(AGAMA MIMPI)
O
L
E
H
1
Kata Pengantar
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I Jama’ah Tabligh dan Latar Belakangnya ................................ 4
A. Kelahiran Maulana Muhammad Ilyas, Pendiri Jama’ah tabligh...........4
B. Masa Kecil dan Pendidikan Maulana Muhd. Ilyas ............................. 4
C. Guru-Guru Maulana Muhammad Ilyas ................................................ 5
D. Meninggal Dunia .................................................................................. 6
E. Kelahiran Jama’ah Tabligh ................................................................... 6
F. Jama’ah Tanpa Nama ............................................................................ 7
G. Enan Prinsip Dakwah Jama’ah Tabligh ............................................... 7
H. Kitab-Kitab Pegangan Jama’ah Tabligh................................................8
I. Tokoh-Tokoh Jama’ah Tabligh..............................................................9
BAB II, Kekeliruan-Kekeliruan Jama’ah Tabligh...............................11
Masalah 1 (Khuruj Berdasarkan Penafsiran al-Qur’an Melalui mimpi....11
Masalah 2 (Perbuatan Dosa Besar mengakibatkan Seseorang menjadi Kafir)..........29
Masalah 3, (Anti Kekuasaan Negara)......................................................30
Masalah 4, (Menuduh Para Anbiya Melakukan Dosa Besar)..................32
Masalah 5, (Menyatakan Bersyukur dengan Sikap Berpura-pura)..........34
Masalah 6, (Tidak Boleh membenci Aliran-Aliran Sesat)......................34
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
3
BAB I.
JAMA’AH TABLIGH DAN LATAR BELAKANGNYA
1
Ali Nadwi, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, (Terj. oleh
Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff. Yogyakarta, Hal 5, 6 dan 8
2
. Ibid, Hal 10, 11 dan 13
4
Siapakah Syekh Rasyid Ahmad al-Gangohi ?
Syekh Sayed Ahmad Syihabuddin menjelaskan bahwa beliau merupakan
salah seorang diantara sekian banyak pengikut Muhammad Abdul Wahab (pencetus
ajaran Wahabi) yang mengkafirkan umat Islam karena bertawasul dengan Nabi dan
hamba Allah SWT yang shalih. Sebagaimana ikutannya, Muhammad bin Abdul
Wahab, Syekh Rasyid Ahmad al-Qangohi menganggap bahwa membaca Maulid dan
berdiri disaat zikir Maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang keji dan perilaku yang yang
berlebihan dalam agama yang tidak dikerjakan kecuali orang-orang yang bodoh. Dan
demikian juga Rasyid al-Gangohi berpendapat membaca al-Fatihah pada hari ketiga
atau keempat hari kematian tidak ada dasar hukumnya dan tidak dibenarkan sama
sekali3
Apakah Maulana Muhammad Ilyas terpengaruhi dengan ajaran pengikut
Jama’ah Wahabiyah ini ? jawabnya wallahu a’lam bishshawab. Tetapi menurut
Syekh Syihabuddin di atas, Rasyid adalah orang yang pertama yang menjadi panutan
Maulana Muhammad Ilyas serta mengklaim bahwa Rasyid adalah seorang mujaddid
dan qutub al-irsyad (dua gelar yang sangat dihormati dan dikagumi dalam dunia
Islam)4. Hubungan Maulana Muhammad Ilyas dengan Rasyid al-Qangohi juga dapat
disimak dari penuturan Muhammad Ilyas ketika bertemu dengan menantu Rasyid al-
Qangohi :
“ Telah kudapatkan nikmat agama melalui ahli keluarga anda. Aku adalah budak
keluarga anda. Apabila seorang budak mendapatkan sesuatu yang baik, maka
sepatutnyalah ia menghidangkannya kepada tuannya sebagai hadiah. Aku ini
budak, telah mendapatkan warisan kenabian dari keluarga anda” 5
3
Muhammad Mahbuh al-Haq Anshari, Hujjah al-Qathi’ah ‘ala Munnkiri ad-Du’a wal
Maulid wal Fatihah wa Syaiun Minashshalah wassalam, Hal 12-16
4
Syekh Sayed Ahmad Syihabuddin, Membuka Tabir Kesalahan Jamaah Tabligh
(Terjemahan Tgk H. Hasanul Basri HG), Hal.19-20 dan lihat buku Mutiara Hikmah Ulama Ahli
Dakwah, susunan Maulana Manzhur Nu’mani, Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal. 70
5
Maulana Manzhur Nu’mani, Mutiara Hikmah Ulama Ahli Dakwah, Pustaka Ramadhan,
Bandung, Hal. 70
5
2. Syekh Rasyid Ahmad Aa-Gangohi, seorang alim, pembaharu pengikut Wahabi
berdomosili di Desa Gangoh, kawasan Shaharanpur Wilayah Utar Pradesh, India
3. Syekh Mahmud Hasan, terkenal sebagai Syekh Hindi, Ketua Pengajaran dan Guru
Hadits Darul Ulum Deoband, India
4. Syekh Muhammad Yahya, saudara kandungnya
5. Maulana Ilyas juga pernah berbai’at kepada Syekh Khalil Ahmad As-
Shaharunpuri, penulis Kitab Badzlul Majhud Fi Hili al-Fafazhi Abi Daud 6
D. Meninggal Dunia
Pada malam hari tanggal 13 Juli 1944 M Maulana Muhammad Ilyas telah
besiap-siap untuk menempuh perjalannya terakhir. Ketika malam menjelang pagi,
beliau mencari puteranya, Syekh Muhammad Yusuf . Ketika datang, Maulana berkata
kepada puteranya itu :
“Kemarilah engkau, aku ingin memelukmu, tidak ada waktu setelah malam ini.
Sesungguhnya aku akan pergi “.
Sebelum azan Shubuh, Maulana Muhammad Ilyas menhembus nafas terakhir. Setelah
Shalat Shubuh orang-orang telah mengangkat Syekh Muhammad Yusuf sebagai
pengganti Maulana dan mereka mengikat sorban Maulana di kepalanya.7
E. Kelahiran Jama’ah Tabligh
Pada Bulan Syawal Tahun 1344 H, Maulana menunai ibadah haji yang kedua
kalinya. Pada kesempatan haji yang kedua inilah terbuka hatinya untuk memulai
usaha dakwah dan pergerakan agama yang menyeluruh. Sepulang beliau dari haji di
Makkah, dalam sebuah pertemuan di Nooh, kawasan Mewat, Maulana menawarkan
kepada khalayak ramai agar jama’ah untuk keluar (Khuruj) di kampung-kampung
tetangga dalam rangka menyampaikan dakwah. Pada saat itu banyak hadirin yang
bersedia dan meminta waktu untuk persiapan. Setelah genap satu bulan terbentuklah
jama’ah dan mereka menentukan rute kampung yang akan dikunjungi (Jaulah).
Seterusnya jama’ah tersebut bergerak dari satu rute ke rute lainnya. Inilah awal
berdirinya gerakan Jama’ah Tabligh.8
6
Ali Nadwi, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, (Terj. oleh
Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff. Yogyakarta, Hal 13-14
7
Ibid, Hal 128-130
8
Ibid, Hal. 42
6
F. Jama’ah Tanpa Nama
Sebenarnya Maulana Muhammad Ilyas sewaktu memulai usaha jama’ah ini
tidak memberi sebuah nama sebagaimana lazimnya sebuah jamaah. Karena jama’ah
ini penekanannya lebih kepada tabligh, maka dunia Internasional menyebut dengan
nama Jama’ah Tabligh. Namun di Indonesia nama jama’ah tabligh terjadi perbedaan
menurut daerah. Di Nusa Tenggara Barat ada yang menyebut dengan nama Jama’ah
Kompor karena sering menjinjing kompor dalam perjalanan khuruj. Di Aceh ada
yang menyebutnya Awak Majeulih Taklem (Kelompok Majelis Taklim) karena
sering mengajak masyarakat mendengar pembacaan taklim Kitab Fadhailul A’mal.
Ada juga yang memanggil jamaah ini awak meukupiah puteh atau awak meujanggot.
Penyebutan dengan nama dua terakhir ini karena para jama’ah menyenangi memakai
peci putih (di Aceh sering disebut peci haji, karena biasanya orang yang baru pulang
haji kerap memakai peci ini) dan memelihara jenggot sebagai usaha mengikuti
Sunnah Nabi SAW. Untuk kawasan Medan, Jama’ah sering dipanggil dengan
Jama’ah Jalan Gajah, karena markaz perhimpunan jama’ah terletak pada mesjid kecil
di jalan Gajah Medan. Warga Jakarta dan Pulau Jawa menyebut jamaah ini dengan
Jama’ah Mesjid Kebun Jeruk. Mesjid yang beralamat di Jalan Hayam Wuruk No. 83
Jakarta Pusat merupakan pusat Jama’ah Tabligh di Jakarta dan sekitarnya.9
Dari sekian banyak nama-nama yang menjadi panggilan para jamaah,
nampaknya nama Jama’ah Tabligh merupakan nama yang terpopuler dan dianggap
resmi baik oleh para jama’ah sendiri maupun orang luar jama’ah.
G. Enam Prinsip Yang Harus Digunakan Jama’ah Tabligh dalam Dakwahnya
Enam prinsip tersebut adalah :
Pertama :memasukkan hakikat kalimat thaiyibah Laa ilaha illallah
Muhammadurrasulullah
Kedua : shalat kusyu’ dan khudhu’
Ketiga : ilmu dan zikir
Keempat : ikramul muslimin, yaitu memuliakan saudara muslim
Kelima : tashlihul niat, yakni meluruskan niat
9
H. Miswar Sulaiman, Menuju Jalan Sunnah Rasulullah SAW, Pengenalan Awal Jama’ah
Tabligh, Yayasan PeNA, Banda Aceh, Hal. 7-10
7
Keenam :dakwah ilallah dan khuruj fiisabilillah, yakni menyeru manusia
kepada Allah keluar di jalan Allah 10
H. Kitab/Buku yang Sering Digunakan Sebagai Pedoman Ibadah dan
Berdakwah Oleh Jama’ah Tabligh
Kitab/buku tersebut antara lain :
1. Malfudhat Hazhrat Maulana Muhammad Ilyas., susunan Manzhur Nu’many
Buku ini sudah diterjemah dalam Bahasa Indonesia dengan judul Mutiara Hikmah
Ulama Ahli Dakwah.
2. Fadhailul A’mal, karangan Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi,
dengan berbagai terjemahannya dalam Bahasa Indonsia. Buku ini yang tebalnya
sampai dengan 726 halaman lebih banyak menjelaskan kelebihan-kelebihan amal
dan ibadah. Buku terdiri dari 7 bagian, yaitu : Fadhilah Shalat, Fadhilah Zikir,
Fadhilah Qur’an, Fadhilah Tabligh, Fadhilah Ramadhan, Hikayat Para Shahabat
dan Keruntuhan Ummat. Buku Fadhaillul A’mal ini sangat populer dikalangan
Jama’ah Tabligh Indonesia dan Aceh khususnya.
3. Al-Hadits al-Muntakhabah, dihimpun oleh Maulana Muhammad Yusuf al-
Kandahlawi. Beliau adalah putra sulung dari Maulana Muhammad Ilyas. Kitab ini
disusun kembali dengan beberapa penambahan oleh Maulana Muhammad Sa’ad
al-Kandahlawi. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh M.Q. al-Hakim dengan
judul Hadits-Hadits Pilihan Dalil-Dalil Enam Sifat Para Sahabat
4. Fadhilah Sadaqah, karangan Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi
dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Buku ini terdiri dari tujuh pasal,
yaitu Keutamaan Menginfak Harta, Celaanan Terhadap Kekikiran, Keutamaan
Silaturrahmi, Penegasan Atas Zakat, Ancaman Atas Orang Yang Tidak
Menunaikan Zakat, Anjuran Atas Zuhud, Qana’ah dan Tidak Meminta, dan Tujuh
Puluh Cerita Tentang Ahli Zuhud dan Bersedeqah di Jalan Allah
5. Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas, karangan Sayyed
Abu Hasan Ali Nadwi, dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Buku ini
menceritakan riwayat hidup Syekh Maulana Muhammmad Ilyas, pendidikan dan
10
Dr. Abdul Khaliq Pirzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan
penentangnya (Terj. oleh Masrokhan Ahmad), Ash-Shaff, Yogyakarta, Hal.25-27
8
perjalanan hidupnya dalam usaha membentuk dan mengembangkan Jama’ah
Tabligh
6. Satu-satunya Cara Memperbaiki Kemerosotan Umat Islam di Zaman ini,
karangan Syekh Maulana Istihyamulhasan (Dicetak Dalam Kitab dengan
Himpunan Fadhailul A’mal karangan Syekh Zakariyya al-Kandahlawi)
7. Otobiografi Kisah-Kisah Kehidupan Syaikhul Hadits Maulana Zakariyya al-
Kandhalawi, Karangan Maulana Zakariyya al- Kandhalawi,
8. Hayah Shahabah, karangan Maulana Muhammad yusuf
I. Tokoh-Tokoh Jama’ah Tabligh
Adapun tokoh-tokoh Jama’ah Tabligh adalah antara lain :
1. Maulana Muhammad Ilyas, beliau lahir pada tahun 1303 H/1886 M Kandhla,
India, penggagas pertama berdirinya Jamaah Tabligh sekaligus pemimpin pertama
Jamaah Tabligh
2. Maulana Muhammad Yusuf, putra Maulana Muhammad Ilyas, pengganti ayahnya
setelah Muhammad Ilyas meninggal dunia. Beliau menyusun kitab antara lain al-
Muntakhab al-Hadits, dan buku Khuruj fi Sabilillah Menurut Al-Qur’an dan Al-
Hadits , yang menjadi buku rujukan bagi para pengikut Jama’ah Tabligh dalam
berdakwah.
3. Maulana Istihyamul Hasan, pemimpin Jama’ah Tabligh setelah Maulana
Muhammad Yusuf. Beliau mengarang buku antara lain : Satu-Satunya Cara
Memperbaiki Kemerosotan Umat Islam di Zaman ini,
4. Maulana Zakariya al-Kandhalawi, lahir 11 Ramadhan 1315 H di kandla, India.
Beliau ini adalah keponakan dari Maulana Muhammad Ilyas. Ayah Zakariya,
Syekh Muhammad Yahya sauadara sekandung dengan Maulana Muhammad
Ilyas. Maulana Zakariya ini seorang penulis buku aktif. Banyak bukunya yang
menjadi pedoman bagi para Jama’ah Tabligh. Diantara buku-bukunya yang
sangat terkenal di kalangan Jama’ah Tabligh adalah Himpunan Fadhailul Amal.
Maulana Zakariya al-Kandhalawi, sebagaimana Maulana Ilyas, pamannya, juga
punya hubungan yang sangat dekat dengan Syekh Rasyid Ahmad, seorang
pembaharu pengikut Wahabi, bahkan menganggapnya sebagai mursyidnya.
Berkata Maulana Zakariyya:
9
” …….dan teman akrab ayah saya, Syaikh mursyid saya, yaitu Syaikh Rasyid
Ahmad rah.a., yang jika ditulis segala kebaikan dan keutamaannya, tentu
memerlukan sebuah buku yang cukup tebal.11
5. Maulana Manzhur Nu’mani, Seorang tokoh Jama’ah Tabligh yang sangat dekat
dengan Maulana Muhammad Ilyas. Beliau ini salah seorang anggota pengurus
Rabithah Alam Islami, sering menyertai Maulana Muhammad Ilyas saat khuruj
fisabilillah. Beliau menyusun buku Malfudhat Hazhrat Maulana Muhammad
Ilyas. Buku sudah diterjemah dalam Bahasa Indonesia dengan judul Mutiara
Hikmah Ulama Ahli Dakwah.
6. Abul Hasan Ali Nadwi, sering bersama Maulana Ilyas. Beliau mengarang buku
antara lain Riwayat hidup Maulana Muhammad Ilyas. Menurut Manzhur
Nu’mani, Abul Hasan Ali Nadwi mempunyai hubungan khusus dengan Maulana
Muhammad Ilyas, karena ada hubungan yang erat dalam usaha agama dan
dakwah antara keluarga Maulana Ilyas dengan keluarga Abul Hasan Ali Nadwi.
7. Syekh Muhammad Sa’ad al-Kandhalawi, cucu dari Maulana Muhammad Yusuf.
Beliau telah melakukan penyempurnaan buku Khuruj fi Sabilillah Menurut Al-
Qur’an dan Al-Hadits, karangan kakeknya, Maulana Muhamammad Yusuf
11
Zakariya al-Kandahlawy, Otobiografi Kisah-Kisah Kehidupan Syaikhul Hadits Maulana
Zakariyya al- Kandhalawi, (Terj. Abd Rahman Ahmad as-Sirbuny), Pustaka Nabawi, Cirebon, Hal.
139
10
B AB II
KEKELIRUAN-KEKELIRUAN JAMA’AH TABLIGH
Masalah 1
Maulana Muhammad Ilyas dalam menetapkan metode gerakan Jama’ah
Tabligh menggunakan dalil al-Qur’an dengan penafsirannya berdasarkan mimpi. Hal
ini dikeahui sebagaimana pernyataannya dalam kitabnya, Malfudhat :
“ Ketahuilah ! Aku menemukan jalan bertabligh ini melalui mimpi dan Allah SWT
juga mengajariku dalam mimpi penafsiran ayat :
َ علَ ْي ِه ْم ِب ُم
صي ِْط ٍر َ لَس
َ ْت
dan ayat
وماأنت عليهم بوكيل
yang maksudnya adalah mengenai hidayah orang Arab sudah ada kejelasannya dan
tidak perlu menjadi beban pikiran bagimu. Sedangkan lafazh تؤمنون باهللmenunjukan
kepada bahwa keimanan itu akan terus bertambah dengan melaksanakan amar ma’ruf
dan nahi mungkar.12
12
Mansur Nu’mani, Malfudhat, (Terjemahan kedalam Bahasa Melayu oleh Humayun
Chowdhury), Pustaka Timur, Trengganu, Malaysia, Hal. 40-42, dan lihat Syaikh Ahmad Syihabuddin,
Kasyf al- Syubhah,(terjemahan oleh Syaikh Hasanul Basry HG), Hal.4.
11
Berdasarkan pernyataan Muhammad Ilyas di atas, dapat dinyatakan di sini
bahwa penafsiran ayat di atas menurut pendiri Jama’ah Tabligh ini, kurang lebih
sebagai berikut
“ Kalian orang-orang Arab (termasuk Muhammad Ilyas sendiri, karena beliau ini
menurut catatan adalah keturunan Abubakar Siddiq) adalah sebaik-baik umat yang
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar kepada bangsa bukan Arab. Dengan
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar tersebut kamu akan mendapatkan
kemajuan keimananmu.”.
Lebih lanjut pengertian dakwah ala Jama’ah Tabligh dapat disimak dari
pernyataan Maulana Muhammad Ilyas pada kali yang lain sebagaimana kutipan Abul
Hasan Ali Nadwy salah seorang yang sangat dekat dan pengikut setia Maulana
Muhammad Ilyas,
“ Sesungguhnya masyarakat Mewat (kelompok masyarakat yang pertama sekali
masuk dalam Jama’ah Tabligh, pen.) tidak mungkin dapat merasakan nikmatnya
agama dan lezatnya iman, kecuali apabila mereka sanggup mengabdikan sepenuh
hati dalam usaha menggalakkan manusia agar meninggalkan kampungnya selama
empat bulan, bergerak dari satu negeri kenegeri lainnya untuk menyampaikan
agama dan bahkan menjadikan usaha dakwah ini sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan mereka”.14
Dalam upaya membenarkan penafsirannya terhadap ayat Q.S. Ali Imran : 110
dengan berdasarkan mimpi sebagaimana tersebut di atas, Muhammad Ilyas mengutip
hadits Nabi SAW yang berbunyi :
13
Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid, Meluruskan kesalahpahaman Terhadap Jaulah
(Jama’ah Tabligh), (Terjemahan oleh Mulwi Muhammad Makmun), Pustaka Haromain, Hal. 48
14
Abul Hasan Ali Nadwy, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas,
(terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yogyakarta Hal 54
12
“ Mimpi adalah satu perempat puluh enam dari pada nubuwah (kenabian)” 15
Timbul pertanyaan :
1. Bolehkah berhujjah dengan menggunakan dalil mimpi dalam menafsirkan Al-
qur’an dan penetapan hukum?
2. bagaimanakah tafsir Q.S. Ali Imran : 110 menurut ahli tafsir yang muktabar di
kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah ?
3. Bagaimanakah penafsiran hadits Nabi “mimpi adalah satu perempat puluh enam
dari pada nubuwah (kenabian)” menurut tafsir yang muktabar ?
Analisis
1. Jawaban pertanyaan pertama
Dalam khazanah sejarah penggalian hukum Islam tidak pernah dikenal
penetapan suatu hukum atau penafsiran ayat Al-Qur’an berdasarkan mimpi, mulai
dari sahabat Nabi sampai dengan sejarah imam-imam mujtahid. Manusia selain Nabi
adalah tidak ma’shum. Tidak ada jaminan mimpi seorang manusia selain Nabi tidak
dipengaruhi bisikan-bisikan syaithan. Hanya mimpi para Nabi merupakan kebenaran
sebagaimana mimpi Nabi Ibrahim diperintah Allah SWT menyembelih anaknya,
Ismail. 16
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
15
Mansur Nu,mani, Malfudhat, (Terjemahan oleh Humayun Chowdhury), Pustaka Timur,
Trengganu, Malaysia, Hal. 40
16
Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Takwil, Muassasah Sya’ban, Beirut,
Juzu’ V, Hal 9 dan Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’
III, Hal. 342
17
Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia Juz. IV, Hal 105
13
berhujjah, karena selain Rasul Allah tidak ma’shum dan tidak ada jaminan mimpi
tersebut benar-benar datang dari Allah SWT dan bukan dari bisikan Syaithan.
Keterangan ulama muktabar lainnya mengenai kedudukan mimpi dalam
penetapan hukum antara lain :
1. Ibnu Shalah dalam kitab Fatawanya :
“Masalah : Seorang laki-laki mendakwa dirinya bermimpi bertemu Nabi SAW
dalam tidurnya. Nabi SAW mengatakan suatu perkataan yang mengandung
hukum syar’i, maka apakah boleh mengamalkannya ?. Beliau (Ibnu Shalah)
menjawab : “Tidak boleh memegang hal itu berdasarkan apa yang dilihat dan
didengar dari Rasulullah SAW dalam mimpinya. Hal ini bukanlah karena tidak
percaya bahwa orang yang melihat Rasulullah SAW dalam mimpi, maka ia
melihat kebenaran. Itu dapat dipercaya, tetapi karena tidak dapat dipercaya
zhabith orang yang bermimpi tersebut.” 18
2. Ketidakhujjahan mimpi dalam penetapan hukum juga dapat kita simak dari
pernyataan Zarkasyi dalam Bahrul Muhizh bahwa hukum tidak dapat ditetapkan
berdasarkan mimpi kecuali pada diri anbiya atau pengakuan mereka.19
3. Al-Ustaz Abu Ishaq Syairazi berkata :
“Tidak boleh menetapkan sesuatu berdasarkan mimpi. Oleh karena itu, kalau
seseorang bermimpi melihat Nabi SAW memerintahnya menetapkan sesuatu
hukum, maka tidak lazim mengikutinya”. 20
4. Ketidakhujjahan mimpi juga dapat dipahami dari uraian Ibrahim Bajuri dalam
Hasyiah al-Bajury dalam menjawab isykal masalah penetapan azan dengan mimpi
Zaid bin Abdullah yang tersebut dalam riwayat Abu Daud dan Turmidzi.
Riwayat Abu Daud berbunyi :
عبد هللا بن زيد قال لما أمر رسول هللا صلى هللا عليه و سلم بالناقوس يعمل ليضرب به للناس
لجمع الصالة طاف بي وأنا نائم رجل يحمل ناقوسا في يده فقلت يا عبد هللا أتبيع الناقوس ؟ قال
وما تصنع به ؟ فقلت ندعو به إلى الصالة قال أفال أدلك على ما هو خير من ذلك ؟ فقلت له بلى
قال تقول هللا أكبر هللا أكبر هللا أكبر هللا أكبر أشهد أن ال إله إال هللا أشهد أن ال إله إال هللا أشهد
أن محمدا رسول هللا أشهد أن محمدا رسول هللا حي على الصالة حي على الصالة حي على
الفالح حي على الفالح هللا أكبر هللا أكبر ال إله إال هللا قال ثم استأخر عني غير بعيد ثم قال ثم
تقول إذا أقمت الصالة هللا أكبر هللا أكبر أشهد أن ال إله إال هللا أشهد أن محمدا رسول هللا حي
. على الصالة حي على الفالح قد قامت الصالة قد قامت الصالة هللا أكبر هللا أكبر ال إله إال هللا
فلما أصبحت أتيت رسول هللا صلى هللا عليه و سلم فأخبرته بما رأيت فقال " إنها لرؤيا حق إن
18
Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Darul Hadits, Kairo, Hal. 135
19
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49
20
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49
14
شاء هللا فقم مع بالل فألق عليه ما رأيت فليؤذن به فإنه أندى صوتا منك " فقمت مع بالل
فجعلت ألقيه عليه ويؤذن به قال فسمع ذلك عمر بن الخطاب رضي هللا عنه وهو في بيته
فقال رسول. فخرج يجر رداءه ويقول والذي بعثك بالحق يا رسول هللا لقد رأيت مثل ما رأى
"هللا صلى هللا عليه و سلم " فلله الحمد "حسن صحيح
Artinya :Abdullah bin Zaid berkata : Ketika Rasulullah SAW memerintah memukul
lonceng untuk mengumpulkan manusia untuk shalat, suatu malam dalam
tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng
sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya : Hai
hamba Allah apakah kamu hendak menjual lonceng itu. Orang tersebut
malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan
membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk
menunaikan shalat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara
yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata : Engkau
katakan : Allahu Akbar Allahu Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah
Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya 'alash shalah Hayya
'alash shalah, Hayya 'alal falah Hayya 'alal falah, Allahu Akbar Allahu
Akbar La ilaha illallah. Ketika esoknya aku bangun, aku menemui
Muhammad SAW menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian
Muhammad berkata, "Itu mimpi yang haq insya Allah. Berdirilah
disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu.
Dia harus mengumandangkan azan seperti itu dan dia memiliki suara
yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal. Umar
bin Khatab r.a. yang lagi berada di rumahnya mendengar azan itu, maka
Umarpun keluar dengan menjulurkan rida’nya, kemudian berkata : Demi
Tuhan yang mengutus engkau hai Muhammad dengan kebenaran,
sesungguhnya aku telah bermimpi sebagaimana yang telah dia mimpikan.
Maka Rasulullah bersabda : bagi Allah segala pujian. Berkata Abu Daud
: Hadits ini hasan shahih (H.R. Abu Daud) 21
فقم، إن هذه لرؤيا حق: فقال، فأخبرته بالرؤيا،لما أصبحنا أتينا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
قال فلما سمع عمر بن، وليناد بذلك، فألق عليه ما قيل لك، فإنه أندى وأمد صوتا منك،مع بالل
وهو، وهو يجر إزاره،الخطاب نداء بالل بالصالة خرج إلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
فقال رسول هللا صلى: قال، لقد رأيت مثل الذي قال، والذي بعثك بالحق، يا رسول هللا:يقول
." فذلك أثبت، فلله الحمد:هللا عليه وسلم
Artinya : Ketika pagi tiba, aku ( Abdullah bin Zaid) mendatangi Rasulullah SAW
dan menceritakan mimpiku. Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya ini
adalah mimpi yang haq. Maka lakukanlah bersama bilal, karena suara
Bilal lebih lantang dan nyaring darimu. Ajarilah dia apa yang dikatakan
kepadamu dan hendaklah Bilal melakukan azan dengannya. Manakala
21
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 189, No. Hadits : 499
15
mendengar azan Bilal untuk shalat, Umar bin Khatab keluar dengan
menjulurkan rida’nya, menemui Rasulullah SAW dan berkata : Ya
Rasulullah, demi Tuhan yang mengutuskan engkau dengan kebenaran,
sesungguhnya aku telah melihat dalam mimpiku sama seperti yang
dikatakannya. Bersabda Rasulullah SAW : Bagi Allah pujian. Karena itu,
aku tetapkan demikian. (H.R. Turmidzi) 22
Hal senada juga dapat dilihat dalam Kitab I’anatuthalibin.24 Pernyataan yang
lebih tegas lagi dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam mengomentari hadits di atas,
yakni :
“Hal tersebut bukanlah pengamalan dengan semata-mata mimpi. Ini termasuk
sesuatu yang tidak diragukan dengan tanpa khilaf”. 25
22
Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 122, No. Hadits : 189
23
Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz I, Hal. 160
24
Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juzu’ I, Hal. 229.
25
An- Nawawi, Syarah Muslim, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 76
26
An-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 292
16
karena dia dalam keadaan tidur. Oleh karena itu, ketidakbolehan mengamalkan
mimpi dalam penetapan hukum bukan hanya berlaku untuk masalah puasa saja, tetapi
juga untuk masalah-masalah yang lain, seperti masalah khuruj ala Jama’ah Tabligh.
Keterangan yang dikemukakan oleh an-Nawawi di atas, juga dikemukan oleh Ibnu
Hajar al-Haitamy dan Bujairumi sebagaimana di bawah ini.
6. Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Tidak berpuasa dengan sebab bermimpi berjumpa Rasulullah SAW dalam tidur
yang mengatakan bahwa besok bulan Ramadhan, karena jauh dhabith orang
bermimpi, bukan diragukan mimpinya”
“Tidak diiktibar pula perkataan orang yang mengatakan : “Nabi SAW telah
mengabari dalam tidurku bahwa malam ini adalah awal Ramadhan.” Maka
tidak sah puasa dengannya dengan ijmak, karena tidak ada dhabith orang yang
bermimpi, bukan karena diragukan yang dilihat dalam mimpinya.”28
Berdasarkan pernyataan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa para ulama
besar tersebut sepakat bahwa mimpi tidak dapat dijadikan hujjah dalam penetapan
hukum. Oleh karena itu, dalam kalangan Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah, kita hanya
mengenal sumber – sumber hukum, yaitu : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaulul
Shahaby, Ishtishhab, Maslahah Murshalah, Istihsan, Saddul Zara-i’, Kebiasaan
Penduduk Madinah. Mimpi atau ilham tidak termasuk di dalamnya. Mengenai ilham,
telah berkata Syekh Zakaria Al-Anshary :
“Ilham yang terjadi pada manusia yang tidak ma’shum tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah, karena tidak aman dari tipu daya syaithan” 29
27
Ibnu Hajar al-Haitamy dan Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya, Mathtba’ah
Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 373-374
28
Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III,
Hal. 102
29
Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah Labbul Ushul, Usaha Keluarga,
Semarang, Hal 140 dan Al-Banany, Hasyiah Albanany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-
Kutub al-Arabiyah, Juzu’ II, Hal. 356
17
Khusus mengenai penafsiran Al-Qur’an, berikut keterangan para ulama
Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai sumber-sumber tafsir yang dapat menjadi
pedoman dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an, antara lain :
1. Ibnu Katsir dalam menjelaskan metode tafsirnya mengatakan :
“ Pada ketika itu, apabila kita tidak mendapatinya dalam Al-Qur’an dan juga
tidak pada sunnah, maka kita kembali kepada pendapat sahabat, karena mereka
lebih tahu tentang itu”.
Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai qaul tabi’in. Menurut pendapat yang
shahih tidak menjadi hujjah. 30
2. Berkata Ahmad`Shawy :
“Sumber tafsir adalah al-Kitab, al-Sunnah, atsar dan ahli fashahah dari orang-
orang Arab asli.”31
3. Zarkasyi menjelaskan kepada kita bahwa ada empat sumber tafsir, yaitu naqal
(kutipan) dari Rasulullah SAW, perkataan sahabat, muthlaq lughat dan
muqtazhaa makna kalam dan muqtazhaa kekuatan syara’. Penggunaan perkataan
sahabat adalah karena perkataan sahabat ditempatkan pada posisi marfu’.
Sedangkan perkataan tabi’in terjadi perbedaan ulama dalam menjadikannya
sebagai sumber tafsir. 32
Memperhatikan keterangan ulama di atas, kita bertanya-tanya, pedoman apa
yang dipergunakan oleh Maulana Muhammad Ilyas, pendiri Jama’ah Tabligh ini
sehingga berani mentafsirkan suatu firman Allah berdasarkan mimpinya ?.
Sebagian pengikut Jama’ah Tabligh (Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid)33
dalam membenarkan penafsiran al-Qur’an dengan mempedomani mimpi ini ada yang
mengutip pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id yang dikutip oleh Zarkasyi dalam Kitab Bahrul
Muhizh, yaitu
“Apabila perintahnya dengan sebuah perintah yang penetapannya pada waktu jaga
adalah sebaliknya, seperti perintah meninggalkan wajib atau perintah
meninggalkan sunat, maka tidak boleh mengamalkannya dan apabila perintah
30
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. I, Hal. 7 dan 10
31
Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ I, Hal.
2
Zarkasyi, al_Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 156-161
32
33
Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid, Meluruskan Kesalapahaman Terhadap Jaulah
(Jama’ah Tabligh), Pustaka Haramain, Hal. 47
18
dengan sesuatu yang tidak ada penetapan sebaliknya pada waktu jaga, maka
dianjurkan mengamalkannya”.34
Argumentasi Mulwi Ahmad Harun Al-Rasyid ini kita bantah dengan beberapa
penjelasan, yaitu :
1. Pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id ini adalah pendapat dha’if (wajh dha’if). Jadi tidak
dapat dijadikan hujjah dalam penetapan suatu hukum, apalagi sebagai pedoman
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini sesuai dengan keterangan pengarang Bahrul
Muhith sebelumnya pada halaman yang sama, yaitu :
“ Pendapat yang kuat adalah yang pertama, karena hukum tidak dapat ditetapkan
berdasarkan mimpi kecuali pada haq anbiya atau pengakuan mereka.”
2. Kalaupun kita berpedoman kepada pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id di atas, maka
mimpi yang boleh diamalkan menurut beliau adalah mimpi yang tidak
bertentangan dengan ketetapan hukum yang wujud pada waktu jaga. Berdasarkan
uraian pada jawaban yang kedua setelah ini, jelas nampak bahwa tafsir Q.S. Ali
Imran :110 ala Muhammad Ilyas adalah bertentangan dengan tafsir yang
bersumber dari sahabat Nabi dan ketetapan hukum yang ditetapkan para ulama
muktabar di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah. Oleh karena itu, kalaupun kita
membenarkan pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id di atas, toh tetap tidak dapat
membenarkan tafsir mimpi ala Muhammad Ilyas tersebut
2. Jawaban pertanyaan kedua
Berikut penafsiran sahabat Nabi dan ulama-ulama tafsir mu’tabar dikalangan
Ahlusunnah wal Jama’ah dan sering menjadi rujukan umat Islam, antara lain :
1. Nashiruddin Al-Baidhawy menafsirkan perkataan أخرجﺕayat 110, Q.S. Ali
34
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 49
35
Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut,
Juzu’II, Hal 36
36
Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ I
dengan Hamisynya, Tafsir Jalalain, Hal. 172 dan Imam Abdullah An-Nasafy, Hamisy Tafsir Kazin,
Juz I, Hal. 265
19
“Makna أخرجﺕadalah dilahirkan bagi manusia sehingga dapat dikenalinya.37
5. Abu Hurairah dalam menafsirkan makna Q.S. Ali Imran : 110 mengatakan:
“Sebaik-baik manusia yang datang untuk manusia dengan merantai leher
manusia itu sehingga mereka masuk Islam”.(H.R. Bukhari) 40
Tidak dapat dipahami dari ayat tersebut adanya perintah keluar meninggalkan
tempat tinggal dalam rangka dakwah, amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagaimana
ala khuruj Jama’ah Tabligh yang tafsirnya berdasarkan mimpi Muhammad Ilyas.
Adapun firman Allah SWT :
َ علَ ْي ِه ْم ِب ُم
صي ِْط ٍر َ لَس
َ ْت
Dan firman Allah SWT :
وماأنت عليهم بوكيل
yang dijadikan dalil oleh Muhammad Ilyas untuk mendukung penafsiran yang
didapati dari mimpi tentang Q.S. Ali-Imran : 110 di atas, penjelasannya adalah
sebagi berikut :
1. Lengkapnya ayat pertama berbunyi :
َ علَ ْي ِه ْم ِب ُم
صي ِْط ٍر َ فَذَ ِك ْر ِإنَّ َما أَ ْن
َ لَس, ت ُمذَ ِك ٌر
َ ْت
37
Al-Kazin, Tafsir al-Kazin, Juz I, Hal. 265
38
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. II, Hal. 93
39
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. II, Hal. 93
40
Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. VI, Hal. 37, No. Hadits : 4557
20
Artinya : Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang
yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas
mereka. (Q.S. al-Ghasyiah : 21-22)
Sesuai dengan ini adalah penafsiran Ibnu Abbas dan al-Mujahid dan lainnya,
beliau mengatakan, tafsirnya adalah :
“Kamu tidak dapat memaksa mereka”.
Ibnu Zaid mengatakan :
“Kamu tidak dapat memaksa mereka untuk beriman”.41
Dan lagi pula ayat ini menurut keterangan Tafsir Jalalain sudah mansukh, jadi
tidak dapat dijadikan hujjah dalam berargumentasi. Ayat ini hanya berlaku pada
awal Islam. Disebut dalam Tafsir Jalalain :
“Ini sebelum adanya perintah jihad”.
Maksudnya, ayat ini dinyatakan mansukh dengan turunnya ayat perintah perang
sebagaimana penjelasan Ahmad Shawy.42
41
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz VIII, Hal. 388
21
2. Menurut kitab indeks al-Qur’an, Fath al-Rahman,43 ayat kedua tersebut di atas,
terdapat pada Q.S. al-An’am : 104-107, Q.S. al-Zumar : 41 dan Al-Syuraa : 6.
Q.S. al-An’am : 104-107 berbunyi :
Tidak dapat dipahami dari firman Allah “Dan kamu sekali-kali bukanlah
pemelihara bagi mereka”, bahwa urusan orang Arab bukan lagi tugas dakwah
Nabi SAW. Justru ayat tersebut memerintah kepada Rasulullah SAW untuk
menyampaikan ayat-ayat Tuhan kepada mereka, tetapi pada akhirnya hanya
Allahlah yang memberikan keimanan dan hidayah kepada setiap manusia. Oleh
karena itu, Rasulullah SAW tidak perlu memaksa mereka untuk beriman. Ayat ini
juga menurut Tafsir Jalalain sudah mansukh dengan turun ayat perintah perang
42
Ahmad Shawy, Tafsir Shawy dan Tafsir al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. IV, Hal. 313
43
Fath al-Rahman li Thalib ayat al-Qur’an, Maktabah Dahlan, Indonesia, Hal. 478
22
44
terhadap orang musyrik. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut
mengatakan :
“Kamu bukan yang bertanggungjawab terhadap rezeki dan urusan mereka. Tidak
ada kewajiban atasmu kecuali menyampaikan dakwah”.45
علَ ْي َها
َ ض ُّل ِ اس بِ ْال َح
َ ق فَ َم ِن ا ْهتَدَى فَ ِلنَ ْف ِس ِه َو َم ْن
ِ َض َّل فَإِنَّ َما ي َ َ علَي َْك ْال ِكت
ِ َّاب ِللن َ ِإنَّا أ َ ْنزَ ْلنَا
علَ ْي ِه ْم ِب َو ِكي ٍل َ َو َما أ َ ْن
َ ت
Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk
manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk,
maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka
sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri,
dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap
mereka.(Q.S. al-Zumar : 41)
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ayat di atas hanya menjelaskan
bahwa Rasulullah tidak dapat memaksa mereka untuk beriman, tetapi yang dapat
membuat mereka beriman hanya Allah SWT. Ini bukan berarti Rasulullah SAW
tidak perlu melakukan dakwah terhadap mereka.
dan Q.S. Al-Syuraa : 6, berbunyi :
44
Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. II, Hal. 37-38
45
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. III, Hal. 314
46
Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. III, Hal. 374
47
Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz. V, Hal. 29. lihat juga
Thabary, Tafsir al-Thabary, Muassasah Risalah, Juz. XXI, Hal. 297
23
Artinya : Dan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah,
Allah mengawasi (perbuatan) mereka dan kamu (Ya Muhammad)
bukanlah orang yang diserahi mengawasi mereka. (Al-Syuraa : 6)
Al-Jalalain mengatakan :
“Kamu bukanlah orang yang menghasilkan sesuatu yang diharapkan dari
mereka. Tidak ada kewajiban atasmu kecuali menyampaikan saja.”48
Ayat ini berdasarkan Qurthuby juga telah dimansukhkan dengan ayat perang. 49
Artinya : Mimpi orang mukmin adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian
kenabian (H.R. Bukhari50 dan Muslim 51)
Hadits yang senada dengan di atas, antara lain :
1. Hadits Muslim :
الرؤيا الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة
Artinya : Mimpi yang baik adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian
kenabian(H.R. Muslim)52
2. Hadits Muslim :
رؤيا الرجل الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة
ِِ Artinya : Mimpi laki-laki yang shaleh satu bagian dari empat puluh enam
bagian kenabian (H.R. Muslim)53
Untuk memahami hadits di atas secara benar, mari kita perhatikan penafsiran
para ulama mu’tabar di kalangan ahlusunnah, antara lain :
48
Jalalain, Tafsir al-Jalalain, Dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. IV, Hal. 32
49
Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar ‘Ali al-Kutub, Riyadh, Juz. XVI, Hal. 6
50
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. IX, Hal 30, No. Hadits : 6988
51
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1774, No.
Hadits : 2263
52
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1774, No.
Hadits : 2263
53
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1774, No.
Hadits : 2263
24
1. Menurut Zarkasyi empat puluh enam yang tersebut pada hadits di atas, semuanya
merupakan jalan untuk menghasilkan ilmu bagi para anbiya. Manusia lain tidak
sampai kepada ilmu tersebut kecuali melalui khabar (berita). Diantara contoh
jalan ilmu para anbiya itu adalah kalam binatang, kalam benda mati, wahyu dan
lain-lain. Mimpi yang benar termasuk dalam empat puluh enam tadi.54 Jadi
menurut Zarkasyi, hadits ini membicarakan mimpi para Nabi, bukan mimpi
manusia selain Nabi. Oleh karena itu, mimpi para Nabi dapat dijadikan hujjah
dalam penetapan hukum, karena termasuk salah satu jalan kenabian, sedangkan
mimpi manusia biasa tidak dapat menjadi hujjah. Yang senada dengan pendapat
ini adalah pendapat al-Khuthaby, beliau berkata :
“Hadits ini menguatkan urusan mimpi dan mentahqiqkan kedudukannya. Mimpi
itu satu bagian dari bagian-bagian kenabian adalah pada haq para anbiya,
bukan selain mereka. Karena para anbiya disampaikan wahyu kepada mereka
pada waktu bermimpi sebagaimana halnya pada waktu jaga.”2155
2. Penafsiran lain dari hadits di atas dan yang senada dengannya, muncul dalam
konteks pemahaman perkataan “al-busyraa” pada Q.S. Yunus : 63-64, berbunyi :
) لَ ُه ُم ْالبُ ْش َرى فِي ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َوفِي ْاْل ِخ َرةِ َال تَ ْبدِي َل63( َالَّذِينَ آ َمنُوا َو َكانُوا َيتَّقُون
(64) َّللاِ ذَ ِل َك ُه َو ْالفَ ْو ُز ْالعَ ِﻈي ُم
َّ ﺕ ِ ِل َك ِل َما
Artinya : Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka
ada berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam
kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar.(Q.S. Yunus : 63-64)
Ini dapat dilihat penjelasannya dalam Tafsir Ibnu Katsir,56 Tafsir Qurthuby57,
Tafsir Thabary 58 dan Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy al-Kidiry dalam
kitabnya, Siraj al-Thalibin.59 Berdasarkan pemahaman ini, maka yang dimaksud
dengan mimpi dalam hadits tersebut adalah mimpi dalam kerangka al-busyra
54
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 48
55
Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain,
Surabaya, Juz. I, Hal. 333
56
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. IV, Hal. 280
57
Al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Dar ‘Alim al-Kutub, Saudi Arabiya, Juz. VIII, Hal. 358
58
Thabary, Tafsir al-Thabary, Muassasah Risalah, Juz. XV, Hal. 124-140
59
Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain,
Surabaya, Juz. I, Hal. 332
25
(kabar gembira), seperti isyarat akan mendapatkan keturunan, jabatan yang baik,
harta yang halal, menjadi ulama dan lain-lain. Jadi bukan dalam kerangka sebagai
dalil menafsirkan al-Qur’an, apalagi penetapan hukum berdasarkan mimpi.
Hadits ini juga menjelaskan bahwa mimpi yang dialami oleh seseorang ada
tiga katagori, yaitu :
1. mimpi yang benar sebagai kabar gembira yang datang Allah
2. mimpi duka cita yang datang dari setan
60
Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 365, No. 2377
61
Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. IX, Hal. 31, No. Hadits : 6990
62
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1773, No.
Hadits : 2263
63
Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 363, No. 2372
26
3. mimpi karena obsesi seseorang. Artinya mimpi tersebut terjadi karena bawaan
pikiran pada waktu dia jaga.
Sesuai dengan pernyataan Muhammad Ilyas tentang mimpinya di bawah ini,
kita dapat menduga bahwa mimpi Muhammad Ilyas mengenai tafsir al-Qur’an Surat :
Ali Imran : 110 adalah termasuk dalam katagori mimpi karena bawaan pikiran. Jadi
bukan mimpi yang benar yang datang dari Allah SWT. Pernyataan Muhammad Ilyas
dimaksud adalah :
“Kini, dalam mimpi saya, ilmu yang betul dicampakkan (liqa) kepada saya.
Oleh itu cubalah supaya tidur saya bertambah”. (maksud, pada masa itu kerana
penyakit, tidur beliau telah berkurangan ; maka menurut mesyuarat dengan hekim
sahib dan doktor sahib saya telah memberi minyak di kepalanya yang mana tidurnya
telah bertambah) .
Ini merupakan kutipan dari Kitab Malfudhat karangan Mansur Nu’mani yang
diterjemahkan dalam Bahasa Melayu (Malaysia).64 Untuk memudahkan memahami
kutipan di atas, berikut ini redaksi pernyataan Muhammad Ilyas tersebut yang dikutip
dari Kitab Malfudhat oleh pengarang Kasyful Syubhah yang diterjemahkan kedalam
Bahasa Indonesia oleh Syaikh H. Hasanoel Bashry HG, yakni :
“Karena ini wahai para pengikutku yang setia usahakanlah tidur pemimpinmu
ini nyenyak dan nyaman. Apabila aku kurang tidur karena panas panggil dokter
dan orang pintar, pakailah minyak wangi pada kepalaku bila petunjuknya
demikian supaya lebih banyak tidurku. Ketahuilah ! aku menemukan jalan
bertabligh ini melalui mimpi dan Allah juga mengajariku dalam mimpi
penafsiran ayat…..dst.65
Dari rangkaian pernyataan Muhammad Ilyas di atas, nampak jelas pada kita
bahwa Muhammad Ilyas sedang sangat terbebani oleh pikiran mencari inspirasi yang
dapat menjawab persoalan dakwah, bahkan Muhammad Ilyas sampai-sampai berucap :
“Apabila aku kurang tidur karena panas panggil dokter dan orang pintar,
pakailah minyak wangi pada kepalaku bila petunjuknya demikian supaya lebih
64
Mansur Nu’mani, Malfudhat, (Terjemahan kedalam Bahasa Melayu oleh Humayun
Chowdhury), Pustaka Timur, Trengganu, Malaysia, Hal. 40
65
Syaikh Ahmad Syihabuddin, Kasyful Syubhah,(terjemahan oleh Syaikh Hasanul Basry
HG), Hal.4.
27
banyak tidurku. Ketahuilah ! aku menemukan jalan bertabligh ini melalui
mimpi dst…”.
66
Mulwi Ahmad Harun Al-Rosyid, Meluruskan Kesalahpahaman Terhadap Jaulah
(Jama’ah Tabligh), Pustaka Haromain, Hal.48
67
Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain,
Surabaya, Juz. I, Hal. 333
28
Masalah 2
Dr. Abdul khaliq Firzada dalam bukunya, Maulana Muhammad Ilyas
diantara pengikut dan penentangnya, menyebut segi-segi penting yang diutamakan
oleh Syekh Muhammad Ilyas, point c adalah segi ibadah. Seterusnya disebutkan :
“ Sesungguhnya, akidah itu tidak bermanfaat apapun tanpa disertai ibadah”68
Berdasar pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa menurut Maulana
Muhammad Ilyas bahwa dosa besar dengan sebab meninggalkan ibadah dapat
mengakibatkan seseorang hilang imannya. Karena akidah yang dapat dipahami
sebagai iman itu tidak bermanfaat kecuali disertai dengan ibadah. Kalau seseorang
yang berakidah tanpa beribadah, imannya masih ada, tentu akidahnya tersebut
bermanfaat adanya.
Analisis
Dalam memahami status hukum seseorang akibat sebuah dosa besar, kaum
muslimin terpecah dalam beberapa golongan. Kaum Khawarij yang sudah dianggap
keluar dari garis-garis Islam, menetapkan bahwa setiap perbuatan dosa merupakan
syirik kepada Allah. Karena itu orang berbuat dosa besar dapat dianggap sebagai kafir
dan kekal dalam api neraka.69. Khawarij dalam mendefinisikan Iman, memahami
bahwa amalan jawarih (amalan dzahir anggota tubuh) itu sendiri adalah merupakan
iman. Sehingga kalau seseorang meninggalkan amalan dzahir, maka dia dapat
digolongkan kepada kafir. Golongan Muktazilah berprinsip, bahwa amalan dzahir
merupakan bagian dari iman, sehingga dosa besar itu dapat mengeluarkan seseorang
dari keimanan, namun menurut Muktazilah, keluar dari keimanan tidak dapat
menyebabkan seseorang menjadi kafir, tetapi statusnya diantara muslim dan kafir.
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah golongan yang diredhai Allah berprinsip bahwa
seorang muslim yang berbuat dosa besar tetap dalam keimanannya dan dia tetap
dapat dianggap sebagai mukmin meskipun mukmin ‘ashii, (orang beriman yang
berbuat maksiat yang dijanjikan Allah kena ‘azab dalam neraka kelak kalau dia
68
Dr. Abdul khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan
penentangnya, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yoqyakarta, Hal. 116
69
Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz
II, Hal 92
29
meninggal dunia tidak sempat bertaubat). Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah ini
atas dasar bahwa amalan dzahir tidak termasuk dalam bagian iman.70
Prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah ini berdasarkan
1. firman Allah SWT,
َّ َّللاَ َال َي ْغ ِف ُر أ َ ْن يُ ْش َر َك ِب ِه َو َي ْغ ِف ُر َما دُونَ ذَ ِل َك ِل َم ْن يَشَا ُء َو َم ْن يُ ْش ِر ْك ِب
اّللِ فَقَ ِد َّ ِإ َّن
ا ْفت َ َرى ِإثْ ًما َع ِﻈي ًما
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain syirik itu, bagi siapa yang
dikehendakinya. (An-Nisa’ : 48)
ان
ٍ س ِ ع ِب ْال َم ْع ُر
َ وف َوأَدَا ٌء ِإلَ ْي ِه ِبإ ِ ْح َ ي لَهُ ِم ْن أ َ ِخي ِه
ٌ ش ْي ٌء فَاتِبَا ُ فَ َم ْن
َ ع ِف
Artinya : Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah : 178)
Seandainya pembunuh yang terbuat telah berbuat dosa besar itu digolongkan
kepada kafir, tentu Allah tidak menyebutnya sebagai saudara bagi orang mukmin,
karena ukhuwah dan kasih sayang tidak akan terjadi melainkan bagi orang mukmin.
Pertanyaan selanjut adalah paham manakah yang diikuti oleh Muhammad
Ilyas ini ? mengikuti paham Muktazilah atau termasuk Khawarijkah ? wallahu a’lam
bishshawab. Yang jelas pemahaman tersebut bertentangan dengan paham Golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Masalah 3
Maulana Muhammad Ilyas menanamkan faham anti politik dan kekuasaan
kepada pengikutnya. Bahkan beliau mengungkapkan bahwa memegang kekuasaan
yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW hendaknya tidak menjadi cita-cita
umat Islam. Hal ini dapat kita pahami dari pernyataan Maulana Muhammad Ilyas :
70
Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa Asrarul Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz
I, Hal. 54, dan Ibrahim Bajury, Tahqiqul Maqam ‘ala Kifayatul ‘Awam fii ‘Ilmil Kalam, Maktabah
Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya, Hal 77
30
“Jika kita dapat memegang kekuasaan dengan mengikuti ajaran Nabi SAW ,
memang kita tidak menolaknya, akan tetapi hal itu hendaknya tidak menjadi cita-
cita kita.” 71
Dr. Abdul Khaliq Pirzada menyebutkan empat hal yang tidak boleh disentuh
oleh Jam’ah Tabligh, salah satunya adalah masalah politik .72
Analisis
Telah terjadi ijma’ ulama bahwa mengangkat imam (pemimpin negara) adalah
wajib hukumnya.73 Ijma’ ini didasarkan kepada firman Allah SWT sebagai berikut :
Bahkan sebagaimana riwayat yang sangat masyhur dan tidak ada yang
membantahnya, bahwa para Sahabat Nabi SAW lebih mendahulukan
permusyawaratan masalah khilafah (kepemimpinan) dari pada urusan jenazah
Rasulullah SAW.74 Ini menunjukkan bahwa masalah kepemimpinan adalah masalah
yang sangat penting dan urgen dalam agama Islam, karena tidak mungkin dapat
menyempurnakan kewajiban seperti pembelaan agama, menjaga keamanan umat
Islam dan sebagainya selain dengan adanya khilafah (pemerintahan) dan inilah yang
menjadi doktrin Ahlussunnah wal Jama’ah, paham mayoritas masyarakat Aceh dan
71
Abul Hasan Ali Nadwy, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas,
(terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yogyakarta, Hal 106
72
Dr. Abdul khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan
penentangnya, (terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yoqyakarta Hal.31, lihat juga Sa,ad
bin Ibrahim Syibli, Dalil-Dalil Dakwah dan Tabligh , (terjemahan oleh Drs Musthafa Sayani) Pustaka
Ramadhan, Bandung, Hal. 9
73
Al-Mawardy, Ahkamul Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 5. Dapat dilihat juga dalam
al-Khuzhary Bek, Itmam al-Wafa’, Bangkul Indah, Surabaya, Hal. 6
74
Ibnu Hajar al-Haitamy, Shawa-i’ al-Muhriqah fi Radd Ahli al-Bid’i wal-Zindiqah, Hal. 6.
lihat jiga H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, Hal. 455
31
Indonesia pada umumnya. Upaya meraih kekuasan untuk memperoleh kedudukan
imam tersebut menjadi fardhu kifayah atas umat Islam.75 Berkata Qalyubi :
“Hukum mendirikan Imamah adalah fardhu kifayah “76.
Berdasarkan uraian di atas nyatalah bahwa pernyataan Maulana Muhammad
Ilyas, pendiri Jama’ah Tabligh bahwa memegang kekuasaan negara bukan cita-cita
umat Islam, adalah bertentangan Ijma’ Ulama dan keluar dari paham Ahlussunnah
wal jama’ah.
Jika ditelusuri sejarah pemikiran Islam tentang politik dan kekuasaan di India,
kita diingatkan oleh sejarah, bahwa di India pernah muncul seorang yang mengaku
sebagai pembaharu yang mati-matian membela Pemerintah Kolonialis Inggris pada
penghujung Abad 19, yaitu Sir Sayyed Ahmad Khan (1817-1898 M) yang
berpendapat bahwa susunan agama Islam itu bersifat a-politik, karena itu ia
menentang setiap pergerakan politik, walaupun politik berdasarkan Islam.77.
Disamping itu kita diingatkan oleh ajaran Mirza Ghulam Ahmad, Nabinya orang
Ahmadiyah Qadian, yang menghilangkan ajaran jihad demi pesan sponsornya,
Pemerintah kolonial Inggris. Penulis menduga mungkin pemikiran Maulana
Muhammad Ilyas ini terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sir Sayyed Ahmad
Khan dan Mirza Ghulam Ahmad yang hidup senegara dengannya, setidaknya
mengenai politik dan pemerintahan dalam Islam.
Masalah 4
. Berkata Maulana Ilyas :
“Para anbiya a.s. adalah ma’shum dan mahfuzh. Mereka menerima ilmu dan
hidayah langsung dari Allah. Tetapi ketika mereka bercampur gaul dengan
masyarakat awam menta’limkan dan mentablighkan usaha hidayah kepada
mereka, maka hati mereka yang mubarok (penuh berkah) dan munawar (penuh
cahaya) terpengaruh juga oleh kotoran masyarakat awam. Akhirnya mereka akan
membersihkan kotoran-kotoran tersebut dengan menyibukkan diri dalam dzikir
dan ibadah”78
75
Al-Mawardy, Ahkamul Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal.5.
76
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz IV, Hal.
173
77
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, Juzu’ II, Hal 232
78
Maulana Manzhur Nu’mani, Mutiara Hikmah Ulama Ahli dakwah, (terjemahan oleh A.
Abdurrahman Ahmad As-Sirbuny) Pustaka Nabawi, Hal. 48-49
32
Jika kita perhatikan perkataan Maulana Ilyas tersebut di atas, dapat dipahami
bahwa Maulana Ilyas menuduh para Nabi a.s. bahwa hati mereka tidak terpelihara
dari dosa-dosa. Artinya para Nabi a.s. dapat saja melakukan dosa-dosa hati karena
pengaruh kesalahan-kesalahan masyarakat awam, sehingga perlu dibersihkan dengan
berzikir dan beribadah. Kita tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ma’shum
menurut Maulana Ilyas, sehingga meskipun pada awalnya beliau menyebut para
anbiya a.s. adalah ma’shum, tetapi kemudian menyatakan bahwa para anbiya tersebut
dapat saja melakukan dosa-dosa.
Analisis
Tidak diragukan lagi, kita sebagai umat Islam yang beri’tiqad Ahlussunnah
wal Jama’ah berkeyakinan bahwa para Anbiya a.s. adalah ma’shum dalam arti bahwa
para anbiya a.s. tidak mungkin jatuh dalam perbuatan dosa. Berkata Zakaria al-
Anshary as-Syafi’i seorang ulama besar beri’tiqad Ahlussunnah wal jama’ah
bermazhab Syafi’i :
“Para Anbiya a.s. ma’shum (terpelihara) dari perbuatan dosa termasuk didalamnya
dosa kecil yang dilakukan karena lupa. Oleh karena itu, tidak terjadi perbuatan
dosa pada mereka, baik dosa besar maupun kecil, baik sengaja maupun dengan
sebab lupa”. 79
Menurut perkataan dua orang ulama besar Ahlussunnah wal jama’ah tersebut
di atas, perbuatan mubah saja tidak terjadi pada para Nabi a.s., lalu bagaimana dengan
perbuatan dosa sebagaimana tuduhan Maulana Muhammad ilyas, nauzubillahi min
zalik
79
Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wusul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 91
80
Muhammad bin Manshur al-Hud-hudy, Syarah Hud-hudy, dicetak pada Hamisy Hasyiah
al-Syarqawy, Syirkah al-Ma’rif, Bandung, Hal. 116
33
Masalah 5
Ungkapan perasaan rasa syukur kepada Allah boleh dengan sikap berpura-
pura. Maulana Muhammad Ilyas pernah mengirim surat kepada rekannya saat
anaknya baru lahir :
“ Sungguh itu kenikmatan yang besar dari Allah dan engkau mesti menerimanya
dengan suka cita. Mesti tidak boleh berlebihan, namun engkau mesti melahir
perasaan suka cita meski berpura-pura sebagai tanda syukur kepada Allah”. 81
Analisis
Sikap berpura-pura dalam etika Islam atau ilmu akhlak sering disebut sebagai
sikap munafiq. Sikap munafiq merupakan suatu sifat yang sangat tercela dalam Islam.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
Masalah 6
Jama’ah Tabligh melarang jama’ahnya dalam berdakwah menghilangkan dan
membersihkan kemungkaran. Sementara itu dalam kelompok Jama’ah Tabligh ada
berbagai aliran sesuai dengan asal paham anggotanya termasuk didalamnya aliran-
aliran yang keluar dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Bahkan Sa’ad bin Ibrahim Syilbi,
salah seorang penyebar ajaran Jama’ah Tabligh dalam bukunya Dalil-Dalil Da’wah
dan Tabligh setelah mengakui ada segelintir anggota Jama’ah yang tidak ada
pendalaman cukup terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang membenci dan memusuhi
kaum salaf dan dua tokohnya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab,
berkata :
"Ini demi Allah batil (tidak benar), kezhaliman dan kebohongan besar yang tidak
halal dilakukan oleh seorang muslim’, selanjutnya Sa’ad bin Ibrahim Syilbi
mengatakan ‘Kami hanya ingin mengatakan bahwa Jama’ah Tabligh tidak
termasuk dalam kelompok orang yang membenci kaum salaf" .82
81
Abul Hasan Ali Nadwy, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas,
(terjemahan oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff, Yogyakarta, Hal 170
82
Sa’ad bin Ibrahim Syilbi, Dalil-Dalil Da’wah dan Tabligh, (terjemahan oleh Ust.
Musthafa Sayani), Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal 153-154
34
.Padahal sebagaimana kita maklumi bahwa kedua tokoh salaf, Ibnu Taimiyah dan
Muhammad bin Abdul Wahab sudah difatwa oleh ulama-ulama Ahlusunnnah wal
Jama’ah sebagai orang yang sudah keluar dari golongan yang benar dan sudah
menyimpang dari jalan yang lurus
Berkata Dr. Abdul Khaliq Firzada :
“ Beliau (Muhammad Ilyas, pen.) mengajak setiap orang tanpa membedakan
tingkat keilmuan, kelas sosial, maupun mazhab, baik orang alim maupun bodoh,
kaya, miskin, pengikut Maliki, Syafi’i, Hambali atau Hanafi, bahkan Mazhab
Salafi atau mazhab-mazhab kecil lainnya dikalangan umat Islam.83
83
Dr. Abdul Khaliq Firzada, Maulana Muhammad Ilyas diantara pengikut dan
penentangnya, (Terjemahan oleh Ust. Masrokhan Ahmad), Ash-Shaff, Yoqyakarta, Hal 118
84
Sa’ad bin Ibrahim Syilbi, Dalil-Dalil Da’wah dan Tabligh, (terjemahan oleh Ust. Musthafa
Sayani), Pustaka Ramadhan, Bandung, Hal. 155
85
Hamud bin Abdullah bin Hamud al-Tawijiry, Qaul al-Baligh fi al-Tahziri min Jama’ah
al-Tabligh, Dar al-Shami’i, Saudi Arabiya, Hal. 9
35
Dalam menjawab masalah di atas, mari kita simak dalil-dalil yang
mengharuskan untuk menghilangkan kemungkaran dibumi ini, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Taubah : 71
Berdasarkan dalil di atas, dapat dipahami dengan mudah dan gamblang bahwa
kedudukan upaya menghilangkan kemungkaran mendapat kedudukan yang sangat
86
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 69, No. Hadits :
49
36
penting dalam agama. Artinya menghilangkan kemungkaran mempunyai kedudukan
yang sama dengan amar ma’ruf. Jadi kita tidak dapat menyepelekan salah satunya,
apalagi menganggap menghilangkan kemungkaran bukanlah sebuah kewajiban.
Dalam sejarah anak manusia, sebenarnya jama’ah yang meninggalkan menghilangkan
kemungkaran banyak bermunculan. Diantaranya, Allah SWT telah mencela pendeta
agama Nashrani yang meninggalkan upaya menghilangkan kemungkaran dalam
firman-Nya :
َ ْت لَبِئ
س َما َكانُوا ُّ اإلثْ َم َوأ َ ْك ِل ِه ُم ال
َ س ْح ِ ْ ع ْن قَ ْو ِل ِه ُم ُ َالربَّا ِنيُّونَ َو ْاْل َ ْحب
َ ار َّ لَ ْو َال َي ْن َها ُه ُم
َصنَعُون
ْ َي
Artinya : Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak
melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang
haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan
itu.(Q.S. al-Maidah : 63)
87
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 303
88
Al-Bakry al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 182
89
Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 302
37
"Memerintah hal-hal yang wajib pada syara’ dan melarang dari yang haram
adalah wajib kifayah atas setiap mukallaf , baik dia merdeka ataupun hamba
sahaya, laki-laki, perempuan ataupun khuntsa " .90
Lalu siapa kaum salaf dan kedua tokohnya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad
Bin Abdul Wahab itu? Penjelasan ini menjadi penting karena Jama’ah Tabligh,
sebagaimana penjelasan di atas, begitu marah kalau ada pengikutnya yang membenci
kedua tokoh tersebut. Untuk menjawab ini, penulis cukupi saja pernyataan dua ulama
terpengaruh dikalangan Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu :
1. Mufti Syafi’i Syekh Zaini Dahlan berkata :
“Walhasil yang tahqiq menurut kami, bahwa sebagian perkataan dan
perbuatannya (Muhammad bin Abdul Wahab) mewajibkan keluarnya dari
qawa’id Islam,karena penghalalannya terhadap harta yang ijmak atas
tahrimnya, yang maklum dari agama dengan dharurah dengan tanpa ta’wil
yang dibolehkan, serta penempatannya derajat para anbiya, rasul, auliya dan
orang-orang shaleh pada derajat yang kurang. Padahal penempatan mereka
tersebut pada derajat yang kurang dengan sengaja adalah kufur dengan ijmak
imam yang empat”. 91
= Selesai =
DAFTAR PUSTAKA
90
Zainuddin al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syirkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 72
91
Syekh Zaini Dahlan, Durarussaniah fi Raddi ‘ala al-Wahabiyah, Hal. 53
92
Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawahidul Haq, Darul Fikri, Beirut, Hal. 51
38
2. Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut
3. Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,
4. Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah
5. Al-Kazin, Tafsir al-Kazin
6. Imam Abdullah al-Nasafi, Hamisy Tafsir al-kazin
7. Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-
Arabiyah, Indonesia.
4. Ali Nadwi, Riwayat Hidup dan Usaha Dakwah Maulana Muhammad Ilyas,
(Terj. oleh Masrokhan Ahmad) Ash-Shaff. Yogyakarta,
39
5. Hamud bin Abdullah bin Hamud al-Tawijiry, Qaul al-Baligh fi al-Tahziri
min Jama’ah al-Tabligh, Dar al-Shami’i, Saudi Arabiya,
12. Sa,ad bin Ibrahim Syibli, Dalil-Dalil Dakwah dan Tabligh , (terjemahan oleh
Drs Musthafa Sayani) Pustaka Ramadhan, Bandung,
13. Sayyed Muhammad bin Aqil Abdullan Dahlan al-Jailany, Muzakarah 6 sifat,
Yayasan Hayatul Rasul, Jakarta Selatan
D. Umum
1. Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang,
2. Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-
Kutub al-Arabiyah,
40
3. Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut
10. Ibnu Hajar al-Haitamy, Shawa-i’ al-Muhriqah fi Radd Ahli al-Bid’i wal-
Zindiqiyah,
13. Ibrahim Bajury, Tahqiqul Maqam ‘ala Kifayatul ‘Awam fii ‘Ilmil Kalam,
Maktabah Ahmad bin Sa’ad bin Nabhan wa Auladuhu, Surabaya
16. Muhammad Mahbuh al-Haq Anshari, Hujjah al-Qathi’ah ‘ala Munnkiri ad-
Du’a wal Maulid wal Fatihah wa Syaiun Minashshalah wassalam,
19. Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-
Haramain, Surabaya
22. Yusuf bin Isma’il an-Nabhani, Syawahidul Haq, Darul Fikri, Beirut,
41
23. Syekh Zaini Dahlan, Durarussaniah fi Raddi ‘ala al-Wahabiyah
42
- Alumni Dayah Darul Muarrif L. Ateuk Aceh Besar
2. Pekerjaan ; - Staf Pengajar Dayah Darul Muarrif L. Ateuk Aceh Besar (1992-
1995)
- Camat Kecamatan Sawang Aceh Selatan (2007 s/d 2008)
- Kabid Bina Hukum Syari’at Islam Dinas Syari’at Islam Kab.
Aceh Selatan (2008 s/d sekarang)
- Dosen Luar Biasa IAIN Ar-Raniry (2000 s/d 2002 )
- Dosen PAI Unmuha Tapaktuan (2005 s/d 2011)
- Tenaga Pengajar Dayah Himmatul Amal, Kuala Ba’u Kluet Utara
Aceh Selatan (2008 s/d sekarang)
43