Anda di halaman 1dari 43

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, ideologi Islam ternyata

merupakan suatu kekuatan yang sangat besar dalam usaha perlawanan terhadap

dominasi kekuasaan asing di Indonesia. Pemberontakan-pemberontakan besar

terhadap penjajah seperti Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Padri (1821-

1838), maupun Perang Aceh (1873-1907)1, semuanya dipelopori oleh

pemimpin- pemimpin yang berideologi Islam. Peristiwa itu mengakibatkan

setiap gerakan Islam dianggap sangat membahayakan kedudukan pemerintah

kolonial. Hal ini disebabkan karena sangat kurangnya pengetahuan pemerintah

kolonial mengenai Islam, bahkan seringkali salah pengertian.2

Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah Hindia Belanda

menerapkan politik westernisasi dalam bidang budaya dan kristenisasi dalam

bidang agama. Pemerintah kolonial berusaha mengembangkan kebudayaan

Barat, sehingga orang Indonesia mau menerima kebudayaan Barat sebagai

kebudayaan sendiri walaupun tanpa mengesampingkan kebudayaan asli. Dalam

bidang agama pemerintah kolonial berusaha mengembangkan agama Kristen di

Hindia Belanda. Untuk itu pemerintah kolonial banyak memberikan bantuan

kepada zending-zending Kristen.3

Agama Islam di mata kolonial Belanda adalah bahaya yang akan

mengancam kedudukannya. Oleh sebab itu pemerintah kolonial senantiasa

1
2

menghalangi penyebaran agama Islam dengan mengeluarkan praturan-

peraturan, di antaranya adanya peraturan tentang jamaah haji 4, peraturan

tentang pendidikan Islam, ordonasi guru, dan lain sebagainya. Hal ini

dimaksudkan agar dapat mengurangi bahaya perlawanan penduduk terhadap

usaha-usaha penyebaran agama Kristen.5

Sejak kedatangan Snouck Hurgronje di Indonesia6, politik pemerintah

kolonial terhadap Islam mulai diubah. Snouck Hurgronje berpendapat Islam

sebagai ajaran agama dan Islam sebagai ajaran politik harus dibedakan. Selama

umat Islam berpegang kepada Islam sebagai agama, mereka harus diberi

kebebasan untuk menjalankan kewajibannya, akan tetapi apabila Islam sudah

menjadi alat agitasi politik, hendaknya pemerintah segera memberantasnya.7

Menurut Snouck Hurgronje, usaha kristenisasi di wilayah yang

penduduknya berpegang teguh terhadap ajaran Islam justru akan menimbulkan

penduduk wilayah tersebut merasa asing dengan pemerintah Hindia Belanda.

Untuk itu Snouck Hurgronje menyarankan agar pemerintah juga memberi

perhatian pendidikan bagi umat Islam8, tanpa harus dihubungkan dengan

kegiatan-kegiatan kristenisasi. Snouck Hurgronje berkeyakinan bahwa cara ini

akan mendorong rakyat Indonesia kelak mau menerima kebudayaan Barat

dengan jalan asosiasi. Dengan jalan asosiasi inilah persoalan mengenai Islam

akan dapat dipecahkan, dan pemahaman dalam aspek politik dan sosial yang

disebabkan karena kepercayaan dapat dihapuskan, bahkan secara tidak

langsung akan bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen dikemudian hari.9


3

Sebagai akibat diterapkannya sistem politik tersebut, kaum terpelajar

dari bangsa Indonesia mulai terkena pengaruh kultur Barat; individualisme,

rasionalisme, dan nasionalisme telah mewarnai pola berpikir mereka. Tidak

sedikit di antara mereka yang beranggapan bahwa agama Islam itu kolot, Islam

penghambat kemajuan, dan lain sebagainya.10 Di lain pihak, agama Kristen

mengalami perkembangan yang cukup pesat seperti terdapat di daerah

Sulawesi Utara, Maluku, Timor Timur, Tapanuli, dan daerah-daerah lainnya.11

Sistem kolonialisme yang diterapkan kepada bangsa Indonesia terlalu

ketat. Dominasi dalam bidang politik, eksploitasi ekonomi, diskriminasi sosial,

westrenisasi kebudayaan, dan Kristenisasi, mengakibatkan bangsa Indonesia

pada umumnya dan umat Islam pada khususnya mengalami kemerosotan

dalam segala aspek kehidupannya, baik material maupun spiritual.

Pada masa yang bergelora seperti itulah K.H. Mas Mansur dilahirkan

dan tumbuh besar, dan dengan latar belakang keluarganya yang berasal dari

para ulama, Mas Mansur kecil tidaklah kesulitan untuk menuntut ilmu dalam

bidang keagamaan, bidang yang kemudian digelutinya seumur hidupnya dan

menjadikannya seorang tokoh besar. Mas Mansur adalah seorang tokoh Islam

modern dan pahlawan nasional12 yang mempunyai cakrawala pemikiran ke

depan. Sebagai seorang ulama dan politikus yang hidup dalam masa

penjajahan, baik pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang yang penuh

problematika membuat Mas Mansur tergugah untuk memperjuangkan nasib

bangsanya dari penjajahan bangsa asing.


4

Kondisi Hindia Belanda yang tidak menentu pada masa penjajahan dan

diskriminasi yang begitu kental membuat Mas Mansur berfikir dan mengambil

tindakan untuk menyelamatkan rakyat bumiputera pada umumnya dan umat

Islam pada khususnya, hal ini terbukti dari aktifitas yang ia lakukan baik di

bidang sosial keagamaan maupun politik. Ia pernah mengikuti organisasi antara

lain Sarekat Islam (SI), Muhammadiyah, Muktamar Alam al-Islam far‟u al-

Hindi alSyarqiah (MAIHS), MIAI, Masyumi, PII, dan Putera.13

Makalah ini akan mencoba untuk menyingkap sejarah hidup K.H. Mas

Mansur beserta perjuangannya dalam menegakkan Islam dan perjuangannya

dalam masa pergerakan nasional di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan batasan judul yang telah

diuraikan, maka rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan K.H. Mas Mansur?

2. Bagaimana peran K.H. Mas Mansur dalam organisasi politik pada masa

pergerakan nasional Indonesia?

3. Bagaimana peran K.H. Mas Mansur dalam Muhammadiyah?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini diantaranya sebagai berikut :

1. Memberikan gambaran tentang latar belakang kiprah K.H Mas Mansur

dalam pergerakan nasional dan dalam Muhammadiyah.


5

2. Memberikan sebuah wacana peran K.H. Mas Mansur dan perjuangan para

ulama dalam partai politik pada masa pergerakan Republik Indonesia.

3. Dapat mengetahui berbagai macam aktifitas dan hambatan yang pernah

dialami oleh para ulama dalam berjuang mendirikan negara Indonesia

melalui organisasi Muhammadiyah.


6

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN KH. MAS MANSYUR

A. Keluarga KH. Mas Mansur

K.H. Mas Mansur dilahirkan pada hari Kamis malam tanggal 25 Juni

1896 M di Surabaya, tepatnya di kampung Sawahan.1 Kampung ini sekarang

bernama gang Kalimas Udik III.2 Ibunya bernama Raulah, seorang wanita kaya

berasal dari keluarga pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Ia adalah

keturunan Sagipudin yang terkenal kaya raya.3

Ayah Mas Mansur bernama K.H. Mas Ahmad Marzuki4, seorang pionir

Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur, ia berasal dari keturunan

bangsawan Astatinggi Sumenep Madura. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai

imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya.5

K.H. Mas Ahmad Marzuki ayah Mas Mansur mempunyai lima orang

istri dengan istri pertama Raulah, ia dikaruniai 16 anak termasuk Mas Mansur. 6

Mas Mansur adalah anak ke-14. Nama-namanya adalah: Aisyah, Muhammad,

Nahrawi, Hasan, Muslihah, Abdullah, Sarah, Dakhirah, Abdul Qohhar, Khalil,

Munir, Abdul Lathif, Muthi’ah, Mansur, Hamid, dan Syafi’i. Istri kedua

bernama Rahmah dikaruniai seorang anak bernama Maryam, istri yang ketiga

bernama Aminah Paneleh, dikaruniai anak bernama Shamad, istri keempat

bernama Aminah Jumur, dikaruniai sembilan anak yakni Ulfah, Rawiyah,

Ghalib, Mi’an, Anwar, Abdul Muaz, Muzannah, Manshuf, dan Munayyah, istri

6
7

kelima bernama Baniyah, dikaruniai tiga orang anak yakni Imluk Suflah, Ajib

dan Mujibah.

K.H. Ahmad Marzuki dilahirkan pada tahun 1843 dan wafat di

Surabaya pada 10 Januari 1930. Dari silsilahnya bisa dilacak bahwa ia berasal

dari keturunan keluarga kraton Sumenep Madura, atau keluarga bangsawan

Astatinggi.7 Jadi kalau diurut dari Mas Mansur, maka catatan silsilah tersebut

lengkapnya tersusun sebagai berikut, Mansur bin Ahmad Marzuki bin Abdul

Hamid bin Hasan bin Abdulah Mansur. Abdulah Mansur adalah putra Kiai

Sinder II keturunan Pangeran Pindarega dari kraton Sumenep.

Dilihat dari garis keturunan ibu Mas Mansur berasal dari keturunan

bangsawan dan ulama, sedangkan kalau dilihat dari pihak ayah, Mas Mansur

berasal dari kalangan ulama yang terhormat dan terpandang. Keduanya berasal

dari keluarga muslim yang taat, sehingga tidak mustahil apabila Mas Mansur

menjadi ulama yang mempunyai ilmu yang luas dan berpandangan moderat.

Mas Mansur sendiri menikah di usia 20 tahun. Ia menikahi seorang

wanita yang bernama Siti Zakiyah, puteri Haji Arief yang bertempat tinggal

tidak jauh dari tempat tinggal Mas Mansur. Dari pernikahannya itu, mereka

dikaruniai 6 orang anak. Nama-nama mereka adalah: Nafiah, Ainurrafiq,

Aminah, Muhammad Nuh, Ibrahim, dan Luk-luk. Di samping menikah dengan

Siti Zakiyah, Mas Mansur juga menikah dengan seorang perempuan yang

bernama Halimah. Pernikahan dengan Halimah ini tidak berlangsung lama,

hanya berumur dua tahun karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.12
8

B. Riwayat Pendidikan KH. Mas Mansur

Mengikuti periodisasi sejarah Indonesia yang disajikan oleh Bernard

Dahm, maka Mas Mansur termasuk tokoh dari generasi yang lahir pada fase

pertama dalam pembabakan sejarah modern Indonesia, yaitu generasi yang

lahir pada akhir abad ke-19.13 Pada umumnya generasi fase ini pernah

mengenyam pendidikan di Belanda atau di Timur Tengah. Mas Mansur

termasuk ke dalam tokoh yang memperoleh pendidikan di Timur Tengah itu.

Pendidikan pertama yang diterima Mas Mansur tentu saja dari ayahnya

di Pesantren Sawahan, tapi ada pula yang mengatakan bahwa dia dulunya juga

sudah pernah belajar di pesantren Sidoresmo, di sini Mas Mansur belajar ilmu

Nahwu (tata bahasa Arab), dan Sharaf (perubahan bentuk dan makna dari

bahasa Arab). Setelah memperoleh dasar-dasar ilmu agama dari ayahnya dan

dari Kiai Mas Thoha sebagai pengasuh pondok Sidoresmo, maka pada tahun

1906 Mas Mansur dikirim belajar ke Pesantren Kademangan di Bangkalan

Madura.14 Pesantren ini dipimpin oleh Kiai Haji Kholil, seorang kiai yang

masyhur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20.

Meskipun Kiai ini tak memimpin sebuah tarekat, di Jawa ia dikenal sebagai

seorang wali yang piawai di bidang Nahwu dan Sastra Arab, Fiqh, serta

Tasawuf. Hampir semua kiai besar di abad 20 pernah menjadi santrinya.

Pada tahun 1908, Mas Mansur pergi belajar ke Mekkah bersama dengan

K.H. Muhammad dan K.H. Hasbullah, dari sini tidak diperoleh keterangan

yang jelas kepada siapa dan di mana saja Mas Mansur belajar selama di

Mekkah. Namun saat itu di Mekkah ada seorang yang terkenal yang bernama
9

Syeikh Ahmad Khatib, ada kemungkinan Mas Mansur pernah berguru pada

Syeikh ini.15

Namun pada tahun 1910 timbul pergolakan politik di wilayah Hijaz,

dengan maksud agar orang-orang asing tidak ikut terlibat dalam sengketa

politik tersebut, maka penguasa Mekkah saat itu, Syarif Husein memerintahkan

kepada segenap orang asing untuk segera menyingkir atau meninggalkan kota

suci itu. Mas Mansur yang baru dua tahun mengecap pendidikan di Mekkah

terpaksa dihadapkan pada dua pilihan yakni: terus menuntut ilmu atau kembali

ke tanah air. Mas Mansur akhirnya memilih untuk terus menuntut ilmu.

Setelah menentukan pilihan, Mas Mansur kemudian memilih untuk

melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo. Selain etos belajar

yang telah diterimanya di pesantren, agaknya ada beberapa hal yang

mendorong minatnya untuk pergi ke Kairo. Sebagai santri setidaknya ia ingin

mengetahui dan melihat secara langsung perguruan tinggi yang didirikan oleh

Dinasti Fatimiyah pada abad ke-10 Masehi dan yang termasyhur sebagai pusat

ilmu pengetahuan dan peradaban Islam itu.

Mas Mansur setelah diterima di Universitas Al Azhar ia lalu memilih

belajar di fakultas Al Din (Ilmu Agama) yang mempelajari ilmu-ilmu

Ubudiyah dan Siyasatul Islamiyah. Selama belajar di Al Azhar Mas Mansur

tinggal bersama para siswa lainnya yang berasal dari Melayu di ruang Ruaq Al-

Malayu, asrama mahasiswa Melayu.16 Selama jadi mahasiswa ini pula Mas

Mansur pernah bertemu dengan Syeikh Rasyid Ridha, seorang murid Syeikh

Muhammad Abduh.
10

Pada awal Agustus 1914 tatkala PD I pecah. Mas Mansur masih berada

di Kairo, bulan Oktober, Inggris menguasai Mesir dan menyatakan perang

kepada kesultanan Ottoman, dengan dikuasainya Mesir akhirnya Mesir

dinyatakan sebagai protektorat Inggris raja Mesir saat itu Khedive Abbas Hilmi

II digantikan oleh Husein Kamil dengan gelar sultan oleh pemerintah Inggris.

Situasi perang sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial-ekonomi Mesir,

terutama bagi rakyat jelata. Situasi demikian bukan mustahil bisa mengganggu

ketenangan belajar dan bahkan bisa pula mengancam keselamatan diri Mas

Mansur jika ia masih bertahan di Mesir. Karena alasan itu, kemudian pada

tahun 1915 ia meninggalkan Kairo menuju Mekkah dengan harapan bisa terus

melanjutkan pelajarannya, namun situasi di kota suci ini pun tidak jauh berbeda

dengan Kairo. Oleh karena merasa tidak betah lagi dengan situasi dan kondisi

yang serba kacau., maka Mas Mansur segera meninggalkan Tanah Hijaz dan

kembali di Tanah Jawa pada tahun 1915.17

C. Kepribadian KH. Mas Mansur

Bagaimana sosok, pribadi dan kepribadian Mas Mansur bisa diikuti dari

beberapa penuturan keluarga, sahabat, dan muridnya berikut ini. Djarnawi

Hadikusuma melukiskan bahwa Mas Mansur berwajah hitam manis, mata bulat

cemerlang, kedua bibirnya tipis dan fasih berbicara. Perawakannya gemuk dan

agak pendek. Tubuhnya kelihatan lemas, tetapi sebenarnya ia menyimpan

keahlian silat yang amat cermat. Tak banyak orang mengetahui bahwa Mas

Satu hal yang paling mengesankan dari pribadi Mas Mansur adalah
11

ketekunanya dalam beribadah. Nyai Mansur sendiri mengatakan bahwa hampir

sepanjang hayatnya dihabiskan untuk itu. Dari pagi sampai malam ia hanya

memikirkan soal perkembangan Islam. Mansur juga seorang pendekar. “Dia

mampu bersilat menangkis dan mengelak tanpa berpindah tempat”, tutur

Hadikusuma.18

Selain itu cara berpakaiannya pun cukup unik. Ia selalu mengenakan

sarung pelikat berwarna gelap, baju jas tutup putih, sabuk berkantong dan peci.

Tidak seperti peci pada umumnya yang bersudut dua, peci milik Mas Mansur

bersudut tiga yang khusus dipesannya kepada seorang tukang peci di Surabaya,

dan kadangkala ia pun memakai sorban. Ketika menghadiri kongres

Muhammadiyah ke 28 di Medan pada 1939, ia mengenakan pakaian dinasnya

itu plus dasi.23

Cara berpakaian Mas Mansur yang termasuk unik itu pernah juga

membuat seorang wartawan Jepang menjatuhkan perhatiannya pada Mas

Mansur. Memang jangankan orang Jepang, orang Surabaya sendiri pun

dibuatnya cukup terheran-heran. Mengapa Mas Mansur yang berpandangan

modernis berpakaian tradisional, sedangkan Mahfudz Siddik, tokoh Nahdlatul

Ulama yang berpandangan tradisionalis berpakaian modern. Agaknya Mas

Mansur ingin menunjukan bahwa pakaian tradisional pun tidak kalah

menariknya dengan pakaian ala Barat.25

Cara berjalannya pelan dan mantap. Meski agak kecil, kepalanya berisi

benak yang besar penuh dengan ilmu. Ia ahli ilmu tafsir, tasawuf, kalam,

falsafah, dan mantiq. Pandangannya luas dan terbuka untuk menerima


12

pandanganpandangan baru dan maju. Sikapnya sederhana dan selalu

merendahkan diri, tidak suka memperlihatkan keahliannya. Misalnya dalam

kongres Muhammadiyah ke 26 di Yogyakarta, 1937, Mas Mansur dengan

rendah hati menolak pencalonan atas dirinya sebagai ketua Umum

Muhammadiyah.26 Ia menganggap dirinya amat lemah, kurang iman, dan ilmu

tidak cukup. Mas Mansur sendiri mengajukan A.R. Sutan Mansur sebagai

orang yang lebih pantas diajukan sebagai calon ketua Umum Muhammadiyah

karena Mas Mansur menganggap A.R. Sutan Mansur sebagai orang kuat,

berwibawa, dan berilmu.27

Mas Mansur sendiri memang suka mengadakan silaturahmi dan mudah

bergaul. Tidak saja bersilaturahmi kepada keluarga dan para sahabatnya, tetapi

juga dengan berbagai kalangan, termasuk mereka yang tidak sependirian dan

sekeyakinan dengannya. Ketika Muhammadiyah cabang Surabaya baru berdiri,

Mas Mansur bersama putranya biasa bersilaturahmi sehabis sholat subuh ke

rumah seorang sahabatnya dengan naik bendi. Menurut Wisatno, sahabatnya

itu, Mas Mansur memiliki rasa setia kawan tinggi, humoris, dan menyukai nasi

rawon dan nasi kebuli ala Donggala, serta nasi samin dan krengsengan. Ia pun

bersahabat baik dengan dr. Soetomo, tokoh Budi Utomo, meski secara teologis

mereka berbeda pendapat, kedua tokoh itu kerapkali terlibat diskusi mengenai

persoalanpersoalan yang serius, seperti masalah filsafat dan pergerakan.29

Di samping itu ia memiliki disiplin waktu dan berorganisasi yang cukup

tinggi. Ia selalu hadir dalam sidang tepat pada waktunya. Meskipun jumlah

yang hadir hanya sedikit dari semestinya, ia tetap akan memulai persidangan
13

kalau memang sudah waktunya. Adakalanya pula ia menyuruh pulang peserta

yang datang terlambat. Pada zaman Jepang ia tidak segan-segan menegur

panglima militer se-Jawa dan Madura sebagai pengundang yang datang

terlambat. Hal ini dilakukan karena ia mengetahui bahwa militer biasanya

memiliki disiplin yang tinggi. Ia juga tidak bersedia membicarakan urusan

organisasi di rumah, karena ia berpendapat hal itu akan melemahkan disiplin

dan nilai organisasi. Buat apa dibangun kantor kalau ternyata orang lebih suka

membicarakan organisasi di rumahnya, katanya.30

Satu hal yang paling mengesankan dari pribadi Mas Mansur adalah

ketekunanya dalam beribadah. Nyai Mansur sendiri mengatakan bahwa hampir

sepanjang hayatnya dihabiskan untuk itu. Dari pagi sampai malam ia hanya

memikirkan soal perkembangan Islam.


14

BAB III

KIPRAH KH. MAS MANSYUR DALAM ORGANISASI POLITIK

MASA PERGERAKAN NASIONAL

A. K.H. Mas Mansur Dalam Organisasi Politik

Pada tahun 1915, setibanya dari pengembaraannya menuntut ilmu ke

Hijaz dan Mesir, K.H. Mas Mansur menjumpai kota kelahirannya, Surabaya

dalam suasana penuh hiruk pikuk oleh semangat kebangsaan kaum

revolusioner. Bung Karno yang sempat indekos beberapa lama di rumah HOS

Cokroaminoto di kawasan Paneleh melukiskan situasi Surabaya saat itu

sebagai kota pelabuhan yang sibuk dan ribut, lebih menyerupai kota New

York.1 Di kota inilah HOS Cokroaminoto memimpin Central Sarikat Islam

(CSI) yang terkenal dengan aksiaksi radikalnya. Dalam suasana kota yang

marak seperti itulah K.H. Mas Mansur memilih CSI sebagai lahan

pengabdiannya di bidang politik.2

Aktifitas K.H. Mas Mansur dalam pergerakan keagamaan diawali

dengan membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar pada tahun 1916 di

Surabaya bersama beberapa kiai muda, seperti K.H. Abdul Wahab Hasbullah

dan K.H. Ahmad Dahlan Ahyat. Kelompok diskusi ini bertujuan ingin

memajukan umat Islam, terutama kaum pemudanya dengan memancing

mereka untuk menambah pengetahuan melalui perdebatan-perdebatan.3 Ilmu

pengetahuan yang dimaksud ialah pengetahuan sosial keagamaan.

14
15

Pada tahun 1920, bersama Fakih Hasyim dan Haji Ali yang sepaham,

K.H. Mas Mansur membentuk Ihya ussunnah. Kelompok diskusi agama dan

pendidikan ini rupanya menarik HOS Cokroaminoto. Kemudian K.H. Mas

Mansur dan HOS Cokroaminoto mendirikan Ta’mirul Gofilin, sebuah forum

dakwah yang dikoordinir sendiri oleh HOS Cokroaminoto. 11 Melalui forum ini

HOS Cokroaminoto kerap kali mengundang K.H. Ahmad Dahlan untuk

memberikan pengajian di rumahnya di Surabaya. Tidak sedikit tokoh

pergerakan yang menghadiri forum pengajian itu. Di sinilah Bung Karno dan

Roeslan Abdulgani muda untuk pertama kalinya memperoleh penjelasan yang

benar tentang Islam.12

Setahun kemudian, tepatnya tanggal 17 April 1921, Ihya ussunnah

mengadakan suatu pertemuan yang dihadiri K.H. Ahmad Dahlan. Dalam

pertemuan itu diputuskan bahwa Ihya ussunnah akan menjadi cabang

Muhammadiyah. Beberapa hari kemudian, surat kabar Oetoesan Hindia

terbitan 27 April 1921 melaporkan pendirian Muhammadiyah Cabang

Surabaya.13 Dalam kesempatan itu K.H. Mas Mansur terpilih sebagai ketua

umumnya, ini berarti Muhammadiyah Surabaya menjadi cabang kelima sejak

Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912.

Pada tahun 1924 K.H. Mas Mansur bertemu lagi dengan K.H. Abdul

Wahab Hasbullah sebagai sesama anggota Indonesische Studie Club, sebuah

kelompok studi yang didirikan oleh Dr. Sutomo. Kelompok studi ini bertujuan

untuk menggugah kaum terpelajar supaya mempunyai kesadaran akan

kewajiban terhadap masyarakat dan memperdalam pengetahuannya tentang


16

politik. Kagum akan kekompakan yang ada dalam kelompok studi ini, kedua

kiai muda yang pernah berselisih pendapat itu bersepakat untuk mengadakan

sebuah pertemuan yang bertujuan menggalang persatuan di kalangan muda

umat Islam.17 Namun hasil pertemuan itu bertolak belakang dengan rencana

semula. Hanya karena masalah khilafiyah, para pendukung kedua kiai muda itu

justru membentuk organisasi sendiri-sendiri.

Tahun 1920-an merupakan tahun-tahun yang kritis bagi Islam di

Hindia, sebagai akibat dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)

yang gagal di beberapa daerah (1926-1927).30 Pemerintah kolonial Belanda

melancarkan politik “Rust en Orde” (aman dan tertib) yang begitu menekan

seluruh gerakan politik di Hindia Belanda.31 Politik ini memaksa organisasi-

organisasi nasionalis radikal dan para pemimpinnya untuk tidak berpolitik

langsung di dalam masyarakat. Tokohtokoh radikal seperti Soekarno, Hatta,

dan Syahrir dipenjarakan dan diasingkan.

Namun tindakan represif dari pemerintah ini menimbulkan dampak

positif bagi gerakan-gerakan non politik dan moderat, termasuk

Muhammadiyah yang sempat menyebar ke luar Jawa. K.H. Mas Mansur yang

memimpin Muhammadiyah cabang Surabaya berusaha pula mengatasi krisis

dengan mengundang segenap anggota dan pengurusnya membahas nasib

organisasi di kediamannya. Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 1 Juli

1927 ini kemudian menjadi proses seleksi bagi anggota dan pengurus

Muhammadiyah Surabaya. Disebut proses seleksi karena hadirin yang tetap

bertahan dalam pertemuan itu hingga larut malam itu ternyata tinggal 20 orang
17

saja.32 Tindakan penyelamatan yang memanfaatkan momentum tahun baru

Hijriyah ini berhasil memulihkan kehidupan organisasi.33

Keberhasilan ini mengundang perhatian dan simpati K.H. Hisyam,

ketua umum Hoofdbestur Muhammadiyah di Yogyakarta.34 K.H. Hisyam yang

dikenal banyak menaruh perhatian di bidang sosial dan pendidikan ini

kemudian menetapkan K.H. Mas Mansur sebagai konsul Muhammadiyah

daerah Jawa Timur dengan masa tugas selama tiga tahun. Penetapan ini

dilakukan berdasarkan Beslit yang ditandatangani oleh K.H. Hisyam sendiri

tertanggal 17 Maret 1935.35

Kesadaran politik K.H. Mas Mansur ini dianggap suatu langkah

pembaharuan dalam gerakan yang selama ini phobia terhadap apa yang disebut

politik itu. Berperannya pimpinan Muhammadiyah di dalam kepengurusan PII

menimbulkan pertentangan pendapat dalam gerakan sosial-keagamaan

tersebut. Sebagian mengkritik partisipasi aktif K.H. Mas Mansur dan beberapa

tokoh lainnya dalam politik yang telah berada di luar garis dan bisa merusak

organisasi. Kartosudarmo, Konsul Muhammadiyah Jawa Barat, dan majalah

Pancaran Amal Jakarta menilai berpolitiknya K.H. Mas Mansur akan

menimbulkan perpecahan di kalangan Muhammadiyah dan membahayakan

organisasi. K.H. Mas Mansur berusaha membela diri dari gelombang kritik dan

protes dengan menjelaskan bahwa Muhammadiyah tidak memiliki disiplin atau

peraturan yang melarang anggota-anggota atau pemimpinnya untuk bergabung

dengan partai atau organisasi politik, dan berperannya orang-orang

Muhammadiyah di dalam PII adalah atas nama pilihan pribadi mereka sendiri
18

dan tidak mengatasnamakan organisasi. Selanjutnya dikatakan, adanya partai

politik Islam yang kooperatif memang diperlukan, guna memberikan

pendidikan politik kepada umat yang enggan tahu tentang dunia politik.

Isu ini menarik perhatian para konsul Muhammadiyah untuk

mengadakan konferensi di Kudus, 7-9 April 1939. Konferensi memutuskan

bahwa tidak seorang pun pimpinan Muhammadiyah bisa ambil bagian aktif

sebagai pimpinan di dalam partai atau organisasi politik lainnya selama ia

masih melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam Muhammadiyah. Kendati

keputusan ini sempat meredakan gelombang kritik terhadap keterlibatan K.H.

Mas Mansur dalam politik, gelombang itu muncul lagi dari waktu ke waktu,

namun, bagai anjing menggonggong kafilah berlalu, K.H. Mas Mansur terus

saja aktif berjuang di bidang politik. 38 Bung Karno yang saat itu dalam

pengasingannya di Bengkulu juga mendukung sikap K.H. Mas Mansur itu.

B. Pemikiran dan Perjuangan KH. Mas Mansur

K.H. Mas Mansur selain aktif dalam berbagai organisasi politik, ia juga

aktif dalam dalam masyarakat dan peduli terhadap nasib umat Islam di

Nusantara. Ranah perjuangannya kemudian bisa dibagi dalam tiga cakupan,

yakni perjuangannya dalam membangkitkan rasa kebangsaan, perubahan sosial

keagamaan, serta dalam ranah jurnalistik.

Perjuangan K.H. Mas Mansur dalam membangkitkan kesadaran

kebangsaan tampak sejak ia aktif dalam SI, dan kemudian membentuk

Taswirul Afkar dan Madrasah Nahdlatul Wathan. Dalam lembaga yang disebut
19

terakhir, ia berperan banyak dalam menebarkan benih-benih nasionalisme di

kalangan kaum muda Islam serta anak didiknya yang kelak akan meneruskan

perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan. Nahdlatul Wathan yang dalam

bahasa Indonesia berarti “ Kebangkitan Tanah Air” memberi kesan betapa

kuatnya semangat cinta tanah air dan kebangsaan kaum santri itu. K.H. Mas

Mansur sewaktu masih samasama memimpin madrasah itu bersama K.H.

Wahab Hasbullah bahkan sempat juga menggubah sebuah sajak bertema

patriotisme dalam bahasa Arab.56

Sajak Nahdlatul Wathan ini juga kemudian digubah ke dalam sebuah

lagu dan merupakan lagu wajib bagi para murid sebelum memulai kegiatan

belajarnya. Gubahan ini terus berkumandang di berbagai pelosok dengan

berbagai variasi nada menggugah semangat kebangsaan kalangan santri.

Hingga tahun 1940-an para santri pesantren Tebu Ireng Jombang, masih sering

menyanyikannya sebelum mengawali pelajaran dengan sikap berdiri, seperti

menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.57

Dalam bidang sosial keagamaan, pertemuan K.H. Mas Mansur

beberapa kali dengan K.H. Ahmad Dahlan memberikan pengaruh yang besar

dalam pemikirannya di bidang keagamaan, K.H. Ahmad Dahlan saat itu

memberikan pencerahan dan kesadaran dalam dirinya tentang perlunya suatu

metode pendekatan dalam upaya membina suatu masyarakat yang sesuai

dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Metode yang dianjurkan K.H. Ahmad

Dahlan adalah melakukan pengkajian dan pengamalan isi Al Quran dengan

menggunakan otak dan mata hati hingga tersingkap rahasia alam yang memang
20

diciptakan Tuhan untuk semua mahluknya, termasuk manusia.58 “Kita hidup di

dunia, maka dari itu kita harus tahu pula akan apa-apa yang terjadi di sekeliling

tempat kita hidup itu”, kata K.H. Ahmad Dahlan. 59 Pengaruh dari pemikiran

K.H. Ahmad Dahlan ini yang kemudian semakin mempertebal keyakinan dan

semangatnya dalam memurnikan ajaran Islam dan memajukan bangsa-

bangsanya dengan melakukan perubahan di bidang sosial keagamaan.

K.H. Mas Mansur juga tertarik dalam bidang jurnalistik yang

dimanfaatkannya sebagai alat untuk menyebarluaskan berbagai gagasan dan

pemikirannya kepada masyarakat di dalam upaya mewujudkan cita-citanya.

Media komunikasi pertama yang diterbitkan K.H. Mas Mansur adalah Le

Jinem, pada tahun 1920 di Surabaya. Kemudian ia menerbitkan Suara Santri

(1921)60, serta Jurnal Etude dan prietair, semua majalah itu membawakan suara

kaum santri Surabaya.

Le Jinem maupun Suara Santri dijadikan K.H. Mas Mansur sebagai

tempat untuk menumpahkan segenap isi hati dan cita-citanya berkenaan

dengan perbaikan nasib umat dan bangsa. Bahasanya yang singkat padat dan

mudah dipahami membuat ia mempunyai reputasi yang tinggi dalam bidang

jurnalistik. Ia sempat menjadi redaktur dalam majalah Kawan Kita Yang Tulus

di Surabaya, ia juga sempat menjadi pemimpin umum Suara Muslimin

Indonesia saat Masyumi terbentuk pada akhir 1943.61

K.H. Mas Mansur selain menerbitkan dan memimpin media sendiri, ia

aktif pula menulis di berbagai media lain, seperti Hindia Timur, dan menjadi

penyumbang tulisan untuk majalah-majalah siaran dan Kentongan (Surabaya),


21

Penganjur dan Islam Bergerak (Yogyakarta), Panji Islam dan Pedoman

Masyarakat (Medan), Adil (Surakarta), dan Suara MIAI (Jakarta).62


22

BAB IV

PERAN KH. MAS MANSYUR DALAM MUHAMMADIYAH

HINGGA TAHUN 1945

A. Kiprah K.H. Mas Mansur dalam Muhammadiyah

Pada 1 November 1921, pengikut Ahmad Dahlan bersama-sama dengan

pengikut Mas Mansur serta pengikut Pakih Hasyim mendirikan cabang

Muhammadiyah di Surabaya. Sebagai ketuanya adalah K.H. Mas Mansur,

ketiga tokoh tersebut kemudian tercatat sebagai pembaharu yang banyak

berhasil di Jawa Timur.3

Masuknya K.H. Mas Mansur dalam Muhammadiyah merupakan

kebanggan tersendiri bagi Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan mengatakan kepada

awan-kawannya di Yogyakarta: “nah kini telah kita pegang sapu kawat dari

Jawa Timur”. Ungkapan itu memberi suatu pengertian bahwa K.H. Mas

Mansur adalah seorang tokoh yang selalu sukses dalam usaha pemurnian ajaran

Islam.4

Aktifitas K.H. Mas Mansur dalam Muhammadiyah membawa angin

segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi

pembaharu. Tangga-tangga yang dilalui K.H. Mas Mansur selalu dilalui

dengan mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya yakni setelah

menjadi ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul5

Muhammadiyah wilayah Jawa Timur.6 Puncak dari tangga tersebut adalah

22
23

ketika K.H. Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada

tahun 1937-1943.

K.H. Hisyam sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah sebelum

K.H. Mas Mansur telah berhasil membawa Muhammadiyah meraih sukses di

bidang pendidikan dan sosial. sekolah Muhammadiyah berkembang pesat dan

mendapat subsidi dari pemerintah. Adanya subsidi itu sedikit banyak

menghantarkan sekolah Muhammadiyah lebih maju, karena di samping

mendapat keuangan dan alat-alat mutunya pun disamakan dengan sekolah

Gubernemen.7

Pergolakan itu terjadi menjelang kongres (Muktamar) Muhammadiyah

ke 26. Proses menuju kongres sampai berlangsungnya kongres berjalan agak

berbelit-belit, meskipun pada akhirnya kongres berhasil memutuskan bahwa

K.H. Mas Mansur sebagai Ketua Pengurus Besar. Pada kongres-kongres

selanjutnya K.H. Mas Mansur selalu terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar

Muhammadiyah sampai pada tahun 1943, ketika Mas Mansur menjadi salah

seorang dari empat serangkai jabatan Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah

diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusuma.12

K.H. Mas Mansur sebagai orang yang terpilih menjadi Ketua Pengurus

Besar Muhammadiyah, maka ia harus pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta

K.H. Mas Mansur kemudian bertempat tinggal di Mualimin, di sana ia diangkat

sebagai direktur sekaligus sebagai ketua asrama. K.H. Mas Mansur juga

bertindak sebagai guru di Mualimin, ia mengajar Tauhid, apabila sedang tidak

mengajar, maka K.H. Mas Mansur pergi ke kantor Muhammadiyah.13


24

Kepindahan K.H. Mas Mansur dari Surabaya ke Yogyakarta merupakan

suatu pengorbanan yang sangat besar. Pengorbanan yang muncul dari orang

yang benar-benar menyerahkan segenap jiwa raga demi kelangsungan dan

kemajuan Muhammadiyah. Ia tidak memperhitungkan di tempat mana ia harus

tinggal dan mendapatkan nafkah dari mana. Semuanya itu bukan menjadi

pertimbangan yang penting karena ia yakin bahwa ia berkorban di jalan Allah

dan Allah pun tidak akan mensia-siakan pengorbanan hamba-Nya.

Sebagai langkah awal untuk menentukan strategi kepemimpinannya ia

mencetuskan 12 langkah yang kemudian terkenal dengan 12 langkah

Muhammadiyah. Jauh sebelum ini ia pernah mengusulkan agar

Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih. Usul pembentukan Majlis Tarjih

dikemukakan ketika ia masih menjabat sebagai konsul wilayah Jawa Timur.

Usul itu ia lontarkan ketika Muktamar Muhammadiyah ke 16 di Pekalongan

pada tahun 1927.14 Alasan yang ia kemukakan adalah keberadaan ulama dalam

Muhammadiyah mutlak diperlukan untuk mengawasi jalannya organisasi, agar

dalam langkah perjuangannya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena

banyak pengaruh yang melingkupinya.15

Kepemimpinan dan kebijaksanaan K.H. Mas Mansur telah meletakkan

tradisi baru dalam Muhammadiyah. Disatu sisi Muhammadiyah mengadakan

penajaman wawasan perjuangan kemasyarakatan dan di sisi lain

Muhammadiyah menetapkan landasan perjuangan politik. Secara organisatoris

Muhammadiyah semakin teratur baik mengenai mekanisme organisasi,

perkembangan fungsi majlis atau bagian maupun kegiatan rutin organisasi.


25

Gejala itu memungkinkan Muhammadiyah mempertajam pembagian kerja dan

membentuk budaya birokrasi.21

Muhammadiyah juga telah menetapkan untuk tidak akan terjun dalam

politik praktis, akan tetapi pengurus dan anggota Muhammadiyah

diperbolehkan berkecimpung di dalamnya. Keputusan itu memberi angin segar

bagi kalangan Muhammadiyah, sehingga banyak warga Muhammadiyah duduk

dalam kepengurusan baik MIAI maupun Masyumi.22

Pada masa Mas Mansur Muhammadiyah terus berkembang samapai

tahun 1942. Tersebarnya Muhammadiyah banyak didukung oleh pegawai

negeri, priyayi kraton, pengusaha menengah, penghulu, serta dari kalangan

intelektual. Kalau dilihat dari para pendukungnya, mereka adalah orang-orang

yang terbuka dalam menerima informasi baru yang mampu menghadirkan

perubahan sikap tertentu, sehingga mulai bersikap inkongruen terhadap

kemapanan.25

B. Dua Belas Langkah Muhammadiyah

Ketika K.H. Mas Mansur menjabat sebagai ketua Pengurus Besar

Muhammadiyah, ia segera berfikir untuk menyusun langkah kepemimpinannya

secara sungguh-sungguh dan mendasar, dengan demikian Muhammadiyah

berjalan dengan langkah yang benar dan pasti. Sebagai ketua Pengurus Besar

Muhammadiyah, K.H. Mas Mansur berusaha mengamati dan mengadakan

penelitian tentang keadaan Muhammadiyah baik berupa idealismenya maupun

organisasinya dan juga masyarakat Indonesia secara luas.


26

Dari hasil pengamatan dan penelitiannya itu, ia berhasil menyusun

langkah bagi kelangsungan Muhammadiyah. Hasil itu berupa kerangka

pedoman yang berisi 12 butir, sehingga kemudian terkenal dengan sebutan “12

langkah Muhammadiyah”.29

Proses terbentuknya 12 langkah Muhammadiyah bermula dari

pengajian yang disampaikan oleh K.H. Mas Mansur kepada pengurus dan

anggota Muhammadiyah. Pengajian itu bertempat di Gedung Muhammadiyah

yang berada di belakang Masjid Agung di Kauman Yogyakarta dan

dilaksanakan tiap senin malam.30

Fatwa yang diberikan K.H. Mas Mansur saat itu kemudian dibahas dan

didiskusikan oleh para pengurus Muhammadiyah, kemudian dibawa ke

Kongres ke 27 di Malang. Dalam Kongres itu fatwa K.H. Mas Mansur yang

sudah didiskusikan oleh pengurus Muhammadiyah disahkan dan dijadikan

sebagai pedoman berorganisasi.

Pengajian senin malam itu menurut sejarahnya ada sejak

Muhammadiyah berdiri dan sampai sekarang masih berjalan dengan lancar.

Landasan yang dirintis K.H. Mas Mansur untuk memperlancar perjuangan

Muhammadiyah yang berupa 12 langkah tersebut mendapat sambutan yang

meriah bagi warga perserikatan (Muhammadiyah), 12 langkah Muhammadiyah

itu adalah:

1. Memperdalam Masuknya Iman

Iman menurut bahasa Arab berarti percaya atau yakin. 32 Iman juga

berasal dari akar kata yang sama dengan perkataan “aman” yang berarti
27

kesejahteraan dan kesentosaan dan amanah yang berarti dapat dipercaya.

Jadi iman dapat menjadikan seseorang mempunyai keyakinan, merasa aman

dan dapat dipercaya. Secara istilah iman adalah keyakinan penuh yang

dibenarkan oleh hati, diucapkan oleh lisan dan diwujudkan dalam amal

perbuatan.

Keimanan akan memberikan cahaya cemerlang dalam diri seseorang.

Jika hati sudah disinari oleh cahaya keimanan, maka terbebaslah ia dari

godaan. Mahmud Syaltut berpendapat bahwa Islam itu terdiri dari dua dahan

utama, yaitu aqidah dan syariah. Aqidah dalam al Quran diistilahkan dengan

iman dan syariah sebagai amal saleh. Aqidah mempunyai kedudukan yang

sangat penting, bahkan sebagai pokok yang diatasnya dibangun

peraturanperaturan agama. Aqidahlah yang menstimulasi lahirnya syariah.

Syariah merupakan bentuk pelaksanaan akan adanya pengaruh syariah,

dengan demikian aqidah merupakan pondasi bagi bangunan amal saleh.34

2. Memperluas Faham Agama

Pemahaman terhadap agama harus selalu ditingkatkan, karena

permasalahan yang dihadapi selalu berubah dan bertambah kompleks karena

kebutuhan manusia semakin bervariasi. Pemahaman terhadap agama secara

cerdas dan kreatif sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahan

tersebut. Seperti contohnya permasalahan tentang bayi tabung yang pada

masa Rasulullah tidak dikenal begitu pula dengan eutanasia dan KB. Semua

itu merupakan contoh dari hasil ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Pihak

agama pun harus berbicara masalah tersebut karena tanpa keterlibatan


28

agama, agama pasti akan menjadi ditinggalkan, karena tidak mampu untuk

menjawab persoalan yang ada.

Agama Islam adalah agama yang bersifat universal,yang mampu

menjawab segala tantangan yang ada tanpa batas ruang dan waktu. Manusia

pun sudah dibekali akal pikiran agar selalu dikembangkan untuk memahami

dan menghayati ayat-ayat Al-Quran maupun ayat-ayat kauniyah. Agama

Islam tidak membelenggu umatnya, karena Islam selalu menghendaki

kemudahan.

K.H. Mas Mansur berpendapat bahwa orang yang telah mengerti

addin (agama), ad-dunya (dunia), ibadah, sabilillah dan qiyas, yang sering

disebut dengan masalah lima, maka orang itu benar-benar telah memahami

agama Islam. Kelima masalah tersebut sebenarnya merupakan satu

kesatuan, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya karena antara

yang satu dengan yang lainnya saling mencakup dan menjiwai.36

3. Memperbuahkan Budi Pekerti

Budi pekerti sering disebut akhlak yang berasal dari bahasa Arab

khuluqun menjadi akhlaqun yang berarti budi pekerti, perangai atau tabiat. 38

Pentingnya pembinaan akhlak bagi manusia terbukti dari pantulan

pesanpesan, baik yang berasal dari al Quran maupun hadits. Al Quran

merupakan kitab yang dipenuhi dengan wawasan dan dasar-dasar etika. Al

Quran tidak hanya didominasi oleh ajaran-ajaran teologis maupun legal-

formal, tetapi juga memuat tema-tema problem kemanusiaan, seperti:

Kemiskinan dan keterbelakangan. Budi pekerti itu harus diapliksikan dalam


29

kehidupan sehari-hari dalam bentuk riil. Ketinggian akhlak ditentukan

sejauh mana dapat menciptakan kemanfaatan bagi manusia.

4. Menuntun Amalan Intiqad

Intiqad berasal dari kata intiqada yang berarti mengeritik atau

mengoreksi, yang mempunyai bentuk masdar intiqadan yang berarti kritik

atau koreksi. Jadi menuntun amalan intiqad adalah berusaha dengan

sungguhsungguh untuk mengeritik atau mengoreksi perbuatan diri sendiri

atau orang lain dan berusaha untuk memperbaikinya.

Manusia itu biasa khilaf dan terlanjur melakukan perbuata dosa.

Kadangkala manusia tidak mempunyai daya untuk melawan nafsunya

sendiri. Mereka selalu berada dalam perjuangan dan tarikan antara kebaikan

dan kejahatan, dengan demikian bukan berarti manusia membiarkan dirinya

jatuh dalam kehinaan dan kehancuran.

Kewaspadaan terhadap diri sendiri dengan jalan mencari cela dan

cacat sendiri merupakan usaha yang sangat mulia dan dianjurkan oleh agam

untuk menjadikan diri menjadi makhluk yang sempurna. Usaha ini tidak

mudah, karena kecenderungan manusia sulit untuk mencari kelemahan

dirinya, akan tetapi mencari kelemahan orang lain itu merupakan pekerjaan

yang mudah.

Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan

hendaklah selalu ditingkatkan. Penjagaan diri secara ketat, maka dapatlah

diri dipertahankan untuk selalu berada pada status kesucian. Memelihara

kesucian diri hendaklah dimulai dari hati agar tidak membuat rencana untuk
30

anganangan yang buruk, karena hati merupakan pangkal dari segala

perbuatan.40

Seseorang dalam Islam di samping disuruh untuk memperbaiki

dirinya sendiri, ia juga diwajibkan untuk memperbaiki sesamanya agar

melakukan perbuatan baik. Memperbaiki orang lain bukan berarti mencari

cela-cela dan kesalahan orang lain, karena hal itu termasuk perbuatan

tercela.

5. Menguatkan Persatuan

Istilah persatuan di kalangan umat Islam sering disebut dengan

ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah Islamiyah memang tidak terdapat dalam al

Quran. Ukhuwah secara formal tidak akan terwujud, karena salah satu ciri

manusia adalah berbeda pendapat. Berbeda pendapat merupakan

karakteristik manusia. Perbedaan pendapat harus dihormati dan dihargai,

karena kebenaran mutlak adalah disisi Allah. Klaim terhadap kebenaran

individu tidak dibenarkan.

Perbedaan pendapat merupakan realisasi dari kemerdekaan berfikir.

Oleh karena itu hendaklah seseorang menerima kemajemukan yang ada dan

tumbuh dalam masyarakat dengan sikap sehat dalam rangka kemajemukan

itu sendiri. Salah satu contoh sikap sehat itu adalah menggunakan kelebihan

masing-masing untuk mewujudkan berbagai kebaikan dan menyerahkan

persoalan kepada Allah semata.42

Untuk mewujudkan Ukhuwah Islamiyah, menurut al Quran paling

sedikit ada dua hal yang harus dihindari. Pertama, jangan memperolok-olok
31

orang lain, karena siapa tahu yang dicemooh itu justru lebih baik dari kita.

Kedua ialah menjauhi prasangka dan jangan menjelek-jelekan orang lain

serta jangan mencari kesalahan orang lain.

6. Menegakkan Keadilan

Kitab suci Al Quran banyak menyebutkan masalah keadilan itu

dalam berbagai istilah, adakalanya menggunakan adl, qisth, dan wasth.

Kata-kata itu mengandung makna sikap tengah yang berkesinambungan dan

jujur.44

Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka menegakkan

keadilan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk masyarakat, yaitu :

a. Tenang dalam mengambil keputusan

b. Memperluas pandangan dan melihat permasalahan secara obyektif.

7. Melakukan Kebijaksanaan

Al Hikmah berasal dari kata al-ihkam yang berarti ketelitian dan

kekuatan di dalam ilmu, amal atau ucapan atau didalam ketiganya. 46 Hikmah

sering disebut kebijaksanaan. Hikmah merupakan puncak budi pekerti yang

luhur, karena hikmah adalah suatu anugerah Allah yang berupa kebaikan

yang sangat bernilai dan berharga. Allah telah menyatakan bahwa orang

yang telah diberi hikmah sebenarnya orang itu telah mendapat kebaikan

yang banyak.

Untuk meraih hikmah perlu mengembangkan dan meluaskan ilmu

agar rahasia yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Quran dan ayat-ayat kauniyah
32

dapat tersingkap. Di samping itu kebersihan dan kesucian hati merupakan

faktor yang sangat penting sebagai sarana untuk meraih hikmah.

8. Menguatkan Majelis Tanwir

Tanwir adalah permusyawaratan tertinggi dalam perserikatan

Muhammadiyah di bawah Muktamar.48 Tanwir ini dibentuk pada tahun

1939 dengan nama Majelis Tanwir dan pada masa sekarang terkenal dengan

istilah Sidang Tanwir.49 Sidang tanwir ini dilaksanakan untuk meninjau

kembali program kerja Muhammadiyah dan membahas permasalahan-

permasalahan yang timbul baik yang berasal dari luar dan dalam

Muhammadiyah untuk dicarikan jalan keluarnya.

Sidang ini sangat penting dalam perkembangan Muhammadiyah

untuk menghadapi dan mengantisipasi permasalahan yang akan timbul

akibat perubahan zaman. Oleh karena itu sidang tanwir harus lebih

diperkuat dan lebih difungsikan. Sidang Tanwir ini diadakan sekurang-

kurangnya satu tahun sekali oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang

anggota-anggotanya terdiri dari:

a. Anggota pimpinan pusat

b. Ketua pimpinan wilayah

c. Wakil Wilayah

d. Wakil pimpinan organisasi otonom tingkat pusat

9. Mengadakan Konperensi Bagian

Menurut Nurkholis Majid Muhammadiyah adalah organisasi Islam

“modern” terbesar di dunia.51 Amal usahanya tersebar di seluruh Indonesia


33

mulai dari bidang pendidikan dengan gedung-gedung sekolahnya, bidang

sosial dengan rumah sakitnya, panti asuhan, bidang agama dengan bangunan

masjid, mushala dan madrasahnya serta kegiatan sosial lainnya.

Muhammadiyah adalah gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang

dibentuk untuk menyampaikan dan merealisasikan pesan-pesan Ilahi

dalamkehidupan manusia sehari-hari. Dalam akhir abad XX dan menjelang

abad XXI ilmu pengetahuan dan teknologi akan berkembang dengan pesat.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi akan membawa dua akibat

yaitu positif dan negatif. Permasalahan manusia pun bertambah kompleks.

Muhammadiyah pun dituntut berkiprah lebih giat dan lincah dalam

menghadapi kemajuan jaman. Oleh karena itu perlu adanya strategi bagi

Muhammadiyah dalam merealisasikan gerak perjuangannya di era

modernisasi ini. Strategi yang digunakan oleh Muhammadiyah yaitu dengan

jalan membentuk majlis-majlis, lembaga-lembaga, dan badan-badan oleh

Muhammadiyah untuk:

a. Untuk mengkoordinasi, menggerakkan dan mengembangkan segala amal

usaha Muhammadiyah yang sudah tersebar ke sluruh Indonesia.

b. Untuk menjawab dan mengantisipasi perkembangan zaman. Tradisi

berfikir secara kritis dan dialogis sangat dibutuhkan untuk menggali ruh

dan api yang terkandung dalam Al-Quran maupun Hadits.

10. Mempermusyawarhkan Putusan

Musyawarah berasal dari kata syawara yang berarti berunding,

bermufakat. Kemudian mendapat bentuk syura yang berarti perundingan. 53


34

Musyawarah sendiri menurut istilanya berarti usaha yang dilakukan oleh

dua orang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran untuksuatu urusan agar

menghasilkan ketepatan dan menghindari kekeliruan.54 Manusia adalah jenis

mahluk yang terbatas. Mereka hanya memiliki pengetahuan yang sedikit,

disamping itu tingkat kecerdasan manusia berbeda dan mereka juga tidak

mengetahui kebenaran secara mutlak oleh karena itu agar kesalahan dapat

ditekan sesedikit mungkin, maka perlu adanya musyawarah.

11. Mengawaskan Gerakan Dalam

Ada tiga babakan waktu yang selalu ditempuh oleh suatu gerakan

yaitu masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, dengan

berpegang pada masa lalu Muhammadiyah tidak akan kehiangan

identitasnya. Gerak, arah, dan tujuan perjuangannya akan mempunyai

pedoman yang kuat. Masa sekarang adalah masa yang sedang kita hadapai

bersama, merupakan masa di mana Muhammadiyah melaksanakan

program-programnya. Masa yang akan datang adalah tempat meletakkan

harapan-harapan dan cita-cita Muhammadiyah.56

Untuk mengembangkan sayapnya Muhammadiyah harus selalu

mawas diri, menjadikan masa lalu sebagai cermin untuk melangkah menuju

terwujudnya tujuan Muhammadiyah dan memperbaiki cela dan kekurangan

yang terdapat dalam tubuh Muhammadiyah, sehingga gerak

Muhammadiyah akan selalu terkontrol dan terawasi, kesalahan dan

keteledoran tidak akan berjalan berlarut-larut.


35

Pemimpin memegang peranan penting bagi maju mundurnya suatu

gerakan, dalam organisasi unsur pimpinan sangat dominan. Kreatifitas dan

Saleh Said, K.H. Mas Mansur; Membuka dan Menutup Sejarahnya, aktifnya

pemimpin akan menjadi roda penggerak bagi bawahannya, demikian juga

bekunya pemimpin akan menjalar pula pada anggota-anggotanya.

Saling tegur sapa baik melalui sikap, perbuatan, maupun pikiran

sangat penting untuk memajukan gerakan (Muhammadiyah). Oleh karena

itu saling mengoreksi, memahami, dan menghormati antar pemimpin akan

menghantarkan tegak dan kokohnya suatu gerakan.

12. Mempersambungkan Gerakan Luar

Agama Islam adalah agama universal, tidak memandang ras, suku

dan bangsa, Islam untuk semua manusia. Oleh karena itu Islam tidak hanya

mementingkan hubungan vertikal semata, yaitu hubungan manusia dengan

Allah semata, tetapi juga hubungan horisontal, yaitu hubungan sesama

manusia juga banyak mendapat perhatian dalam Islam.

Islam dalam beberapa hal memberi peluang kepada umatnya untuk

berbeda pendapat, meskipun bersamaan dengan hal itu, Islam sangat

menjaga persamaan untuk beberapa masalah yakni dalam hal akidah. Islam

memberi peluang berbeda pendapat misalnya mengenai khilafiyah. Suatu

hal yang sangat penting adalah berbeda pendapat hendaknya jangan sampai

merusak persaudaraan di antara umat Islam.

Agama Islam adalah agama universal, tidak memandang ras, suku

dan bangsa, Islam untuk semua manusia. Oleh karena itu Islam tidak hanya
36

mementingkan hubungan vertikal semata, yaitu hubungan manusia dengan

Allah semata, tetapi juga hubungan horisontal, yaitu hubungan sesama

manusia juga banyak mendapat perhatian dalam Islam.

Islam dalam beberapa hal memberi peluang kepada umatnya untuk

berbeda pendapat, meskipun bersamaan dengan hal itu, Islam sangat

menjaga persamaan untuk beberapa masalah yakni dalam hal akidah. Islam

memberi peluang berbeda pendapat misalnya mengenai khilafiyah. Suatu

hal yang sangat penting adalah berbeda pendapat hendaknya jangan sampai

merusak persaudaraan di antara umat Islam.

Maksud dari dicetuskannya 12 langkah Muhammadiyah yaitu sebagai

garis kebijakan yang harus dilalui oleh setiap gerak dan amal usaha

Muhammadiyah untuk memperpendek jalan untuk menuju tujuan

Muhammadiyah dengan mengingat kemaslahatan sebagai organisasi

penggerak58. Inti dari 12 langkah Muhammadiyah adalah amar ma’ruf nahi

munkar, sedangkan organisasi Muhammadiyah adalah sebagai wadah untuk

merealisasikan dakwahnya.
37

BAB V

KESIMPULAN

K.H. Mas Mansur dilahirkan pada penghujung abad ke XIX dalam suasana

politik kolonial yang lebih persuasif. Secara genealogis ia masih mempunyai

hubungan darah dengan keluarga-keluarga keraton Sumenep, Madura, dan

Cirebon. Selain adanya hubungan darah para bangsawan dalam darah Mas Mansur

juga mengalir darah santri yang cukup disegani di Surabaya dan sekitarnya.

K.H. Mas Mansur adalah anak bangsa yang mampu tampil mengibarkan

bendera Islam dan Indonesia dari kemelut kekolotan dan keterbelakangan akibat

penjajahan dan tradisi yang melekat pada rakyat Indonesia. Sejak kecil ia

menempa dirinya dengan belajar ke Pesantren dan ke luar negeri (Mekkah dan

Mesir). Usahanya pun tidak sia-sia, dalam usia yang relatif muda yakni 19 tahun

ia pulang dari luar negeri dengan membawa bekal ilmu yang luas dan dalam.

Setelah tiba di tanah air, ia menerjunkan diri di berbagai organisasi, baik

dalam bidang sosial keagamaan maupun politik. Dalam bidang keagamaan, Mas

Mansur merupakan tokoh penting dalam perkembangan umat Islam di Surabaya.

Mas Mansur bersama Wahab Chasbullah dan H.O.S. Tjokroaminoto sering

membuat kelompok diskusi yang membahas tentang kehidupan sosial beragama.

Dalam dunia politik, Mas Mansur ikut membidani lahirnya Majelis Islam

A’la Indonesia (MIAI). Mas Mansur juga aktif menghimpun massa dengan

mengajak orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal MIAI menjadi tertarik

dan turut serta menjadi anggota MIAI. MIAI kemudian melebur dalam GAPI pada

37
38

tahun 1939. Selain MIAI Mas Mansur juga aktif pula dalam PII, sebuah organisasi

yang coraknya lebih berpolitik daripada MIAI, masuknya Mas Mansur dalam

dunia politik ini sebagai langkah pembaharu ulama yang sebelumnya seakan-akan

tabu untuk masuk dunia politik.

Bekal ilmu dari pesantren dan luar negeri ditambah dengan pengalaman

berorganisasi, ia dapat memimpin Muhammadiyah dengan pemikiran yang segar

dan kreatif. Awal pertemuannya dengan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri

Muhammadiyah menghantarkan Mas Mansur ikut serta dalam Muhammadiyah.

Kekaguman Mas Mansur pada Ahmad Dahlan atas keluhuran budi bahasanya,

keuletan dan kesabarannya dalam menafsirkan ayat Al Quran dengan melihat isi

teks yang ada dalam Al Quran kemudian dihadapkan pada realitas sosial yang ada

menggugah hatinya untuk aktif dalam Muhammadiyah. Karir Mas Mansur dalam

Muhammadiyah berjalan seperti tanpa hambatan, bermula dari Ketua Cabang

Muhammadiyah Surabaya, Konsul Wilayah Jawa Timur dan puncaknya adalah

sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah.

Salah satu pemikiran Mas Mansur yang masih relevan dengan masa

sekarang adalah 12 langkah Muhammadiyah. Langkah ini dicetuskan Mas Mansur

saat menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Hal ini dilakukan

sebagai jawaban dan antisipasi terhadap kondisi Muhammadiyah dan juga bangsa

Indonesia yang masih berada dalam keterbelakangan.

DAFTAR PUSTAKA
39

Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1960 dari

Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia kepada

K.H. Mas Mansur

Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.162 tahun 1964 tentang

pengangkatan K.H. Mas Mansur menjadi pahlawan Nasional

Surat Ketetapan dan Instruksi Consul Hoofdbestur Muhammadiyah untuk K.H.

Mas Mansur yang diterbitkan oleh Hoofdbestur Muhammadiyah di

Yogyakarta, 17 Maret 1935

Abdul Halim, Sejarah Perjuangan K.H. Abdul Wahab Chasbullah, Bandung:

Baru, 1970.

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah:

Dalam Perspektif Perubahan Sosial, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman: Seputar Filsafat,

Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan, 1993.

Amelz, H.O.S Tjokroaminoto; Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang,

1952.

Amir Hamzah Wiryosukarto, ed, Kyai Haji Mas Mansur Kumpulan Karangan

Tersebar, Jakarta: Persatuan, 1992.

A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia dan Modern Islamic

Thought in Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1969.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985.


40

Benda, Harry J, “The Crescent and the Rising Sun, Indonesian Islam under the

Japanese Occupation, 1942-1945”, terj. Daniel Dhakidae, Bulan Sabit dan

Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta:

Pustaka Jaya, 1980.

Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Surabaya: Bisma Satu,

1999.

Darul Aqsha, K.H. Mas Mansur (1896-1946) Perjuangan dan Pemikirannya,

Jakarta: Erlangga, 2005.

Darwin Harsono, Dirasah Islamiyah II Bidang Tauhid, Yogyakarta: UII Press,

1994.92

Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik I, Jakarta: Rajawali, 1983.

_______, “The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942”, terj.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES,

1996.

Departemen Penerangan RI, Makin Lama, Makin Tjinta; Muhammadiyah

Setengah Abad 1912-1962, Jakarta, 1963.

Djarnawi Hadikusumo, Matahari-Matahari Muhammadiyah: Dari K.H.A. Dahlan

Sampai Dengan K.H. Mas Mansur, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah,

2010.

Gottschalk, Louis, “Understanding History: A Primer of Historical Method”, terj.

Nugroho Notosusanto, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1986.

Haedar Nashir, ed., Dialog Pemikiran Islam Dalam Muhammadiyah, Yogyakarta:

BPK PP Muhammadiyah, 1992.


41

Hamzah Ya‟qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlakul Karimah: Suatu Pengantar,

Bandung: Diponegoro, 1985.

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta:

Gunung Mulia, 2005.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Budaya, 1999.

Margono Puspo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah, Yogyakarta:

Persatuan, 1986.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia Jilid V, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.

Mas Mansur, Tafsir Langkah Muhammadiyah, Yogyakarta: H.B. Muhammadiyah

Madjlis Taman Pustaka, 1939.

M. Masyhur Amin, Haji Umar Said Cokroaminoto dan Kebangunan Islam di

Indonesia, Yogyakarta: Kelompok Study Batas Kota, 1978.

M.T. Arifin, Muhammadiyah: Potret yang Berubah, Surakarta: Institut

Gelanggang Pemikiran Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan, 1990.

Mustafa Kemal Pasha dan A. Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan

Islam, Yogyakarta: Citra Kasa Mandiri, 2005.

M. Yunus Anis dkk, Kenalilah Pemimpin Anda (Yogyakarta: PP Muhamadiyah

Majelis Pustaka, [t.t.]

Nasution, Abdul Muluk, Pemberontakan Sarikat Rakyat Silungkang Sumatera

Barat 1926-1927, Jakarta: Mutiara, 1981.93

Nasution, M. Yunan, Keadilan dan Musyawarah, Semarang: Ramadhani, [t.t.]

Noerhadi Soedarno, POETERA (Pusat Tenaga Rakyat), Jakarta: Tintamas, 1982.


42

Nugroho Notosusanto, Norma-Norma Dasar Pemikiran dan Penulisan Sejarah,

Jakarta: Dephankam, 1971.

_______, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Idayu, 1978.

_______, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah, Jakarta: Mega Book Store, 1984.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

PP Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga

Muhammadiyah, Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1990.

Pringgodigdo, A.K, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat,

1984.

Rosihan Anwar, Pergerakan Islam dan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kartika

Tama, 1971.

Saifudin Zuhri, Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU,

Yogyakarta: Pustaka Falaakhiiyyah, 1983.

Saleh Said, Kiyai Mas Mansur, Membuka dan Menutup Sejarahnya, Surabaya:

Budi, [t.t.]

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,

Jakarta: Gramedia, 1982.

_______, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1992.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendy, Metode Penelitian Survai, Jakarta:

LP3ES, 1982.

Soebagijo I.N., K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia, Jakarta: Gunung

Agung, 1982.
43

Sujarwanto, d.k.k., ed., Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan: Sebuah

Dialog Intelektual, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.

Surachmad Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Tehnik,

Bandung: Tarsito, 1989.

Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Un-Muh Malang,

Muhammadiyah Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Yogyakarta: Tiara

Wacana dan Unmuh Malang Press, 1990.94

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

Jakarta: LP3ES, 1982.

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

Abdul Salam, “Sejarah dan Dinamika Sosial Fiqih Reformis dan Fiqih

Tradisionalis di Indonesia”, Islamica, Vol. 4, No. 1, September 2009.

Husain Haikal, “Meniti Jejantas Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular (Sekilas

Biografi Mas Mansur 1896-1946)”. Jebat, No. 20, 1992.

_______, “Dinamika Muhammadiyah Menuju Indonesia Baru”. Jurnal Pendidikan

dan Kebudayaan, No. 025, Tahun Ke-6, September 2000.

Imron Rosyadi, “Pola Penetapan Fatwa Menurut Majlis Tarjih Muhammadiyah”,

Tajdida, Vol. 8, No. 2, Desember 2010.

Sugiyanto Padmo, “Gerakan Pembaharuan Islam Indonesia dari Masa ke Masa”.

Humaniora, Vol. 19, No. 2, Juni 2007.

Anda mungkin juga menyukai