Pendahuluan
Mukti Ali dan Joachim Wach merupakan tokoh yang dikenal dalam
pengarang buku “The Comparative Study of Religions” yang dijadikan salah satu
menguraikan garis besar teori agama yang dapat digunakan dimana saja dan untuk
untuk mengkaji lebih dalam tentang keduanya. Dalam paper ini penulis menyoroti
perkembangan penelitian agama dan studi agama dan menunjukan kritik terhadap
keduanya.
1
Biografi Tokoh
“Tak kenal maka tak paham” menurut penulis akan mudah lebih memahami
pandangan A. Mukti Ali dan Joachim Wach terhadap penelitian agama apabila
kita mengenal keduanya terlebih dahulu.
2
harinya ia mengaji. Pada mulanya ia mengaji kepada orang tuanya dan
guru ngaji di surau deket rumahnya sampai ia dikirim kepada Kyai Usman,
seorang Kyai yang populer di Cepu dan konon Kyai Usman merupakan
putra menantu Kyai Hasyim, yang menjadi guru Kyai Hasyim Asy’ari.4
Setelah Boedjono lulus dari ujian yang disebut sebagai Klein
Ambtenaar Examen (ujian pegawai rendah) pada tahun 1940, ia dikirim
ayahnya untuk meneruskan sekolah di Pondok Pesantren Termas Pacitan.
Pondok tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan madrasi5 dan sistem
bandongan6 dan sorogan7.8
Selama nyantri di pndok pesantren Termas ada beberapa peristiwa
penting dalam Boedjono yaitu pertama, soal penggantian namanya
menjadi A.Mukti Ali.
“Suatu saat, salah seorang Kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul
Hamid Pasuruan, yang nama kecilnya sebelum menjadi Kyai
adalah Abdul Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono, dan
waktu itu kyai tersebut menyuruh Boedjono mengganti namanya
dengan Abdul Mukti. Perintah penggantian nama ini oleh
Boedjono dirasakan sebagai suatu kehormatan, sekaligus tantangan
dan tanggung jawab moral untuk menjaga “nama” tersebut. Sejak
itulah, dia mengubah namanya menjadi Abdul Mukti Ali. Nama
4
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm.7.
5
Madrasi yaitu sistem sekolah dengan menggunakan kelas yang menyerupai pendidikan
Belanda. (A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 16)
6
Sorogan yaitu metode pengajaran di Pesantren dengan santri menghadap guru seorang
demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Istilah sorogan berasal dari kata
sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya. Dalam dunia
modern istilah metode ini dapat disamakan dengan tutorship atau menthorship. (Marwan Saridjo,
Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta:Dharma Bhakti, 1982), hlm.32-33.
7
Metode Wetonan yaitu metode kuliah dengan para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (Jawa)
yang berarti waktu sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum
dan atau seseudah sholat fardlu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan, di Sumatra
dikenal dengan sebutan halaqah. Metode ini juga dikenal dengan sebutan balaghan. (Marwan
Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta:Dharma Bhakti, 1982), hlm.32.
8
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 16.
3
“Abdul Mukti” diambilnya untuk memenuhi perintah gurunya, dan
nama ”Ali” diambil dari potongan nama ayahnya, H. Abu Ali”.9
9
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm. 10.
10
Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, “Prof. Dr. A.
Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” dalam Azumardi Azra dan Saiful Umam,
Menteri-Menteri Agama, hlm. 275-276.
11
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 19.
4
secara pribadi. Ia sering bertemu di rumahnya dan minta diizinkan ikut
aktif di Muhammaadiyah Yogyakarta. Kemudian KH Mas Mansyur
dengan senang hati dan mengajaknya di Muhammadiyah sehingga ia
semakin dekat dengan organisasi modernis itu dan meninggalkan latar
belakang dan afiliasi keluarganya yang tradisional di NU.12
Tahun 1950 A. Mukti Ali berangkat menunaikan ibadah haji yang
diteruskan dengan belajar di Mekah. Tidak sampai satu tahun mukim di
Mekah, atas saran dari Konsul Haji Indonesia H. Imron Rosyadi, yang
menyarankannya untuk belajar di Karachi Pakistan. Tahun 1951 ia
mendaftarkan diri di Fakultas Sastra Arab Jurusan/Prosram Sejarah Islam.
dan pada tahun 1955 dia terdaftar sebagaii mahasiswa di Institute of
Islamic Studies, Mc.Gill University, Montreal, Kanada, mengambil
spealisi Ilmu Perbandingan Agama13.
12
Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, hlm 278-279.
13
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 19-20.
14
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 22.
5
Mada, Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan Negeri, AKABRI Magelang,
dan SESKAU Bandung.15
Karya-karyanya
15
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 22.
16
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm.23.
17
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm, 41.
6
Felix Wach ini keluarganya mempunyai hubungan keturunan yang
berpangkal pada filosof Yahudi terkenal Moses Mendelssohn. 18
Karya-karyanya:23
Der Erlösungsgedanke und seine deutung (1922)
Das Verstehen: Grundzüge einer Geschichte der hermeneutischen
Theorie im 19. Jahrhundert (3 vols, 1926–1933)
18
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan,
Joseph M Kitagawa (ed)., (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1994), hlm. XVI.
19
Djam’annuri, Joachim Wach Tentang Agama dalam Jurnal Al-Jamiah No. 30 Th.
1983, hlm. 2
20
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.
21
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. XIX.
22
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.
23
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.
7
Religionswissenschaft: Prolegomena zu ihrer
wissenschaftstheoretischen Grundlegung (1924)
Meister und Jünger : zwei religionssoziologische
Betrachtungen (1924)
Sociology of Religion (1947)
Types of Religious Experience: Christian and Non-
Christian (1951)
The Comparative Study of Religions (posthumous, 1958)
Understanding and Believing: Essays (1968)
Introduction to the History of Religions (1988: English translation
of Religionswissenschaft)
Pemikiran Tokoh
Penelitian Agama dalam Pandangan A. Mukti Ali
1. Refleksi Agamis
“Refleksi agamis adalah refleksi atas iman sendiri dan refleksi
dalam iman. Beriman adalah berkeyakinan yang diikuti dengan perbuatan
yang sesuai dengan keyakinannya itu”25. Dalam tulisannya yang lain
mengatakan sebagai berikut: “Refleksi agamaniah adalah refleksi atas
agama itu sendiri dan refleksi dalam agama. Dalam hal ini perlu dipahami
tentang ajaran agama itu sendiri dan bagaimana manifestasinya dalam
kehidupan masyarakat”.26 Dari pernyataan-pernyataan tersebut penulis
24
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm.
328.
25
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 329.
8
memahami bahwa aspek refleksi agamis merupakan aspek ajaran-ajaran
agama atau doktrin yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.
26
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi Penelitian Agama
Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 25
27
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia
28
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330.
29
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330.
9
situasi konkrit merupakan merefleksikan iman atau kepercayaan terhadap
agamanya dalam wujud tindakan atau perbuatan.
Menurut Mukti Ali dalam penelitian agama yang perlu digarap yaitu30:
1. Mengamati fakta-fakta
2. Menentukan di mana letak kemungkinan-kemungkinan paling
menonjol, artinya mencoba memahami arti dar fakta-fakta tersebut
3. Berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2
mencoba melihat dari segi cahaya agama.
4. Menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan
situasi historis.
30
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm.26
31
Baca A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330-332.
10
Metode Penelitian Agama Menurut A. Mukti Ali32
32
Dalam menjelaskan metode penelitian agama menurut A. Mukti Ali penulis merujuk
pada tulisannya dalam A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 332-334 dan Mukti Ali,
Penelitian Agama di Indonesia, hlm29.
33
Baca A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama,hlm. 323-324.
11
Hubungan ilmu agama dan ilmu sosial
Bagi ilmu sosial yang menyebabkan kecendrungan untuk berbicara tentang agama
adalah:34
1. Yang digarap oleh ahli–ahli ilmu sosial itu adalah masyarakat. Masyarakat
Indonesia yang akan digarap oleh ahli-ahli sosial itu adalah masyarakat
yang agamaniah. Oleh karena itu membicarakan masyarakat Indonesia
tidak bisa lepas dari pada membicarakan agama yang dipeluk oleh
masyarakat Indonesia.
2. Kalau yang diamati oleh ahli-ahli ilmu sosial itu adalah aspek-aspek
kehidupan masyarakat, maka sudah barang tentu mereka itu harus juga
mengetahui dorongan-dorongan apa yang menyebabkan tindak laku
masyarakat, dorongan-dorongan itu yang merupakan ucapan batin manusia
adalah keyakinan-keyakinan yang ditempa oleh agama yang diperlukan.
3. Melihat agama hanya ditekankan kepada aspek-aspek sosialnya dan
sebagai sesuatu yang timbul dari pergaulan sesama manusia ternyata tidak
membawa pengertian yang sebenarnya tentang agama itu.
Sedangkan ahli-ahli ilmu pengetahuan agama tampak kecendrungan untuk
mempelajari ilmu-ilmu sosial karena:35
34
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm. 20.
35
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm. 21.
12
kebenaran hukum yang umum. Untukhal itu maka pengetahuan sosial
sangat perlu.
13
pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan dan ungkapan pengalaman
keagamaan dalam bentuk persekutuan.
39
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 98.
40
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 103.
14
ungkapan intelektual pengalaman keagamaan. Semua agama besar dunia
memiliki pernyataan iman yang mungkin merupakan kutipan-kutipan dari
tulisan-tulisan suci, semisal schema dalam agama yahudi. Pengakuan-
pengakuan semacam itu lambat laun brkembang dalam agama-agama
Kristen, Islam, Zoroaster, dan Budha.41
2. Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Perbuatan
Tingkah laku agama yang pertama dan utama menurut Von Hugel,
“adalah pemujaan.” Dari satu segi, kultus dapat dijelaskan sebagai sebuah
reaksi penghayatan terhadap relasi Mutlak atau Tertinggi. Tuhan datang
kepada manusia ketika manusia mendekati Tuhan.
Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan (nyata)
dapat berupa bakti atau peribadatan dan pelayanan. Ibadat adalah tingkah laku
tertinggi dalam kehidupan keberagamaan seorang manusia. Wach mengatakan
bahwa dalam realitas Mutlak hanya ada satu yang diperbuat, yaitu memuja.
Sebuah penelitian belum lama berselang mengenai ibadat Kristen menyatakan;
pemujaan adalah tanggapan perasaan kita (perasaan keagamaan yang khas),
pemujaan adalah hormat yang mendalam yang dikembangkan menuju titiknya
yang tertinggi dan merupakan sebuah suasana fikiran yang kompleks dan
tersusun dari rasa kagum, takut dan cinta.42
Ungkapan Pengalaman dalam Bentuk Persekutuan
15
kelompok. Dia menjawabnya dengan mengatakan bahwa adanya kelompok
merupakan suatu pembenaran dan perkembangan eksperimental yang
berkelanjutan baik mengenai kebenarannya ataupun mengenai caranya
menuangkan dalam kenyataan.44
Dalam kaitannya dengan ungkapan pengalaman keagamaan yang
nyata, kita telah mencatat bahwa perbuatan-perbuatan bersama dalam
ketaatan dan menjalankan peribadatan dapat memberikan suatu ikatan
kesatuan dikalangan para anggota suatu kelompok kultus yang luar biasa
kuatnya. Berdoa bersama dijadikan tanda persekutuan spiritual yang
terdalam. Bekerja sama dalam melaksanakan suatu persembahan khusus akan
dapat menciptakan adanya suatu persekutuan yang tetap. Suatu ikatan
persaudaraan akan dapat timbul dari pemujaan bersama yang dilakukan
sejumlah orang terhadap seorang nabi atau orang suci. Perbuatan kurban juga
menjadi contoh dari perbuatan-perbuatan kultus lain yang mempunyai
pengaruh dalam integrasi social. Kita akan melihat adanya usaha untuk
memperkuat hubungan tarik menarik pada setiap tingkat pengelompokan
social, dalam keluarga atau dalam rumah tangga, dalam perkawinan atau
dalam persahabatan, dalam ikatan keluarga atau ikatan regional, dalam
kampung atau kota, ataupun bangsa masyarakat agama yang lebih spesifik.
Usaha tersebut memperlihatkan fungsi integrasi dari suatu pengalaman
keagamaan bersama.45
Kesimpulan
44
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 188.
45
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 194-195.
16
Titik Temu Pemikiran A. Mukti Ali dan Joachim Wach Terhadap Penelitian
Agama
A.Mukti Ali Joachim Wach
Sikap Agamis Dalam Penelitian Situasi Orang yang boleh melakukan penelitian
agama adalah orang yang beragama46
Konkret Kaum Agama
46
Keterangan ini penulis dapat dalam mata kuliah Metodelogi Penelitian dan Resolusi
Konflik yang diampu oleh Dr. Ahmad Muttaqin.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ali, A. Mukti. 1998. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Mizan
Basuki, A. Singgih. 2013. Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali.
Yogyakarta:SUKA Press.
Djam’annuri. Joachim Wach Tentang Agama dalam Jurnal Al-Jamiah No. 30 Th.
1983.
Djam’annuri. 1998. Ilmu Perbandingan Agama Pengertian dan Objek Kajian.
Yogyakarta: PT Kurnia Alam Semesta.
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.
Wach, Joachim. 1994. Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengalaman
Keagamaan, Joseph M Kitagawa (ed),. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, “Prof. Dr.
A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” dalam
Azumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama.
18