Anda di halaman 1dari 16

BIOGRAFI TUAN GURU HAJI MAHFUZ AMIN

ULAMA FIKIH PEMANGKIH BARABAI HULU SUNGAI TENGAH


KALIMANTAN SELATAN

A. Kelahiran dan Keluarga Tuan Guru Mahfuz Amin


Pada malam selasa tepatnya senin malam Haji Mahfuz Gambar No. 1 Abah Pengasuh
Amin yaitu tanggal 23 Rajab Tahun 1332 H, atau sekitar
tahun 1914 M, beliau dilahirkan di rumah
orang tuanya, dalam lingkungan keluarga tuan guru H.M.
Ramli dan Ibunya bernama Sabariah, di sebuah desa dari
salah satu beberapa desa yang berada di Hulu Sungai Tengah
Barabai, dan wafat atau meninggal dunia 21 Zulhijjah, atau
21 Mei 1995 dalam usia 81 tahun, adapun Kecamatannya
dengan sebutan termasuk dalam Kecamatan Labuhan Amas
Utara. Desa yang terkenal kondisi masyarakat yang fanatic dengan ajaran agamanya. Kemudian dari
orangnya yang sama melahirkan delapan orang adik-adiknya yaitu Abdul Azis, Asnawi, Mahrum,
Saubari, Halimi, Malihah, Rafiah, dan Zuhdi. Haji Mahfuz Amin dibesarkan dan didik di lingkungan
keluarga agama yang Islami. Dalam usia sekitar enam tahunan, Mahfuz Amin telah khatam belajar Al
Quran belajar dari orang tuannyasendiri. Gambar di atas adalah semasa hidup Haji Mahfuz Amin
(Abah Pengasuh).
Adapun Tuan guru Haji Muhammad amino rang tua dari M. Ramli, dinsamping seorang alim juga
tokoh masyarakat yang disegani, beliau sangat memperhatiakan akan pendidikan akan anak-anaknya
secara khusus dalam bidang agama, terbukti anak-anak dan turunan beliau yang bernama M. Ramli
sebelum ke Makkah Arab Saudi, dan sebelum menjadi orang yang alim dalam bidang ilmu agama serta
sangat berpengaruh dalam masyarakat Hulu Sungai Tengah Barabai. Dimasa mudanya M. Ramli
setelah dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri (Tuan Guru Haji Muhammad Amin, maka
oleh beliau pemuda M. Ramli dikirim ke sebuah desa Nagara yang sekarang termasuk wilayah
Kecamatan Hulu Sungai Selatan Kandangan Kalimantan Selatan. Kondisi daerah itu zaman yang
terkenal banyak ulamanya, di antara Tuan guru yang belajar di Nagara tersebut dari Barabai seperti
Tuan Guru Haji Mursyid bin Yahya beliau juga pejuang revolosi kemerdekaan, Haji Ahmad Nagara
(Haji Zaini), dan bayak lagi Tuan Guru lainnya. Daerah ini langgar-langgar atau surau-surau, meskipun
kata surau jarang dipakai, ada juga masyarakat menyebut dengan rumah wakaf, tempat orang mengaji

1
atau menuntut ilmu serta mendalami ilmu-ilmu agama dengan kitab-kitab kuning. Oleh karena
kebanyakan orang alim di Hulu Sungai belajar di Nagara Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kandangan.
Menurut sebagaimana cerita Tuan Guru Haji Muhammad Zuhdi, tentang orang tuanya mengaji di
Nagara ( sebagai catatan, kenapa tulisan huruf Nagara tidak Negara karena lafal orang Hulu Sungai
disesuaikan dengan ucapan sebenarnya, seperti kata kepasar menjadi kapasar), Abah pernah cerita
(pengertian Abah di sini sama dengan = Ayah/orang tua laki-laki), tentang Haji Ismail di nagara
tersebut memberikan amalan shalawat yakni shalawat Nabi untuk diamalkan dengan jumlah tertentu
setiap malam. Lanjut cerita setelah satu malam mengamalkannya Tuan Guru Haji Ismail bertanya
kepadanya, apakah ada bermimpi sesuatu? Beliau menjawab : Tidak ada mimpi apa-apa. Setelah
minggu kedua bertanya lagi. Juga dijawab, tidak mimpi apa-apa. Setelah minggu ketida bertanya lagi,
dan kebetulan beliau bermimpi melihat Rasulullah SAW. Dan beliau jawabAda! terus kata Haji
Ismail Cukup! ini suatu isyarat (kabar gembira) tentang keseimbangan pemuda M.Ramli. 1
Dengan berjalannya waktu sekitar tiga tahun dengan sungguh-sungguh dan rajin serta benar-benar
disiplin dan pandai menggunakan waktu, M. Ramli belajar dan mengaji di Nagara dibawah bimbingan
dan asuhan salah seorang ulama yang terkenal banyak membina dan mengeluarkan kader-kader alim
ulama ialah Tuan Guru Haji Ismail bin Tuan Guru Haji Muhammad Tahir. Pemuda M. Ramli juga
belajar dengan guru yang lainnya seperti Tuan Guru Haji Muhammad Said (sebutan Massaid),
sehingga singkat cerita yakni waktu yang relatif singkat kurang lebih empat tahun berhasil memahami
dan mendapatkan ilmu pengetahuan agama, Jikalau dibandingkan dengan secara kebiasaan yang
terjadi atas seseorang harus menghabiskan waktu maksimal Sembilan (9) tahun lama. Demikianlah
seperti apa yang pernah dituturkan oleh Abah sendiri
sebagai pengasuh. Gambar No.2 Papan Nama Pondok

1 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997, hal.10

2
Sesuai dengan perjalanan waktu yaitu setelah kembali
dari Makkah pulang kekampungnya Pamangkih, sudah
barang tentu seperti seperti anak muda lainnya M. Ramli
juga dijodohkan oleh orang tuanya Tuan Guru Haji
Muhammad Amin dengan anak perempuan H. Lima
bernama Shabariah. Setelah berkeluarga didukung
dengan kecerdasan luar biasa beliau seringkali dipercaya
untuk mengajar atau pembacaan, maksudnya di sini
pengajian kitab hadis Bukhari Muslim, di langgar-langgar dan masjid-masjid, juga di tengah-tengah
umum seperti dalam acara peringatan Isra Miraj dan pembacaan dengan system mingguan atau
tengah bulanan lainnya yang hingga sekarang di kampung di Hulu Sungai Barabai tetap berlangsung
dan dilestariakan. Gambar di atas adalah papan nama pondok pesanmtren terletak bagian depan
pondok yang masih luas pekarangannya.
Dengan bertawakal dan takdir Allah pemuda M. Ramli dengan isterinyadapat menunaikan ibadah
haji ke tanah suci Mekkah. Perlu diketahui menunaikan ibadah haji pada masa dahulu adalah sangat
lama berada di Mekkah. Dengan bertempat di rumah Syekh Sayid Ali Nahlas dengan wakil Syekh
atau badal Syekh Guru Haji Tarmizi asal orang Pamangkih. M. Ramli dibawa oleh Haji Tarmizi untuk
mengenal semua guru yang mengajar di masjidil Haram seperti Syekh Ali Maliki, Syekh Said Yamani,
Syekh Usman Sarawak dan Guru Haji KhalidTangga Ulin Amuntai yang sudah mengajar di Masjidil
Haram. Selanjutnya oleh Haji Tarmizi ditawari untuk belajar dimana saja yang sesuai dengan
keinginan beliau. Sehingga beliau memilih ikut sementara berada di Makkah dalam melaksanakan
ibadah haji mengaji di halaqah atu pengajian yang dipimpin oleh Haji Khalid. Rasa ingin untuk ikut
pengajian Syekh Usman Serawak terasa ngeri, karena kalau ada murid yang ngantuk langsung
dilempar oleh Syekh Usman dengan biji pinang yang ada di tangan beliau. Adapun keinginan belajar
dengan Syekh said Ymani karena Syekh ini mengajar dengan bahasa Arab yang belum dimengerti oleh
Haji Ramli, namun beliau tetap menjalin hubungan dengan syekh ini. Hal tersebut terbukti pada waktu
syekh Said Yamani ziarah kr tanah Jawi yang sekarang dengan sebutan Indonesia dan Malaysia,
dikatakan Syekh yamani Said berkesempatan singgah atu mampir bakhkan sempat berkhotbah di
maajid Pamangkih Hulu Sungai Tengah Barabai.
Cerita lainnya mengenai orang tua Abah atau
Haji Muhammad Ramli yang pernah dituturkan beliau Gambar No. 3 Masjid Pondok Ibnul Amin
dengan Haji Mukri Pamangkih. Yaitu setelah beliau dating dari menunaikan Iabadah haji dikala itu,
bahwa Tuan Guru H.Muhammad Ramli mengajar sambil belajardengan orang tua beliau Haji
Muhammad Amin yang disebut Tuan Guru belajar di langgar beliau di kampung Hulu Sangkuang

3
Pamangkih. Seseuai perjalanan waktu kemudian Tuan
Guru Muhammad Aminmeninggal, dan masyarakat
pindah kejalan yang baru yang waktu dibangun oleh
penjajah Belanda yakni di seberang kampung Hulu
Sangkuang yang disebut sekarang Desa Tembok
Bahalang, dalam hal ini termasuk desa Pamangkih,
maka Tuan Guru Haji Muhammad Ramli juga ikut
memindahkan langgar atu rumah wakaf orang tuanya
dari Hulu Sangkuang di tembok Bahalang, yang pada akhirnya Tuan Guru Muhammad Ramli
melanjutkan dan membuka pengajian untuk mencetak atau pembibitan kader ulama dengan tekun dan
penuh perhatian serta disiplin yang ia terapkan, adapun di antara kedisiplinan beliau ditrapkan atau
ditanamkan cara terhadap murid-muridnya yang apabila berakhir pelajaran atau pengajian pada kitab
yang di baca murid dilarang memberi tanda tempat lembaran pengajian berakhir. Maksud beliau
adalah apabila murid-murid benar-benar mempelajari kitab, maka Tuan Guru menanyakan kepada
simurid sampai dimana pengajian berakhir ? tentu simurid ingat akan ingat tempat berakhir kitab yang
dibaca. Sistim hafalan yang digunakan Tuan Guru terhadap murid-muridnya adalah pembentukan
disiplin agar suatu ilmu yang dipelajari dikuasai di luar kepala. Oleh karena itu apabila Tuan Guru
menanyakan mengenai pelajaran/kajian yang telah diberikan tidak dijawab beliau
pasti murid tersebut akan dimarahi habis-habisan, karena beliau menganggap bahwa kajian/pelajaran
tersebut tidak dlakukan telaah/menelaah atau tidak mempelajari ulang dengan pelajaran yang sudah
dipelajari. Di sinilah atau di lingkungan langgar yakni Abah pengasuh (Haji Mahfuz Amin dilahirka
pada malam selasa 1914 M).

B. Pengalaman Pendidikan
Seorang pewaris keturunan ulama Abah pengasuh (Haji Mahfuz Amin) pertama kali didik dan
dibesarkan di lingkunagan keluarga yang hidup dalam suasana keagamaan atau dalam lingkungan yang
hidup kesehariannya selalu Nampak norma-norma taat agama. Kondisi demikian disebabkan dan
tercipta dari orang tuanya yang bernama Haji Muhammad Ramli adalah seorang ulama yang
berpengaruh dan terkenal memiliki ilmu agama yang tinggi. Dari itu tidaklah mengherankan di
Kampung Pamangkih Barabai itu, orang tua dari Hajai Muhammad Ramli (Tuan Guru Haji
Muhammad Amin) diseblajnut dengan Tuan Guru Besar (basar dalam dealek/ucapan daerah),
sedangkan Tuan Guru Haji Muhammad Ramri sendiri yakni beliau sebutan dengan gelar Tuan Guru
Tuha (Tuan Guru tua) karena segala keputusan persoalan dan masalah apapun menyangkut bidang
agama maupun kemasyarakatan diputuskan oelh beliau.

4
Almarhum Haji Mahfuz Amin hanya sempat belajar dan bersekolah rakyat (Vervolkschool) 3
tahun tamat di Pamangkih dan Sekolah Lanjutan (Vervokkschool) zaman Belanada 2 tahun di Banua
Kupang dekat dengan kampung Walangku, termasuk Kecamatan Barabai. Mulai di situ ia tekun dan
rajin belajar sendiri dan mengaji pada orang tuanya dan juga pada Haji Mukhtar di Kampung Nnagara.
Isterinya berjumlah lima (5) orang, akan tetapi ia tidak pernah berpoligami . Para isterinya tersebut
adalah Siti Aminah, Hajah Saudah, Adawiyah, Hajah Hamnah, dan Hajah Siti Fatimah. Adapun Haji
Mahfuz Amin setelah selesai sekolah di Vervolk School tersebut beliau tidak melanjutkan ke sekolah
formal yang lebih tinggi dan tidak pernah melanjutkan di sekolah formal lainnya sebagaimana yang
telah disebutkan.2
Lebih lanjut Abah Mahfuz Amin juga beliau mengaji dengan Tuan Guru Muhammad Ali dalam
bidang ilmu Falaq dengan kitab yang dipakaibernama : Tsamarulwasilah dan kemudian untuk bidang
belajar dengan Tuan Guru Haji Mukhyar, orang yang di kampung Kawat dengan bidang ilmu Falaq
kitab bernama : Taqribulmakat.
Masa remajanya menurut riwayat bahwa Mafuz Amin melangsungkan penikahannya diusia 21
tahun, beliau menikah dengan perempuan bernama Siti Aminah yang berasal dari Pamangkih
Seberang. Dia dikaruniai seorang anak perempuan anak yang bernama Rahilah. Bertepatan tanggal 14
Rajab 1357 H, dikatakan atau pada saat Mhafuz Amin berusia 24 tahun, ketika itu juga beliau
berangkat ke tanah suci. Dalam buku yang disusun MUI Kal-Sel, sekitar tahun 1938 ia sekaligus
menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana selama tiga (3) tahun untuk memperdalam ilmu agama
pada beberapa ulama terkenal. Ia bercita-cita untuk mengembangkan ilmu yang telah ditimbanya di
tanah suci itu kelak di kampung halamannya. Dalam suatu cita-cita luhur seorang anak muda yang
tinggi niat akan pelajaran agama atau satu tujuan dari seseorang yang ingin memperdalam ilmu agama
pada masa dahulu adalah belajar di kota Mekkah yang dikenal pusat kegatan ibadah haji, juga tempat
berkumpulnya para ulama kenamaan dari seluruh dunia Islam sekaligus tempat berkumpulnya para
pelajar dari penjuru alam Islam dalam sati ikatan batin ialah agama Islam dengan satu tujuan yaitu
mempelajari Islam itu seniri. Demikian pula halnya dengan Abah pengasuh (Mahfuz Amin) tapi hal itu
bukanlah sesuatu yang mudah dicapai oleh seseorang, karena belajar di luar negeri dengan ongkos atau
biaya sendiri benar-benar dirasakan berat, terkecuali terhadap orang yang memang mampu dalam
ekonominya atau sebeb lain yang tidak bisa diduga oleh akal manusia menurut ekonomi orang tuanya
pada waktu itu tidak memungkinkan untuk memberangkatkan beliau kekota suci Mekkah.
Sebelum Mahfuz Amin melaksanakan pernikahannya sebagaimana disinggung di atas, dan
berangkat ke Makkah Arab Saudi, Abah pengasuh (Mahfuz Amin) selama belajar di Nagara belum

2 Tim MUI Ka-Sel, Ulama Kalimantan Selatan dari Masa Kemasa, Penerbit MUI Kal-Sel, tahun 2010, hal.271.

5
merasakan kepuasan hati, beliau kembali pulang kePamangkih meneruskan belajar dengan orang
tuanya Haji Ramli dan Tuang Guru Haji Hasbullah. Demikian hal tersebut berjalan beberapa tahun
sehingga tidak terasa usia muda telah membawa beliau seperti anak muda lainnya yang tentunya
gelora jiwa muda yang disebut Puber juga ada dan dimiliki beliau. Namun dikala itu beliau tidaklah
seperti anak muda lainnya. Beliau juga pernah cerita dengan anak muridnya bernama Muhammad
Abrar Dahlan, Brar! Sampai sekarang Alhamdulillah belum pernah satu jari pun dari tangan aku ini
menyentuh perempuan yang tidak halal. Dan aku Brar ! Sampai sekarang sudah empat (4) isteri yang
cantik sudah pernah, yang tidak pernah juga pernah tapi semua itu tidak ada manfaatnya bagi kita
terkecuali hatinya yang baik dan aku belum pernah terganggu dalam menaji. Hal ini sengaja dicatat
yang maksudnya pemuda Haji Mahfuz Amin dari masa muda sampai beristeri empat tidaklah seperti
kebanyakan anak-anakyang tidak sadar terbawa oleh masa pubernya ke dalam jurang kehinaan
sehingga gagal dalam mencapai cita-cita. 3
Sebagaimana telah dikemukakan di atas yang dicarikan jodohnya oleh orang tuanya dengan
perempuan yaitu Siti Aminah dan memiliki anak perempuan, namun jodoh yang tersurat dengan isteri
yang pertama ini tidak terlalu lama hingga terjadilah perceraian. Itulah barangkali pengalaman pertama
yang harus dihadapi dengan tabah dalam mempertahankan prinsip hidup seorang menuntut ilmu
agama yang pantang mundur. Dalam arti perkawinan jangan menjadi rintangan dalam mencapai cita-
cita. Isteri adalah teman hidup yang tentunya punya peranan penting dalam mendorong dan
membangkitkan semangat dalam mencapai segala tujuan hidup itu sendiri untuk kebahagiaan dunia
dan akhirat. Demikian kandungan nasehat Abah Mahfuz Amin sebagai pengasuh pondok yang selalu
ditunjukkan kepada seluruh anak didiknya, atas nama beliau sebagai pengasuh.
Kelanjutan cerita mengenai perkawian Abah pengasuh, setelah menduda beberapa waktu, maka
beliau dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang perempuan yang bernama Saudah binti Haji
Muhammad Arsyad dari desa Kalibaru Kecamatan Batu Benawakan Pagat Barabai, sedangkan Haji
Muhammad Arsyad adalah tokoh masyarakat Kalibaru sekaligus sebagai guru agama yang dihormati
masyarakat, kendatipun dia sebagai guru agama yang tidak memiliki wawasan keagamaan yang begitu
luas, terbukti dia tidak mengusai ilmu Nahwu dan Sharaf yang berarti tidaklah beliau terlslu msmpu
untuk membaca kitab-kitab kuning (kitab gundul) yang tidak dapat dipisahkan dengan ilmu Nahwu
dan Sharaf. Haji Muhammad Arsyad banyak membaca atau menjadikan bahan rujukan dalam
mempelajari masalah-masalah agama melalui kitab-kitab agama yang ditulis dengan Arab Melayu
klasik. Walau demikian tidaklah mengurangi kewibawaan beliau sebagai tokoh dan pemuka agama, di
desanya. Sering kali dating masyarakat ke beliau dengan segala bentuk persoalan keagamaan, ada yang

3 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997,
hal.14-15

6
merupakan bentuk pertanyaan dan benar-benar ingin tahu jawabnya, dan ada pula yang ingin menguji
kemampuan beliau yang kalau tak mampu menjawabnya tentu akan mereka (masyarakat) lecehkan.
Apalagi yang datang sudah didasari hati dan perasaan dengki atau kurang senang atas pengaruh dan
peranan Haji Muhammad Arsyad sebagai tokoh ulama setempat. 4
Pada kondisi demikianlah Abah pengasuh ( Mahfuz Amin sebagai menantunya sering tampil
dengan kemampuan ilmunya membantu mertuanya untuk menjawab atas segala pertanyaan yang
serius atau hanya sekedar untuk yujuan tertentu. Pernah suatu ketika seseorang datang kepada Abah
pengasuh pondok dengan tujuan berdiskusi soal-soal agama, dengan tujuan melecehkan beliau di
depan mertuanya. Diskusi kala itu berkisar dalam masalah ilmu mantiq, (logika) dengan dasar rujukan
kitab Idahul mubham. Ternyata orang itu tidak mampu membacanya secara benar, setelah dikoreksi
oleh Abah dengan kaedah Nahwu Sharaf yang kebetulan pada waktu itu matan mantik sudah hafal di
luar kepala nbagi Abah pengasuh. Maka jadi tersingkapnya kebodohan orang tersebut dan tujuannya
yang busuk untuk memperlakukan Abah pengasuh di depan mertuanya. Seiring waktu terus berjalan
yakni setelah Haji Muhammad Arsyad melihat akan kemampuan menantunya, bertambahlah kasih
saying kepada Abah pengasuh yang pada akhirnya Haji Muhammad Arsyad selaku mertua yang
termasuk ekonominya kuat berkesimpulan akan memberangkatkan Abah pengasuh dan isterinya yang
disertai oleh Haji Muhammad Arsyad sendiri dengan isteri beliau untuk pergi keMekkah dengan tujuan
utama melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Abah pengasuh yang haus akan ilmu agama, sehingga mendapatkan kesempatan dan kepuasan
dalam menyelam di lautan ilmu yang tentunya berpusat dikota suci mekah dapat beliau jadikan suatu
kenyataan dan kesempatan yang baik dalam menuntut ilmu. Cerita ini adalah telah di singgung
sebelumnya di atas yaitu di halam empat (4), akan tetapi kurang lengkap datanya, untuk itu dijelaskan
dari tanggal dan harinya, diawali dari proses keberangkatan dimulai dengan proses membikin surat
pas perjalan, yang sekarang mungkin apa yang disebut dengan pasfor dan visa, pembuatan di Barabai,
pada tanggal 27 Juli 1938 M. Setelah selesai persiapan yang diperlukan lalu Abah pengasuh beserta
isteri dan mertua diantar oleh orang tua Haji Muhammad Ramli, dan seluruh keluarga berangkat dari
Banajarmasin menuju Surabaya pada tanggal 15 Agustus 1938 M, untuk seterusnya dengan tinggal
beberapa hari di Surabaya perjalanan menuju Jeddah, dilanjutkan pada tanggal 9 september 1938 M,
dan samapai di jedah pada tanggal 14 rajab 1357 H, umur Abah pengasuh pada waktu berangkat
ketanah suci sebagaimana di kemukakan di atas kurang lebih 24 tahun. Ini semua yang tertulis dalam
pas perjalanan beliau yang masih ada sekarang di rumah. Selesai melaksanakan haji dan umrah serta
ziarah keMadinah. Mertuanya pulang menuju kampung halaman, tinggalah Abah pengasuh dan

4 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997, hal.
16

7
isterinya yang setia di rumah Syekh Ali Sualaiman yang tanpa disewa seperti kebiasaan pelajar-pelajar
agama dimasa dahulu. Adapun tujuan mentap di tanah suci mekkah bagi Abah pengasuh dua kota yang
menuntut ilmu agama semata. Secara khusus Abah pengasuh pondok mendapat amanat dan wasiat dari
orang tuanya sendiri pada waktu akan berangkat ialah hendaknya mempelajari berbagai bidang yang
ditekankan oleh orang tua beliau adalah ilmu falaq. Karena dalam bidang ilmu tersebut ini di negeri
kita pada waktu itu dirasakan sangat kurang yang bisa atau pandai.
Selama di kota Mekkah Abah pengasuh pondok yaitu Mekkah dan Madinah adalah dua kota yang
banyak sekali guru yang sangat alim mengajar di Masjidil Haram baik Makkah atau Madinah baik
yang berasal dari kalangan Arab sendiri atau orang asing yang sudah tinggi nilai keilmuannya dan
mendapatkan pengakuan dari majelis Qadhi yang beranggotakan parra ulama senior secara khusus di
Masjidil Haram. Krlompok-kelompok pengajian atau halaqajidil di Masjidil Haram hampir disetiap
sudut masjid sekitar berjumlah 35 kelom[ok, hal Gambar No. 4 Ruang Perpustakaan
ini menurut ingatan Abah pengasuh. Di sini tidak
ketinggalan peranan ulama yang berasal dari Jawi
(ini istilah sebelum merdika), yaitu para ulama
yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Thailand an
Singapura. Mereka ikut ambil bagian dalam
mengisi pendidikan system halaqah di Universitas
tertua di dunia ini sebagai pusat penyebaran ilmu
agama Ke seantero/keseluruh di dunia. Ada
halaqah yang dipimpin oleh Syekh Muhammad
Yasin dari Padang, ada halaqah Syekh Abdul Qadir Mandailing yang merupakan halaqah Syekh Ahyat
dari Bogor, adala halaqah Syekh Anang Syarani dari Martapura ih I Banjar, dan banyak sekali kalau
kita sebutkan satu persatu yang terbatas di masjidil Haram saja, belum lagi pendidikan agama khusus
dengan system madrasah seperti madrasah Saulatiah yang dibangun oleh orang-orang yang bersal dari
Pakistan dan India, juga madrasah Darul Ulum yang dibangun oleh orang-orang yang berasal dari Asia
Tengara. Al falah yang dibanguin oleh orang Arab sendiri. Hal demikian dijelaskan dalam buku
Biaografi Singkat Syekh Yasin Padang.5 Gambar di atas adalah gedung/ruang perpustakaan pondok
pesantren Ibnul Amin.

5 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997, hal.
18

8
C. Sosial Keagamaan, Pondok Pesantren dan Aktivitas Di masyarakat.
Kondisi Abah pengasuh dengan dibantu Gambar No. 5 Ruang Belajar Ibnul Amin
oleh isterinya yang setia siang dan malam
seluruh waktu dan perhatian dicurahkan untuk
mendatangi halaqah-halaqah dan rumah-rumah
guru untuk mewujudkan satu cita-cita
mendapatkan ilmu agama secara mendalam,
lebih-lebih lagi rasa tanggung jawab yang besar
yang diamanatkan oleh orang tua beliau sendiri
secara khusus dalam ilmu falaq. Tidak heran
akhirnya beliau sebagai ahli dalam ilmu falaq. Cita-cita beliau semula ingin belajar diMakkah tidak
kurang dari tujuh tahun lamanya, dengan target enam tahun khususuntuk belajar dan satu tahun untuk
bergaul dalam rangka membiasakan berbahasa Arab dengan baik dalam percakapan sehari-hari di
samping menambah pengalaman dan masukan-masukan dari berbagai lapisan dan kelompok suku
yang berada di Makkah, bagaimana mereka mengadakan kemajuan dalam bidang agama tentunya
dalam segi pendidikan. Meskipun
dalam waktu singkat beliau tidak jarang konsultasi dengan orang-orang asal Melayu atau Jawa tentang
cara pendidikan masing-masing. Hal tersebut juga sangat mempengaruhi jiwa beliau dalam
membangun pondok nanti apabila kembali kekampung.
Hampir tiga tahun selama di Makkah, tiba-tiba datang sepucuk surat dari mertua beliau yang
menyatakan kerinduan beliau untuk bertemu dengan anak menantunya. Jelasnya mertua beliau
menyuruh Abah pengasuh pondok dan isteri harus pulang setelah selesai musim haji di tahun ketiga
selama berada Makkah. Dengan mengingat semua biaya keberangkatan keMakkah bahkan
perongkosan selama berada di kota suci ini seluruhnya berasal dari mertua, maka Abah pengasuh jadi
bingung untuk menentukan sikap, sebab terjadi kontradiksi antara cita-cita ingin mukim di tanah suci
Makkah selama tujuh tahun dan keinginan dan kerinduan mertua untuk bertemu yang artinya harus
pulang. Untuk menetapkan hati Abah pengasuh shalat istikharah berdoa di tempat mustajab di
multazam untuk minta dipilihkan yang mana yang lebih baik dan lebih bermanfaat, tetap mukim di

9
Makkah dan mengaji atau pulang ke Tanah Air. Setelah istiharah Haji Mahfuz Amin telah tenang
hatinya dan mengambil keputusan dengan pulang menuruti keinginan orang tua/mertua. Dengan
demikian tentang kepulangan beliau dari tanah suci dapat dipastikan setelah datang dari ziarah di
makam Rasulullah SAW. Segala persiapan dan pamit dengan semua guru sudah dilaksanakan, doa
restu mereka yang diharapkan sudah dengan harapan sedatangnya nanti di kampung halaman ilmu
yang diperoleh mendapat berkah dari Allah SWT dan dapat disebarkan/disampaikan kepada generasi
umat Islam seterusnya. Rupa-rupanya seiring pamit dengan Tuan Guru Abu Bakar, guru ini juga akan
pulang ke Tanah Air menuju Tambhn Bekasi Jawa Barat.
Bersamaan atau berbetulan pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda menyediakan kapal untuk
mengangkut mereka yang mau pulang ke Tanah Air ( tentunya waktu itu belum bernama Indonesia),
dengan tanpa ongkos. Dengan demikian kepulangan Abah pengasuh, dengan guru beliau Haji Bakar ke
Tanah Air dengan kapal, gratis tanpa biaya. Pada tanggal 2-4-1360 H bertepatan dengan 28-4-1941 M,
dengan rasa hati berat meninggalkan kota suci kendati penuh harapan bisa berkiprah dengan
masyarakatnya setibanya di Tanah Air nanti. Pada penjelasan lainnya bahwa Abah pengasuh pulang ke
Tanah Air pada tanggal 8 Oktober 1941, jadi keterangan di atas berangakat pulang dari kota Makkah,
di saat perang dunia kedua berkobar, situasi perang dunia kedua berakibat kepada para pelajar Indosia
yang bermukim di Makkah. Banyak para pelajar pulang kembali ke tanah air termasuk di antaranya
Haji Mahfuz Amin.6
Dalam suasana serba sulit Haji Mahfuz Amin tetap tegar melaksanakan missinya, yaitu
mengembangkan pendidikan Agama. Dengan di bawah kepemimpinannya selaku Tuan guru warga
desa Pamangkih berhasil mendirikan Pondok Pesantren Ibnul Amin yang dahulu dikenal denga
pesantren Pamangkih, didirikan pada tanggal 11 mei 1958 di wilayah desa tersebut. Usaha Abah
tersebut mendapat restu dan dukungan dari sejumlah ulama dan para tokoh masyarakat, di antaranya
adalah Tuan Guru Haji Abdul majid, Haji Ramli, Haji Umar, Haji Mukhtar, Rustam, Effendi, dan
beberapa yang lainnya. Pada awlnya pesantren ini Gambar No. 6 Ruang Asrama & Belajar
hanya diikuti oleh 17 orang santri, namun setelah dibangun pesantren puteri tahun 1975, kini telah

6 Tim MUI Ka-Sel, Ulama Kalimantan Selatan dari Masa Kemasa, Penerbit MUI Kal-Sel, tahun 2010, hal.271.

10
ribuan santri yang ikut menimba ilmu di pesantren
pondok pesantren inilah santri-santri ditempa
sehingga berhasil menjadi pemimpin di
masyarakat, dan tokoh-tokoh terutama dalam
bidang keagamaan.
Abah pengasuh selama berada di kampung
atau pasca kembalinya dari kota suci Makkah, dan
menetap kembali di rumah mertua (Haji
Muhammad Asyad), di desa Kalibaru, mulailah
beliau membuka pengajian atau pelajaran agama buat anak-anak memakai tempat di rumah mertua.
Abah pengasuh dalam kondisi demikian semangat untuk belajar tidak pernah pudar, apalagi padam, hal
demikian terbukti dalam satu minggu beliau meluangkan waktu selama dua hari secara terpisah untuk
belajar dengan orang tuanya di Pamangkih yang jarak tempuh dari desa Kalibaru sekitar 20 km yang
beliau tempuh dengan mengendarai sepeda. Dalam perjalanan beberapa tahin setelah melalui
pertimbangan yang matang Abah pengasuh akhirnya memutuskan untuk tinggal menetap dan
membikin rumah tidak jauh atau persisnya hampir berseberangan dengan rumah orang tuanya Tuan
Guru Haji Ramli. Di sini Abah pengasuh mulai memusatkan perhatian untuk mengajar dengan
menggunakan rumah beliau sendiri sebagai tempat dan dengan mata pelajaran yang mendapat
perhatian khusus iaih lah dalam bidang ilmu falaq. Karena bidang ini sebagaimana disinggung
sebelumnya di daerah Pamangkih utamanya belum banyak dipelajari yang pada akhirnya orang
mendapat kesulitan untuk menentukan awal berpuasa atau awal syawal buat lebaran. Yang lebih
penting lagi untuk menentukan jadwal shalat, untuk bidang lainnya yang tak kalah pentingnya juga
mendapat perhatian beliau seperti ilmu Nahwu/ Sharaf, Fikih dan lain-lain. Beliau pada mulanya
merasa ragu dalam kamampuan mengajarkan ilmu-ilmu tersebut karena mengingat waktu yang sangat
singkat mukim di makkah dan keceerdasan beliau dalam belajar yang sangat terbatas.
Oleh karena itu pada mulanya Abah pengasuh hanya menerima orang-orang yang ingin belajar
dalam bidang-bidang tertentu seperti Falaq, dengan syarat belajar dari tingkat bawah. Di samping itu
beliau sendiri rajin sekali muthalaah dan kalau mendapat kesulitan beliau selalu menggunakan kamus
bahasa Arab inilah yang senantiasa beliau laksanakan sebagai mengikuti pesan dari guru beliau Syekh
Abdul Qadir Mandailing. Yakni ketika akan pulang dari tanah suci menuju Tanah Air, guru beliau
berpesan apabila sampai di Jawa (Tengah Air) ajarkan kitab-kitab yang pernah dipelajari dengan saya.
Dalam perjalanan pulang beliau melalui Jawa Timur beliau sempat singgah (mampir) di pondok
pesantren Tambak beras yang letaknya masih berada di wilayah Jawa timur, tepatnya Jombang, dan ini
adalah pesantren kedua terbesar yang ada pada waktu itu. Pesantren ini dipimpin oleh K.H. Wahab

11
Hsbullah. Adapun pesantren yang termasyhurdan pertama adalah pesantren Tebu ireng yang waktun
itu diasuh oleh KH. Hasyim Asari. Dalam kesempatan ziarah di Tambak Beras menambah
pengalaman tentang dunia pesantren, Abah pengasuh bertemu dengan Kyai-Kyai di sini. Seterusnya
Abah pengasuh melanjutkan perjalanannya ke Jakarta dan Tengerang dengan menggunakan kerita api
bertemu dengan KH. Muhammad Junaidi. Aktivitas Abah selanjutnya beliau kembali ke Pamangkih
Kalimantan Se;atan, Itulah pengalaman Abah pertama kali ke Pulau Jawa setelah Abah pengasuh
pulang dari Tanah Suci.
Aktifitas Abah pengasuh yang perlu dicatat ialah dinsamping kegiatan keagamaan, khusus dalam
pendidkan yang setiap yang setiap hari seluruh waktu dan tenaganya tercurah untuk itu semua. Beliau
juga sangat memperhatiakan akan usaha-usaha mencerdaskan anak-anak didesanya. Hal itu terbukti
andil beliau yang sangat besar dalam membangun Sekolah Umum (Sekolah Rakyat), Dimana seperti
diketahui di desa Pamangkih sejak dari zaman penjajahan sampai merdeka kalau inggin sekolah atau
belajar terpaksa ke desa tetangga yang agak berjauhan dari desa Pamangkih. Kare masyarakat
berkeinginan membangun sekolah umum, maka dalam pelaksanaan pembangunan ini Abah pengasuh
terlibat langsung, dengan ucapan Alhamdulillah pada tahun 12951, apa yang mereka cita-citakan
terwujud. Dengan demikian berdirilah Sekolah Rakyat (SR) yang hingga sekarang masih kokoh berdiri
dan sudah resmi dinegerikan pemerintah atau sudah negeri. 7
Mengenai amalan Abah pengasuh (Haji Mahfuz Amin) adalah apa yang disebut dengan Amal
Yaumiah dan Riyadhah, Amal yaumiah atau pekerjaan sehari-hari,nyang terdiri dua bagian :
Pertama : Yang menyangkut ibadah dan akhlaq
Kedua : Yang menyangkut adat kebiasaan sehari-hari atau pergaulan.
Ibadah ialah sesuatu yang menjadikan seseorang dekat dengan A;llah baik itu perbuatan ataupun
perkataan yang membuahkan rasa takut dan rasa tazim terhadap Sang Pencipta (Khaliq). Menurut
definisi ulama : ibadah adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dikerjakan oleh seseorang
hamba
Allah dengan menjauhi segala keinginan. Hawa nafsunya, karena mengharap keridhaan Allah SWT.
Trebagi tiga bagian :
- Ada yang semata dikerjakan dengan tenaga badan, seperti shalat, puasa.
- Ada yang diperbuat dengan memberikan harta seperti zakat.
- Ada yang terdiri keduanya seperti haji.
Secara keseluruhan ibadah terbagi dua jenis :
- Ada yang merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar.

7 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997, hal.36

12
- Ada yang merupakan suatu tambahan dari yang wajib untuk menambah hampirnya seorang hamba
Tuhan kepada Tuhannya. Ini yang disebut sunnah atau (Nawafil) di falam sebuah hadis Qudshi
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah R.A.
Mana hadis ini menurut Imam Nawawi di dalam Syarah Arbain yang dimaksud Wali Allah adalah
setiap orang mumin.8
Selanjutnya adapun yang dimaksud dengan Riyadhah adalah pengertian latin jiwa dengan
melawan kemauan hawa nafsu duniawi. Ada beberapa macam yang dapat dilihat dalam kehidupan
Abah Pengasuh.
Pertama : Sedikit makan dan tidak banyak warna lauk makanan. Sebagaimana hadis Rasul :
Artinya : Tidak penuh perut anak Adam wadah kejahatan. Cukup terhadap anak Adam beberapa
genggam kecil yang bisa menegakkan tulang sulbinya. Kalau mesti makan cukup perutnya diisi
dengan sepertiga makanan, sepertiganya dengan minuman, sepertiga dikosongkan untuk udara
pernafasan.
Kedua : Sedikit bicara.
Kata Nabi kita : Artinya Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiyamat hendaklah
berkata yang baik atau diam. H. R. Bukhari.
Abah Pengasuh kalau mengajar tidak pernah diselangi dengan homor. Kalau berbicara dengan
siapa saja sekedar yang penting. Beliau jarang berceramah di depan umum. Beliau jalau ingin
berhadapan dengan pejabat seperti Gubernur, beliau susun pembicaraan apa yang penting yang
harus beliau katakan. Jikalau bertemu dengan orang tersebut maka beliau sampaikan apa yang
rencanakan. Kalau selesai belaiu pamit dan pulang. Hal demikian berlaku buat siapa saja baik
sesema kawan dan dengan murid/santi sekalipun. Beliau juga sdedikit melibatkan diri dengan
pergaulan umum. Disertai pula beliau senantiasa kebiasaan ikhlas dan jujur.9
Keramat bagi Abah pengasuh, dan pengertian keramat itu sendiri adalah sesuatu kejadian
yang menyalahi adat yang terjadi pada seseorang yang selalu berbuat taat dan taqwa kepada Allah
di masa sadar atau dizaman taqlip. Imam Qusairi mengatakan : Tidaklah lahir atau keramat
didapat di tangan seorang Wali Allah di alam dunia, namun tidak menjadi satu kekurangan atau
dengan kata lain tidak mengurangi nilai derajat keWalian seseorang dengan tidak tampaknya
keramat di tangan seorang Wali Allah keramat bukanlah menjadi kebanggaan mereka, kalau terjadi
malah bertambahlah keyakinan mereka terhadap semua itu adalah perbuatan Allah semata. Imam

8 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997, hal. 38

9 Muhammad Abrar Dahlan Sejarah pondok Pesantren Ibnul Amin Pamangkih, tanpa penerbit, 1997,
hal, 50

13
Qusairi menambahkan bahwa keramat yang paling besar bagi Wali-Wali Allah adalah : Selalu
mendapat taufik dalam berbuat taat kepadaNya dan selau terpelihara dari segala maksiat, dan
perbuatan yang bertentangan dengan Agama Allah. Banyak lagi mengenai keramat-keramat yang
dimiliki khususnya Abah Pengasuh seperti masyarakat minta doa kesembuhan dari sakit, minta
nama-nama anak agar anaknya jadi orang shaleh dan cerdas, dan amalan-amalan dari beliau yang
belum haji bisa haji dan lain-lain, kelebihan beliau, yang bahasa Jawa dikatakan dengan sebutan
karomah.

D. Karya-Karya Haji Mhfuz Amin Pamangkih


Pada terakhir dalam kehidupannya yaitu mengenai amal Yaumiah Abah Penegasuh adalah
karya tulis. Tentang karya tulis Abah pengasuh tidak banyak kesempatan waktu menulis untuk
menulis, karena tenaga dan waktu juga perhatian beliau hampir semua tercurah pada pembangunan
dan memajukan pesantren yang beliau asuh. Namun tidak berarti kesempatan menulis satu dua
buku untuk menunjang pelajaran di pondok beliau tertutup. Terbukti ada tiga karya tulis beliau,
satu yang menjadi pokok bahkan yang prtama sekali yang harus dipelajari santrinya ialah kitab
tasrif atau yang dikenal dengan Tasrifan.Ini walaupun tidak dicetak karena untuk pembiasaan
santri untuk menulis dalam tahap pertama. Kitab Tasrif ini selalu disalin oleh santri yang baru
belajar. Kedua Abah pengasuh meringkas kitab Sharaf yang berbahasa Arab dengan nama yang
diberi judul Mukhtashar Hallul Maqud fii Nazhmil Maqshud; dan ringkasan kitab falaq yang
diberi nama : Al Malulat fii Mukhtashar Manaahiijil hamidiyyah. Adapun kitab falaq yang
diringkas adalah Taqribul Maqshad dan Sulumun Niirain. Semua risalah tersebut kebiasaan berupa
lembaran-lembaran yang diperbanyak dan dibagikan kepada para santrikhususnya pesantren Ibnul
Amin Pamangkih Barabai.
Setelah beliau 37 tahun berjuang terus menerus dalam membangun dan membina pondok
pesantren Ibnul Amin beserta santri-santrinya, pada tanggal 21 Zulhjjah 1415 H, atau bertepatan
dengan tanggal 21 Mei 1995, dalam usia 81 tahun, beliau wafat dan dikebumikan di pekuburan
umum Pamangkih, di samping makam orang tuanya, kelompok Tuan Guru Haji Ramli dan
keluarga.

E. Penutup dan Kesimpulan

14
Bahwa Tuan Guru Mahfuz Amin (Abah Pengasuh), seorang ulama yang berasal dari Hulu Sungai
Tengah Barabai Kalimantan Selatan, yang menciptakan pondok pesantren yang salafiyah, hingga bertahan
sampai sekarang, mengeluarkan banyak ahli-ahli bidang agama. Sistem pengajaran halaqah, dan wajib
hapalan, bagi murid-muridnya hingga betul-betul mengasai untuk bidang agama yang di tuntut. Selain
membangun dan mengembangkan pondok Abah Pengasuh juga ikut andil besar dalam pembangunan
sekolah umum Sekolah Rakyat (SR) di kampungnya Pamangkih ikut serta mencerdaskan bangsa.
Tuan Guru Mahfuz Amin juga cukup lama belajar dan menuntut ilmu di Makkah Arab Saudi,
kemudian kembali kekampung halaman Pamangkih, selain mengajar dia juga berdakwah ke berbagai
daerah istilah di Banjarmasin pembacaan kitab hadist Bukhari dan Muslim, di langar-langar atau rumah
wakaf, serta masjid, hal-hal semacam ini berlangsung hingga sekarang, yakni yang Abah Pengasuh
lakukan terus dilestarikan oleh masyarakat Barabai dan sekitarnya.
Pengajaran dan pembelajaran paling pokok oleh Haji Mahfuz Amin adalah ilmu Nahwu/Sharaf, serta
digunakan untuk belajar ilmu bahasa Arab dan lain-lain sedang ilmu Falaq guna menentuka awal
berpuasa Ramadhan, awal satu Sawal, dan lebih-lebih lahi menentukan waktu masuk shalat/sembahyang.

F. Rekomendasi
1. Dengan adanya penulisan biografi ulama Mhafuz Amin (Abag Pengasuh) ini, dapat diambil sesuatu
yang menariktentang kepemimpinan, dan keteladanan yang bersangkutan, dalam menerapkan
manajemennya, begitu pula dalam mengelola pondok pesantren, demikian pula perjuangan beliau
apakah dalam bentuk dakwah dan lainnya yang beliau kembangkan sehingga dapat menjadi warisan
oleh penerusnya dan menjadi tauladan oleh santri-santrinya serta umat ini.
2. Perlunya sifat dan gaya beliau dalam mengajar kitab-kitab kuning, untuk dihidupkan kembali,
meskipun dianggap kurang tepat dengan cara dan system pengajaran sekarang, akan tetapi charisma
dan system yang Tuan Guru ciptakan tetap tidak capat punah/hilang dalam ingatan para santri dan
masyarakat mengenai keagamaan.
3. Perlu perhatian atas segala karya-karya Tuan Guru sebagai peninggalan yang berharga, dan perlu
diselamatkan dan dijadikan bahan kajian dan pegangan masyarakat, demikian pula bentuk amalan
yang Tuan Guru lakukan dapat diwarisi untuk amalan-amalan dalam kesoksesan dalam menempuh
hidup ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

MUI Kal-Sel, Ulama Kalimantan Selatan Dari Masa Kemasa, Edisi Pertama, Nopember 2010,
MUI Kalimantan Selatan.
MUI Kal-Sel, Ulama Kalimantan Selatan Dari Masa Kemasa, Edisi Kedua, April 2011,
MUI Kalimantan Selatan.
Karim Abdullah, dkk, Empat Ulama Pembina IAIN Antasari, PPIK IAIN Antasari, cet.I, Mei 2004.
Muhajir Ahmad, Chalid Idham Guru Politik Orang NU, Pustaka Pesanmtren, cet, Juni 2007.
Agil Siradj Said, Teks Pesantren Tentang Pendidikan Kebangsaan, Volume 5, No.2 April-Juni
2007, Jakarta, Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
Majid, Nurchalis, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta, Paramadina. 12997.
Sahabat Tim, Ceria Datu-Datu Trekenal Kalimantan Selatan,Toko Buku & Penerbit Sahabat,
kandangan Oktober 2003.
Chodjin Achmad, Sunan Kalijaga Mistik dan Makrifat, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, januari
2013.
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, pesantren, dan Tarekat, Bandung Mizan, 1999
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, Bandung: Mizan,
2004.
Anwar Rosehan (dkk), Ulama Dalam Penyebaran pendidikan dan Khazanah Keagamaan, Jakarta,
Proyek Pengkajian dan Pengembangan lektur Keagamaan, cet. I, 2003.

16

Anda mungkin juga menyukai