Anda di halaman 1dari 3

NASIONALISME DI PERSIMPANGAN JALAN

Oleh
Ahmad Syarif H, M.Pd.I., M.A.
(Penikmat Islamic Studies)


Beberapa waktu lalu, kebetulan penulis didaulat menjadi
pembicara di sebuah seminar yang mengusung tema keislaman
dan keindonesiaan. Acara tersebut banyak dihadiri oleh
mahasiswa dari berbagai latar belakang konsentrasi keilmuan, dari
organisasi kemahasiswaan dan bahkan dari perwakilan organisasi
kemasyarakatan. tema yang diangkat oleh penyelenggara menurut
penulis cukup menarik mengingat kesadaran akan keberagamaan
ala Indonesia semakin hari semakin memudar di tengah
masyarakat tidak terkecuali di kalangan mahasiswa. Dugaan
penulis ini rupanya terbukti setelah di seminar tersebut ada
beberapa mahasiswa dengan mantap dan lantang mengatakan
bahwa sebagai seorang muslim kita seharusnya menjalankan
ajaran islam dengan kaffah yang dalam sistem kenegaraan harus
dilakukan dengan cara menerapkan syariat islam di semua lini kehidupan masyarakat
Indonesia. Tak hanya itu, si mahasiswa tersebut juga dengan fasih mengatakan bahwa
demokrasi yang dianut sebagai sistem politik di Indonesia sangat tidak sejalan dengan ajaran
islam, Pancasila sebagai falsafah dan ideology bangsa harus diganti dengan islam, dan
bahkan bendera Merah Putih sebagai symbol kenegaraan harus diganti dengan bendera-
bendera Islam karena itu semua merupakan hal yang tidak memiliki landasan formil dari
ajaran Islam.

Melihat sekelumit cerita tersebut di atas, seakan membuktikan bahwa gejala anti
nasionalisme kebangsaan dan radikalisasi keagamaan sudah mulai dan sedang menjangkiti
anak-anak muda muslim bangsa ini. Fenomena ini kemudian mendorong penulis untuk
mencari tahu faktor penyebab munculnya pola pemikiran keagamaan yang masih aneh
tersebut bagi masyarakat muslim melayu Bumi Serumpun Sebalai. Dari pengamatan dan
analisa penulis terkait fenomena ini, setidaknya ada dua hal yang dapat dijadikan sebagai
faktor penyebab gejala awal anti nasionalisme dan radikalisasi paham keagamaan yang
terjadi di kalangan kaum muda (siswa/ mahasiswa).

Pertama, pandangan yang bersifat intoleran. Pandangan ini pada dasarnya lebih dipengaruhi
oleh faktor sempitnya pemikiran dan pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang dimiliki
oleh para oknum yang mendoktrin para mahasiswa tersebut. Sempitnya pemikiran tersebut
misalnya dikarenakan ketidaktahuan akan adanya pemahaman-pemahaman lain di luar
pemahaman keagamaan yang mereka miliki yang lebih cocok dengan visi kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia. Seperti jamak diketahui bahwa masalah fiqih siyasah (urusan agama
dan politik) dalam Islam memiliki banyak pendapat dan penafsiran yang semestinya
perbedaan tersebut harus dipahami dan kemudian pemahaman kita yang berbeda tersebut
tidak untuk dipaksakan ke sebuah sistem pemerintahan yang sah dengan cara merongrong
kedaulatan sebuah negara dengan berlindung dan mengatasnamakan Tuhan.

Pandangan-pandangan intoleran tersebut kemudian didoktrinasi oleh oknum-oknum tertentu
ke kalangan mahasiswa/wi yang pintu masuknya melalui penyampaian wawasan dan
informasi yang sangat kurang, terkait dengan masalah-masalah seperti pemberantasan
maksiat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga sebagian mereka
berpandangan bahwa penyelesaian masalah ini hanya bisa dilakukan oleh masyarakat atau
ormas-ormas tertentu. Padahal penyelesaian masalah seperti ini sepenuhnya harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan dilakukan oleh para penegak hukum.
Kedua, penggunaan istilah gerakan keagamaan yang kurang pada tempatnya, seperti istilah
kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Sebagaimana di kalangan puritan, istilah kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah juga menjadi semangat keberagamaan sejumlah mahasiswa/wi
dalam acara yang penulis ikuti. Padahal mereka bahkan tak menguasai bahasa Arab, alih-alih
keilmuan Islam yang termaktub dengan bahasa Arab (termasuk Al-Quran dan Sunnah).

Sebagai seorang muslim, kita semua tahu bahwa, tidak ada satu orang pun dari umat Islam
yang tidak mau kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Mengingat hanya Al- Quran dan
Sunnah yang ditinggalkan oleh Nabi kepada umatnya sebagai satu-satunya jalan selamat di
dunia dan di akhirat. Namun demikian, kembali kepada Al-Quran dan Sunnah tidak semudah
yang kerap disampaikan oleh kaum puritan dan radikal. Kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah membutuhkan semangat intelektualisme yang tinggi sebagaimana keteladanan para
ulama terdahulu. Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah berarti menguasai semua perangkat
keilmuan Islam yang telah disampaikan oleh para ulama terdahulu, mulai ilmu bahasa Arab,
ilmu Hadis, ilmu Al-Quran dan yang lainnya.Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah akan menjadi istilah benar yang ditujukan salah (kalimatu
haqqin yurdu bihal bthil).Terkecuali bila yang dimaksud dengan semangat kembali kepada
Al-Quran dan Sunnah adalah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah versi terjemahan atau
buku panduan Islam yang banyak terdapat di sejumlah kedai buku. Bila ini yang dimaksud,
maka kembali kepada Al-Quran dan Sunnah menjadi sangat mudah dan tidak membutuhkan
ketentuan-ketentuan ilmiah sebagaimana di atas. Konskwensinya, hal-hal yang tidak
termaktub dalam Al-Quran dan Sunnah versi terjemahan pun dianggap sebagai bidah,
khurafat dan lain sebagainya.

Khaled Abu el-Fadl, guru besar hukum Islam di University of California Los Angeles,
menjadikan Muhammad Abduh (1849-1905) sebagai bapak biologis yang mencetuskan
istilah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah pada abad modern ini. Istilah ini digunakan oleh
Abduh untuk menghidupkan semangat progresivitas, modernitas dan intelektualitas yang saat
itu di ambang kematian lantaran ditutupnya pintu ijtihad. Di tangan Abduh, istilah kembali
pada Al-Quran dan Sunnah telah melahirkan pemikir-pemikir besar seperti Rasyid Ridha, Ali
Abdurrazik, Thaha Husein, dan yang lainnya. Konteks inilah yang hilang di kalangan kaum
puritan dalam menggunakan istilah kembali pada Al-Quran dan Sunnah.

Bila Abduh menggunakan istilah di atas untuk membuka kekayaan tradisi keilmuan dalam
Islam untuk melipatgandakan kekayaan yang ada ke depan, kaum puritan justru
menggunakan istilah di atas untuk membuang kekayaan tradisi keilmuan dalam Islam. Dan
bukan para pemikir besar yang dilahirkan oleh kaum puritan (sebagaimana dialami Abduh di
atas), melainkan kaum militan, anarkis, dan anti-tradisi. Inilah kurang lebih yang juga terjadi
di kalangan mahasiswa/wi dan kaum muda sekarang ini. Secara istilah, mereka sangat
familiar dengan istilah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Padahal pada waktu yang
bersamaan mereka tidak menguasai bahasa ataupun disiplin ilmu keislaman yang cukup agar
mampu benar-benar kembali kepada dua sumber utama ajaran Islam tersebut. Pada akhirnya
tak jarang dari mereka yang mengakui bahwa selama ini hanya diajarkan tentang pentingnya
kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, tapi tidak diajarkan cara ataupun perangkat keilmuan
yang cukup untuk bisa kembali dan mempelajari langsung kitab suci Al- Quran dan Sunnah.

Begitu juga halnya dengan teriakan takbr (Allahu Akbar) yang kerap dilakukan oleh
sebagian mahasiswa/wi tersebut. Secara normatif tentu tidak ada salahnya seseorang
membaca Takbir, apalagi membacanya sebagai zikir. Tapi segala sesuatu ada tempatnya. Itu
sebabnya para ulama melarang membaca asm dan ayat-ayat Allah di tempat membuang
kotoran karena dianggap tidak pada tempatnya.

Dalam sejarah Islam, teriakan Takbir sebagai yel-yel lazim digunakan di medan perang.
Mengingat medan perang membutuhkan semangat tempur yang berkobar-kobar untuk
menghadapi musuh yang nyata di depan mata. Sementara dalam konteks di luar perang,
shalawat yang dianjurkan oleh para ulama. Mengingat shalawat diyakini mempunyai
pengaruh psikologis yang bersifat positif-konstruktif (ngademin). Takbir juga dianjurkan, tapi
dalam kapasitasnya sebagai zikir (dibaca pelan) atau ritualitas (seperti azan dll), bukan
sebagai yel-yel.

Inilah kesalahan fatal yang kerap dilakukan oleh kaum radikal dan puritan yang kemudian
diajarkan kepada para mahasiswa/wi dan kaum muda muslim yang sedang mencari identitas
muslim. Di mana-mana mereka meneriakkan takbir (sebagai yel-yel), termasuk di forum-
forum sosial dan keilmuan (seperti seminar dan diskusi). Ini pula yang sudah mulai menjadi
tradisi baru di sebagian mahasiswa/wi, khususnya bagi sebagaian aktivis organisasi islam
baik yang bersifat kemahasiswaan maupun kemasyarakatan. Bahkan mereka secara jujur
mengakui bahwa hampir di setiap forum (bahkan juga rapat) mereka dibiasakan meneriakkan
Takbir sebagai yelyel pembangkit semangat.

Apakah konteks sosial dan keilmuan sama dengan medan perang yang sudah secara jelas
berhadapan dengan musuh yang nyata? Hingga mereka harus menggunakan teriakan Takbir
sebagai yel-yel? Apakah para tunas muda yang melaksanakan rapat atau diskusi itu sedang
berhadapan dengan musuh yang nyata di medan perang hingga ditradisikan meneriakkan
Takbir sebagai yel-yel? Atau mereka memang sengaja dibidik dan dididik oleh oknum
tertentu untuk menjadi tentara perang muda untuk menghadapi bangsanya sendiri?

Lalu bagaimana menyelamatkan generasi muda (mahasiswa/wi) kita yang telah terjangkiti
dan atau bahkan telah terpapar virus puritanisme dan radikalisme tersebut? menurut penulis,
langkah penyelamatan tersebut bisa dilakukan dengan upaya merangkul mereka yang muda,
soleh, dan berprestasi tersebut untuk terlibat aktif dalam diskusi-diskusi dan pengajaran
keagamaan yang lebih menyeluruh dan bersenyawa dengan visi dan misi kebangsaan. Usaha
ini sejatinya tidak hanya dibebankan pada aparat pemerintah dan masyarakat semata, tetapi
juga menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan yang ada di Indonesia baik umum maupun
agama, negeri maupun swasta, sejak dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi, yang
salah satunya adalah melalui pengajaran agama islam berwawasan keindonesiaan. Sehingga
nasionalisme pada diri generasi muda islam Indonesia tidak berada di persimpangan jalan.[]

Anda mungkin juga menyukai