Anda di halaman 1dari 56

PETA HPS

BUKU PANDUAN
KASTRAT INSTITUSI
IKATAN SENAT MAHASISWA KEDOKTERAN
INDONESIA WILAYAH 2
2018

1
DISUSUN OLEH :

Anggit Tresna Rengganis


Sekretaris Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Fona Qorina
Staff Ahli Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Achmad Bari A.
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Febrian RIzky Arilya


Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Bagas Pilar
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Farhan Azima
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Hana Oktarina
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Alhayandi Deu
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

Steven Marhance
Staff Ahli Bidang Health Policy Studies ISMKI Wilayah 2

2
DAFTAR ISI

HALAMAN
PERGERAKAN MAHASISWA DAN KASTRATISASI…………. 4
MANAJEMEN ISU………………………………………………… 10
KAJIAN…………………………………………………………….. 25
ADVOKASI………………………………………………………… 31
NEGOSIASI………………………………………………………… 37
MELOBI…………………………………………………………….. 41
PROPAGANDA…………………………………………………….. 47

3
PERGERAKAN MAAHSISWA
DAN KASTRATISASI
PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2

4
PERGERAKAN MAHASISWA DAN
KASTRATISASI

Gerakan mahasiswa. gerakannya yang massif dan berperan dalam mengoreksi


setiap penyimpangan sosial dan politik serta berani membela rakyat yang tertindas
atas dasar keadilan. Hal inilah yang memicu kuatnya identitas gerakan sosial pada
gerakan mahasiswa sehingga dapat menjadi kekuatan pendobrak dalam proses
perubahan di masyarakat. Sejarah telah mencatat bahwa gerakan mahasiswa memiliki
andil yang sangat besar pada beberapa proses transisi di negara ini.

A. Pergerakan Mahasiswa

Perjuangan Mahasiswa Indonesia, Apakah Cukup Sampai Disini? Pemuda dan


mahasiswa merupakan ujung tombak bagi perubahan bangsa ini. Pergerakan pemuda
di Indonesia sangat terlihat saat mengusir para kolonial di masa penjajahan. Peran-
peran para pemuda dan mahasiswa ketika beberapa peristiwa penting di Indonesia,
terutama saat sang elit sudah bersikap apatis kepada rakyatnya. Perjuangan
Mahasiswa bukan hanya muncul dan diinisiasi dari tahun 1945 saat Indonesia
Merdeka, namun jauh sebelum itu Indonesia memiliki pemuda dan penggerak yaitu
mahasiswa yang selalu menjunjung tinggi hak-hak warga, dan Negara Indonesia.

Pergerakan Mahasiswa di Indonesia sangat sulit untuk disaln dengan sebuah


tulisan, namun secara periode, periode yang sangat terlihat jelas menginisiasi adalah
periode Boedi Oetomo pada tahun 1908

1908 :

Munculnya kaum pelajar di karenakan adanya politik etis dari belanda yang
menerapkan prinsip edukasi, emigrasi, dan imigrasi. Munculnya kaum terpelajar turut
mendorong berkembangnya organisasi-organisasi sosial,seperti boedi oetomo

1928 :

Pada tahun 1922, sekumpulan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische


Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia kembali ke
tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia,
dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang
mempraktekkan ide-ide mereka dan dikenal amat berpengaruh karena keaktifannya
dalam diskursus kebangsaan saat itu. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi
Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia
(PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa
yang bersifat kebangsaan tahun 1926. Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa,
intelektual, dan aktivis pemuda itulah, generasi baru pemuda Indonesia muncul dan
tercetus Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

1945 :

5
Tokoh pemuda dalam angkatan ini adalah Chairul Saleh dan Sukarni, mereka
merupakan angkatan muda 1945 yang bersejarah, yang pada saat itu terpaksa
menculik dan mendesak. Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan
kemerdekaan, peristiwa ini yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.

1966 :

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat
dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah
Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional,
sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan.
Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar
kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI
Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari
HMI, dan lain-lain. Angkatan '66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten
negara.

1974 :

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974,
adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan
militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer. Pasca
peristiwa G30S, gerakan mahasiswa cenderung memakai konsep gerakan moral
(moral force). Munculnya peristiwa malari “malapetaka 15 januari “ tahun 1974.

1978 :

Setelah peristiwa “Malari”, dikeluarkan SK Pemerintah No. 028/1974 yang


memberi wewenang yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk
mengontrol aktivitas mahasiswa di kampus, pers mahasiwa harus diawasi oleh Menteri
Penerangan dan birokrat kampus, dan peraturan yang mengharuskan organisasi
mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk bergabung menjadi satu organisasi
yang diatur oleh rejim. Masa NKK/BKK, Munculnya PUOK “Pedoman Umum
Organisasi Kemahasiswaan”,.

1998 :

Badai krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997. Mahasiswa menemukan


momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut. Dalam kurun waktu
awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa
naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal. Pelaku
gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama
bergerak sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-
organisasi seperti Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Tanggal 13 Mei,
lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak digelar untuk menyatakan solidaritas
mempercepat proses turunnya Soeharto adalah pendudukan terhadap Gedung
MPR/DPR yang dilakukan oleh puluhan ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei 1998.
Akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari
jabatannya.

6
B. Definisi Mahasiswa

Mahasiswa adalah agent of change, agent of control dan banyak lagi pangkat
seorang mahasiswa saat ini yang penafsiran utama ialah mahasiswa hari ini adalah
kaca dari bangsa sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang. Artinya apabila kita
berfikir tentang beban dan tanggung jawab seorang mahasiswa, maka sangatlah berat
untuk mereka. Karena mahasiswa saat ini adalah mahasiswa yang akan menentukan
nasib bangsa di masa yang akan datang.

C. Fungsi Mahasiswa

 Agent of change:

Mahasiswa merupakan agen perubahan Lalu alasan selanjutnya mengapa kita


harus melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga
mutlak dan pasti akan terjadi walaupun kita diam. Bila kita diam secara tidak sadar kita
telah berkontribusi dalam melakukan perubahan, namun tentunya perubahan yang
terjadi akan berbeda dengan ideologi yang kita anut dan kita anggap benar.

 Iron Stock:

Mahasiswa merupakan para calon pemimpin, regenerasi dari generasi


sebelumnya. Jadi, mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa.Lantas
sekarang apa yang kita bisa lakukan dalam memenuhi peran Iron Stock tersebut ?
Jawabannya tak lain adalah dengan memperkaya diri kita dengan berbagai
pengetahuan baik itu dari segi keprofesian maupun kemasyarakatan, dan tak lupa
untuk mempelajari berbagai kesalahan yang pernah terjadi di generasi-generasi
sebelumnya untuk masa depan.

 Moral force:
Mahasiswa sebagai “moral force”, kita sebagai mahasiswa berperan sebagai
kekuatan moral. Gelar moral force ini diberikan kepada kita sebagai mahasiswa oleh
masyarakat, sebab kitalah yang akan menjadi kekuatan moral untuk negri. Kijta
sebagai mahasiswa harus memiliki acuan dasar dalam berprilaku. Acuan dasar itu
adalah tingkah laku, perkataan, cara berpakaian, cara bersikap, dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan moral yang baik. Semua acuan itu harus kita perbaiki agar
kita memiliki moral yang baik, bukanya moral yang buruk. Disinilah kita dituntut untuk
keintelektualan kita dalam kekuatan moral kita didalam masyarakat.

 Guardian of Value:

Mahasiwa sebagai “guardian of value”. Guardian of value artinya penjaga nilai-


nilai. Sesual dengan artinya disini kita sebagai mahasiswa berperan sebagai penjaga
nilai-niolai, nilai-nilai tersebut bukanlah nilai-nilai yang negative malainkan nilai-nilai
yang positif. Nilai positif yang bias membawa nagara ini lebih maju yaitu nilai
“kebaikan” nilai kebaikan yang dari dulu telah ada itu hilang, terus berubah menjadi
nilai keburukan kepada masyarakat Indonesia.

Kita sebagai mahasiswa telah dipercaya sebagai kalangan muda yang mampu
menjaga dan mencari nilai-nilai kebaikan yang lebih baik lagi. Sekarang ini sudah

7
banyak nilai-nilai keburukan yang ada dalam Negara kita seperti maraknya terjadi
korupsi oleh pejabat-pejabat besar, hukum-hukum yang berlaku dinegara ini bagaikan
pusau yang tajam kebawah dan tumpul keatas, maksudnya yaitu kalangan-kalangan
bawah yang ekonominya lemah yang mencuri sandal jepit hukumannya lebihberat
dibandingkan pejabat-pejabat tinggi yang telah melakukan korupsi, yang notabenenya
telah mengambil uang Negara. Maka dari itub kita sebagai mahasiswa harus bisa
menghilangkan budaya buruk seperti itu, dan kita harus menjaga nilai-nilai kebaikan
yang sudah ada agar kita bias mengarahkan Negara ini kearah yang lebih maju lagi.

Mahasiswa sendiri di tuntut untuk berpikir kritis, logis, dan solutif didalam setiap
kejadian. Halpen (1996) menyatakan berpikir kritis adalah memberdayakan
keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses berpikir kritis ini
sebelumnya harus melali beberapa tahap yaitu menentukan tujuan,
mempertimbangkan dan mengacu langsung kepada sasaran merupakan bentuk
berpikir yang perlu dikembangkn untuk memecahkan masalah, merumuskan
kesimpulan dan lain-lain. dan membuat keputusan ketika menggunakan semua
keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat.

Keterampilan berpikir kritis sangat penting bagi siswa karena dengan


keterampilan ini siswa mampu bersikap rasional dan memilih alternatif pilihan yang
terbaik bagi dirinya. Siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis akan selalu
bertanya pada diri sendiri dalam setiap menghadapi segala persoalannya untuk
menentukan yang terbaik bagi dirinya. Demikian juga jika siswa yang memiliki
keterampilan berpikir kritis akan terpatri dalam watak dan kepribadiannnya dan
terimplementasi dalam segala aspek kehidupannya

Kastrat adalah wadah bagi terlaksananya pergerakan mahasiswa dimana


kastrat ini memiliki tugas mengolah data yang telah terkumpul lalu menganalisis dan
menjadikan hasil dari analisis tersebut sebagai sikap, dilanjutkan melakukan strategi
untuk aksi atau gerakan yang berbentuk propaganda atau pencerdasan , audiensi dan
advokasi .

D. Definisi Kastrat

10 Strategis ( Kastrat ) merupakan suatu bidang yang memiliki fokus terhadap


isu- isu yang berkembang dalam lingkup program studi, fakultas, universitas,
Indonesia, hingga internasional baik isu kedokteran maupun non-kedokteran dengan
cara mengkaji dan mengolah data dan informasi yang telah didapatkan melalui
sumber- sumber terpercaya dan terbaru utntuk kemudian disajikan sebagai sikap
dalam bentuk aksi atau advokasi gerakan.

E. Fungsi Kastrat

Kastrat memilii beberapa fungsi yang akan harus diterapkan yaitu:

1. Fungsi analisis isu

kastrat harus memiliki kemampuan analisis untuk menganalisis isu kebijakan


yang tersebar di Indonesia, sebelumnya kastrat harus dapat memilah isu yang beredar

8
terlebih dahulu untuk kemudian di lanjut dengan menganalisisnya. Analisa yang
dihasilkan akan menjadi basic untuk menentukan sikap terhadaap isu tersebut.

2. Fungsi penyikapan isu

penyikapan isu dilakukan dengan menentukan apakah menolak atau menerima


kebijakan yang terdapat di isu tersebut berdasarkan analisis yang telah dilakukan.
Penyikapan isu ini dilakukan untuk menentukan langkah apa yang akan diambil
selanjutnya.

3. Fungsi perencanaan strategi gerakan

kastrat juga diperlukan untuk membuat sebuah rancangan strategi yang


menjadi langkah selanjutnya dari analisis isu. Yang dimaksud strategi disini adalah
detail skema yang dibuat untuk melkukan pergerakan. Di sini, Kastrat perlu
merumuskan posisi organisasi, momentum-momentum, hingga langkah taktis yang
akan diambil ketika bergerak.

4. Fungsi pengembangan wacana intelektual

Fungsi ini untuk mengembangkan wacana wacana yang dimiliki seorang kastrat
demi menunjang dan memperkaya gerakan. Pengembangan wacana ini dapat
dilakukan dengan format pengayaan pengetahuan bagi organisasi, upgrading
kapasitas intelektual, hingga pewacanaan isu gerakan secara publik dalam bentuk
diskusi dan seminar. Di sini, Kastrat akan bertindak punya peran untuk menawarkan
wacana baru sebagai alternatif dari kebijakan yang dikritik. Proses pewacanaan
tersebut dapat dilakukan melalui diskusi-diskusi publik, seminar, kertas kerja, media,
hingga penerbitan buku yang merangkum gagasan-gagasan kritis mahasiswa.

9
MANAJEMEN ISU

PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2 2018

10
MANAJEMEN ISSUE
1. Definisi Manajemen Issue

Terminologi “issues management” pertama kali dipublikasikan oleh W. Howard


Chase pada tanggal 15 April 1976 dalam newsletter-nya “Corporate Public Issues and
Their Management” Volume 1 No. 1. “Manajemen issue adalah proses manajemen
yang tujuannya membantu melindungi pasar, mengurangi resiko, menciptakan
kesempatan- kesempatan serta mengelola imej sebagai sebuah aset organisasi bagi
manfaat keduanya, organisasi itu sendiri serta stakeholder utamanya, yakni
pelanggan/konsumen, karyawan, masyarakat dan para pemegang saham”. (Caywood,
1997:173)

Para pakar PR Indonesia mengartikan manajemen issue sebagai “fungsi


manajemen yang mengevaluasi sikap masyarakat, baik internal maupun eksternal,
mengidentifikasi hal-hal atau masalah yang patut dikhawatirkan dan melakukan usaha-
usaha ke arah perbaikan”. Selain itu, mereka juga mengartikannya sebagai “suatu
usaha aktif untuk ikut serta mempengaruhi dan membentuk persepsi/pandangan/opini
dan sikap masyarakat yang mempunyai dampak terhadap perusahaan”.
(Wongsonagoro, 1995)

2. Pengertian Issue

Kita tidak akan mudah memahami terminologi “Manajemen Issue” di atas tanpa
mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan issue (bukan terjemahan dari
gossip/ rumour).

Menurut dua pakar di AS, Hainsworth dan Meng, sebuah issue muncul “sebagai
suatu konsekuensi atas beberapa tindakan yang dilakukan, atau diusulkan untuk
dilakukan, oleh satu atau beberapa pihak yang dapat menghasilkan negosiasi dan
penyesuaian sektor swasta, kasus pengadilan sipil atau kriminal, atau dapat menjadi
masalah kebijakan publik melalui tindakan legislative atau perundangan.” Chase &
Jones menggambarkan “issue” sebagai ‘sebuah masalah yang belum terpecahkan
yang siap diambil keputusannya’ (‘an unsettled matter which is ready for decision’).
Pakar lain mengatakan bahwa dalam bentuk dasarnya, sebuah “issue“ dapat
didefinisikan sebagai ‘sebuah titik konflik antara sebuah organisasi dengan satu atau
lebih publiknya’ (‘a point of conflict between an organization and one or more of its
audicences’). (Regester & Larkin, 2003:42). Sementara Heath & Nelson (1986)

11
mendefinisikan “issue” sebagai ‘suatu pertanyaan tentang fakta, nilai atau kebijakan
yang dapat diperdebatkan’ (‘a contestable question of fact, value or policy’).

Definisi sederhana lainnya menurut Regester & Larkin (2003:42) bahwa sebuah
“issue“ merepresentasikan ‘suatu kesenjangan antara praktek korporat dengan
harapan-harapan para stakeholder’ (‘a gap between corporate practice and
stakeholder expectations’). Dengan kata lain, sebuah issue yang timbul ke permukaan
adalah suatu kondisi atau peristiwa, baik di dalam maupun di luar organisasi, yang jika
dibiarkan akan mempunyai efek yang signifikan pada fungsi atau kinerja organisasi
tersebut atau pada target-target organisasi tersebut di masa mendatang.

Dari berbagai definisi di atas, terlihatlah bahwa pengertian “issue” menjurus


pada adanya masalah dalam suatu organisasi yang membutuhkan penanganan. Cara
menangani issue tersebut yang pada akhirnya memunculkan teori dan proses
“manajemen issue”.

Contoh-contoh yang menyebabkan perlunya manajemen issue termasuk


prospektif bagi perundang-undangan yang baru, suatu opini atau klaim yang didukung
oleh media ataupun saluran lainnya, perkembangan yang kompetitif, riset yang
dipublikasikan, sebuah perubahan dalam kinerja atau kegiatan organisasi itu sendiri
atau individu maupun kelompok yang terkait dengan organisasi tersebut.

Iii. Tahapan issue dan hubungannya dengan krisis TAHAP 1 – Sumber: Issue
Potensial

“Sebuah issue muncul ke permukaan ketika sebuah organisasi atau kelompok


merasa berkepentingan terhadap suatu masalah (atau kesempatan) yang terlihat
seperti konsekuensi perkembangan tren politik atau undang-undang, ekonomi dan
sosial. (Crabble & Vibert, 1985). Dari sudut pandang manajemen, tren harus
diidentifikasi sebagai asal kemunculan issue. Biasanya tren teridentifikasi di kalangan
akademisi atau para pakar yang berpartisipasi dalam kelompok kerja, unit kebijakan
dan perencanaan yang mungkin menyadari beberapa masalah, situasi atau peristiwa
yang berpotensi memiliki dampak serta membutuhkan respon dari sebuah institusi,
organisasi, industri atau kelompok lain.

Issue mulai menguat ketika suatu organisasi/kelompok berencana untuk melakukan


sesuatu yang memiliki konsekuensi bagi orang atau kelompok lain. Kesadaran dan
perhatian pada pihak suatu kelompok menyebabkan keputusan mereka untuk
“melakukan sesuatu”. Di sini garis sudah tergambar dan konflik mulai timbul.

Jadi yang kita lihat dalam tahap awal ini adalah kondisi/peristiwa nyata yang

12
mempunyai potensi untuk berkembang menjadi sesuatu yang penting. Bagaimanapun
juga tipe issue yang ada dalam fase ini biasanya belum terlihat oleh para pakar atau
perhatian publik, walaupun beberapa ahli sudah mulai menyadari kehadiran issue
tersebut.

Pada tahap 1, beberapa kelompok atau individu secara umum mulai


menetapkan suatu target kredibilitas tertentu dalam perhatian mereka serta mencari
dukungan dari para pembentuk opini yang dapat terlibat pada tingkatan tertentu dalam
masalah tersebut. Pada poin ini, umumnya mereka yang terlibat merasa sedikit sulit
mengenali bahwa sebuah konflik mungkin timbul.

TAHAP 2 – Mediasi dan Penguatan Suara: Issue yang Muncul ke Permukaan

Ketika beberapa kelompok muncul dan garis telah tergambar, suatu proses
mediasi dan penguatan suara hadir di antara para individu dan kelompok yang
mungkin memiliki pandangan sama dan mungkin diharapkan untuk bereaksi dalam
cara yang sama. Awalnya, hal ini terjadi di dalam media spesialis yang relevan dari
kelompok- kelompok yang berkepentingan, industri, profesi dan lainnya dengan opini,
nilai atau kepentingan yang dapat diperbandingkan. Ketika momentum terbentuk di
dalam media massa, issue berkembang menjadi sebuah issue publik yang dapat
menjadi bagian dari proses kebijakan publik.

Tahap pemunculan issue ini mengindikasikan peningkatan bertahap pada


tingkat tekanan terhadap organisasi tersebut untuk menerima issue. Dalam banyak
kasus, peningkatan ini adalah hasil dari kegiatan oleh satu atau beberapa kelompok
ketika mereka mulai mendorong atau melegitimasi issue.

Pada tahap perkembangan issue ini, masih relatif mudah bagi organisasi untuk
ikut campur dan memainkan peranan proaktif dalam pencegahan atau
pengeksploitasian perkembangan issue tersebut. Bagaimanapun juga, sulit untuk
menentukan apakah issue tersebut penting atau tidak, dan kadang-kadang issue
tersebut dibiarkan menguap begitu saja karena manajemen lebih memperhatikan
masalah lain yang dianggap lebih penting. Meski sulit untuk mengetahui apakah issue
tersebut tak berkembang atau justru meningkat intensitasnya, namun pihak
manajemen seharusnya tidak berdiam diri saja.

Faktor dominan dalam perkembangan issue dalam fase ini adalah liputan
media. Sebelum issue mencapai tahap berikutnya, mereka yang terlibat kadang-
kadang mencoba untuk menarik perhatian media sebagai alat untuk mempercepat
perkembangan issue. Liputan ini akan menjadi faktor penting yang harus

13
dipertimbangkan sebagai penyebab issue berkembang.

Tahap ini sangat penting karena memiliki efek mempercepat perkembangan


issue. Karena itu sangat penting bagi perusahaan yang menjadi target untuk
melakukan monitor yang reguler dan efektif terhadap lingkungan bisnis, peraturan
perundangan dan sosial dalam rangka mengidentifikasi issue tahap 2 serta mulai
memformulasikan rencana tindakan untuk mengelola issue tersebut.

TAHAP 3 – Organisasi: Issue yang Tengah Berlangsung dan Issue Krisis

Mediasi membawa tingkatan beragam terhadap organisasi. Posisi-posisi


menguat. Beberapa kelompok mulai mencari resolusi atas konflik tersebut, baik
resolusi yang dapat diterima menurut kepentingan mereka atau setidaknya yang dapat
meminimalkan kerusakan potensial.

Dalam proses kebijakan publik, masyarakat atau para kelompok ini harus dilihat
sebagai sesuatu yang dinamis. Seringkali mereka adalah kelompok-kelompok yang
terdiri dari para individu dengan tingkat komitmen beragam yang menghadapi suatu
problem yang sama, menyadari bahwa problem tersebut hadir dan mereka bersatu
dengan beberapa cara untuk melakukan sesuatu terhadap problem tersebut.
Kelompok-kelompok ini tidak statis dan tingkat organisasi mereka, pendanaan serta
pengetahuan akan medianya sangat beragam. Mereka mungkin adalah jaringan
informal yang terdiri dari orang-orang yang berbagi informasi melalui internet dalam
mencari resolusi atas suatu konflik, atau mereka bisa sangat terorganisir, saling
berhubungan dengan baik, serta didanai oleh suatu komitmen yang intens dan fokus.

Ketika kelompok-kelompok ini menggerakkan sudut pandang dan tujuan


mereka serta mencari cara mengkomunikasikan posisi mereka, konflik mencapai
tingkat yang terlihat oleh publik yang akhirnya mendorong issue tersebut ke dalam
proses kebijakan publik. Selanjutnya, perhatian publik yang meningkat memotivasi
para pemimpin berpengaruh untuk menjadi bagian dari konflik yang timbul dan
tekanan terhadap institusi terkait untuk mencari resolusi atas konflik tersebut pun
meningkat.

Pada fase “tengah berlangsung”, issue telah berkembang dan menunjukkan


potensi penuh terhadap mereka yang terlibat. Menjadi sulit untuk mengubah issue
karena ia sudah menjadi permanen dan menyebar dengan intensitas yang meninggi.
Pihak-pihak berbeda yang terlibat menyadari pentingnya issue tersebut dan sebagai
respon, menekan institusi peraturan perundangan agar turut terlibat.

14
Seperti yang digambarkan oleh diagram siklus issue, hampir tidak ada waktu
ketika issue berubah dari status “tengah berlangsung” menjadi “krisis” untuk mencapai
institusi formal seperti otoritas peraturan perundangan yang memiliki kekuasaan untuk
ikut campur dan memaksakan batasan terhadap organisasi/industri tersebut sebagai
cara untuk meredakan situasi. Contohnya adalah ketika Exxon Corporation di tahun
1989 menumpahkan minyak mentah di perairan dekat California, A.S. sehingga
mengakibatkan perubahan kebijakan publik bahwa setiap tanker pengangkut minyak
mentah yang melewati laut harus dirancang memiliki dua badan kapal.

TAHAP 4 – Resolusi: Issue Laten

Sekali issue mendapatkan perhatian publik secara resmi dan memasuki proses
kebijakan, baik melalui perubahan peraturan perundangan atau ketetapan, usaha
untuk meredakan konflik menjadi lebih lama serta mahal. Objek dari proses kebijakan
publik adalah pemaksaan atas pembatasan yang tidak dikondisikan kepada seluruh
pihak terhadap konflik tersebut, baik untuk keuntungan atau untuk kerugian mereka.

Jadi sekali issue telah menjalani siklus penuh, ia akan mencapai ketinggian dari
tekanan yang memaksa sebuah organisasi untuk menerimanya tanpa persiapan.
Akhirnya, sebuah issue yang dibiarkan saja atau terlambat diidentifikasi sehingga
terlanjur berkembang dan mencapai siklus yang penuh akan berubah menjadi krisis.

Iv. Langkah-langkah pengendalian dan pengelolaan issue.


Model Proses Manajemen Issue dari Chase & Jones
 (Regester & Larkin, 2003:59-60;
Chase, 1984:38-68; Harrison, 2001) a. Identifikasi Issue:

Tujuan utama identifikasi issue adalah untuk menempatkan prioritas awal atas
berbagai issue yang mulai muncul. Issue-issue tersebut dapat diklasifikasikan
berdasarkan:

Jenis: sosial, ekonomis, politis, teknologis

Sumber Respon: sistem bisnis, industri, perusahaan, anak perusahaan,


departemen

Geografi: internasional, nasional, regional, daerah, lokal

Jarak terhadap kontrol: tak terkontrol, agak terkontrol, terkontrol

Kepentingan: segera, penting

15
Faktor seperti tingkat dampak serta kemungkinan bahwa issue akan berkembang
dalam periode waktu yang dapat diprediksi juga harus dipertimbangkan.

b. Analisis Issue:

Setelah issue yang muncul diidentifikasi dan diprioritaskan, tahap kedua


dimulai. Tujuannya adalah menentukan asal issue tersebut yang seringkali sulit karena
biasanya issue tidak muncul hanya dari satu sumber saja. Untuk itu, sebaiknya
diadakan riset kualitatif dan kuantitatif. Pengalaman organisasi di masa lampau dan
saat ini baik internal maupun eksternal juga harus disertakan. Menganalisa situasi saat
ini akan menentukan intensitas issue yang tengah berlangsung.

Riset aplikasi tentang hubungan issue terhadap perusahaan harus ditargetkan


pada para pembentuk opini dan penanggungjawab media. Tahap riset dan analisa
awal ini akan membantu mengidentifikasi apa yang dikatakan oleh para individu dan
kelompok berpengaruh tentang issue-issue dan memberikan ide yang jelas pada
manajemen tentang asal serta perkembangan issue-issue tersebut.

Pengecekan terhadap posisi perusahaan pada saat ini serta kekuatan dan
kelemahannya dalam memposisikan diri untuk berperan dalam pembentukan issue
akan membantu untuk memberikan fokus yang jelas bagi tahap perencanaan tindakan.

c. Pilihan Strategi Perubahan Issue:


Tahap yang melibatkan pembuatan keputusan-keputusan dasar tentang respon


organisasi. Terdapat tiga pilihan untuk menghadapi perubahan tersebut sebagai
berikut:

1) Strategi Perubahan Reaktif:

Mengacu pada keengganan suatu organisasi untuk berubah dengan penekanan pada
melanjutkan sikap lama, contohnya dengan berusaha untuk menunda keputusan
kebijakan publik yang tidak bisa dihindari. Keengganan untuk berubah ini jarang
menyisakan ruang bagi kompromi terhadap masalah legislatif.

2) Strategi Perubahan Adaptif:

Menyarankan pada keterbukaan terhadap perubahan serta kesadaran bahwa


hal ini tidak bisa dihindari. Pendekatan ini berlandaskan pada perencanaan untuk
mengantisipasi perubahan serta menawarkan dialog konstruktif untuk menemukan
sebuah bentuk kompromi atau akomodasi.

16
3) Strategi Respon Dinamis:

Mengantisipasi dan mengusahakan untuk membentuk arah keputusan


kebijakan publik dengan menentukan bagaimana berkampanye melawan issue akan
dilakukan. Pendekatan ini menjadikan organisasi sebagai pelopor pendukung
perubahan.

d. Pemrograman Tindakan terhadap Issue:

Setelah memilih satu dari ketiga pendekatan di atas untuk merespon setiap
issue, organisasi harus memutuskan kebijakan yang mendukung perubahan yang
diinginkan untuk masuk ke tahap keempat. Tahap ini membutuhkan koordinasi
sumber-sumber untuk menyediakan dukungan maksimal agar tujuan dan target dapat
tercapai.

e. Evaluasi Hasil:

Akhirnya, dibutuhkan riset untuk mengevaluasi hasil program yang didapat


(actual) dibandingkan dengan hasil program yang diinginkan. Regester& Larkin
(2003:60-61) mengingatkan bahwa semakin lama issue bertahan, semakin sedikit
pilihan yang tersedia dan semakin mahal biayanya.

3. Pengendalian dan Pengelolaan Issue

Proses tambahan bagi model manajemen issue dalam Modul 1 (siklus issue
dari Hainsworth & Meng) dapat dipetakan untuk menggambarkan peran pembuatan
keputusan manajemen pada setiap fase (Regester & Larkin, 2003:99-102):

a. Fase Kesadaran:

dipetakan pada tahap 1 dari siklus issue – issue potensial. Di sini, penekanan dalam
tim manajemen adalah pada mendengarkan dan mempelajari. Mereka yang terlibat
harus terjaga, terbuka, rendah hati, penasaran serta tertantang. Latar belakang
informasi dan riset harus digunakan selengkapnya serta mengadakan pemonitoran
infrastruktur.

b. Fase Eksplorasi:

Tahap ini mengindikasikan urgensi yang meningkat terhadap pentingnya issue.


Tanggungjawab khusus harus dibagikan, kesadaran organisasi ditingkatkan dan
proses analisa serta pembentukan opini dimulai. Suatu gugus tugas dapat dibentuk

17
untuk memudahkan alokasi tanggungjawab. Berikut adalah karakteristik contoh gugus
tugas:

Senioritas untuk mengambil keputusan, mengalokasikan sumber serta


mengarahkan implementasi program. Ukuran disiplin direpresentasikan dan akses
yang sesuai atas informasi untuk tujuan pengambilan keputusan. Akses yang mudah
untuk mengatur rapat serta ‘jaringan’ informasi; fleksibilitas dan informalitas dalam
metode bekerja. Kemampuan untuk mengkombinasikan keahlian analitis dan kreatif
dengan tindakan serta pengambilan keputusan yang terfokus dan cepat.

Meminimalisir arus kertas untuk menghindari birokrasi, respon yang lamban


serta kebocoran informasi yang sensitif. Kesadaran yang lebih luas atas issue tersebut
di dalam perusahaan ditingkatkan pada tahap ini dan analisis serta proses
pembentukan opini dimulai.

c. Fase Pembuatan Keputusan:

Pada tahap ini perusahaan harus mempertimbangkan tindakan. Tim


manajemen harus mengukur dan memutuskan secara objektif terhadap beberapa
alternatif yang diperlihatkan seraya mendorong pemikiran yang luas dan kreatifitas
dalam memformulasikan suatu rencana tindakan.

d. Fase Implementasi:


Tahap ini melibatkan pengambilan langkah-langkah yang sesuai untuk


membuat keputusan manajemen dilaksanakan.

e. Fase Modifikasi:


Pengukuran dan evaluasi dari tindakan yang tengah dijalankan serta hasilnya,
sehingga penyesuaian atau perbaikan terhadap rencana tindakan dapat dibuat.

f. Fase Penyelesaian:

Tahap ini adalah periode relaksasi yang harus menurunkan tingkat keterlibatan
manajemen senior. Kegiatan kunci melibatkan delegasi yang sesuai dan menjamin
implementasi atas perubahan yang dihasilkan manajemen dalam organisasi

Kerry Tucker & Bill Trumpfheller (Regester & Larkin, 2003:102-112),


menetapkan sebuah rencana lima langkah untuk membantu mencanangkan sebuah
sistem manajemen issue yang telah berhasil dipraktekkan di lapangan:

18
a. Mengantisipasi issue dan menetapkan prioritas

Membentuk gugus tugas internal, berdasarkan kerangka pendekatan dalam


proses terdahulu merupakan titik awal vital. Sesi pertukaran pikiran dan analisa
database harus memfokuskan pada penjawaban pertanyaan-pertanyaan berikut:

Siapa kompetitor langsung dan tak langsung serta faktor sosial atau regulasi apa yang
harus kita hadapi?

Perubahan apa yang harus kita antisipasi dalam pasar serta dalam lingkungan politis
dan sosial yang lebih luas 12 bulan mendatang dan masa-masa ke depan?

Faktor-faktor apa yang mungkin berdampak pada cara kita bekerja?

Peristiwa khusus apa yang mungkin terjadi dan memiliki dampak pada kemampuan
kita untuk memelihara dan mengembangkan pasar kita?. Sekali issue-issue ini dapat
teridentifikasi, kita dapat menempatkan prioritas dan mengambil keputusan tentang
berapa lama dan berapa besar sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi issue-
issue tersebut.

b. Menganalisa Issue

Kembangkan analisa issue yang singkat dan formal, lihatlah pada kesempatan-
kesempatan serta ancaman terhadap serangkaian skenario yang berbeda. Hal ini
harus mencakup apa yang terjadi bila issue dibiarkan, serta pengukuran bagaimana
khalayak kunci mungkin terkena dampak oleh issue tersebut. Juga harus ada
ringkasan kemana arah issue mungkin berkembang. Hal ini akan memberikan pada
manajemen pandangan yang luas atas issue serta efeknya pada sejumlah area seperti
penempatan posisi produk di pasar, kinerja keuangan, reputasi perusahaan serta
prospektif bagi regulasi atau bahkan pengadilan.

c. Merekomendasikan posisi organisasi terhadap issue

Analisa dari langkah sebelumnya harus menyediakan database untuk


mengembangkan suatu posisi yang direncanakan untuk menciptakan dukungan
mayoritas terbesar dari para individu atau kelompok-kelompok yang terkena dampak.
Database tersebut dibentuk berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:

Siapa yang terkena dampak?

Bagaimana kelompok atau para individu yang terkena dampak ini memandang issue

19
tersebut?

Apa kemungkinan posisi dan kecenderungan sikap mereka?
 Apa informasi/data yang
dapat kita kumpulkan untuk mendukung kasus kita?

d. Mengidentifikasikan kelompok dan pembentuk opini yang dapat memperbaiki posisi


kita

Kelompok-kelompok dan para individu ini akan terlihat melalui pertanyaan


berikut: Siapa yang membuat keputusan atas issue tersebut?
 Siapa yang mungkin
mendukung posisi kita?
 Siapa yang mungkin tidak akan mendukung posisi kita?

Siapa yang dapat menjadi target kita untuk membuat perubahan terbesar dalam
memperbaiki posisi kita?

Jika mungkin, riset harus dilaksanakan untuk memvalidasikan asumsi yang


dibuat tentang kelompok-kelompok selama tahap analisa. Para pembentuk opini,
diikuti oleh industri berpengaruh atau asosiasi karyawan, konsumen dan kelompok -
kelompok berkepentingan serta media massa yang sudah mendapatkan informasi,
dapat menjadi pendukung kuat dalam berurusan dengan khalayak yang bervariasi,
serta kriteria untuk menyeleksi mereka termasuk:

Siapa yang dimintai nasehat/saran oleh anggota kelompok target kita atas issue
tersebut?

Siapa yang akan dipercayai oleh komunitas (konsumen, pelanggan) dan masyarakat
luas atas issue tersebut?

Siapa yang mempunyai kredibilitas paling baik untuk memperbaiki posisi kita terhadap
issue tersebut?

Siapa yang mungkin terbuka terhadap posisi kita atas issue tersebut?

e. Mengidentifikasi sikap yang dikehendaki

Hal ini merupakan poin yang sering gagal diperhatikan. Memperbaiki sikap
khusus yang berhubungan dengan posisi perusahaan akan membawa perkembangan
pada sisa proses perencanaan, yakni: strategi komunikasi dan pemasaran, tujuan,
target, pesan, taktik, alokasi sumber daya serta anggaran.

Akhirnya, evaluasi kemajuan harus dimasukkan ke dalam rencana untuk


menjamin bahwa target-target kunci dipenuhi, arah issue tergambarkan serta

20
penyesuaian- penyesuaian dibuat jika memungkinkan. Implementasi kegiatan-
kegiatan berikut ini sedini mungkin baik untuk memperoleh inisiatif dan perlindungan
terhadap berbagai perkembangan yang tidak diharapkan:

1) Pembentukan gugus tugas:


Identifikasikan gugus tugas yang berpengalaman/berasal dari sumber yang sesuai


untuk menggambarkan serta mengelola strategi respon terhadap issue.
 Menjaga
pendekatan yang fleksibel dan kreatif untuk mempertimbangkan ukuran perlawanan,
perubahan regulasi serta inisiatif untuk posisi perusahaan yang positif.

Berpikir secara positif dan proaktif secara menyeluruh, sangat mudah terjebak
menggunakan strategi defensive sehingga kehilangan kesempatan untuk
mengamankan atau memperoleh kesempatan dukungan dari pra pembentuk opini,
media serta publik.

2) Pertukaran pikiran dan analisa yang cerdas:


Memonitor, mengumpulkan dan memeriksa kembali data/riset yang relevan.


Menilai kegiatan kompetitor/regulasi secara konstan serta merujuk pada pengalaman
praktis yang sama dari perusahaan-perusahaan lain sebagai petunjuk pendekatan.
Memperoleh dan memonitor publikasi rekanan/publikasi para pakar yang relevan
sedini mungkin untuk penilaian dan tindakan yang dibutuhkan; kejarlah bisnis serta
media massa yang lebih luas.

3) Juara issue:

Salah satu cara mengelola kebutuhan bagi pengumpulan dan analisis data
adalah dengan menugaskan tiap issue kepada seseorang di dalam organisasi yang
berpengalaman sesuai. Pakar-pakar internal ini, para “juara issue”, harus bertindak
sebagai sumber informasi yang bisa dipercaya untuk membantu gugus tugas dan
manajemen lain dalam perencanaan serta koordinasi aktivitas-aktivitas terkait.

4) Materi latar belakang untui briefing:

Siapkan informasi latar belakang yang relevan dengan pemosisian organisasi


yang diinginkan seperti pesan-pesan kunci, latar belakang perusahaan/produk/servis,
Q&A, kontak referensi dan database riset, perlengkapan contoh presentasi, dan lain-
lain.

5) Database riset:

21
Dalam sektor industri dimana ada potensi bagi resiko terhadap kesehatan,
keamanan publik atau lingkungan, penting untuk membuat dan menyimpan database
teknis dan ilmiah tentang berbagai informasi yang terkait, contohnya keamanan jangka
panjang sebuah obat, ketatnya sistem pemonitoran higienis dalam pemrosesan
makanan, frekuensi pengecekan keamanan rutin serta peristiwa aktual yang terjadi
pada fasilitas manufaktur, penggunaan pakar audit keamanan dan penilaian dampak
independen untuk mendorong teknik praktek terbaik agar meminimalkan resiko
kebocoran kimiawi atau minyak, dan lain-lain.

6) Manajemen hubungan:


Membangun kesamaan dini melalui pengembangan dan pengelolaan hubungan


berpengaruh dengan:


 Para akademisi pendukung serta pembentuk opini lainnya


 Wartawan yang terpelajar

 Otoritas regulasi


 Asosiasi industri dan karyawan

 Unit-unit kebijakan


 Kelompok politis pada tingkat lokal, nasional dan internasional


 Kelompok-kelompok lokal dan kelompok-kelompok penekan/berkepentingan


lainnya

Lakukan hubungan melalui kontak dan briefing informal; distribusi informasi;


pensponsoran program-program pendidikan serta riset, dan lain-lain. Kelompok-
kelompok di atas berkomunikasi secara formal dan informal bersamaan, sehingga
penting untuk memahami relasi di antara mereka serta potensi bagi agenda-agenda
umum atas issue yang terkait dengan pemosisian organisasi. Cobalah untuk menilai
persepsi/opini mereka atas issue-issue potensial dengan mengklasifikasikan mereka
ke dalam kelompok positif/netral/negatif.

7) Pengembangan pembentuk opini:

Kontak dan bangun hubungan dengan para pembentuk opini potensial suportif
yang bisa menjadi pendukung independent dan berpengaruh terhadap pemosisian
perusahaan yang diinginkan. Pertimbangkan penggunaan taktik seperti pensponsoran

22
riset dan publikasi, undangan untuk menghadiri simposium, atur atau berikan data
pada rapat- rapat serta diskusi meja bundar jika memungkinkan.

8) Program informasi/pendidikan:

Membangun dukungan pada lapisan paling bawah melalui pengorganisasian


rapat komunitas, korespondensi, roadshow serta penyediaan pelatihan/bantuan
pendidikan untuk mendorong pemahaman dan minat yang lebih efektif. Kegiatan yang
serupa dapat dipertimbangkan bagi kelompok-kelompok pelanggan dan pemasok.

9) Masalah regulasi:

Persiapkan diri untuk merespon secara proaktif terhadap pertanyaan-


pertanyaan peraturan potensial yang terkait dengan kinerja organisasi, produk &
servis. Siapkan respon dan kembangkan informasi terkini yang relevan yang dapat
dikirimkan secra teratur kepada otoritas yang sesuai. Organisasikan program rapat
untuk membangun hubungan serta menetralkan pelaporan tak menyenangkan yang
potensial.

10) Manajemen media:

Bekerja sama dengan berbagai media massa (spesialis atau umum pada tingkat
nasional/ regional/internasional) secara proaktif dengan membangun kontak, menjamin
ketersediaan juru bicara, mengeluarkan pernyataan pers, surat kepada publikasi
spesialis, artikel bylined, briefing dan lokakarya media.

Monitor liputan editorial dan jurnalis individual atau publikasi bagi kepentingan
tertentu; klasifikasikan ke dalam sikap editorial yang positif/netral/negatif dengan
menggunakan ongoing basis dan segera ikuti dengan pernyataan penting. Melatih juru
bicara yang sesuai, perusahaan, teknis dan pemasaran, bahkan pembentuk opini
independen yang mendukung jika memungkinkan.

11) Pendekatan “glocal”:

Bertindak secara lokal namun berpikir secara global dalam mengelola issue.
Pertimbangkan implikasi bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
serupa, juga industri secara keseluruhan, untuk memutuskan apakah pendekatan
koalisi mungkin lebih efektif. Harus menyadari ketika dampak sebuah issue terjadi di
suatu pasar, akan dapat melintasi perbatasan nasional serta mulai secara cepat di
negara-negara lain ketika agenda politis lokal atau kompetitor dapat menyebabkan
ancaman-ancaman baru.

23
DAFTAR REFERENSI

1. Caywood, Clarke L., Ph.d, Ed. The Handbook of Strategic Public Relations &
Integrated Communications. U.S.A: McGraw-Hill, 1997. 


2. Chase, W. Howard. Issue Management: origins of the future. U.S.A.: Issue Actions
Publications Inc., 1984. 


3. Crable, R.E., Vibert, S.L., ‘Managing Issues & Influencing Public Policy’, Public
relations Review, Summer 1985. 


4. Gregory, Anne. Perencanaan dan Manajemen Kampanye Public Relations.


Terjemahan Dewi Damayanti, S.S., M.Sc. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004. 


nd
5. Harrison, Kim. Strategic Public Relations: A Practical Guide to Success – 2
Edition. Vineyard Publishing, 2001. 


6. Heath, R.L., Nelson, R.A., Issue Management. Newbury Park: 1986. 


7. Kasali, Rhenald. Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.



 Jakarta: PT. Pusaka Utama Grafiti, 2003. 


8. Putra, I Gusti Ngurah. Manajemen Hubungan Masyarakat. Yogyakarta: Universitas


Atma 
 Jaya Yogyakarta, 1999. 


9. Regester, Michael, Judy Larkin. Risk Issues and Crisis Management in Public
Relations. 
 New Delhi: Crest Publishing House, 2003. 


10.White, John, Laura Mazur. Strategic Communications Management: Making Public


Relations Work. Great Britain: Addison-Wesley Publishers Ltd., 1995.

11.Wongsonagoro, Maria. “Crisis Management & Issues Management” (The Basics of


Public Relations). Jakarta: IPM Public Relations, 24 Juni 1995.

24
KAJIAN

PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2 2018

25
KAJIAN

I. Definisi Kajian

T1.1 Definisi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI)


kaji1/ka·ji/ n

1 pelajaran (agama dan sebagainya);


2 penyelidikan (tentang sesuatu);

mengkaji/meng·ka·ji/ v
1 belajar; mempelajari;
2 memeriksa; menyelidiki; memikirkan (mempertimbangkan dan
sebagainya); menguji; menelaah: ~ baik buruk suatu perkara;

terkaji/ter·ka·ji/ v
dapat diperiksa (dapat diduga, diselidiki, ditelaah):

kajian/ka·ji·an/ n
hasil mengkaji;

pengkajian/peng·ka·ji·an/ n
proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam);
penelaahan:

Kesimpulan yang dapat diambil:

Kajian adalah suatu proses yang dilakukan dengan mempelajari,


memeriksa, menyelidiki, menelaah, dan memikirkan sesuatu dengan
pertimbangan yang matang dan kritis mengenai baik buruknya suatu
perkara.

II . Fungsi Kajian

 Mencari solusi atas permasalahan yang ada


 Memecahkan suatu permasalahan,
 Melatih mental dan pikiran untuk menjadi lebih kritis,
 Berani mengungkapkan hal kebenaran ke publik dan dapat mengedukasi publik,
 Mempertajam suatu topik permasalahan menjadi penilaian yang lebih objektif.
 memenuhi rasa ingin tahu kita akan suatu topik permasalahan

26
III. Latar belakang pembuatan kajian

Dalam menghadapi suatu permasalahan kita harus mempelajari, menganalisa


dan mencari bukti-bukti nyata, serta solusi yang sangat berguna bagi kita pada saat
melakukan Advokasi. Advokasi tidak dapat dilakukan jika tanpa melakukan suatu
kajian terlebih dahulu. Atau advokasi bisa dilakukan tanpa kajian akan tetapi kita pasti
akan mendapatkan permasalahan selama kita melakukan advokasi contohnya kurang
info dan data dan kurangnya pemahaman terhadap topik yang akan kita advokasikan.

IV. Langkah-langkah pembuatan kajian


A. Pemilihan isu
- pengumpulan isu
seluruh isu yang danggap merupakan permasalahan
- klasifikasi dan filterisasi isu
pengelempokan isu dan filterisasi isu dapat dilakukan berdasarkan 2 metode,
yaitu subjektif dan objektif
- Penetapan Isu Strategis
Menetapkan isu sesuai urgensinya dan sesuai kapasitas dan kemampuan
pengkaji
a. Subjektif
metode subjektif ini menggunakan pengukuran MSVC, semakin tinggi angkanya,
semakin tinggi kedudukan isu tersebut, dengan metode ini kita harus menentukan
terlebih dahulu populasi yang berada dalam lingkup besar isu isu yang kita bahas
 MAGNITUDE
Mengukur seberapa banyak orang yang terkena dampak dari masalah
 SEVERITY
Mengukur seberapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh masalah
 VULNERABILITY
Mengukur kemamapuan intervensi untuk menyelesaikan masalah
 CONCERN
Mengukur kepedulian dari pemegang kebijakan dan orang yang terkena masalah
b. Objektif
Semakin tinggi angka, semakin tinggi kedudukan isu tersebut
 Skala Isu
Semakin kecil skala nya semakin besar nilainya
 Impact Kajian / Dampak Kajian
 Urgensi Waktu
Semakin dekat waktu semakin tinggi nilainya
 Urgensi Institusi
Semakin “harus kita dan tidak ada orang lain yang bisa” semakin tinggi nilainya
 Daya Tarik isu
 Aksebilitas info
Semakin sulit informasi untuk didapatkan, semakin tinggi nilainya.
 Avaibilitas waktu
Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah, semakin
tinggi nilainya.

27
No Tipe Nilai
1 Skala itu ( Institusi, Regional, Nasionalis) [1-10]
2 Impact Kajian ( Sosialisasi, Audiensi, Reformasi ) [1-30]
3 Urgensi Waktu ( Harus sekarang? Boleh nanti ?) [1-10]
4 Urgensi institusi ( Harus Kita ? bisa yang lain ? [1-20]
5 Daya Tarik Isu ( Seberapa popular ? packaging [1-5]
menarik
6 Aksesibilitas Info ( Harus tanya ahli ? google, [1-10]
ketemu?)
7 Avaibilitas waktu ( Sebulan selesai) [1-10]

B. Pembuatan Kajian

- Pengumpulan data
- Pembuatan hipotesis sementara
- analisis masalah
- Kesimpulan (pernyataan sikap)

V . Syarat kajian yang baik

- Tertulis
- Tetapkan topik sesuai dengan SMART GOALS
- Menyebar/Menyeluruh
- Mengubah paradigma publik
- Menghasilkan sesuatu solusi

VI. Struktur Penulisan Kajian

Konten yang harus ada dalam penulisan kajian ada 7, yaitu :


 JUDUL
 TOPIK , TEMA KAJIAN SPESIFIK
 PEMBUKAAN
 PENDAHULUAN (Kata Pengantar berupa latar belakang pengambilan isu )
 TUJUAN KAJIAN
 URGENSI KAJIAN
 ISI :
o KAJIAN TEORITIS TERKAIT
o Analisis Masalah (SWOT/ROCCIPI)
o Cari Pembanding
o Gambar & Staitistika (Jika diperlukan)
o Argumentasi Logis
 KESIMPULAN, SARAN/SOLUSI
 PENUTUP
 SUMBER REFERENSI

28
Penulisan kajian yang baik harus diperhatikan :
• Jumlah Kata
• Pemilihan Kata
• Dibuat semenarik mungkin
• Tidak Plagiasi (Ide Orisinil) bila perlu dibuat sitasi setiap paragrafnya
• Topik Aktual
• Tidak Bertele-tele
• Solutif
• Terdapat Kesimpulan

VII. Tipe Mahasiswa yang ada di Kastrat , digolongkan menjadi 4 :

29
Area atau Ruang Lingkup Kajian :

1. Institusi
2. Negara
3. Perusahaan
4. Organisasi
5. Masyarakat
6. Ormas
7. Partai

30
ADVOKASI
PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2
2018

31
AdvokasI
A. Pengertian advokasi
Kata advokasi berasal dari bahasa belanda advocaat, advocateur yang berarti
pengacara hukum, atau pembelaan. Menurut KBBI kata advokasi jika dalam kata
nomina (benda) berarti pembelaan. Advokasi mepunyai tujuan untuk membela atau
memberi dukungan terhadap kepentingan suatu pihak. Kata advokasi ini biasa
dilakukan berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu pihak, baik
advokasinya dalam bentuk mempengaruhi atau mendukung kebijakan tersebut.
B. Tujuan Advokasi
Fakultas kedokteran yang didalamnya dipelajari tentang ilmu kesehatan, tetapi
masih saja terdapat para karyawan yang merokok disembarang tempat di fakultas
kedokteran tersebut. Tentunya asap rokok ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Karena hal tersebut adalah kepentingan bersama, bahwa merokok
harus di tempat-tempat tertentu saja maka mahasiswa ingin melakuan advokasi ke
pihak kampus agar para perokok hanya diizinkan untuk merokok di tempat-tempat
tertentu saja. Tadi merupakan contoh advokasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
Tujuan utama advokasi adalah untuk membela kepentingan suatu pihak, untuk
mencapai tujuan tersebut maka harus dinaikkan posisi tawar suatu kepentingan
tersebut. Kepentingan yang dibela harus merupakan kepentingan golongan dan
berpihak pada mahasiswa. Pembelaan atersebut dapat memilik dampak bermacam-
macam seperti pengahapusan peraturan yang memberatkan mahasiswa, persetujuan
pengadaan fasilitas, kepercayaan dari suatu pihak, dan lain sebagainya.
C. Langkah Langkah advokasi
Penjajakan wilayah advokasi
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk atau bersama sama
dengan pihak terkait yang ingin melakukan advokasi. Kegiatan ini memiliki tujuan
untuk mencari masalah dan faktor penyebab yang ada di wilayah penjajakan.
Misalnya Kegiatan ini dilakukan di wilayah kampus maka akan didapatkan masalah
yang dihadapi oleh mahasiswa beserta faktor-faktor yang menyebabkannya.
Penjajakan ini haruslah didukung dengan data sekunder maupun primer yang dicari
oleh tim maupun pihak terkait. Setelah data didapatkan maka data tersebut danalisis
dan disusun kesimpulannya. Dengan didaptkannya masalah dan faktor penyebabnya

32
diharapkan tim advokasi nanti dapat dengan mudah merumuskan arah dan strategi
advokasi mereka yang disesuaikan pada wilayah yang akan dihadapi ketika
melakukan advokasi. Kegiatan ini juga dapat menjadi alat ukur keberhasilan suatu
advokasi, dengan cara membandingkan keadaan sebelum dilakukan advokasi dengan
setelah dilakukannya advokasi.
D. Membentuk tim inti advokasi
Tim inti advokasi adalah orang-orang yang memiliki cara pandang dan
kepentingan yang sama dengan isu yang akan diadvokasikan. Tentu saja memiliki
kemapuan sebagai penggerak kegiatan advokasi, dan bias bekerja sama dalam tim.
Sebaiknya anggota tim tidak terlalu banyak sekitar 3-5 orang saja agar koordinasinya
lebih mudah.
Setelah tim terbentuk bagi peran anggota tim berdasarkan rencana advokasi
secara keseluruhan, berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Seperti :
1. anggota yang berperan dalam mengorganisir massa pendukung, melatih dan
mendidik mereka.
2. Divisi desain dan media sosial, sebagai bahan propaganda dalam mencari
dukungan.
3. anggota yang berperan dalam melakukan kajian, lobi, kampanye, atau negosisasi
dengan pihak yang menjadi sasaran dalam advokasi.

E. Menentukan isu yang akan diadvokasikan :


Berikut adalah tolak ukur isu/masalah yang akan diadvokasikan :
1. harus relevan dengan masalah yang dihadapi oleh pihak yang ingin diadvokasikan,
dalam hal ini mahasiswa.
2. Masalah tersebut mendesak dan sangat penting untuk dilakukan advokasi segera,
jika tidak dapat berakibat hal yang sagat merugikan bagi mahasiswa, dan tentunya
dampak yang dihasilkan cukup besar dan meluas. Apalagi masalah tersebut telah
diadvokasikan dan memang akan berdampak positif pada perubahan kebijakan
yang akan dilakukan.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah melakukan kajian dengan cara


mengumpulkan dan menganalisis informasi dan data yang berkaitan dengan isu yang
ada di wilayah penjajakan, dalam kajian juga menilai isu berdasarkan tolak ukur yang
sudah dijelaskan diatas. Setelah disepakati maka tim kajian akan membuat
menjelaskan masalah tersebut berisi alasan – alasan, konteks permasalahan, tujuan,

33
visi, dan misi, sasaran, stratgi dan cara – cara pelaksanaan advokasi terhadap isu
strategis yang telah ditetapkan. (Roem Topatimasang, Ayu Bunyamin, dkk. Panduan
Advokasi Masalah Kesehatan Masyarakat. Koalisi untuk Indonesia sehat. Jakarta :
2005)
F. Menentukan target advokasi
Ketika isu/masalah yang dikaji telah dipilih maka langkah selanjutnya adalah
menentukan target advokasi. Jadi advokasi yang akan dilakukan ini akan memiliki
dampak seperti apa kedepannya. Langkah – langkah yang akan direncanakan akan
semakin jelas jika target yang ingin dicapai juga jelas. Target advokasi dapat dibagai
menjadi target jangka pendek, menengah, dan panjang jika masalah/isu yang akan
diadvokasi besar, karena hasil advokasi dapat berubah dimasa yang akan datang
akibat advokasi oleh pihak lain yang kontra terhadap isu tersebut.
G. Pelaksanan advokasi
Ada banyak bentuk atau jenis kegiatan yang dapat ditempuh untuk melakukan
advokasi, mulai dari mengajukan kajian terhadap isu/masalah kepada pihak terkait
sampai membawanya ke mahkamah peradilan. Tetapi untuk sekarang kita hanya akan
membahas bagiamana cara cara mengajukan kajian terhadap isu/masalah kepada
pihak terkait.
Sebagai contoh kita akan mengajukan rancangan peraturan tentang pengadaan
peraturan tentang tempat – tempat merokok di kampus. Pertama, kita bangun kontak
atau saluran informasi dengan rektorat atau dekan yang memiliki hak untuk membuat
suatu peraturan. kita ajukan rancangan peraturan yang diingikan. Racangan tersebut
terdiri dari :
1. Mengapa rancangan peraturan tersebut penting di tegakkan, minimal memuat
tentang 5W 1H (what, why, where, who, when, dan how)
2. solusi arternatif yang ditawarkan dari mahasiswa ketika rancangan peraturan
utama yang diajukan tidak dapat dilaksanakan,
3. Dampak yang ditimbulkan dari pengekan peraturan ini,
4. Pandangan dari pihak lain tentang rancangan peraturan yang ditwarkan,
5. Pihak yang mendukung

Kegiatan ini meliputi konsultasi, lobi, pendekatan, pembicaraan formal dan


informal terhadap para pembuat keputusan, petisi, dan debat forum

34
Kedua, kita membangun kontak dengan para dosen yang peduli dengan isu
tersebut, sebagai salah satu sumber masukan terhadap advokasi yang tengah
dijalankan. Selain itu hubungan dengan para dosen juga dapat memperkaya informasi
yang diterima. Jika dapat dilakukan buat forum yang mempertemukan pihak
mahasiswa, dosen, dan rektorat/dekan, pada forum ini tim advokasi menjadi moderator
yang tampil dengan argument yang kuat karena berdasarkan fakta empiris yang ada di
lapangan.
Ketiga, didalam tim advokasi harus terus berkomunikasi tentang informasi yang
beredar mengenai rancangan peraturan yang ditawarkan tadi. Lakukan diskusi berkala
di internal tim advokasi untuk membahas perkembangan dari masalah yang
diadvokasikan.
H. Sosialisasi dan mobilisasi massa pendukung
Langkah berikutnya adalah membentuk pendapat umum, yaitu dengan
sosialisasi dan mobilisiasi. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membentuk
pendapat umum di suatu lingkungan, cara yang paling lazim dan efektif adalah dengan
penggunaan media sosial sebagai media kampanye. Tetapi hal yang perlu
diperhatikan adalah dengan cara ini agak sulit untuk mengendalikannya. Di media
sosial semua orang bebas berargumen, ditakutkan akan muncul pendapat – pendapat
baru yang jauh dari yang kita harapkan. Untuk mengatasinya maka peran massa
pendukung dan pemilik kepentingan dalam isu ini harus memiliki argument yang kuat
sehingga massa yang kontra di media sosial dapat ditekan dan menarik lebih banyak
simpati agar mendukung kepentingan kita.
Dengan terbentuknya pendapat umum maka massa yang mendukung dapat
menunjukan tekannya kepada pihak yang menjadi sasaran dalam advokasi yang
sedang dilakukan. Tekanan ini dapat ditunjukkan dari dengan membuat petisi hingga
melakukan demonstrasi untuk menekan pihak sasaran.
I. Evaluasi dan pengawasan
Langkah advokasi yang terakhir adalah evaluasi. Evaluasi dilakukan karena pada
saat advokasi keputusan tidak langsung diambil karena pihak terkait butuh
berkonsulatsi dengan pihak lain. Maka dibutuhkan sebuah evaluasi untuk melihat
tindak lanjut pihak terkait yang dilakukan oleh tim advokasi. Komunikasi dengan massa
pendukung sangat diperlukan dalam hal pengawasan, sudah sejauh mana isu yang
diadvokasikan berkembang.
Referensi

35
1. Rahardjo Toto, Soetomo Handoko, Buntamin Ayi, dkk. Sehat itu HAK : Panduan
advokasi masalah kesehatan masyarakat. 2005. Jakarta. Koalisi untuk
Indonesia sehat-INSIST.
2. Topatimasang Roem, Fakig Mansour, Rahardjo Toto. Mengubah Kebijakan
Publik : Panduan Pelatihan Advokasi. 2016. Yogyakarta. INSISTPress.
3. Oliver, David. 2011. How to Negotiate Effectively 3rd ed. United Kingdom: Kogan
Page.

36
NEGOSIASI
PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2
2018

37
Negosiasi
A. Definisi Negosiasi

Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak atau lebih, mencapai perjanjian
yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan. Negosiasi
biasanya dilakukan pada saat terjadi suatu hal yang tidak sesuai keinginan pihak-pihak
terkait. Secara sederhana, negosiasi diartikan sebagai proses tawar-menawar dengan
jalan berunding untuk mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak dan pihak
lain, bisa juga diartikan sebagai langkah untuk membangun kesepahaman terhadap
suatu permasalahan. Kepentingan semua pihak pastinya berbeda dan dapat saling
bertabrakan, oleh karena itu haruslah dibuat suatu keputusan akhir yang dapat
disetujui dan diterima oleh semua pihak. Biasanya kedua belah pihak akan saling
berunding dan mengeluarkan tawaran-tawaran, dengan tujuan agar keinginan mereka
terpenuhi.
Negosiasi menurut Ivancevich (2007) sebuah proses di mana dua pihak ( atau lebih )
yang berbeda pendapat berusaha mencapai kesepakatan. Menurut Sopiah (2008),
negosiasi merupakan suatu proses tawar-menawar antara pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik. Sedangkan Robbins ( 2008) menyimpulkan negosiasi adalah sebuah
proses di mana dua pihak atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan
berupaya untuk menyepakati nilai tukarnya.
Dalam melakukan negosiasi, pihak yang terlibat wajib memiliki pengetahuan mengenai
fakta-fakta dan data-data masalah yang dihadapi, atau dengan kata lain mereka wajib
memiliki pengetahuan yang luas agar ketika tawaran yang mereka ajukan ditolak atau
mereka mendapatkan tawaran baru, dapat segera ditanggapi dengan baik dan
nantinya akan menguntungkan dan bukan malah merugikan. Pada saat melakukan
negosiasi, negosiator harus sudah tahu pokok persoalannya dan siap mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Negosiator pun harus
menyiapkan beberapa rencana agar apabila rencana yang satu gagal, negosiator
masih memiliki alternative rencana yang lainnya yang juga menguntungkan. Selain hal
tersebut, hal penting yang harus diperhatikan dalam negosiasi yaitu berhubungan baik
dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perundingan agar perundingan tersebut dapat
berjalan dengan lancer.
Dalam melakukan perundingan atau negosiasi, diperlukan strategi yang tepat agar
dapat mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang kita harapkan. Strategi negosiasi

38
ini harus ditentukan sebelum proses negosiasi dilakukan. Menurut Arbono Lasmahadi
(2005), terdapat beberapa macam strategi negosiasi yang dapat dipilih, yakni sebagai
berikut:
1. Win-win. Strategi ini dipilih apabila pihak-pihak yang berselisih menginginkan
penyelesaian masalah yang diambil pada akhirnya menguntungkan kedua belah
pihak. Strategi ini juga dikenal sebagai Integrative negotiation.
2. Win-lose. Strategi ini dipilih karena pihak-pihak yang berselisih ingin mendapatkan
hasil yang sebesar-besarnya dari penyelesaian masalah yang diambil. Dengan
strategi ini pihak-pihak yang berselisih saling berkompetisi untuk mendapatkan
hasil yang mereka inginkan.
3. Lose-lose. Strategi ini dipilih biasanya sebagai dampak kegagalan dari pemilihan
strategi yang tepat dalam bernegosiasi. Akibatnya pihak-pihak yang berselisih,
pada akhirnya tidak mendapatkan sama sekali hasil yang diharapkan.
4. Lose-win. Strategi ini dipilih apabila salah satu pihak sengaja mengalah untuk
mendapatkan manfaat dengan kekalahan mereka.

Strategi-strategi yang sudah disampaikan diatas, hanya akan dapat terlaksana apabla
menggunakan taktik yang tepat. Taktik ini bersifat tidak terbatas dan dapat
dikembangkan sesuai dengan keperluan untuk kemudian digunakan untuk mendukung
strategi yang telat ditetapkan sebelumnya.
B. Tak-tik Negosiasi
1. Membuat Agenda
Taktik ini digunakan untuk memberikan waktu kepada pihak-pihak yang berselisih
agar setiap masalah yang ada dibuatkan agenda penyelesaiannya secara
berurutan dan kemudian dapat mendorong mereka untuk mencapai kesepakatan
atas keseluruhan paket perundingan.
2. Membuat Tenggat Waktu
Taktik ini digunakan bila salah satu pihak yang berunding ingin mempercepat
penyelesaian proses perundingan dengan cara memberikan tenggat waktu kepada
lawannya untuk segera mengambil keputusan.
3. Bluffing
Taktik ini merupakan taktik klasik yang sering digunakan oleh para negosiator,
taktik ini bertujuan untuk mengelabui lawan berundingnya dengan membuat
distorsi kenyataan yang ada dan membangun suatu gambaran yang tidak benar.

39
4. The Art of Concession
Taktik ini diterapkan dengan cara selalu meminta konsesi dari lawan berunding
atas setiap permintaan pihak lawan berunding yang akan dipenuhi.
Dalam melakukan negosiasi, negosiator harus selalu menanggapi kata “tidak” sebagai
kata “belum”, agar dengan demikian pemikiran mereka akan lebih positif dan dapat
memikirkan cara-cara lain hingga disetujui lawannya. Negosiator pun harus dapat
menjelaskan ide dan saran yang mereka miliki dengan jelas dan dari berbagai
perspektif sehingga pihak lawan dapat mengerti dan tidak terjadi misinterpretasi.

C. Proses Negosiasi

Persiapan dan Klarifikasi dan justifikasi


Penentuan aturan dasar
perencanaan

Penutupan dan Tawar menawar dan


implementasi pemecahan masalah
Referensi
1. Cohen, Herb. 1986. Negosiasi. Jakarta: Pantja Simpati
2. Heron, Robert. 1998. Negosiasi Efektif: Sebuah Panduan Praktis (Rulita
Wijayaningdyah, Penerjemah), pg 24-25. Jenewa: International Labour Office
3. Iwan Subhan, “Teknik Lobi dan Negosiasi”
(https://www.academia.edu/5923482/teknik_lobi_dan_negosiasi)

Oliver, David. 2011. How to Negotiate Effectively 3rd ed. United Kingdom: Kogan Page.

40
LOBBYING
PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2
2018

41
Lobi
A. Pengertian Lobi
Lobi merupakan aktifitas yang dilakukan oleh suatu pihak dengan cara mempersuasi
pihak lain sehingga tujuan dan kebutuhan pihaknya terpenuhi. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, melobi adalah pendekatan secara tidak resmi. Menurut A.B.
Susanto, melobi merupakan usaha untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi
sasaran agar terbentuk sudut pandang positif terharap pelobi sehingga diharapkan
memberikan dampak positif bagi pencapaian tujuan. Lobi diperlukan untuk mengatasi
hambatan yang dihadapi dalam mencapai suatu tujuan. Melobi termasuk dalam
komunikasi antar pribadi yang didefinisikan sehingga pertukaran pendapat dan
gagasan antata 2 pihak, biasanya dalam bentuk tatap muka langsung sehingga
memungkinkan kedua pihak menangkap reaksi secara langsung.

B. Karakteristik Lobi
Heri Wibowo (2007) mengatakan bahwa seseorang perlu menempatkan posisi di pihak
oposisi dan mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan, apakah penggunaan lobi
sudah tepat untuk mengatasi masalah tersebut atau belum, serta bagaimana
melakukan lobi dengan baik. Untuk itu beliau menjelaskan beberapa karakteristik dari
lobi, antara lain:
1. Bersifat tidak resmi atau informal dapat dilakukan diluar forum atau perundingan
yang secara resmi disepakati.
2. Bentuk dapat beragam dapat berupa obrolan yang dimulai dengan tegursapa, atau
dengan surat.
3. Waktu dan tempat dapat kapan dan dimana saja sebatas dalam kondisi wajar atau
suasana memungkinkan.
4. Pelaku atau pihak yang melakukan lobbying dapat beragam dan siapa saja yakni
pihak yang berkepentingan, pemerintahan, pihak legislative, kalangan bisnis,
aktifis LSM, tokoooh masyarakat atau ormas, atau pihak lain yang terkait pada
topic lobi.

C. Jenis-Jenis Lobi

42
Berdasarkan kebutuhannya, terdapat beberapa jenis lobi yang dapat dilakukan,
melihat pihak sasaran yang dituju. Pelobi sebelumnya harus memikirkan dan mencari
tahu terlebih dahulu apa yang diinginkan oleh pihak sasaran sehingga pelobi dapat
memilih teknik lobi yang tepat. Berikut ini jenis-jenis lobi menurut Windschutlle:
1. Lobi Tradisional, lobi ini yang biasanya memanfaatkan orang-orang terkenal, figure
public, ataupun mantan pejabat untuk mendekati kelompok-kelompok kepentingan
agar tujuan organisasi/lembaga bisnis dapat tercapai.
2. Lobi Akar Rumput (Grassroot Lobbying) bertujuan mempengaruhi para pengambil
keputusan secara langsung. Para pelobi justru mempengaruhi masyarakat dan
nantinya, masyarakat menyatakan pendapatnya sehingga keputusan yang diambil
pemerintah sesuai dengan keinginan para pelobi itu seolah-olah merupakan
aspirasi masyarakat.
3. Lobi Political Action Committee merupakan komite yang dibentuk oleh
perusahaan-perusahaan besar dengan suatu maksud menempatkan calonnya di
lembaga legislative atau di eksekutif sehingga keputusan yang diambilnya tidak
merugikan perusahaan yang tergabung dalam komite tersebut.

Menurut Fraser Seitel (1005), tahapan didalam melaksanakan lobi yaitu sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data dan fakta seputar topik dan pihak sasaran.
2. Interpretasi terhadap langkah-langkah pemerintah, mengetahui peraturan
pemerintah yang berlaku, perijinan, dan hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan
pemerintah.
3. Interpretasi terhadap langkah-langkah perusahaan, mencari informasi dan opini
mengenai perusahaan, dari masyarakat atau ormas yang ada.
4. Membangun Posisi, bias dengan mendekati pejabat pemerintahan mengenai
pengadaan atau penundaan sebuah peraturan, sehingga mempunyai posisi dan
dipandang di pemerintahan.
5. Melemparkan berita nasional, misalnya dengan menggunakan tempat lobi sebagai
tempat peredaran berita.

D. Teknik Lobi

43
Berikut merupakan cara-cara yang dapat digunakan dalam melobi, yakni sebagai
berikut:
1. Tidak Langsung
Lobby bisa dilakukan dengan cara tidak langsung hal ini mengandung
pengertian tidak harus satu pihak atau satu orang yang berkepentingan
menghubungi mendekati sendiri pihak lain yang mau dilobby.
Pendekatan itu bisa dilakukan dengan perantaraan pihak lain (terutama yang
dianggap punya akses atau mempunyai hubungan yang dekat dengan pihak yang
dilobby).
Dalam hal seperti ini maka satu hal yang sangat penting diperhatikan oleh pihak
yang melobby adalah kepercayaan atau kredibilitas pihak ketiga yang dijadikan
perantara atau penghubung tersebut
Kendala lain jangan sampai gara gara lobbying yang dilakukan dengan
menggunakan jasa pihak lain [pihak ketiga] justru merusak hubungan yang sudah
ada, karena kesalahan atau ulah pihak ketiga tersebut
Kendala lain dalam menggunakan cara tidak langsung adalah pihak ketiga atau
perantara tersebut tidak selalu menguasai atau mengerti permasalahan atau
obyek yang jadi sasaran. Disamping itu apabila obyek yang jadi sasaran bersifat
rahasia maka akan membuka kemungkinan bagi kebocoran terhadap rahasia
tersebut.

2. Langsung
Berbeda dengan cara tidak langsung maka disini pihak yang berkepentingan
(berusaha) harus bisa bertemu atau berkomunikasi secara langsung dengan pihak
yang dilobby dengan kata lain pihak pihak yang terlibat bertemu atau
berkomunikasi secara langsung tidak menggunakan perantara atau pihak ketiga.
Cara langsung ini jelas lebih baik dari pada cara tidak langsung tetapi kendalanya
adalah bahwa :
a. Pihak pihak yang terlibat tidak selalu saling mengenal
b. Tidak semua orang mempunyai kemampuan berkomunikasi dengan baik
c. Kesan terhadap pribadi tidak selalu sama dengan dengan kesan terhadap
lembaga. Jelasnya seseorang mungkin saja kurang suka atau kurang
menghormati orang tertentu tetapi terhadap lembaga yang dipimpinnya dia

44
tidak ada masalah dalam hal seperti ini tentu akan lebih baik apabila yang
melakukan lobby adalah orang lain atau staf pada lembaga tersebut.

3. Terbuka
Cara terbuka adalah lobbying yang dilakukan tanpa ketakutan untuk diketahui
orang lain. Lobby yang dilakukan secara terbuka memang tidak harus berarti
dengan sengaja diekspose atau diberitahukan kepada khalayak, tetapi kalaupun
diketahui masyarakat bukan merupakan masalah.
Lobbying dengan cara terbuka ini biasanya dilakukan oleh dan diantara kelompok
misalnya pendekatan yang dilakukan oleh OPP atau partai politik tertentu pada
salah satu Organisasi Massa atau sebaliknya dan antara suatu Ormas pada
Ormas yang lain

4. Tertutup
Lobbying dengan cara tertutup adalah apabila lobbying dilakukan secara diam
diam agar tidak diketahui oleh pihak lain apalagi masyarakat. Lobbying dengan
cara ini biasanya bersifat perorangan yaitu yang dilakukan secara pribadi atau oleh
seseorang pada orang tertentu. Lobbying cara ini dilakukan karena apabila sampai
diketahui oleh pihak lain maka bisa berakibat negatif atau merugikan pihak yang
melakukan lobby tersebut maupun pihak yang dilobby.

E. Target
Target Kegiatan Lobi:
 Mempengaruhi kebijakan.
 Menarik dukungan
 Memenangkan prasyarat kontrak/ dalam kegiatan /bisnis
 Memudahkan urusan
 Memperoleh akses untuk kegiatan berikutnya.
 Menyampaikan informasi untuk memperjelas kegiatan.

Referensi
1. Alcraft, Rob. 1999. How To Persuade People. Oxford: Heinemann Educational
Publisher.

45
2. http://sites.google.com/site/kuliahkomunikasibisni/halaman-2
3. Wibowo, Heri. 2007. Fortune Favors The Ready: Keberuntungan Berpihak
Kepada Orang-orang yang Siap. Bandung: Oase Writers Management

46
PROPAGANDA

PETA HPS
ISMKI WILAYAH 2 2018

47
PROPAGANDA
I. Definisi Propaganda

Propaganda (dari Bahasa Latin modern: propagare yang berarti


mengembangkan atau memekarkan) adalah rangkaian Pesan yang bertujuan untuk
memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang.
Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan
informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau
melihatnya.

Propaganda kadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali


menyesatkan di mana umumnya isi propaganda hanya menyampaikan fakta-
fakta pilihan yang dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan
reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah untuk mengubah
pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu.

Propaganda adalah sebuah upaya disengaja dan sistematis untuk membentuk


persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi, dan memengaruhi langsung
perilaku agar memberikan respon sesuai yang dikehendaki pelaku propaganda.

Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda


memisahkan komunikator dari komunikannya. Namun menurut Ellul, komunikator
dalam propaganda sebenarnya merupakan wakil dari organisasi yang berusaha
melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Sehingga dapat
disimpulkan, komunikator dalam propaganda adalah seorang yang ahli dalam teknik
penguasaan atau kontrol sosial. Dengan berbagai macam teknis, setiap penguasa
negara atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara harus mempergunakan
propaganda sebagai suatu mekanisme alat kontrol sosial.

Menurut Ahli
a. Propaganda adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk
persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan
reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.— Garth S. Jowett and Victoria
O'Donnell, Propaganda And Persuasion.

48
b. Propaganda sebagai komunikasi yang “digunakan oleh suatu kelompok
terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-
tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu, diersatukan secara
psikologis dan tergabungkan di dalam suatu kumpulan atau organisasi.” Bagi Ellul,
propaganda erat kaitannya dengan organisasi dan tindakan, yang tanpa propaganda
praktis tidak ada. Jacques Ellul, Propaganda: The Formation of Men's Attitudes,
Knopf, 1965.
c. Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada zaman Hitler, mengatakan:
"Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-
ulang, akan membuat publik menjadi percaya." Tentang kebohongan ini, Goebbels
juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang
diubah sedikit saja. -ETIKA,INTELEKTUALISME DAN PROPAGANDA

II . Bagian Propaganda

a. Retorika atau public speaking


Dalam Bahasa Inggris retorika berasal disebut “rhetoric” dan bersumber dari
perkataan Latin “rhetorica” yang berarti ilmu bicara. Retorika sebagai suatu ilmu
memiliki sifat-sifat rasional, empiris, umum dan akumulatif. (Harsoyo dalam Susanto,
1988:73-74). Rasional, apa yang disampaikan seorang pembicara harus tersusun
secara sistematis dan logis. Empiris berarti menyadikan fakta yang dapat diverifikasi
oleh pancaindra. Umum artinya kebenaran yang disampaika tidak bersifat rahasia dan
tidak dirahasiakan karena memiliki nilai sosial. Akumulatif merupakan perkembangan
ilmu yang sudah ada sebelumnya, yaitu penggunaan Bahasa secara lisan maupun
tulisan. Retorika juga disebut sebagai public speaking atau bicara didepan umum.
Pengertian retorika secara sempit adalah hanya mengenai bicara, sedang secara luas
tentang penggunaan Bahasa lisan dan tulisah. Menurut Sunarjo (1983:49-52)
Pengertiannya dapat dilihat dari tinjauan filosofis dan tinjauan ilmu komunikasi
Secara filosofis, retorika dapat dirunut dari nilai- nilai yang terkandung didalamnya.
Filsuf Aristoteles mempertegas bahwa emosi manusia bervariasi dan ini dapat
dipergunakan oleh seorang orator atau pembicara untuk mempengaruhi audiensinya.
Aristoteles pun memberikan pengertian bahwa retorika sebagai seni yang memiliki
nilai-nilai tertentu. Nilai itu adalah kebenaran dan keadilan yang mempunyai
kekuasaan dan kekuatan dalam masyarakat. Bagi Aristoteles, Retorika memiliki

49
beberapa fungsi, yaitu pengetahuan yang mendalam tentang retorika dan latihan-
latihan yang dilakukan bisa mencegah retorika digunakan sebagai alat penipuan;
retorika sangat berguna sebagai sarana untuk menyampaikan instruksi; retorika sama
halnya dengan dialetik yang memaksa orang berpikir dan mengajukan pertanyaan.
b. Agitasi
Agitasi dari Bahasa Latin agitare : bergerak, menggerakkan; atau Bahasa Inggris
Agitation. i.Menurut kamus Oxford, meng-agitasi adalah “membangkitkan perhatian
(to excite) atau mendorong (stir it up)”, sehingga agitasi memfokuskan diri pada
sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut.
Menurut Herbert Blumer, Agitasi adalah beroperasi untuk membangkitkan rakyat
kepada suatu gerakan terutama gerakan politik. Pada hakikatnya Agitasi adalah
upaya untuk menggerakan massa dengan lisan atau tulisan, dengan cara
merangsang dan membangkitkan emosi khalayak ramai.
Biasanya propaganda jenis ini diisi dengan sejumlah doktrin bahkan upaya “cuci otak”
guna mendapatkan loyalitas dari target atau sasaran propaganda. Misalnya, dengan
menyuntikkan gagasan seputar, “jihad‟ atau revolusi dalam konteks yang keliru.

III. Wacana Publik

3.1 Urgensi Managemen Wacana Publik

Opini public menjadi salah satu institusi penting dalam demokrasi sama pentingnya
seperti keberadaan eksekutif dan legislative. Opini public mempunyai “kuasa” lebih
dalam menentukan arah pemerintahan namun kuasa tertinggi tetap di tangan
pemerintah. Suara satu orang tidak berarti karena dalam demokrasi suara mayoritas
seringkali sebagai arus penentu sehingga siapa yang bisa mempengaruhi kerangka
berpikir publik disebut pemenang.
 Pencitraan
Sederhananya bagaimana “memoles” tiap individu/institusi dipandang publik sebagai
tokoh masyarakat yang mempunyai sifat-sifat positif (pejabat, artis, organisasi
pemeritah, perusahaan dll) bisa melalu event organizer, konferensi pers sehingga
Nampak meyakinkan didepan public.
 Sebagai solusi terhadap masalah yang dihadapi

50
Mengembalikan citra individu/institusi yang sedang diterpa badai masalah yang
menghancurkan reputasi individu/institusi tersebut. Disinilah peran komunikator ulung
yang khususnya berprofesi dalam bidang kehumasan/PR untuk memberikan solusi
komunikasi yang bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah.
 Penguasaan Massa

Massa yang dikuasai untuk tujuan tertentu dari pembuat opini menjadi poin penting
ketika kita butuh perbaikan citra ataupun menjatuhkan lawan karena suara mayoritas
diperhitungkan lebih oleh pengambil keputusan sesungguhnya (contoh:pemerintah).
3.2 Komponen manajemen wacana public
 Pembuat : Individu, kelompok, profesi humas / PR ( Public relations) dalam
suatu institusi
 Sasaran: Masyarakat
 Sarana: Media komunikasi. Bentuknya bisa iklan, tulisan, berbicara di depan
publik, slogan, nyanyian, drama, puisi
 Isi pesan : Opini, data dan fakta dll.
3.3 Karakter Wacana public
 Mementingkan tujuan daripada cara
 Sering ditentukan oleh kepentingan pribadi, golongan atau negara
 Opini ini yang diciptakan tanpa fakta
 Tidak transparan (sulit untuk menggali informasi dari sumber langsung secara
nyata dalam waktu yang tepat)
 Didukung oleh banyak pihak

3.4 Alur Manajemen Wacana Public


Identifikasi → Penyikapan → Evaluasi
1. Identifikasi dan Pengumpulan Data
 Ada/tidak opini public yang sedang bergulir di masyarakat.
 Perlu/tidak disikapi → Cari data fakta untuk mengambil sikap.
 Jika isu bersifat konstruktif makan inventaris isu/opini public tersebut agar di
kemudian hari kita bisa memakainya kembali untuk mendukung opini kita yang baru.
 Nilai isu/opini yang sudah ada: Bermutu/tidak bermutu ; Dangkal/Dalam ;
Laten/Aktual.
 Jika isu bersifat destruktif: cegah agar tidak menyebar dan dihancurkan.

51
 Pelajari cara berpikir masyarakat saat itu sehingga penolakan dari public tidak
terlalu besar.

2. Penyikapan
 Tentukan tujuan penyikapan, contoh: pengurus ISMKI memulai sebuah opini
public, melalui artikel pencerdasan dan kuesioner yang menuntut partisipasi
mahasiswa kedokteran bahwa RUU Pendidikan Kedokteran tidak langsung disetujui
namun perlu dikaji ulang oleh Pemerintah agar sesuai dengan kebutuhan dan
tantangan.
 Buatlah penyikapaan pada saat yang tepat.
 Melalui berbicara di depan public ataupun tulisan yang dimuat dalam media
massa yang bisa mempengaruhi pikiran masyarakat secara bersamaan dalam satu
waktu. Seringkali opini public dimulai karena ada opini public lainnya, terjadi saling
hantam opini dalam kurun waktu tertentu.
 Salah satu penyikapan yang efektif adalah demonstrasi. Melalui demonstrasi
pesan yang dibawa jelas (orasi, spanduk, poster, dan lain-lain), lokasi yang diambil
pasti strategis sehingga masyarakat mau tidak mau dipaksa melihat aksi tersebut,
entah langsung ataupun melalui media, yang ujungnya mempengaruhi persepsi
masyarakat terhadap suatu isu/opini public.

3. Monitoring dan Evaluasi


 Apakah tujuan tercapai? Bagaimana respon public?
 Apa respon public sesuai dengan rencana pembuat opini public?
 Susun ulang rencana untuk menguatkan opini public yang kita gulirkan
pertama atau buat opini yang bisa membawa masyarakat mengerti jalur pikiran kita.

3.5 Cara Manajemen Wacana Publik


1. Tulisan
a. Berbagi Opini
Tulisan dalam bentuk opini sering kita jumpai dalam kolom-kolom media cetak seperti
koran, majalah maupun media elektronik seperti website ataupun blog. Aspirasi atau
pikiran-pikiran yang berputar dalam otak kita, ataupun yang kita rasakan dalam hati
mungkin dapat dituang ke dalam suatu tulisan untuk kemudian kita salurkan ke dalam

52
media yang relevan pada saat yang tepat. Tentunya pendapat yang proporsional,
menyangkut perubahan yang signifikan dan positif, atau menyangkut banyak orang
adalah hal yang layak untuk dipaparkan dalam media massa—bukan masalah-
masalah yang sifatnya terlalu pribadi atau personal yang lebih baik dikonsumsi oleh
diri sendiri. Terminologi bidang kajian strategis (kastral) opini ini disebut kajian. Untuk
kajian sendiri biasanya dibahas lebih dalam pada materi manajemen isu.
Umumnya opini dimulai dari ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan. Apa
yang nurani kita rasakan bertentangan dengan keadaan yang jauh dari keadaan ideal
sehingga kita merasa memiliki solusi atas masalah tersebut. Solusi tersebut kita
tuangkan dalam bentuk tulisan dan berharap bisa mempengaruhi pola piker orang
banyak maupun merubah dunia dalam waktu singkat namun setidaknya ada efek
umum yang seringkali trjadi adalah kita membuka arena untuk berdiskusi “massal”,
bernegoisasi dengan pihak-pihak terikat atau membuat orang berkesimpulan bahwa
apa yang dirasakannya juga dirasakaan oleh orang lain.
b. Tulisan yang seperti apa
Mathilda AMW Bhirowo, dalam bukunya “Bercermin melalui tulisan”, menguraikan
menulis opini secara sederhana dan jelas. Beberapa strategi dalam penyusunan
sebuah tulisan opini adalah sebagai berikut:
 Pilihlah tema yang membumi, artinya suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi
di sekitar kita dan menjadi perhatian banyak orang.
 Buat kerangka dari aspek-aspek relevan yang akan kita kembangkan. Dalam
istilah PBL (Problem Based Learning), dalam dunia pendidikan kedokteran, fase ini
disebut Cue and clues yang selanjutnya diproses menjadi problem list sehingga kita
melahirkan hipotesis (jawaban sementara terhadap masalah yang ada) sehingga
untuk memastikan hipotesis, kita perlu “learning objectives’’ yang memaksa kita
mencari berbagai macam data primer maupun sekunder, ini dapat menjadi daftar
pertanyaan kita kepada narasumber sekiranya diperlukan suatu wawancara atau
bahan kita mencari referensi dan data-data penunjang.
 Bagi lulusan dalam tiga tahap secara proporsional. Bagian pendahuluan
merupakan pembuka dari pokok persoalan yang akan kita sampaikan. Jelaskan
secara singkat tentang isu dan latar belakang dengan presentase antara 20-25% dari
keseluruhan panjang tulisan ini.

53
 Bagian inti permasalahan memaparkan pokok persoalan secara mendetail
dengan memasukkan pula undur-undur gagasan penulis secara sistematis dan logis
dengan didukung data-data pendukung yang sudah kita cari. Ada baiknya pendapat
dari beberapa tokoh atau narasumber yang relevan kita muat sebagai penguat opini
yang kita sampaikan. Persentase panjang uraian bagian ini adalah 60-70%.
 Pada bagian penutup, kita masukkan saran, pendapat, atau kesimpulan kita
pribadi terhadap persoalan yang kita angkat. Kesimpulan juga dapat berupa
rangkuman dari penjabaran di atas atau inti sari dari pendapat-pendapat orang lain
yang relevan. Bagian penutup dapat juga dibuat terbuka, artinya membiarkan
pembaca menyimpulkan sendiri. Presentase bagian penutup tidak banyak, berkisar
10% dari keseluruhan bagian karangan.
 Hal yang mudah untuk mencari gaya penulisan itu adalah mempelajari
langsung dari media yang kita harapkan bisa memuat tulisan kita. Cari tulisan opini
atau feature yang temanya mendekati persoalan yang menjadi perhatian kita. Dari
situ kita akan mendapat gambaran tentang bentuk penulisannya.
 Tentang bahasa jurnalistik yang lazim digunakan, kita pun bisa mengacu pada
media yang kita anggap kredibel. Sering-seringlah membaca harian yang memiliki
reputasi baik agar terbiasa menggunakan bahasa jurnalistik yang tepat.
Perhatikan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan dalam menulis tulisan
berbentuk opini. Karena opini seringkali berhadapan dengan kelompok atau kebijakan
yang berlawanan. Apalagi disampaikan secara terbuka di media massa maka kita pun
harus pertimbangkan akurasi dan penggunaan bahasa yang etis agar tidak
menimbulkan polemic yang berlebihan atau bahkan menjadi boomerang buat kita,
jauhkan hal=hal yang bersifat SARA, fisik atau menyudutkan seseorang atau institusi
secara langsung. Untuk itu kita perlu didukung oleh data-data atau informasi akurat
yang menunjang dari sumber yang kredibel. Tanpa hal-hal tersebut, kita seperti
sedang “menggoreng” isu atau membual. Namun jangan takut menulis untuk
menyatakan opini kita karena keterbukaan berpendapat berlaku di negara kita sejak
zaman reformasi.
“Segala sesuatu tidaklah sesulit yang kita lihat: segala sesuatu lebih menguntungkan
daripada yang anda duga; dan jika ada kemungkinan berhasil, maka hal itu akan
benar-benar terjadi dan pada saat yang terbaik” - Maxwell

54
IV. Komunikasi Massa
1. Definisi
Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dan popular dikemukakan oleh
John R. Bittner: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui
media massa pada sejumlah besar orang.
“Mass Communication is messages communicated through a mass medium to a large
number of people”.
Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi lain,
yaitu George Gebner. Menurutnya, komunikasi massa adalah produksi dan distribusi
yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang berkesinambungan
serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industry.
Dapat disimpulkan. Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media
massa dalam penyampaian informasi yang ditujukan kepada orang banyak (public)
dan diterima secara serentak.
2. Karakteristik Komunikasi Massa
Elizabeth Noelle Neuman (1983;92) menyebutkan empat tanda pokok dalam
komunikasi massa:
a) Komunikasi massa bersifat tidak langsung.
b) Komunikasi massa bersifat satu arah.
c) Komunikasi massa bersifat terbuka.
d) Memiliki public yang secara geografis tersebar.
Nurudin dalam Pengantar Komunikasi Massa (2004:19) menyebutkan ciri-ciri dari
komunikasi massa sebagai berikut:
a) Komunikator melembaga.
b) Komunikasi dalam komunikasi massa bersifat heterogen.
c) Pesannya bersifat umum.
d) Komunikasi berlangsung satu arah.
e) Komunikasi massa menimbulkan keserempakan.
f) Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis.
g) Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper.

3. Fungsi Komunikasi Massa


Menurut Dominick (2001), fungsi komunikasi massa adalah:
a) Surveillance (pengawasan)

55
b) Interpretation (penafsiran)
c) Linkage (keterkaitan)
d) Transmission of values (penyebaran nilai)
e) Entertainment (hiburan)
Fungsi komunikasi massa terpopuler tercantum dalam UU No. 40/1999 tentang Pers,
yaitu:
a) Menyampaikan informasi (to inform)
b) Mendidik (to educate)
c) Menghibur (to entertain)
d) Melakukan pengawasan social (social control)

4. Efek Komunikasi Massa


Setiap proses komunikasi mempunyai dampak atau hasil akhir yang disebut dengan
efek. Efek muncul dari seseorang yang menerima pesan komunikasi baik secara
sengaja maupun tidak sengaja.
Menurut Donald K. Robert, efek hanyalah perubahan perilaku manusia setelah diterpa
pesan media massa. Oleh karena fokusnya pesan, maka efek harus berkaitan
dengan pesan yang disampaikan media massa (Ardianto, 2004:48)
Menurut Onong Uchyana Effendy (2006), yang termasuk dalam efek komunikasi
massa adalah:
a) Efek kognitif (cognitive effect) – pengetahuan
b) Efek afektif (affective effect) – perasaan, emosi
c) Efek konatif atau efek behavioural (behavioural effect) – perilaku

56

Anda mungkin juga menyukai