Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL PAK

“GERAKAN DEMONSTRASI MAHASISWA 1998”

Disusun oleh Kelompok 5 :


1. Ade Mutiara Putri
2. Audrey Huvaira Irsan
3. Irgi Falih Erlito
4. Nimas Sekar Arum
5. M. Ridhan Dafi
6. Nabil Habib Ghoffar
7. Viyo

SMA Negeri 14 Bandar Lampung


TP 2023/2024

1
DAFTAR ISI

DAFTAR
ISI ..............................................................................................................................2

MATERI

A. Asal Usul Gerakan mahasiswa


1998......................................................................................3
B. Aksi Mahasiswa Di Awal Orde
Baru .....................................................................................3
C. Normalisasi Kampus..............................................................................................................5
D. Kelompok Studi ....................................................................................................................6
E. Dari Lokal ke Nasional………………………………………………………………..……
8

DAFTAR PUSTAKA
…...........................................................................................................10

2
A. Asal-Usul Gerakan Mahasiswa 1998

Pada tahun-tahun awal dimulainya pemerintahan Orde Baru, kelompok mahasiswa


masih memiliki hubungan yang cukup mesra dengan Presiden Soeharto. Mereka memiliki
tujuan yang sama yakni membangun pemerintahan baru yang tidak memiliki unsur
komunisme. Namun, kemesraan mahasiswa dengan pemerintahan Orde Baru tidaklah berusia
panjang. Beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan mengandalkan aparat
membuat mahasiswa bergerak. Bagi kelompok mahasiswa, pemerintahan Orde Baru telah
mengingkari janji-janjinya.

Maka sepanjang tahun 1970-an berkembang aksi-aksi mahasiswa yang mengkritik


pemerintahan. Presiden Soeharto ingin mempertahankan stabilitas politik kemudian
menangkap sejumlah aktivis mahasiswa dan menerbitkan kebijakan normalisasi kampus pada
tahun 1980-an. Mahasiswa dilarang untuk melakukan politik praktis dan disibukkan dengan
kegiatan kampus.

Namun, kegigihan mahasiswa di tahun 1980-an membentuk kelompok studi membuat


pergerakan mahasiswa tetap tumbuh. Mereka tidak lagi bergerak di tingkat nasional namun
terjun ke daerah-daerah merasakan kehidupan masyarakat pinggiran. Dari sini mereka
menaikkan isu-isu lokal untuk menjadi opini nasional.

Dari organisasi yang disemai melalui tingkat lokal inilah yang kemudian berkembang
menjadi organisasi-organisasi tingkat nasional. Mereka belajar untuk mendirikan organisasi,
tidak lagi berdasarkan kampus tetapi berdasarkan ideologi. Dari sinilah mucul benih-benih
organisasi mahasiswa yang bergerak pada demonstrasi Mei 1998.

B. Aksi Mahasiswa di Awal Orde Baru

Kemesraan pemerintah Orde Baru dengan mahasiswa berakhir pada dasawarsa tahun
1970-an karena beragam kebijakan yang kontroversi. Kebijakan tersebut antara lain
penyederhanaan sepuluh partai politik menjadi hanya tiga partai yakni Golongan Karya,
Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, serta dwifungsi ABRI dan fusi
seluruh organisasi kemasyarakatan.

Presiden Soeharto menerapkan kebijakan tersebut untuk menjaga stabilitas politik di


dalam negeri. Oleh karena itu beberapa kelompok yang disinyalir berseberangan dengan
pemerintah akan mendapatkan tekanan. Pemerintah juga membuat serangkaian peraturan
represif untuk mencegah bangkitnya kekuatan oposisi.

Keadaan ini justru membuat masyarakat merasa tidak puas terlebih kesejahteraan masih
rendah. Namun, mereka diminta untuk diam dan tidak melancarkan aksi-aksi protes.
Mahasiswa yang sejak tahun 1960-an menjadi kelompok yang paling kritis mulai menyerang
pemerintah. Mereka menganggap Orde Baru telah menyimpang dari cita-cita semula.

3
Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda, menyebut bahwa mahasiswa melancarkan
kritik terhadap rezim Orde Baru mengenai dominasi ekonomi oleh segelintir orang dan
kebijakan politik otoriter. Kelompok mahasiswa juga mengkritik pelaksanaan pemilihan
umum tahun 1972 yang dinilai sarat manipulasi suara dan intimidasi militer.

Selain itu, mahasiswa juga memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun
1972 yang dianggapnya sebagai proyek penghamburan uang rakyat. Padahal, masyarakat
masih menderita kemiskinan. Pemerintah justru mengalihkan dananya untuk pembangunan
wahana TMII.

Puncak pergerakan mahasiswa di tahun 1970-an terjadi pada 1974 yang dikenal
sebagai Peristiwa Lima Belas Januari (Malari). Dalam Massa Misterius Malari: Rusuh Politik
Pertama dalam Sejarah Orde Baru, menyebutkan bahwa aksi ini adalah bentuk protes
mahasiswa atas besarnya aliran modal asing dari Jepang yang dianggap memeras ekonomi
Indonesia. Aksi pada 15 Januari 1974 ini dilakukan ketika Perdana Menteri Jepang Kakue
Tanaka melakukan kunjungan ke Jakarta. Pada awalnya kelompok demonstran mahasiswa
ingin menyerbu Istana Kepresidenan, lokasi Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana
Menteri Tanaka. Namun, usaha mereka digagalkan oleh aparat sehingga kelompok
demonstran marah.

Keadaan ini membuat kelompok demonstran melakukan penjarahan ke toko-toko


Jepang dan membakar mobil-mobil produksi Jepang di Jakarta. Bahkan mereka membakar
boneka Perdana Menteri Tanaka yang disimbolkan sebagai “penjarah ekonomi”. Aksi ini
dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kedatangan Tanaka.

Peristiwa Malari dapat diselesaikan setelah aparat menangkap mahasiswa yang


dianggap sebagai dalang kerusuhan. Sejumlah surat kabar juga dibredel karena memberitakan
aksi represif pemerintah terhadap mahasiswa. Kuatnya konsolidasi Orde Baru didukung oleh
pihak militer yang membuat gerakan perlawanan dengan mudah dipatahkan.

Setelah peristiwa Malari, pemerintah mulai melakukan konsolidasi ke kampus-


kampus untuk mencegah terjadinya aksi-aksi demonstrasi. Maka dibentuklah Tim Dialog
Pemerintah pada 24 Juni 1977. Namun, kedatangan mereka justru ditolak oleh mahasiswa.
Dengan alasan terjadinya pembangkangan politik maka militer melakukan pendudukan ke
kampus.

Dalam Aldera, disebutkan pada 28 Oktober 1977 militer menyerbu kampus Institut
Teknologi Bandung. Penyebabnya karena sekitar 10.000 mahasiswa menyerukan “Turunkan
Soeharto” di halaman kampus ITB. Tidak hanya di Bandung, aksi militer masuk ke kampus
juga terjadi di Makassar dan Surabaya. Aksi ini kemudian memicu pergerakan mahasiswa
kembali untuk menurunkan Soeharto setelah beberapa tahun senyap setelah peristiwa Malari.

4
Penolakan dominasi modal asing, terutama Jepang membuat Kampus UI di Salemba
bergolak (15/1/1974). Mereka menentang keras kebijakan Pemerintah, sehingga
menimbulkan kerusuhan yang dikenal dengan Peristiwa Malari di Jakarta.

C. Normalisasi Kampus

Aksi-aksi militer masuk kampus yang berujung pada bangkitnya kembali gerakan
mahasiswa mendorong pemerintah membuat kebijakan yang lebih represif lagi. Daoed
Joesoef yang baru dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dua
surat keputusan yakni SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
dan SK tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kedua surat ini kemudian dikenal
sebagai kebijakan NKK/BKK.

Maksud dan tujuan dari kebijakan NKK/BKK ini adalah supaya mahasiswa hanya
menjalankan kegiatan akademik saja, jauh dari aktivitas politik yang dapat membahayakan
Orde Baru. Daoed Joesoef berkaca pada peristiwa Malari dan aksi-aksi mahasiswa yang
serupa dapat membuat politik di Indonesia semakin tidak stabil. Oleh karena itu Daoed
Joesoef membubarkan organisasi politik mahasiswa bersama dengan Dewan Mahasiswa lalu
diganti dengan BKK.

Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban/Wakil Panglima Angkatan


Bersenjata Laksamana Sudomo berpendapat bahwa organisasi kemahasiswaan dan kampus
bukanlah alat politik praktis. Mahasiswa boleh saja melakukan kontrol sosial dan politik
praktis harus melewati wadah-wadah yang telah tersedia yakni partai politik atau Golkar.
Dalam tulisan Daoed Joesoef yang dimuat di KOMPAS pada 20 April 1978, disebutkan
tentang tanggung jawab mahasiswa adalah membangkitkan kekuatan penalaran individual
sebagai dasar kemampuan berpikir analitis dan sintesis. Atas dasar inilah menurut Daoed
Joesoef mahasiswa bukanlah “manusia rapat umum” tetapi manusia penganalisis.

Harapannya mahasiswa dapat menjadi individu yang mempunyai kekuatan penalaran


untuk mengisi teknostruktur di setiap bidang penghidupan masyarakat. Di bidang sosial-

5
politik diharapkan bahwa mahasiswa dapat mengambil keputusan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat. Hal ini sesuai dengan tuntutan demokrasi Pancasila.
Daoed Joesoef juga mengkritik aksi-aksi mahasiswa selama ini. Menurut Daoed
Joesoef mahasiswa seharusnya memberikan masukan berupa gagasan, pikiran, dan intepretasi
mengenai apa yang dianggapnya sebagai kepentingan masyarakat atau nasional. Ide-ide ini
kemudian diterapkan dalam sebuah program yang aksi dan tujuannya dapat mencapai
sasaran. Sebaliknya menurut Daoed Joesoef apabila mahasiswa justru melancarkan aksi
politik dalam bentuk tidakan individu atau kelompok, maka tidaklah pantas menyandang
predikat mahasiswa. Apalagi mengubah kampus dari dunia berpikir menjadi arena politik.
Daoed Joesoef menekankan bahwa tidaklah tepat mahasiswa berpolitik dalam artian aksi dan
kebijakan di dalam “kampus”. Maka Daoed Joesoef perlu menormalisasi kampus dan
mengembalikan mahasiswa sesuai dengan hakikatnya sebagai “mahasiswa penganalisis”.

Konsekuensi dari kebijakan NKK/BKK menurut buku Aldera, mahasiswa cenderung


menjadi apatis dan tidak mau tahu problem di masyarakat sekitarnya. Adapula mahasiswa
yang menjadi oportunis yakni sebagai kelompok pembela pemerintahan dan rektorat. Sisanya
adalah mahasiswa yang masih mempertahankan idealismenya untuk membentuk aktivisme
mahasiswa.

Mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya duduk di depan gedung
DPR setelah menghadiri Sidang Umum DPR, 20 Desember 1979, yang membicarakan usul
interpelasi tentang Normalisasi Kehidupan Kampus.

D. Kelompok Studi

Pemberlakuan NKK/BKK membuat mahasiswa harus mencari alternatif gerakan lain


setelah kampus melarang segala bentuk kegiatan politik mahasiswa. Mereka kemudian
terinspirasi oleh gerakan mahasiswa zaman kolonial Belanda dalam bentuk kelompok studi.
Belajar dari para tokoh seperti Soekarno, Hatta, atau Sjahrir, kelompok studi menjadi media
perkenalan mahasiswa dengan teori-teori komprehensif untuk menjadi alat analisis sosial.
Apalagi Dewan Mahasiswa dibekukan setelah diberlakukan NKK secara ketat.

6
Seperti yang tercatat dalam buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran
Reformasi 1998, menyebutkan bahwa di Jakarta misalnya terdapat Kelompok Studi
Proklamasi, Kelompok Studi Indonesia, dan lain-lain. Tidak jauh dari Jakarta, di Yogyakarta
juga muncul Kelompok Studi Teknosofi, Kelompok Studi Palagan, dan lain sebagainya. Di
beberapa kota-kota lainnya pun pendirian kelompok studi pun menjamur.

Tipe gerakan mahasiswa juga mengalami perubahan dari gerakan politik praktis menjadi
gerakan penyadaran atau gerakan dakwah di bidang sosial politik. Hal ini membuat metode
gerakan dengan mobilisasi massa telah ditinggalkan dan digantikan dengan mengorganisasi
kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik.
Mereka melakukan studi intensif mengenai masalah-masalah sosial yang sedang aktual
dan strategis yang tengah dihadapi. Masalah tersebut kemudian didistribusikan agar dapat
diketahui dan dikritisi oleh masyarakat secara luas. Harapannya masyarakat dapat melakukan
penilaian dan memberikan reaksi balik untuk menentukan arah pembangunan yang tengah
dijalankan. Maka gerakan kelompok-kelompok studi ini tidak lagi mengikuti isu-isu nasional
melainkan isu-isu lokal yang berdampak bagi masyarakat setempat.

Mereka dalam setiap pertemuannya mulai dari sore hingga malam berdiskusi seperti
layaknya “profesional” namun tetap santai dengan gaya mahasiswa. Mereka biasanya
membahas seputar topik tentang kapitalisme, perubahan sosial, lingkungan hidup, agama, dan
masalah kerakyatan. Selain itu mereka juga mendalami pemikiran tokoh-tokoh terkenal
seperti Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucault.

Kelompok ini juga tidak hanya sekedar berkumpul dan berdiskusi saja. Mereka tidak
ingin menjadi “menara gading” seperti halnya kampus-kampusnya yang lebih banyak
berbicara mengenai teori. Maka kebanyakan dari mereka kemudian turun ke bawah untuk
ikut larut dalam kehidupan para buruh, petani, dan rakyat terpinggirkan. Dari sana mereka
dapat mendengarkan keresahan sebagai bahan masukan untuk aksi-aksi mereka. Apalagi pada
pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an muncul wacana politik mahasiswa yang
menunjukkan perkembangan isu struktur pemerintahan. Tahun 1989, isu hak asasi manusia
mendominasi wacana mahasiswa dalam demonstrasi mereka. Namun, pada tahun 1990-1993
muncul isu bertema politik nasional dan demokrasi karena berdekatan dengan pemilihan
umum 1992.

Salah satu contoh gerakan kelompok studi adalah aksi mahasiswa yang memprotes
penggenangan Waduk Kedung Ombo sejak 14 Januari 1989. Menurut mahasiswa pemerintah
telah mengabaikan hak-hak warga korban penggusuran yang masih bertahan di lokasi.
Mereka menolak pindah karena kecilnya ganti rugi yang diberikan pemerintah. Kelompok
mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah mengabaikan hak-hak asasi manusia dari korban
Kedung Ombo. Maka sejumlah mahasiswa dari Salatiga, Yogyakarta, dan Surabaya
membentuk organisasi bernama Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo.
Mereka kemudian melakukan investigasi pengumpulan data dan informasi sekaligus
melakukan advokasi terhadap warga korban pembangunan Kedung Ombo.
Tidak disangka, aksi-aksi ini kemudian mendapatkan tanggapan dari kelompok studi di
beberapa kota-kota seperti Bandung, Bogor, Malang, dan lain sebagainya. Ada kelompok
yang menyurati ketua DPR/MPR dan Presiden Soeharto tentang keresahan warga korban
Kedung Ombo.

7
Namun, ada juga kelompok-kelompok yang menggelar aksi unjuk rasa.Di lokasi Kedung
Ombo, mahasiswa asal Salatiga, Semarang, dan Yogyakarta juga melakukan aksi protes.
Tetapi aksi ini dibubarkan setelah mahasiswa diusir oleh aparat. Aksi protes pembangunan
Waduk Kedung Ombo ini kemudian dapat dihentikan setelah Kelompok Solidaritas Korban
Pembangunan Kedung Ombo dibubarkan aparat dan para aktivisnya

Bupati Boyolali M Hasbi dan mahasiswa berdemo menolak pembangunan bendungan


Kedung Ombo (31/3/1989).

E. Dari Lokal ke Nasional


Meskipun pergerakan mahasiswa telah digembosi oleh pemerintah melalui kebijakan
NKK/BKK, namun hal ini tidak menyurutkan semangat perlawanan mahasiswa. Keberadaan
kelompok studi di tingkat lokal menjadi kunci utama di mana pergerakan mahasiswa tetaplah
hidup. Mereka menggunakan isu-isu lokal yang berdekatan langsung dengan masyarakat
pinggiran untuk digiring sebagai isu nasional.
Bahkan dalam buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi
1998, mencatat sepanjang tahun 1980-an hingga 1990-an aksi demonstrasi mahasiswa tidak
pernah berhenti. Sejak tahun 1989-1993 terjadi 198 kali aksi demonstrasi mahasiswa dengan
isu yang beragam. Setidaknya terdapat tiga isu besar yang diangkat yaitu isu kampus, isu
keadilan sosial dan ekonomi, dan isu HAM, hukum, dan kekerasan.

Isu yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah tentang HAM yang berkisar
mengenai pelanggaran hak-hak politik dan demokrasi rakyat dan tindakan kekerasan aparat
terhadap aktivis mahasiswa. Isu kampus berada di urutan kedua biasanya mengangkat tentang
status kemahasiswaan, perubahan aspek kehidupan kampus, mahalnya biaya pendidikan, dan
korupsi birokrat kampus. Sedangkan isu tentang keadilan sosial seputar ekonomi, konflik
tanah, dan kemiskinan berada di urutan ketiga.

8
Baru pada awal tahun 1990-an muncul lebih banyak lagi organisasi mahasiswa yang
kemudian menjadi pelopor dalam Reformasi 1998. Organisasi ini sifatnya permanen maupun
nonpermanen, baik yang memanfaatkan organ intrakampus maupun yang ekstrakampus. Di
sinilah organisasi tingkat lokal mulai bergerak menuju nasional.
Dalam buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan: Gerakan Mahasiswa 1990-an,
setidaknya terdapat tiga kelompok organisasi mahasiswa. Pertama, adalah tipe organisasi
nonpermanen, temporer, dan terbentuk karena momentum politik atau mengangkat isu-isu
tertentu. Biasanya organisasi ini tidak memiliki mekanisme yang bertingkat sehingga dalam
pengampilan keputusan hanya ditentukan oleh perwakilan simpul massa atau komandan
kampus.

Kedua, organisasi mahasiswa progresif kerakyatan yang berbasiskan pada organisasi


massa (ormas). Dalam pembentukan organisasi ini setidaknya harus memiliki kesamaan visi
politik dan ideologi untuk menyatukannya. Mereka memiliki struktural yang jelas mulai dari
pimpinan, kepengurusan, hingga anggotanya. Hal ini membuat segala keputusan diambil
berdasarkan pada mekanisme organisasi. Ketiga, di luar dari kedua organisasi di atas masih
ada basis pergerakan mahasiswa dalam bentuk kelompok studi. Kelompok ini menjadi tempat
persemaian teori-teori dari tokoh-tokoh terkenal. Teori-teori ini menjadi bahan kajian,
diskusi, dan perdebatan menarik di kelompok studi. Tidak jarang pula kelompok ini juga ikut
dalam aksi-aksi.
Keberagaman tipe organisasi inilah yang berkembang di tingkat lokal pada awal tahun
1990-an. Meskipun organisasi mahasiswa saat itu terpolarisasi, namun keadaan ini adalah
sebuah keniscayaan karena di dalam gerakan mahasiswa terdapat unsur radikal, moderat,
kerakyatan, revolusioner, dan reformis.

Atas dasar inilah berbagai organisasi kemudian saling menemukan beberapa unsur
yang saling bersamaan. Mereka inilah yang kemudian saling terkoordinasi dan membangun
jaringan antara sesamanya untuk menjadi satu organisasi nasional.
Contohnya adalah organisasi Ikatan Mahasiswa Solo yang memiliki kedekatan dengan
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Jakarta, Komite Perjuangan
Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia, dan Solidaritas Mahasiswa Semarang melakukan
pertemuan di Cisarua, Bogor pada November 1992. Kegiatan ini juga disponsori oleh Asia
Student Association yang bermarkas di Hong Kong.

Dalam pertemuan tersebut kelompok-kelompok ini memiliki kesamaan tujuan sebagai


bagian oposisi pemerintahan Orde Baru. Maka mereka bersepakat untuk bergabung dan
mengubah namanya menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Pada tahun 1996 kelompok SMID inilah yang menjadi cikal bakal Partai Rakyat Demokratik
(PRD) dan penggerak di dalam demo Reformasi 1998.
Tidak hanya SMID saja yang menggabungkan organisasi mahasiswa tingkat lokal
menjadi organisasi nasional. Pada tahun 1994 beberapa organisasi mahasiswa dari Jakarta,
Bogor, Garut, Semarang, dan Bandung bersepakat untuk bergabung menjadi Aliansi
Demokrasi Rakyat (ALDERA). Mereka bersekapat untuk menjadi organisasi yang
memperjuangkan demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM.

Sepanjang pertengahan awal tahun 1990-an ada begitu banyak organisasi mahasiswa
tingkat lokal yang menggabungkan diri secara nasional berdasarkan unsur-unsur kesamaan
baik ideologi dan tujuannya. Organisasi-organisasi inilah yang kemudian perlahan bangkit
menjadi kekuatan dalam menurunkan pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998.

9
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Widiarsi, dkk. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam
Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing.

Gunawan, FX Rudy, dkk. 2009. Menyulut Lahan Kering Perlawanan: Gerakan


Mahasiswa 1990-an. Jakarta: Spasi & VHR Book bekerja sama dengan Friedrich Stiftung.
A. Denny. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an. Yogyakarta:
LKiS.
Joesoef, Daoed. 2018. Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya: Buah-buah Refleksi
Daoed Joesoef untuk Membumikan Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rizkiandi, Rosidi. 2016. Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran
Reformasi 1998. Jakarta: UI Press.

Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi
Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.

Wibisana, Teddy, dkk. 2022. Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

10

Anda mungkin juga menyukai