Anda di halaman 1dari 4

KH Ahmad Badawi (Ketua 1962 - 1965)

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini


lahir di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra
ke-4. Ayahnya, K.H. Muhammad Fakih (salah satu Pengurus
Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai Komisaris), sedangkan ibunya
bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika
dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad Badawi memiliki garis
keturunan dengan Panembahan Senopati.
Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanamkan nilai-nilai agama.
Hal ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya.
Diantara saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang
berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari
masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih
belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok
belajar/organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia kanak-kanaknya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri.
Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab
Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di
Pondok Pesantren Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa Arab
(nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Pada tahun 1915-1920 Ahmad Badawi mondok
di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan
Pesantren Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Pendidikan formalnya hanya didapatkan di Madrasah
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta, yang belakangan berubah
menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi SD Muhammadiyah.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja membuatnya harus
pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang
anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial
Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi organisasinya.
Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya dari berbagai
pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini
dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya
di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada
tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada
nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut beroperasi di
Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi
Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah
Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di Yogyakarta. Di partai
ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk
bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui kegiatan
dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan
Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian
digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk
memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi
selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta,
Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar
Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-
1968.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah
dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah
(huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa
Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams (bahasa
Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf
Anis, tt: 27).
KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
Biografi K.H Mas Mansur

Mas Mansur lahir pada hari Kamis Tanggal 25 Juni l896 di Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas
Ahmad Marzuqi, seorang pemikir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Ibunya
bernama Raudhah dari keluarga Pesantren Wonokromo. Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada
ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, lalu Pondok Pesantren Demangan,
Bangkalan, Madura.

Pada tahun 1908, beliau berangkat menunaikan ibadah haji dan belajar ke Mekkah. Setelah kurang lebih
empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Di Mesir, Mas Mansur
belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar. Suasana Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun serta
menumbuhkan semangat nasionalisme dan pembaharuan. Mas Mansur memanfaatkan kondisi ini dengan
membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato politik. Sebelum pulang ke
tanah air, terlebih dulu ia singgah kembali ke Mekah selama satu tahun dan pada tahun 1915 tiba di Indonesia.

Beliau kemudian bergabung dalam Serikat Islam. Pada saat itu, SI dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto,
dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasihat Pengurus Besar
SI. Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama
Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Mas Mansur lalu aktif di bidang jurnalisme dengan menulis dan
menerbitkan majalah, antara lain ‘Suara Santri’. Pada tahun 1921, beliau masuk Muhammadiyah. Karena
kemampuannya, beliau ditetapkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937.

Masa kepemimpinannya ditandai dengan disiplin organisasi yang ketat dan kebijaksanaan baru yang
disebut Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada dua belas langkah yang dicanangkan. Mas Mansur juga
banyak membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik umat Islam saat itu. Beliau juga memprakarsai
berdirinya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah yang
berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). Mas Mansur juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)
bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII).

Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansur termasuk salah seorang dari empat orang tokoh
nasional yang sangat diperhitungkan dan terkenal dengan sebutan Empat Serangkai, yaitu Sukarno, Mohammad
Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansur yang ditunjuk Jepang memimpin organisasi Pusat Tenaga Rakyat
(PUTERA) bentukan Jepang. Keterlibatan dalam Empat Serangkai mengharuskan beliau pindah ke Jakarta,
sehingga jabatan ketua PB Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagus Hadikusumo. Namun, kekejaman
Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan sehingga memutuskan untuk
mundur dan kembali ke Surabaya. Kedudukannya dalam Empat Serangkai digantikan oleh Ki Bagus
Hadikusumo. Saat pecah perang kemerdekaan, Mas Mansur belum sembuh benar dan sakit. Namun, beliau tetap
ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan tentara Belanda (NICA). Akhirnya,
ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Surabaya. Mas Mansur meninggal di tahanan pada tanggal
25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya.
Biografi Singkat (1869-1923) KH. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai
Sulaiman dan Siti Aminah binti almarhum K.H. Ibrahim. Ayahnya seorang khatib tetap Masjid Agung
Yogyakarta. Sedangkan adalah putri dari Penghulu Besar di Yogyakarta. K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman,
Yogyakarta, tahun 1869. Sebelum ia mendapat gelar dan nama K.H. Ahmad Dahlan, nama yang diberikan
orangtuanya adalah Muhammad Darwis. Nama K.H. Ahmad Dahlan, ia peroleh dari para Kiai setelah ia selesai
menunaikan ibadah haji.

Setelah ia kembali ke Kauman, ia berniat ingin mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Alasannya,


karena ia merasa resah melihat keadaan umat Islam waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan
amalan-amalan yang bersifat mistik. Dari kondisi inilah hatinya tergerak untuk mengajak mereka kembali
kepada ajaran Islam yang sebenarnya menurut ajaran dari Al Quran dan Hadis.

Tekadnya ini, ia amalkan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini, didirikan
pada 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh gerakan tadjin
(reformasi, pembaruan pemikiran Islam) yang digelorakan oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab di Arab Saudi,
Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha di Mesir dan lain-lain. Bertolak dari sini, salah satu tindakan
nyata yang dilakukannya adalah memperbaiki arah kiblat, yang awalnya lurus ke barat, tapi kemudian dengan
mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari
Langgar Kidul milik K.H. Ahmad Dahlan. Caranya dengan membuat garis shaf.

Semenjak didirikan, Muhammadiyah banyak bergerak di bidang pendidikan. Selain giat memberikan
pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, ia juga mendirikan berbagai sekolah. Gerakan membangun pendidikan
itu terus berkembang hingga saat ini.

Dalam perjuangannya ini, K.H Dahlan jatuh sakit, dan pada Jumat malam, 7 Rajab tahun 134 Hijriah, ia
menghembuskan napas terakhirnya di hadapan keluarganya. Kemudian ia dimakamkan di makam milik
keluarganya di Karangkajen, Yogyakarta.

Dari semua keterangan yang Adi Nugraha tulis dalam buku ini, sudah mewakili biografi singkat K.H.
Ahmad Dahlan. Tetapi, jika dibaca dengan saksama, ada kesalahan ketik yang menurut saya cukup fatal. Tahun
kelahiran K.H. Ahmad Dahlan ada yang tertulis 1968, ada juga yang tertulis 1969. Di bab 1, penulis banyak
menceritakan silsilah tata ruang di Kauman. Padahal judul di bab 1 adalah Biografi K.H. Ahmad Dahlan.
Bukankah seharusnya penulis banyak menceritakan tentang sosok K.H. Ahmad Dahlan, sejak lahir, masa
kanak-kanak, masa remaja, sampai dia mengutuskan mendirikan Muhammadiyah? Kemudian, penulis juga
banyak menulis kata-kata yang tidak biasa dan tidak menuliskan artinya. Dengan begitu pesan yang
disampaikan ke pembaca kurang kena. Bertolak dari sini, sebagai buku biografi, buku ini sudah cukup memberi
gambaran tentang K.H.Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai