Anda di halaman 1dari 6

Diantara Ada dan Ketiadaan Diri

Oleh Mulasih Tary

“Bagaimana kita menjadi sukses?”


Pada umur berapa kamu mulai mempertanyakan ini? Dapatkah kamu gambarkan
perasaanmu ketika mulai mengenai dan memilah kata “Sukses” sebagai tujuan dari hidup.
Bagaimana kamu menjawabnya? bahkan ketika kiat kesuksesan ini ada sejak kamu belum benar
bisa mengingat apa yang kamu inginkan. Sejak saat kamu masih di dalam kandungan, sejak saat
orang tuamu mengusahakan kesuksesan dirimu untuk meraih keberhasilan hidup di dalam rahim
dan bernapaskan satu dengan Ibu. Sejak saat tali pusarmu diputus dan kamu mendulang
kesuksesan bernapas dan menangis untuk pertama kalinya sebagai manusia yang mandiri.
Sejak pertama kalinya kamu meraih insting dalam dekapan ibumu untuk mencari
secercah harapan hidup melalui air susunya. Itu konsep awal dari kesuksesan. Kamu sudah
mengenalnya. Mempelajarinya, meraihnya, dan mencecap eksistensi sebagai manusia yang
berhasil mempertahankan hidup. Dan dalam konsep beragama, katanya kamu yang sukses
membuat perjanjian dengan Tuhan. Kamu sukses! Bahkan ketika kata “sukses” tidak ada artinya
bagimu kecuali untuk menjadi ada.
Lalu kapan kemudian kamu merasa ada keterancaman diri untuk menggali kata “sukses”
lagi yang ada padamu sejak lama. Kenapa kamu mulai mempertanyakan kenyataan bahwa
eksistensimu mulai memudar? Apakah karena perasaaan frustasi sebab dunia yang kamu dekap
jauh lebih besar dari yang bisa kamu tahan dengan tanganmu? Atau apakah kamu merasakan
perbedaan yang dinamakan privilage dan tidak ada padamu? diskriminasi? kegagalan?
Kekurangan cinta kasih? Serta kehadiran stimulus rasa sedih yang berjumlah ratusan, dan
bergumul menjadi satu di sekelilingmu dalam satu satuan waktu, hingga akhirnya menjadi
kelabu, dan kamu merasa hilang harapan akan diri dan dekapan peradaban?
Aku juga merasakannya. Masih sampai sekarang, dan kadang menjadi sesak. Rasa hilang
arah diamini oleh frustasi hingga yakin kita hampir tiada. Bukan mati, hanya perasaan menjadi
Zombie. Tidak berguna. Kalah akan diri. Begitu bukan? Kalap, akhirnya aku mencoba bernaung
pada pencarian, “Bagaimana aku menjadi sukses?” Ralat. “Bagaimana menjadi sukses di mata
orang lain?” Bukannya begitu cara menjadi ada? Karena kita diakui?
Ya, tentu saja senang ketika akhirnya dapat mendapatkan itu. Aku bukannya tidak
bahagia menerima pujian. Melayang sudah hati aku seperti balon diberi gas helium. Tapi lupa
balon bisa pecah, dan helium menghilang. Lalu dimana kita saat itu? ketika orang tidak lagi
peduli, dan nilai keberadaan diri tidak lagi sama? Apakah kita kembali menghilang? Lalu masuk
ke ranah frustasi lagi? Oh tidak. Aku tidak menginginkan circle seperti ini hadir dalam hidup
aku. Apakah kamu juga? Maukah kamu sekapal dengan aku kalau begitu.
Selamat datang pada semangatku kali ini, selamat datang pada pembicaraan yang lagi-
lagi membuat aku bergidik. Takut sebenarnya belum paham betul. Tapi juga ada semangat yang
meyakinkan bahwa aku mungkin memang mampu menyelesaikannya. Mengingat buku
sebelumnya serasa menyelamatkan aku. Membuat aku sedikit menjadi lebih berharga. Padahal
yang aku lakukan hanya menuliskannya.
Yang membuatku lebih bahagia, buku-buku itu disukai pembaca. Mereka bisa merasakan
apa yang aku tulis dengan cinta. Aku berharap buku ini bisa memberi makna dan manfaat bagi
pembacanya, karena sungguh aku tak ingin menulis hal yang sia-sia. Aku menulis ini untukmu,
agar kita sama-sama melihat hal yang mungkin yang kita benci pada diri kita. agar kita bisa
menerima bahwa kita tidak perlu menjadi sempurna seperti orang lain. Kita tidak perlu menjadi
sehebat orang lain. Mari membaca buku ini seraya membaca diri kita sendiri.
Baiklah, kali ini kita akan mengulik hal yang sangat dekat, menjadi lumrah, kamu juga
aku sudah sama-sama berada dalam love-hated relationship dengan konsep ini. Bisa jadi sumber
ketakutan paling besar atau malah belajar dalam hal penerimaan sebagai manusia. Dapat
dijelaskan melalui frasa “Its Okay To Not Be Okay” atau “Not All Right, But Its All Right” atau
dalam bentuk frasa lebih positif seperti “All Is Well”, ada banyak bahasa dalam dunia ini, aku
tidak bisa mencakupkan segala seni penggambaran suasana ini dalam lebih banyak kalimat lagi,
tapi itu salah satu contoh muaranya.
Apakah kamu mulai sadar aku menggiring kapal ini untuk menuju kemana? Ya, kita akan
segera masuk ke dalam pelabuhan yang kata sebagai orang dikatakan sebagai lubang frustasi,
dan kalimat di atas tidak lebih dari sekadar toxic positivity untuk mewadahi manusia pada tenang
semu, atau malah bentuk kemalasan yang diakui.
Tapi bagi sebagian lagi, ini adalah inang. Tempat recharge energi atau merenung kembali
atau sekadar menghela napas. Siapa tahu ketika mengejar hal yang bukan hal milik, karena
kembali lagi manusia mengejar keberadaan diri dan takut untuk terlelap. Tak jarang, lakonnya di
dunia adalah bentuk konformitas. Seragam agar berada dalam naungan, padahal jelas semua
manusia berbeda. Padahal jelas hubungan timbal balik makhluk berbeda tidak akan selalu sama
dan serata.
Manusia menggantungkan keyakinan bahwa mereka sama salah satunya dalam bentuk
“komitmen” serta keterikatan. Padahal kenyataannya hanya beberapa bagiannya saja yang
menyatu, selebihnya membebaskan diri, kadang ada yang tertahan dalam bentuk “kompromi”.
Tetapi tetap saja sebagai keterbebasan nilai, ada yang tidak menemukan kata kompromi, dan
menyebabkan kegagalan penyatuan yang memang berbeda. Saat inilah orang mulai menjadi
takut, bahwa dia akan mendapatkan cemoohan, tidak ada pengakuan. Tapi bukan ketiadaan diri,
satu-satunya yang hilang adalah kepercayaan bahwa manusia memiliki hak menghidupi diri.
Kembali menjadi diri yang fitrah sebagai manusia dengan segala salah dan gagal adalah
hal utama dalam mengatakan bahwa “Aku tidak apa-apa dengan takdir buruk”. Bukan untuk
mengeluh, bukan untuk menyerah. Tapi mewajarkan kegagalan sebagai bentuk pembelajaran.
Bukan mengatakan itu sebagai kesalahan tak termaafkan yang tidak bisa diperbaiki, tapi
memang tidak apa-apa, Aku benar-benar tidak masalah, kalau orang lain menganggap aku “tidak
menjadi apa-apa”. Tidak hanya meyakini bahwa memang ada “takdir buruk”, tetapi
menjalaninya juga.
Suatu malam, aku dan salah satu teman berdiskusi mengenai kenapa aku masih sendiri
sementara berada di usia dimana belajar menjalin komitmen adalah salah satu bentuk tugas
perkembangan.
“Kenapa kamu sulit berkomitmen? Kenapa kamu takut cinta? Emang apa yang sebegitu
menakutkan dari itu?”
Aku tertawa, padahal jelas ini hanya pertanyaan. Kenapa aku merasa terlalu mengarah
membombardir perasaanku. Lalu aku jawab dengan kalimat panjang, dengan tersemogakan agar
dia diam.
“That’s karena cinta membuai. Cinta tuh bisa disalahpahami. Cinta tuh gak bisa kekontrol
kalau sudah dalam bentuk komitmen untuk dua manusia atau lebih. Keinginan untuk
mempertahankan cinta, bisa merusakan cinta yang lain. Diwadahi komitmen juga percuma saja,
karena biar bagaimana cinta mengarah pada konsep lebih luas dan dinamis serta tidak terlalu bisa
dikungkung. Buktinya perselingkuhan ada dimana-mana bukan? Buktinya bahwa kenyataan
jodoh itu soulmate yang belum tentu ada dalam wadah komitmen cinta yang sekarang dijalani
manusia. Itulah kenapa ada perceraian dan pergantian hubungan antar manusia.
Tapi aku paham dan sadar diri, cinta juga bikin aku sampai di-stage ini. Bagaimana aku
harus lupa kalau sebelum benar mandiri aku bergantung pada cinta yang dimiliki orang
disekitarku. Jadi bukan sepenuhnya aku tidak menghargai cinta, hanya tidak menyimpan
komitmen lebih untuk saling terlalu bergantung agar menjadi ada.
Aku pun menyadari kecintaan pada diriku sendiri tidak bermuara, serta tidak memiliki
akhir. Kalaupun aku memiliki cinta kasih kepada orang lain, itu juga aku hargai mutlak. Sebagai
bentuk manusia baik dan menghindari berbuat kerusakan terlalu berat. Tapi untuk cinta lebih
jauh dalam bentuk komitmen yang menuntut, aku belum bisa menanggungnya. Takut belum
stabil untuk siap berpisah dan memisahkan diri karena terlalu berbeda. Beda juga dengan artian
cinta sepihak, aku bisa menanggungnya. Cause, I know my boundaries.
Ketika orang lain mengatakan dia mencintaiku. Sama seperti yang dikatakan oleh Lukas
Graham dalam lirik lagunya, otak aku mulai bekerja persis seperti itu:
'Cause when you love someone
You open up your heart
When you love someone
You make room
If you love someone
And you're not afraid to lose 'em
You probably never loved someone like I do
Ketika cintamu diwadahi dalam komitmen dengan orang lain yang sama-sama mencinta,
Kamu membuat ruang khusus. Karena ada kepercayaan “if I’m being loved and loving
someone”, Aku merasa “Ada”. “Ada” yang Aku tahu bukan sesuatu yang bisa dikuasai oleh satu
orang saja, substansi dalam ruang yang dikatakan “ada” itu dimiliki oleh dua orang. Terdapat
perasaan orang lain, yang hendak diusahakan bagaimana jadinya, tetap bukan ranahku untuk
membuatnya tetap terkontrol.
Suatu ketika dia bisa saja meninggalkan perasaan ini. Dan perpisahan memang pasti
terjadi secara mutlak dan tak terelak, meski bentuk paling pahitnya adalah kematian. Aku selalu
mengatakan, bahwa cara terbaik untuk mengatasi ini adalah untuk tidak terlalu menyerahkan
diri? Tapi bagaimana? Katanya kalau kita terlalu cinta kepada seseorang, dan terbiasa pada
keberadaannya untuk membuat kita menjadi “ada”. Ruang komitmen, memang biasa melenakan
dan merupakan proses yang sadar juga tidak sadar. Terbiasa untuk menjadi tergantung. Terbiasa
untuk berbagi dua. Padahal tetap saja aku satu, dalam substansiku sebagai makhluk individual.
Dan dia adalah satu sebagai manusia yang pikirannya hanya bisa aku sugesti, tapi tak terkontrol.
Bagaimana aku bisa menahan kenyataan kalau “ketakutanku” untuk kehilangan dia akan
membuatku hancur datang lebih cepat?”
Panjang sekali jawabanku untuk pertanyaan ini, tapi memang seperti ini jalannya. Tidak
hanya dalam bentuk komitmen cinta, ketika kita mulai menggantungkan diri pada orang lain
dalam hubungan yang dirasa saling memuaskan, atau saling memberi keuntungan. Perasaan
khawatir akan selalu ada di dalamnya. Lagi-lagi khawatir karena kita sendiri menyadari bahwa
kita tidak menjadi sama dalam setiap sisi. Tapi tidak perlu seekstrem aku juga, karena sebagian
ucapan aku berangkat dari ketakutan aku pada laki-laki karena ada trauma yang bermain peran.
Aku ingin kamu mengambil ke arah pandangan manusia bahwa untuk menjadi ada dan
tidak ada yang dilalui melalui batasan komitmen bersama dan menjadi sama. Bahwa ketika kita
tidak menjadi sama dengan orang lain, itu perilaku yang keliru. Nilai yang kita bawa sejak lahir,
juga yang dibentuk oleh lingkungan saja kadang bisa membuat orang menjadi berbeda.
Aku dan adik aku lahir dari rahim yang sama, keyakinan kita akan sesuatu sangat
berbeda. Mungkin ada saatnya kami berkompromi untuk mencapai kesepakatan dalam tujuan
yang sama, atau lebih terkenal sebagai “Kerja sama”, misalnya memilih menu masakan apa yang
akan “Mama” masak. Tetapi lebih banyak berbeda, adik aku mengambil jalan yang berbeda
dariku. Apakah wajar orang mengatakan dia gagal karena tidak menjadi sepertiku, dan Aku
gagal karena tidak menjadi sepertinya? Lagipula tentu saja tingkat kesuksesan dan definisi
kesuksesan diantara kita bisa berbeda, orientasinya berbeda, apakah ini patut untuk
disandingkan? Orang yang bekerja di perkantoran kenapa disandingkan dengan orang yang
bekerja di lapangan untuk menunjukkan mana yang lebih sukses?
Jadi kenapa kita harus dinilaikan selalu sama seperti orang lain? Kamu mungkin perlu
menghargai nilai dan norma yang ada agar tidak menyandung hak orang lain dan menjadi
manusia yang baik, tetapi menjalani kehidupan atas dasar apa yang kamu yakini juga bukan
kejahatan.
Aku juga tidak akan terlalu merasa diri payah karena tidak menjalankan tugas dengan
baik, lalu kenapa? Orang mungkin ada yang akselerasi untuk menjadi lebih matang dan meyakini
bahwa kompromi dengan orang lain dan yakin bahwa tidak akan kehilangan diri meski
kehilangan kompromi itu, terus kenapa yang punya jalan berbeda? Aku benar-benar merasa baik-
baik saja, meskipun aku dalam stage yang berbeda dengan orang lain. Lagipula kegagalan dan
komitmen bentuk cinta romantis ini, tidak membuat aku sepenuhnya buruk. Mungkin aku
dikatakan “tidak menjadi apa-apa” dalam ranah ini, tapi di sisi lain, ada diri aku yang
berkembang. Buktinya buku ini sampai di tangan kamu.
Kita dan manusia sering terlalu sibuk untuk melihat “tidak menjadi apa-apa” atau dalam
fase gagal sebagai satu penyakit. Padahal pilihan “tidak menjadi apa-apa” bisa merupakan titik
tengah untuk menghela napas setelah berlari, atau menjadi tahap merenung apakah sejauh ini
sudah benar-benar bahagia? Atau apakah benar jalannya. Tahapan introspeksi mengenai pilihan-
pilihan ke depan. Ini bukan toxic positivity, tapi manusia memang harus bisa menerima
kegagalannya sendiri, menerima kenyataan ketidakberartian diri. Menerima bahwa kita akan
selalu berada dalam “ada” dan “ketidakberadaan”, menjadi abu dan abstrak bukan kejahatan.
Tidak bosan, Aku mengatakan bahwa ada begitu banyak manusia di dunia ini yang punya
jalan hidup berbeda. Kenapa meraba masa depan melalui waktu yang telah mati? Kenapa kamu
yakin kegagalanmu saat ini, membuatmu sepenuhnya menjadi buruk. Kenapa kegagalan dalam
satu aspek, atau karena kamu belum menemukan passion dianggap sebagai sifat buruk. Itu sama
sekali bukan sifat, ketika masih bisa diusahakan.

BIODATA PENULIS
Mulasih Tary, Lahir di Pemalang, Jawa Tengah. Saat ini bekerja sebagai salah satu Dosen di
Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Ratusan buku sudah ditulisnya. Buku-buku
karangannya sudah tersebar di Gramedia dan toko-toko buku di Indonesia. Jika ingin
menghubunginya bisa melalui email mulasih_tary@yahoo.com, IG @mulasihtary atau facebook
Mulasih Tary.

Anda mungkin juga menyukai