Anda di halaman 1dari 4

“Takdir manusia adalah hidup melalui koneksi dengan orang lain.

Setiap orang harus


berhubungan dan saling menghidupi bila ingin hidup damai dan sejahtera”.
-Djajendra

Relasi antar manusia merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan. Terutama sebagai
anak muda, hubungan antar sesame merupakan hal yang sangat krusial dan menjadi satu faktor penting
dalam pencarian jati diri. Hubungan dengan orangtua, atau dengan teman,sangat menentukan karakter
yang kedepannya pelan-pelan akan terbentuk.
Sebagai mahasiswa, ada kalanya kita dapat menyambung pembicaraan dalam suatu kelompok,
ada kalanya juga kita merasa tidak cocok dengan kelompok tertentu. Namun hal tersebut memang
wajar, seperti yang dikatakan oleh Levinas, “relasi di antara manusia tidak harus timbal balik”.
Namun reaksi timbal balik yang saya maksud disini adala htentang timbal balik rasa. Rasa nyaman atau
kecocokan dalam berelasi itu sangat relative dalam hubungan antar manusia, dan merupakan suatu hal
yang alami dan secara otomatis dapat terasa, dan juga tidak dapat dipaksakan. Kita sebagai seorang
individual tidak dapat memaksakan individidual lain atau suatu kelompok tertentu utuk menyukai atau
tidak menyukai. Namun, terkadang hal ini yang menjadi batu sandungan dalam relasi antar manusia.
Dimana individual merasakan adanya tekanan secara psikologi agar dapat merasa cocok dalam suatu
komunitas tertentu. Hal ini cukup mempengaruhi psikologis seseorang seiring dengan kebutuhannya
dalam hal sosial. Namun, konsep hubungan asimetris ini membuat individual mengejar suatu relasi
memiliki adanya timbal balik.
Individual seperti saya terkadang mencari suatu relasi yang memunginkan saya untuk diakui
dalam suatu hubungan antar individu, atau pun dalam suatu kelompok. Sebagai seorang manusia,
memang sewajarnya mencari suatu lingkungan yang dapat menciptakan suatu suasana positif yang
mampu membuat suatu kenyamanan dalam suatu komunikasi. Ketika komunikasi yang saya bangun
memiliki suatu timbal balik yang baik, disitulah saya merasakan adanya suatu koneksi yang dalam,
sesuatu yang intens. Namun, jika timbal balik itu tidak terjadi, seperti pada paragraph di atas, saya tidak
dapat memaksakan situasi agar saya dapat disukai, sehingga saya seingkali lebih memilih untuk
menjauh, agar tidak adanya tekanan batin untuk berusaha untuk fit in.
Semua orang, termasuk saya, pasti pernah mengalami dan merasakan teori Buber yag pertama,
yaitu relasi antara aku dan itu. Dalam relasi ini,sesama aku perlakukan hanya sebagai objek layaknya
benda mati. Terdengar tidak enak memang, tapi hal ini begitu manusiawi, tapi tetap ada batasan-
batasan wajar dalam relasi ini. Untuk saya sendiri contohnya, saat saya masih kecil saya menyukai
seseorang, namun ada kata ‘karena’ yang bersifat obyektif. Misal saya pernah menyukai teman saya
karena ia tampan. Kata tampan disini yang membuat saya mengobyekkan dia. Karena saya hanya
melihat ia dari luarnya saja, dan saya hanya menilai dia dari fisik luarnya saja. Banyak kasus-kasus di
dunia yang sifatnya hanya mengobyekkan sesama manusia. Seperti contohnya kasus-kasus pelecehan
seksual, dimana pelaku mengobyekkan korbannya sebagai suatu alat yang dapat memuaskan hasratnya
dalam hal seksual. Tidak hanya wanita, namun anak-anak dibawah umur pun menjadi korban. Menjadi
suatu dilemma untuk manusia, dimana pemikiran bawaannya dapat menjadi suatu kasus yang begitu
serius dan berpengaruh dalam masyarakat.
Lalu ada teori Buber yang kedua, dimana relasi ini terjadi antara aku dan dia. Pada relasi ini,
aku mengakuinya sebatas fungsi sesamaku di dunia ini (fungsionalisme). Aku tidak mencintainya
namun aku juga tidak membencinya. Netral. Aku tak bertanggungjawab sedikit pun atas
kebahagiannya. Aku punya masalah, dia pun punya masalah. Aku tak punya kewajiban untuk
mengulurkan tanganku padanya. Aku tak perlu tahu siapa namanya. Dalam kehidupan sehari-hari,
terkadang hubungan ini malah lebih menjadi suatu sikap apatisme. Memang tidak harus untuk langsung
terjun dalam setiap interaksi sosial, ataupun mengenal semua orang, namun pada masa kini orang lebih
cenderung memilih untuk tidak tahu dan tidak mau tahu terhadap konflik dan sesuatu yang terjadi di
dalam masyarakat. Ataupun dalam kehidupan sehari-hari, relasi seperi ini banyak juga diterapkan,
seperti contohnya sebagai mahasiswa, dalam hubugan pertemanan seringkali individual berteman
hanya karena salah satu atau keduanya memiliki suatu hal yang menguntungkan. Misalkan saya dekat
dengan A karena dia pintar menggunakan program ini, atau saya dekat dengan B karena dia memiliki
kendaraan, sehingga saya bisa ikut menumpang, atau banyak contoh-contoh lainnya.
Kemudian, seiring saya dewasa, saya mengerti dengan teori Buber yang ketiga, yaitu relasi
antara aku dang engkau. Ini relasi dimana manusia terarah kepada suatu kesatuan namun keunikan dan
kekhasan person tidak terhapus melainkan diakui dan diteguhkan. Sebuah panggilan paradoksal yang
menuju kepada cinta yang sejati. Sesamaku bukan benda atau hanya berada sesuai fungsinya saja. Tapi
engkau adalah engkau. Menurut saya, relasi ini adalah relasi yang paling tulus, dan begitu intim. Saya
dapat merasakan suatu perasaan yang berbeda, ketika saya dapat melihat seseorang karena dirinya.
Saya berteman dekat dengan sahabat saya, bukan karena dia cantik atau karena dia bermanfaat utuk
saya, tapi karena ada suatu koneksi diantara kita yang membuat kami dapat menjali pertemanan yang
begitu erat, dimana saya dapat terbuka dengan dia, dan sebalikya. Dimana saya menyukai dia karena
dirinya, dan menerika kekurangannya. Perasaan yang demikian bagi aya adalah sangat berharga, karena
saya tidak dapat merasakannya kepada semua orang. Demikian juga perasaan untuk kekasih saya, adik
saya, orang tua saya. Walaupun saya tahu kekurangan dan kelebihan mereka, tapi itu tidak membuat
saya untuk merasakan sesuatu yang kurang. Setiap komunikasi easaya ada sesuatu yagn special yang
terjadi, suatu ketulusan dalam berkomunikasi dan suatu perasaan yang tidak dapat digantikann dengan
apapun.
Saya mengutip dari Filsafat Emmanuel Levina, “bahwa diri sesama adalah suatu fenomena
yang lain, yang mutlak berbeda denganku. Dan segala usaha untuk memahaminya justru akan
merendahkan diri sesama karena ‘memahami’ berarti meniadakan keunikan dan kekhasannya. Aku
tidak perlu merasa dan berpura-pura untuk memahamimu karena aku tak akan pernah bisa.”
Hubungan dengan sesama menurut Levinas bersifat etis dan mewajibkan. Suatu seruan. Engkau
kuanggap sebagai tuanku yang begitu aku puja. Untuk mampu mencinta manusia harus menempatkan
dirinya di bawah sebagai seorang pelayan. Penampakan wajahmu menunjukkan suatu hubungan yang
asimetris bukan hubungan timbal balik. Cinta adalah pengorbanan diri total tanpa mengharapkan apa-
apa. Kemudian, Andrei Tarkovsky berkata, “what nobody seems to understand is that love can only be
one-sided, that no other love exists, that in any other form it is not love. If it involves less than total
giving, it is not love. It is impotent; for the moment it is nothing”. Masuklah rumahku, anggap seperti
rumahmu sendiri, milikku adalah milikmu juga. Cinta tak pernah mengharapkan balasan karena kita
dipanggil untuk melayani dengan tulus. Cinta mengorbankan kesenangan kita sendiri demi kesenangan
orang lain. Cinta yang dinamis tak akan pernah berkesudahan.
Kemudian, hubungan tertinggi yaitu hubungan aku dengan Allah. Sebagai manusia yang begitu
kecil, manusia tidak dapat terlepas darri Allah sebagai pencipta atas segalanya, yang memberikan
segalanya. Namun, pada zaman ini banyak manusia yang malah menjauhkan dririnya dari Allah, dan
kesegaran spiritual. Namun, karena hakekatnya sebagai manusia yang tergantung, maka manusia dapat
merasakan kehausan dan kekeringan dalam jiwanya. Bukan haus akan air, tapi haus akan kasih Allah.
Seakan-akan ada sesuatut yang kurang dalam diirnya yang tidak dapat terpenuhi walau dengan apapun.
Dititik itulah manusia mulai mencari-cari keberadaan Tuhan. Kembali te teori bahwa adanya relasi
yang saling membutuhkan, dimana manusia membutuhkan Allah sebagai pusat hidupnya dan Allah
membutuhkan manusia untuk mencurahka segala rasa cintaNya. Manusia merasa lebih berharga jika
hidupnya dekat dengan Tuhan. Ada rasa bahagia dan rasa positif yang terus meluap-luap dalam dirinya,
menjadi suatu keinginan untuk menyebarkan berita baik yan ditawarkan Tuhan untuk manusia.

Manusia pun dapat merrasakan relasi seara langsung dengan Allah, enta dengan cara berdoa,
membaca Alkitab,ataupun merasakan secara langsung mukjizat yang diberikan oleh Allah.

Kotbah oleh Romo Yohanes :


Bacaan kedua yang tadi dibacakan Efesus 5:21-32 tentang hubungan Kristus dan Jemaat. Betapa Yesus
itu mengasihi ciptaanNya. Yesus sendiri mengatakan mintalah, maka akan diberikan. Carilah, maka
kamu akan mendapat. Adakah seseorang diantara kamu (sebagai orang tua) memberi batu kepada
anaknya yang minta roti? atau memberi ular jika anaknya minta ikan? Jadi jika kamu yang jahat
(orang-orang yang berdosa) tahu memberikan pemberian yang baik, apalagi BapaMu di Surga.

sebelum misa

Bacaan Injil hari ini dari Yohanes 6:60-69, diceritakan banyak yang meninggalkan Yesus karena
perkataanNya keras, Yesus mengatakan akulah roti hidup, kalau kita melihat dari sisi duniawi mungkin
kita akan dianggap kanibal karena makan daging Yesus, tapi kita harus melihat dengan kacamata iman.
Yesus mengatakan "Sebab itu telah kukatakan kepadamu : Tidak ada seorang pun dapat datang
kepadaKu, kalau Bapa tidak mengaruniakannya kepadanya." Ketika banyak yang meninggalkan dan
tidak mau mengikutiNya lagi, Yesus bertanya ke kedua belas muridnya : "Apakah kamu tidak mau
pergi juga?" Jawab Simon Petrus kepadaNya : "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Sabdamu
adalah sabda hidup yang kekal. Kami percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah."

Pasti kita pernah menonton film 3 dimensi, waktu nonton kita akan dikasi kacamata, dengan kacamata
itu kita bisa melihat seolah-olah filmnya real, nyata di hadapan kita. Bagaimana kalau kita lepas
kacamatanya? Tentunya film tersebut akan terlihat biasa saja.
Adakah diantara kita yang pernah melihat bakteri, kuman dan sebagainya? Pasti banyak diantara kita
yang belum pernah melihat secara langsung, tapi kita percaya ada bakteri, kuman berdasarkan
penelitian orang-orang tertentu. Demikian pula Iman. Iman itu membuat kita dapat melihat apa yang
tidak terlihat bukan apa yang tidak keliatan oleh mata.

Khotbah tersebut dibawakan oleh romo pendiri Ordo CSE. Khotbahnya menegaskan bahwa
kepercayaan kepada Tuhan tidak berdasa dengan apa yang kita lihat, melainkan berdasar dari apa yang
kita rasakan.
Oleh karnanya itu menjadi nyata bagaimana berbedanya apa yang dikatakan disini dan apa yang
telah kita katakan adalah maksud. Betapa indahnya transcenden yaitu didalamnya rancangan. Tuhan
memang bukan manusia; dia adalah bagi dia juga orang, juga berada diantara mereka, pengalihan
Tuhan, masuknya dia menjadi atar-bagian dengan dia, manusia dari keyakinan. “Ketuhanan
membutuhkan kita, mausia yang diciptakan untuk komunikasi dengan Tuhan. Akhirnya, bagaianapun,
itu dijaga bahwa “Komunikasi dengan ketuhanan” memiliki “tendensi untuk menyembunyikan
komunikasi diantara mereka, “untuk “Komunikasi dari diri kepada diri sebagai realitas kenyataan yang
sesungguhnya yang didalamnya transcenden mungkin berbicara yang dilumpuhkan bila transcenden
dibawa terlalu dekat dan didegradasikan oleh secara langsung di hubungkan untuk sebagai "Kamu".
Satu catatan : orang yang berada yang dengan rendah hati berani mengubah kepribadian immediasi
kepada kerberadaan dirinya hanya dengan mendegradasikannya dan hanya dengan ketimpangan dalam
dirinya sendiri kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan sejawatnya didalam apa yang tak
tampak menjadi gagasan yang sama, disini kutub berlawanan menjadi manifestasi terhadap pandangan
kita.

Anda mungkin juga menyukai