Anda di halaman 1dari 11

BIOGRAFI K.H.

THOLHAH MANSYUR

KH. Prof Mohammad Tolhah Mansoer (1930-1986), putra dari KH. Mansoer. Beliau lahir di
Malang pada tanggal 10 September 1930. Istri beliau bernama Umroh Mahfudzah, putri dari
KH. Wahab Chasbullah kemudian dikaruniai anak 3 laki-lali dan 4 perempuan. Beliau wafat
pada 20 Oktober 1986 setelah dirawat di Rumah Sakit Sarjito karena penyakit jantung.

Mengenai pendidikan beliau, beliau mengawali pendidikankanya di SR-NU pada tahun


1937, kemudian tahun 1945-1947 beliau lanjutkan ke SMP islam namun tidak sampai lulus.
1949 beliau melanjutkan pendidikannya di Taman Madya kemudian Taman Dewasa Raya
(setara SLTA) selesai pada tahun 1951. Talhah melanjutkan ke jenjang perkuliahan pada
tahun 1951 di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESP) Universitas Gadjah
Mada, namun beliau berhenti kuliah pada tahun 1953. Kemudian pada 1959 beliau lanjutkan
kuliah sampai mendapat gelar Sarjana Hukum pada 1964, kemudian di lanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi hingga mendapat gelar doctor dalam bidang Hukum ketatanegaraan di
bawah bimbingan Prof. Dr. Abdul Ghaffar Pringgodigdo, dan berhasil memperhahankan
desertasi dengan judul Pembahaasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan Eksekutif Dan
Legislatif Negara Indonesia.

Setelah menuntaskan kuliahnya Thalhah, selain sibuk dalam kegiatan organisasi beliau juga
sibuk dalam mengajar di perguruan tinggi di IAIN sunan Kalijaga, beliau juga mengajar di
IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel dan Akademi Militer di Magelang. Beliau juga pernah
menjadi Direktur Akademi Administrasi Niaga Negeri (1965-1975), menjadi Rektor
Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang (1970-1983), Rektor Perguruan Tinggi Imam Puro,
Purworejo (1975-1983) serta menjadi Dekan Fak. Hukum Islam di Universitas Nahdlatul
Ulam di Surakarta.

Mengenai kepesantrenan, Thalhah berasal dari keluarga yang hidupnya di pesantren,


makanya selain beliau belajar dalam pendidikan-pendidikan formal beliau juga tidak
meninggalkan atau tidak lupa akan pendidikan agama yang mana beliau peroleh dari
pendidikan pesantren. Thalhah beliau pernah menimba ilmu di pesantren-pesantren besar di
Indonesia. Antara lain pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren Lasem Rembang dan
pesantren lainnya. Tak jarang beliau juga mengikuti pesantren kilat atau modok “puasanan”.

Mantan Rektor Universitas Hasyim Asy’ari ini dalam perjalanan hidupnya juga aktif dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan organisasi. Banyak organisai-organisasi yang pernah beliau ikuti
dan hingga Akhirnya beliau juga dapat memprakarsai berdirinya sebuah Organisasi Pelajar
Nahdlatul Ulama IPNU bersama rekan-rekannya yang lain[1].

Bakat kepemimpinan Thalhah telah tampak sejak usia remajanya. Ketika thalhah duduk di
bangku SMP tahun 1945 dia sudah dipercaya untuk menjadi sekretaris umum Ikatan Murid
Nahdlatul Ulama (IMNU) untuk wilayah Kota Malang dan pada waktu itu juga dia juga
tercatat sebagai anggota Organisasi Putra Indonesia dan anggota pengurus Himpunan Putera
Islam Malang. Di tahun yang sama Beliau juga menjabat sebagai sekretaris Barisan Sabilillah
dan Sekretaris bagian penerangan Markas Oelama Djawa Timur.

Kegemarannya berorganisasi begitu tinggi, hingga pada tahun 1953 dia rela meninggalkan
sementara kuliahnya guna mengembangkan kepekaannya terhadap kehidupan masyarakat dan
juga menyalurkan bakat kepemimpinannya. Selama beliau berada di Djokdjakarta beliau
pernah memegang jabatan sebagai ketua di Departeman Penerangan Pengurus Besar Pelajar
Islam Indonesia (PII), dan juga pernah menjadi Ketua I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
untuk wilayah Jogjakarta. Beliau pernah juga menjadi Wakil Ketua Panitia Kongres
Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia.

Thalhah berhasil menorehkan sejarah ketika mencetuskan lahirnya organisasi Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama’ (IPNU) dan gagasan tersebut disetujui pada acara Konferensi Ma’arif
Nahdlatul Ulama di Semarang pada tanggal 20 jumadil akhir 1973 bertepatan dengan 24
pebruari 1954. Dan mulai saat itu Moh. Thalhah tercatat sebagai pendiri IPNU secara
aklamasi dan ditunjuk sebagai ketua umum pertama organisasi ini dan terus terpilih menjadi
ketua umum IPNU dalam rentetan tiga Muktamar, Muktamar I di Malang (1955), Muktamar
II di pekalongan (1957) dan Muktamar III di Cirebon (1958). Dari organisasi yang dicetuskan
Thalhah ini pula, kemudian lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Biografi KH Hasyim Asy'ari

Nama Lengkap: KH Hasyim Asy'ari


Tanggal Lahir: 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Tempat Lahir : Demak, Jawa Tengah
Wafat: Jombang, Jawa Timur, 7 September 1947
Ayah: Kyai Asyari
Ibu: Halimah
Istri:
Nyai Nafiqoh
Nyai Masruroh
Anak:
Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul
Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah,
Muhammad Ya’kub.

KH Hasyim Asy'ari lahir pada tanggal 10 April 1875 di Demak, Jawa Tengah. Beliau
merupakan pendiri pondok pesantren Tebu Ireng dan juga perintas salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga dikenal
sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren,
ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan
berpidato.

Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, KH Hasyim Asy'ari mendapat pendidikan
langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Asyari dan Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk
menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan
oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Karena Hasrat tak puas akan ilmu yang dimilikinya, Beliaupun belajar dari pesantren ke
pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren
Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai
menantu.
Di tahun 1892, KH Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di
sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang
hadis. Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di
Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak
tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat
pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana.
Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng
yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun
1900, Kyai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebu Ireng, menjadi pusat pembaruan
bagi pengajaran Islam tradisional.

Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum.
Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi
pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Cara yang dilakukannya itu mendapat
reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya.
Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan
menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan
Kiai Hasyim Asy'ari.

Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan
pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional lainnya, Kiai
Hasyim Asy’ari mendirikanNahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini
pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari pun semakin besar
dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai
daerah sangat menyegani kewibawaan Kyai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat.
Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun
perkotaan di Jawa. Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran
terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam.
Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang
cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, KH Hasyim
Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, KH Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia
dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya
karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar


semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankakemerdekaan.
Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di
Tebuireng.

BIOGRAFI K.H. WAHAB HASBULLOH

Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29
Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH
Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya
dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara
Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014

Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren


Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.

Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU,
Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren
Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad
Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy
Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah
untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai
istimewa.

KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi
Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat
sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama
“Tashwirul Afkar”.

Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian
pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang
pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan,
Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda

KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam
Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan
seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya
kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai
Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan
Pemikiran) di Surabaya pada 1914.

Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan
mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini
menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari
berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan
permasalahan pelik yang dianggap penting.

Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang
komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi
komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih
mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini
juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan
dan dunia politik.

Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab
Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya
pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan
dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama
yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim,
(Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil
(Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab
Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada
kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya
bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa
keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan
mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan
problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.

Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban
yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum
Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri.
Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir
juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang
kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan
solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing
untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.

Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di
masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab
menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang
tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul
Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.

Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU).
Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh
Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam,
pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional
dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang
berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan
Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH.
Abdul wshab hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan
nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah
sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU
(PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).

Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus
guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela
dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil
hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi
yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-
nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam
menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum
dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada
tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian
(departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam
struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq,
KH. A. Wahid Hasyim, KH. Dachlan

Profil Singkat KH Bisri Syansuri


KH Bisyri Syansuri dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzul Hijjah 1304
bertepatan dengan 18 September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan suami
istri Kyai Syansuri dan Nyai Mariah.
Pada usia tujuh tahun KH Bisyri Syansuri mulai belajar agama secara teratur yang diawali
dengan belajar membaca Al Qur'an secara mujawwad (dengan bacaan tajwid yang benar)
pada Kyai Shaleh di desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur' an ini ditekuninya sampai beliau
berusia sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya ke pesantren Kajen. Guru
beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang Huffadz yang juga terkenal penguasaannya di
bidang Fiqih. Dibawah bimbingan ulama ini beliau mempelajari dasar-dasar tata bahasa
Arab, fiqih, tafsir, dan hadits.
Pada usia lima belas tahun KH Bisyri Syansuri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai
Khalil di Demangan Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan
pelajarannya ke pesantren Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH Hasyim Asy'ari
beliau mempelajari berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau
menyebabkan tumbuhnya hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus syaikh
untuk masa-masa selanjutnya.

Setelah enam tahun lamanya belajar di Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau berangkat
melanjutkan pendidikan ke Makkah. Beliau bersahabat dengan KH Abdul Wahab Hasbullah
sejak di pesantren Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik KH Abdul Wahab
Hasbullah yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada tahun
1914, KH Abdul Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya dengan KH Bisyri Syansuri, dan
pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu membawa beliau kepada pilihan untuk kembali ke Tayu atau
menetap di Tambakberas. Atas permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di
Tambakberas Jombang. Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar di Pesantren
Tambakberas, pada tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar. Di tempat ini beliau bertani
sambil mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren. Semula pesantren
ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919 beliau mencoba membuka
pengajaran khusus bagi para santri wanita. Percobaan ini temyata mempunyai pengaruh bagi
perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur. Karena sebelumnya memang tidak
pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.
KH Bisyri Syansuri termasuk salah seorang ulama yang ikut mengambil bagian dalam
kelahiran Nahdlatul Ulama dan selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya
untuk kebesaran Nahdlatul Ulama. Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih
menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau ikut terjun
di medan tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas Pertahanan
Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil ketua Markas Ulama Jawa
timur yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Hasbullah.
KH Bisyri Syansuri adalah seorang ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah
hati. Meskipun demikian beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang
prinsip. Dalam menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama
dalam memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum
suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau Qiyas keputusan
beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.
KH Bisri Syansuri boleh disebut sebagai “kyai plus“. Dalam diri KH Bisri Syansuri paling
tidak melekat tiga karakter sekaligus. Yaitu sebagai perintis kesetaraan gender dalam
pendidikan di pesantren, seorang ahli dan pecinta fiqh dan sekaligus seorang politisi
Perintis Kesetaraan Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai Bisri Syansuri disebut sebagai pejuang kesetaraan
gender, khususnya di kalangan pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas
khusus untuk santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti
perempuan-perempuan di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan
Kyai Bisri termasuk kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya,
hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau
saja hadratussyaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syansuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang begitu
mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
Ahli dan Pecinta Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil
Bangkalan, dan semakin menguat setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja
mendalami pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum
fiqh, dan begitu teguh dalam mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan
hidup secara baik.
Walaupun begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat. Hal
itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang dibangunnya di
Denanyar.
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan
puncaknya ketika dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal
tergabung dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling mengesankan, ketika Kyai Bisri Syansuri berhasil
mendesakkan disyahkannya UU perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU.
Padahal sebelumnya pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke
Dewan Perwakilan Rakyat.
K.H. Bisri Syansuri wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam usia 94 tahun. Makam beliau
berada di kompleks Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai