1
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ..............................................................................................................................2
MATERI
DAFTAR PUSTAKA
…...........................................................................................................10
2
A. Asal-Usul Gerakan Mahasiswa 1998
Dari organisasi yang disemai melalui tingkat lokal inilah yang kemudian berkembang
menjadi organisasi-organisasi tingkat nasional. Mereka belajar untuk mendirikan organisasi,
tidak lagi berdasarkan kampus tetapi berdasarkan ideologi. Dari sinilah mucul benih-benih
organisasi mahasiswa yang bergerak pada demonstrasi Mei 1998.
Kemesraan pemerintah Orde Baru dengan mahasiswa berakhir pada dasawarsa tahun
1970-an karena beragam kebijakan yang kontroversi. Kebijakan tersebut antara lain
penyederhanaan sepuluh partai politik menjadi hanya tiga partai yakni Golongan Karya,
Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, serta dwifungsi ABRI dan fusi
seluruh organisasi kemasyarakatan.
Keadaan ini justru membuat masyarakat merasa tidak puas terlebih kesejahteraan masih
rendah. Namun, mereka diminta untuk diam dan tidak melancarkan aksi-aksi protes.
Mahasiswa yang sejak tahun 1960-an menjadi kelompok yang paling kritis mulai menyerang
pemerintah. Mereka menganggap Orde Baru telah menyimpang dari cita-cita semula.
3
Buku Aldera: Potret Gerakan Politik Kaum Muda, menyebut bahwa mahasiswa melancarkan
kritik terhadap rezim Orde Baru mengenai dominasi ekonomi oleh segelintir orang dan
kebijakan politik otoriter. Kelompok mahasiswa juga mengkritik pelaksanaan pemilihan
umum tahun 1972 yang dinilai sarat manipulasi suara dan intimidasi militer.
Selain itu, mahasiswa juga memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun
1972 yang dianggapnya sebagai proyek penghamburan uang rakyat. Padahal, masyarakat
masih menderita kemiskinan. Pemerintah justru mengalihkan dananya untuk pembangunan
wahana TMII.
Puncak pergerakan mahasiswa di tahun 1970-an terjadi pada 1974 yang dikenal
sebagai Peristiwa Lima Belas Januari (Malari). Dalam Massa Misterius Malari: Rusuh Politik
Pertama dalam Sejarah Orde Baru, menyebutkan bahwa aksi ini adalah bentuk protes
mahasiswa atas besarnya aliran modal asing dari Jepang yang dianggap memeras ekonomi
Indonesia. Aksi pada 15 Januari 1974 ini dilakukan ketika Perdana Menteri Jepang Kakue
Tanaka melakukan kunjungan ke Jakarta. Pada awalnya kelompok demonstran mahasiswa
ingin menyerbu Istana Kepresidenan, lokasi Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana
Menteri Tanaka. Namun, usaha mereka digagalkan oleh aparat sehingga kelompok
demonstran marah.
Dalam Aldera, disebutkan pada 28 Oktober 1977 militer menyerbu kampus Institut
Teknologi Bandung. Penyebabnya karena sekitar 10.000 mahasiswa menyerukan “Turunkan
Soeharto” di halaman kampus ITB. Tidak hanya di Bandung, aksi militer masuk ke kampus
juga terjadi di Makassar dan Surabaya. Aksi ini kemudian memicu pergerakan mahasiswa
kembali untuk menurunkan Soeharto setelah beberapa tahun senyap setelah peristiwa Malari.
4
Penolakan dominasi modal asing, terutama Jepang membuat Kampus UI di Salemba
bergolak (15/1/1974). Mereka menentang keras kebijakan Pemerintah, sehingga
menimbulkan kerusuhan yang dikenal dengan Peristiwa Malari di Jakarta.
C. Normalisasi Kampus
Aksi-aksi militer masuk kampus yang berujung pada bangkitnya kembali gerakan
mahasiswa mendorong pemerintah membuat kebijakan yang lebih represif lagi. Daoed
Joesoef yang baru dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan dua
surat keputusan yakni SK No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)
dan SK tentang Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kedua surat ini kemudian dikenal
sebagai kebijakan NKK/BKK.
Maksud dan tujuan dari kebijakan NKK/BKK ini adalah supaya mahasiswa hanya
menjalankan kegiatan akademik saja, jauh dari aktivitas politik yang dapat membahayakan
Orde Baru. Daoed Joesoef berkaca pada peristiwa Malari dan aksi-aksi mahasiswa yang
serupa dapat membuat politik di Indonesia semakin tidak stabil. Oleh karena itu Daoed
Joesoef membubarkan organisasi politik mahasiswa bersama dengan Dewan Mahasiswa lalu
diganti dengan BKK.
5
politik diharapkan bahwa mahasiswa dapat mengambil keputusan secara musyawarah untuk
mencapai mufakat. Hal ini sesuai dengan tuntutan demokrasi Pancasila.
Daoed Joesoef juga mengkritik aksi-aksi mahasiswa selama ini. Menurut Daoed
Joesoef mahasiswa seharusnya memberikan masukan berupa gagasan, pikiran, dan intepretasi
mengenai apa yang dianggapnya sebagai kepentingan masyarakat atau nasional. Ide-ide ini
kemudian diterapkan dalam sebuah program yang aksi dan tujuannya dapat mencapai
sasaran. Sebaliknya menurut Daoed Joesoef apabila mahasiswa justru melancarkan aksi
politik dalam bentuk tidakan individu atau kelompok, maka tidaklah pantas menyandang
predikat mahasiswa. Apalagi mengubah kampus dari dunia berpikir menjadi arena politik.
Daoed Joesoef menekankan bahwa tidaklah tepat mahasiswa berpolitik dalam artian aksi dan
kebijakan di dalam “kampus”. Maka Daoed Joesoef perlu menormalisasi kampus dan
mengembalikan mahasiswa sesuai dengan hakikatnya sebagai “mahasiswa penganalisis”.
Mahasiswa dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya duduk di depan gedung
DPR setelah menghadiri Sidang Umum DPR, 20 Desember 1979, yang membicarakan usul
interpelasi tentang Normalisasi Kehidupan Kampus.
D. Kelompok Studi
6
Seperti yang tercatat dalam buku Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran
Reformasi 1998, menyebutkan bahwa di Jakarta misalnya terdapat Kelompok Studi
Proklamasi, Kelompok Studi Indonesia, dan lain-lain. Tidak jauh dari Jakarta, di Yogyakarta
juga muncul Kelompok Studi Teknosofi, Kelompok Studi Palagan, dan lain sebagainya. Di
beberapa kota-kota lainnya pun pendirian kelompok studi pun menjamur.
Tipe gerakan mahasiswa juga mengalami perubahan dari gerakan politik praktis menjadi
gerakan penyadaran atau gerakan dakwah di bidang sosial politik. Hal ini membuat metode
gerakan dengan mobilisasi massa telah ditinggalkan dan digantikan dengan mengorganisasi
kelompok-kelompok kecil dengan metode mobilisasi ide dan persepsi politik.
Mereka melakukan studi intensif mengenai masalah-masalah sosial yang sedang aktual
dan strategis yang tengah dihadapi. Masalah tersebut kemudian didistribusikan agar dapat
diketahui dan dikritisi oleh masyarakat secara luas. Harapannya masyarakat dapat melakukan
penilaian dan memberikan reaksi balik untuk menentukan arah pembangunan yang tengah
dijalankan. Maka gerakan kelompok-kelompok studi ini tidak lagi mengikuti isu-isu nasional
melainkan isu-isu lokal yang berdampak bagi masyarakat setempat.
Mereka dalam setiap pertemuannya mulai dari sore hingga malam berdiskusi seperti
layaknya “profesional” namun tetap santai dengan gaya mahasiswa. Mereka biasanya
membahas seputar topik tentang kapitalisme, perubahan sosial, lingkungan hidup, agama, dan
masalah kerakyatan. Selain itu mereka juga mendalami pemikiran tokoh-tokoh terkenal
seperti Karl Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucault.
Kelompok ini juga tidak hanya sekedar berkumpul dan berdiskusi saja. Mereka tidak
ingin menjadi “menara gading” seperti halnya kampus-kampusnya yang lebih banyak
berbicara mengenai teori. Maka kebanyakan dari mereka kemudian turun ke bawah untuk
ikut larut dalam kehidupan para buruh, petani, dan rakyat terpinggirkan. Dari sana mereka
dapat mendengarkan keresahan sebagai bahan masukan untuk aksi-aksi mereka. Apalagi pada
pertengahan tahun 1980-an hingga awal 1990-an muncul wacana politik mahasiswa yang
menunjukkan perkembangan isu struktur pemerintahan. Tahun 1989, isu hak asasi manusia
mendominasi wacana mahasiswa dalam demonstrasi mereka. Namun, pada tahun 1990-1993
muncul isu bertema politik nasional dan demokrasi karena berdekatan dengan pemilihan
umum 1992.
Salah satu contoh gerakan kelompok studi adalah aksi mahasiswa yang memprotes
penggenangan Waduk Kedung Ombo sejak 14 Januari 1989. Menurut mahasiswa pemerintah
telah mengabaikan hak-hak warga korban penggusuran yang masih bertahan di lokasi.
Mereka menolak pindah karena kecilnya ganti rugi yang diberikan pemerintah. Kelompok
mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah mengabaikan hak-hak asasi manusia dari korban
Kedung Ombo. Maka sejumlah mahasiswa dari Salatiga, Yogyakarta, dan Surabaya
membentuk organisasi bernama Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedung Ombo.
Mereka kemudian melakukan investigasi pengumpulan data dan informasi sekaligus
melakukan advokasi terhadap warga korban pembangunan Kedung Ombo.
Tidak disangka, aksi-aksi ini kemudian mendapatkan tanggapan dari kelompok studi di
beberapa kota-kota seperti Bandung, Bogor, Malang, dan lain sebagainya. Ada kelompok
yang menyurati ketua DPR/MPR dan Presiden Soeharto tentang keresahan warga korban
Kedung Ombo.
7
Namun, ada juga kelompok-kelompok yang menggelar aksi unjuk rasa.Di lokasi Kedung
Ombo, mahasiswa asal Salatiga, Semarang, dan Yogyakarta juga melakukan aksi protes.
Tetapi aksi ini dibubarkan setelah mahasiswa diusir oleh aparat. Aksi protes pembangunan
Waduk Kedung Ombo ini kemudian dapat dihentikan setelah Kelompok Solidaritas Korban
Pembangunan Kedung Ombo dibubarkan aparat dan para aktivisnya
Isu yang paling banyak mendapatkan sorotan adalah tentang HAM yang berkisar
mengenai pelanggaran hak-hak politik dan demokrasi rakyat dan tindakan kekerasan aparat
terhadap aktivis mahasiswa. Isu kampus berada di urutan kedua biasanya mengangkat tentang
status kemahasiswaan, perubahan aspek kehidupan kampus, mahalnya biaya pendidikan, dan
korupsi birokrat kampus. Sedangkan isu tentang keadilan sosial seputar ekonomi, konflik
tanah, dan kemiskinan berada di urutan ketiga.
8
Baru pada awal tahun 1990-an muncul lebih banyak lagi organisasi mahasiswa yang
kemudian menjadi pelopor dalam Reformasi 1998. Organisasi ini sifatnya permanen maupun
nonpermanen, baik yang memanfaatkan organ intrakampus maupun yang ekstrakampus. Di
sinilah organisasi tingkat lokal mulai bergerak menuju nasional.
Dalam buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan: Gerakan Mahasiswa 1990-an,
setidaknya terdapat tiga kelompok organisasi mahasiswa. Pertama, adalah tipe organisasi
nonpermanen, temporer, dan terbentuk karena momentum politik atau mengangkat isu-isu
tertentu. Biasanya organisasi ini tidak memiliki mekanisme yang bertingkat sehingga dalam
pengampilan keputusan hanya ditentukan oleh perwakilan simpul massa atau komandan
kampus.
Atas dasar inilah berbagai organisasi kemudian saling menemukan beberapa unsur
yang saling bersamaan. Mereka inilah yang kemudian saling terkoordinasi dan membangun
jaringan antara sesamanya untuk menjadi satu organisasi nasional.
Contohnya adalah organisasi Ikatan Mahasiswa Solo yang memiliki kedekatan dengan
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, Solidaritas Mahasiswa Jakarta, Komite Perjuangan
Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia, dan Solidaritas Mahasiswa Semarang melakukan
pertemuan di Cisarua, Bogor pada November 1992. Kegiatan ini juga disponsori oleh Asia
Student Association yang bermarkas di Hong Kong.
Sepanjang pertengahan awal tahun 1990-an ada begitu banyak organisasi mahasiswa
tingkat lokal yang menggabungkan diri secara nasional berdasarkan unsur-unsur kesamaan
baik ideologi dan tujuannya. Organisasi-organisasi inilah yang kemudian perlahan bangkit
menjadi kekuatan dalam menurunkan pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998.
9
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Widiarsi, dkk. 2014. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama dalam
Sejarah Orde Baru. Jakarta: Tempo Publishing.
Rizkiandi, Rosidi. 2016. Kisah yang Tak Terungkap: Mahasiswa dalam Pusaran
Reformasi 1998. Jakarta: UI Press.
Sanit, Arbi. 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa antara Aksi
Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.
Wibisana, Teddy, dkk. 2022. Aldera, Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
10