat dan kepalaku terhuyung ke belakang.
Selain karena bus itu yang membawa angin juga karena aku membawa helm, jadilah
terjadi peristiwa semacam itu.

Tiba-tiba sepedah yang kukendarai berhenti. Aku segera memilih untuk menepi. Ku
starter berulangkali namun tetap tidak mau nyala lagi. Ah jangan-jangan! Benar!
Bensinnya habis! Padahal jarum indikator bensin sepeda motor menunjukkan kalau
bensin di tangki full! Mau cari bensin di mana, jangankan pom bensin, warung atau
toko pun tidak ada di sekitar sini. Ah tapi setidaknya jalanan ramai, semoga ada yang
melihat mukaku dan menangkap kode bahwa aku butuh bantuan.
Dua, tiga menit berlalu. Tidak ada kendaraan yang berhenti. Aku urung melambaikan
tangan ke jalan raya, takut melambai pada orang yang salah, ehe.

Tak berapa lama kemudian datang seorang lelaki memakai helm, masker dan sarung
tangan berwarna hitam. Lelaki itu juga memakai jaket, namun warnanya tidak hitam
melainkan abu-abu muda dan sepatu kets berwarna putih. Dia memarkirkan sepeda
motornya –berwarna hitam—tidak jauh dari tempatku berdiri.

Aku hanya bergeming, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Begitu dia
membuka helm dan maskernya, hey! Dia Amirul, adik kelasku dulu sewaktu SD. Dia
mengalami pertumbuhan yang begitu pesat. Lihatlah dia bahkan lebih tinggi daripada
aku, juga lebih tinggi daripada ‘dia’ dengan perawakan yang sangat atletis. Hanya
satu yang tidak berubah darinya yaitu garis merah muda tepat di tengah dahinya. Aku
juga punya garis semacam itu tapi tidak berwarna, itupun muncul secara temporal
hanya ketika aku capai saja. Tepat di tengah-tengah, bagai membelah separuh diriku.

Setelah dia bertanya apa yang terjadi, dan aku menjelaskan bahwa jarum indikator
bensin sepeda motor tidak berfungsi, akibatnya aku salah mengira, kukira bensin di
dalam tangki masih full ternyata sudah kosong, dia pun kemudian menyuruhku untuk
menunggu, dia akan mencari bensin di tempat terdekat.

Dahulu dia sering mengejekku hanya karena aku terbata-bata ketika mengaji.
Agaknya hal itulah yang membuatku sedikit terlambat membaca alquran sesuai
dengan kaidah. Karena diejek-ejek seperti itu, aku jadi malu untuk mengaji.

Aku jarang bertemu dengannya, bertemupun hanya di musala milik Pakde Po dan aku
hanya melihat punggungnya saja. Pernah sih sesekali menatap wajahnya tapi tidak
lama, karena waktu itu kita kebetulan datang di waktu yang bersamaan di musala
ketika salat maghrib. Kejadian seperti ini pun terjadi gara-gara pandemi ini. Libur
kuliahnya sama dengan libur kuliahku. Walaupun secara pendidikan aku lebih dulu
darinya, tapi secara umur dia lebih tua dariku, hanya selisih beberapa bulan. Maklum
ibuku memasukkanku ke SD lebih dini dari yang lain.

Lima belas menit kemudian dia datang. Aku segera membuka jok belakang dan
penutup tangkinya dan dia segera menuangkan dua liter bensin ke dalam tangki
sepeda motorku. Setelah itu kami bersama-sama mengembalikan botol kaca itu ke
penjualnya.
Angin sore membuat berkibar jilbab yang kukenakan. Langitpun sudah mengguratkan
warna jingga. Bukannya segera pulang kami justru bersepakat untuk membeli bakso
di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Rumah makan yang dulunya sempat
kusinggahi bersama teman-teman di pondok ketika SMA sepulang dari Gunung
Kidul.

Kami membicarakan banyak hal. Kejadian-kejadian di masa kecil yang dulunya


bagiku terasa menyakitkan tapi setelah masa itu berlalu dan aku mengingatnya justru
menjadi kenangan yang menyenangkan dan membuncah menjadi rindu yang tak
tertahankan. Dari sana –kenangan—aku jadi belajar untuk tidak berputus asa dan tetap
bertahan ketika dihimpit oleh kondisi yang tidak kuingini.

Melihatnya aku jadi teringat lagi tentang dia. Harusnya aku tak mengukur
perlakuannya kepadaku dengan memakai ukuranku sebagai perempuan. Jelas jadinya
salah faham seperti ini. Laki-laki bisa berbuat baik, sangat peduli kepada perempuan
walau di hatinya tak ada perasaan spesyal. Sedangkan perempuan –kususnya aku—
tidak. Perempuan hanya akan fokus kepada orang yang disukainya. Maka jika kita
melihat laki-laki usahakan untuk memakai kacamatanya bukan memakai kacamata
kita, itu jika tidak ingin kecewa.
KEPUTUSAN

Terbayang di pelupuk mata masa aku dan teman-teman masa kecilku berlarian di
pematang sawah. Di desa kecil nun amat terpencil ini aku dibesarkan, berbagai
macam fenomena alam telah kusaksikan, datangnya komet, hujan es yang membuatku
menangis menyaksikan banyak sekali pohon tumbang, angin puting beliung yang
sebelum angin itu datang di desaku, kulihat langit di selatan telah dipenuhi oleh
macam-macam sampah dan berbagai macam fenomena lainnya termasuk gerhana.

Dahulu setiap kali terjadi gerhana bulan orangtua-orangtua akan membangunkan


hewan ternaknya, anak-anak kecil disuruh keluar, ramai sekali, beberapa di antara
mereka sibuk membuat bunyi-bunyian. Katanya gerhana bulan itu terjadi karena naga
memakannya. Oleh karena naga itu takut pada suara yang berisik, maka diciptakanlah
bunyi-bunyian itu agar bulan dimuntahkannya. Sedangkan guru mengajiku akan
memimpin sholat gerhana di masjid. Aku jadi sadar sepenting itu seorang berilmu di
dalam masyarakatnya. Beliaulah yang membimbing kami, mendidik anak-anak di
desa kami, menerangkan perihal agama dengan lembut. Beliaulah penerang dalam
kegelapan. Perlahan tapi pasti, beliau berhasil memberi pemahaman kepada orangtua-
orangtua bahwa gerhana bulan adalah salah satu dari fenomena alam, keagungan
Tuhan dalam menciptakan alam raya.

Kalian tahu, banyak sekali yang ingin kubenahi di masyrakatku –bukankah itu yang
sering kusampaikan. Aku merasakan bagaimana nikmatnya menuntut ilmu dan
bertemu dengan penuntut ilmu, maka aku pun berharap suatu saat nanti orang-orang
di desaku lebih banyak lagi yang merasakannya. Kata para pecinta sejati tujuan
manusia hidup adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu terletak di mana manusia
dapat berjumpa dengan Tuhannya. Kata Imam al-Ghazali jalan agar diperkenankan
bertemu denganNya adalah dengan ilmu.

Kalian tahu bukan bahwa iblis dan keturunannya tak pernah jengah menyesatkan
manusia. Bujuk rayunya begitu halus, bagaikan semut hitam di kegelapan malam. Jika
manusia tak berhati-hati, maka terjerumuslah ia.

Pada waktu ketika aku memutuskan untuk kuliah, setan membisikiku untuk selalu
was-was akan bagaimana masa depanku hingga tak bisa membuatku berfikir jernih.
Kemudian sang guru datang, membukakan pintu-pintu pemahaman, memberi nasihat,
menguatkan hati dan menyodorkan obat agar kukonsumsi. Beliau menyuruhku untuk
sebenar-benarnya jujur dengan diri sendiri lantas menemukan kebahagiaan hakiki
dalam hati. Kurenungi dalam-dalam jika tujuanku belajar hanya untuk bekerja, siapa
yang berani menjamin bahwa aku akan hidup sampai aku bisa bekerja. Jika tujuan
belajar hanya untuk ilmu, kepuasan karena memiliki banyak pengetahuan, ilmu itu
akan hilang tak bisa berkeliaran sendiri di bumi ini seiring dengan Tuhan yang
memanggil ruh untuk kembali ke sisiNya.

Aku menyaksikan begitu banyak sekali orang yang jatuh bangun mencari kekayaan
namun kemudian dia sakit tak bisa menikmati kekayaan itu. Bukan karena tak bisa
merasakan kekayaan yang menjadi perhatianku, melainkan orang yang terus mencari
kekayaan itu tak bisa menikmati hidupnya, hatinya selalu was-was. Begitupula orang
yang berambisi akan kekuasaan.

Aku menyaksikan sebuah rumah yang tidak disinari oleh cahaya ilmu, setiap individu
tak merasa penting akan pengetahuan, begitu terlihat usang. Mereka hanya
memikirkan kekenyangan semata. Ku lihat kebahagiaan itu begitu semu.

Kemudian aku melihat sang guru yang memasrahkan jiwa dan raganya hanya
untukNya. Beliau tekun beribadah sekaligus tekun dalam belajar dan mengabdi pada
bangsa ini. Lantas ku sentuh hatiku, ku rasakan ia seperti mengangguk, mengusap
bagian hatiku yang murung. Tak berapa lama, hujan dari kedua mataku berguguran.

Kukira perjuangan itu sudah berakhir, aku telah menemukan definisi kebahagiaan,
aku telah berjumpa dengan tujuan hakiki manusia diciptakan. Namun dugaan itu
salah. Hati kerap kali terbolak-balik. Kadang sangat merindukanNya, terkadang pula
melalaikanNya. Kebanyakan lalai itu disebabkan oleh aku yang selalu
memperturutkan hawa nafsu, dan pintu hawa nafsu yang selalu kubuka adalah perut
kenyang dan kesenangan membeli baju.

Perlahan kututup pintu itu. Semangat itu kembali membara, aku menemukan
serpihan-serpihan yang dapat membuat semangat itu terus menyala yakni bermanfaat
bagi orang lain. Karena bermanfaat maka aku harus serius dalam belajar. Mempelajari
medan pertempuran membuatku menyiapkan amunisi yang ideal dengan medan
tersebut. Ternyata pujian bertubi-tubi itu datang. Aku merasa senang dan terlena oleh
pujian itu. Setan begitu lembut menyesatkan manusia.
Hati itu memiliki dua makna. Makna yang pertama adalah daging atau sanaubar, yang
terdapat di bagian kiri dada, di mana di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah
hitam. Makna yang kedua adalah sesuatu yang amat halus (lathifah), tidak kasat mata
dan tidak dapat diraba. Ia bersifat rabbani-ruhani. Hati ini merupakan jati diri dan
hakikat manusia, di mana ia mempunyai potensi untuk mengenal, mengetahui dan
mengerti sesuatu.

Kendaraan hati dalam makna yang kedua itu adalah badan dan bekalnya adalah ilmu.
Sementara sebab-sebab yang dapat mengantarkan dan memperoleh bekal adalah amal
kebaikan. Bagi seorang hamba, ia tidak mungkin sampai kepada Allah Swt. selama
dirinya tidak meninggalkan kecenderungan-kecenderungan pemenuhan syahwat dan
melampaui kehidupan duniawi.

Masih ingatkah kalian peristiwa dibakarnya Nabi Ibrahim oleh kaumnya berabad-
abad silam? Kemudian Allah mengutus Jibril untuk menanyakan kepada Ibrahim
adakan yang dibutuhkannya. Ibrahim menjawab, “Kepadamu, aku tidak butuh apa-
apa. Aku hanya butuh kepada Allah.” Jibril tahu bahwa Ibrahim tidak meminta
pertolongan kepadanya dan hatinya hanya tertuju kepada Allah Swt. Karena itu, ia
berkata “Mintalah kepadaNya!”. “Cukuplah bagiku bahwa Dia mengetahui
keadaanku.” Kata Ibrahim. Ibrahim melihat Dia lebih dekat kepadanya daripada
permintaannya. Ibrahim tidak mau bersandar pada sesuatu selain Allah. Ibrahim sadar
bahwa Allah Maha Mengetahui. Karenanya Dia tidak perlu diminta dan Dia tidak
akan mengabaikannya. Demikianlah maqam pasrah diraih ketika seorang hamba tidak
menentang seluruh keputusan Allah dan berserah diri pada ketentuan-Nya. Bukankah
itu hakikat Islam? Islam adalah seperti rupa atau bentuk, sedangkan sikap pasrah
adalah ruhnya.

Maka ku lepaskan perasaan ini, bukan karena aku menyerah, hanya saja aku ingin
menggapai cinta yang lebih tinggi, dengan cara mengatur diriku agar tidak ikut
mengatur ketentuanNya. Lagipula aku tidak mau dibiski oleh setan bahwa cinta ini
suci padahal dipenuhi syahwat belaka.

Bukankah ketika kita bertamu ke rumah seseorang, kemudian ikut campur dalam
menentukan apa yang akan dihidangkan oleh tuan rumah adalah sikap yang tidak
sopan?
Aku ingin memperbaiki diri, kata Imam al-Ghazali kepada muridnya agar kita teguh
dan sabar menjalani itu adalah dengan membiasakan empat hal. Pertama,
musyarathah, kita berjanji pada diri sendiri untuk berbuat baik dan menjauhi
perbuatan buruk. Bahkan hingga membuat daftar tentang hal-hal buruk yang ingin
kita hilangkan atau hal-hal baik yang ingin kita lakukan. Kedua, muraqahah yakni
memonitor reaksi dan perlaku kita sepanjang hari ketika berhadapan dengan situasi
yang menuntut kita untuk berbuat baik. ketiga, muhasabah yakni melakukan
perhitungan baik dan buruk yang sudah kita lakukan. Bukankah sepintar-pintarnya
orang adalah dia yang menghisab dirinya sebelum dia dihisab? Kemudian minimal
mempertahankan jika dalam sehari itu kita lebih banyak berbuat baik. Keempat,
mu’tabah yakni mengecam diri kita sendiri, mempersoalkannya dan kemudian
menghukumnya, jika kita lebih banyak berbuat keburukan.

Kurentangkan kedua tanganku, membiarkan angin memeluk sembari memejamkan


mata dan mendongakkan kepala ke atas. Hati hamba begitu rapuh maka jika perasaan
itu menurut-Mu begitu berat bagi hamba, maka tak apa sungguh tak apa Kau
mengambil perasaan itu. Tuhan perkenankan aku untuk menempuh jalan orang-orang
shalih yakni jalan orag-orang yang Engkau ridai.
THE END

Sudah sejak tadi malam aku merencanakan semua ini. Sengaja tidur tidak terlalu
malam agar tidak telat bangun keesokan harinya. Aku harus salat subuh di musala
beliau, mendengarkan beliau membaca qunut, memimpin dzikir dan berdoa.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di teras musala, menunggu beliau selesai dengan
wiridannya. Berlalunya waktu semakin membuat jantungku berdegub kencang.
Membayangkan bagaimana ekspresi beliau ketika melihatku.

Akhir-akhir ini langit memang senantiasa menampakkan keindahannya. Ya Allah,


Engkau begitu baik telah menempatkan manusia di salah satu tempat-Mu yang begitu
indah. Engkau begitu baik telah menghadiahkan sepasang mata ini agar dapat
menyaksikan tanda-tanda yang menunjukkan keindahan-Mu. Engkau begitu baik
telah menitipkan sebongkah perasaan itu di dalam hati, yang membuat hamba
berusaha untuk senantiasa bersyukur.

Bersyukur. Sekilas ketika kita membaca satu kata itu, kita merasa hambar.
Menganggapnya hanya sebagai sebuah kata. Pernahkah kita berfikir orang yang
pertama kali menciptakan kata itu? Aku yakin orang yang pertama kali
menciptakannya adalah orang yang telah melalui berliku-liku jalan. Telah
menyaksikan berbagai macam keindahan dan tentu saja memiliki kedalaman hati yang
teramat dalam.

Jangan berfikir bahwa setiap kata yang ada di bumi ini, baik kata itu berasal dari
Bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, Cina dan negera-negara lainnya adalah
kata yang begitu saja menampakkan dirinya pada penduduk bumi atau kalian berfikir
bahwa semua kata-kata di bumi kontan diturunkan Allah dari langit. Tidak. Apa
buktinya? Perkembangan bahasa itu sendiri yang seiring berlalunya waktu mengalami
beberapa perubahan. Penyempitan dan perluasan makna serta munculnya kata-kata
baru. Entah itu kata yang tiba-tiba muncul dalam kepala sang linguistik atau kata yang
diadopsinya dari negara lain.

Apa itu kata yang tiba-tiba muncul dalam kepala sang linguistik? Begini, dahulu
ketika semester pertama di jurusanku ada mata kuliah yang dinamakan Ilmu Mantiq.
Dalam buku yang kubaca mengenai ilmu tersebut ada salah satu bab yang membahas
bagaimana sebuah kata itu muncul. Lebih lanjut buku itu menghadirkan sebuah
contoh yakni ketika Adam dan Hawa diturunkan ke bumi. Dalam buku tersebut walau
Nabi Adam sebelumnya telah hidup di surga dan diajari-Nya nama-nama, ada
beberapa benda di bumi yang belum diketahui namanya.

Hari itu Hawa sedang berjalan-jalan bersama Adam setelah dipertemukan tentunya.
Keduanya melihat lembu. Kemudian Adam bertanya kepada Hawa, “Apa nama
hewan ini?” “Lembu.” Jawab Hawa. “Kenapa kau memilih nama lembu baginya?”
“Karena dia terlihat seperti lembu.” Semoga kalian menangkap kemana arah
pembicaraanku.

CTEK. Terdengar suara saklar lampu dimatikan. Aku segera mengambil posisi berdiri
setelah sebelumnya menata letak sandal Pakde Po agar mengarah ke luar.

Begitu melihatku, Pakde Po seperti terkejut, tidak menduga. Ah wajah itu walau telah
banyak keriputnya tetap hati merasa sejuk memandang. Kemudian beliau tersenyum,
menungguku untuk mengungkapkan apa yang kumau.

Kukatakan bahwa aku hendak kembali ke pondok, meminta agar beliau berkenan
mendoakan muridnya yang belum bisa apa-apa ini.

Pakde Po tersenyum, senyum yang begitu indah kemudian menatapku dengan tatapan
seorang ayah yang menatap putrinya. Beliau mengangguk dan tentu saja mengakatan
beberapa nasihat.

Sebelum pamit pulang ke rumah, aku menyalami beliau. Begitu nikmatnya rindu jika
obatnya telah ditemukan yakni pertemuan.

Sepulangnya dari musala kulihat dapur telah nyala lampunya dan mengepulkan asap
yang kuduga itu berasal dari tungku perapian. Kulihat dapur sebentar sebelum
meletakkan mukena. “Masak apa bunda?” Tanyaku –aku memang sering memanggil
ibu dengan berbagai macam panggilan. “Telur balado.” Katanya riang. Aku bersorak
yey! “Segera rapikan barang-barangmu jangan sampai ada yang tertinggal.” “Kayak
diusir” celetukku.

Ibu dari dahulu memang menjadi orang yang paling sibuk ketika ada anaknya yang
hendak berpergian. Sibuk menyiapkan dan mengingatkan ini dan itu. Kadang kesel,
merasa digupuhi, sedangkan aku ini walau bagaimanapun termasuk generasi santuy,
eh.
Kulaksanakan sepenuh hati saran dari Kanjeng Mami, segera merapikan barang-
barang yang hendak kubawa kembali ke pondok. Kembali ke pondok? Itu artinya
tidak ada lagi hari bercengkerama dengan pisang. Padahal bulan-bulan ini adalah
bulan panen pisang. Sedih nian hati ini. Pisang sebanyak itu tak dapat kunikmati lagi.

Tapat pukul 08.47 WIB dengan diantar adik tercinta, aku kembali ke pondok. Ibu
melambai-lambai sedangkan bapak menatapku dengan tatapan yang sepertinya
merasa kehilangan. Jelas! Aku selalu menjahili beliau di rumah. Aku juga orang yang
bikin berisik, suka mondar-mandir dan sering bertanya.

Melihat keduanya aku jadi teringat Pak Habibie. Benar presiden ketiga Indonesia itu
yang beberapa waktu lalu kembali ke haribaan-Nya. Aku sangat mencintainya bahkan
beliau telah masuk ke dalam daftar orang-orang yang ingin kutemui. Aku
merindukannya, tapi ternyata beliau lebih merindukan isterinya. Meninggalnya beliau
telah mengguncang hati sebagaian besar masyarakat Indonesia.

Teman-teman di pondok kebanyakan melihat kehidupan Pak Habibie yang serba


cukup dan anak-anaknya yang sukses justru iba. Kata mereka untuk apa kesuksesan
anak, jika mereka meninggalkan orangtua seorang diri. Pak Habibie pasti merasa sepi.
Ingin kusanggah pernyataan itu sebenarnya, tapi aku memilih diam. Siapa sih yang
mampu mengukur kedalaman hati orang lain? Aku juga belum jadi orangtua, tapi aku
sudah memiliki rencana.

Akan kubiarkan anakku kelak berpetualang. Kemanapun tempat yang hendak


ditujunya. Akan kubiarkan anakku kelak menuntut ilmu di negeri-negeri nun jauh di
sana. Takkan kurepoti dia dengan menyuruhnya pulang atau merengek merasa sepi.
Karena menurutku, kesepian sebesar apapun akan terkikis dengan melihat orang yang
kita cinta bahagia dengan pilihan-pilihan hidupnya.

Dimanapun, bersama siapapun tidak akan membuat susah hatiku, karena kebahagian
dan kesadihan hanya datang dari-Nya.

Pak Habibie salam cinta dan rindu dari Mega. Semoga tebakanku benar Pak, bahwa
Pak Habibie sangat bahagia, walaupun merasa sepi karena ditinggal isteri, tapi Pak
Habibie menikmatinya. Kelak tetap akan kukatakan pada anakku “Belajar yang rajin,
biar kalau besar nanti kamu pintar seperti Pak Habibie.”

Anda mungkin juga menyukai