Anda di halaman 1dari 8

Dakwah dan Toleransi Umat Beragama (Dakwah

Berbasis Rahmatan Lil Alamin)


Muhammad Rif’at
Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Antasari

Dakwah activity based on enlightenment of the people, must necessarily require a


comprehensive understanding of the religious tolerance. Tolerance which etymologically
means patience, showing tolerance or patience should be reflected in the
implementation of dakwah activities. Religious tolerance is very important when viewed
from the condition of the nation and the State with a multi-ethnic, cultural, and religious
social life. Therefore, through the mass media and dakwah-oriented religious action
should not just be limited to the delivery of the message of Islam, but it must be coupled
with a sense tolerant of different views and beliefs.

Keywords: dakwah, tolerance, rahmatan lil 'alamin

Aktifitas dakwah yang berbasis pencerahan umat, tentu harus memerlukan pemahaman
yang komprehensif terhadap toleransi umat beragama. Toleransi yang secara etimologis
berarti kesabaran, kelapangan dada atau memperlihatkan sifat sabar harus tercermin
dalam pelaksanaan kegiatan dakwah. Toleransi beragama sangat penting bila dilihat
dari kondisi bangsa dan Negara dengan kehidupan sosial yang multi etnis, budaya, dan
religius. Oleh karena itu, melalui media massa maupun aksi-aksi keagamaan yang
berorientasi dakwah seharusnya tidak hanya sebatas penyampaian pesan Islam, tetapi
harus dibarengi dengan rasa toleran terhadap orang yang berlainan pandangan maupun
keyakinan.

Kata Kunci: dakwah, toleransi, rahmatan lil 'alamin

Perubahan sosial melalui dakwah perlu satu faktornya adalah penyampaian


dikembangkan di masyarakat Islam misi keagamaan yang tidak tepat
sebagai langkah pencerahan umat sasaran dan memasuki wilayah agama
Islam. Kontribusi aktifitas dakwah di orang lain
masyarakat sangat efektif dalam Proses dakwah berbasis rahmatan lil
memberikan pembelajaran informasi 'alamin perlu merujuk kepada surat al-
tentang Islam.Namun yang perlu Kafirun sebagai dasar pijakan dalam
diperhatikan adalah realitas kehidupan terdakwah dan sebagai inspirasi
social yang heterogen, bahwa umat toleransi kehidupan antar umat
Islam mempunyai tetangga yang Beragama. Dakwah bisa menjadi
beragama selain Islam. Meskipun dalam problem jika kemasan dakwah
kehidupan sosial memiliki corak yang ditujukan kepada orang yang sudah
berbeda-beda, dakwah perlu beragama, apalagi dalam muatan
ditampilkan dengan cara yang bijak dan dakwah sering menggunakan pihak lain
tidak merusak hubungan antar umat dengan sebutan kafir yang perlu
beragama. Hubungan antar umat disadarkan melalui ajaran Islam.
beragama menjadi tidak harmonis salah Sebutan Kafir sering digunakan sebagai

Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014 7


Rif’at Dakwah dan Toleransi

pihak yang negatif, baik secara sosial antara keduanya? Bentuk dakwah
maupun teologis, karena sebutan kafir seperti apakah yang seharusnya
secara terminologis memilki makna diperankan umat Islam dewasa ini?
pengingkaran dan penolakan kepada
kebenaran Islam Epistemologi dakwah
Harmonisasi kerukunan antar umat Secara bahasa, dakwah berasal dari
beragama rrerupakan pilar kehidupan padanan kata da’a – yad’u - da’watan
sosial yang sangat didambahkan setiap wa du’a’an. (Mahmud Yunus:1972:127).
pemeluk agama. Untuk itu, kehadiran Dalam Alquran istilah dakwah
dakwah rahmatan lil alamin secara disebutkan kurang lebih sebanyak
konseptual sebagai bentuk transformasi sepuluh kali dengan berbagai arti yang
sosial Islam dalam membentuk karakter berbeda; ajakan, seruan, pembuktian
sosial Islam yang toleran dan humanis. dan doa. Dalam makna sempit, dakwah
Oleh karena itu yang menjadi problem berarti tugas untuk menyampaikan dan
besar adalah biigaimana mengajarkan ajaran Islam pada yang
mentransformasikan Islam melalui lain agar nilai-nilai Islam terwujud
dakwah yang berbasis rahmatan lil dalam kehidupan manusia (Mawshu’ah
alamin. Islamiyyah: 2001).
Sekilas, keharusan dakwah dan Dengan begitu, apakah dakwah
toleransi beragama tampak saling berarti sebatas islamisasi yang meliputi
bertentangan satu sama lain. Di satu kewajiban untuk mempersatukan umat
sisi dakwah menghendaki orang lain manusia di seluruh jagat raya ini dalam
mengakui kebenaran Islam, sementara satu kesatuan? Jawabannya bisa iya
di lain pihak Islam juga menuntut agar bisa tidak. Sebab, dalam kaitan dakwah
mampu menenggang keyakinan dan toleransi, kita akan menemukan
maupun agama orang lain (tasamuh). dua kebenaran aksiomatik yang
Dalam pengertian ini, keduanya seolah terkesan paradoks. Satu pihak harus
mesti dipilih salah satunya dan mengimani kebenaran Islam secara
mengorbankan yang lainnya. Demi absolut, namun di sisi lain juga
dakwah toleransi dilabrak, semata hendaknya tidak mengingkari
toleransi antarumat beragama, dakwah keniscayaan pluralisme (religious
–setidaknya dalam asumsi kita saat ini plurality) sebagai realitas sosial
mesti diabaikan. (sunnatullah). Adalah kebenaran tak
Kekeliruan dalam merelevansikan terbantahkan jika setiap orang bebas
dua kewajiban inilah berbagai resistensi untuk berkeyakinan, keyakinan
sosial maupun konflik dengan wajah apapun! Hal ini dengan jelas termaktub
agama dan keyakinan tiada kunjung dalam nash Alquran (Q.S. 2: 256/5:
berakhir. Suatu saat ketika keyakinan 48/3: 20).
dan agama akhirnya beralih fungsi Menekankan dakwah dalam arti
menjadi kekuatan ampuh dalam mempromosikan dan menjajakan
memusnahkan dan membinasakan keyakinan dalam ruang formal-legal,
yang lain (collective violence). terang saja akan mengakibatkan
Dalam kaitan inilah penulis hendak fragmentasi sosial antara umat
mencoba mengkaji kembali makna beragama benar-benar terjadi. Islam,
dakwah Islam. Apa sebenarnya yang juga agama lain, akan saling
dikehendaki Allah SWT melalui bersitegang dalam memperebutkan
dakwah? Benarkah dakwah penganut dan berlomba-lomba dalam
mengancam sendi-sendi toleransi memperbanyak jumlah pengikut
beragama? Apa sebenarnya relevansi (dakwah kuantitatif). Karena

8 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014


Fif’at Dakwah dan Toleransi

kepentingan dakwah Islam pada Toleransi adalah sifat atau sikap


akhirnya berbenturan dengan toleran. Sedang toleran itu sendiri
propaganda agama lain dengan maksud adalah bersikap (menghargai,
yang tak jauh berbeda. membiarkan, membolehkan) pendirian
Akibatnya, dakwah yang semula (pendapat, pandangan, kepercayaan,
bersifat pilihan alternatif (ikhtiyari) kebiasaan, kelakukan dan sebagainya)
berubah bentuk menjadi paksaan yang berbeda atau bertentangan
mutlak (ijbari) dengan menghalalkan dengan pendirian sendiri (Tim, 2001:
segala cara, termasuk kekerasan, teror, 1204).
dan bahkan ‘memerangi’ demi Bila dirangkaikan dengan kata umat
menegakkan tujuan dakwah yang beragama, maka tentu sasaran dalam
dimaksud. Tujuan dakwah dalam toleransi adalah umat beragama. Dalam
upaya mewujudkan kebenaran, dengan hubungan ini ada pendapat yang
tragis dan penuh eksploitasi menyatakan bahwa, toleransi diartikan
mengabaikan kebenaran lainnya sebagai pemberian kebebasan kepada
(realitas kosmologis/sunnatullah akan sesama manusia atau kepada sesama
keniscayaan pluralitas/ta’addudiyyah). warga masyarakat untuk menjalankan
Selama ini nilai-nilai dakwah yang keyakinannya atau mengatur
sangat universal tereduksi literasi fikih hidupnya dan menentukan nasibnya
hingga melembaga dalam maknanya masing-masing, selama di dalam
yang tunggal, kaku, dan rigid. menjalankan dan menentukan
Persinggungan antara pengertian dan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak
kenyataan di atas justru memunculkan bertentangan dengan syarat-syarat azas
asumsi bahwa dakwah tidaklah terciptanya ketertiban dan perdamaian
bermakna tunggal. Dakwah tidak dalam masyarakat (Hasyim, 1979: 22).
berarti sebatas eksternalisasi dalam Jadi hakikat toleransi itu adalah
mengislamkan orang lain, menunjukkan sikap lapang dada,
mempersatukan umat, dan hanya memberikan penghargaan atau
bersifat verbal (tabligh). Selanjutnya apresiasi pada orang lain secara
ada realitas sosiologis sebagai objektif. Dalam kaitan ini baik
kenyataan kebenaran empirik berkenaan dengan kepercayaan dan
(minimal truth) yang selama ini luput keyakinan terhadap agama yang dianut,
dari perhatian para aktivis dakwah. maupun dalam berbagai aktivitas sosial
kemasyarakatan lainnya. Dengan
Toleransi Umat Beragama bertoleransi secara benar akan
Istilah toleransi sudah tidak asing membuahkan kehidupan yang rukun
lagi, meskipun ia berasal dari bahasa dan damai.
asing, tolerance yang berari kesabaran, Toleransi yang menjadi inti dari
kelapangan dada, memperlihatkan sifat perwujudan kerukunan umat beragama
sabar, daya tahan, tahan terhadap, dapat dituangkan dalam berbagai
dapat menerima (Echols dan Shadily, bentuk kegiatan, baik secara langsung
1997: 595). Dalam Webster’s New maupun tidak langsung. Ada beberapa
American Dictionary (t.th.:1050), segi yang harus diingat yang menjadi
disebutkan: secara etimologi toleransi tanda ataupun isyarat, apakah ada
adalah liberality toward the opinions of sikap dan suasana toleransi di antara
other; patience with others. Artinya, sesama manusia maupun antar
memberikan kebebasan (membiarkan) pemeluk agama; yaitu sebagai berikut:
terhadap pendapat orang lain, dan 1. Mengakui hak setiap orang.
berlaku sabar menghadapi orang lain.

Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014 9


Rif’at Dakwah dan Toleransi

2. Menghormati keyakinan orang semuanya salah. Minimal konflik antar


lain. umat beragama akan mudah meletus
3. Agree in disagreement. dalam bentuk gesekan atau malah
4. Saling pengertian. benturan sosial. Itu belum lagi jika
5. Kesadaran dan kejujuran. ditinjau dari kemajemukan lainnya di
6. Jiwa dan falsafah Pancasila tanah air kita. Hasil penelitian sosiolog
(Hasyim, 1979: 23-25). Amerika terkenal, Hildred Geertz (1963:
Berdasar kajian yang selama ini 24), menunjukkan, terdapat lebih dari
dilakukan, diketahui ada toleransi umat 300 kelompok etnis yang berbeda-beda
beragama perlu diwujudkan supaya di Indonesia, masing-masing-masing
tidak terjadi disintegrasi bangsa. dengan identitas busananya sendiri,
Diketahui ada beberapa sikap dan lebih dari 250 bahasa daerah yang
keberagamaan masyarakat sehari-hari, dipakai. Hampir semua agama-agama
yang menurut Fatah (2003: 62-65), bisa penting dunia diwakili, selain agama-
diklasifikasi menjadi empat macam, agama asli yang banyak jumlahnya.
yaitu:. Selain itu, Indonesia merupakan
1. Eksklusif, yakni komunitas negara kepulauan terbesar di dunia,
agama yang menganggap agama tercatat ada 17.667 pulau besar dan
tertentu saja paling benar, sedangkan kecil. Ini lah yang menjadikan
yang lain tidak benar, salah. Lebih kemajemukan masyarakat Indonesia
ekstrim lagi agama yangsalah itu harus merupakan sebuah keniscayaan (Pelly,
diperangi dan dilenyapkan dari muka 1988: 13). Pluralitas masyarakat dari
bumi, karena tidak mampu segi horisontal seperti perbedaan
menyelematkan semua orang. agama, etnis, bahasa, geografis,
2. Inklusif, yakni komunitas agama pakaian, makanan dan budaya material
yang terbuka, mereka menganggap lainnya. Sedang dari segi vertikal
bahwa kebenaran agama tidak hanya seperti perbedaan pendidikan, ekonomi,
ada pada agamanya saja, tapi juga pemukiman, pekerjaan dan tingkat
pada agama lain. Karena itu agama lain sosial budaya (Pelly dan Asih M, 1994:
tersebut juga harus dihormati, diakui 68). Menengok keadaan masyarakat
atau diapresiasi secara objyektif. Indonesia, harus diakui sebagai
3. Pluralis, yakni komunitas agama masyarakat majemuk. Itu terlihat jelas
yang mengakui bahwa agama-agama dari keanekaragaman suku bangsa,
lain juga memiliki kebenaran, dan agama, golongan-golongan dalam
kebenaran itu dapat mem perkaya masyarakat. Kondisi ini mewarnai pola-
kehidupan rohani atau perjalanan pola kontak, interaksi, relasi dan
spiritual bagi penganut agama lain. komunikasi intraetnik maupun
4. Sinkretis, yakni komunitas antaretnik, sehingga orang Indonesia
agama yang mengakui dan mengang menyukai hubungan-hubungan
gap baik dan benar semua agama yang “kekeluargaan, kekerabatan dan atau
ada, baik yang dianutnya maupun yang kesukuan” (Liliweri, 2001: 207).
tidak. Mereka mengambil semua agama Dalam praksis kehidupan,
itu dan di akui seolah-olah berasal dari pluralisme seringkali menjadi persoalan
agamanya sendiri. sosial yang dapat mengganggu
Empat kecenderungan di atas akan keserasian dan integritas masyarakat.
mengancam dan membahayakan Pluralisme merupakan salah satu
stabilitas nasional, manakala faktor yang dapat menimbulkan konflik
mengklaim pihaknya sendiri yang sosial, baik karena bertolak dari suatu
paling benar, sedangkan orang lain kepentingan yang sempit, ataupun yang

10 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014


Fif’at Dakwah dan Toleransi

berangkat dari supremasi budaya dianggap orang istimewa oleh Allah


kelompok masyarakat tertentu (Tabroni SWT (Q.S. 29: 14/71: 5-28).
dan Arifin, 1994: 33). Kajian Balitbang Islam atau tidaknya seseorang
Kementerian Agama (2005: 2-3), bukanlah kepentingan Allah SWT.
menemukan tiga faktor penyebab Konsekuensi dakwah bisa diterima atau
konflik yang salin berkaitan. Pertama, ditolak. Urusan beriman atau tidak, itu
krisis di berbagai bidang beberapa urusan Allah. Kita tidak dibebani-Nya
tahun lalu, menyebabkan hilangnya untuk memaksa apalagi mengimankan
kepercayaan masyarakat pada aparat seluruh manusia. Tugas kita hanyalah
pemerintah, dan memunculkan sikap menyampaikan (tabligh; Q.S. 10:
saling curiga yang tinggi antar berbagai 99/28: 56/3: 20) dan menjadi bukti
kelompok masyarakat,. Kedua, sebab kedamaian bagi yang lain (syuhada;
dan akibat pertama, berkembang pula Q.S. 3: 110).
propaganda keagamaan yang Melalui Islam, Allah hanya
menyuburkan eksklusivitas dan memesankan kehidupan yang damai,
sensitifitas kepentingan kelompok. tenteram, dan penuh kemaslahatan.
Ketiga, kesenjangan sosial, ekonomi Hal ini sesuai korelatifitas makna
dan politik yang mempermudah harfiah antara Islam dan rahmat yang
pemeluk agama terseret dalam arus berarti damai dan sejahtera. Dalam
persaingan, pertentangan dan malah realitas yang ragam, pelekatan simbolik
permusuhan antarkelompok. Alquran dengan menyebut ajaran Islam
sebagai “rahmatan lil ‘alamin”,
Dakwah dan Toleransi umat beragama menyaratkan Islam –melalui
Dakwah adalah kewajiban setiap pengikutnya– justru mampu
umat Islam, untuk saling mengingatkan menunjukkan bukti empirik dalam
dan mengajak sesamanya dalam rangka menerima tegaknya nilai-nilai
menegakkan kebenaran (konteks perdamaian, kesejahteraan, dan
iman/teologis) dan kesabaran (konteks ketentraman bagi seluruh makhluk
amal/sosiologis), (Q.S. 103: 3). Inilah yang ada di jagat raya ini (Al-Maraghi,
kenapa umat Islam selanjutnya disebut VI: 77).
sebagai pewaris para nabi, waratsatul Dakwah Islam mesti disampaikan
anbiya’. Nabi yang berasal dari kata dengan cara yang bijaksana (hikmah),
naba-a tiada lain bermakna penebar komunikatif (maw’idhah hasanah), dan
risalah Tuhan (baca: kebenaran). dialogis (jadal). Menurut Yusuf Qardlawi
Tujuan dakwah bukanlah untuk (2002), hikmah berarti rasional sesuai
memaksakan kehendak (Q.S. 2: 256), tuntutan akal dan bukti empiris;
mengislamkan yang lain maupun untuk maw’idlah bermakna penuh
mempersatukan umat manusia (Q.S. 5: pertimbangan etika dan kesantunan;
48), apalagi untuk memperbanyak serta jadal menunjuk pentingnya dialog
pengikut. Jika dakwah berarti antariman dengan cara-cara yang baik,
demikian, niscaya Nabi Nuh as yang terpuji, dan elegan tanpa dibarengi
diberi usia 950 tahun dalam prasangka, permusuhan, maupun
menggencarkan risalah dakwahnya kedengkian.
tidak layak diberi penghargaan. Sebab, Kekufuran sebagai sasaran dakwah,
dalam kurun yang sangat panjang itu bukanlah sebuah legitimasi absah
beliau hanya mampu mengajak untuk memerangi para pelaku
manusia seisi penumpang sebuah kapal kekufuran tersebut secara fisik.
laut. Kenyataannya beliau tetap Dakwah tidak menghendaki orang-
orang kafir itu dibantai dan diperangi

Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014 11


Rif’at Dakwah dan Toleransi

pelakunya, melainkan diperintahkan Semua itu tiada lain agar setiap unsur
untuk didakwahi sifat dan perilakunya. membutuhkan kehadiran yang lainnya
Perintah dalam Alquran untuk mereka sebagai unsur pengimbang dan evaluasi
adalah ud’u (ajaklah) bukan uqtul (check and balance) dalam mewujudkan
(bunuhlah), (Q.S. 16: 125). kehidupan yang dinamis dan harmonis
Lagi pula, kufur tidaklah semata (maslahat). Tidak dibenarkan bagi
bermakna personal-formal untuk siapapun untuk memusnahkan satu
agama dan ajaran tertentu di luar Islam eksistensi oleh yang lainnya (mafsadat).
(i’tikadi). Tetapi juga memaknakan Meyakini kewajiban dakwah harus
segala bentuk pengingkaran pada ritus dibarengi kesadaran pengakuan tulus
formal (syar’i), dan penyelewengan akan kenyataan keragaman. Dakwah
moral (akhlaqi). Kekufuran adalah adalah cita-cita sosial dalam rangka
gejala yang bisa juga menimpa umat membangun kesadaran internal akan
Islam sendiri. berbagai kelemahan diri menuju
Dakwah, menurut Dr Khalifa Husein kehidupan yang saling berdampingan
(2001), tidaklah hanya berorientasi dengan yang lain. Dari dakwah bil haq
eksternal dalam mengajak umat lain (dialog verbal-eksternal antariman)
pada kebenaran Islam, tetapi lebih menuju dakwah bil hal (pembinaan
berarti internalisasi perbaikan dan internal SDM umat sebagai proyek
pendewasaan diri dalam tubuh umat percontohan bagi umat yang lain).
Islam sendiri secara spiritual, moral, Toleransi akhirnya menjadi
dan sosial. keniscayaan sosial bagi seluruh umat
Untuk menyelami tujuan dakwah beragama dalam menata kehidupan
lebih lanjut, hendaknya kita juga bersama. Dakwah bukanlah semata
mampu menangkap pesan-pesan bertujuan untuk meng’agama’kan
realitas kosmologis yang menjadi seluruh segmen kehidupan melainkan
sunnatullah Tuhan di muka bumi ini. bagaimana mewujudkan kesejahteraan
Pertama, dakwah tidak bertujuan dan menegakkan nilai-nilai
mempersatukan umat yang kemanusiaan terutama dalam
kenyataannya plural dan beragam. menghargai keragaman.
Penekanan “umatan wahidatan”, adalah Menggarisbawahi semua itu, yang
pada ‘umat yang satu’ dan bukan pada namanya kewaspadaan tetap
‘penyatuan umat’. Yang pertama dibutuhkan, agar semua yang
menekankan sikap untuk menghargai berpotensi memicu konflik bisa diredam
keragaman, sementara makna kedua sehingga tidak muncul lagi ke
justru berpotensi memaksa yang lain permukaan, mengusik toleransi umat
untuk bergabung. Meski tidak dapat beragama. Jika tidak diantisipasi
disangkal bahwa Alquran dengan cermat, apalagi kalau dai
memerintahkan persatuan dan sampai ikut bermain di dalamnya,
kesatuan, namun itu tetap dengan memperlebar jurang perbedaan dan
menghargai kenyataan pluralisme dan mempertajam potensi konflik; tentu
guna mengampanyekan pentingnya ancaman perpecahan tak terhindarkan
kerja sama (fastabiqul khairat) lagi. Betapa tidak, karena isu agama
antariman. Kedua, kenyataan yang tak terkendali cepat sekali
pluralitas, keragaman, dan berpasang- memompa sikap tak bersahabat, atau
pasangan (lelaki-perempuan, siang- berseberangan, priori terhadap orang
malam, kaya-miskin) adalah lain, saling membenci dan malah
keniscayaan sunnatullah yang tidak mengundang terjadinya perbuatan
dapat diubah oleh siapapun selain-Nya. anarkis.

12 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014


Fif’at Dakwah dan Toleransi

Adalah tugas dan tanggungjawab agama selain Islam yang diwujudkan


para dai untuk menempatkan agama di dengan sikap saling menghormati dan
kalbu umat sebagaimana mestinya. hidup rukun dan damai.
Mereka mesti bekerja keras dan cerdas
agar agama menjadi lentera kehidupan Referensi
sepanjang kehidupan dan dalam semua Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor.
keadaan. Manakala agama diposisikan 1992. Introduction to Qualitative
secara proporsional dan diberdayakan Research Method, terj. Arief
secara optimal oleh para ulama, agama Furchan. Surabaya: Usaha Nasional.
bukan saja amat bermakna tapi juga Budiman, Arief. 1995. Teori
besar sekali perananya dalam menjalin Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta:
kebersamaan. Sebagaimana ditegaskan PT Gramedia Pustaka Utama.
peneliti LIPI senior, Suparlan, (1982: Cholil, K.H. Moenawar. 1957. Funksi
87), bahwa agama sesungguhnya Ulama dalamMasjarakat dan Negara.
berkemampuan tinggi baik sebagai Djakarta: NV. Bulan Bintang.
sistem simbol atau pengetahuan serta Dahlan, Syekh Ihsan Muhammad. T.th.
berkemampuan tinggi menciptakan, Sirajut Thalibin, Tt. Tp.
merangkaikan, merajut suasana Departemen Agama RI. 2005. Desain
lingkungan yang komunikatif. Operasional Penelitian Tentang
Kerukunan Umat Beragama. Jakarta:
Penutup Badan Litbang Agama dan Diklat
Praktik dakwah kadang tidak Keagamaan.
melihat kenyataan bahwa di Echols, John M. dan Hassan Shadily.
masyarakat terdapat aneka ragam 1997. Kamus Inggeris Indonesia.
perbedaan, sehingga pengemasan Jakarta: PT Gramedia.
materi dakwah maupun aksi dakwah Fatah, H. Abdul (Et. Al.). 2002. Sosiologi
harus melihat kondisi di sekelilingnya. Keagamaan. Jakarta: Pusat
Praktik Dakwah dilapangan yang tidak Kerukunan Umat Beragama Depag
memperhatikan toleransi beragama RI.
seperti itu, bisa berubah menjadi ajang Geertz, Hildred. 1963. “Indonesian
saling mencaci atau konfrontasi Cultures and Communities”, dalam
pemikiran. Ruth T. McVey (Ed.), Indonesia. New
Sebenarnya dakwah tidak hanya Haven: Yale University Press.
bertujuan untuk memperbanyak Hasan, Mohammad Tholhah. 2004.
anggota supaya masuk dalam anggota Islam & Masalah Sumber Daya
jamaah yang diinginkan, tetapi yang Manusia, Jakarta: Lantabora Press.
lebih penting adalah bahwa dakwah Hasyim, Umar. 1983. Mencari Ulama
bertujuan untuk pembinaan mental Pewaris Nabi. Surabaya: PT Bina
spiritual masyarakat Islam. Kenyataan Ilmu.
dimasyarakat kita temui bahwa ____________. 1979. Toleransi dan
terkadang dakwah dimaknai sebagai Kemerdekaan Beragama dalam
alat untuk memperkuat organisasi Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog
keagamaan atau lembaga Islam, dan Kerukunan Antar Agama.
sehingga sering mengorbankan pihak Surabaya: PT Bina Ilmu.
lain yang berbeda dengan keyakinan Hughes, Thomas Patrich. 1976.
yang dianut. Dengan demikian, dakwah Dictionary of Islam. New Delhi:
dan toleransi beragama adalah Oriental Reprint.
menampilkan Islam sebagai ajaran yang
damai, dan menghargai keyakinan

Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014 13


Rif’at Dakwah dan Toleransi

Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra


Komunikasi Antarbudaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ma’luf, Louis. 1977. Al-Munjid fil
Lughah. Beirut: Darul Masyriq.
Marbawi, Syekh Muhammad Idris
Abdurrauf Al-. 1350 H. Kamus Idris
Al-Marbawi, Mesir: Musthafa Al-
Babil Halabi.
Miles, Matthew B. dan A. Michael
Huberman. 1992. Qualitative Data
Analysis, terj. Tjetjep Rohendi
Rohidi. Jakarta: UI Press.
Mujieb AS, Abdul. 1986. Ciri-ciri Ulama
Dunia dan Akhirat. Surabaya:
Mahkota.
Pelly, Usman dan Asih Menanti. 1994.
Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta:
Dirjen Dikti Depdikbud.
Pelly, Usman. 1988. Kualitas
Bermasyarakat: Sebuah Studi
Peranan Etnis dan Pendi dikan
Dalam Keserasian Sosial. Medan:
Proyek kerjasama Kantor Meneg
KLH –IKIP.
Rafinus, Bobby Hamzar dan Aprizul
Gumanti. 2003. Sistem Pengelolaan
Pembangunan. Jakarta: Lembaga
Administrasi Negara RI.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi.
1986. Metode Penelitian Survai.
Jakarta: LP3ES.
Suyuthi, Jalaluddin As. 1967. Jamiush
Shagir. Kairo: Darul Kutub al-
Halabi.
Tabroni dan Syamsul Arifin. 1994.
Islam Pluralisme Budaya dan Politik.
Yogyakarta: Sipress.
Tim Penyusun. 2001. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: PN
Balai Pustaka.
Mahmud Yunus. 1972, Kamus Arab
Indonesia, Hidakarya Agung,
Jakarta,

14 Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 13 No. 26, Juli–Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai