Anda di halaman 1dari 10

“Mengenang kembali Dialog yang Gagal antara Menmud

Urusan Pemuda Dr. Abdul Gafur dengan Mahasiswa UI pada


22 Maret 1980”

Pengantar:

S
elama periode pemerintahan Orde Baru dibawah Presiden Soeharto sejak
1967 hingga 1998, sejarah mencatat banyak aksi protes dan demonstrasi yang
dilakukan oleh kalangan mahasiswa yang mengkritisi ketimpangan kebijakan
pemerintah, kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan. Namun aksi-aksi tersebut
selalu berhasil ditumpas secara fisik dan tidak jarang disertai dengan penangkapan
tokoh mahasiswa.
Aksi protes mahasiswa yang cukup besar adalah Malapetaka 15 Januari 1974
(Malari) dan kemudian Gerakan Mahasiswa 1977/1978 (Gema 77/78).
Gerakan mahasiswa di tahun 1978 berkembang dari kritik dan protes mahasiswa
yang mulai dirasakan menjelang pelaksanaan pemilihan umum 1977. Sejumlah
mahasiswa Bandung membentuk ‘Gerakan Anti Kebodohan’ (GAK) untuk melawan
kecenderungan berbagai manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa.
Gerakan mahasiswa memuncak saat perwakilan Dewan Mahasiswa se-Indonesia
berkumpul di kampus Institut Teknologi Bandung pada Oktober 1977. Gerakan ini
kemudian menelurkan Ikrar Mahasiswa yang dipublikasikan pada hari Sumpah
Pemuda. Ikrar ini menjadi pembuka gerakan-gerakan protes sporadis di kampus-
kampus dan meluaskan tuntutan mundurnya Soeharto.
Inilah yang menjadi penyebab berakhirnya era Dewan Mahasiswa sebagai student
government di kampus-kampus. Untuk meredam suara kritis dari kampus,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Keputusan No.
0156/U/1978 yang dimaksudkan untuk “mengembalikan fungsi mahasiswa” sebagai
kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan.
Konsep baru dari Menteri P & K yang dinamakan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan Kampus (BKK) sebagai pengganti
Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa ini kontan menimbulkan perlawanan keras
dari berbagai kampus di tanah air. Aksi protes semakin menggurita. Penangkapan
sejumlah ketua Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa perguruan tinggi oleh
penguasa justru membuat perlawanan mahasiswa semakin meluas. Di kampus UI,
pembangkangan itu ditandai dengan tetap berjalannya kegiatan kemahasiswaan
dibawah panji DMUI yang berpusat di Student Center Salemba. Pada masa-masa
tersebut, boleh dikatakan Student Center UI terbuka 24 jam, selalu ramai oleh
aktitivis mahasiswa penentang NKK/BKK. Aparat dan intel yang biasa berkeliaran
di kampus tidak berani memasuki areal Student Center yang menjadi markas DMUI
tersebut.

Nah, tulisan dibawah ini hendak mengulas sebuah aksi protes mahasiswa di kampus
UI yang terjadi dalam periode suram 1977-1980 tersebut.

Undangan Dialog Terbuka dengan Menmud Urusan Pemuda Dr. Abdul Gafur
oleh Rektor UI, Prof. Dr. Mahar Mardjono.
Dr Abdul Gafur, adalah mantan aktivis UI di tahun 1966. Mungkin karena panggilan
nuraninya sebagai alumni yang mantan aktivis, beliau menyampaikan maksudnya
kepada Rektor UI untuk berdialog secara terbuka dengan adik-adiknya, mahasiswa
UI. Beliau boleh jadi merasa cukup percaya diri untuk berdialog dengan para
pimpinan mahasiswa seputar isu penolakan NKK/BKK. Apalagi beliau saat itu
memiliki staf khusus pendamping, dr. Hariadi Dharmawan yang juga eks aktivis,
pernah menjadi Ketua Umum DMUI periode 1969-1972.
Niat untuk berdialog itu disambut baik oleh oleh Prof. Mahar Mardjono sebagai
Rektor. Maka ditetapkanlah waktu dan tempat untuk berdialog, yaitu Aula FKUI
Salemba pada hari Sabtu 22 Maret 1980. Rektor kemudian mengirim pemberitahuan
dan undangan kepada para Ketua Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa UI.
Tetapi untuk teknis pelaksanaannya diserahkan kepada pihak mahasiswa. Perlu
disampaikan disini bahwa ketika itu pimpinan DMUI sedang vakum karena
beberapa waktu sebelumnya Ketua Umum DMUI Lukman Hakim dan wakilnya
Bram Zakir sempat ditahan dan diadili oleh pengadilan. Sehingga operasional
DMUI dijalankan oleh seorang Caretaker, yaitu Biner Tobing dari FISIP-UI.

Pro Kontra Aktivis DM/SM se-UI dalam Menyikapi Undangan Rektor.


Undangan dialog dengan Abdul Gafur menimbulkan perdebatan di kalangan aktivis
Dewan dan Senat. Ada yang menyambutnya dengan curiga dan skeptis, mau apa lagi
sih dialog? Terlebih karena upaya terakhir mahasiswa dengan mengajukan appeal
melalui interpelasi di DPR juga sudah gagal. Usulan interpelasi NKK/BKK yang
dimotori fraksi PPP dan PDI resmi ditolak. Lagi pula, berdialog seyogyanya dengan
Menteri P & K, bukan dengan Menmud Pemuda. Tetapi ada juga senat mahasiswa
yang menyambut baik tawaran dialog ini. Mereka berdalih, siapa tahu dalam dialog
itu nantinya Menmud Pemuda bisa memperoleh masukan dari mahasiswa dan
membawanya untuk dibicarakan dengan Menteri P & K, Dr. Daoed Joesoef. Jadi,
suara di forum DM/SM se UI terbelah dua. Setelah berdebat panjang, akhirnya
tercapai juga kesepakatan. Undangan dialog akan diterima. Mahasiswa akan hadir,
tetapi bukan untuk berdialog, melainkan untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa.
Setelah itu mahasiswa akan walk-out. Untuk memastikan skenario ini bisa berjalan
sesuai rencana, forum menyepakati penunjukan 3 orang Koordinator Pelaksana
(Korlap) yaitu Andi Bachtiar (FT), Rinaldo (FE) dan Hollidy (FISIP). Ini tiga nama
aktivis militan yang sudah tidak asing lagi dalam kegiatan-kegiatan aksi DMUI saat
itu. Ketuk palu ini terjadi pada sore hari H-1.

Aula FKUI, Sabtu 22 Maret 1980.


Sejak pagi para mahasiswa telah berkumpul di aula Fakultas Kedokteran UI,
memenuhi undangan Rektor untuk acara dialog tersebut, walaupun perkuliahan di
semua fakultas tetap berjalan seperti biasa. Mereka duduk dengan tertib,
mengesankan bahwa mahasiswa berminat untuk mengikuti pertemuan itu.
Menjelang kedatangan Menmud Pemuda, para mahasiswa menyanyikan lagu
“Genderang UI” dengan penuh semangat.
Abdul Gafur masuk ke aula FKUI dengan didampingi Rektor dan beberapa Dekan.
Pembawa acara mempersilahkan Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono untuk
memberikan sambutannya. Mahar dalam kesempatan itu meminta agar dialog itu
dipergunakan sebaik-baiknya. “Kesempatan sudah disediakan, silahkan berdialog
dengan sebebas-bebasnya”, kata Rektor UI, seperti dikutip dari koran Pelita, Senin
24 Maret 1980.
Kesempatan kedua diberikan kepada Biner Tobing, sebagai Caretaker DMUI untuk
memberikan sambutannya. Biner tanpa basa-basi menyatakan, “Dialog sudah
terlambat. Interpelasi NKK sudah ditolak di DPR-RI, BKK sudah di PP no.5 kan.
Kedatangan bang Gafur sudah terlambat dan tidak ada yang kami harapkan lagi.
Dialog tidak lagi bermanfaat ketika skorsing yang mungkin sekali akan dilanjutkan
dengan tindakan pemecatan telah dilakukan di kampus-kampus seluruh Indonesia.”
Biner yang menutup orasinya dengan kalimat, “Tetapi apapun vonis yang
dijatuhkan, jaket kuning tidak akan mundur”, disambut dengan sorak gemuruh
mahasiswa yang hadir.
Kemudian seorang mahasiswa tampil untuk membacakan sebuah surat terbuka
untuk Dr. Abdul Gafur yang antara lain isinya, “Hari ini anda datang ke kampus
perjuangan dari mana anda semula berasal dan dimana mungkin anda pernah bercita-
cita. Kami tidak mengucapkan selamat datang pada anda, karena anda bukan
kembali dari perjuangan”.
Berikutnya perwakilan mahasiswa membacakan “Proklamasi Mahasiswa
Indonesia” hasil pertemuan Salemba 10 Fabruari 1980. Proklamasi ini pernah
dibacakan di bawah tiang bendera Gedung DPR RI ketika dilaksanakan sidang pleno
DPR-RI untuk membahas usulan Interpelasi NKK/BKK yang akhirnya ditolak.
Setelah selesai dibaca, naskah proklamasi itu diserahkan kepada Dr. Abdul Gafur.
Ketika tiba pada giliran Menteri Muda untuk berbicara, Andi Bachtiar langsung
maju mengambil alih mikrofon dan mengagitasi massa mahasiswa untuk turun dari
bangku di barisan atas sambil membentangkan spanduk-spanduk anti NKK/BKK.
Suasana menjadi hiruk-pikuk dan riuh rendah dengan teriakan massa. Rencana untuk
berdialog pupus sudah.
Para hadirin yang terdiri dari pimpinan UI dan staf Menmud hanya bisa terpana
melihat kejadian yang diluar dugaan mereka. Abdul Gafur sendiri terlihat tenang
menatap para para mahasiswa. Ia bahkan mendatangi pimpinan acara, Andi Bachtiar
yang tengah memegang megaphone dan menyalaminya. Andi terlihat sedikit shock,
mungkin tidak menyangka akan didatangi dan bahkan disalami oleh Abdul Gafur.
Ia pun mengulurkan tangannya menyambut tangan pak Menteri.
Prof. Mahar Mardjono yang terlihat tegang dan marah melihat situasi demikian,
langsung mengajak Dr. Abdul Gafur untuk meninggalkan ruangan diiringi oleh
Purek dan para Dekan. Sementara itu, massa mahasiswa sambil bersorak-sorak
mulai mendekati Abdul Gafur yang dikawal oleh sejumlah stafnya. Mendadak, ada
benda beterbangan yang diarahkan kepada sang Menteri, ternyata itu lemparan telur.
Menteri dilempari telur. Untungnya tidak ada yang telak mengenai beliau, hanya
terkena cipratan saja. Di kemudian hari ada yang mengaku turut serta melempari Dr.
Abdul Gafur dengan telur busuk. Berita itu dikutip oleh sejumlah media massa.
Disini perlu saya luruskan bahwa tidak ada telur busuk yang dilempar. Yang
dilempar oleh mahasiswa adalah telur ayam biasa.
Dalam suasana yang mulai chaos itu pimpinan UI segera mengamankan Menteri
Muda Urusan Pemuda Dr. Abdul Gafur menuju ke kantor Rektor UI bersama Purek
dan beberapa Dekan. Sementara itu massa mahasiswa meneruskan aksinya dengan
mengerubungi mobil dinas Menteri yang dijaga oleh beberapa staf Menmud,
termasuk Dr. Hariadi Darmawan, mantan Ketua DMUI. Untuk mengindari hal-hal
yang tidak diinginkan, mobil itu dikeluarkan dari dari kampus UI. Belakangan Abdul
Gafur terlihat meninggalkan kampus bersama Prof. Mahar Mardjono dengan mobil
dinas Rektor.
Abdul Gafur ketika ditanya oleh wartawan menyatakan bahwa kejadian itu baginya
merupakan blessing (rahmat). “Saudara-saudara wartawan tahu sendiri, apa situasi
yang tengah melanda kita sekarang ini. norma-norma apa yang hendak diciptakan
dengan cara-cara yang begini?”, ujarnya.
Menurutnya, kejadian seperti itu, karena iklim yang sehat belum tercipta. Situasi
saing mencurigai masih belum terhapus. Sehingga belum apa-apa udah apriori.
Disebutkan, kejadian itu bagi dirinya menimbulkan rasa kesedihan. “Sekalipun
perbedaan pendapat mungkin ada, tetapi satu hal yang selalu saya inginkan dari UI
almamater saya: jadi pelopor. Tetapi kalau begini, bisa-bisa UI tambah mundur,
katanya lagi.
“Mengapa tidak datang sejak dulu-dulu?”
“Kalau saya datang dulu, bisa-bisa saya dilempari kursi.”, jawabnya.

Tanggapan Rektor
Rektor UI Prof. Mahar Mardjono ketika dimintai tanggapannya oleh wartawan
mengatakan: “saya sangat kecewa”. Menurutnya, ini kesempatan baik yang
sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk adu argumentasi mengenai masalah yang
kurang disetujui. Tetapi saya kecewa, mereka tidak menggunakan kesempatan
tersebut,” katanya. Padahal disitu bisa ditanyakan, kenapa BKK dan kenapa bukan
DM. tetapi saya, mereka hanya menggunakan emosinya, tidak otaknya, ucap Mahar.

Tanggapan dari Alumni dan Mahasiswa non Aktivis


Kompas edisi 26 Maret 1980 menurunkan artikel berjudul “Mahasiswa UI, Apa
Sudah Lelah Berbicara lagi?” yang ditulis oleh Bambang Sulistomo (alumni FISIP-
UI) dan satu tulisan lagi dari S. Belen (kolumnis, mahasiswa UI) dengan judul
“Sebuah Argumen Buat Pak Mahar dan Bung Gafur”.
Secara tersirat kedua penulis ini menyatakan bahwa mereka tidak terkejut melihat
kenyataan seperti diatas, kegagalan dialog. Bahkan Bambang Sulistomo menyebut
bahwa peristiwa tersebut bukan sesuatu yang luar biasa. Ada kejadian yang mungkin
lebih hebat lagi, yaitu sewaktu penyambutan kedatangan Menteri P & K Daoed
Joesoef di IKIP Ujung Pandang. Mahasiswa sempat memburu pak Menteri sehingga
terbirit-birit menyelamatkan diri, konon ke pematang sawah. Hal ini membuat
apparat keamanan menjadi repot dan Menteri P & K akhirnya membatalkan acara
beliau di Universitas Hasanuddin. Masalahnya itu-itu juga, penolakan mahasiswa
terhadap konsep NKK dan struktur BKK-nya.
Masih menurut Bambang Sulistomo, seyogyanya sebelum dialog ditanyakan dulu
materi apa yang akan dibicarakan dengan mahasiswa UI. Mungkin saja mahasiswa
ingin bertanya tentang pembekuan seluruh kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat
Mahasiswa. Alamat yang tepat untuk pertanyaan ini tentunya kepada
Pangkopkamtib, bukan kepada Menmud urusan Pemuda. Jadi jangan cepat
beranggapan bahwa mahasiswa sekarang tidak sopan, kurang ajar. Padahal mereka
mendapat pendidikan tinggi.
Pada dasarnya dimana saja sama, saya kira para orangtua pernah kurang ajar, tidak
sopan pada orang lain, ini bukan persoalan yang besar. Masih lebih tidak sopan bila
ada seorang pejabat yang mengambil hak rakyat kecil, sedangkan pejabat tersebut
seharusnya berlaku sebagai pelindung rakyat kecil, tulis Bambang Sulistomo.
Sementara S. Belen dalam tulisannya menyebutkan bahwa kita semua tak dapat
menyangkal bahwa inisiden ini merupakan produk suatu kondisi. Ibarat lestusan
sebuah gunung api setelah melewati suatu proses yang Panjang. Kita tak layak
mengatakan itu hanyalah sebingkai es, padahal nyatanya ia hanyalah sebuah puncak
dari suatu gunung es yang besar dan dalam.
Menanggapi pernyataan Abdul Gafur yang menyebut mahasiswa penakut, lebih
menggunakan emosi daripada otak, S. Belen berpendapat bahwa kejadian tersebut
bukan salah mahasiswa sendiri. Sebenarnya hal itu merupakan gejala umum, bukan
saja di kampus, tapi juga di masyarakat. Beberapa mahasiswa yang ditemuinya
mengatakan, “kami bukan penakut. Kami sudah perhitungkan risiko yang akan
menimpa diri kami. Kami sudah berulang kali melakukan aksi ke luar, dan sanksinya
kita sudah tahu semua.” Ada pula yang mengatakan, apa lagi yang mau
diargumentasikan, kan posisi kita sudah jelas, tetap pada IKMUI. Sedangkan
Menteri Muda pasti tetap berpegang pada NKK & BKK.
Lebih jauh S. Belen menyebut bahwa forum massal tersebut berantakan karena
kurang tepat membaca situasi medan. Mestinya dibuka saja forum kecil antara pak
Rektor, bung Gafur dan wakil-wakli mahasiswa dari Senat, BPM, DM dan MPM
untuk mengubah titik pijak menjadi titik berangkat.

Behind the Scene


Rasanya kurang komplit jika peristiwa yang dibahas diatas tidak dilihat dari sisi dan
pandangan para pelakunya, mereka yang terlibat sebagai pelaksana acara Dialog
yang gagal itu. Sayangnya sejumlah pelaku utamanya sudah tiada. Prof. Mahar
Mardjono wafat 19 September 2002 dan Dr. Abdul Gafur meninggal dunia 4
September 2020. Lalu dua dari 3 Koordinator Lapangan (KORLAP) acara juga
sudah lama almarhum, Rinaldo dan Hollidy, sehingga tidak mungkin untuk ditanyai
lagi.
Penulis bersama Andi Bachtiar mencoba mengingat-ingat kembali beberapa poin
terkait dengan dengan dialog yang gagal tersebut. Adalah menjadi kenyataan bahwa
sejumlah aktivis ketika itu merasa bahwa tidak ada lagi gunanya dialog dengan
Menmud dilaksanakan, karena momennya sudah lewat. Jadi, dialog harus
digagalkan dengan cara walk-out, sesuatu yang jamak dilakukan bukan hanya oleh
mahasiswa saja, tetapi juga oleh politisi, anggota DPR.
Namun, secara bisik-bisik muncul usulan yang agak tidak lazim, katakanlah sedikit
ekstrim. Kita (mahasiswa UI) perlu bertindak sedikit “lelaki” seperti umumnya aksi-
aksi mahasiswa ITB dan bahkan Unhas Makassar yang terkesan agak brutal. Apalagi
beberapa waktu sebelumnya DMUI pernah menerima kiriman “pakaian dalam”
wanita dari mahasiswa ITB. Sebuah sindiran yang menganggap bahwa aksi-aksi
DMUI selama ini kurang galak.
Entah siapa yang memulainya, ide pelemparan telur busuk dilontarkan dalam kasak-
kusuk terbatas. Tujuannya ada dua, pertama untuk menunjukkan kepada kamerad di
ITB bahwa mahasiswa UI juga bisa bertindak “keras dan ekstrim”. Kedua, unjuk
gigi kepada pihak penguasa untuk tidak coba-coba membujuk mahasiswa mengikuti
kemauan mereka. Karena namanya juga kasak-kusuk, tentu tidak dikemukakan
dalam forum resmi fungsionaris DM dan SM. Ada juga semacam kekawatiran
bahwa ide ini bisa digagalkan ditengah jalan. Tetapi Biner Tobing dibisiki bahwa
besok akan ada aksi lempar telur busuk.
Pertanyaannya, kemana mau mencari telur busuk? Disamping tidak ada yang punya
pengalaman membeli telur busuk, apalagi hari sudah larut malam. Mendadak
muncul ide, kenapa kita ngga mencoba mencari ke daerah Pasar Rumput aja? Disana
kan pasar tradisionalnya buka di malam hari. Kebetulan ada mobil teman yang bisa
digunakan. Teman kita Yunus membawa mobil Volvo dinas ayahnya ke Student
Center. Alkisah, Yunus pun di approach dan yang bersangkutan setuju. Berangkatlah
tim pencari telur busuk menuju Pasar Rumput, ada empat orang yang tidak usah
disebutkan namanya. Singkat cerita, mutar-mutar di pasar tradisional ngga nemu
penjual telur busuk. Yang ada justru penjual telur angsa (soang) yang konon manjur
buat obat. Ngga mungkinlah beli itu. Sudahlah ukurannya raksasa, harganya sangat
mahal buat standar mahasiswa saat itu, Rp 2.250 per biji. Lupakan sajalah, kata salah
satu teman. Maka kembalilah tim kecil ini kembali ke Student Center dengan rasa
kecewa. Mission was NOT accomplished. Saatnya untuk istirahat, siapkan stamina
buat esok hari.
Sabtu pagi, Korlap dan tim yang ditugaskan sudah mempersiapkan diri sejak pagi.
Deg-degan juga sih, bagaimana suasananya nanti, terutama kalau kita walk-out,
bagaimana sikap pak Mahar dan lain-lainnya. But the show must go on.
Seperti diulas diatas, pembukaan acara berlangsung normal. Ketika giliran Biner
Tobing memberikan sambutannya, tim sudah siap-siap untuk mengomandokan
ajakan untuk meninggalkan ruangan. Tapi eh…. tunggu dulu. Dari barisan belakang
audience ada beberapa teman yang berkeliling membawa kantong dari kertas
stensilan sambil yang berkata “telur-telur” untuk dan dibagikan kepada mahasiswa
di barisan belakang aula. Terlihat banyak mahasiswa yang kaget dan tidak berani
mengambil telur. Mereka sudah mahfum, pasti maksudnya telur ini untuk dilempar
ke sasaran di depan. Tidak semua mahasiswa punya nyali, apalagi mengingat risiko
konyol yang bisa terjadi.
Maka ketika kekacauan itu terjadi, telur-telur pun dilontarkan secara asal-asalan,
tidak terarah. Tidak satu pun dari lemparan itu yang mengenai Dr. Abdul Gafur yang
tengah berdiri di podium, maupun ketika beliau beranjak hendak meninggalkan
ruangan bersama Rektor.
Belakangan ketika bincang-bincang dengan teman-teman yang terlibat, mereka
secara jujur mengakui adanya kharisma dari Dr. Abdul Gafur yang berani menatap
dan menantang massa mahasiswa. Mantan aktivis mahasiswa 66 ini memang beda
nyalinya dibandingkan dengan Menteri P & K yang lari terbirit-birit ketika ketika
dikejar mahasiswa di Makassar.
Di siang hari, Rektor memanggil fungsionaris Dewan semuanya dimarahi habis.
Wajar, marahnya bapak kepada anak. Tokh kepada pihak luar, beliau akan selalu
melindungi anak-anaknya. Figur semacam Prof. Mahar ini membuat iri mahasiswa
perguruan tinggi lain yang merasa Rektor mereka tidak mau pasang badan untuk
membela mahasiswa.
Hari Senin, seperti sudah diduga, berita tentang dialog yang gagal itu menjadi
headline sejumlah suratkabar dan buntutnya, reaksi negatif diarahkan kepada pihak
mahasiswa. Cuma ada satu reaksi positif, datangnya dari teman-teman ITB.
Komentar mereka, “Nah, itu baru laki-laki.” Oalah …..
Para ketua Senat Mahasiswa dan fungsionaris mahasiswa lainnya bisa kembali
melakukan kegiatannya seperti biasa. Tapi 3 korlap acara, Andi, Rinaldo dan Hollidy
mendapat surat panggilan dari apparat kepolisian, diminta menghadap ke Polres
Jakarta Pusat di Kramat Raya. Mereka bertiga dengan patuh mendatangi kantor
Polres sesuai dengan tanggal yang diminta, saya dan seorang teman mengantar
mereka dengan mobil Scout kuning Senat Mahasiswa FTUI. Karena yang boleh
masuk hanya mereka yang dipanggil, kami sebagai pengantar hanya menunggu di
atas mobil di pinggir jalan Kramat Raya. Proses interogasi di Polres Jakarta Pusat
berlangsung selama 3 hari berturut-turut, namun teman-teman ini diperlakukan
dengan baik. Tuduhannya terkesan mengada-ada, yaitu perusakan kendaraan
Menteri. Tapi setelah proses interogasi tersebut tidak ada kelanjutannya.
Kelihatannya pihak aparat merasa tidak ada urgensinya untuk menindak lanjuti
peristiwa tersebut. Hanya belakangan diperoleh berita bahwa Biner Tobing terhitung
8 November 1980 dipecat oleh Rektor UI. Menurut TEMPO edisi 22 November
1980, ada dua insiden serius yang menyebabkan jatuhnya sanksi berat tersebut.
Pertama, insiden pelemparan telur kepada Menmud Abdul Gafur pada 22 Maret
1980. Kedua, insiden berdarah 25 Oktober 1980 ketika DMUI mengundang Jenderal
Nasution berbicara di Seminar hari ulang tahun DMUI ke-25. Aparat keamanan yang
merangsek masuk untuk meminta pak Nas keluar kampus bertindak brutal sehingga
mengakibatkan jatuh korban luka/geger otak sekitar 14 mahasiswa.

Penutup
Demikianlah kisah dialog yang gagal antara Menmud Urusan Pemuda dengan
Mahasiswa UI yang masih terekam dalam catatan pribadi ini.
Tidak ada dendam, ganjalan maupun sakit hati pribadi terhadap semua pihak karena
semua tokohnya menjalani tugas sesuai dengan perannya. Di kemudian hari, Dr.
Hariadi Darmawan yang mendampingi Menmud Gafur justru menjadi pimpinan aksi
mahasiswa dan alumni UI di tahun 1998 yang punya peran besar terhadap jatuhnya
pemerintahan Presiden Soeharto yang telah bercokol selama 32 tahun.
Teriring doa dan alfatihah untuk mereka yang sudah mendahului kita, Prof. Mahar
Mardjono, Dr. Abdul Gafur, Dr. Hariadi Darmawan, Rinaldo dan Hollidy.

Aswil - Ciputat, 21 April 2021.

Anda mungkin juga menyukai