Anda di halaman 1dari 6

Muhammad Sholeh

“Pejuang yang Kesepian”


Selama menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, Muhammad Sholeh dikenal vocal
mengkritisi penyimpangan kebijakan pemerintah Presiden Soeharto saat itu. Tanpa basa-basi,
Sholeh menunjuk satu per satu kebajikan pemerintah yang bertentangan dengan keyakinannya.

Muhammad Sholeh adalah alumni Teknik Sipil ITS angkatan 1972 (S-15). Lelaki kelahiran
Surabaya ini dikenal sangat suka berorganisasi. Sejak duduk di bangku SMA Negeri 6 Surabaya,
Sholeh sudah terlibat aktif dalam kepengurusan Pemuda Muhammadiyah. Dalam organisasi
otonom Muhammadiyah tersebut, Sholeh terakhir kali percaya menjabat Ketua Cabang Bubutan.

Pada pertemuan Dewan Mahasiswa se-Indonesia pada 28 Oktober 1977 di ITB, bersama
Harun Alrasyid, Sholeh turut menjadi seorang penandatanganan Ikrar Mahasiswa. Dalam ikrar
tersebut, mahasiswa mendesak agar MPR meminta pertangung-jawaban Presiden RI soeharto atas
pelanggarannya terhadap UUD 1945 yang telah dilakukan. Mahasiswa juga menuntut
dikembalikannya ABRI kepada rakyat.

Dalam pertemuan tersebut, disepakati pula bahwa aksi besar-besaran sebagai tindak lanjut
pertemuan, pada 10 november 1977. Sholeh yang diwakili Dewan Mahasiswa ITS menyambut
hangat ditunjuknya ITS sebagai tuan rumah aksi tersebut. Rencana tersebut kemudian
direalisasikan dengan melakukan longmarch dari kampus Baliwerti ke Tugu Pahlawan.

Sholeh kemudian diadili di PN Surabaya dengan tuduhan menghina Presiden. Namun


bukan sikap kritis Sholeh luntur. Dalam pleidonya yang berjudul “Menggugat Pemerintah
Otoriter”, Sholeh banyak mengungkap data-data prilaku korup para pejabat, serta ketidakadilan
yang terjadi di masyarakat. Sholeh kemudian divonis 2 tahun penjara. Dalam banding dia
memperoleh keringanan hukuman menjadi 1,5 tahun penjara. Sholeh akhirnya bebas dari penjara
Mahkamah Agung (MA) merevisi hukumannya menjadi 1 tahun.

Secara pribadi, Sholeh yang merupakan anak tunggal juga dikenal sangat setia dan peduli
terhadap kawan. Namun kenyataan tragis mesti diterimanya. Di ujung perjalanan, tanpa teman,
tanpa saudara. Setelah koma selama empat bulan di Surabaya,Sholeh meninggal di semarang, jauh
dari kawan-kawan seperjuangannya. Dia dimakamkan di salah satu desa di Demak, Jawa Tengah,
tanpa karangan bunga, tanpa air mata.
Achmad Moestahid Astari

“Mahasiswa yang Jadi Wakil Rakyat”

Moestahid ketika menginjakkan kaki di ITS, masa orientasi kampus pun ia alami. Senat
Mahasiswa FTK yang menyambutnya, karena badan eksekutif skala institu masih belum terbentuk.
Senat sendiri telah ada sejak Yayasan Perguruan Tinggi 10 Nopember mulai berdiri. Setelah satu
tahun mengemban title sebagai mahasiswa ITS, organisasi mahasiswa tingkat institut pun
dibentuk. Kesepakatan pembentukan Dewan Mahasiswa ITS tersebut dilakukan berdasarkan hasil
musyawarah seluruh Senat Mahasiswa yang ada di ITS.

Pun demikian, ada cerita lain yang diingat Moestahid. Ia mengaku saat itu pengkaderan di
ITS masih belum greget. Pasalnya, selain mengikuti orientasi di dalam kampus, Moestahid turut
mengikuti pengkaderan yang dilaksanakan oleh organisasi ekstra universiter, sebagai batu
loncatnya untuk dapat terus beraktivitas di luar kampus.

Di pertengahan tahun 1961, seluruh perwakilan dari Senat Mahasiswa melakukan rapat
untuk membentuk Dewan Mahasiswa ITS. Moestahid kala itu sudah menjadi anggota Senat
Mahasiswa turut berdiskusi dengan Senat Mahasiswa fakultas lain di Simpang Dukuh untuk
merapatkan penentuan sekaligus membuat AD/ART Dewan Mahasiswa ITS sehingga ada legal
aspeknya.

Menginjak tahun 1963, serangkaian kegiatan dan aktivitas mahasiswa berjalan yang salah
satunya merupakan buah dorongnya. Keaktifan tersebut dikatakan turut meningkatkan pemikiran
kritis akan tindak tanduk birokrasi di ITS. Penentangan mahasiswa terhadap birokrasi ITS pada
masa kepemimpinan rektor dr Angka adalah paling nyaring bunyi pergolakannya.

Hingga pada akhir tahun 1965, Moestahid melakukan pertemuan mahasiswa se-Indonesia
di Jakarta dalam rangka pembubaran Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Menurutnya, organisasi ini punya visi dan misi yang sama dengannya, menghapuskan PKI di bumi
nusantara. Gerakan inipun berlanjut pada 31 desember 1965 dengan ditandai perhelatan akbar.
Belakangan, rapat inilah yang ditengarai menjadi tonggak sejarah mahasiswa Indonesia yang
merumuskan Tiga Tuntutan Rakyat atau yang akrab dikenal dengan istilah Tritura kala itu.
Berikut ini merupakan isi dari Tritura yang disampaikan kepada pemerintah :

1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya


2. Perombakan kabinet Dwikora
3. Turunkan harga sandang-pangan
Rumusan Tritura ini pun di deklarasikan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman depan
Gedung DPR-Gotong Royong. Namun, sayangnya mahasiswa Surabaya tidak dapat berbicara
banyak pada saat itu. Aksi besar-besaran yang telah direncanakan oleh mahasiswa pimpinan
Moestahid itu kandas lantaran tak memperoleh ijin.

Usai peristiwa tahun 1965 tersebut Moestahid terus aktif dalam berbagai kegiatan baik dalam
maupun luar kampus. Namun, tetap saja kontribusinya memajukan kegiatan di ITS tidak dapat
dipungkiri. Saking aktifnya dalam ranah sosial dan politik, pada tahun 1969, Moestahid dipanggil
untuk membantu menjalankan roda pemerintah negara dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPR) Tingkat 1 Jawa Timur.
Walaupun vakum dalam kegiatan di kampus selama menjadi anggota DPR,DPRD, dan
MPR, ia masih saja sering menjadi pemateri dalam kegiatan LTC. Menurutya, moral force tertap
harus ditegakkan. Hal tersebut perlu diteruskan kepada generasi selanjutnya karena mahasiswa
harus aktif secara moral dan ikut bertanggung jawab.

Syamsulbahri

“Sang Nasional yang Anti Komunis”

Syamsulbahri mengawali perjalanannya sebagai mahasiswa Fakultas Teknik Mesin (FTM)


ITS tahun 1964. Saat itu, bara semangat sebagai generasi muda tertanam dalam dirinya. Tak heran,
jika ia sangat menggebu ketika ditanyai pengalamannya sebagai mahasiswa.

Sebagai mahasiswa yang dekat dengan ideologi nasionalis,Samsul pun menjadi sangat
sensitive dengan yang Namanya Partai Komunis Indonesia. Idealisme itu melekat dalam dirinya,
hingga suatu hari peristiwa G30S/PKI pecah di Indonesia. Peristiwa mengerikan itu diketahui
Meletus di Jakarta hingga terdengar sampai Surabaya setelah beberapa hari terkemudian. Tentu
Samsul tak tinggal diam mendengarnya. Ia lantas ikut bergerak dalam penumpasan PKI di
Kawasan Surabaya dan sekitarnya. Bukan main-main, peran samsul pun cukup beresiko.
Bergabung dengan tantara penumpasan PKI, ia akhirnya ikut membasmi orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan organisasi laten tersebut.

Bukan Samsul Namanya bila tidak turut berpikir kritis akan kemajuan Indonesia. Berbagai
pandangan akan ekonomi Indonesia pun selalu ia utarakan saat menjadi mahasiswa. aksi kritik
terhadap pemerintah pun kerap ia lakukan dalam forum-forum mahasiswa. Menurutnya, waktu itu
system ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Soeharto kurang menguntungkan bagi
masyarakat miskin. Sandiwara ekonomi yang berlangsung kala itu menjadi topik yang cukup
hangat dan kerap didiskusikan. Konsep yang dipakai waktu itu disebut “Tricle Down Economic”.
Alhasil, Samsul merasa konsep tersebut terlihat sebagai permainan para pengusaha besar saja
untuk menguasai perdagangan.

Sepak terjang Samsul menjadi alasan utama kenapa ia dipilih sebagai ketua Dewan
Mahasiswa ITS periode 1970-1974. Selama menjadi ketua Dewan Mahasiswa ITS, Samsul terus
menyuarakan aspirasi rekan-rekannya. Kala itu, Samsul kerap kali ia ikuti, mulai dari diskusi
dengan Menteri Dalam Negeri dan beberapa pejabat Departemen Pertahanan dan Keamanan RI
hingga mengikuti isu seputar produk luar negeri yang beredar cepat di Indonesia.

Ibarat sebuah layar yang sangat besar, Samsul mengisi hari-harinya yang senantiasa
bergerak dan terus menambah ilmu pengetahuan di bidang apapun. Tidak hanya berkutat dengan
masalah Teknik, sejumlah buku psikologi hingga sosial politik pun telah habis dilahapnya.

Berbeda dengan masa sekarang yang diberikan layar yang sempit, namun diberikan
semuanya dengan mudah. “Layar yang saya maksud di sini itu adalah waktu kita untuk menempuh
Pendidikan strata satu, terang Samsul sambal terkekeh.

Harun Alrasyid

“The Man Behind The Gun”

Sebuah senapan tidak akan ampu memuntahkan peluru tanpa ada yang menarik pelatuknya.
Begitu pun dengan Dewan Mahasiswa ITS di era tahun 1977. Kala itu, jika diibaratkan seperti
senapan, lesatan peluru pergerakan nyaris tak terlihat tanpa ada sosok berpengaruh dibaliknya.
Untungnya, Harun Alrasyid muncul sebagai sosok sentral pergerakan mahasiswa tahun
1977/1978. Dialah sang penarik pelatuk senapan Dewan Mahasiswa ITS.

Sangat pemberani. Itulah karakter kuat yang melekat pada sosok Harun. Karakter itu juga
yang mengantarkan Dewan Mahasiswa ITS menjadi salah satu poros pergerakan Dewan
Mahasiswa Indonesia.

Di tahun 1971, Harun mulai menapaki kampus ITS. Berbeda dengan mahasiswa baru
lainnya, ia sudah mulai aktif berorganisasi di Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) ITS.
Selanjutnya di tahun 1973, Harun langsung dipercaya untuk menjadi sekretaris Senat Mahasiswa
Fakultas Teknik Perkapalan (FTP).

Harun lalu memulai aktivitas lain periode 1976 memasuki awal tahunnya. Harun pernah
menjadi Ketua Panitia Mapram hingga Ketua Dewan Mahasiswa ITS. Pada masa itu, Harun
menghantarkan Dewan Mahasiswa ITS ke titik puncak pergerakannya. Memang benar, karakter
orang yang memegang senjata juga menentukan ke mana arah dan kekuatan peluru yang akan
dilesatkan. Hal itu pula yang dialami Dewan Mahasiswa ITS. Apalagi, suhu politik di tahun 1977
memanas lantaran ‘ritual’ pemilihan umum Presiden Republik Indonesia kembali bergulir.

Seperti diketahui, hanya orang setengah waras saja yang berani mengatakan : “Soeharto
jangan jadi presiden!” lantas melarangnya mencalonkan diri kembali. Kalau mengutip perkataan
Harun, “jangan dibayangkan sosok Soeharto jaman dahulu seperti sekarang ini, dahulu sedang
kuat-kuatnya otoritas Soeharto” ungkap Harun menggebu.

Harun berkisah mahasiswa kala itu selalu bereaksi terhadap perkembangan politik di
Indonesia. Tujuannya hanya satu, mahasiswa ingin membangun kehidupan masyarakat
demokratis. Sehingga jika ada kebijakan pemerintah yang menyimpang mereka akan langsung
bereaksi. Sejak saat itu, Harun pun berkali-kali melancarkan aksi, mulai dari aksi bertajuk
Mahasiswa Bertanya, hingga aksi Duduk yang berlangsung di kampus Unair.

Hingga puncaknya ketika dilayangkan peringatan kepada Presiden Soeharto agar tidak
mencalonkan diri kembali menjadi Presiden. Aktivitas itulah yang kemudian membuatnya harus
mendekam di dalam penjara selama kurang lebih dari 1 tahun lamanya.
Pasca keluar dari penjara, Harun masih aktif mengikuti berbagai macam aksi yang menolak
kebijakan yang tidak pro dengan kepentingan rakyat. Salah satunya adalah aksi menolak
NKK/BKK di kampus UI Salemba, Jakarta. Saat itu, ia berorasi di depan ratusan massa yang sevisi
dengannya.

Lulus di tahun 1981, Harun langsung masuk daftar hitam alias Black List oleh pemerintah
Indonesia, ia tidak diizinkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Padahal, jauh sebelum hari
kelulusan Harun tiba, terdapat permintaan dari Departemen Perhubungan Laut yang akan
menjadikan 30 orang lulusan FTP sebagai pegawai baru. Sialnya, meski harun adalah salah satu
dari tujuh lulusan FTP kala itu, hanya ke-6 rekannya saja yang diterima lantaran tidak terkena
stempel Black List.

Anda mungkin juga menyukai