Anda di halaman 1dari 15

Tokoh Oksidentalisme dan Pemikirannya:

Mukti Ali & Burhanuddin Daya


Makalah Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Kajian Oksidentalis”
Dosen Pengampu: Dr. Mohamad Zaenal Arifin, MHI.

Disusun Oleh:
Siti Nur Lailatul Azizah (NIM. 21102030)
Fitrotul Ismi (NIM. 21102057)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘Aalamiin. Puji syukur kami haturkan kepada Ilahi Rabbi,
karena berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini. Semoga
sholawat dan salam juga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya. Aamiin.

Terima kasih, kami haturkan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Kajian
Oksidentalis, Bapak Dr. Mohamad Zaenal Arifin, MHI yang telah membimbing dan
menyempurnakan susunan makalah kami.Tak lupa kami sampaikan pula rasa terima kasih
kepada teman sekalian. Dari mereka kita dapat bertukar pikiran, ilmu, dan pengalaman.
Pembaca yang budiman, makalah berjudul “Tokoh Oksidentalisme dan Pemikirannya :
Mukti Ali & Burhanuddin Daya” ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Kajian Oksidentalis.

Berbagai cara kami lakukan agar makalah ini dapat hadir dengan maksimal serta
bermanfaat bagi para pembaca dan rekan-rekan mahasiswa, khususnya bagi penulis. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan diskusi ataupun ilmu
pengetahuan dimasa yang akan datang.

Kediri, 03 Maret 2024

Penulis

ii
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Oksidentalisme adalah konsep yang menyatakan bahwa budaya barat atau
budaya oksidental merupakan budaya yang paling baik atau paling penting di dunia.
Dalam konteks Indonesia, oksidentalisme telah mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat, termasuk budaya, politik, dan ekonomi. Makalah ini akan
mencakup pemikiran dan konsekuensi oksidentalisme terhadap Indonesia, serta
bagaimana tokoh seperti Mukti Ali dan Burhanuddin Daya mempengaruhi pemikiran
masyarakat terkait oksidentalisme. Makalah ini mencakup pengaruh tokoh seperti
Mukti Ali dan Burhanuddin Daya terhadap pemikiran masyarakat Indonesia terkait
oksidentalisme. Tokoh ini memiliki peran penting dalam menganalisis dan
menggambarkan dampak oksidentalisme terhadap Indonesia, serta memberikan
pendapat yang kuat tentang konsekuensi oksidentalisme terhadap masyarakat
Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana biografi Mukti Ali?
2. Bagaimana biografi Burhanuddin Daya?
3. Bagaimana Oksidentalisme Perspektif Mukti Ali?
4. Bagaimana Oksidentalisme Perspektif Burhanuddin Daya?

1.3. Tujuan Makalah


1. Untuk mendeskripsikan biografi Mukti Ali,
2. Untuk mendeskripsikan biografi Mukti Ali
3. Untuk menjelaskan Oksidentalisme Perspektif Mukti Ali,
4. Untuk menjelaskan Oksidentalisme Perspektif Burhanuddin Daya.

1
PEMBAHASAN
1. Mengenal Tokoh Mukti Ali dan Burhanudin Daya
a) Mukti Ali
H. A. Mukti Ali dilahirkan pada 23 Agustus 1923, di Cepu, Jawa Timur. Dia
merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Abu Ali dan Khadijah.
Saat masih kecil, dia diberi nama Boedjono, tetapi nama Abdul Mukti merupakan
pemberian dari Kiai Hamid. Boejone tinggal di desa Balun Sudagaran, desa ini
merupakan kompleks para saudagar atau pedagang kain yang kaya raya, untuk masuk
ke desa tersebut terlebih dahulu harus melalui pintu gerbang yang cukup membuat
orang segan. Seperti anak-anak tempo dulu Boejono menempuh pendidikan dalam
dua waktu; pagi di sekolah Belanda sedangkan sore mengaji pada guru ngaji dan
orang tua di sekitar surau dekat rumahnya dan kemudian mengajinya di lanjutkan
pada para kyai.1

Pada saat belajar pada sekolah BeIanda, Boejono memiliki guru seorang
pribumi yang mengajar bahasa Belanda, gurunya tersebut sangat disiplin dalam
masalah waktu dan setiap mengajar tidak pernah memegang buku, dan bahasanya
menjadi kekaguman tersendiri bagi Boejono. Setelah tamat dan lulus ujian sekolah
belanda yang disebut Klien Ambtenar Examen (Ujian Pegawai Rendah), kemudian
Boejono melanjutkan sekolah maupun mengaji di berbagai pondok pesantren, dari
mulai pondok Pesantren Termas untuk belajar ilmu alat, dan di beberapa pondok
pesantren lainnya seperti pondok pesantren Tebuireng, Jombang untuk belajar ilmu
hadits (Shahih Bukhori dan Shahih Muslim), di pondok pesantren Lasem (Alfiyah ibn
Malik Ibn Aqil dan Jam'ul Jawami’, di tambah lagi Fathul Wahab, Mahalli dan Iqna).2

Dalam perjalanan nyantrinya Boejono menerima nasehat dari dua kyai


terkemuka pada saat itu yakni K.H. Abdul Hamid Pasuruan dan K.H. Hamid Dimyati.
K.H. Abdul Hamid menyarankan agar nama Boejono mengganti namanya menjadi
Abdul Mukti (merupakan nama Kyai Abdul Hamid sebelum menjadi Kyai), maka
sejak saat itu namanya diganti dengan Abdul Mukti Ali, tambahan Ali berasal dari
nama orang tuanya, di samping itu, beliau juga dinasihati untuk menjadikan al Qur'an
sebagai wiridannya; KH. Hamid Dimyati menasihati A. Mukti Ali untuk tidak
melanjutkan dan mendalami ilmu tasawuf tetapi menekankan agar lebih mendalami

1
Almunauwar Bin Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia,” Potret Pemikiran 23, no. 1
(November 28, 2019): 10, https://doi.org/10.30984/pp.v23i1.929.
2
Elihami, “Pemikiran Mukti Ali,” 2018, n.d.

2
kitab karangan Hijjatul Islam Imam al-Ghazali yang berjudul Milhak al-Nadhar, teori
analisis sebuah kitab yang membahas filsafat logika al Ghazali. Dari nasehat dua Kyai
besar tersebut hikmah yang diperolehnya terasa setelah beliau menjalani hidup
berikutnya, nasehat kedua kyai itu diyakini sebagai irhas, kemampuan untuk
membaca tanda-tanda masa. depan yang melebihi rata-rata.3

Sikap taat yang senantiasa ditunjukkan oleh A. Mukti Ali terhadap para kyai,
menyakinkan dirinya untuk terus menerus melakukannya dalam mengharap
keberkahan dari para kyai, sehingga yang bisa dikatakanya tentang seorang kyai
hanyalah memuji kebaikannya saja; beliau berpendapat begitu karena; pertama, rata-
rata kyai mengajarkan ilmu tanpa meminta imbalan sedikit pun, bahkan sering kali
harta yang dimilikinya dikorbankan untuk kepentingan para santrinya, mereka ikhlas
betul dalam pemberian itu tanpa pamrih pujian maupun imbalan duniawi. Kedua,
sering kali kehidupan para kyai tidaklah lebih menonjol dari kehidupan para
santrinya, baik dari segi makanan, pakaian maupun tempat tinggal; hal itu
menunjukkan tidak adanya kesenjangan sosial yang tajam dalam kehidupan pesantren.
Ketiga, selama sehari semalam para kyai dan anggota keluarga selalu menjadi teladan
para santrinya baik dalam bidang kehidupan maupun kedisiplinan beribadah.

Mukti Ali adalah alumnus Universitas Islam Indonesia, yang dahulu bernama
Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, melanjutkan studi ke India setelah perang
dunia ke-2. la menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar
doktor sekitar tahun 1952. Karena belum puas mengecap pendidikan, ia melanjutkan
studi ke McGill University, Montreal Kanada mengambil gelar MA pada tahun 1955.
Sejak ia menuntut ilmu di McGill University, Montreal, Kanada gagasan pembaruan
Mukti Ali terlihat jelas, terutama setelah perkenalannya dengan Wilfred Cantwell
Smith, seorang ahli Islam berkebangsaan Amerika. Dia menjabat sebagai Menteri
Agama menggantikan KH Muhammad Dachlan dalam Kabinet Pembangunan I, dan
kemudian diangkat lagi pada periode kedua (1973-1978) pada Kabinet Pembangunan
II. Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004,
sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya

3
Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.”

3
dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.4

Karya-karya A. Mukti Ali

A. Mukti Ali merupakan salah satu tokoh yang cukup produktif dalam menghasilkan
karya tulis, telah banyak buku maupun artikel-artikel, diantaranya adalah sebagai berikut:5

1) Manusia dan Agama, Jakarta. Departemen Penerangan, 1975


2) An Introduction to The Government of Acheh's Sultanate, Yogyakarta : Yayasan
Nida, 1979
3) Nabi Muhammad Tauladan Utama, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
4) Seni, Ilmu dan Agama, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1972
5) Keesaan Tuhan dalam al Qur'an, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1972
6) Agama dan Keluarga Berencana, Jakarta: BKKBN, 1972
7) Religion and Development in Indonesia, Yogyakarta. : Yayasan Nida, 1971
8) Beberapa Masalah Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1971
9) Faktor Penyiaran Islam di Indonesia, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1971
10) Masalah Komunikasi Kegiatan Ilmu Pengetahuan dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1971
11) The Spread of Islam in Indonesia, Yogyakarta, Yayasan Nida, 1970
12) Etika Agama dalam Pembinaun Kepribadian Nasional dan Pemberantasan
Kemiskinan dari Segi Agama Islam (Dua buku dijadikan satu Yogyakarta : Yayasan
Nida, 1971
13) Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Jakarta: Haji Mas Agung, 1990
14) Bagaimana menghampiri lsra' mi’ raj Nabi Muhammad SAW Yogyakarta : Yayasan
Nida, 1969
15) Asal Usul Agama, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970
16) Kuliah Agama Islam di SESKAU Lembang, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1970
17) Ilmu Perbandingan Agama; Sebuah Pembahasan Tentang Metodos dan Sistema,
Yogyakarta : Yayasan Nida, 1965

4
dkk (ed ) Abdurrahman, Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti Ali: Agama Dan Masyarakat (IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1993).
5
Taufiq Usman, “H. A. Mukti Ali dan Pemikirannya” 4 (2023).

4
b) Burhanuddin Daya

Prof. Dr. H. Burhanuddin Daya, seorang pemikir Islam dan pengajar


Indonesia, lahir pada 10 September 1938 di Padang Laut, Sumatera Selatan 10 . Dia
merupakan seorang guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di
Yogyakarta. Burhanuddin Daya meneruskan pendidikan di Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga dan berhasil meraih gelar doktor.6 Daya menjabat sebagai menteri
agama dalam Kabinet Pembangunan II, menggantikan KH Muhammad Dachlan. Dia
juga merupakan pengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Burhanuddin
Daya terkenal sebagai pemikir Islam dan pengajar, serta seorang pemimpin dalam
gerakan pembaharuan pemikiran Islam.7

Ia juga aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY, dan
menjabat sebagai wakil ketua. Burhanuddin Daya menulis beberapa karya,
diantaranya:8

1) Ilmu perbandingan agama di Indonesia dan Belanda: kumpulan makalah


seminar,
2) Gerakan pembaharuan pemikiran Islam,
3) Agama dan Masyarakat: 70 tahun H.A. Mukti Ali,
4) Agama dialogis: merenda dialektika idealita dan realita hubungan antaragama,
5) Religion and contemporary development: an International Seminar on
Religions and Contemporary Developments (in Comparative Perspectives),
Yogyakarta, Indonesia, 23-26 September 1992,
6) Sumatra Thawalib dalam gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Sumatra
Barat,
7) Agama Yahudi,
8) Metode penelitian dan pengembangan ilmu perbandingan agama,
9) Dua sejoli Yang Dipatuan Maharajo Alam Sati dan Puan Gadih Putih Reno
Indaswari, dan
10) Pergumulan Timur menyikapi Barat: dasar-dasar Oksidentalisme

6
Masruri Siswanto, Oksidentalisme: Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat (yogyakarta: Rajagrafindo Persada,
2021).
7
Nurisman, Oksidentalisme: Kritik Epistemologis Dalam Filsafat Modern, 1st ed. (Yogyakarta: Kalimedia, 2019).
8
Muh. Syamsuddin, “Orientalisme, Oksidentalisme, Filsafat Islam Modern, dan Kontemporer (Suatu Agenda
Masalah),” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18, no. 1 (January 30, 2018): 47–60,
https://doi.org/10.14421/ref.v18i1.1856.

5
2. Pemikiran Oksidentalisme Perspektif Mukti Ali dan Burhanudin Daya
a) Pemikiran Mukti Ali

Mukti Ali mengakui bahwa Oksidentalisme bermula dari semangat defensif


para cendekiawan Muslim, terutama dalam menghadapi karya-karya orientalis yang
cenderung mengkritik Islam. Dampaknya adalah munculnya karya-karya Muslim
yang mempertimbangkan agama-agama lain melalui pendekatan perbandingan, yakni
membandingkan agama non-Islam dengan agama penulis yang beragama Muslim.9
Mukti Ali menyoroti secara khusus agama Kristen, yang menjadi fokusnya
dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih dalam proses pembentukan.
Hubungan erat antara kolonialisme Barat dan agama Kristen masih sangat terasa. Ini
menyebabkan persepsi yang mengidentifikasi Barat dengan Kristen, sehingga pada
saat itu sulit untuk memisahkan antara Kristen dan budaya Barat. Hampir semua buku
yang diacu oleh Mukti Ali dalam bab yang berjudul "Menuju Oksidentalisme"
membahas tentang agama Kristen. Karya-karya dari penulis seperti Hasbullah Bakri,
Ahmad Deedat, dan Ahmad Syalabi termasuk dalam kategori studi Muslim tentang
Kristen yang disebutkan oleh Mukti Ali.
Dalam suasana kebebasan sebagai sebuah bangsa merdeka, terjadi
peningkatan kontak yang lebih erat dengan bangsa-bangsa lain. Mukti Ali melihat hal
ini sebagai kesempatan untuk memperkenalkan Barat secara obyektif kepada dunia
Timur. Namun, karena keterbatasan karya-karya Muslim yang mengulas tentang
Barat dan agama Barat, terutama Kristen, Mukti Ali menyimpulkan bahwa fenomena
Oksidentalisme memang belum sepenuhnya muncul, terutama di Indonesia.
Oksidentalisme perlu lahir selain agar Timur mengkaji Barat secara ilmiah,
juga agar Barat mendapatkan masukan dari perspektif Timur. Ketika Edward Said,
penulis Amerika berdarah Palestina, menulis buku Orientalisme pada tahun 1978,
kritiknya mampu mengubah dunia Barat. Alhasil sejak itu Barat menjadi semakin
obyektif, ilmiah, dan apresiatif terhadap Timur. Ini bukti bahwa masukan yang
obyektif dapat “mengobati” peradaban, menjadikan relasi antara Barat dan Timur
menjadi lebih baik. Dengan kata lain, Barat sebetulnya memerlukan kritik Timur.
Sama halnya orientalisme yang sedikit banyak telah membangunkan kesadaran Timur

9
Toguan Rambe, “Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap Problem Hubungan Antar Umat Beragama di
Indonesia,” n.d.

6
akan ketertinggalannya, sehingga intelektual Timur semakin bergegas melakukan
modernisasi diri.10
Oksidentalisme sudah sangat mendesak. Namun ilmuwan yang berkenan
mengembangkan ilmu ini tidak banyak. IAIN yang diharapkan menjadi pusat
persemaian juga belum banyak berbuat. Namun setidaknya pesimisme tersebut tidak
perlu berlarut, sebab ilmuwan Mesir, Hassan Hanafi menulis Oksidentalisme dengan
sangat baik, seolah menyambut kegelisahan akademik Mukti Ali. Setelah itu ada pula
Burhanuddin Daya dari IAIN (UIN) sendiri. Diharapkan semakin banyak kajian serius
yang mengembangkan ilmu ini, mengingat relasi Timur-Barat hingga saat ini masih
belum benar-benar obyektif dan berimbang.
Sejak Mukti Ali menduduki jabatan Menteri Agama (1971- 1978), maka
upaya memodernisasi IAIN sebagai lembaga akademis dilakukan secara sistematis.
Disiplin ilmu baru diperkenalkan, misalnya Perbandingan Agama (diperkenalkan
pada tahun 1960 dan pada tahun 1971 menjadi salah satu kajian utama (Post
Graduate Program). Modernisasi tersebut hingga kini menimbulkan dampak yang
signifikan terhadap wacana Pluralisme. Atas nama kerukunan umat beragama, Mukti
Ali meluncurkan konsepsi pemikiran Pluralisme yang terangkum dalam lima poin
utama:
Pertama, dengan jalan sinkretisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pada
dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak
laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai
pancaran dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari Substansi yang satu, dan
sebagai ombak dari Samudera yang satu. Aliran Sinkretisme ini disebut juga Pan-
theisme, Pan-kosmisme, Universalime, atau Theo-panisme. Maksud istilah-istilah ini
adalah bahwa semua (pan) adalah Tuhan dan semua (pan) adalah kosmos. Salah
seorang juru bicara sinkretisme yang terkenal di Asia adalah S. Radhakrishnan,
seorang ahli pikir India. Jalan sinkretisme yang ditawarkan di atas, menurut Mukti
Ali, tidak dapat diterima. Sebab dalam ajaran Islam, Sang Khalik (Sang Pencipta)
adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Antara Khalik dan
makhluk harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian menjadi jelas siapa yang
disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi.11

10
Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.”
11
Rajagrafindo Persada, “Sikap Timur Terhadap Barat,” n.d.

7
Kedua, dengan jalan rekonsepsi (reconception). Pandangan ini menawarkan
pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali
ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain.
Tokohnya yang terkenal adalah W.E.Hocking, yang berpendapat bahwa semua agama
sama saja. Obsesi Hocking yang menonjol adalah bagaimana sebenarnya hubungan
antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dengan cara
rekonsepsi tadi dapat terpenuhi rasa kebutuhan akan satu agama dunia. Dengan
demikian, kelak akan muncul suatu agama yang mengandung unsur-unsur dari
berbagai agama. Misalnya, kandungan itu bisa berupa ajaran kasih sayang dari agama
Kristen, pengertian tentang kemuliaan Allah dari agama Islam, perikemanusiaan dari
agama Kong Hu Cu dan perenungan dari agama Hindu. Paham ini menekankan
bahwa orang harus tetap menganut agamanya sendiri, tetapi ia harus memasukkan
unsur-unsur dari agama-agama lain. Mukti Ali berpendapat, cara ini pun tidak dapat
diterima karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan
produk pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental diyakini
sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau
menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada
manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya.12

Ketiga, dengan jalan sintesis. Yakni menciptakan suatu agama baru yang
elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap
pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil
dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tadi. Dengan jalan ini, orang menduga
bahwa toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan terbina.
Pendekatan dengan menggunakan sintesis ini, dalam pandangan Mukti Ali, juga tidak
dapat diterima. Agama sintesis itu sendiri tidak bisa diciptakan, karena setiap agama
memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat
diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan
kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.

Keempat, dengan jalan penggantian. Pandangan ini menyatakan bahwa


agamanya sendirilah yang benar, sedang agamaagama lain adalah salah, seraya
berupaya keras agar para pengikut agama-agama lain itu memeluk agamanya. Ia tidak
rela melihat orang lain memeluk agama dan kepercayaan lain yang berbeda dengan

12
Ali Munhanif, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama
RI, 1998).

8
agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan
agama yang dia peluk. Dengan jalan ini, ia menduga bahwa kerukunan hidup
beragama dapat dicipta dan dikembangkan. Terhadap cara yang keempat ini, Mukti
Ali tidak bisa menerima karena adanya kenyataan bahwa sosok kehidupan masyarakat
itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistis dalam kehidupan agama, etnis,
tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Pluralisme kehidupan masyarakat, termasuk
dalam kehidupan beragama, sudah menjadi watak dan realitas masyarakat itu sendiri.
Cara-cara penggantian sudah pasti tidak akan menimbulkan kerukunan hidup umat
beragama, tetapi sebaliknya justru intoleransi dan ketidakrukunan yang akan terjadi;
karena cara-cara tersebut akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk
berupaya keras dengan segala cara untuk menarik orang lain menganut agama yang
dia peluk.

Kelima, dengan jalan atau pendekatan setuju dalam perbedaan (agree in


disagreement). Gagasan ini menekankan bahwa agama yang dia peluk, itulah yang
paling baik. Walaupun demikian, ia mengakui, di antara agama yang satu dengan
agama-agama lainnya selain terdapat perbedaan-perbedaan juga terdapat persamaan-
persamaan. Pengakuan seperti ini akan membawa kepada suatu pengertian yang baik
yang dapat menimbulkan adanya saling menghargai dan sikap saling menghormati
antara kelompok pemeluk agama-agama yang satu dengan yang lain.

b) Pemikiran Burhanudin Daya

Burhanuddin Daya dalam kajian Oksidentalisme menekankan pada


pendekatan studi tiga agama Abrahamik yakni Islam-Kristen-Yahudi. Pembedaan
Timur dan Barat bahkan dianalogikan oleh Daya sebagai Islamdom (dunia Islam) dan
Kristendom (dunia Kristen). Namun pembedaan ini hanya didasarkan pada
karakteristik budaya Eropa dengan Timur. Sehingga ia menolak jika pembedaan
Islamdom dan Kristendom ini disamakan dengan darul islam dan darul harb
sebagaimana digunakan sebagian muslim.13
Burhanuddin menaruh perhatian besar pada relasi Timur-Barat dan Islam-
Kristen dalam konteks modern, namun Burhanuddin Daya juga menekankan
pentingnya melihat relasi Timur-Barat dalam sejarah lampau, terutama pada masa
Abad Pertengahan ketika Peradaban Kristen Barat dan Timur Islam bertemu.
Oksidentalisme yang dibangun oleh Burhanuddin Daya lebih sebagai upaya

13
Siswanto, OKSIDENTALISME Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat.

9
pemahaman lintas budaya (Timur-Barat) dan lintas agama (Islam-Kristen-Yahudi).
Burhanuddin juga sangat fokus pada dimensi Timur Islam dan belum memberikan
cukup perhatian terhadap Timur Non Islam.

Epistemologi Oksidentalisme Burhanuddin Daya


Epistemologi oksidentalisme nejadi pembahasan yang sangat penting karena
oksidentalisme sendiri sebagai ilmu belum sepenuhnya mapan. Kontruksi
keilmuannya masih memerlukan kontribusi dari berbagai ilmuwan agar lebih tegas,
terutama terkait epistemologi, khususnya lagi tentang metode dan pendekatan.
Burhanuddin Daya mengusulkan pendekatannya sendiri, yaitu pendekatan
Berkearifan (Wise Occidentalism). Menurut Burhanuddin Daya:
“Oksidentalisme yang Berkearifan yang seyogianya dibangun adalah
oksidentalisme yang memandang Barat secara moderat, bersahabat dan
rasional jujur, dengan tidak meninggalkan sikap kritis.”14
Burhanuddin Daya meyakini bahwa kebenaran dapat datang dari mana saja
termasuk dari mereka yang berbeda keyakinan, termasuk bangsa Barat. Kebenaran
dari siapapun harus diterima, dan sebaliknya jika ternyata mereka membawa
kekeliruan harus dimaafkan dan dikoreksi karena bisa jadi hal tersebut muncul karena
kekurangcermatan dan ketidaktahuan. Prinsip ini juga diambil oleh Burhanuddin
Daya dari filsuf Muslim, Ibn Rusyd, dalam karyanya Fasl Al-Maqāl fī Taqrīr mā
baina al-Syari’ah wa alHikmah min Ittishāl.15
Pendekatan berkearifan yang diusung oleh burhanuddin Daya lahir dari
perspektif ontologis bahwa tidak ada satupun di alam ini yang tidak bernilai. Segala
realitas dan idealitas tidak ada yang bersifat percuma. Seperti yang telah tertulis
dalam Q.S Ali Imran ayat 191. Oleh karenanya kebenaran-kebenaran dari sumber
penelitian ilmiah manapun harus diterima. Ini merupakan bagian penting dari Wise
Occidentalism. Akan tetapi, Burhanuddin Daya juga menyadari adanya relativitas
kebenaran. Maksudnya hasil kajian yang diterima sebagai kebenaran itu pun sifatnya
tetap kebenaran relatif, tidak ada kebenaran final. Oleh karena itu tidak boleh
dimutlakkan agar kajian kritis dalam Oksidentalisme tetap terus berlanjut.
Dalam penjelasannya mengenai oksidentalisme, Daya banyak mengkritik
arogansi Barat terhadap Timur. Oleh karena itu, Oksidentalisme Berkearifan (Wise

14
Siswanto.
15
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara (Gelegar Media Indonesia, 2009).

10
Occidentalism) berorientasi menghindarkan diri dari kesombongan dan arogansi.
Menurut Daya, Oksidentalisme Berkearifan mengakomodir nilai-nilai transenden dan
sekuler, deduktif dan induktif, idealis dan realis, menghindarkan diri dari
kesombongan dan arogansi yang dicari-cari.

11
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari makalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa keduanya membahas isu-isu
agama dan pendidikan dengan pendekatan yang berbeda. Mukti Ali fokus pada dialog
antar agama, etika agama, dan pemahaman ajaran Islam, sementara Burhanudin Daya
menyoroti pandangan santri pesantren tentang ilmu perbandingan agama. Kedua tokoh ini
memberikan kontribusi dalam konteks pemahaman agama, toleransi antar agama, dan
politik keagamaan di Indonesia. Mukti Ali menekankan dialog antar umat beragama dan
pemahaman ajaran Islam, sedangkan Burhanudin Daya lebih menitikberatkan pada
perspektif santri pesantren terhadap ilmu perbandingan agama. Kesimpulan dari makalah
mereka menggambarkan upaya untuk memperluas wawasan keagamaan dan memperkuat
toleransi antar umat beragama di Indonesia.

2. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki. Hal
ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke
depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian atau karya tulis yang bermanfaat
bagi banyak orang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dkk (ed ). Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti Ali: Agama Dan Masyarakat. IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1993.
Elihami. “Pemikiran Mukti Ali.” 2018, n.d.
Munhanif, Ali. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI, 1998.
Nurisman. Oksidentalisme: Kritik Epistemologis Dalam Filsafat Modern. 1st ed. Yogyakarta:
Kalimedia, 2019.
Persada, Rajagrafindo. “Sikap Timur Terhadap Barat,” n.d.
Rambe, Toguan. “Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap Problem Hubungan Antar
Umat Beragama di Indonesia,” n.d.
Rusli, Almunauwar Bin. “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.” Potret
Pemikiran 23, no. 1 (November 28, 2019): 10. https://doi.org/10.30984/pp.v23i1.929.
Siswanto, Masruri. OKSIDENTALISME Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat. yogyakarta:
Rajagrafindo Persada, 2021.
Suprapto, H. M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia, 2009.
Syamsuddin, Muh. “Orientalisme, Oksidentalisme, Filsafat Islam Modern, dan Kontemporer
(Suatu Agenda Masalah).” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18, no. 1
(January 30, 2018): 47–60. https://doi.org/10.14421/ref.v18i1.1856.
Usman, Taufiq. “H. A. Mukti Ali dan Pemikirannya” 4 (2023).

13

Anda mungkin juga menyukai