Tanya Jawab
Seputar Tasawwuf
Hakikat Tasawwuf
Definisi Tasawuf
Zakaria al-Anshari berkata, “Tasawuf adalah ilmu yang dengannya
diketahui tentang pembersihan jiwa, perbaikan budi pekerti serta
pembangunan lahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang
abadi."3
Ahmad Zaruq berkata, “Tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk
memperbaiki hati dan memfokuskannya hanya untuk Allah semata. Fikih
adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki amal, memelihara aturan
dan menampakkan hikmah dari setiap hukum. Sedangkan ilmu tauhid
adalah ilmu yang bertujuan untuk mewujudkan dalil-dalil dan menghias
iman dengan keyakinan, sebagaimana ilmu kedokteran untuk memelihara
badan dan ilmu nahwu untuk memelihara lisan."4
Imam Junaid berkata, "Tasawuf adalah berakhlak luhur dan meninggalkan
semua akhlak tercela."5
3. Zakaria al-Anshari (watat 929 H), Ta'liqát 'ala ar-Risalah al-Qusyairiyyah.
8. Ahmad bin Ujaibah (watat 1266 H). Mi'raj at-Tasyawwuf ilà Haqaiq at-Tashawwut.
9. I laji Khalifah, Kasyfu azlı-Zhunun 'an Asâmi al-Kutub wa al-funun, vol. I, hlm. 413-414.
12. Ibid.
13 Ibid
Menurut penulis, meskipun kata tasawuf, namun kata ini sudah terlanjur
populer, sehingga tidak perlu lagi didefinisikan secara etimologis.
Pengingkaran sebagian kalangan terhadap kata tasawuf karena kata ini
belum dikenal pada masa sahabat dan tabiin tidak dapat diterima. Sebab,
banyak sekali istilah yang muncul dan digunakan setelah masa sahabat tanpa
ada yang mengingkari, seperti istilah nahwu, fikih dan mantik.
Dengan demikian, penulis tidak terlalu memperhatikan beragam ungkapan
dan asal kata tasawuf. Menurut penulis, lebih baik kita memfokuskan
perhatian pada substansi dan esensi dari tasawuf itu sendiri.
Yang dimaksud dengan lasawuf adalah usaha untuk membersihkan jiwa,
memperbaiki akhlak dan mencapai makam ihsan. Inilah yang dinamakan
dengan tasawuf.
Bisa saja dikatakan bahwa tasawuf adalah aspek spiritual, atau aspek ihsan,
atau aspek akhlak dalam Islam. Dan bisa saja tasawuf dinamakan dengan
nama lain, asal sesuai dengan inti sari dan esensi dari tasawuf itu sendiri.
Namun demikian, para ulama sufi telah mewarisi kata dan hakikat tasawuf
dari para pendahulu mereka sejak masa awal Islam sampai dewasa ini,
sehingga sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk menggunakan kata
tasawuf.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
Dr. Ahmad Alwasy berkata, "Banyak kalangan bertanya-tanya mengapa
dakwah kepada tasawuf tidak berkembang di awal era Islam, dan baru
muncul setelah era sahabat dan tabiin.
Jawabannya, pada awal Islam dakwah kepada tasawuf belum diperlukan.
Sebab, pada era itu semua orang adalah ahli takwa, ahli wara dan ahli
ibadah, berdasarkan panggilan fitrah mereka dan kedekatan mereka dengan
Rasulullah. Mereka semua berlomba untuk mengikuti dan meneladani Rasul
dalam setiap aspek. Oleh karena itu, mereka tidak membutuhkan ilmu yang
membimbing mereka kepada sesuatu yang benar-benar telah mereka
kerjakan. Kondisi mereka ibarat seorang Arab murni yang mengelahui
bahasa Arab melalui warisan dari generasi pendahulu. Dia dapat
menciptakan syair yang fasih tanpa sedikit pun memiliki pengetahuan
tentang gramatika bahasa Arab dan ilmu mencipta syair. Orang seperti ini
tidak harus mempelajari nahwu dan balaghah. Nahwu, balaghah dan
diperlukan dan harus dipelajari oleh orang yang banyak melakukan
kesalahan berbahasa dan lemah dalam menyusun kalimat, atau bagi orang
non-Arab yang hendak memahami dan mengetahui bahasa Arab, atau pada
saat ilmu-ilmu tersebut menjadi kebutuhan masyarakat, sebagaimana
kebutuhan mereka terhadap ilmu-ilmu lainnya.
Meskipun para sahabat dan tabiin tidak menggunakan kata tasawuf. akan
tetapi secara praktis mereka adalah para sufi yang sesungguhnya Yang
dimaksud dengan tasawuf tidak lain adalah bahwa seseorang hidup hanya
untuk Tuhannya, bukan untuk dirinya. Dia menghiasi dirinya dengan zuhud,
tekun melaksanakan ibadah, berkomunikasi dengan Allah dengan roh dan
jiwanya di setiap waktu dan berusaha mencapai berbagai kesempurnaan,
sebagaimana telah dicapai oleh para sahabat dan tabiin yang telah sampai ke
tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Para sahabat tidak hanya sekadar
mengikrarkan iman dan menjalankan kewajiban-kewajiban. Akan tetapi,
mereka menyertai ikrar iman tersebut dengan perasaan, menambah
kewajiban-kewajiban dengan amal-amal sunnah dan menghindari yang
makruh di samping yang haram, sehingga mata hati mereka bersinar,
butiran-butiran hikmah terpancar dari nurani mereka dan rahasia-rahasia
ketuhanan melimpah dalam jiwa mereka. Begitu pula kondisi para tabiin dan
pengikut tabiin. Ketiga masa tersebut adalah masa kecmasan dan sebaik-baik
masa dalam Islam. Nabi bersabda,
خیر القرون قرني هذا فالذي يليه والذي يليه
"Sebaik-baik masa adalah masaku ini, lalu masa sesudahnya, lalu masa
sesudahnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Setelah era itu, beragam bangsa mulai memeluk Islam. Bidang ilmu
pengetahuan juga semakin meluas dan terbagi-bagi di antara para spesialis.
Setiap kelompok berusaha mengkodifikasikan ilmu yang mereka geluti dan
mereka kuasai. Setelah pengkodifikasian nahwu di awal era Islam, muncullah
ilmu fikih, ilmu tauhid, ilmu hadis, ilmu usul fikih, ilmu faraid (ilmu waris)
dan ilmu-ilmu lainnya.
Setelah fase ini, pengaruh spiritualitas Islam sedikit demi sedikit melemah.
Manusia mulai lupa akan pentingnya bertakarub kepada Allah melalui
ibadah, hati dan tekad. Hal inilah yang mendorong ahli zuhud untuk
mengkodifikasikan ilmu tasawuf, serta menerangkan kemuliaan dan
keutamaannya di antara ilmu-ilmu lainnya. Para zahid tidak melakukan itu
sebagai reaksi atas apa yang dilakukan oleh kalangan ulama lain terhadap
ilmu-ilmu mereka, sebagaimana diasumsikan oleh sebagian kalangan
orientalis. Namun, mereka melakukan itu untuk menutupi kekurangan dan
menyempurnakan agama dari segala aspeknya. Dan hal tersebut adalah
suatu keharusan, demi terwujudnya sikap saling menolong dalam kebajikan
dan ketakwaan.14
Para sufi generasi pertama telah membangun pondasi tarekat mereka
berdasarkan ilmu yang mereka ambil dari para ulama yang terpercaya,
sebagaimana terdapat dalam sejarah Islam.
Sejarah perkembangan lasawuf dapal dilihat dengan jelas dalam sebuah
fatwa yang disampaikan oleh Muhammad Shadiq al-Ghumari, seorang pakar
dalam bidang hadis. Pada suatu hari, dia ditanya oleh sescorang tentang
siapa yang pertama kali mendirikan tasawuf, dan apakah tasawuf
berlandaskan pada wahyu samawi.
Dia menjawab bahwa asas dari tarekat adalah wahyu samawi yang
merupakan bagian dari ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.
Tidak diragukan lagi bahwa tarekat atau tasawuf adalah makam ihsan.
Dan ihsan adalah salah satu dari tiga elemen dasar agama, sebagaimana
diterangkan oleh Rasul dalam sebuah sabdanya setelah menjelaskan ketiga
elemen dasar tersebut, "Ini adalah Jibril yang datang untuk mengajari kalian
tentang agama kalian."15 Ketiga eleman dasar agama tersebut adalah Islam,
iman dan ihsan.
Islam adalah ketaatan dan ibadah. Iman dalah cahaya dan akidah.
Sedangkan ihsan adalah magam muraqabah (pengawasan) dan musyâhadah
(penglihatan), sebagaimana terekam dalam sabda Nabi,
اإلحسان أن تعبد هللا كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
"Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.
Sekiranya engkau tidak (yakin) melihat-Nya, maka (yakinlah) Allah
melihatmu."
14 Ahmad Alwasy, at-Tashawwuf min al-Wijhah al-Târikhiyyah, dalam Majalah al-'Asyirah al-Muhammadiyyah.
Ahmad Alwasy adalah salah seorang cendikiawan muslim yang berusaha mentransformasikan hakikat tasawuf ke
dalam bahasa asing. Dia telah mengarang sebuah buku tentang tasawuf Islam dalam bahasa Inggris, yang memiliki
pengaruh sangat besar dalam gerakan pemurnian ajaran tasawuf dan usaha membantah tuduhan-tuduhan para
orientalis terhadap tasawuf dan Islam. Dia juga mengarang buku Al-Jami' 'an al-Islâm, yang di dalamnya dia
membantah tuduhan-tuduhan terhadap Islam. Menurut penulis, Ahmad Alwasy memiliki peran yang sangat besar
dalam pengabdian terhadap Islam.
Hadis tersebut menerangkan tentang tiga elemen dasar Islam. Barang. siapa
meninggalkan makam ihsan, yakni tarekat atau tasawuf, maka tidak
diragukan lagi bahwa keberagamaannya kurang. Sebab, dia meninggalkan
salah satu dari elemen dasar agama. Sasaran yang hendak dicapai oleh
tareka atau tasawuf adalah maqam ihsan, setelah memperbaiki Islam dan
iman.16
Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun berkata, "Ilmu tasawuf adalah salah
satu di antara ilmu-ilmu syariat yang baru dalam Islam, Asal mulanya ialah
amal perbuatan ulama salaf dari para sahabat, tabiin dan orang-orang
sesudah mereka.
Dasar tasawuf ialah tekun beribadah, memutuskan jalan selain yang menuju
Allah, berpaling dari kemegahan dan kemewahan dunia melepaskan diri dari
apa yang diinginkan oleh mayoritas manusia berupa kelezatan harta dan
pangkat, serta mengasingkan diri dari makhluk dar berkhalwat untuk
beribadah. Yang demikian ini sangat umum dilakukan oleh para sahabat dan
para ulama salaf. Lalu ketika manusia mulai condong dan terlena dengan
urusan duniawi pada abad kedua dan sesudahnya, nama sufi dikhususkan
bagi orang-orang yang tekun beribadah saja."17
Penggalan terakhir pernyataan Ibnu Khaldun di atas menyatakan bahwa
munculnya tasawuf dan sufi merupakan dampak dari terlenanya umat
dengan urusan duniawi pada abad kedua hijriah.
Oleh sebab itu wajar jika orang-orang yang tekun beribadah ketika itu
mengambil sebuah nama untuk membedakan diri mereka dari kebanyakan
orang yang terlena dengan urusan duniawi yang fana itu, Dalam kitabnya, al-
Intishậr li Thariq ash-Shufiyyah, Muhammad Shadiq al-Ghumari
mengatakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun mengenai sejarah munculnya
tasawuf ini diperkuat oleh pendapat yang disampaikan oleh al-Kindi dalam
kitab Wulat Mishr, dalam pembahasan mengenai peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada tahun 200 hijriah. Pada waktu itu, di kota Iskandaria muncul
sekelompok orang yang dinamakan dengan kelompok sufi, yang menyeru
kepada kebaikan. Selain itu, pendapat Ibnu Khaldun di atas juga diperkuat
dengan pendapat al-Mas'udi di dalam kitab Muruuj adz-Dzahab.
Al-Mas'udi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam bahwa pada suatu hari
Khalifah Makmun sedang duduk di istana, ketika Ali bin Shaleh masuk
sambil berkata, "Wahai Amirul Mukminin! Ada scorang laki-laki di luar.
Dia memakai pakaian putih yang kasar dan memohon untuk bertemu
16. Ahmad Shadiq al-Ghumari, alintishậr di Thariq as Shufiyyah.
19. Haji Khalifah, Kasyf azh-Zhunuun 'an Asami al kuwub wa al-Funun, vol. I, hlm. 414.
Fungsi Tasawuf
Beban-beban syariat yang diperintahkan kepada manusia dapat dibagi
menjadi dua kategori.
Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan amal-amal lahiriah.
Kedua, hukum-hukum yang berkaitan dengan amal-amal batin. Dengan kata
lain, ada amal-amal yang berkaitan dengan raga manusia dan ada amal-amal
yang berkaitan dengan hati manusia.
Amal-amal yang berkaitan dengan raga terbagi menjadi dua macam.
Pertama, perintah, seperti shalat, zakat, haji dan lain-lain.
Kedua, larangan, seperti membunuh, berzina, mencuri, meminum khamar
dan lain-lain.
Amal-amal yang berkaitan dengan hati juga terbagi menjadi dua macam:
perintah dan larangan. Yang berkenaan dengan perintah adalah iman
kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Demikian
juga perintah untuk ikhlas, ridha, jujur, khusyu, tawakal dan sebagainya.
Sedangkan yang berkaitan dengan larangan adalah kufur, kemunafikan,
sombong, ujub, ria, menipu, dendam, dengki dan lain sebagainya.
Amal-amal kategori kedua yang berkaitan dengan hati lebih penting dan
lebih utama dari amal-amal kategori pertama dalam pandangan Allah,
meskipun keduanya sama-sama penting. Sebab, batin adalah dasar dan
sumber dari lahiriah. Amal-amal batin adalah titik tolak dari amal-amal
lahiriah. Rusaknya amal-amal batin akan mengakibatkan rusaknya amal-
amal lahiriah. “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
hendaknya dia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang
pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Al-Kahfi: 110)
Oleh karena itu, Rasulullah memotivasi para sahabat untuk memperhatikan
masalah perbaikan hati. Beliau juga menjelaskan bahwa baiknya seseorang
tergantung pada baiknya hati dan kesembuhannya dari penyakit-penyakit
yang tersembunyi. Beliau bersabda,
أال وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجد كله
“Ingatlah! Di dalam tubuh manusia ada segumpal darah. Jika dia baik, maka
baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuhnya. Segumpal darah itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi juga mengajarkan kepada para sahabat bahwa Allah hanya akan
melihat hati hamba-hambaNya. Beliau bersabda,
}إن هللا ال ينظر إلى أجسامكم
"Sesungguhnya Allah tidak akan melihat jasad dan bentuk tubuh kalian.
Akan tetapi, Allah akan melihat hati kalian." (HR. Bukhari)
Jika barometer baik tidaknya seseorang tergantung pada baik tidaknya
hatinya yang merupakan sumber dari amal lahiriahnya, maka dia dituntut
untuk memperbaiki hati dengan membebaskannya dari sifat-sifat tercela
yang dilarang oleh Allah dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji yang
diperintahkan-Nya. Dengan begitu, hatinya akan menjadi sehat dan bersih,
dan dia tergolong orang yang menang, selamat dan beruntung di akhirat.
Allah berfirman, "Pada hari saat harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS. Asy-
Syu'arâ : 88-89)
Membersihkan hati dan mensucikan jiwa termasuk kewajiban individual
(fardhu 'ain) yang paling penting dan perintah Tuhan yang paling utama,
berdasarkan al-Qur'an, hadis dan pendapat-pendapat ulama.
1. Dalil al-Qur'an
a. Firman Allah, “Katakanlah, 'Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi'." (QS. Al-A'râf: 33)
b. Firman Allah, “Dan janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan
keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi." (QS. Al-
An'am: 151)
Para pakar tafsir mengatakan bahwa perbuatan keji yang tersembunyi
adalah dendam, ria, iri hati dan kemunafikan.
2. Dalil Hadis
Semua hadis yang menjelaskan tentang larangan untuk dendam, sombong,
ria, dengki dan sifat-sifat tercela lainnya. Juga hadis-hadis yang
memerintahkan untuk menghiasi hati dengan segala akhlak yang terpuji dan
melakukan muamalah dengan baik.
b. Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi , beliau bersabda,
اإليمان بضع وسبعون شعبة
“Iman itu memiliki lebih dari tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi
tingkatannya adalah ucapan 'Tiada Tuhan selain Allah'. Yang paling rendah
adalah menyingkirkan duri dari jalan (yang dilalui orang). Dan malu adalah
bagian dari iman." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa kesempurnaan iman sescorang
diraih dengan menyempurnakan sifat-sifat yang merupakan bagian iman
tersebut. Imannya bertambah jika sifat-sifat tersebut bertambah, dan
berkurang jika sifat-sifat tersebut berkurang. Penyakit-penyakit hatin cukup
untuk menggugurkan amal-amal seseorang, meskipun banyak.
3. Pendapat Para Ulama
Menurut para ulama, penyakit hati termasuk dosa besar yang membutuhkan
tobat tersendiri. Penulis kitab Jauharah at-Tauhid menyatakan hal tersebut
dalam syairnya,
Perintahkanlah kepada kebaikan dan hindarilah adu domba, gibah dan
semua sifat tercela
seperti ujub, angkuh, dan penyakit dengki juga seperti pamer dan gemar
berdebat
Al-Bajuri, pensyarah Jauharah at-Tauhid, mengatakan bahwa yang
dimaksud oleh penulis dengan sifat-sifat tercela” adalah semua sifat tercela
yang dilarang oleh syariat. Hanya saja, penulis menyebut beberapa sifat
secara spesifik untuk memberi tekanan terhadap penyakit-penyakit hati
tersebut, adanya penyakit-penyakit tersebut didalam penampilan yang baik
ibarat pakaian yang bagus dipakaikan pada tubuh yang penuh dengan
kotoran 20
Dalam Hasyiyah-nya, Ibnu Abidin menyatakan bahwa hukum mengetahui
sifat ikhlas, ujub, dengki dan pamer adalah fardhu 'ain. Begitu juga halnya
hukum mengetahui penyakit-penyakit hati lainnya, seperti sombong, rakus,
dendam, marah, permusuhan, benci, tamak, bakhil, ceroboh, angkuh,
khianat, mencari muka, keengganan untuk menerima kebenaran, menipu,
kejam, panjang angan-angan dan lain sebagainya.
Hukum menghilangkan semua penyakit-penyakti hati adalah fardhu 'ain.
Dan hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan mengetahui batasan,
penyebab, tanda-tanda dan metode pengobatannya. Barangsiapa tidak
mengetahui suatu kejahatan, maka dia akan terperosok ke dalamnya.”
Dalam buku al-Hadiyyah al-'Alâiyyah, Allauddin Abidin menyatakan bahwa
teks-teks syariat dan konsensus para ulama saling memperkuat untuk
mengharamkan dengki, menghina, berbuat jahal, angkuh, ujub, pamer,
kemunafikan dan perbuatan-perbuatan hati yang tercela lainnya. Telinga,
mata dan hati akan diminta pertanggungjawaban di akhirat atas perbuatan
yang berada di bawah kehendak manusia. 22
Dalam buku Marâqî al-Falah disebutkan bahwa kesucian lahiriah tidak
berguna jika tidak dibarengi dengan kesucian batin, yaitu sifat ikhlas dan
mensucikan hati dari dendam, tipu daya, dengki, iri dan segala sesuatu selain
Allah. Seseorang harus menyembah Allah karena zat-Nya semata, bukan
karena sebab lain. Dengan demikian, dia akan menjadi hamba yang tunggal
hagi Allah Yang Esa.
Hasan Bashri berkata dalam syairnya,
Betapa banyak orang yang tertutup direnggut oleh nafsunya
hingga dia telanjang dari pakaian yang menutupinya
Orang yang menuruti hawa nafsu adalah budak
Jika dia menguasai hawa nafsunya, maka dia menjadi raja
Jika scorang hamba mengerjakan segala tugas yang dibebankan kepadanya
dengan ridha dan ikhlas hanya untuk Allah, maka dia akan memperoleh
20 Ibrahim Al-Bajuri (wafat 1277 H), Syarh Jauharah al-Tauhid, hlm. 120-122. Ibrahim al-Bajuri adalah Syaikh al-
Azhar pada masanya. Dia adalah salah seorang pemuka ulama dari kalangan mazhab Syafi'i. "
pertolongan dari arah mana pun dia menghadap Allah. Dan Allah akan
mengajarinya apa-apa yang belum diketahuinya. Dalam Hasyiyah-nya”23
Ath-Thahawi menyebutkan bahwa dalil semua itu adalah firman Allah, "Dan
bertakwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian.”
(QS. Al-Baqarah: 282)
Sebagaimana tidak pantas bagi seseorang untuk tampil di muka umum
dengan memakai pakaian yang berlumur kotoran, tidak layak juga baginya
untuk meninggalkan hatinya terserang penyakit-penyakit yang tersembunyi.
Sebab, hati adalah tempat yang dipandang oleh Allah. Seorang penyair
berkata,
Engkau obati tubuh fanamu agar kekal
dan hatimu yang kekal engkau biarkan sakit
Penyakit hatilah yang menjadi penyebab seseorang jauh dari Allah dan dari
surga-Nya yang kekal. Dalam hal ini Rasul bersabda,
ال يذل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
"Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya ada sedikit saja
kesombongan." (HR. Muslim)
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa selamatnya seseorang di akhirat kelak
adalah karena selamatnya hati dari beragam penyakit tersebut.
Kerap kali orang tidak dapat melihat aib dan penyakit hatinya. Dia
beranggapan bahwa dirinya telah sempurna, padahal dia masih jauh dari
kesempurnaan. Bagaimana metode untuk mengetahui penyakit hati tersebut?
Dan apakah cara praktis untuk mengobati dan melepaskan diri darinya?
Jawabannya tidak lain adalah tasawuf. Sebab, tasawuf adalah ilmu yang
secara khusus mengobati aneka ragam penyakit hati, membersihkan jiwa dan
menyelamatkan diri dari sifat-sifat tercela.
Tentang faedah dan fungsi tasawuf, Ibnu Zakwan menyatakan dalam sebuah
syair,
la adalah ilmu yang dengannya batin disucikan dari segala kotoran jiwa di
berbagai tempat.
23. at thahawy hasyiah ath thahawy a’la maraqil falah. Hal. 70-71
25 Ahmad bin Ujaibah, al Futuhat al ilahiyyah iï Syarh al-Mabahits al-Ashliyyalı, vol. I, hal. 105.
Fudhail bin Iyadh berkata, "Titilah jalan kebenaran, dan jangan merasa
kesepian karena sedikitnya orang yang menitinya. Jauhilah jalan kebatilan
dan jangan terperdaya olch banyaknya orang yang binasa. Jika engkau
merasa kesepian karena kesendirianmu, maka lihatlah pendahulumu dan
bertekadlah untuk bergabung bersama mereka. Tutuplah pandanganmu dari
yang lain. Sebab, mereka tidak akan mampu menghalangimu dari siksa
Allah. Jika mereka berteriak memanggilmu di kala engkau berjalan, maka
jangan melirik kepada mereka. Sebab, jika engkau melirik, maka mereka
akan mengambil dan menghalangimu." "26
78. Abdul Wahab asy-Sya'rani. Latha'if al-Minan wa al-Akhlaq (al-Minan al-Kubra), vol. I, hlm.4
PERGAULAN (SUHBAH)
Seorang penyair berkata : Jika engkau berada dalam suatu kaum
maka bergaullah dengan orang-orang yang terbaik
Janganlah bergaul dengan orang-orang yang tercela sehingga
engkau terjerumus ke dalam kehinaan
Janganlah bertanya tentang seseorang Tapi bertanyalah tentang
sahabatnya Sebab, setiap orang akan mengikuti sahabatnya
Para sahabat Nabi tidak akan mencapai kedudukan dan derajat
yang tinggi, setelah mereka berada dalam kegelapan jahiliah,
melainkan karena mereka bergaul dengan Nabi . Begitu juga, para
tabiin tidak akan dapat meraih kemuliaan yang agung, melainkan
setelah mereka bergaul dan berinteraksi dengan para sahabat Nabi
yang mulia. Karena risalah Muhammad adalah risalah yang
universal dan kekal sampai hari kiamat, maka Nabi memiliki
pewaris dari kalangan ulama yang mencapai makrifatullah. Mereka
mewarisi ilmu pengetahuan, budi pekerti, iman dan takwa dari
beliau. Mereka adalah khalifah Rasulullah dalam memberi
petunjuk, membimbing dan berdakwah menuju kepada Allah.
Dari beliau, mereka menyerap cahaya kenabian untuk menyinari
manusia menuju jalan yang benar dan lurus. Barangsiapa bergaul
dengan mereka, maka akan beralih kepadanya tingkah laku
mereka yang mereka serap dari Nabi. Barangsiapa menolong
mereka, berarti dia telah menolong Islam. Barang siapa mengikat
dirinya dengan tali mereka, maka dia telah tersambung dengan
Rasulullah . Dan barangsiapa minum dari mata air petunjuk dan
bimbingan mereka, maka dia telah minum dari mata air petunjuk
dan bimbingan Nabi
Para ulama pewaris Nabi itulah yang mentransformasikan agama
kepada umat manusia. Ajaran agama terwujud dalam tingkah laku,
kondişi dan gerak-gerik mereka. Merekalah yang ditegaskan Nabi
dalam sabdanya,
ال تزال طائقة من أمتي ظاهرين على الحق
"Akan tetap ada segolongan dari umatku yang menegakkan
kebenaran. Mereka tidak pernah terpengaruh oleh orang yang
menghinakan mereka, sampai dating hari kiamat dan mereka tetap
berlaku seperti itu. (bukhori, muslim, tirmidzi, ibnu majah)
Pengaruh mereka tidak akan hilang sepanjang masa. Dan mereka
akan ada di setiap wilayah.
Bergaul dengan para mursyid pewaris Nabi adalah obat penangkal
yang sangat mujarab. Menjauh dari mereka adalah racun yang
mematikan. Mereka adalah sekelompok manusia yang tidak akan
membuat sengsara orang yang bergaul dengan mereka. Bergaul
dengan mereka adalah terapi praktis yang sangat efektif untuk
memperbaiki jiwa, memurnikan akhlak, menanamkan akidah dan
mengokohkan iman. Sebab, hal-hal tersebut tidak mungkin diraih
dengan hanya membaca buku dan mengkaji ilmu pengetahuan.
Semua itu adalah sifat-sifat praktis intuitif yang hanya dapat
diserap dengan peneladanan, dengan interaksi dari hati ke hati dan
dengan pengaruh spiritual.
Di sisi lain, setiap manusia tidak akan mungkin terbebas dari
penyakit-penyakit hati dan aib-aib tersembunyi yang dirinya
sendiri tidak mengetahuinya, seperti suka pamer, kemunafikan,
dengki, iri, egois, gila popularitas, ujub, sombong, kikir dan lain-
lain. Bahkan kadangkala seseorang merasa yakin bahwa dirinyalah
manusia yang paling sempurna akhlaknya dan yang paling lurus
agamanya. Inilah yang disebut dengan jahlun murakkab
(kebodohan di atas kebodohan) dan kesesatan yang nyata.
Allah berfirman, “Katakanlah, Maukah kalian kami beri tahu
tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu
orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya?" (QS. Al-Kahfi: 103-104)
orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang
telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya?' (QS.
Al-Kahfi: 103-104)
Sebagaimana manusia tidak dapat melihat noda di wajahnya
kecuali dengan cermin yang bersih dan datar yang dapat
memperlihatkan kepadanya hakikat dirinya, begitu juga seorang
mukmin harus memiliki sahabat mukmin yang tulus, selalu
memberi nasehat, lebih baik, dan lebih kuat imannya. Sehingga,
sahabatnya itu dapat menjelaskan noda-noda yang ada di dalam
dirinya dan menyingkap penyakit-penyakit hati yang tersembunyi,
baik dengan ucapan maupun dengan tingkah laku. Nabi bersabda, ,
المؤمن مرآة المؤمن
"Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain.” (HR.
Bukhari dan Abu Daud)
Sebagaimana kita ketahui, terdapat beragam jenis dan bentuk
cermin. Ada cermin yang bersih dan datar. Ada cermin yang kotor,
sehingga dapat merusak kecantikan wajah. Ada juga cermin
pembesar dan pengecil, Begitu juga halnya dengan sahabat; di
antara mereka ada yang tidak memperlihatkan hakikat dirimu. Dia
memujimu, memperdayamu dan memasukkan ke dalam dirimu
sikap ujub, sehingga Anda beranggapan bahwa dirimu adalah
manusia yang sempurna. Atau dia mencela dirimu, sehingga Anda
putus asa untuk memperbaiki diri. Adapun seorang mukmin yang
sempurna ialah seorang mursyid yang lulus, yang cermin dirinya
dibentuk melalui pergaulan dengan mursyid kamil sebelumnya.
Begitulah seterusnya, sehingga sampai kepada Rasulullah .
Beliaulah cermin yang dijadikan Allah sebagai suri teladan yang
luhur bagi seluruh umat manusia, sebagaimana terekam dalam
firman-Nya, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagi diri kalian. (Yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia
banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzâb: 21)
Jadi, metode praktis untuk menjernihkan jiwa dan menghiasi diri
dengan akhlak-akhlak yang sempurna adalah bergaul dengan
pewaris Nabi dan mursyid kamil. Pergaulan dengan mereka akan
menambah iman, takwa dan keluhuran budi pekerti. Di samping
itu, dengan selalu bergaul dengan mereka, niscaya penyakit-
penyakit hatimu dan noda-noda jiwamu akan sembuh dan
kepribadianmu akan terpengaruh dengan kepribadiannya yang
luhur.
Dari uraian di atas, jelaslah kesalahan orang yang menyangka
dapat mengobati penyakit hatinya dan melenyapkan cacat jiwanya
sendiri dengan hanya membaca al-Qur'an dan mengkaji hadis-
hadis Nabi. Al-Qur'an dan hadis telah menghimpun beragam obat
yang dapat menyembuhkan beragam penyakit hati dan jiwa. Oleh
karena itu, bersama keduanya harus ada seorang dokter yang
dapat menentukan obat dan terapi bagi setiap penyakit. 29
29. Sebagian pembaca salah memahami apa yang penulis maksud
dari ungkapan di atas. Mereka menduga bahwa penulis
mengurangi peran penting al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Padahal,
sebenamya kalangan sufilah yang paling berpegang teguh dan
mengagungkan keduanya. Ungkapan penulis dengan hanya
membaca al-Qur'an..." merupakan keterangan bahwa membaca al-
Quran dan hadis Nabi saja tidaklah cukup, tapi harus disertai
dengan pemahaman dan pengamalan. Dan kita ketahui bahwa al-
Qur'an dan Sunah menyeru untuk bergaul dengan orang-orang
saleh, sebagaimana akan dibahas dalam sub bahasan tentang dalil
al-Qur'an dan Sunnah atas pentingnya pergaulan. Dan ungkapan
penulis, "Oleh karena itu, bersama keduanya harus ada..."
merupakan keterangan yang sangat jelas agar kita senantiasa
membaca al-Qur`ar dan Sunah Nabi. Kemudian, itu ditambah
dengan bergaul dengan para mursyid yang menjernihkan
jasmanusia dan menganjurkan mereka untuk senantiasa membaca
dan mengamalkan al-Qur'an dan Sunnah.
ْدOَالَ ِم قO إِ َّن َش َرائِ َع ا ِإل ْس، ِ يَا َرسُوْ َل هللا: ال َ َ أَ َّن َر ُجالً ق: – ُض َي هللاُ َع ْنه ِ ْر – َر ٍ َوع َْن َع ْب ِد هللاِ ب ِْن بُس
ْ ك َر
)) ِطبا ً ِم ْن ِذ ْك ِر هللا َ ُ (( الَ يَزا ُل لِ َسان: قَا َل.َّث بِ ِهُ فَأ َ ْخبِرْ نِي بِ َش ْي ٍء أَتَ َشب، ي
َّ ت عَل ْ َكثُ َر
Dari ‘Abdullah bin Busr RA bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam ini terlalu banyak bagiku, maka
beritahulah kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan.” Beliau
menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan berdzikir kepada
Allah.” (HR Tirmidzi).
Barang siapa yang mencintai sesuatu, maka dia pasti sering menyebut-
nyebut nama yang ia cinta.
Mursyid.
Maka tidak mengapa bagi seorang mursyid