Disusun Oleh:
Siti Nur Lailatul Azizah (NIM. 21102030)
Fitrotul Ismi (NIM. 21102057)
2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil ‘Aalamiin. Puji syukur kami haturkan kepada Ilahi Rabbi,
karena berkat karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah sederhana ini. Semoga
sholawat dan salam juga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.,
keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya. Aamiin.
Terima kasih, kami haturkan kepada Dosen Pengampu mata kuliah Kajian
Oksidentalis, Bapak Dr. Mohamad Zaenal Arifin, MHI yang telah membimbing dan
menyempurnakan susunan makalah kami.Tak lupa kami sampaikan pula rasa terima kasih
kepada teman sekalian. Dari mereka kita dapat bertukar pikiran, ilmu, dan pengalaman.
Pembaca yang budiman, makalah berjudul “Tokoh Oksidentalisme dan Pemikirannya :
Mukti Ali & Burhanuddin Daya” ini kami susun guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Kajian Oksidentalis.
Berbagai cara kami lakukan agar makalah ini dapat hadir dengan maksimal serta
bermanfaat bagi para pembaca dan rekan-rekan mahasiswa, khususnya bagi penulis. Kami
menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu segala kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan diskusi ataupun ilmu
pengetahuan dimasa yang akan datang.
Penulis
ii
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Oksidentalisme adalah konsep yang menyatakan bahwa budaya barat atau
budaya oksidental merupakan budaya yang paling baik atau paling penting di dunia.
Dalam konteks Indonesia, oksidentalisme telah mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan masyarakat, termasuk budaya, politik, dan ekonomi. Makalah ini akan
mencakup pemikiran dan konsekuensi oksidentalisme terhadap Indonesia, serta
bagaimana tokoh seperti Mukti Ali dan Burhanuddin Daya mempengaruhi pemikiran
masyarakat terkait oksidentalisme. Makalah ini mencakup pengaruh tokoh seperti
Mukti Ali dan Burhanuddin Daya terhadap pemikiran masyarakat Indonesia terkait
oksidentalisme. Tokoh ini memiliki peran penting dalam menganalisis dan
menggambarkan dampak oksidentalisme terhadap Indonesia, serta memberikan
pendapat yang kuat tentang konsekuensi oksidentalisme terhadap masyarakat
Indonesia.
1
PEMBAHASAN
1. Mengenal Tokoh Mukti Ali dan Burhanudin Daya
a) Mukti Ali
H. A. Mukti Ali dilahirkan pada 23 Agustus 1923, di Cepu, Jawa Timur. Dia
merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Abu Ali dan Khadijah.
Saat masih kecil, dia diberi nama Boedjono, tetapi nama Abdul Mukti merupakan
pemberian dari Kiai Hamid. Boejone tinggal di desa Balun Sudagaran, desa ini
merupakan kompleks para saudagar atau pedagang kain yang kaya raya, untuk masuk
ke desa tersebut terlebih dahulu harus melalui pintu gerbang yang cukup membuat
orang segan. Seperti anak-anak tempo dulu Boejono menempuh pendidikan dalam
dua waktu; pagi di sekolah Belanda sedangkan sore mengaji pada guru ngaji dan
orang tua di sekitar surau dekat rumahnya dan kemudian mengajinya di lanjutkan
pada para kyai.1
Pada saat belajar pada sekolah BeIanda, Boejono memiliki guru seorang
pribumi yang mengajar bahasa Belanda, gurunya tersebut sangat disiplin dalam
masalah waktu dan setiap mengajar tidak pernah memegang buku, dan bahasanya
menjadi kekaguman tersendiri bagi Boejono. Setelah tamat dan lulus ujian sekolah
belanda yang disebut Klien Ambtenar Examen (Ujian Pegawai Rendah), kemudian
Boejono melanjutkan sekolah maupun mengaji di berbagai pondok pesantren, dari
mulai pondok Pesantren Termas untuk belajar ilmu alat, dan di beberapa pondok
pesantren lainnya seperti pondok pesantren Tebuireng, Jombang untuk belajar ilmu
hadits (Shahih Bukhori dan Shahih Muslim), di pondok pesantren Lasem (Alfiyah ibn
Malik Ibn Aqil dan Jam'ul Jawami’, di tambah lagi Fathul Wahab, Mahalli dan Iqna).2
1
Almunauwar Bin Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia,” Potret Pemikiran 23, no. 1
(November 28, 2019): 10, https://doi.org/10.30984/pp.v23i1.929.
2
Elihami, “Pemikiran Mukti Ali,” 2018, n.d.
2
kitab karangan Hijjatul Islam Imam al-Ghazali yang berjudul Milhak al-Nadhar, teori
analisis sebuah kitab yang membahas filsafat logika al Ghazali. Dari nasehat dua Kyai
besar tersebut hikmah yang diperolehnya terasa setelah beliau menjalani hidup
berikutnya, nasehat kedua kyai itu diyakini sebagai irhas, kemampuan untuk
membaca tanda-tanda masa. depan yang melebihi rata-rata.3
Sikap taat yang senantiasa ditunjukkan oleh A. Mukti Ali terhadap para kyai,
menyakinkan dirinya untuk terus menerus melakukannya dalam mengharap
keberkahan dari para kyai, sehingga yang bisa dikatakanya tentang seorang kyai
hanyalah memuji kebaikannya saja; beliau berpendapat begitu karena; pertama, rata-
rata kyai mengajarkan ilmu tanpa meminta imbalan sedikit pun, bahkan sering kali
harta yang dimilikinya dikorbankan untuk kepentingan para santrinya, mereka ikhlas
betul dalam pemberian itu tanpa pamrih pujian maupun imbalan duniawi. Kedua,
sering kali kehidupan para kyai tidaklah lebih menonjol dari kehidupan para
santrinya, baik dari segi makanan, pakaian maupun tempat tinggal; hal itu
menunjukkan tidak adanya kesenjangan sosial yang tajam dalam kehidupan pesantren.
Ketiga, selama sehari semalam para kyai dan anggota keluarga selalu menjadi teladan
para santrinya baik dalam bidang kehidupan maupun kedisiplinan beribadah.
Mukti Ali adalah alumnus Universitas Islam Indonesia, yang dahulu bernama
Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, melanjutkan studi ke India setelah perang
dunia ke-2. la menyelesaikan pendidikan Islam di India dengan memperoleh gelar
doktor sekitar tahun 1952. Karena belum puas mengecap pendidikan, ia melanjutkan
studi ke McGill University, Montreal Kanada mengambil gelar MA pada tahun 1955.
Sejak ia menuntut ilmu di McGill University, Montreal, Kanada gagasan pembaruan
Mukti Ali terlihat jelas, terutama setelah perkenalannya dengan Wilfred Cantwell
Smith, seorang ahli Islam berkebangsaan Amerika. Dia menjabat sebagai Menteri
Agama menggantikan KH Muhammad Dachlan dalam Kabinet Pembangunan I, dan
kemudian diangkat lagi pada periode kedua (1973-1978) pada Kabinet Pembangunan
II. Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004,
sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya
3
Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.”
3
dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.4
A. Mukti Ali merupakan salah satu tokoh yang cukup produktif dalam menghasilkan
karya tulis, telah banyak buku maupun artikel-artikel, diantaranya adalah sebagai berikut:5
4
dkk (ed ) Abdurrahman, Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti Ali: Agama Dan Masyarakat (IAIN Sunan Kalijaga
Press, 1993).
5
Taufiq Usman, “H. A. Mukti Ali dan Pemikirannya” 4 (2023).
4
b) Burhanuddin Daya
Ia juga aktif dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DIY, dan
menjabat sebagai wakil ketua. Burhanuddin Daya menulis beberapa karya,
diantaranya:8
6
Masruri Siswanto, Oksidentalisme: Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat (yogyakarta: Rajagrafindo Persada,
2021).
7
Nurisman, Oksidentalisme: Kritik Epistemologis Dalam Filsafat Modern, 1st ed. (Yogyakarta: Kalimedia, 2019).
8
Muh. Syamsuddin, “Orientalisme, Oksidentalisme, Filsafat Islam Modern, dan Kontemporer (Suatu Agenda
Masalah),” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18, no. 1 (January 30, 2018): 47–60,
https://doi.org/10.14421/ref.v18i1.1856.
5
2. Pemikiran Oksidentalisme Perspektif Mukti Ali dan Burhanudin Daya
a) Pemikiran Mukti Ali
9
Toguan Rambe, “Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap Problem Hubungan Antar Umat Beragama di
Indonesia,” n.d.
6
akan ketertinggalannya, sehingga intelektual Timur semakin bergegas melakukan
modernisasi diri.10
Oksidentalisme sudah sangat mendesak. Namun ilmuwan yang berkenan
mengembangkan ilmu ini tidak banyak. IAIN yang diharapkan menjadi pusat
persemaian juga belum banyak berbuat. Namun setidaknya pesimisme tersebut tidak
perlu berlarut, sebab ilmuwan Mesir, Hassan Hanafi menulis Oksidentalisme dengan
sangat baik, seolah menyambut kegelisahan akademik Mukti Ali. Setelah itu ada pula
Burhanuddin Daya dari IAIN (UIN) sendiri. Diharapkan semakin banyak kajian serius
yang mengembangkan ilmu ini, mengingat relasi Timur-Barat hingga saat ini masih
belum benar-benar obyektif dan berimbang.
Sejak Mukti Ali menduduki jabatan Menteri Agama (1971- 1978), maka
upaya memodernisasi IAIN sebagai lembaga akademis dilakukan secara sistematis.
Disiplin ilmu baru diperkenalkan, misalnya Perbandingan Agama (diperkenalkan
pada tahun 1960 dan pada tahun 1971 menjadi salah satu kajian utama (Post
Graduate Program). Modernisasi tersebut hingga kini menimbulkan dampak yang
signifikan terhadap wacana Pluralisme. Atas nama kerukunan umat beragama, Mukti
Ali meluncurkan konsepsi pemikiran Pluralisme yang terangkum dalam lima poin
utama:
Pertama, dengan jalan sinkretisme. Paham ini berkeyakinan bahwa pada
dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak
laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai
pancaran dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari Substansi yang satu, dan
sebagai ombak dari Samudera yang satu. Aliran Sinkretisme ini disebut juga Pan-
theisme, Pan-kosmisme, Universalime, atau Theo-panisme. Maksud istilah-istilah ini
adalah bahwa semua (pan) adalah Tuhan dan semua (pan) adalah kosmos. Salah
seorang juru bicara sinkretisme yang terkenal di Asia adalah S. Radhakrishnan,
seorang ahli pikir India. Jalan sinkretisme yang ditawarkan di atas, menurut Mukti
Ali, tidak dapat diterima. Sebab dalam ajaran Islam, Sang Khalik (Sang Pencipta)
adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Antara Khalik dan
makhluk harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian menjadi jelas siapa yang
disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi.11
10
Rusli, “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.”
11
Rajagrafindo Persada, “Sikap Timur Terhadap Barat,” n.d.
7
Kedua, dengan jalan rekonsepsi (reconception). Pandangan ini menawarkan
pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali
ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain.
Tokohnya yang terkenal adalah W.E.Hocking, yang berpendapat bahwa semua agama
sama saja. Obsesi Hocking yang menonjol adalah bagaimana sebenarnya hubungan
antara agama-agama yang terdapat di dunia ini, dan bagaimana dengan cara
rekonsepsi tadi dapat terpenuhi rasa kebutuhan akan satu agama dunia. Dengan
demikian, kelak akan muncul suatu agama yang mengandung unsur-unsur dari
berbagai agama. Misalnya, kandungan itu bisa berupa ajaran kasih sayang dari agama
Kristen, pengertian tentang kemuliaan Allah dari agama Islam, perikemanusiaan dari
agama Kong Hu Cu dan perenungan dari agama Hindu. Paham ini menekankan
bahwa orang harus tetap menganut agamanya sendiri, tetapi ia harus memasukkan
unsur-unsur dari agama-agama lain. Mukti Ali berpendapat, cara ini pun tidak dapat
diterima karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan
produk pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental diyakini
sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau
menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada
manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya.12
Ketiga, dengan jalan sintesis. Yakni menciptakan suatu agama baru yang
elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap
pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil
dan dimasukkan ke dalam agama sintesis tadi. Dengan jalan ini, orang menduga
bahwa toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan terbina.
Pendekatan dengan menggunakan sintesis ini, dalam pandangan Mukti Ali, juga tidak
dapat diterima. Agama sintesis itu sendiri tidak bisa diciptakan, karena setiap agama
memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat
diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan
kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri.
12
Ali Munhanif, Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama
RI, 1998).
8
agama yang dianutnya. Oleh karena itu, agama-agama lain itu haruslah diganti dengan
agama yang dia peluk. Dengan jalan ini, ia menduga bahwa kerukunan hidup
beragama dapat dicipta dan dikembangkan. Terhadap cara yang keempat ini, Mukti
Ali tidak bisa menerima karena adanya kenyataan bahwa sosok kehidupan masyarakat
itu menurut kodratnya adalah bersifat pluralistis dalam kehidupan agama, etnis,
tradisi, seni budaya, dan cara hidup. Pluralisme kehidupan masyarakat, termasuk
dalam kehidupan beragama, sudah menjadi watak dan realitas masyarakat itu sendiri.
Cara-cara penggantian sudah pasti tidak akan menimbulkan kerukunan hidup umat
beragama, tetapi sebaliknya justru intoleransi dan ketidakrukunan yang akan terjadi;
karena cara-cara tersebut akan mendorong seseorang atau sekelompok orang untuk
berupaya keras dengan segala cara untuk menarik orang lain menganut agama yang
dia peluk.
13
Siswanto, OKSIDENTALISME Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat.
9
pemahaman lintas budaya (Timur-Barat) dan lintas agama (Islam-Kristen-Yahudi).
Burhanuddin juga sangat fokus pada dimensi Timur Islam dan belum memberikan
cukup perhatian terhadap Timur Non Islam.
14
Siswanto.
15
H. M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara (Gelegar Media Indonesia, 2009).
10
Occidentalism) berorientasi menghindarkan diri dari kesombongan dan arogansi.
Menurut Daya, Oksidentalisme Berkearifan mengakomodir nilai-nilai transenden dan
sekuler, deduktif dan induktif, idealis dan realis, menghindarkan diri dari
kesombongan dan arogansi yang dicari-cari.
11
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari makalah tersebut, dapat disimpulkan bahwa keduanya membahas isu-isu
agama dan pendidikan dengan pendekatan yang berbeda. Mukti Ali fokus pada dialog
antar agama, etika agama, dan pemahaman ajaran Islam, sementara Burhanudin Daya
menyoroti pandangan santri pesantren tentang ilmu perbandingan agama. Kedua tokoh ini
memberikan kontribusi dalam konteks pemahaman agama, toleransi antar agama, dan
politik keagamaan di Indonesia. Mukti Ali menekankan dialog antar umat beragama dan
pemahaman ajaran Islam, sedangkan Burhanudin Daya lebih menitikberatkan pada
perspektif santri pesantren terhadap ilmu perbandingan agama. Kesimpulan dari makalah
mereka menggambarkan upaya untuk memperluas wawasan keagamaan dan memperkuat
toleransi antar umat beragama di Indonesia.
2. Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, dkk (ed ). Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti Ali: Agama Dan Masyarakat. IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1993.
Elihami. “Pemikiran Mukti Ali.” 2018, n.d.
Munhanif, Ali. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik. Badan Litbang Agama
Departemen Agama RI, 1998.
Nurisman. Oksidentalisme: Kritik Epistemologis Dalam Filsafat Modern. 1st ed. Yogyakarta:
Kalimedia, 2019.
Persada, Rajagrafindo. “Sikap Timur Terhadap Barat,” n.d.
Rambe, Toguan. “Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap Problem Hubungan Antar
Umat Beragama di Indonesia,” n.d.
Rusli, Almunauwar Bin. “Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia.” Potret
Pemikiran 23, no. 1 (November 28, 2019): 10. https://doi.org/10.30984/pp.v23i1.929.
Siswanto, Masruri. OKSIDENTALISME Sikap Ilmiah Timur Terhadap Barat. yogyakarta:
Rajagrafindo Persada, 2021.
Suprapto, H. M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara. Gelegar Media Indonesia, 2009.
Syamsuddin, Muh. “Orientalisme, Oksidentalisme, Filsafat Islam Modern, dan Kontemporer
(Suatu Agenda Masalah).” Refleksi Jurnal Filsafat dan Pemikiran Islam 18, no. 1
(January 30, 2018): 47–60. https://doi.org/10.14421/ref.v18i1.1856.
Usman, Taufiq. “H. A. Mukti Ali dan Pemikirannya” 4 (2023).
13