Anda di halaman 1dari 7

Identitas Penulis

Nama

: Indah Khairunnisa Hardani

No. KTP

: 3601345311950001

TTL

: Lebak, 23 November 1993

Alamat

: Kp. Ciekek Babakan Karaton RT 02/06 Kelurahan Karaton Kecamatan Majasari


Kabupaten Pandeglang, Banten 42311

No Handphone

: 087722542635

Alamat Email

: indahkh@gmail.com

Twitter

: @indahhardani

Facebook

: Indah Hardani

Tentang Penulis
Penulis adalah mahasiswi tingkat 3 Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran. Baginya, menulis
adalah hobinya yang tak lekang oleh waktu dan salah satu cara untuk mengabadikan setiap momen
kehidupannya. Mottonya adalah kau harus berkarya jika kau ingin dikenal dan dikenang dunia. Ayo
berkarya! Know me more @indahhardani.

Its The Thing That The Blind Can See


Setiap perjalanan selalu punya cerita. Biasanya, destinasi perjalanan bukanlah inti ceritanya,
namun justru perjalanan itu sendiri. Perjalanan memberikan suasana yang dinamis, asal engkau punya
cukup ruang di hati untuk menikmati semuanya. Ada hal-hal sederhana yang bisa membuatmu
tersenyum, misal tetesan air hujan di kaca jendela bus. Meski sebenarnya bukan tetesan air hujan itu
yang menjadi alasanmu tersenyum, sepotong peristiwa yang melibatkan air hujan itulah yang
membuatmu tersenyum.
Perjalanan kali ini pun mempunyai ceritanya sendiri. Cerita yang menjadi alasan dibalik
peristiwa menyempit dan melebarnya rongga dada secara tak karuan, mencipta hati yang sedikit demi
sedikit memudar warna merahnya hingga menjadi merah muda. Pink, mereka bilang. Aku kembali
terinfeksi virus itu. Virus yang spesifik menyerang hati. Tidak, bukan hati. Ia spesifik menyerang
jantung, karena setiap infeksi itu kambuh, jantunglah organ pertama yang mengalami perubahan.
Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya istilah virus kurang tepat untuk hal yang satu ini.
Mengingat perannya yang tak selalu patogen. Meski memang sih terlalu banyak patogennya daripada
manfaatnya. Hmm, jadi sepertinya lebih baik kunamai dia bakteriofaga saja. Mirip virus, mirip
bakteri. Dan cerita faktanya, sang bakteriofaga menginfeksiku lagi.
Dalam suatu forum tidak formal, seorang teman yang senang membaca karakter orang lain
menanyai teman dekatku mengenai bagaimana kriteria suami idamannya. Sang pembaca karakter
bilang forum itu adalah forum diskusi, tapi nyatanya dia mendominasi forum itu dan saat teman
dekatku menyebutkan kriteria suami idamannya, teman dekatku itu justru didebat oleh sang pembaca
karakter.
Selesai mendebat teman dekatku, sang pembaca karakter berpindah padaku. Pertanyaan yang
sama. Pertanyaan sederhana yang akan kujawab dengan sederhana.
Entah kenapa, aku selalu suka pada laki-laki yang pintar, jawabku santai. Aku tidak melihat
mata lawan bicaraku. Aku tidak bisa dan tidak pernah berani melihat mata laki-laki. Maka aku sibuk
dengan gelas berisi teh di depanku.
Pintar? Oh oke. Pintar seperti apa yang kamu maksud? Pertanyaan lainnya. Kedengarannya
lawan bicaraku yang sangat penasaran dengan jawabanku. Sepintas aku heran, untuk apa dia
menanyakan hal ini sampai sedetail ini? Apa pentingnya kriteria suami idamanku untuknya? Kenapa
dia harus sepenasaran itu? Ah, lagi-lagi aku menyambung benang-benang merah dalam pikiranku.
Jawab saja pertanyaannya.

Pintar tidak melulu tentang IPK 4 atau menjadi mahasiswa berprestasi. Kadang, pintar itu
tentang, aku menghentikan jawabanku. Forum henin, menanti kelanjutan jawabanku.
Tentang apa?
Tentang bagaimana dia bisa mengambil hatiku, jawabku tenang. Perkataan epik itu keluar
begitu saja dari mulutku. Forum yang tadinya hening kini riuh dengan omelan ringan Azkaaa!!!.
Aku, yang namanya disebut, hanya tersenyum nakal. Teman di sampingku kehabisan kata-kata dan
mencubit lenganku gemas.
Oke. Kali ini aku tidak bisa mendebat jawabanmu. Speechless! ujar sang pembaca karakter.
Nadanya sedikit geram. Biasanya dia tidak mau mengaku kalah.
Perbincangan dalam forum pun dilanjutkan dengan tema yang berbeda.

Aku ini buta. Suatu kecelakaan membuatku menjadi seperti ini. Oh, bukan. Aku tidak ingin
menyalahkan kecelakaan itu. Ini sudah takdir-Nya. Takdir yang aku yakin, akan mempunyai cerita
indahnya sendiri. Layaknya perjalanan yang selalu punya ceritanya masing-masing. Takdir Tuhan
selalu happy ending, bukan? Jika tidak happy ending, maka itu bukan akhirnya.
Kelemahan di satu titik merupakan kelebihan di titik yang lain. Aku boleh saja tidak bisa
melihat, tapi aku bersyukur karena Tuhan telah begitu menghidupkan hatiku, telah menjaganya dari
berbagai kehampaan, telah menjaganya dari kehilangan atas sesuatu yang memang bukan milikku,
termasuk penglihatan ini. Ya, aku boleh saja tidak bisa melihat dengan mataku, tapi aku masih
memiliki hati yang telah Ia beri kemampuan untuk melihat. Dan karenanya, aku tidak salah memilih
teman. Aku, tetap hidup dengan normal. Pun tentang mencintai dan dicintai.
Kembali lagi pada perjalananku. Seorang teman yang lainnya pernah pula bertanya padaku,
saat aku memutuskan untuk menyelesaikan sesuatu yang sebenarnya tak pernah kumulai. Sesuatu
yang pada akhirnya kuobati setelah banyak hal terlewati.
Maka, apa titik baliknya? tanya temanku.
Aku tidak segera menjawab karena sebenarnya aku pun tidak begitu yakin apa jawabannya.
Beberapa hari kemudian, jawaban absurd kutulis lewat blog pribadiku.
Titik baliknya adalah titik yang tidak terdefinisi. Gunakanlah integral, bersama dengan
invers atau diferensiasinya. Kau tak akan pernah mengerti jika tak pernah mencobanya.
Learn it. Completely, not partially.

Mungkin pada awalnya aku memang sedih. Aku berbohong jika selama ini aku baik-baik saja.
Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Itu bohong yang klasik. Bohong yang aku paksakan. Aku bohong
soal ini tidak akan mengubah apapun. Jika film Youre The Apple of My Eye mengatakan bahwa if
you really love her, youd be happy for her when you see her finding her Mr. Right, maka aku tidak
setuju seluruhnya dengan pernyataan itu. Aku tetap membutuhkan waktu untuk menyembuhkan
semuanya.
Apa rasanya saat kau tahu bahwa seseorang yang kau sukai ternyata menyukai sahabatmu?
Sahabatmu tahu, orang itu menyukainya dan tahu kau menyukai orang itu. Maka, apa yang akan kau
perbuat? Butuh hati yang begitu lapang dan pikiran yang begitu jernih untuk kau bisa menerimanya,
bukan?
Dahulu, aku adalah seseorang yang tidak percaya dan sangat meragukan hilangnya perasaan
yang telah (secara tak sadar) aku jaga selama ini. Bagaimana mungkin seseorang bisa melupakan
perasaannya sendiri? Mustahil. Maka inilah waktunya mempercayai hukum alam. Kalimat tidak ada
yang tidak mungkin itu benar adanya. Sekalipun mengenai perasaan yang telah dijaga berhari-hari,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dahulu, aku adalah seorang yang percaya dan yakin bahwa
untuk sekedar melupakan sekalipun, manusia harus memiliki alasan. Apalagi melupakan perasaan.
Padahal jika ditarik garis mundur, adakah alasan untuk terus menjaga perasaan itu? Sepertinya aku
terlalu berlebihan. Karena pada akhirnya, ada sesuatu yang terjadi begitu saja. Bukan tanpa alasan,
tapi Tuhan memang telah menggariskan takdir yang teramat sangat mengalir lembut sampai manusia
tidak sadar bahwa ada episode tertentu yang membuat perasaan pengganggu itu tercerabut sampai ke
akarnya.
Semuanya terjadi dengan sederhana. Mengalir sempurna. Terlupakan. Hilang ditelan masa.
Sepertinya aku memang terlalu berlebihan. Waktu yang lama bukanlah penjamin sebuah
keabadian. Dunia ini akan selalu ada akhirnya, pun mengenai hal-hal kecil di dalamnya. Jikalau
nyawa manusia yang begitu tak tergantikan mempunyai titik akhir, bagaimana mungkin secuil
perasaan kecil hasil sambung menyambung benang merah- tak mempunyai ujung penghabisan?
Semuanya terjadi dengan sederhana. Beberapa ritual telah dicoba, sekedar untuk membongkar
segala memoar, mengetes apakah perasaan itu akan kembali atau tidak. Ini nyata adanya: tidak.
Ah, akhirnya aku sadar. Aku hanya perlu membaca arti dan hikmah dari berbagai kisah lama.
We met for a reason. Either for a blessing or a lesson. Absolutely. Dunia ini fana dengan segala
relativitasnya.
Feel hard of moving on? Ini tidak sesulit yang kau bayangkan. Kau hanya perlu hijrah. Hijrah
jasad agar kamu bisa menghijrahkan hatimu. Pun tentang banyak peristiwa yang menggumpalkan

berbagai perasaan yang tak perlu ada. Karena selayaknya hijrah adalah menemukan sesuatu yang
baru, orang-orang baru, suasana baru, dan atmosfer baru. Hingga setiap sesuatu yang baru itu
menyibukkan pikiran dan hatimu, tak akan ada ruang bagi mereka untuk memikirkan lagi masa lalu.
Ya, hijrah akan mempertemukanmu dengan sesuatu yang baru, yang akan mengantarkanmu pada
suatu kesimpulan bahwa ada banyak hal rumit yang jauh lebih sederhana dari apa yang kamu tahu dan
bahwa ada banyak kepastian dalam hal-hal yang membuatmu ragu.
Kembali lagi pada perjalananku. Ya, aku menyebutnya hijrah. Berpindah. Jika berharap
mengajarkanmu untuk siap kecewa, maka orang itu telah mengajarkanku bagaimana caranya
berharap. Harapan yang tidak berakhir bahagia, memang. Kadang terlintas di benakku, siapa aku ini.
Seseorang yang jauh dari sempurna. Apa lebihku atas kurangku? Aku-ini-buta.
Aku menyukainya selama lebih dari 9 tahun. Menyukainya dalam diam, tanpa alasan.
Menyukainya meski aku tidak pernah tahu bagaimana parasnya, bagaimana tingkah angkuhnya
seperti apa yang orang lain bilang. Dia memang tidak salah. Aku yang salah. Aku terlalu banyak
menyambung benang-benang merah dalam pikiranku. Kemudian tersenyum sendiri, sedih sendiri.
Sepertinya aku hampir gila.
Hingga sampai pada saat itu. Ia menyatakannya. Ia menyukai sahabatku. Sahabatku tidak
mungkin tidak menyukainya.
Oh, jadi ini maksud di balik semua kedekatannya denganku? Untuk lebih mengenali
sahabatku? Lalu, aku?
Perjalanan ini adalah sebuah cerita. Cerita yang berakhir baik-baik saja. Karena Tuhan
Mahaadil bukan? Aku hanya butuh beberapa hari untuk menerima semuanya. Kemudian sebuah
keluarga mendatangi rumahku. Aku tak perlu tahu dan memang aku tak tertarik untuk tahu siapa yang
datang. Aku tak bisa melihat mereka dan aku terlalu malas untuk mendengarkan perbincangan
mereka. Sampai akhirnya aku tahu sendiri lewat ibuku yang esoknya menghampiriku. Aku
mendapatkan donor mata.
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Operasi berjalan lancar, tetap
dengan keadaanku yang tak tahu siapa pendonor mata itu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik
untuknya karena telah memberikan kedua bola matanya untukku, untuk kembali melihat dunia yang
telah bertahun-tahun gelap.
Kau mau menikah denganku?

Itu kalimat pertama yang kulihat sesaat setelah dokter membukakan perban di kedua mataku.
Kalimat pertama yang kudengar, lengkap dengan gerakan bibir dan pancaran mata sang pengucap.
Loh, siapa dia?
Kau mau menikah denganku?
Hei, tidak bisakah kamu memperkenalkan dulu siapa namamu dan kenapa kau ada disini?
Bukan dengan seenak jidatmu mengatakan kau mau menikah denganku? di detik-detik pertama aku
bisa melihat dunia lagi.
Oh, baiklah. Kita bisa memulai semuanya dari awal.
Sepertinya dia mengerti maksud raut wajahku. Aku menatap matanya. Eh, sebentar.
Sepertinya aku mengenal suara ini. Belum sempat aku mengingat-ingat
Perkenalkan, namaku Titan.
Titan! Oh Tuhan, bagaimana mungkin aku lupa. Itu benar dia. Dia yang sempat kusukai 9
tahun lamanya. Kenapa dia ada disini?
Kita bisa memulai semuanya dari awal, kan? Titan tersenyum. Aku masih tercengang. Apa
yang perlu dimulai dari awal?

Maka, biarkanlah sekali-kali dirimu berdamai dengan masa lalu. Berbicaralah tentangnya,
dengannya. Hargai dirimu di masa itu, bahwa semua keputusannmu telah kau pertimbangkan sampai
jemu.
Titan tidak pernah ada apa-apa dengan sahabatku. Aku yang hanya berburuk sangka dan tidak
pernah mau menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatku sendiri. Aku terlalu takut sakit
hati. Selama ini, aku berpura-pura diam dan menutup diri. Aku hanya terlalu sulit untuk
berkomunikasi.Titan membantuku mengomunikasikan semuanya. Pun tentang mata ini. Mata yang
dulunya adalah milik adiknya.
Terimakasih sudah mau menatap mataku, Azka, ucap Titan sesaat setelah aku mencium
punggung tangannya. Dia kini menjadi suamiku. Dia menatap lurus pada mataku, mata yang kini bisa
melihat matanya.
Kesuksesan segala perasaan ini adalah kuasa-Nya. Aku tidak perlu memaksakan kehendak.
Aku percaya pada doa dalam diam. Memang tidak ada yang tahu, bahwa selama ini aku
memperjuangkan dirimu dari diriku sendiri. Dalam doa. Ya, dalam doa. Doa yang selalu aku

langitkan. Doa yang tidak pernah berakhir dengan kesia-siaan. Karena cinta adalah sesuatu yang bisa
kau lihat meski kau buta, bukan?

Anda mungkin juga menyukai