Anda di halaman 1dari 7

DMUI DARI PERIODE KE PERIODE

Universitas Indonesia secara resmi didirikan pada 2 Februari 1950


walaupun sebelumnya sudah hadir dengan nama Universiteit van Indonesie
dan kemudian sempat menjadi Universiteit Indonesia. Di masa itu lokasi
kampusnya terpencar-pencar sehingga kondisi tersebut tidak menguntungkan
bagi kegiatan senat mahasiswa fakutas yag berjalan sendiri-sendiri.

Latar belakang itulah yang yang melahirkan gagasan perlunya dibentuk


lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas sehingga program kegiatan
senat mahasiswa dapat disinkronisasikan dengan kegiatan senat mahasiswa
lainnya.

Setelah melalui serentetan pertemuan, tanggal 31 Mei 1951


terbentuklah Dewan Mahasiswa UI Jakarta. Tetapi masih berbentuk Federasi
Senat-Senat Mahasiswa di lingkungan UI. Diantara tokoh mahasiswa ketika
itu adalah Widjojo Nitisastro dari Fakultas Ekonomi. Dalam sambutannya
mewakili mahasiswa UI ketika peresmian Asrama UI Daksinapati di
Rawamangun pada tanggal 23 September 1953, Widjojo Nitisastro telah
berbicara mengenai pentingnya integrasi mahasiswa seluruh UI.

Secara resmi Dewan Mahasiswa UI disahkan oleh pimpinan Universitas


Indonesia, Prof. Dr. Bahder Djohan dengan ketua terpilih Emil Salim dari FEUI.

Kepengurusan DMUI dari periode ke periode terus berjalan. Setelah Emil


Salim terpilih di tahun 1955 dan berakhir di tahun 1957, dia digantikan oleh
Hasan Rangkuti (Hasan Ray - almarhum). Hasan Ray memimpin periode
1957-1960, digantikan oleh Hamonangan Hutabarat (1960-1962) dan Hasan
Ray kembali memimpin DMUI hingga 1964. Bakir Hasan terpilih menjadi Ketua
Umum DMUI periode 1964-1965, lalu Bambang Harianto pada tahun 1965.
Kemudian periode 1965-1967 dipegang oleh JMV Suwarto yang lalu
digantikan oleh Julius A.Z. (1967-1969). Setelah itu Hariadi Darmawan
memimpin DMUI periode 1969-1972.

Azrul Azwar terpilih untuk periode 1972-1973, dilanjutkan oleh Hariman


Siregar untuk periode 1973-1974. Tetapi belum lagi habis periode Hariman,
ia ditahan oleh yang berwajib karena peristiwa Malapetaka 15 Januari
(MALARI) 1974. Maka ditunjuklah Judil Herry yang sebelumnya menjabat
Sekretaris Jenderal, sebagai Caretaker. Lagi-lagi sebelum periode ini berakhir,
Judil pun ditahan, sehingga Pejabat Ketua Umum Caretaker DMUI dipegang
oleh Martono Marlan.

Dalam pemilihan berikutnya, terpilih Dipo Alam yang bertugas hingga


1977. Di tahun 1977 terpilih Lukman Hakim sebagai Ketua Umum DMUI untuk
periode 1977-1978. Namun di awal tahun 1978 Lukman ditahan oleh yang
berwajib. Maka pelaksanaan sehari-hari DMUI diambil alih oleh Presidium
Ketua-Ketua Senat Mahasiswa se UI, sampai Agustus 1978. Setelah itu
pelaksanaan sehari-hari dipegang oleh Indra K. Budenani (Wakil Ketua
Umum), yang ditahan bersama Lukman namun dibebaskan lebih dahulu.
Setelah Lukman Hakim sendiri dibebaskan pada akhir 1978, jabatan Ketua
Umum dikembalikan kepada Lukman.

Setelah Lukman Hakim memperoleh gelar kesarjanaannya di tahun


1979, pelaksanaan DMUI sehari-hari diserahkan kepada Biner Tobing sebagai
Pj. Ketua Umum dan Murtaqi Samsudin sebagai Sekjennya. Ketika itu
pemilihan Ketua Umum yang baru belum dapat dilaksanakan sementara
penolakan terhadap penerapan NKK/BKK di seantero kampus Indonesia masih
terus berlanjut. Lagi-lagi kepimpinan DMUI mengalami ujian.

Dalam menyambut seperempat abad Dewan Mahasiswa UI, pada


tanggal 23 dan 25 Oktoer 1980 diadakan diskusi panel di Student Center yang
menampilkan tokoh-tokoh seperti Ali Sadikin, Jenderal (Purn) A.H. Nasution,
Mahbub Djunaedi, Sabam Sirait dll. Kehadiran pak Nasution dalam diskusi tgl
25 Oktober 1980 dihalang-halangi oleh aparat Laksusda Jaya. Setelah
bernegosiasi dengan aparat dan juga Prof. Mahar selaku rektor UI, akhirnya
pak Nasution meninggalkan kampus Salemba. Namun entah bagaimana cerita
persisnya, aparat Laksusda Jaya tahu-tahu merangsek masuk ke gedung FTUI
yang lokasinya berseberangan dengan Student Center dan memecahkan
sejumlah kaca-kaca ruang kuliah. Mereka tidak pilih bulu, sehingga Dekan
FTUI pun terbirit-birit menyelamatkan diri dari amukan aparat. Mereka yang
tidak sempat kabur menjadi korban hantaman popor senapan dan sepatu lars.
Korban jatuh sekitar belasan orang yang rata-rata adalah mahasiswa dari luar
Jakarta yang berniat untuk mengikuti diskusi di Student Center. Mereka
terpaksa dirawat inap di bangsal neurologi RSCM selama beberapa hari atas
tanggungan UI alias gratis. Setelah peristiwa berdarah 25 Oktober 1980, Biner
Tobing dikenai skorsing oleh Rektor UI.
Sejak Lukman Hakim ditahan dan koran kampus Salemba di breidel,
telah terbit buletin gelap berjudul Esa Hilang Dua Terbilang yang
menyuarakan aspirasi-aspirasi IKM-UI yang belakangan digantikan oleh
buletin Mahasiswa Menggugat yang isinya lebih keras dan sangat diminati oleh
pembaca khususnya dari kampus diluar UI, termasuk ITB. Sesuai dengan
nama buletin tersebut, skorsing terhadap Biner tidak menyurutkan langkah
mahasiswa.

Untuk mengisi kekosongan, maka forum ketua senat se UI menunjuk


Aswil Nazir yang di akhir Oktober 1980 baru saja lulus dari sidang sarjana dan
tengah menunggu diwisuda. Setelah Wisuda UI pada bulan Februari 1981,
pimpinan sementara DMUI diserahkan kepada Yusril Anndy (Iing).

Setelah melalui serangkaian proses yang panjang, akhirnya pemilihan


ketua umum DMUI berhasil dilangsungkan pada 26 Oktober 1981 bertempat
di taman samping Student Center UI Salemba. Terpilihlah Peter Sumariyoto
yang saat itu menjabat Ketua Senat SM-FTUI. Peter konon dikenai skorsing
oleh Prof. Mahar, Rektor UI di akhir Desember 1981 sebelum beliau
digantikan dengan Prof. Nugroho Notosusanto yang memiliki latar belakang
militer dan dianggap lebih mampu bersikap tegas terhadap aktivis mahasiswa
UI.

Akhirnya Prof. Nugroho Notosusanto memecat Peter Sumariyoto dari


statusnya sebagai mahasiswa UI, karena walaupun dalam status skorsing
masih melakukan apel siaga DMUI di Salemba tgl 20 Maret 1982, hanya dua
hari setelah peristiwa Lapangan Banteng yang membuat situasi keamanan ibu
kota menjadi rawan.

Gelombang protes solidaritas mahasiswa memang terjadi, bahkan para ketua


senat mahasiswa di lingkungan UI mengancam untuk mogok kuliah terhitung
1 April 1982. Namun Rektor tidak bergeming sehingga perlahan namun pasti,
gejolak protes mahasiswa UI akhirnya mereda dengan Peter sebagai
tumbalnya.

Sejak saat itu boleh dikatakan Dewan Mahasiswa UI yang sejak tahun
1955 telah berperan besar dalam mengawal langkah perjuangan mahasiswa
dalam menegakkan kebenaran, keadilan dan memperjuangkan kepentingan
rakyat, tamat sudah riwayatnya.
==== ooOoo ====

Dari sejarahnya DMUI adalah “student government” yang pertama diantara


perguruan tinggi di Indonesia. Sejak semula telah dibuat aturan permainan
yang demokratis dalam pemilihan dan mekanisme organisasinya. Tetapi baru
pada tanggal 25 November 1966 dibakukan aturan tertulis tata cara
“demokrasi kampus” tersebut dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART) Ikatan Keluarga Mahasiswa Universitas Indonesia.
Pembakuan ini diambil keputusannya dalam Musyawarah Kerja Mahasiswa se
UI tahun 1966 di Ciloto. Kemudian diperbaiki lagi dalam Musyawarah Kerja
ke-2 dan ke-3 tahun 1971 dan 1976 di Puncak dan Jakarta.

“Student Government” atau pemerintahan mahasiswa, adalah organisasi yang


mengatur kegiatan-kegiatan mahasiswa dari, oleh dan untuk mahasiswa
sendiri. Hal ini tercermin dalam AD/ART IKM-UI.

Kegiatan kemahasiswaan di UI senantiasa berjalan disamping kegiatan pokok


di bidang studi. Mahasiswa, sebagaimana bagian masyarakat yang lain,
merasakan apa-apa yang dialami masyarakat lainnya. Karena itu pula
sebagian dari kegiatan-kegiatan mahasiswa mencerminkan apa yang
diinginkan masyarakat. Diantaranya juga adalah kritik-kritik yang hidup
dalam masyarakat. Kalau mahasiswa lebih lantang dari golongan masyarakat
lainnya dalam berpendapat, menyuarakan kepentingan masyarakatnya, itu
karena mahasiswa tidak terikat kepada kepentingan-kepentingan tertentu.
Keterikatan mahasiswa adalah keterikatannya pada moral soial. Dan melalui
mekanisme organisasi mahasiswa hal itu lebih terumuskan. Dewan Mahasiswa
UI telah melakukan hal itu. Sejak lahirnya Dewan Mahasiswa senantiasa
bertindak sebagaimana yang sebenarnya diinginkan masyarakat.

Kebangkitan “Orde Baru” tidak bisa dilepaskan dari peranan mahasiswa UI.
Untuk itu tidak sedikit korban moril, materil bahkan nyawa mahasiswa yang
dikorbankan untuk tegaknya Orde Baru.

Demikian juga yang terjadi ketika mahasiswa melihat adanya penyelewengan-


penyelewengan dari “konsensus Orde Baru”, mahasiswa melakukan kritik-
kritiknya. Beberapa gerakan mahasiswa antara lain “Komite Anti Korupsi”,
Golongan Putih”, “Mahasiswa Bertanya”, “Anti Proyek Miniatur Indonesia” dan
sebagainya. Sampai ke gerakan mahasiswa tahun 1974 yang terjadi
bersamaan dengan “Malapetaka Lima Belas Januari” yang bukan dilakukan
oleh mahasiswa.

Menghadapi gerakan-gerakan mahasiswa yang juga kadang-kadang gerakan


protes, pemerintah melakukan berbagai tindakan. Diantaranya dengan
menangkap dan mengadili mahasiswa. Ketika peristiwa “Malari”, Hariman
Siregar dan 7 fungsionaris DMUI lainnya ditangkap dan akhirnya Hariman
diadili. Ketika “Gerakan Protes Mahasiswa 1977-1978”, Lukman Hakim dan 12
fungsionaris DMUI lainnya ditangkap. Tiga orang diantaranya sempat diadili
dan dijatuhi vonis pada awal tahun 1980.

Tindakan yang dilakukan terhadap mahasiswa tidak hanya menangkap dan


mengadili saja. Tahun 1974, setelah peristiwa Malari, pemerintah
mengeuarkan peraturan yang dikenal dengan “SK-028”, suatu peraturan yang
membatasi gerak mahasiswa. Hal ini menimbulkan protes mahasiswa
sehingga SK-028 akhirnya dicabut kembali.

Di sisi lain, peristiwa Malari ternyata membuat gerah Presiden Soeharto.


Sekitar akhir bulan Januari 1974, Prof. Dr. Ali Wardhana (Menteri Keuangan,
Kabinet Pembangunan I-III yang merangkap Dekan FE-UI) mengundang Prof.
Mahar Mardjono (yang baru menjabat sebagai Rektor ke-7 UI menggantikan
Prof. Soemantri Brodjonegoro) ke Ruang Dekan FE-UI di Salemba Raya 4,
Jakarta. Dalam pembicaraan itu, Prof. Ali Wardhana menyampaikan pesan
khusus dari pemerintah (baca: Soeharto) yang intinya UI harus membangun
kampus baru di luar Jakarta. Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, selaku Menteri
Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri/Ketua BAPPENAS Kabinet
Pembangunan pada saat itu diminta untuk merencanakan kepindahan
tersebut dengan alasan keberadaan UI di Salemba sangat mengganggu
jalannya pemerintahan. Maka sejak itu dimulailah upaya pencarian lokasi baru
kampus UI, sebuah pekerjaan yang memakan waktu lama dan baru terwujud
pada bulan September 1987.

Ketika gerakan mahasiswa mencapai puncaknya di awal tahun 1978,


pemerintah kembali melakukan “Serangan Umum terhadap Kampus”.
Disamping melakukan penangkapan-penangkapan ratusan mahasiswa di
seluruh Indonesia, dilakukan “pembekuan” Dewan-Dewan Mahasiswa oleh
KOPKAMTIB sejak 21 Januari 1978. Namun pembekuan ini tidak ditanggapi
oleh DMUI yang tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa, karena UUD’45
menjamin hak berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat bagi
warga negaranya.
Setelah membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, pemerintah melahirkan
konsep “Normalisasi Kehidupan Kampus” (NKK) dan “Badan Koordinasi
Kemahasiswaan” (BKK), dua konsep yang mengebiri mahasiswa. Pemaksaan
kedua konsep ini mendapat tentangan mahasiswa. Setelah beberapa kali
melakukan pertemuan, sebuah pernyataan ditandatangani oleh seluruh Senat
Mahasiswa dan Badan Perwakilan Mahasiswa se-UI serta Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa UI. Pernyataan mana
menyebutkan tetap berlakunya AD/ART IKM-UI, yang berarti Dewan
Mahasiswa tetap diakui. Untuk memperjuangkan kembalinya AD/ART IKM-UI
ini 2 orang kemudian ditambah lagi 6 orang dikenakan skorsing – tidak
diperkenankan mengikuti kuliah sampai 1 tahun.

Periode kepengurusan Dewan Mahasiswa UI ketika itu merupakan periode


yang berat. Disamping melakukan penataan organisasi kembali setelah
“serangan umum” pada kampus di awal tahun 1978 dan pembekuan
organisasi oleh KOPKAMTIB, juga mendampingi mahasiswa-mahasiswa yang
diadili pemerintah dan dituduh ”menghina” Kepala Negara.

Dalam koordinasi organisasi dilakukan program-program kemahasiswaan


yang membuktikan eksistensi Dewan Mahasiswa. Walaupun secara “de jure”
pemerintah tidak mengakui Dewan Mahasiswa, tetapi secara “de-facto”
mahasiswa tetap mengakuinya. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi mahasiswa
dalam kegiatan-kegiatan Dewan Mahasiswa dibandingkan dengan kegiatan-
kegiatan yang dilakukan oleh NKK/BKK yang praktis tidak pernah ada.

Dalam menolak konsep NKK/BKK, DMUI bersama-sama DM-SM se Indonesia


berkali-kali mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan protes
sehingga lahirlah prakarsa INTERPELASI yang dimotori oleh fraksi PPP dan
PDI di DPR. Walaupun pada akhirnya upaya INTERPELASI itu kandas melalui
mekanisme voting, secara moril peristiwa itu dianggap kemenangan bagi
kalangan mahasiswa yang anti NKK/BKK. Sebelumnya pernah timbul insiden
pelemparan telor di aula fakultas Kedokteran UI ketika Menteri Muda Urusan
Pemuda, dr. Abdul Gafur mencoba berdiskusi dengan mahasiswa UI.
Sementara itu Dr. Daoed Joesoef sebagai Menteri P & K yang mengeluarkan
konsep NKK/BKK tidak berani datang ke kampus UI untuk mempertahankan
idenya.
Kegiatan Dewan Mahasiswa UI pada akhirnya harus mengalah dan berakhir
tragis setelah Prof. Nugroho Notosusanto, Rektor UI yang baru, pada akhir
Maret 1982 memecat Peter Sumariyoto, Ketua Umum DMUI terpilih, dari
statusnya sebagai mahasiswa UI.

Era baru kehidupan organisasi kemahasiswaan UI memasuki babak baru di


kampus UI Depok pada tanggal 25 Oktober 1991 dengan keluarnya Surat
Keputusan Rektor No.123 tahun 1991 mengenai pembentukan Senat
Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI).

Proses pembentukan SMUI ini memerlukan waktu setahun lebih, sejak


diterbitkannya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/O/90
tentang Pedoman Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, 28 Juli
1990.

Tampil sebagai Ketua Umum SMUI yang pertama adalah Firdaus Artoni
(FK’86) dengan Ketua Harian Chandra M. Hamzah (FH’86) terhitung Desember
1991.

[dirangkum oleh Aswil Nazir dari Agenda 1980 DMUI dan catatan Indra K. Budenani
(alm) serta beberapa sumber lainnya]

Anda mungkin juga menyukai