Mas Mansur lahir pada hari Kamis Tanggal 25 Juni l896 di Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas
Ahmad Marzuqi, seorang pemikir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Ibunya
bernama Raudhah dari keluarga Pesantren Wonokromo. Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada
ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, lalu Pondok Pesantren Demangan,
Bangkalan, Madura.
Pada tahun 1908, beliau berangkat menunaikan ibadah haji dan belajar ke Mekkah. Setelah kurang lebih
empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Di Mesir, Mas Mansur
belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun serta
menumbuhkan semangat nasionalisme dan pembaharuan. Mas Mansur memanfaatkan kondisi ini dengan
membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato politik. Sebelum pulang ke
tanah air, terlebih dulu ia singgah kembali ke Mekah selama satu tahun dan pada tahun 1915 tiba di Indonesia.
Beliau kemudian bergabung dalam Serikat Islam. Pada saat itu, SI dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto,
dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasihat Pengurus Besar
SI. Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama
Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Mas Mansur lalu aktif di bidang jurnalisme dengan menulis dan
menerbitkan majalah, antara lain ‘Suara Santri’. Pada tahun 1921, beliau masuk Muhammadiyah. Karena
kemampuannya, beliau ditetapkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937.
Masa kepemimpinannya ditandai dengan disiplin organisasi yang ketat dan kebijaksanaan baru yang
disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada dua belas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur juga
banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik umat Islam saat itu. Beliau juga memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang
berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). Mas Mansur juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)
bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII).
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan dan terkenal dengan sebutan Empat Serangkai, yaitu Sukarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur yang ditunjuk Jepang memimpin organisasi Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA) bentukan Jepang. Keterlibatan dalam Empat Serangkai mengharuskan beliau pindah ke Jakarta,
sehingga jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun, kekejaman
Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan sehingga memutuskan untuk
mundur dan kembali ke Surabaya. Kedudukannya dalam Empat Serangkai digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo. Saat pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dan sakit. Namun, beliau tetap
ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan tentara Belanda (NICA). Akhirnya,
ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal
25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya.
Biografi Singkat (1869-1923) KH. Ahmad Dahlan
K.H. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai
Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib tetap Masjid Agung
Yogyakarta. Sedangkan adalah putri dari Penghulu Besar di Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman,
Yogyakarta, tahun 1869. Sebelum ia mendapat gelar dan nama K.H. Ahmad Dahlan, nama yang diberikan
orangtuanya adalah Muhammad Darwis. Nama K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai
menunaikan ibadah haji.
Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini, didirikan
pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tadjin
(reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab di Arab Saudi,
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir dan lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan
nyata yang dilakukannya adalah memperbaiki arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi kemudian dengan
mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari
Langgar Kidul milik K.H. Ahmad Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.
Semenjak didirikan, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan. Selain giat memberikan
pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, ia juga mendirikan berbagai sekolah. Gerakan membangun pendidikan
itu terus berkembang hingga saat ini.
Dalam perjuangannya ini, K.H Dahlan jatuh sakit, dan pada Jumat malam, 7 Rajab tahun 134 Hijriah, ia
menghembuskan napas terakhirnya di hadapan keluarganya. Kemudian ia dimakamkan di makam milik
keluarganya di Karangkajen, Yogyakarta.
Dari semua keterangan yang Adi Nugraha tulis dalam buku ini, sudah mewakili biografi singkat K.H.
Ahmad Dahlan. Tetapi, jika dibaca dengan saksama, ada kesalahan ketik yang menurut saya cukup fatal. Tahun
kelahiran K.H. Ahmad Dahlan ada yang tertulis 1968, ada juga yang tertulis 1969. Di bab 1, penulis banyak
menceritakan silsilah tata ruang di Kauman. Padahal judul di bab 1 adalah Biografi K.H. Ahmad Dahlan.
Bukankah seharusnya penulis banyak menceritakan tentang sosok K.H. Ahmad Dahlan, sejak lahir, masa
kanak-kanak, masa remaja, sampai dia mengutuskan mendirikan Muhammadiyah? Kemudian, penulis juga
banyak menulis kata-kata yang tidak biasa dan tidak menuliskan artinya. Dengan begitu pesan yang
disampaikan ke pembaca kurang kena. Bertolak dari sini, sebagai buku biografi, buku ini sudah cukup memberi
gambaran tentang K.H.Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah.