Laboratorium (bahasa Inggris: The Central Laboratory of Public Health Service, bahasa
Indonesia: Laboratorium Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat) di Batavia. Christiaan
Eijkman ditunjuk sebagai direktur pertama dan menjabat hingga 4 Maret 1896.
Pada tahun 1938, bertepatan dengan peringatan 50 tahun berdirinya lembaga ini, nama
Lembaga Eijkman mulai digunakan sebagai bentuk penghargaan terhadap Christiaan
Eijkman yang meraih Hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1929 atas
penelitiannya di Indonesia tentang penyakit beri-beri yang disebabkan oleh kekurangan
senyawa yang terdapat pada kulit beras, sebuah konsep yang menjadi cikal-bakal
penemuan vitamin.
Prof. Dr. Achmad Mochtar adalah orang Indonesia pertama yang menjadi direktur di
lembaga yang punya reputasi dunia ini. Mochtar syahid sebagai pahlawan untuk
menyelamatkan Lembaga Eijkman dan para sejawat dan anak buahnya dari kejahatan
perang Jepang.
Buku ‘Tumbal Vaksin Maut Jepang adalah edisi revisi dari buku Pahlawan Kemanusiaan
Indonesia, Biografi Prof. Dr. Achmad Mochtar, Ilmuwan Kelas Dunia Korban Kejahatan
Perang Jepang yang diterbitkan akhir tahun 2020 atas prakarsa Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat. Buku yang disusun dalam waktu kurang dari tiga bulan ini tidak diperjual
belikan, hanya untuk didistribusikan untuk berbagai instansi pemerintah, institusi
Pendidikan, kesehatan dll.
Agar buku ini dapat dibaca oleh masyarakat umum yang lebih luas, tim penulis
menerbitkan ulang dengan judul baru, “Tumbal Vaksin Maut Jepang” dengan melakukan
beberapa revisi minor.
Penulis memposisikan buku Tumbal Vaksin Maut Jepang sebagai pelengkap dari buku
Eksperimen Keji Kedokteran Penjajahan Jepang: Tragedi Lembaga Eijkman & Vaksin Maut
Romusha 1943-1944 yang ditulis oleh Prof. Sangkot Marzuki dan Dr. J. Kevin Baird yang
diterbitkan September 2020, edisi bahasa Indonesia dari buku War Crimes in Japan-
Occupied Indonesia: A Case of Murder by Medicine. Seperti telah diuraikan oleh Prof.
Sangkot, buku tersebut telah berhasil membongkar satu episode penting kejahatan
perang Jepang selama masa pendudukan di Indonesia yang sekaligus periode paling
penting dari kehidupan dan puncak karier Prof. Dr. Achmad Mochtar.
Penelusuran riwayat hidup figur Achmad Mochtar tidaklah mudah karena beberapa
alasan. Pertama, literarur yang ada sangat minim; kedua, saksi mata nyaris tidak ada
karena peristiwanya terjadi 75 tahun yang lalu, dan … waktu yang diberikan untuk
penulisan buku biografi praktis hanya 2 bulan.
Achmad Mochtar lahir di Nagari Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman pada 17 November 1891.
Ibunya bernama Roekajah (suku Piliang) dan ayahnya Omar Soetan Nagari (suku Malayu).
Mochtar lahir dari keluarga terpandang. Kakak tertua ibunya, A. Hamid Bandaro Sati
adalah kepala laras di Bonjol. Sementara ayahnya yang merupakan guru kepala
mempunyai tanah ulayat yang luas. Kedudukan dan kemapanan ekonomi keluarga
Mochtar, membuatnya mendapat kesempatan memperoleh pendidikan setaraf dengan
orang Belanda pada zaman itu.
Kembali ke tanah air, Mochtar yang selama hidupnya telah menghasilkan 54 karya ilmiah
dari penelitiannya yang maryoritas dimuat di jurnal internasional, sempat bertugas di
Bengkulu dan Semarang. Karya-karyanya ini menempatkan Achmad Mochtar ilmuwan
kelas dunia.
Pembunuhahn Achmad Mochtar oleh Kenpeitai pertama sekali diketahui oleh dua
keponakan Mochtar dan Siti Hasnah, Rika dan Nursjamsu yang mendatangi kantor
Kenpeitai atas saran dari kerabat keluarga, Mr. Muhammad Yamin yang lebih dahulu
mengetahui bahwa Jepang sudah terpukul mundur dalam peperangan menghadapi
Sekutu. Karena mereka mendesak sambil menangis, akhirnya petugas Jepang
memperlihatkan berkas tebal sambil mengatakan bahwa paman mereka sudah meninggal
karena sakit. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis, sementara rakyat
Indonesia tengah bersuka cita merayakan kemerdekaan. Kasus Mochtar pun terlupakan.
Begitulah, makanya kasus Mochtar pun terkubur selama 20 tahun. Baru pada Februari
1965, pihak keluarga menerima surat penghargaan dan penghormatan pemerintah RI
untuk Prof. Achmad Mochtar sebagai karyawan (anumerta) departemen PTIP. Di surat
tersebut disebutkan bahwa Achmad Mochtar berhak menerima hak-hak yang tercantum
dalam surat keputusan Menteri TIP no.98 than 1963.
Dalam penelurusan tim penulis, diketahui bahwa tabir kelam peristiwa Mochtar
sesungguhnya sudah diangkat ke media massa oleh Prof. dr. Bahder Djohan di tahun
1968. Sayangnya tulisan yang dimuat dalam Harian Operasi itu tidak ditampilkan secara
utuh, Sehingga beliau menyerahkan artikelnya kepada Prof. dr. M. Ali Hanafiah (adik ipar
Prof. Mochtar) yang tidak pernah berhenti dalam menggali misteri kematian Prof.
Mochtar.
Kemudian di awal 1980 an Gubernur Sumbar, Azwar Anas mengusulkan agar nama Dr.
Achmad Mochtar digunakan sebagai nama RSUD Bukittinggi. Usul tersebut disetujui oleh
Menteri Kesehatan dan pada tgl 27 Oktober 1981 Menkes Dr. Suwarjono Suryaningrat
meresmikan RSUD Dr. Achmad Mochtar di Bukittinggi.
Namun tetap saja nama Achmad Mochtar tenggelam dari ingatan publik. Publik lalu
dikejutkan oleh upacara peringatan hari ulang tahun kematian Achmad Mochtar yang ke-
65 di makam Ereveld, Ancol pada 3 Juli 2010. Acara ini diprakarsai oleh Prof. Sangkot dan
Kevin tanpa kenal lelah melakukan investigasi untuk membongkar misteri di balik
kematian Achmad Mochtar. Kerja keras ini akhirnya membuahkan hasil di tahun 2015
dengan terbitnya buku War Crimes in Japan-Occupied Indonesia yang menggemparkan
kalangan ilmuwan internasional. Achmad Mochtar dinilai tidak bersalah dalam tragedi
Klender.
Buku Tumbal Vaksin Maut Jepang mengupas sisi kehidupan Achmad Mochtar yang belum
pernah terungkap selama ini, tentang leluhurnya, keluarga inti hingga keluarga besar
Achmad Mochtar dan istrinya, Siti Hasnah. Penelusuran yang dilakukan tim penulis
menemukan kenyataan bahwa pasangan suami isteri ini memiliki hubungan kekerabatan
dan famili dengan sejumlah tokoh terkenal, misalnya Prof. dr. M. Ali Hanafiah (Namanya
diabadikan untuk RSUD Batusangkar), Dr. Abu Hanifah (mantan Menteri Pendidikan RIS),
Chairul Saleh (mantan Waperdam dan Ketua MPRS), Usmar Ismail, Siti Ramah (ibu
kandung Iwan Tirta), Siti Hadidjah (istri Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja), Siti Nuraini-