Anda di halaman 1dari 3

DAKWAH DI TENGAH KEBHINNEKAAN Ahmad Syarif H* Setiap agama memiliki agresivitas ajaran-ajaran untuk disiarkan atau didakwahkan.

Hal ini disamping didasarkan pada doktrin keagamaan, adanya keinginan untuk melihat besarnya jumlah pengikut secara kuantitatif juga merupakan suatu factor untuk melakukan dakwah (proselytizing) tersebut. Usaha mengajak, merayu, memanggil dan atau menyampaikan ajaran-ajaran agama yang dilakukan secara lisan maupun tulisan oleh perorangan atau kelompok untuk menyadarkan orang lain akan arti pentingnya nilai-nilai agama di tengah masyarakat yang majemuk tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan social yang berujung pada tindak kekerasan. Banyaknya kasus kekerasan yang berawal dari adanya pelecehan terhadap sebuah agama atau pemahaman keagamaan tertentu, tidak terlepas dari cara dan etika dalam menyiarkan dan menyampaikan ajaran agama tersebut kepada masyarakat. Oleh sebab itu, guna menghindari terjadinya gesekan-gesekan social di tengah masyarakat yang majemuk (plural) seperti masyarakat bumi serumpun sebalai ini, seorang dai perlu memperhatikan nilai-nilai pluralistic atau kemajemukan dalam menyampaikan materi dakwahnya kepada masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa persoalan mendasar yang harus senantiasa diupayakan, jika agama diharapkan menjadi rahmah untuk semesta alam. Pertama, penyiapan dai yang arif sekaligus bersikap inklusif. Kedua, memilih materi dakwah yang menyejukkan dan Ketiga, mensosialisasikan dakwah berparadigma transformatif sebagai modal menuju kerjasama antar umat beragama. Dai yang Arif dan Inklusif Adalah tugas setiap umat untuk tidak hanya melaksanakan ajaran agamanya, tetapi juga mendakwahkannya baik kepada diri sendiri maupun orang lain di mana dan kapan pun. Dakwah sebagai upaya penyebaran ajaran agama merupakan salah satu misi suci tiap agama sebagai bentuk keimanan setiap umat akan kebenaran agama yang dianutnya. Bagi muslim, misalnya kewajiban ini tersirat dalam Al-Quran surat Al-Nahl (16): 125, Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan beragumentasilah dengan mereka dengan yang baik (pula). Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Demikian juga sebuah hadis yang sering kita dengar secara eksplisit yang menyerukan agar kita menyampaikan kebenaran dari nabi meskipun satu ayat (sedikit). Dari ayat di atas, satu hal yang harus dan mesti digarisbawahi adalah bahwa dakwah hendaknya dilakukan secara bijaksana dan penuh kedewasaan. Kedewasaan sebagai umat yang akan mengantarkan keluhuran Islam di mata kelompok lain serta menjadikan orang lain merasa aman dan tak terancam dengan Islam. Oleh sebab itu, dalam melakukan dakwah di tengah masyarakat plural setidaknya seorang dai harus bersikap arif dengan memperhatikan nilai-nilai toleransi yang termanifestasi dalam beberapa hal berikut. Pertama, ia harus menyadari heterogenitas masyarakat sasaran dakwah yang dihadapinya. Kemajemukan masyarakat mulai dari agama, etnis, tradisi, hingga kemampuan intelektual mereka harus dipahami dan dihadapi oleh seorang dai dengan mengedepankan nilai-nilai humanism dan equalitas (kesamaan). Kedua, dakwah yang dilakukan harus menafikan unsur-unsur kebencian dan menghindari pikiran serta sikap menghina dan menjelek-jelekkan agama atau faham keagamaan yang berbeda yang diyakini oleh orang lain. Para dai harus sadar bahwa esensi dakwah adalah dialog yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, perhatian, kesabaran dan kasih sayang. Di samping itu, seorang dai juga harus menyadari bahwa kebenaran yang ia sampaikan bukanlah satu-satunya kebenaran tunggal, tetapi kebenaran tersebut bersifat relative sehingga masih terbuka peluang untuk dikritisi dan

dibenarkan. Ketiga, dakwah hendaknya dilakukan secara persuasif, jauh dari sikap memaksa. Keempat, seorang dai harus menenggang perbedaan dan menjauhi sikap ekstrimisme dalam beragama. Karena sikap ekstrimisme biasanya akan berujung pada sikap intoleran, mengklaim pendapat sendiri paling absah dan benar (truth claim) sementara yang lain salah, sesat, dan bidah (heterodoks). Materi Dakwah yang Menyejukkan Setelah memiliki kompetensi personal dan menginternalisasi nilai-nilai dan prinsip pluralitas pada diri seorang dai, maka langkah selanjutnya yang harus diperhatikan adalah memilih materi dakwah yang mengedepankan nilai-nilai agama universal yang memberi kesejukan serta jauh dari pemahaman keagamaan yang bertendensi provokatif yang mengakibatkan massa bertindak ke arah yang destruktif. Pemahaman keagamaan yang dilandasi pada pengutamaan kemaslahatan hidup umat dan masyarakat dalam menata hubungan social guna memperoleh kedamaian, keharmonisan dan kebersamaan dalam kemajemukan adalah salah satu hal yang harus dilakukan para dai dalam menyampaikan materi dakwah mereka. Untuk memilih materi dakwah seperti termaksud di atas, di samping ditentukan oleh apresiasi positif kepada yang lain, juga yang terpenting adalah kematangan para dai dalam memahami pesan-pesan atau ide moral agama secara keseluruhan. Sekedar ilustrasi sederhana, dalam islam umpamanya mengapa kita suka menonjolkan ayat semisal Tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nasrani (terhadapmu) sampai kamu mengikuti agama mereka tanpa dibarengi dengan penjelasan terhadap konteks ayat tersebut, sementara masih banyak ayat pluralis lainnya yang menghargai agama lain seperti Qs. Al-Baqarah (2); 62 dan 148; dua ayat ini di samping mengandung kenyataan bahwa pluralitas itu bagian dari Sunnat Allh sekaligus juga melalui pluralitas kita dituntut untuk berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairt). Atau contoh lain, kenapa hadis Nabi yang artinya, Ucapkan salam kepada orang lain baik yang kau kenal maupun yang tidak kau kenal justeru terdesak oleh larangan atau fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan salam kepada orang (agama) lain. Dakwah Berparadigma Transformatif Orientasi dakwah yang lebih mengedepankan perbaikan kualitas keimanan individual dengan menekankan hanya pada ketaatan menjalankan ritual keagamaan telah mengabaikan satu dimensi penting dalam dakwah, yakni pengembangan dan pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh. Keterbelakangan, ketertinggalan dan keterpinggiran umat dari percaturan (peradaban) global dewasa ini adalah beberapa realitas yang kurang tersentuh dalam materi dakwah. Sudah waktunya orientasi dakwah diarahkan pada hal-hal yang menyentuh persoalan social kemasyarakatan semisal persoalan perbaikan gizi anak-anak, pelestarian lingkungan, bahaya penyalah-gunaan obat, pemberantasan korupsi, penciptaan pemerintahan yang bersih (good governance), kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dan penghargaan Hak Asasi Manusia (HAM) serta perjuangan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara lebih beradab. Dakwah hendaknya ditujukan antara lain untuk memecahkan kebutuhan mendasar manusia akan jaminan kesejahteraan yang merupakan prinsip dasar keadilan sosial dan persaudaraan dalam setiap ajaran agama. s Mewujudkan kesejahteraan, keharmonisan dan kedamaian di tengah masyarakat adalah bagian dari kemaslahatan umat atau masyarakat yang menjadi misi besar para Nabi dalam menjalankan tugas sebagai pembawa ajaran Tuhan kepada hambaNya. Dan oleh karenanya kemaslahatan umat adalah inti dari setiap ajaran agama. Imam Al-Syatibi dengan sangat baik mendiskripsikan hal ini dengan mengatakan bahwa agama tidak hanya memuat ajaran yang

menekankan aspek peribadatan atau ritual (tabudiyah) semata, tetapi juga menekankan aspek social menuju kemaslahatan manusia (al-maslahah al-mmah). Oleh sebab itu, dakwah sebagai salah satu misi suci setiap agama yang berperan dalam memperkenalkan ajaran masing-masing agama hendaknya tidak dijadikan sebagai alat untuk memecah belah persatuan, menciptakan disharmoni, menebar kebencian serta mengobarkan api kemarahan, tetapi ia hendaknya dijadikan sebagai alat perjuangan untuk melawan semua penindasan, kekerasan dan kesombongan para pecundang untuk mencapai misi suci agama yakni keimanan, kesejahteraan, keharmonisan dan persaudaraan di tengah perbedaan. Karena perbedaan bukan untuk dipersamakan tetapi sebagai sebuah kekayaan ia harus diberdayakan.[]

* Mahasiswa S2 UGM, Program Studi CRCS (Perbandingan Agama dan Budaya)

Anda mungkin juga menyukai