Anda di halaman 1dari 18

Penelitian Agama dalam Pandangan A.

Mukti Ali dan


Joachim Wach
By: Hanung Sito Rohmawati

Pendahuluan
Mukti Ali dan Joachim Wach merupakan tokoh yang dikenal dalam

kalangan “Perbandingan agama”. A. Mukti Ali disebut sebagai Bapak

perbandingan agama Indonesia sedangkan Joachim Wach adalah seorang

pengarang buku “The Comparative Study of Religions” yang dijadikan salah satu

rujukan pokok bagi mahasiswa dan mahasiswi perbandingan agama.

Keduanya merupakan sosok yang berpengaruh dalam perkembangan

penelitian agama. A. Mukti Ali dengan metodelogi yang menggabungkan

pendekatan doktriner dengan pendekatan empiris merupakan terobosan baru

dalam pengembangan studi agama pada masanya. Sedangkan Joachim Wach

merupakan seseorang yang membaktikan dirinya (1898-1955) untuk: 1). meneliti

perkembangan dan masukan paling mutakhir dengan bidang ilmu agama, 2)

menguraikan garis besar teori agama yang dapat digunakan dimana saja dan untuk

agama-agama yang ada, 3). Memperlihatkan garis-garis hubungan antar agama.

Penting menurut penulis setelah mengetahui background dari keduanya

untuk mengkaji lebih dalam tentang keduanya. Dalam paper ini penulis menyoroti

dari biografinya terlebih dahulu. Kemudian dilanjut dengan pemikiran keduanya

terhadap penelitian agama serta memotret kontribusi keduanya terhadap

perkembangan penelitian agama dan studi agama dan menunjukan kritik terhadap

keduanya.

1
Biografi Tokoh

“Tak kenal maka tak paham” menurut penulis akan mudah lebih memahami
pandangan A. Mukti Ali dan Joachim Wach terhadap penelitian agama apabila
kita mengenal keduanya terlebih dahulu.

A. Biografi A. Mukti Ali


Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
A. Mukti Ali dilahirkan dari keluarga yang cukup mapan.
Bapaknya bernama H. Abu Ali adalah seorang yang terjun dalam dunia
bisnis tembakau yang kerja keras dan gigih sedangkan Ibunya yakni H.
Khadidjah selain menjadi Ibu rumah tangga ia juga ikut terjun dalam
bisnis kain. Dalam kemapanan keluarganya Boedjono nama kecil H. A.
Mukti Ali dilahirkan dan dibesarkan1. Pemilik 6 saudara ini lahir di Cepu,
Blora, Jawa Tengah 23 Agustus 1923. 2
Boedjono kecil tinggal di desa Balun Sudagaran, dulu merupakan
kompleks saudagar. Suasana kehidupan di desanya terutama
kesederhanaanya inilah yang membawa Boedjono bersikap sederhana.
Boedjono kerap mendapatkan nasihat dari ayahnya supaya menjadi orang
hendaknya tidak menjadi beban orang lain. Justru perlu diusahakan agar
menjadi penolong beban orang lain. Menjadi orang jangan banyak
berhutang budi kepada orang lain dan jangan pula jatuh miskin. Hal ini
sesuai dengan falsafah hidup ayahnya: “Orang yang paling sakit adalah
orang miskin, karena banyak sekali keinginan orang tidak dapat tercapai
karena kemiskinan”.3
Boedjono beruntung mempunyai ayah yang sangat memperhatikan
pendidikan. Pada pagi hari ia belajar di sekolah Belanda sedangkan sore
1
Lihat M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan Kecendekiaan dalam
Abdurrahman dkk (ed), 70 Tahun H.A Mukti Ali Agama dan Masyarakat, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1993), hlm 3-5.
2
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, (Yogyakarta:SUKA Press,
2013), hlm. 15.
3
Baca M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm.4-6.

2
harinya ia mengaji. Pada mulanya ia mengaji kepada orang tuanya dan
guru ngaji di surau deket rumahnya sampai ia dikirim kepada Kyai Usman,
seorang Kyai yang populer di Cepu dan konon Kyai Usman merupakan
putra menantu Kyai Hasyim, yang menjadi guru Kyai Hasyim Asy’ari.4
Setelah Boedjono lulus dari ujian yang disebut sebagai Klein
Ambtenaar Examen (ujian pegawai rendah) pada tahun 1940, ia dikirim
ayahnya untuk meneruskan sekolah di Pondok Pesantren Termas Pacitan.
Pondok tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan madrasi5 dan sistem
bandongan6 dan sorogan7.8
Selama nyantri di pndok pesantren Termas ada beberapa peristiwa
penting dalam Boedjono yaitu pertama, soal penggantian namanya
menjadi A.Mukti Ali.
“Suatu saat, salah seorang Kyai di Termas, yaitu Kyai Abdul
Hamid Pasuruan, yang nama kecilnya sebelum menjadi Kyai
adalah Abdul Mukti, berbincang-bincang dengan Boedjono, dan
waktu itu kyai tersebut menyuruh Boedjono mengganti namanya
dengan Abdul Mukti. Perintah penggantian nama ini oleh
Boedjono dirasakan sebagai suatu kehormatan, sekaligus tantangan
dan tanggung jawab moral untuk menjaga “nama” tersebut. Sejak
itulah, dia mengubah namanya menjadi Abdul Mukti Ali. Nama

4
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm.7.
5
Madrasi yaitu sistem sekolah dengan menggunakan kelas yang menyerupai pendidikan
Belanda. (A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 16)
6
Sorogan yaitu metode pengajaran di Pesantren dengan santri menghadap guru seorang
demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Istilah sorogan berasal dari kata
sorog (Jawa) yang berarti menyodorkan kitabnya dihadapan Kyai atau pembantunya. Dalam dunia
modern istilah metode ini dapat disamakan dengan tutorship atau menthorship. (Marwan Saridjo,
Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta:Dharma Bhakti, 1982), hlm.32-33.
7
Metode Wetonan yaitu metode kuliah dengan para santri mengikuti pelajaran dengan
duduk di sekeliling Kyai yang menerangkan pelajaran secara kuliah. Santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (Jawa)
yang berarti waktu sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum
dan atau seseudah sholat fardlu. Di Jawa Barat metode ini disebut dengan bandongan, di Sumatra
dikenal dengan sebutan halaqah. Metode ini juga dikenal dengan sebutan balaghan. (Marwan
Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta:Dharma Bhakti, 1982), hlm.32.

8
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 16.

3
“Abdul Mukti” diambilnya untuk memenuhi perintah gurunya, dan
nama ”Ali” diambil dari potongan nama ayahnya, H. Abu Ali”.9

Pengalaman yang kedua yaitu terkait dengan keputusannya untuk


meniggalkan dunia tarekat yang telah lama diamalkan selama nyantri di
Termas yang dibimbing oleh K.H Hamid Dimyati. Ia meninggalkan dunia
tarekat juga atas nasihat K.H Hamid:
“ Tentu saya terkejut, dan kurang bisa menerima. Saya waktu itu
begitu tertarik dengan dunia tarekat. Saya terkadang malah minta,
supaya kiai memberi amalan-amalan tarekat. Tetapi, kenyataanya
saya malah disuruh meninggalkannya. Saya ingat persis kata-kata
yang keluar dari Kiai Hamid Dimyati: ”Ini bukan duniamu. Kamu
tidak ada bakat menjadi sufi, menjadi mutasawwif. Kalau kamu
ingin memperdalam ilmu agama, coba baca Milhaq al-Nadhar-nya
al-Ghazali. Dan saya sendiri akan mengajarkanmu.” Saya lantas
mencoba merenungkan kata-kata Kyai Dimyati eh.... siapa tahu ada
hikmahnya di masa depan. Akhirnya, saya hanya bersikap sam’an
wa ta’atan (mendengar dan menerimanya)”10

Tahun 1945 A. Mukti Ali menamatkan belajarnya atau berhenti


mondok di Termas. Satu tahun kemudian ia terpilih sebgai anggota Dewan
Wakil Rakyat Kabupaten Blora mewakili Masyumi. Karena naruli
akademiknya lebih tinggi dari politiknya sehingga pada tahun 1947 ia
mendaftar menjadi mahasiswa di STTI (Sekolah Tinggi Islam)Yogyakarta
yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia.11 Di sini ia ketemu
dengan dosen dan tokoh Muhammadiyah yang ia kagumi yaitu K.H Mas
Mansyur. Kekagumannya adalah pada cara mengajarnya yang banyak
memasukan wawasan-wawasan keagamaan baru. Ajaran-ajaran Islam
yang ditafsirkan Kyai Mas Mansur berhasil membuat Mukti Ali
terpengaruh. Sehingga ia memberanikan diri untuk belajar dengannya

9
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm. 10.
10
Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, “Prof. Dr. A.
Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” dalam Azumardi Azra dan Saiful Umam,
Menteri-Menteri Agama, hlm. 275-276.
11
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 19.

4
secara pribadi. Ia sering bertemu di rumahnya dan minta diizinkan ikut
aktif di Muhammaadiyah Yogyakarta. Kemudian KH Mas Mansyur
dengan senang hati dan mengajaknya di Muhammadiyah sehingga ia
semakin dekat dengan organisasi modernis itu dan meninggalkan latar
belakang dan afiliasi keluarganya yang tradisional di NU.12
Tahun 1950 A. Mukti Ali berangkat menunaikan ibadah haji yang
diteruskan dengan belajar di Mekah. Tidak sampai satu tahun mukim di
Mekah, atas saran dari Konsul Haji Indonesia H. Imron Rosyadi, yang
menyarankannya untuk belajar di Karachi Pakistan. Tahun 1951 ia
mendaftarkan diri di Fakultas Sastra Arab Jurusan/Prosram Sejarah Islam.
dan pada tahun 1955 dia terdaftar sebagaii mahasiswa di Institute of
Islamic Studies, Mc.Gill University, Montreal, Kanada, mengambil
spealisi Ilmu Perbandingan Agama13.

Karier dan Prestasi Akademik

Pada tahun 1957 ia kembali ke Indonesia dari Kanada. Ia diangkat


menjadi Mentri Agama pada 11 September 1971, A. Mukti Ali bekerja di
Departemen Agama dan mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) Yogyakarta, sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Di samping itu ia juga mengajar di Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Jakarta dan mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah yang sekarang menjadi
UIN Syarif Hidayatullah.14

Tahun 1964, ia diangkat sebagai wakil Rektor Bidang Akademik


Urusan Ilmu Pengetahuan Umum di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dia
juga mengajar diberbagai Perguruan Tinggi diantaranya Univrsitas Gadjah

12
Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, hlm 278-279.
13
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 19-20.
14
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 22.

5
Mada, Institut Kejuruan dan Ilmu Pendidikan Negeri, AKABRI Magelang,
dan SESKAU Bandung.15

Puncak karier akademiknya diraih ketika dikukuhkan menjadi


Guru Besar Ilmu Agama di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang jatuh
pada tahun 1971 tepat satu bulan setelah dilantik sebgai Menteri Agama
Periode I. 16

Karya-karyanya

Karya-karya A.Mukti Ali selepas menjabat Menteri Agama antara


lain17: 1). Beberapa Persoalan Dewasa Ini, 2). Ilmu Perbandingan Agama
di Indonesia, 3). Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat,
4). Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, 5). 70 Tahun Prof. Dr.
H.M Rasjidi (sebagai Ketua Panitia), 6). Ta’limul Muta’allim Versi Imam
Zarkasy, Suatu Pembahasan Perbandingan tentang Metodelogi
Pendidikan Agama di Abad Pertengahan dan di Pondok Modern
Darrussalam Gontor Ponorogo, 7). Ensiklopedi Islam di Indonesia
(sebagai anggota Dewan Redaksi), 3 Jilid, 8). Metode Memahami Agama
Islam, 9). Memahami Beberapa Aspek Ajaran Esai Tentang Beberapa
Aspek Islam, dan 10). Islam dan Sekularisme di Turki Modern.

B. Biografi Joachim Wach

Joachim Wach lahir pada tanggal 25 Januari 1898 di Chemnits,


Saxony. Ia merupakan seorang Jerman yang menekankan perbedaan antara
sejarah dan filsafat agama. Pemilik nama lengkap Joachim Ernst Adolphe

15
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm. 22.
16
A. Singgih Basuki, Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali, hlm.23.
17
M. Damami dkk, H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan, hlm, 41.

6
Felix Wach ini keluarganya mempunyai hubungan keturunan yang
berpangkal pada filosof Yahudi terkenal Moses Mendelssohn. 18

Wach lahir di tengah-tengah keluarga elite dalam segi keilmuan;


dan memperoleh perhatian penuh bukan saja dari kedua orang tuanya
melainkan juga kakek neneknya. Ia tertarik pada musik, puisi, sastra,
bahasa-bahasa klasik, bahasa-bahasa asing modern dan agama. 19

Pada tahun 1916 ia terdaftar sebagai tentara Jerman, Ia menjabat


sebagai perwira Kaveleri. Setelah Perang Dunia I, ia belajar di Universitas
Munich, Berlin, Freiburg, dan Leipzig, ia menerima gelar Doktor of
Philosophy pada tahun 1922.20 Sarjana-sarjana yang banyak berpengaruh
terhadap dirinya antara lain: Husserl, Gundolf, Enrst Troeltsch, Adolf Von
Harnack, Johanes Immanuel Volkelt, Hans Freyer, Eduard Spranger, Han
Haas, Nathan Sodelblom, Max Weber, dan Rudolf Otto. 21

Dia meninggal mendadak karena serangan jantung (meskipun ia


memiliki sejarah gangguan jantung) pada tanggal 27 Agustus 1955 di
Locarno, Swiss.22

Karya-karyanya:23



Der Erlösungsgedanke und seine deutung (1922)
Das Verstehen: Grundzüge einer Geschichte der hermeneutischen
Theorie im 19. Jahrhundert (3 vols, 1926–1933)

18
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan,
Joseph M Kitagawa (ed)., (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1994), hlm. XVI.
19
Djam’annuri, Joachim Wach Tentang Agama dalam Jurnal Al-Jamiah No. 30 Th.
1983, hlm. 2

20
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.
21
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. XIX.
22
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.

23
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.

7
 Religionswissenschaft: Prolegomena zu ihrer


wissenschaftstheoretischen Grundlegung (1924)
Meister und Jünger : zwei religionssoziologische


Betrachtungen (1924)


Sociology of Religion (1947)
Types of Religious Experience: Christian and Non-


Christian (1951)


The Comparative Study of Religions (posthumous, 1958)


Understanding and Believing: Essays (1968)
Introduction to the History of Religions (1988: English translation
of Religionswissenschaft)

Pemikiran Tokoh
Penelitian Agama dalam Pandangan A. Mukti Ali

Menurut A. Mukti Ali penelitian agama menyangkut umat beragama yang


hidup di tengah-tengah dunia ini. Penelitian agama berhubungan dengan
ungkapan umat manusia sebagai Hamba Allah yang menjalankan pesan-pesan
agamanya sebagai anggota masyarakat di tengah-tengah dunia ini. Dengan ini
maka penelitian agama berpijak pada sesuatu yang konkrit, pada pengalaman
umat yang nyata.24

Menurut A. Mukti Ali penelitian agama melingkupi tiga aspek yaitu:

1. Refleksi Agamis
“Refleksi agamis adalah refleksi atas iman sendiri dan refleksi
dalam iman. Beriman adalah berkeyakinan yang diikuti dengan perbuatan
yang sesuai dengan keyakinannya itu”25. Dalam tulisannya yang lain
mengatakan sebagai berikut: “Refleksi agamaniah adalah refleksi atas
agama itu sendiri dan refleksi dalam agama. Dalam hal ini perlu dipahami
tentang ajaran agama itu sendiri dan bagaimana manifestasinya dalam
kehidupan masyarakat”.26 Dari pernyataan-pernyataan tersebut penulis

24
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1981), hlm.
328.
25
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 329.

8
memahami bahwa aspek refleksi agamis merupakan aspek ajaran-ajaran
agama atau doktrin yang diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat.

Hidup beragama menurut A. Mukti Ali tidak hanya hidup batin


saja atau pribadi saja melainkan hidup yang berpangkal pada kepercayaan
terhadap agama yang diyakini serta penerapannya dalam kehidupan
masyarakat sesuai dengan ucapan batinnya.27

Pada aspek refleksi cara pengumpulan data dan gejala-gejala


tersebut dalam penelitian agama yaitu dengan menafsirkan data dan
gejala-gejala ilihat dari aspek ajaran atau doktrin agama. Dalam hal ini
ajaran atau doktrin agama ditarik untuk menganalisis gejala-gejala
tersebut.

“Cara pengumpulan gejala-gejala tersebut mirip dengan cara


pengumpulan data dalam sosiologi. Tetapi pengumpulan data itu
bukanlah sosiologi melulu. Penelitian agama menafsirkan data dan
gejala-gejala itu dalam cahaya agama. Ini sudah merupakan suatu
indikasi bahwa penelitian agama tidak perlu berlandaskan sosiologi
melulu, tetapi berlandaskan penelitian yang mempunyai nilai
agamis. Dan gejala-gejala itu memang ditemukan dalam kenyataan
sosial yang didekati secara empiris. Dengan demikian pendekatan
tradisional dari agama selain memakai metosde historis juga mulai
terbuka terhadap metode empiris”. 28
2. Pengungkapan Iman dalam Situasi Konkrit

“Agama sebagai refleksi iman tidak hanya terbukti dalam ucapan


keyakinan dan iman saja, tetapi agama juga merefleksikan sejauh mana
iman itu diungkapkan dalam kehidupan dunia ini”.29 Dalam pandangan
penulis aspek penelitian yang ke-2 yaitu pengungkapan Iman dalam

26
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi Penelitian Agama
Masalah dan Pemikiran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 25
27
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia
28
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330.
29
A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330.

9
situasi konkrit merupakan merefleksikan iman atau kepercayaan terhadap
agamanya dalam wujud tindakan atau perbuatan.

Menurut Mukti Ali dalam penelitian agama yang perlu digarap yaitu30:

1. Mengamati fakta-fakta
2. Menentukan di mana letak kemungkinan-kemungkinan paling
menonjol, artinya mencoba memahami arti dar fakta-fakta tersebut
3. Berdasarkan pemahaman yang rasional pada tahap 1 dan 2
mencoba melihat dari segi cahaya agama.
4. Menilai dalam cahaya agama pelaksanaan konkret sesuai dengan
situasi historis.

3. Sikap Agamis Dalam Penelitian Situasi Konkret Kaum Agama


Sikap agamis seseorang dalam melakukan penelitian agama itu
diperlukan. Menurut A. Mukti Ali bahwa persoalan agama merupakan
persoalan yang pribadi pada diri manusia sehingga butuh kehati-hatian
dalam meneliti agama seseorang. Ia mengatakan bahwasanya belum tentu
seseorang yang meneliti agama sudah baik secara teknis belum tentu dapat
menggali persoalan-persoalan agama pada seseorang yang diteliti. Apalagi
jika yang menelti tersebut orang yang tidak beragama maka cenderung
akan mengkonstantir ungkapan-ungkapan kepercayaan dan gejala-gejala
agama, tetapi bukan iman atau agama itu sendiri. Sehingga menurutnya
ditekankan si peneliti tersebut adalah orang yang beragama dan
merefleksikan agamanya. Artinya peneliti menghadapi kenyataan di
lapangan itu dengan perspektif agamis dan sikap agamis. Jadi, sikap
objektivitas atau netralitas tidak merupakan kriteria utama dalam proses
penelitian agama karena “subjektif” merupakan kriteria yang diutamakan
dalam penelitian agama. Hal-hal tersebut menurutnya yang membedakan
penelitian agama dengan sosiologi agama dan psikologi agama. 31

30
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm.26
31
Baca A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 330-332.

10
Metode Penelitian Agama Menurut A. Mukti Ali32

Dalam penelitian agama menurut A. Mukti Ali dapat menggunakan corak


penelitian deskriptif, ekdplorasi dan verivikasi. Akan tetapi ia menekankan pada
seluruh metode penelitian agama sebaiknya bersifat agamaniah. Beberapa cara
yang dapat digunakan dalam penelitian agama yaitu: dokumen pribadi,
Quessioner, interview serta observasi

Adapun tetnang objek penelitian agama dapat berupa tidak tingkah-laku


umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat serta pengaruh timbal balik
antrara keduanya. Sehingga ada beberapa bidang yang dapat diteliti dalam
penelitan agama yaitu: 1). lembaga agama, 2). Hubungan agama, 3). Fungsi
agama, 4) teks dokumen agama.

Penggunaan Metode Sosio-Historis dalam penelitian33

Metode sosio-historis dimaksudkan suatu metode pemahaman terhadap


suatu kepercayaan, ajaran, atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu
kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat , kebudayaan,
golongan dan lingkungan di mana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul.

A. Mukti Ali mencontohkan Penggunaan metode Sosio-Historis dalam


memahami ajaran Islam berarti bahwa orang yang ingin mengetahui, menguraikan
dan meneruskan ajaran-ajaran Islam dari sumber-sumber dasarnya, al-Qur’an dan
as-Sunnah, harus memiliki latar belakang pengetahuan tentang masyarakat,
sejarah, kebudayaan Arab sebelum dan pada saat Islam lahir, sejarah kehidupan
Nabi Muhammad SAW dan ajaran serta kebudayaan daerah-daerah di mana Islam
tersebar luas disekitar pertengahan akhir abad ke-7 dan pertengahan abad ke-8
yang, banyak atau sedikit, ikut memberikan warna pada perkembangan dan alam
pikiran serta pengetahuan keislaman.

32
Dalam menjelaskan metode penelitian agama menurut A. Mukti Ali penulis merujuk
pada tulisannya dalam A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama, hlm. 332-334 dan Mukti Ali,
Penelitian Agama di Indonesia, hlm29.
33
Baca A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama,hlm. 323-324.

11
Hubungan ilmu agama dan ilmu sosial

Bagi ilmu sosial yang menyebabkan kecendrungan untuk berbicara tentang agama
adalah:34

1. Yang digarap oleh ahli–ahli ilmu sosial itu adalah masyarakat. Masyarakat
Indonesia yang akan digarap oleh ahli-ahli sosial itu adalah masyarakat
yang agamaniah. Oleh karena itu membicarakan masyarakat Indonesia
tidak bisa lepas dari pada membicarakan agama yang dipeluk oleh
masyarakat Indonesia.
2. Kalau yang diamati oleh ahli-ahli ilmu sosial itu adalah aspek-aspek
kehidupan masyarakat, maka sudah barang tentu mereka itu harus juga
mengetahui dorongan-dorongan apa yang menyebabkan tindak laku
masyarakat, dorongan-dorongan itu yang merupakan ucapan batin manusia
adalah keyakinan-keyakinan yang ditempa oleh agama yang diperlukan.
3. Melihat agama hanya ditekankan kepada aspek-aspek sosialnya dan
sebagai sesuatu yang timbul dari pergaulan sesama manusia ternyata tidak
membawa pengertian yang sebenarnya tentang agama itu.
Sedangkan ahli-ahli ilmu pengetahuan agama tampak kecendrungan untuk
mempelajari ilmu-ilmu sosial karena:35

1. Salah satu ciri pemikiran ahli agamaadalah spekulasi teoritis. Ini


mereka menyadari bahwa pemikiran-pemikiran spekulasi teoritis itu
ternyata tidak dapat memecahkan masalah
2. Mereka menyadari bahwa usaha memahami masyarakat agamaniah itu
harus juga didekati dengan metode empiris, hingga dengan demikian
mereka merasa perlu mengusai pengetahuan-pengetahuan sosial.
3. Mereka menyadari bahwa dalam memahami masyarakat, maka metode
“deduktif” yaitu memberikan alasan dari dalil yang umum untuk
menentukan keadaan yang khusus ternyata tidak dapat memecahkan
masalah-masalah dalam masyarakat itu. Pendekatan secara deduktif itu
seringkali menimbulkan “kekecewaan” karena orang menganggap
bahwa jalannya masyarakat tidak sesuai dengan keyakinan agama
yang ia yakini. Ini berakibat bahwa orang itu akan mengutuk
masyarakat. Sebenarnya masyarakat itu tidak perlu kita kutuk, ttapi
masyarakat itu perlu kita bina, perlu kita bimbing, karena kita sendiri
ini adalah juga anggota dari masyarakat itu. Untuk hal ini maka
disamping pendekatan secara deduktif, pendekatan secara “induktif”
harus dikembangkan yaitu mengajukan berbagai macam sebagai bukti

34
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm. 20.
35
Mukti Ali, Penelitian Agama di Indonesia, hlm. 21.

12
kebenaran hukum yang umum. Untukhal itu maka pengetahuan sosial
sangat perlu.

Penelitian Agama dalam Pandangan Joachim Wach

Hakikat Pengalaman Keagamaan

Menurut Wach pengalaman keagamaan merupakan aspek batiniah dari


saling hubungan antara manusia dan fikiranya dengan Tuhan.36 Ada dua cara
menurut Joachim Wach untuk meneliti hakikat pengalaman keagamaan. Pertama,
menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte, atau aliran pemikiran keagamaan.
Cara yang lain adalah berangkat dari sebuah pertanyaan mengenai “dimana aku,”
yaitu lingkungan potensial dimana lingkungan perorangan berlangsung. 37

Ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan.


Pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut apa yang dikatakan sebagai
pengalaman keagamaan adalah ilusi belaka. Pandangan ini kebanyakan
dikemukakan oleh para ahli psikologi, sosiolgi, dan pera pemikir filsafat. Kedua,
mengakui eksistensi pengalaman keagamaan, namun mengatakan bahwa
pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman
yang bercorak umum. Dawey, Wietman, Ames, dan pemikir bangsa Eropa serta
Amerika yang lain mengungkapkan pendapat ini. Ketiga, mempersamakan antara
bentuk sejarah agama dengan pengalaman keagamaan, suatu kebiasaan yang
menjadi cir sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam pelbagai masyarakat
agama. Keempat, adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman
keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan kriteria
tertentu yang dapat diterapkan yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-
ungkapannya yang manapun.38

Joachim Wach membagi ungkapan pengalaman keagamaan menjadi tiga


yaitu ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran, ungkapan
36
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm.61.
37
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 40.
38

13
pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan dan ungkapan pengalaman
keagamaan dalam bentuk persekutuan.

1. Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Pemikiran


Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dapat
diungkapkan secara teoritis. Pertama, pengalaman keagamaan yang
diungkapkan secara spontan, belum baku dan tradisional ini dicontohkan
dengan mite.39 Kedua, ungkapan pengalaman keagaamaan secara intelektual
adalah doktrin. Doktrin mempunyai tiga fungsi yang berbeda-beda yaitu:
penegasan dan penjelasan iman, pengaturan kehidupan normatif dalam
melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta
penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain (apologetik).
Dalam pengertian ini doktrin akan mengikat dan hanya berarti bagi
masyarakat yang “beriman” dan tidak diluarnya.40
Ungkapan pengalaman keagamaan yang teoritis dapat pula
ditemukan dalam bentuk yang lain. Untuk beberapa waktu mungkin
ungkapan tersebut terpelihara dari mulut ke mulut, dan setelah lama
kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Kata-kata suci atau cerita-cerita
suci, nyanyian, doa, semuanya menandai tingkatan-tingkatan yang dapat
atau tidak dapat membawa pada suatu kelanjutan, seperti yang terjadi dalam
perkembangan bentuk-bentuk sastra epik, lirik dan dramatik. Teks-teks
klasik funginya adalah untuk menggembirakan, memperteguh keyakinan,
dan untuk mendidik. Tulisan-tulisan suci seperti yang termaktub dalam
kitab-kitab agama Kristen, Al-Qur’an, Avesta, Weda, Ginza, Grath,
Tripitaka, mengungkapkan suatu norma kehidupan. Hal penting yang
dikaitkan dengan pemahaman tulisan-tulisan suci menjelaskan adannya
pertumbuhan literature tingkat kedua yang memiliki ciri penafsiran (tradisi
). Sekarang kita akan kembali pada uraian tentang pengakuan iman dan
rumus-rumus keyakinan dalam usaha kita mempelajari bentuk-bentuk

39
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 98.
40
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 103.

14
ungkapan intelektual pengalaman keagamaan. Semua agama besar dunia
memiliki pernyataan iman yang mungkin merupakan kutipan-kutipan dari
tulisan-tulisan suci, semisal schema dalam agama yahudi. Pengakuan-
pengakuan semacam itu lambat laun brkembang dalam agama-agama
Kristen, Islam, Zoroaster, dan Budha.41
2. Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Perbuatan

Tingkah laku agama yang pertama dan utama menurut Von Hugel,
“adalah pemujaan.” Dari satu segi, kultus dapat dijelaskan sebagai sebuah
reaksi penghayatan terhadap relasi Mutlak atau Tertinggi. Tuhan datang
kepada manusia ketika manusia mendekati Tuhan.
Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan (nyata)
dapat berupa bakti atau peribadatan dan pelayanan. Ibadat adalah tingkah laku
tertinggi dalam kehidupan keberagamaan seorang manusia. Wach mengatakan
bahwa dalam realitas Mutlak hanya ada satu yang diperbuat, yaitu memuja.
Sebuah penelitian belum lama berselang mengenai ibadat Kristen menyatakan;
pemujaan adalah tanggapan perasaan kita (perasaan keagamaan yang khas),
pemujaan adalah hormat yang mendalam yang dikembangkan menuju titiknya
yang tertinggi dan merupakan sebuah suasana fikiran yang kompleks dan
tersusun dari rasa kagum, takut dan cinta.42
Ungkapan Pengalaman dalam Bentuk Persekutuan

Perbuatan agama merupakan perbuatan keagamaan dari seseorang.


Penelitian terhadap agama-agama primitif memperlihatkan bahwa agama-
agama pada umumnya merupakan suatu usaha bersama, meskipun terdiri dari
pengalaman-pengalaman perorangan.43 Dan dalam melalui perbuatan
keagamaan, terbentuk kelompok keagamaan. Tidak ada agama yang tidak
mengembangkan suatu bentuk persekutuan keagamaan. Hocking
mempertanyakan “mengapa homo religious berusaha membentuk suatu
41
Baca Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm, 109-111.
42
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm, 152.
43
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm, 186

15
kelompok. Dia menjawabnya dengan mengatakan bahwa adanya kelompok
merupakan suatu pembenaran dan perkembangan eksperimental yang
berkelanjutan baik mengenai kebenarannya ataupun mengenai caranya
menuangkan dalam kenyataan.44
Dalam kaitannya dengan ungkapan pengalaman keagamaan yang
nyata, kita telah mencatat bahwa perbuatan-perbuatan bersama dalam
ketaatan dan menjalankan peribadatan dapat memberikan suatu ikatan
kesatuan dikalangan para anggota suatu kelompok kultus yang luar biasa
kuatnya. Berdoa bersama dijadikan tanda persekutuan spiritual yang
terdalam. Bekerja sama dalam melaksanakan suatu persembahan khusus akan
dapat menciptakan adanya suatu persekutuan yang tetap. Suatu ikatan
persaudaraan akan dapat timbul dari pemujaan bersama yang dilakukan
sejumlah orang terhadap seorang nabi atau orang suci. Perbuatan kurban juga
menjadi contoh dari perbuatan-perbuatan kultus lain yang mempunyai
pengaruh dalam integrasi social. Kita akan melihat adanya usaha untuk
memperkuat hubungan tarik menarik pada setiap tingkat pengelompokan
social, dalam keluarga atau dalam rumah tangga, dalam perkawinan atau
dalam persahabatan, dalam ikatan keluarga atau ikatan regional, dalam
kampung atau kota, ataupun bangsa masyarakat agama yang lebih spesifik.
Usaha tersebut memperlihatkan fungsi integrasi dari suatu pengalaman
keagamaan bersama.45

Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat penulis tarik kesimpulan


bahwasanya baik A. Mukti Ali ataupu Joachim Wach mempunyai peranan penting
dalam studi agama terutama dalam ilmu perbandingan agama. Penelitian agama
dalam pandangan mereka ada beberapa kesamaan untuk lebih jelasnya penulis
membuat tabel sebagai perikut:

44
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 188.
45
Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, hlm. 194-195.

16
Titik Temu Pemikiran A. Mukti Ali dan Joachim Wach Terhadap Penelitian
Agama
A.Mukti Ali Joachim Wach

Refleksi Agamis Ungkapan Keagamaan dalan bentuk


Pikiran
Pengungkapan Iman dalam Situasi Ungkapan Keagamaan dalan bentuk
Perbuatan & ungkapan keagamaan
Konkrit
dalam bentuk persekutuan

Sikap Agamis Dalam Penelitian Situasi Orang yang boleh melakukan penelitian
agama adalah orang yang beragama46
Konkret Kaum Agama

Terdapatnya persamaan-persamaan antara keduanya menurut penulis tidak


menutup kemungkinan bahwa A. Mukti Ali terpengaruh dari pemikiran Joachim
Wach meskipun penulis belum dapat memastikan hal tersebut. Dalam bukunya
Ilmu Perbandingan Agama, A. Mukti Ali menyebut buku The Comparative Study
of Religions karya Joachim Wach sebagai buku-buku rujukan yang dipakai dalam
pembuatan buku tersebut.

46
Keterangan ini penulis dapat dalam mata kuliah Metodelogi Penelitian dan Resolusi
Konflik yang diampu oleh Dr. Ahmad Muttaqin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 2011. Studi Agama Normativitas atau


Historisitas?.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ali, A. Mukti . 1981. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali.

Ali, A. Mukti . 1982. Penelitian Agama di Indonesia dalam Mulyanto Sumardi


Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran. Jakarta: Sinar Harapan.

Ali, A. Mukti. 1991. Metode Memahami Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ali, A. Mukti. 1998. Ilmu Perbandingan Agama. Bandung: Mizan
Basuki, A. Singgih. 2013. Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali.
Yogyakarta:SUKA Press.

Damami, M. dkk,. 1993. H.A. Mukti Ali: Ketaatan, Kesalehan dan


Kecendekiaan dalam Abdurrahman dkk (ed), 70 Tahun H.A Mukti Ali
Agama dan Masyarakat. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.

Djam’annuri. Joachim Wach Tentang Agama dalam Jurnal Al-Jamiah No. 30 Th.
1983.
Djam’annuri. 1998. Ilmu Perbandingan Agama Pengertian dan Objek Kajian.
Yogyakarta: PT Kurnia Alam Semesta.
http://en.wikipedia.org/wiki/Joachim_Wach, diakses tanggal 11 Maret 2014.

Wach, Joachim. 1994. Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengalaman
Keagamaan, Joseph M Kitagawa (ed),. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Wawancara dengan A. Mukti Ali sebagaimana dikutip dari, Ali Munif, “Prof. Dr.
A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru” dalam
Azumardi Azra dan Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama.

18

Anda mungkin juga menyukai