Anda di halaman 1dari 5

Matinya Mata Hati

http://alibastomi.blogspot.com/2011/09/matinya-mata-hati.html?m=1
Pemayahan diri dalam mengupayakan perkara yang telah mendapatkan jaminan
dari Allah Swt dan penyia-nyiaan perkara yang diperintahkan oleh-Nya adalah
merupakan indikasi kebutaan mata hati seorang manusia.

Sisi kehidupan manusia di alam dunia yang mendapat jaminan dari Allah Swt
adalah urusan rizqi sebagai media penjaga keberlangsungan hidup. Jaminan ini
semata merupakan kemurahan dari Allah pada manusia bukan kewajiban atas-Nya.
Sebagaimana difirmankan :
‫عوعكأعيلن ُلملن ُعدابسةة ُل ُعتللممل ُلرلزقُعقعهاَّ ُاللسمه ُيقعلرمزقُمقعهاَّ ُعوإليساَّمكلم ُعومهعو ُالسسلميِمع ُالععلليِمم‬
Dan berapa banyak hewan yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rizkinya sendiri,
Allah lah yang memberi rizki padanya dan padamu. dan Ia maha mendengar lagi
maha mengetahui.(QS:Al-ankabut 60)
Maksudnya Allah Swt adalah satu-satunya dzat penyuplai segala kebutuhan ragawi
seluruh makhluk-Nya termasuk juga manusia, bukan yang lain-Nya atau usaha kita
sendiri. Rizki seorang manusia telah ditentukan kadarnya untuk masing-masing pribadi
jauh hari sebelum manusia sendiri itu diwujudkan, tepatnya yaitu lima puluh ribu
tahun sebelum langit dan bumi diciptakan. Manusia tidak perlu pusing memikirkan
rizqi, karena Allah tidak memerintahkan manusia untuk memayahkan diri dalam
mencarinya, manusia tidak perlu menghabiskan seluruh kekuatan untuk
mendapatkannya, mencurahkan seluruh perhatian untuk menghasilkannya. Rizqi itu
ibarat bayangan yang akan lari bila kita kejar dan berhenti manakala kita tenang.
Falsafah yang semestinya kita terapkan adalah rizki itu mencari kita bukan kita yang
mencari rizki. Sebagaimana pula ajal yang menghampiri kita bukan kita yang
menghampiri ajal.
Meskipun demikian, kita juga sebaiknya tetap berusaha mencarinya. Sebagaimana
secara implisit kita dapati suatu perintah anjuran dalam Alqur’an :
‫ضللله ُعولعععلسمكلم ُتعلشمكمروعن‬ ‫ل‬
‫عولملن ُعرلحعتْلله ُعجعععل ُلعمكمم ُاللسليِعل ُعوالنسقعهاَّعر ُللتْعلسمكنموا ُفليِله ُعولتْعلبتْعقغموا ُلملن ُفع ل‬
Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu
beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya
dan agar kamu bersyukur pada-Nya. (QS: Al-qosos 73)

Pencarian yang diperintahkan di sini tentu sebatas upaya yang wajar dan sekadarnya
saja, tidak sampai menghabiskan seluruh kekuatan. Sebagaimana tergambar dalam
suatu ungkapan yang konon termaktub dalam kitab Taurot yang diturunkan kepada
Nabi Musa As :

ُ‫ب ُعلكُ ُلرلزمقُك‬


‫يعاَّ ُابلعن ُآعدعم ُعحيرلكَ ُيععدكَ ُيمعسبس ل‬
Hai anak adam (manusia) gerakkanlah tanganmu, maka rizkimu akan datang
karenanya.

Sehingga pekerjaan yang dilakukan dalam rangka mencari rizki ini tidak sampai
menjadi indikator padamnya mata hati, karena upaya itu tidak sampai merusak
kepasrahan seorang hamba kepada Allah Swt, meski berusaha namun ia tetap
berkeyakinan bahwa otoritas yang menentukan berhasil tidaknya usaha yang di
lakukan adalah Allah semata. Dan juga usahanya itu tidak akan sampai berimplikasi
pada terbengkalainya tugas-tugas penghambaan yang telah dititahkan.

Mata hati yang dalam lughot arab disebut “Bashiroh” adalah sebuah perangkat
dalam diri manusia yang berfungsi untuk menganalisa hal-hal yang bersifat ma’nawi.
Sebagaimana mata kepala tidak dapat melihat kecuali pada hal-hal yang tampak.
Mata hati inilah yang mempunyai pandangan jauh ke depan, mempunyai pengetahuan
bahwa akhir cerita yang baik dari segalanya adalah taqwa. Karena itulah yang
semestinya dilakukan oleh seorang hamba adalah pemayahan diri dan pengerahan
segala daya upaya demi merealisasikan taqwa yang memang benar-benar berkwalitas
serta tidak ada lagi alasan untuk menundanya.

Jika Allah Swt menghendaki terbukanya mata hati seorang hamba, maka raga
hamba tersebu akan selalu disibukkan dengan aktifitas-aktifitas ibadah dan
penghambaan pada-Nya, batinnya akan disibukkan dengan kecintaan kepada-Nya.
Ketika kecintaan dalam batin seorang hamba sudah semakin membahana,
panghambaannya juga sudah semakin intens, maka mata hatinya akan semakin
bertambah ketajamannya. Hingga pada saatnya mata hati itupun dapat mendominasi
mata kepalanya, penglihatan dzohirnya larut dalam pandangan mata batinnya, hingga
yang terlihat olehnya hanyalah perkara-perkara ma’nawi saja. Kiranya inilah ma’na
pernyataan guru dari para guru kita yang majdub (orang yang ditarik oleh Allah untuk
menjadi kekasih-Nya dan saking terlena dengan kecintaan kepada Allah hingga ia tak
merasakan keberadaan dirinya sendiri ) :
‫ت ُععلن ُمكيل ُفعاَّلن‬
‫ ُعوأعفلقنعقليِ م‬#ُ ‫ت ُنعظعلرلي ُلف ُنعظعةر‬‫عغيِسلب م‬
‫ت ُلف ُاللعاَّلل ُعهاَّلن‬
‫ ُعوأعلمعسليِ م‬#ُ ‫ت ُعغيِسقعر‬ ‫عحسقلق م‬
‫ت ُعماَّ ُعوعجلد م‬
Ku hilangkan pandanganku dalam pandangan, ku sirnakan (pandanganku) dari segala
yang sirna.
Kupastikan semua yang kutemui berubah-ubah, dan sore ini diriku dalam keadaan
senang.

Sebaliknyaُ jika Allah Swt menghendaki untuk menghinakan seorang hamba, maka
Allah akan menyibukkan fisiknya dengan melayani makhluk dan menyibukkan
bathinnya dengan kecintaan kepada mahluk. Kondisi ini akan berlangsung terus-
menerus hingga meredup dan padamlah mata hatinya, sehingga yang berfungsi
hanyalah mata kepalanya saja, ia tidak dapat melihat kecuali hanya pada perkara-
perkara yang tampak oleh panca indra saja. Hingga tercurahlah segala perhatiannya
pada perkara yang telah mendapat jaminan dari Allah Swt yaitu urusan rizki. Ia
habiskan seluruh kekuatan dirinya untuk mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya.
Kita hanya bisa meminta perlindungan kepada Allah Swt. Wallohu a’lam.

http://www.dialogilmu.com/2018/02/mata-lahir-bashar-dan-mata-batin-
bashirah.html?m=1
Allah SWT telah memberikan dua alat untuk melihat kebenaran dan menuju kepada-
Nya. Pertama, Bashar yang memiliki dua alat: panca indera dan akal. Kedua, Bashirah
yang memiliki satu alat, yaitu hati.

Panca indera adalah alat untuk mengenal sesuatu, melalui penglihatan (mata),
pendengaran (telinga), penciuman (hidung), peraba (kulit) dan perasa (lidah). Panca
indera sangat penting untuk merasakan segala hal yang ada di kehidupan ini. Namun,
panca indera itu terbatas, sehingga terkadang menipu atau menggambarkan sesuatu
yang tidak sebenarnya. Misalnya, ketika melihat bus, kalau dekat kelihatan besar, tapi
kalau jauh kelihatan kecil, padahal sebenarnya ukuran bus itu tetap sama. Kalau ada
tongkat lurus dimasukkan ke dalam air yang beriak, maka tongkat akan terlihat
bengkok, padahal sebenarnya tongkat tersebut tidak membengkok.

Jika panca indera adalah pengamatan (al-nazhar), maka akal adalah pengajaran (al-
dirasah). Dengan akal, muncul ilmu dan kepandaian. Jadi, akal akan mengatakan
bahwa bus itu jauh atau dekat, ukurannya tetap sama. Akal juga mengatakan bahwa
tongkat yang dimasukkan ke dalam air tetap lurus, meskipun terlihat bengkok. Akan
tetapi, akal tidak selalu benar, karena terkadang dipengaruhi oleh keinginan atau nafsu
syahwat.
Kepandaian akal masih belum selesai, karena masih perlu dipertanyakan, “untuk apa
kepandaiannya?”. Hal ini tidak tergantung akal, melainkan hati. Kalau akalnya pintar
dan hatinya baik, maka dia akan melakukan hal-hal yang benar. Tapi kalau akalnya
pintar, namun hatinya jelek, maka dia akan melakukan hal-hal yang tidak baik.

Jadi, panca indera dan akal sebagai bashar itu sangat penting, tapi belum cukup untuk
menjamin manusia mencapai kebenaran (al-haq). Buktinya, sekarang ini yang merusak
Indonesia justru orang-orang pandai. Itulah mengapa dibutuhkan suatu alat pengendali
kepandaian, yaitu bashirah (hati). Bashirah ini yang menjamin penglihatan mata sama
dengan penglihatan hati.

Dalam kitab Al-Hikam disebutkan bahwa bashirah memiliki dua tugas. Pertama,
mengendalikan bashar; sehingga kalau pintar, tetap benar; kalau jadi orang besar, tidak
sombong. Kedua, melakukan keimanan dan hubungan kepada Allah SWT secara benar.

Bashirah terbagi menjadi tiga, Pertama, keadaan bashirah. Yaitu manfaat, fungsi dan
berkahnya dapat mendekatkan seseorang dengan Allah SWT. Orang yang hatinya
hidup, mudah mendekat kepada Allah SWT dengan cara meneladani Nabi Muhammad
SAW.

Meneladani Rasulullah SAW itu tidak mudah. Caranya, harus memiliki harapan kepada
Allah SWT dan hari akhir, serta banyak berdzikir kepada Allah SWT. Dzikir yang banyak
adalah berganti-ganti dzikir dengan media yang diberikan Allah SWT, yaitu lisan,
pikiran, hati dan perbuatan.

Dzikir lisan dengan membaca kalimat thayyibah; dzikir pikiran dengan memikirkan
ciptaan dan kekuasaan Allah SWT; dzikir hati dengan menjiwai makna dzikir; dzikir
perbuatan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat, seperti bekerja mencari nafkah.
Oleh sebab itu, jangan memisahkan dunia dan akhirat, karena akhirat itu diperoleh dari
dunia, yaitu dari amalan yang dilakukan di dunia.

Bashirah lah yang mengubah ilmu menjadi ilmu bermanfaat. Misalnya, seseorang
memiliki ilmu agama, maka dia menjadi orang sholih; memiliki ilmu ekonomi,
membuat makmur masyarakat; memiliki ilmu politik, memegang amanah yang benar
dan lurus. Hal ini dikarenakan ilmu itu berdiri sendiri dan manfaat ilmu juga berdiri
sendiri, sedangkan yang menjadi pemersatu ilmu dan manfaatnya adalah bashirah yang
menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT.

Kedua, ‘ain al-bashirah. Orang yang masuk pada ‘ain al-bashirah mengerti bahwa
manusia tidak ada apa-apanya, kecuali karena pemberian Allah SWT. Oleh sebab itu,
orang yang mengerti ‘ain al-bashirah akan bertakwa, karena menyadari bahwa semua
hal berasal dari Allah SWT. Allah SWT menyediakan rezeki bagi mahkluk-Nya,
sedangkan kewajiban mahkluk adalah menjemput rezeki tersebut. Cara mengambil
rezeki adalah melakukan suatu pekerjaan.

Orang yang memiliki ‘ain al-bashirah akan mengerti bahwa manfaat shalat itu untuk
diri sendiri, semisal agar sehat dan bangun pagi. Apakah pantas, hanya dengan shalat
seperti itu, manusia ingin masuk surga?. Jadi, masuk surga itu bukan karena amalan
manusia, melainkan karena pemberian rahmat dari Allah SWT.

Contoh lain, zakat 2,5 % ditukar oleh Allah SWT dengan surga. Artinya, kebaikan yang
dilakukan manusia, akan dibalas berlipat-ganda oleh Allah SWT. Di sisi lain, kalau
orang melakukan perbuatan salah, pasti akan dihukum oleh Allah SWT. Sebagian dari
hukuman kesalahan itu dikembalikan di dunia. Misalnya, karena manusia suka
menebang pohon sembarangan, maka Allah SWT menimpakan banjir.

Orang yang memiliki ‘ain al-bashirah selalu yakin bahwa setiap kali Allah SWT
menciptakan sesuatu, pasti ada ilmu yang luar biasa di dalamnya. Misalnya, kalau
seorang ahli meneliti tentang kandungan air, maka dia akan mengungkap sesuatu yang
luar biasa yang bukti kebesaran Allah SWT.

Ketiga, Haq al-Bashirah. Kalau sudah masuk haq al-bashirah, orang akan menyadari
bahwa dia tidak mempunyai apa-apa. Dia juga mengetahui bahwa apa yang diberikan
oleh Allah SWT, akan dimintai pertanggung-jawaban. Manusia yang sudah masuk
dalam haq al-bashirah itu disebut juga Ulul Albab.

http://ltnnujabar.or.id/ngaji-kitab-al-hikam-bersama-kh-asep-mukhtar-rifai-banjaran-hikmah-ke-5/

Allah amat sangat memahami keadaan kita. Allah tidak akan memerintahkan kita beribadah
sebelum kebutuhan hidup kita dipenuhi dan dijaminnya. Agar kita nggak membuat-buat alasan
untuk menghindari ibadah.

Tapi emang dasar kita, udah tahu rejeki itu dipenuhi, dijamin, kita malah berlebih-lebihan
berpikir, bekerja, bahkan saling sikut untuk urusan itu. Lucu kita ini. Lebih lucu lagi, urusan
keselamatan kita di hari nanti, kewajiban kita sebagai hamba, kita malah kita santai, abai dan
dilupakan. Kita ini emang makhluk paling lucu di dunia. Karena sudah terbalik-balik seperti itu,
maka mata batin kita jadi tumpul, buta.

Anda mungkin juga menyukai