Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“Pemikiran Kalam/Teologi Pluralisme Nucholish Madjid”


Diajukan pada diskusi kelas mata kuliah :
Pemikiran Kalam Pasca Al -Ghazali dan Ibn Rusyd
Dosen Pengampu : 1. Dr. H. Barsihannor, M.Ag.
2. Dr. Indo Santalia, M.Ag.

Disusun Oleh:

KASRIADI

ANDI AHMAD ZAHRI NAFIS

KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM

PROGRAM STUDI DIRASAH ISLAMIYAH

PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN


MAKASSAR

2022

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur yang tak terhingga atas rahmat,
karunia dan hidayah Allah swt dengan senantiasa mengharap magfirah-Nya,
diucapkan “subhanallah walhamdulillah walailahaa illallah wallahu akbar, la
haula wala quwata illa billah”, serta shalawat dan salam tak lupa kita kirimkan
kepada baginda Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya.

Makalah dengan judul “Pemikiran Kalam/Teologi Pluralisme Nucholish


Madjid” dapat terselesaikan dengan baik. Penyelesaian makalah ini tidak
terlepas dari dukungan berbagai pihak. Dengan penuh ketulusan hati, atas segala
bantuan dan bimbingan yang diberikan dalam penyelesaian, disampaikan ucapan
terima kasih.
Akhirnya, dengan tulus dan ikhlas diharapkan masukan, saran dan kritikan
yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini dan hanya kepada
Allah swt dipanjatkan doa, semoga bantuan dan ketulusan yang telah diberikan,
senantiasa bernilai ibadah di sisi Allah swt. ‫جزا كم هللا‬

Majene, 7 Desember 2022

Kasriadi dan Zahri

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR……………………………………………………ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...1

A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
C. Tujuan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................3

A. Biografi Nurcholish Madjid...........................................................3


B. Karya-Karya Nurcholish Madjid...................................................8
C. Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid tentang Pluralisme...........10

BAB III PENUTUP.....................................................................................

A. Kesimpulan......................................................................................
B. Implikasi...........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Istilah pluralisme yang memiliki arti “keadaan masyarakat yang

majemuk”. Istilah pluralisme berkaitan dengan sistem sosial dan politik dan

kebudayaan.1 Pluralitas agama merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari dari

kehidupan manusia, karenanya kemajemukan tidak mungkin dihadapi dengan

sikap antipati, sebab Tuhan memberi kebebasan kepada manusia untuk memilih

beriman atau kufur kepada-Nya. Islam memandang bahwa apabila ada doktrin

agama yang mengajarkan adanya keharusan memaksakan seseorang untuk

menerima atau mengikuti agama tertentu, adalah doktrin yang tidak benar dan

tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kehadiran agama pada setiap umat

(generasi) memberikan kontribusi positif terhadap kelangsungan kehidupan

manusia. Pertama, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk

kelangsungan hidup dan pemeliharaannya. Kedua, agama berfungsi memenuhi

sebahagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun diantaranya terdapat

kontradiksi dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.


Pemikiran Nurcholish Madjid dianggap relevan untuk di perbincangkan.

Sebagai salah seorang tokoh yang diperhitungkan di Indonesia, keberadaannya

dianggap dapat mewakili bangkitnya pemikiran pembaruan di nusantara. Ia

disejajarkan dengan tokoh agama dan pejuang bangsa semisal Muhammad

Natsir, bahwa ia digelari “Natsir Muda”. Mengapa ia digelari seperti itu, belum

diadakan pengamatan serius, akan tetapi disebut-sebut bahwa ia bersama dengan

Dawam Rahardjo dan kawan-kawan adalah para intelektual muslim yang

1
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka,
1995), h.77

1
berguru dengan Natsir, “Bapak” intelektual Islam Indonesia yang mengalami

“pencerahan” terhadap khazanah intelektual Barat paling awal.2

Dikaitkan dengan kondisi umat beragama di Indonesia, pemikiran beliau

tentang pluralisme dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Pernyataan didasarkan

pada kondisi kemajemukan agama yang dianut penduduk Indonesia. Jika

kemajemukan agama yang dianut tidak direkat dengan cara pandang pluralistik,

maka kemajemukan agama tersebut sangat potensial memicu konflik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah yang

diangkat ialah:

1. Bagaimana Biografi Nurcholish Madjid ?

2. Bagaimana Karya-Karya Nurcholish Madjid ?

3. Bagaimana Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid tentang Pluralisme ?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:

1. Untuk mengetahui Biografi Nurcholish Madjid.

2. Untuk mengetahui Karya-Karya Nurcholish Madjid.

3. Untuk mengetahui Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid tentang

Pluralisme.

2
St. Rais Alamsjah, 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, (Jakarta: Firma Bintang Mas,
1952), h. 81

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Nurcholish Madjid

Dalam kehidupan sehari-hari Nurcholish Madjid selalu dipanggil dengan

Cak Nur sebagai panggilan akrabnya. Ia dilahirkan di Mojoanyar, Jombang, Jawa

Timur, 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H meninggal di

Jakarta 29 Agustus 2005. Ia dibesarkan dari latar belakang keluarga pesantren.

Lingkungan keluarganya termasuk kalangan yang taat beragama, bahkan ayahnya

adalah seorang pembela Masyumi yang gigih. Ayahnya bernama KH. Abdul

Majid, seorang ulama terkemuka di NU partai berideologi Islam paling

berpengaruh pada saat Abdul Madjid juga seorang kyai jebolan pesantren

Tebuireng Jombang yang didirikan dan dipimpin oleh pendiri Nahdlatul Ulama

(NU), Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Karena itu, tak heran bila Abdul Madjid

amat dekat dengan K.H. Hasyim Asy‟ari. Hubungan antara murid dengan sang

guru itu semakin erat karena beberapa alasan. Pertama, Kiai Madjid merupakan

santri kinasih Hasyim Asy’ari, tokoh kharismatis yang mempelopori kelahiran

NU.3 Kedua, Madjid sendiri pernah dinikahkan dengan Halimah, seorang wanita

keponakan gurunya. Tentang hal ini Nurcholish Madjid sendiri pernah

mengisahkannya, “Waktu itu Kiayi Hasyim Asy‟ari sendiri yang menginginkan

ayah menjadi menantunya”.4 Tapi pernikahan tersebut tidak membuahkan

keturunan. Karena alasan itu kemudian mereka “berpisah” secara baik-baik.

Setelah itu K.H Abdul Madjid menikah dengan Nyi Fatonah, anak seorang kiai

3
Zainul Fuad, “Diskursus Pluralisme Agama” ,Cet. I, (Bandung: Citapustaka Media,
2007), h. 82
4
Zainul Fuad, “Diskursus Pluralisme Agama”, Cet. I, (Bandung: Citapustaka Media,
2007) h. 83

3
dan tokoh aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Fatonah sendiri

merupakan ketua Masyumi tingkat kecamatan.

Pasangan K.H Abdul Madjid dan Fatonah dikarunia lima orang anak: dua

perempuan (meninggal satu), dan tiga laki-laki: Nurcholish Madjid, Muklisah,

Saifullah, dan Muhammad Adnan.5 Ia pertama kali belajar agama lewat ayah dan

ibunya sendiri. Kebetulan mereka berdua memang mendirikan Madrasah sendiri

pada tahun 1948 dan Nurcholish Madjid adalah seorang murid di madrasah

tersebut. Selain itu, Nurcholish Madjid kecil juga mengikuti Sekolah Rakyat (SR)

di kampungnya.

Selanjutnya setamat Sekolah Rakyat, 1952, ia dimasukkan ayahnya ke

Pesantren Darul Ulum, Rejosa, Jombang. Namun, di Darul „Ulum Nurcholish

Madjid hanya bertahan selama dua tahun dan sempat menyelesaikan tingkat

Ibtidaiyah, lalu melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah. Ada dua alasan yang menurut

Nurcholish Madjid mengapa ia hanya bertahan dua tahun nyantri di sana. Pertama,

karena alasan kesehatan dan Kedua, karena alasan ideologi atau politik. Namun,

tampaknya alasan politiklah yang agaknya cukup menarik melihat sikap

Nurcholish Madjid tersebut. Seperti diketahui, pada 1952 NU keluar dari

Masyumi dan sejak itu NU dari peran Jam‟iyah keagamaan menjadi partai politik.

Ayah Nurcholish Madjid secara bersamaan aktif dalam organisasi tradisional

Islam NU dan partai politik di bawah pengaruh modernisasi Islam, Masyumi.

Ketika NU berpisah secara politis dari Masyumi tahun 1952, ayahnya tetap

memilih Masyumi dan mengirimkan anaknya dari pesantren tradisional ke

sekolah modern yang masyhur Gontor.6

5
Muhammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis Madjid,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 25
6
R. William Liddle, “Islam Politik dan Modernisasi”, Pengantar oleh Taufik Abdullah.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 13-14.

4
Saat itu ayah Nurcholish Madjid yang kebetulan aktivis berat Masyumi

merasa “kecewa‟ kepada NU ketika organisasi itu keluar dari Masyumi dan

membentuk partai politiknya sendiri. Karena ulah sang ayah inilah, santri kecil

Nurcholish Madjid sering dijuluki teman-temannya yang NU sebagai “anak

Masyumi kesasar.”7

Mengingat masa itu, Nurcholish Madjid pernah menuturkan : “ayah

sendiri dimusuhi oleh para kiai Jombang. Karena situasi seperti ini, lalu saya

minta ayah pindah ke NU.” Namun usul puteranya itu ditolak sang ayah dengan

alasan, yang bisa berpolitik itu Masyumi, bukan NU. Demikian Nurcholish

Madjid mengenang. Lagi pula demikian Nurcholish Madjid sambil menyetir kata-

kata yang pernah diucapkan sang ayah, bahwa K.H. Hasyim Asy‟ari sendiri

pernah berfatwa bahwa Masyumi merupakan satu-satunya wadah aspirasi umat

Islam Indonesia. Sayang karena Hasyim Asy‟ari sudah lebih dulu wafat pada

1949 sehingga tidak sempat menyaksikan NU yang kemudian berubah “baju”

menjadi partai politik karena “ketegangan” dengan Masyumi pada 1952. Sikap

tegas ayah Nurcholish Madjid yang tetap memilih jalur politik di Masyumi di satu

sisi dan di sisi lain tetap menjaga anggota NU, membuat Nurcholish Madjid tak

tahan untuk berlama-lama di Darul Ulum.

Tahun 1955, Nurcholish Madjid dipindahkan ke pesantren Darussalam

Gontor. Asumsi sang ayah, Gontor merupakan pesantren Masyumi. Rupanya di

Gontor Nurcholish Madjid merasa lebih cocok. Menurut pengakuan Nurcholish

Madjid, Gontor sendiri banyak memberi kesan kepadanya. Bagi Nurcholish

Madjid, Gontor inilah yang memberi inspirasi kepadanya mengenai modernisasi

dan non-sektarianisme. Pluralisme di sini cukup terjaga. Para santri boleh ke NU

7
R. William Liddle, “Islam Politik dan Modernisasi”, Pengantar oleh Taufik Abdullah.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h.15.

5
atau Muhammadiyah. Karena suasana seperti ini, Nurcholish Madjid merasa

begitu cocok belajar di Gontor. Di pesantren ini pula Nurcholish Madjid sempat

menunjukkan kembali bahwa ia merupakan seorang yang pantas diperhitungkan.

Ia kembali menjadi salah seorang siswa dengan meraih juara kelas sehingga dari

kelas I ia bisa loncat ke kelas III.8

Nurcholish Madjid mengakui bahwa di Gontor ia selalu meraih prestasi

yang cukup baik. Kecerdasan Nurcholish Madjid menjadi perhatian K.H. Zarkasyi

sebagai pimpinan pesantren, sehingga pada tahun 1960, ketika Nurcholish Madjid

menamatkan belajarnya, beliau bermaksud mengirim Nurcholish Madjid ke

Universitas Al-Azhar, Kairo. Tetapi karena di Mesir saat itu sedang terjadi krisis

Terusan Suez yang cukup kontroversial itu, keberangkatan Nurcholish Madjid

tidak dapat dilaksanakan. Sambil menunggu keberangkatannya ke Mesir itulah,

Nurcholish Madjid memanfaatkan waktu untuk mengajar di Gontor selama satu

tahun. Namun, waktu yang di tunggu-tunggu Nurcholish Madjid untuk berangkat

ke Mesir ternyata tak kunjung tiba. Belakangan terbetik berita bahwa kala itu di

Mesir sulit diperoleh visa, sehingga tidak memungkinkan Nurcholish Madjid

pergi ke Mesir. Nurcholish Madjid sendiri, memang sempat kecewa. Tapi, Pak

Zarkasyi bisa menghiburnya dan rupanya tak kehilangan akal. Lalu ia mengirim

surat ke IAIN Jakarta dan meminta agar murid kesayangannya bisa diterima di

lembaga pendidikan tinggi Islam bergengsi itu. Maka, berkat bantuan salah

seorang alumni Gontor yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Nurcholish

Madjid kemudian diterima sebagai mahasiswa fakultas adab.

8
Dedi Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim, “Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi
Politik”, Cet. I, (Jakarta: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 123.

6
Pada tahun 1984 Nurcholish Madjid telah berhasil memperoleh gelar

Doktor dari UCLA, Chicago. Di Chicago, Nurcholish Madjid telah berhasil

mempertahankan disertasinya dengan menyandang predikat cum laude tentang :

Ibn Taymiya on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam.

Nurcholis Madjid adalah seorang cendekiawan muslim terkemuka di

Indonesia. Ia di panggil dengan sebutan Cak Nur, sapaan akrab yang sangat

membumi di kalangan aktivis muslim, terutama di Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI), yang turut membesarkan namanya di panggung nasional. Cak Nur

kemudian ditakdirkan muncul sebagai intelektual kelas berat, fokus pemikirannya

menyangkut masalah keislaman, kemodernan, keindonesiaan dan kemanusiaan

universal. Cak Nur pernah dijuluki sebagai Natsir muda karna berkat

intelektualitasnya yang cemerlang.9

Gagasan keislaman dan keindonesian Madjid menjadi manifestasi penting

bagi landasan perkaderan HMI hingga sekarang. Tahun 1969 Madjid telah

memberikan kontribusi besar bagi pandangan keislaman HMI melalui rumusan

NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang ditulisnya sepulang dari timur tengah. NDP

adalah ringkasan dari ihtiar Madjid di dalam mempelajari dan mendalami ideologi

Islam. NDP HMI kemudian resmi menjadi pedoman perjuangan HMI saat

kongres 9 HMI di Malang.2 Reorietasi pembaharuan pemikiran Islam Madjid

tidak hanya membekas di kalangan Mahasiswa HMI, melainkan telah menyebar

ke berbagai kalangan aktivis muslim lainnya. Hingga saat ini sumbangan terbesar

Madjid masih dikembangkan oleh para penerusnya, terutama di kalangan aktivis

Islam progresif, adalah pemikiran Islam tentang pluralisme.

B. Karya-Karya Nurcholish Madjid


9
Muhammad Wahyuni Nafis, Pengantar Ahmad Syafi’I Ma’arif, Cak Nur Sang Guru Bangsa,
Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid, (Jakarta: Kompas, 2014),

7
Nurcholis Madjid atau lebih dikenal dengan sapaan Cak Nur tidak hanya

sebagai seorang ilmuan dan intelektual yang banyak memberikan kiprah didunia

politik dan pendidikan saja, akan tetapi ia juga sebagai seorang penulis yang

produktif, yang ia buktikan melalui sejumlah karya karya besarnya yang ia

curahkan baik di surat-surat kabar, majalah/jurnal, ataupun berupa buku, yang

banyak dijumpai sampai saat sekarang ini. Beberapa karyanya antara lain:

Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986, Islam Kemodernan

dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1988, Islam Doktrin dan Peradaban,

Sebuah Tela’ah Kritis Tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan

Kemodernana, Jakarta : Paramadina, 1992, Islam Kerakyatan dan Kemodernan,

Bandung : Mizan, 1994, Pintu pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Paramadina, 1994,

Islam Agama Kemanusiaan , Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam

dan Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995, Islam Agama Kemanusiaan,

Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam, Jakarta : Paramadina, 1995, Masyarakat

Religius, Jakarta : Paramadina, 1997, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam

Pembangunan di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1997, Kaki Langit Peradaban

Islam, Jakarta : Paramadina, 1997, Kontekstualisasi Doktrin Islam dan Sejarah,

Jakarta : Paramadina, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan 1997

Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dan Wacana Sosial Politik

Kontemporer, Jakarta : Paramadina, 1997, Tigapuluh Sajian Rohani, Renungan

Dibulan Ramadhan, Bandung : Mizan, 1998, Cita-cita Politik Islam Era

Reformasi, Jakarta : Paramadina, 1999, Cendikiawan dan Religiusitas

Masyarakat, Jakarta : Paramadina dan Tekad, 1999. Selain buku-buku diatas,

masih banyak karya akademis-intelektual lain yang tersebar baik berupa buku,

dalam berbagai bentuk, seperti makalah, kertas kerja, artikel dan lain lain.

8
C. Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid tentang Pluralisme

Defenisi Pluralisme jika ditunjau dari aspek bahasa berasal dari dua suku

kata yaitu Plural yang berarti jamak, banyak, atau beragam.lebih dari satu.

Sedangkan Isme berarti paham10. Menurut Amin Abdullah, ia memaknai pluralism

dengan keanekaragaman.11 Secara luas, pluralisme merupakan paham yang

menghargai adanya perbedaan pada suatu masyarakat 12. Menurut istilah banyak

tokoh memberikan defenisinya tersendiri. Menurut Syamsul Ma’arif ia

berpendapat bahwa pluralisme merupakan suatu sikap saling memahami dan

menghormati adanya perbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat

beragama. Menurut Mohammad Shofan pluralisme adalah upaya untuk

membangun kesadaran normatif teologis dan kesadaran normative teologis dan

kesadaran sosial. Sedangkan menutut Koentjaranigrat ia membagi pluralisme

menjadi pluralisme agama, pluralisme suku bangsa, pluralisme budaya, pluralisme

media dan pluralisme pendidikan.13

Pluralisme menurut Nurcholis Madjid sebagaimana dijelaskan dalam sebuah

tesis yang berjudul pluralisme dalam pandangan Nucholis Madjid yg ditulis oleh

Apriliana menjelaskan bahwa sebuah pertalian sejati dalam ikatan-ikatan

keadaban. Pluralisme adalah sebuah keharusan dalam kehidupan yang beradab,

bukan sebuah keadaan yang tidak seharusnya ada. Tetapi telah ada dan harus

10
Lihat https://www.google.com/search?client=firefox-b d&q=Defenisi+pluralisme
+menurut+bahasa diakses pada tanggal 23-12-2022, pada pukul 15.38 WITA.
11
Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 1-6.
12
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme diakses pada tanggal 23-12-2022, pada
pukul 15.43 WITA.
13
Lihat https://celebesmedia.id/citizen/artikel/1010270922/pluralisme-menurut-para-ahli-
dan-contoh-sikapnya diakses pada tanggal 23-12-2022, pada pukul 16.58 WITA.

9
diterima. Pluralisme bahkan bisa menjadi salah satu mekanisme untuk menjamin

kesalamatan manusia.14

Nurcholis Madjid banyak memberikan dan mengemukakan konsep

pluralisme agama dalam berbagai tulisan-tulisannya. Seperti dalam bukunya yang

berjudul Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan ia menjelaskan bahwa pluralisme

agama adalah sebagai suatu keragaman jalan menuju Tuhan. Pluralisme agama

hanyalah kemajemukan jalan menuju suatu kebenaran, yakni kebenaran Tuhan.

Banyak pintu menuju Tuhan15.

Cara pandang Nurcholis Madjid dalam mengemukan pluralitas agama

dengan mengutip firman Allah swt. dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 62 :

      


        
        

Terjemahnya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-


orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.

Penjelasan yang logis pada ayat ini memberi jaminan bahwa sebagaimana

orang-orang muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabiin, asalkan mereka

percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada Hari Kemudian (yang

pada hari itu manusia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya dalam

14
Apriliana, Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 53.
15
Apriliana, Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 55. Lihat juga Sukidi, Teologi Inklusif
Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), h. 6-7.

10
suatu pengadilan Ilahi, dan yang merupakan saat seorang manusia mutlak hanya

secara pribadi berhubungan dengan Tuhan), kemudian, berdasarkan kepercayaan

itu, mereka berbuat baik, maka semua logis “masuk surga” dan “terbebas dari

neraka”.

Ayat di atas memang banyak mengundang kontroversi ahli tafsir, tetapi

untuk mendukung pendapatnya, Nurchlish Madjid memilih penafsiran

Muhammad Asad terhadap ayat tersebut, yakni ide tentang kesalamatan pada dalil

diatas tergantung hanya pada tiga unsur yaitu: percaya kepada tuhan, percaya

kepada hari kemudian, dan tindakan penuh kebaikan dalam hidup. 16 Pluralisme

semua ajaran agama menurut Nurcholish Madjid terletak pada sikap “tidak

menyembah selain Tuhan” , konsep ini sejalan dengan makna mengesakan tuhan.

Oleh karena itu I Nurcholis Mdjid mengatakan bahwa, meskipun secara eksoterik

agama itu berwajah plural, namun secara esoterik, semua agama bermuara kepada

satu Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa. Lebih-lebih agama monoteisme, seperti

Yahudi, Kristen, dan Islam, yang kesemuanya berujung kepada garis Ibrahim. Hal

ini semakin meneguhkan hakikat dasar tentang keesaan Tuhan (tauhid). 17 Pokok

bahasan dalam materi pluralisme menurut Nurcholis Madjid dapat dilihat pada

point dibawah ini :

1. Nilai-nilai Pluralisme dalam Spiritualitas

Pluralisme agama menurut Nurchlish Madjid dapat dilihat dari

pluralisme nilai-nilai spriritual yang terkandung dalam ajaran agama.

Keimanan adalah nilai spiritual yang utama dan pertama dari sebuah

agama. Dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan ia menegaskan bahwa


16
Apriliana, “Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid”, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 57. lihat Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan
Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan Wakaf paramadina, 1992), h. 187.
17
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001), h. 7-8.

11
iman adalah mempercayai Allah dalam kualitas sebagai satu-satunya yang

bersifat keilahian atau ketuhanan. Keimanan tidak cukup hanya dengan

kata percaya, keimanan harus disertai dengan sikap pasrah sepenuhnya

(kepada Allah), sikap yang menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi

Allah. Bagi orang yang pasrah ke hadirat Tuhan, menurut mufassir al-

Zamakhasyari dalam tafsir al-Kashshaf dinamakan muslim.18

Hal menegaskan bahwa dalam pandangan Nurcholish Madjid agama

tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapa pun seorang itu mengaku sebagai

“muslim” atau penganut “Islam” adalah tidak benar dan “tidak akan

diterima” di sisi Tuhan. Oleh karena itu dalam pandangan Nurcholish

Madjid Islam tidak saja dipahami sebagai agama (organized religion),

melainkan sebagai jalan sebagaimana dipahami dari berbagai istilah yang

digunakan dalam Kitab Suci, seperti shirath, sabil, syari‟ah, thariqah,

minhaj, dan mansakh. Kesemua istilah ini mengandung makna “jalan”,

dan merupakan metafor-metafor yang menunjukkan bahwa Islam adalah

jalan menuju kepada perkenan Allah. Dalam pandangan Nurcholish

Madjid semua agama mengandung nilai spritual menyerahkan diri

sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka ajaran untuk bersikap

terbuka, damai, lemah lembut, tidak sombong dan sejenisnya adalah ajaran

spritual dari semua agama. Nurcholish Madjid mengakui bahwa jalan

menuju Tuhan dari setiap agama berbeda, namun inti penyerahan dirinya

sama, maka nilai-nilai spritualnya juga cenderung sama.19

2. Nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan

18
Apriliana, “Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid”, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 58. Lihat juga Nurcholish Madjid, Pintu -
Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 5-6.
19
Apriliana, “Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid”, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 60-64.

12
Membicarakan nilai-nilai pluralisme dalam kehidupan sosial dan

kemasyarakatan ̧ Nurcholish Madjid memulai dengan mengemukakan

konsep sekularisasi. Nurcholish Madjid mendefenisikan sekulerisasi

sebagai pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak

pada tempatnya atau dengan kata lain desekralisasi yaitu pencopotan

ketabuan dan kesakralan dari objek-objek yang semestinya tidak tabu dan

tidak sakral. Secara sosilogis sekulerisasi berarti pencopotan kesaklaran

yang bukan semestinya, sedangkan secara filosofis sekulerisasi berarti

pemisahan antara urusan Tuhan dan urusan dunia.

Menurut Nurcholish Madjid manusia seharusnya memperhatikan

kedua segi kehidupannya, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Dalam

rangka memperhatikan kedua segi kehidupannya manusia harus

menjalakan ajaran keagamaan sebaik-baiknya, guna menyiapkan hidupnya

di Hari Akhirat, atau Hari Agama, dan bersungguh-sungguh dalam

kehidupan duniawi ini, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang

berlaku, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat, atau bergaul dengan

sesama manusia

Penjelasan Nurcholish Madjid tentang sikap manusia dalam

menghadapi hubungannya dengan sesama manusia di atas menunjukkan

bahwa dalam kehidupannya dengan manusia lain, seseorang harus

menggunakan akalnya agar hubungan tersebut dapat berlangsung

harmonis. Keharmonisan sebuah hubungan harus ditunjang dengan sikap

saling menghargai, saling memahami, saling membantu, dan saling

mengasihi. Sikap saling menghargai antar sesama dapat diwujudkan dalam

berbagai bentuk.20

20
Apriliana, “Pluralisme dalam pandngan Nucholis Madjid”, Tesis (Program Pascasarjana
Institute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010), h. 60-64

13
Menyikapi pluralisme agama, sikap saling menghargai dapat

diwujudkan dalam bentuk menghargai agama orang lain Sikap menghargai

agama orang lain didasarkan pada ajaran tidak boleh memaksakan agama

kepada orang lain. Firman Allah tentang kebebasan memilih agama21

didasarkan pada anggapan bahwa manusia sudah memilih, sebab manusia

yang beragama adalah manusia yang telah dewasa dan berakal.

Kedewasaan akan manusia tentunya telah mampu menuntunnya untuk

membedakan dan memilih sendiri apa yang benar dan yang salah.

3. Analisis terhadap konsep pluralisme Agama Nurcholis Madjid

Ada 3 pendekatan yang digunakan oleh Nurcholis Madjid dalam

merumuskan konsep Pluralisme sebagaimana yang dikemukakan oleh

Purwanto dalam sebuah jurnal yang berjudul Pluralisme agama dalam

perpektif Nurcholis Madjid yaitu :

a. Pendekatan Tauhid

Dasar pemikiran Nurcholis Madjid adalah pemahaman terhadap

tauhid, termasuk juga pemikirannya dalam hal pluralisme agama. Tauhid

sendiri berasal dari kata “wahid” yang berarti “satu” atau “esa”. Tauhid

berkaitan erat dengan sikap percaya atau beriman kepada Allah, namun

demikian makna tauhid lebih dalam tidak hanya diartikan sebagi sikap

percaya terhadap Allah swt, tetapi harus diikuti dengan pengertian tentang

siapa Allah swt yang dipercayainya itu, bagaimana sikap kita terhadapnya

dan bagaiamana bentuk lain selain Allah swt dipercayainya itu.

Masalah utama dalam hal berketuhananan adalah syirik, yakni

menyekutukan Allah. Oleh karena itu menurutnya tujuan utama

kedatangan Islam adalah untuk membebaskan manusia dari Tuhan-tuhan

palsu. Hal ini terangkum dalam kalimat syahadat “Tidak ada Tuhan selain
21
Lihat QS. Al-Baqarah ayat 256.

14
Allah” sebagai pencanangan dasar kepercayaan. Frase “Tidak ada Tuhan”

bermakna sebagai proses pembebasan manusia dari hal-hal atau tuhan-

tuhan palsu. Frase “selain Allah” menunjukan percaya kepada sesuatu

yang benar sebagai kelanjutan dari kebebasan dari hal-hal yang palsu.22

Memahami tauhid berarti pengembalian harkat dan martabat

manusia kembali ke dalam posisinya sebagai mahluk Allah swt. Manusia

memandang ke “atas” hanya kepada Allah, kepada sesama manusia harus

memandang dalam rangkaian kesetaraan. Oleh karena itu baginya prinsip

ketuhanan akan melahirkan paham persamaan manusia.23 Seluruh manusia,

dari segi harkat dan martabat asasinya adalah sama.

Pemahaman tauhid seperti itu akan berujung pada penerimaan

terhadap kesadaran pluralisme, karena dengan memandang ke-Esaan

hanya milik maka pluralisme mahluk-Nya adalah suatu keniscayaan. Jika

Allah pemilik ke-Esaan yang sejati maka dunia manusia sebagai mahluk-

Nya akan penuh dengan pluralitas. Dengan demikian, pluralitas yang akan

meningkat menjadi pluralisme merupakan ketentuan Allah (sunnatullah).

Salah satu fitrah Allah swt bahwa manusia akan tetap selalu berbeda

sepanjang masa. Pemahaman bahwa umat manusia satu dan sama dalam

segala hal adalah suatu yang mustahil.24

b. Pendekatan filologi

Redefinisi makna Islam atau lebih tepatnya perluasan atas definisi

Islam merupakan aspek pokok gagasan pemikiran pluralisme. Redefinisi

itu pun merupakan salah satu dasar pemikiran bagi terciptanya paham

pluralisme agama. Islam didefinisikan sebagai sikap pasrah, berserah diri,


22
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid”, Religio: Studi
Agama-Agama1, no.1 (Maret 2011), h. 53.
23

24
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid”, Religio: Studi
Agama-Agama1, no.1 (Maret 2011), h. 54.

15
dan tunduk patuh terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Redefinisi ini

didasarkan atas pengertian dasar Islam itu sendiri yang artinya pasrah, dari

kata-kata aslama, yuslimu, aslim, islam, muslim. Al-Islam dalam

pengertian sikap pasrah, berserah diri terkait dengan hakikat alam semesta,

hakikat kepasrahan mahluk Allah terhadap pencipta-Nya dalam suatu

rangkaian hukum alam. Berbeda dengan bentuk sikap pasrah, berserah diri

alam semesta yang terjadi secara otomatis, kepatuhan manusia bersifat

pilihan yang akan dipertanggung j awabkan di kemudian hari.

Penjelasan tersebut merupakan sikap beragama yang sejati adalah

ber-islam, sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Allah secara tulus.

Sikap berserah diri selain kepada Allah adalah sikap keberagamaan tidak

sejati, dengan kata lain musyrik, suatu sikap keberagamaan yang menjadi

masalah utama manusia dewasa ini. Melalui redefinisi itu Islam memiliki

dua pengertian, pertama dalam pengertian umum sebagi sikap berserah diri

kepada Allah dan kedua dalam pengertian khusus sebagai nama sebuah

agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Pemaknaan akan makna Islam seperti dalam pemahaman Nurcholis

Madjid akan mempunyai konsekwensi pada perluasan pandangan

kebenaran. Pemilik kebenaran bukan hanya milik Islam dalam artian nama

sebuah agama tetapi juga milik agama-agama lain yang mengandung islâm

(pasrah, berserah diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Klaim eksklusif

yang didasari ayat “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah

hanyalah Islam” akan menjadi inklusif ketika Islam dipahami dalam

pengertian umum sebagai sikap pasrah. Menutnya bahwa semua agama

yang benar pada hakikatnya adalah al-islâm. Baginya (melalui ajaran

kesatuan kenabian), bahwa agama Yahudi dan Kristen pada dasarnya

16
mengandung al-islâm. Dalam konteks ini, ia ingin meyampaikan pesan

bahwa antar sesama penganut ajaran yang islam harus membina hubungan

yang harmonis, karena agama Islam, Kristen dan Yahudi merupakan suatu

rangkaian ke-al-islâm-an.25

Refleksi Nurcholish Madjid tentang makna islâm itu tidak berarti

merelatifkan agama Islam, tetapi hal tersebut menunjukan bahwa hakikat

agama Islam adalah islâm dalam arti penyerahan terhadap Allah. Siapapun

yang berserah diri pada Tuhan atau siapa pun yang ber-islâm, meskipun di

luar agama Islam akan memperoleh keselamatan. Dalam hal ini

Nurcholish Madjid juga tidak mengorbankan nilai keislamannya, akan

tetapi ia juga mencoba menunjukan bahwa atas dasar agama Islam pun

keselamatan orang-orang yang berada diluarnya dapat diterima (inklusif).

Ia meyakini kepercayaan agamanya yang paling benar adalah suatu

keharusan, karena sikap keberagamaan tidak boleh dilandasi keragu-

raguan, tetapi sikap keyakinan tersebut tidak boleh ditambah dengan

menganggap keyakinan yang lain adalah salah. Pertimbangan teologis itu

memang terkesan rumit, namun sangat mendalam dan memperkuat dasar

pluralisme agama, karena memungkinkan kita dapat melihat orang lain

dalam kelainan kepercayaannya, tanpa merelatifkan kepercayaan kita

sendiri.26

Pendekatan filologi yang digunakan Nurcholish Madjid berada

pada perspektif yang memisahkan kata dengan apa yang ditunjuk oleh kata

itu dan mengutamakan yang terakhir dari yang pertama. Sebagai

konsekwensinya tidaklah mengherankan ketika cak Nur mendefinisikan

25
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid”, Religio: Studi
Agama-Agama1, no.1 (Maret 2011), h. 58.
26
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid”, Religio: Studi
Agama-Agama1, no.1 (Maret 2011), h. 55-56.

17
“islam” sebagai sikap pasrah. Baginya Islam bukan sekedar nama atau

identitas suatu agama tetapi dibalik nama itu ada realitas.

c. Pendekatan Historis

Peristiwa sejarah yang sering dijadikan rujukan sebagai wacana

pluralisme agama di antaranya adalah terbentuknya masyarakat Madinah

dengan Piagam Madinahnya, masyarakat Spanyol pada masa penguasaan

Islam, dan Yerusalem dengan Piagam Aelianya.27 Piagam Madinah dibuat

dalam pembentukan masyarakat baru di Madinah. Piagam ini memuat hak

dan kewajiban yang sama untuk. masing-masing golongan penduduk

Madinah. Oleh sebab itu piagam ini banyak dipuji sebagai dokumen

politik resmi pertama yang meletakan prinsip dasar kebebasan beragama.

Piagam ini memuat persamaan hak dan kewajiban antara kaum Yahudi

dan Muslim. Sebagian kutipan dari Piagam Madinah di atas menunjukan

bahwa Nabi Muhammad sebagai figur bagaimana mewujudkan

persaudaraan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang beradab dengan

jalan tidak membedakan etnis, suku, agama, dan kepercayaan dalam

bingkai kerukunan antar umat beragama yang selanjutnya disebut sebagai

pluralisme agama.

Fakta sejarah kedua yang sering dijadikan dasar oleh Nurcholish

Madjid adalah masyarakat Islam klasik Yerusalem pada waktu penguasaan

Umar bin Khatab setelah kota itu dibebaskan oleh tentara Muslim.

Kebebasan beragama pada masyarakat itu tercermin dalam perjanjian

Aelia (nama lain Yerusalem). Menurutnya bahwa Perjanjian Aelia itu

sejalan dengan semangat dan jiwa perjanjian Madinah yang telah dibuat

oleh Nabi Muhammmad ketika di Madinah. Perjanjian itu menunjukan

27
Purwanto, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid”, Religio: Studi
Agama-Agama1, no.1 (Maret 2011), h. 59.

18
sikap kebebasan, kesetaraan, keamanan, dan kesejahteran yang semua itu

dijamin oleh Islam. Bagi Islam pengakuan atas eksistensi yang lain perlu

dilakukan sepanjang mereka tidak berbuat zalim.

Pluralisme agama telah tercatat (terjadi) dalam sejarah, dan sejarah

merupakan sunnatullah, oleh karena itu pluralisme agama pada saat

merupakan keniscayaan dan perlu untuk diimlementasikan, maka dari itu

kesadaran historis sangat diperlukan, tanpa melihat historisis (dalam arti

sikap memutlakan apa yang ada dalam sejarah) maka kiranya perlu

melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan pelaksanaan

nyata suatu nilai dalam tuntunan zaman dan tempat. Jadi, yang terpenting

adalah nilai atau semangat yang terkandung dalam sejarah itu. Dalam hal

ini setiap penganut agama perlu mengambil contoh nilai-nilai keterbukaan

masyarakat Madinah masa itu. Pendekatan historis itu berbeda dengan

pemikiran kelompok yang menekankan bentuk dari sejarah, seperti

mengambil bentuk pemerintahan Nabi Muhammad di Madinah untuk

diterapkan pada masa sekarang ini.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nurcholis Madjid atau Cak Nur lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17

Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H meninggal di Jakarta 29

Agustus 2005. Ia seorang aktifis muslim di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Konsep pemikirannya tentang pluralisme agama dapat dilihat dalam berbagai tulisan-

tulisannya. Seperti dalam bukunya yang berjudul Islam Doktrin dan Peradaban,

Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan

19
ia menjelaskan bahwa pluralisme agama adalah sebagai suatu keragaman jalan

menuju Tuhan. Pluralisme agama hanyalah kemajemukan jalan menuju suatu

kebenaran, yakni kebenaran Tuhan. Banyak pintu menuju Tuhan.

Pintu-Pintu Menuju Tuhan merupakan karyanya yang memuat iman adalah

mempercayai Allah dalam kualitas sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian

atau ketuhanan. Keimanan tidak cukup hanya dengan kata percaya, keimanan

harus disertai dengan sikap pasrah sepenuhnya (kepada Allah), sikap yang

menjadi inti ajaran agama yang benar di sisi Allah swt.

Ada tiga pendekatan yang digunakan oleh Nurcholis Madjid dalam

merumuskan konsep Pluralisme yaitu pertama, pendekatan Tauhid yaitu

pengembalian harkat dan martabat manusia kembali ke dalam posisinya sebagai

mahluk Allah swt. Manusia memandang ke “atas” hanya kepada Allah, kepada

sesama manusia harus memandang dalam rangkaian kesetaraan. Kedua,

Pendekatan Filologi yakni Redefinisi makna Islam atau lebih tepatnya perluasan

atas definisi Islam sebagai sikap pasrah, berserah diri, dan tunduk patuh terhadap

Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga adalah Pendekatan Historis adalah nilai atau

semangat yang terkandung dalam sejarah itu. Dalam hal ini setiap penganut

agama perlu mengambil contoh nilai-nilai keterbukaan masyarakat Madinah masa

itu bukan mengambil bentuk pemerintahan Nabi Muhammad saw di Madinah

untuk diterapkan pada masa sekarang ini.

B. Implikasi

Ada beberapa implikasi dalam mempelajari materi Pemikiran Kalam

Nurcholish Madjid tentang Pluralisme, di antaranya mampu mengetahui biografi

dan karya-karya Nurcholish Madjid. Materi ini mampu memberikan pemahaman

lebih dalam perihal Pemikiran Nurcholish madjid tentang Pluralisme.

20
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. Studi Agama Normativitas atau Historitas, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 1996)

Alamsjah, St. Rais. 10 Orang Indonesia Terbesar Sekarang, (Jakarta: Firma


Bintang Mas, 1952).
Apriliana, “Pluralisme Agama dalam Pandangan Nurcholis Madjid,” Tesis,
Program Pascasarjana Insitute Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2010.
Djamaluddin, Dedi dan Idi Subandy Ibrahim. “Zaman Baru Islam Indonesia;
Pemikiran dan Aksi Politik”, Cet. I, (Jakarta: Zaman Wacana Mulia,
1998).

21
Fuad, Zainul. “Diskursus Pluralisme Agama” , Cet. I, (Bandung: Citapustaka
Media, 2007).

https://celebesmedia.id/citizen/artikel/1010270922/pluralisme-menurut-para-ahli-
dan-contoh-sikapnya

https://id.wikipedia.org/wiki/Pluralisme

https://www.google.com/search?client=firefox-bd&q=Defenisi+pluralisme
+menurut+bahasa

Liddle, R. William. “Islam Politik dan Modernisasi”, Pengantar oleh Taufik


Abdullah. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997).
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Yayasan
Wakaf paramadina, 1992).

Monib, Muhammad. Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nurcholis
Madjid, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011).

Muhammad Wahyuni Nafis, Pengantar Ahmad Syafi’I Ma’arif, Cak Nur Sang
Guru Bangsa, Biografi Pemikiran Prof. Dr. Nurcholish Madjid, (Jakarta:
Kompas, 2014).

Purwanto, Pluralisme Agama dalam Perspektif Nurcholis Madjid. Religio: Jurnal


Studi Agama-agama1, no.1 (Maret 2011).

Rahman, Budi Munawar, dkk. Pemikiran Islam Nucholis Madjid, (Bandung: Prodi
S2 Studi Agama-Agama uin sunan gunung djati bandung, 2022).

Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur (Jakarta: Kompas, 2001)


Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995).

22

Anda mungkin juga menyukai