Disusun oleh:
2022
PENDEKATAN DAKWAH DALAM MASYARAKAT PLURAL
Abstract
Dakwah adalah upaya mengajak umat melalui jalan yang benar. Yaitu untuk
mendapatkan pahala dari Tuhan. Oleh karena itu, dakwah merupakan kewajiban
yang tidak dapat diingkari oleh setiap muslim dewasa. Jadi, untuk mengajak
seseorang ke jalan yang benar, da'i juga harus melalui jalan yang benar pula. Dalam
menghadapi berbagai masyarakat yang plural, kebutuhan dakwah yang arif dan
inklusif serta persuasive sangat diperlukan.
A. Pendahuluan
Islam mengajarkan kita untuk selalu hidup dalam kerukunan dan kedamaian
dimanapun kita berada. Dalam AlQur’an sendiri banyak mengisyaratkan kita untuk
untuk senantiasa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang majemuk. Dalam Qur’an
surah al-Baqarah ayat 256 menegaskan bahwa dalam soal kepercayaan atau agama, kita
tidak diperbolehkan memaksa orang lain untuk memeluk agama yang kita yakini
kebenarannya. Sebab andaikata Allah menghendaki untuk semua manusia dibumi ini
beriman tentu hal itu dapat terjadi (Q.S. Yunus : 99). Allah menyeru kita untuk selalu
berbuat baik dan berlaku adil terhadap siapa saja baik itu orang mukmin ataupun orang
non muslim. Dalam Quran surah al-Mumtahanah ayat 8 menyebutkan bahwa Allah tiada
melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampong halamanmu,
sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang berlaku adil.
Oleh sebab itu, maka di dalam masyarakat yang pluralis ini, ketentraman dan
keharmonisan hidup bersama harus senantiasa dijaga dan terus dipelihara. Untuk itu
perlu adanya langkah langkah yang dilakukan untuk mencapai ketentraman hidup dalam
masyarakat majmuk tersebut, diantaranya:
1. Saling menerima, di sini tiap subyek memandang dan menerima subyek lain dengan
segala keberadaannya, dan bukan menurut kehendak dan kemauan subyek
pertama. Dengan kata lain setiap golongan umat beragama menerima golongan
agama lain, tanpa memperhitungkan perbedaan, kelebihan atau kekurangan.
2. Sikap saling mempercayai merupakan kenyataan dan pernyataan dari saling
menerima. Hambatan utama dalam memelihara keharmonisan pergaulan bila hilang
1
sikap saling mempercayai dan berganti dengan saling berprasangka serta saling
mencurigai. Karena itu, langgeng atau tidaknya, retak atau tidaknya pergaulan
baik antara pribadi maupun antar golongan sangat ditentukan oleh bertahan atau
tidaknya sikap saling mempercayai. Dengan demikian kerukunan dalam pergaulan
hidup antara umat beragama akan tetap terpelihara dengan terpeliharaya saling
mempercayai antara satu golongan agama dengan golongan agama lain.
3. Prinsip berpikir positif. Fungsional kerukunan antar umat beragama sebagai
pengatur hubungan luar dalam tata cara bermasyarakat yang mewujudkan dengan
kerjasama dalam proses social kemasyarakatan. Karena itu, tiap pihak harus
berusaha agar tiap masalah yang timbul, dihadapi, dipecahkan dan diselesaikan
secara obyektif dengan cara berpikir positif.1
1
M. Nasor, “Pradigma dakwah dalam masyarakat plural dalam memahami perbedaan sebagai kerangka
persatuan,” Jurnal Studi Keislaman 18, No. 1 ( Juni 2018): 58-59
2
Husain al Munawar, H.Said Agil. Fihih: Hubungan Antar Agama, Cet. II; Jakarta: Ciputat Press, 2003
3
Shihab, M.Quraish. Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1998), 445-447
hadiah ataupun bantuan dari siapapun meskipin berbeda agama ataupun keyakinan,
asalkan ia tidak mengikuti agama dan keyakinan mereka.
B. Pembahasan
1. Pendekatan Dakwah pada Masyarakat Pluralis
Secara etimologis, kata dakwah berasal dari bahasa Arab دع;;وة- ي;دعو- دعاyang
berarti menyeru, memanggil, mengajak, mengundang.4 Dakwah secara umum diartikan
dengan kegiatan mengajak atau menyeru dalam kebaikan. Di dalam alquran sendiri
terdapat beberapa makna terkait dengan kata dakwah diataranya dalam surah Ali Imron
Yat 104 yang berbunyi:
ٰۤ ُ
104 َول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن ِ ْ َو ْلتَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم اُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ اِلَى ْال َخي ِْر َويَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو.
ف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر ۗ َوا
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dalam ayat ini jelas menerangkan bahwa kata dakwah bermakna menyeru kepada
kebajikan, baik melalui lisan ataupun dengan perbuatan. Ayat ini juga sebagai dalil
wajibnya berdakwah. Adapun pengertian dakwah secara terminologis sebagaimana di
kemukakan oleh para ahli antara lain:
Selain itu dalam musyawarah kerja nasional –I PTDI di Jakarta tahun 1968 juga
merumuskan bahwa dakwah adalah mengajak atau menyeru untuk melakukan kebajikan
dan mencegah kemungkaran, mengubah ummat dari satu situasi kepada situasi yang lain
yang lebih baik dalam segala bidang, merealisasi ajaran islam dalam kehidupan sehari
hari bagi seorang pribadi, keluarga, kelompok atau massa, serta bagi kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka pembangunan bangsa
dan ummat islam.6
6
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Jakarta: Kencana. 2004. Hal.11.
7
jurnal Riset dan Konseptual Volume 6 Nomor 2, Mei 2021
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi.
Untuk itu memandang Islam harus melalui banyak pendekatan agar lebih banyak
informasi untuk mengetahuinya bahkan mengamalkannya. Ia berpendapat bahwa semua
orang tidak dapat melakukan pendekatan terhadap Islam hanya melalui satu pendekatan
saja, karena Islam bukanlah agama yang didasarkan pada perasaan-perasaan mistis
manusia, atau hanya terbatas pada hubungan Tuhan dan manusia dan berhenti disitu.
Ketika kita hidup dan berinteraksi dengan orang lain dari berbagai negeri dengan
budaya yang berlainan, semua mendambakan kedamaian dan kebahagiaan. Hanya
prasangka dan etnosentrismelah yang membuat orang- orang merasa dan berprilaku
seolah -olah mereka lebih baik daripada orang lain.8
8
Mulyana, Deddy dkk., Komunikasi Antarbudaya (Bandung: PT. Remanja Rosdakarya, 2000), 231
Sebagai Negara yang pluralis maka menghadapi mad’u yang beragam tingkat
pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah,
sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh
karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus
memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai
sesuatu yang menyentuh dan menyejukkan kalbunya,9
Sebagai dai yang baik harus memahami mad’u sebagai objek sasaran dakwahnya
dari berbagai segi karena tanpa kita mengenal objek dakwah, akan menyulitkan pesan itu
tersampaikan dengan baik dan tepat.
Umat Islam diperintahkan untuk senantiasa menegaskan bahwa kita semua, para
penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha
Esa, dan sama-sama juga pasrah (muslimūn) kepada-Nya. Bahkan biarpun sekiranya kita
mengetahui dengan pasti bahwa orang lain menyembah sesuatu obyek sembahan yang
bukan Allah Yang Maha Esa, kita pun tetap dilarang berlaku tidak sopan terhadap orang
itu. Menurut al-Qur’ān, sikap yang demikian itu akan membuat mereka berbalik
menyerang dan melakukan tindakan ketidaksopanan yang sama terhadap Allah Yang
Maha Esa, sebagai akibat dari dorongan rasa permusuhan tanpa pengetahuan yang
memadai. Terhadap mereka yang melakukan penyerangan dan ketidaksopanan pun,
pergaulan duniawi yang baik tetap harus dijaga.10
Semua bangsa adalah sama dan sejajar dalam ketidak sempurnaan mereka.
Namun, mereka mempunyai kelebihan dari yang lain adalah semata karena potensi yang
dimiliki, ditambah dengan pilihan dan usaha yang dihadapi masing-masing 11 maka,
kemajemukan, pluralitas, dan perbedaan merupakan sunnah Allah bagi manusia,
demikian juga adanya saling berpasangan.
Mengambil contoh dakwah para sabahat nabi dan umat Islam dari masa ke masa
menerapkan prinsip dan nilai Ilahi dalam menciptakan kehidupan yang damai di tengah-
tengah masyarakat yang berbeda agama, budaya, ras suku dan bangsa. Prinsip hubungan
muslim dengan orang lain dijelaskan Allah swt. dalam al-Qur’an dan melalui utusanNya
9
Munir, M. dkk., Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2003) 11-12.
10
Madjid, Nurcholis. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000) 4
11
Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas Peradaban dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,
Terjemahan dari al-Islam wa al- Taaddudiyah al-Ikhtilafu wa al-Tanawwu fi Ithar al-Wihda, oleh Abdul Hayyi al-
Qattan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) 141-142
nabi Muhammad saw. di mana harus terjalin atas dasar nilai persamaan, toleransi,
keadilan, kemerdekaan, dan persaudaraan kemanusiaan (al-ikhwah al-insaniyah). Nilai-
nilai Qur’ani inilah yang direkomendasikan Islam sebagai landasan utama bagi hubungan
kemanusiaan yang berlatar belakang perbedaan ras, suku bangsa, agama, bahasa dan
budaya.
Allah swt berfirman dalam surah al-hujurat ayat 13: Wahai manusia! Sungguh,
Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Q.S. Al-Hujurat 49: 13).
Firman Allah dalam ayat ini jelas menyatakan bahwa diciptakannya manusia
bersuku suku dan berbangsa bangsa adalah untuk kita saling mengenal, melangkapi
setiap kekurang satu dengan yang lain, bukan justru saling mengejek dan menjelekan.
Tertera dalam alquran surah alhujurat ayat 11 juga menyatakan “Janganlah satu qaum
(kumpulan lelaki) mengejek qaum (kumpulan lelaki) yang lain. Jangan pula (kumpulan
perempuan) mengejek (kumpulan) perempuan yang lain, karena boleh jadi mereka (yang
diejek) lebih baik daripada mereka (yang mengejek)”.
Merajut tali kerukunan dan toleransi ditengah pluralitas agama memang bukan
perkara yang mudah, diantara gambaran rill dilapangan yang menjadi ancaman bagi
tercapainya toleransi. Pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan
agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung
berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuantitatif ketimbang melakukan
perbaikan kualitas keimanan para pemeluknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para
penganut agama yang berbeda.12
12
Burhanuddin, Jajat dan Arif Subhan, eds., Sistem Siaga Dini terhadap Kerusuhan Sosial, (Jakarta: Balitbang
Agama Depag RI dan PPIM, 2000), 28
Untuk meminimalisir terjadinya ancaman seperti itu, maka ummat islam ataupun
umat yang lain dituntut untuk lebih bias menata aktifitas penyebaran dakwah secara lebih
proporsional dan dewasa. Sebab seringkali dalam upaya pembinaan kerukunan ummat
beragama terkendala oleh juru dakwah yang kurang peka terhadap kerukunan ummat
beragama dalam mensosialisasikan ajarannya. Semangat dalam berdakwah yang tinggi
oleh para pegiat dakwah seringkali ternodai sebab cara cara yang tidak baik dengan
menjelek jelekan agama keyainan orang lain.
Oleh sebab itu ada beberapa hal yang harus senantiasa diupayakan guna
tercapainya tujuan Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam, diantaranya ialah: (1),
penyiapan da’i yang arif sekaligus bersikap inklusif, bukan eksklusif; (2), memilih materi
dakwah yang menyejukkan (3), dakwah yang berparadigma transformatif sebagai
modal menuju kerjasama antar umat beragama.
Pendakatan dakwah yang inklusif menjadi suatu hal yang harus diterapkan dalam
berdakwah di kalangan masyarakat yang plural. Sebab Inklusif itu sendiri berasal dari
bahasa Inggris Inclusive yang merupakan kata sifat bermakna including everything yang
artinya
“termasuk semuanya”. Inklusif yang dimaksudkan ini adalah dalam hal pemahaman
teologi. Teologi inklusif adalah pengembangan paham dan kehidupan keagamaan yang
memperlihatkan keluwesan, toleran, dan respek terhadap pluralisme keagamaan,
sehingga para penganut berbagai aliran keagamaan atau agama-agama dapat hidup
berdampingan secara damai. Dalam konteks agama Islam, inklusif lebih dekat
diasosiasikan sebagai Islam yang cenderung kontekstual.13
13
Anja Kusuma Atmaja ,Dakwah Inklusif sebagai Komunikasi Humanis, Jurnal Dakwah dan Pengembangan
Sosial Kemanusiaan Vol. 11, no. 2 (2020), pp. 358-380.
Dakwah yang inklusif bersifat terbuka dan menyeluruh tanpa menjelekan agama
lain. Sebab inklusivisme itu merupakan sebuah paham yang mengakui bahwa dalam
agama-agama yang lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran, tetapi puncak kebenaran
terdapat dalam agama sendiri.14
Persoalan inklusif ini bukanlah berarti meninggikan sesuatu di atas sesuatu yang
lain. Ia tidaklah lebih tinggi daripada apa yang telah diatur di dalam agama yang
menyangkut persoalan ibadah yang tidak bisa diubah dan harus sesuai dengan aturan
baku berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, Ijma’ dan juga Qiyas. Namun perlu diperjelas
dengan pemahaman yang dalam bahwa inklusifisme ini ialah menaati semua aturan
dengan tetap mendahulukan penerimaan pendaat orang lain misalnya. Menekan ego
dengan tetap menghargai pendapat orang lain. Menghargai perbedaan dan menjalankan
segala sesuatu dengan cara yang santun.
Secara eksplisit islam mengajarkan bahwa pada dasarnya umat manusia adalah
satu. Sesuai dengan apa yang tertera dalam alquran surah Al Baqarah ayat 213 dan Surah
Yunus ayat 19. Maksudnya ialah ‘Satu’ dalam dimensi yang subtantif dan esoterisnya.
Namun penting dicatat bahwah “kesatuan” bukan berarti “keseragaman”. Meskipun dari
luar tampak berbeda, namun dalam setiap agama terdapat kesamaan yakni kesaman
realitas tertinggi yang menjadi tujuan akhirnya (ultimate goal; al-gardh) dari setiap
agama. Oleh karena adanya kesamaan inilah maka al- Qur’an mengajak seluruh umat
beragama untuk mencari titik temu atau yang lazim dikenal dengan istilah kalimat- un
sawâ’ itu.15
Dalam surah al-Maidah ayat 64 menyeru Wahai Ahl al-Kitâb! Marilah menuju
ketitik pertemuan (kalimat un sawâ’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak
menyembah selain Allâh dan tidak menyekutukan-Nya kepada apa pun, dan bahwa
sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “Tuhan-Tuhan” selain
Allah”.
Kalimatun sawa’ ini menunjukan bagaimana ajakan untuk mencari titik temu
diantara penganut agama lain yang sering disebut ahli kitab, 16 memberikan implikasi
14
Zaprulkhan, “Signifikansi Dakwah Inklusif Nurcholish Madjid Bagi Masyarakat Indonesia”, Mawa`izh, Vol. 1,
No. 7, Juni 2016, p. 42.
15
Efendi P. Dakwah Dalam Masyarakat Pluralis. Al -Tajdi d, Vol . I No. 1 /Maret
16
Madjid, Nurcholis. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Mediacita, 2000) 52.
bahwa siapapun dapat memperoleh salvation berupa “keselamatan” asalkan ia beriman
kepada Allah, kepada hari kiamat dan berbuat baik (al-Baqarah 2:62).
Perhatian dan pengakuan Islam akan agama lain seperti ini sesungguhnya
merupakan bagian dan sekaligus syarat bagi kesempurnaan keimanan seorang Muslim.
Artinya jika seseorang ingin imannya sempurna maka wajib baginya mengakui dan
menghormati agama lain. Tidak lah mengherankan jika toleransi yang sedemikian tinggi
ini menjadi catatan tersendiri bagi para pengamat Isam semisal Cyril Glasse yang
menyatakan; “Kenyataan bahwa satu wahyu (Islam) menyebut wahyu-wahyu lain
sebagai abash adalah sebuah kejadian yang luar biasa dalam sejarah agama-agama”.17
4. Komunikasi Humanistik
Komunikasi menjadi satu keutuhan yang harus ada dalam dakwah, sebab dakwah
tidak tidak dapat dijalankan secara tepat dan konsekuaen tanpa adanya sebuah
komunikasi yang baik. Sehingga apa yanga menjadi pokok ajaran dalam komunikasi
haruslah dijadikan sumber pelajaran agama yang komunikatif.
Inilah sebuah landasan utama yang perlu kita perhatikan bahwa komunikasi
memberikan pengaruh yang sangat urgent dalam setiap situasi dan persoalan. Termasuk
didalamnya kegiatan komunikasi yang terjadi antara da’I dan mad’u dalam sebuah
17
Efendi P. Dakwah Dalam Masyarakat Pluralis. Al -Tajdi d, Vol . I No. 1 /Maret
18
Budi Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001) 31.
pengajian. Tipe komunikasi yang berlaku pada kegiatan komunikasi itu ialah komunikasi
kelompok, ia bisa kelompok besar, maupun kelompok kecil, yang itu bertalian langsung
dengan perilaku yang menjadi efek setelah terjadi proses komunikasi antara penceramah
dengan pendengarnya.
Berangkat dari persoalan ini, komunikasi harus dilihat dalam konteks yang
menyejukkan. Tujuannya adalah ketika para pendengar menerima nasihat dan masukan
atau katakanlah siraman rohani dalam sebuah majelis dakwah. Para pendengar ini
mendapatkan kesejukan dan ketenangan batin. Bukan sebaliknya malah saling
mencurigai satu sama lain. Tidak merasa lebih baik satu sama lain dan menjunjung tinggi
rasa kemanusiaan diatas aturan agama yang menetapkan standar ibadah yang menjadi
kewajiban untuk dipatuhi, dijalankan dan disebarluaskan dalam komunitas keagamaan.
19
Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010, p. 1-2.
humanism disini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya. Ia juga
berupa adanya kelapang dadaan dan kebesaran jiwa dalam menyikapi perbedaan yang
memberi ruang bagi kebebasan berpikir.20
Wasatiyah secara literature terambil dari kata wasat yang berarti pertengahan atau
pada posisi pertengahan. Ibnu faris al-Shabi menyatakan bahwa wasat berarti keadilan
dan pertengahan sesuatu. Wasat berarti yang terbaik, yang adil dan lainnya. Dan dengan
20
Anja Kusuma Atmaja, Dakwah Inklusif sebagai Komunikasi Humanis Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial
Kemanusiaan Vol. 11, no. 2 (2020), pp. 358-380.
21
Anja Kusuma Atmaja, Dakwah Inklusif sebagai Komunikasi Humanis Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial
Kemanusiaan Vol. 11, no. 2 (2020), pp. 358-380.
mengutip dari al-Tabari, beliau mengatakan bahwa wasat berarti al-‘adl dan di
kesempatan lain Wasat dinyatakan sebagai yang terbaik.22
Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al-Quran:
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan bahwa ummatan wasathan
bermakna ummat pertengahan, yaitu ummat yang tidak larut dalam spritualisme tetapi
juga tidak larut dalam alam matearialisme.23 Merealisasikan sikap wasatiyah ini ialah
dengan akidah dan toleransi, sebab ciri dari pada islam wasatiyah itu ialah bersikap
realistis antara idealis dan kenyataan. Artinya bahwa dalam menjalani hidup ditengah
masyarakat yang plural seperti ini, seyogyanya para penda’I berdakwah sebagaimana
konsep dakwah yang wasatiyah, menyeimbangkan antara hablu minallah dan hablu
minannasnya.
Kata al-wasaṭ berarti yang paling sempurna dan paling baik. Sebagaimana juga
disebutkan dalam hadits Nabi, situasi terbaik adalah yang tengah. Hal Ini berarti bahwa
ketika berhadapan dengan Masalah dalam hidup yang perlu kita ungkapkan Adil dan
masuk akal. Islam moderat mencoba mengeksploitasi Pendekatan kompromi dan di
tengah Tidak ekstrim kanan atau ekstrim kiri saat memecahkan masalah perbedaan. Baik
itu perbedaan sektarian atau perbedaan agama. Islam moderat mengutamakan sikap
gotong royong Menghargai perbedaan dan toleransi antar umat beragama serta kelompok
agama internal tanpa partisipasi Aksi anarkis.
Konsep Islam wastiyah ini juga menjadi solusi yang harus dikedepankan untuk
menjauhkan kaum milenial dari radikalisme dan ekstremisme. Islam wasathiyah
merupakan bagian dari moderasi Islam yang bisa menajdi vaksin Radikalisme di
22
Islamic Management and Empowerment Journal (IMEJ) Volume 1, Number 1, June 2019 79 Lembaga
Dakwah dan Wasatiyah: Sebuah Tela’ah Perspektif Manajemen Dakwah di Kota SalatigaVolume 1, Number 1,
June 2019. p. 79-10
23
Quraish Shiahab, WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: mizan,
1996) hal. 375
Indonesia. Islam Wasathiyah sejatinya merupakan ajaran ulama nusantara yang dianut
dan diamalkan oleh umat Islam di nusantara selama ini. Namun setelah terjadinya
revolusi teknologi informasi, di mana semua paham keagamaan dapat diakses dengan
mudah dan bebas oleh masyarakat, maka mulailah ajaran keagamaan yang pada mulanya
tidak dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai masuk dan diajarkan di
Indonesia. Termasuk ajaran keagamaan yang radikal yang dapat membuat pemeluknya
melakukan tindakan teror. Sebab itu merupakan hal yang sangat penting untuk
mengembalikan umat Islam kepada ajaran ulama nusantara. Yaitu dengan
mengembalikan pemahaman Islam wasathiyah.
C. Kesimpulan
Memandang Islam harus melalui banyak pendekatan agar lebih banyak informasi
untuk mengetahuinya bahkan mengamalkannya. Kita tidak dapat melakukan pendekatan
terhadap Islam hanya melalui satu pendekatan saja, karena Islam bukanlah agama yang
didasarkan pada perasaan-perasaan mistis manusia, atau hanya terbatas pada hubungan
Tuhan dan manusia dan berhenti disitu. Untuk itu pemahaman tentang pluralisme tidak
cukup hanya dengan mengatakan kita masyarakat yang majemuk dengan beraneka
ragam suku bangsa, bahasan dan agama yang berbeda beda, namun juga harus dipahami
sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban.
Daftar pustaka