Anda di halaman 1dari 104

DOKUMENTASI KELOMPOK CIPAYUNG

Dokumentasi pernyataan Kelompok Cipayung dalam menjalankan perjuangan kritis pada masa
Orde Baru dan refleksi para mantan aktifis Kelompok Cipayung yang dihimpun pada buku
"Kesepakatan Kelompok Cipayung" (editor: Wem Kaunang)
PERNYATAAN KELOMPOK CIPAYUNG

01. Evaluasi 10 Januari 1972, 10 Januari 1972, Jakarta.
02. Kesepakatan Cipayung, 22 Januari 1972, Cipayung/Jawa Barat.
03. Kesimpulan Umum Cipayung II tentang Perencanaan Masyarakat dan Tanggung Jawab
Generasi Muda, 16 April 1972, Cipayung/Jawa Barat.
04. Garis Besar Program Kerja dan Pengelolaan Pertemuan Cipayung, 3 Mei 1972, Jakarta.
05. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung III, 25 Januari 1976.
06. Penjelasan tentang Kerja Sama Kelompok Cipayung, 5 Agustus 1876, Jakarta.
07. Pernyataan Kelompok Cipayung tentang Tatanan Nasional dalam Menyongsong Masa Depan
Bangsa, 15 Juni 1977, Jakarta.
08. Resolusi Kelompok Cipayung Sehubungan dengan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
6 Oktober 1977, Jakarta.
09. Kesepakatan Cipayung IV Bagi Usaha-usaha Pengembangan Generasi Muda dalam Rangka
Pembangunan Bangsa Seutuhnya, 24 September 1978, Gadok/Ciawi/Jawa Barat.
10. Keterangan Pers Kelompok Cipayung (dalam Rangka Menyambut) Hari Sumpah Pemuda
Ke-50 dan Kongres KNPI II, 27 Oktober 1978, Jakarta.
11. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung (PB HMI PP GMKI PB PMII PP PMKRI
Presidium GMNI) tentang Penataan Kembali Lembaga Penyelenggara Kedaulatan Rakyat dan
Kekuatan-kekuatan Sosial-Politik, 26 Mei 1980, Jakarta.
12. Garis-garis Besar Program dan Pengelola Pertemuan Cipayung, 13 Juni 1980, Jakarta.
13. Kesimpulan Pertemuan Kelompok Cipayung V 12-13 Juni 1980, di Jakarta tentang Penataan
Kembali Sistem Sosial Menunjang Kewarganegaraan yang Demokratis dan Bertanggung Jawab,
14 Juni 1980, Jakarta.
14. Refungsionalisasi Pranata-pranata Sosial dan Reorientasi Sistem Sosial Pengantar Dialog
Kelompok Cipayung dengan Pemimpin DPR Tanggal 3 Desember 1980, 3 Desember 1980,
Jakarta.
15. Indonesia dalam Perspektif Masa Depan (Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung) Tahun
1980, 30 Desember 1980, Jakarta.
16. Pemerataan Pembangunan demi Terwujudnya Demokrasi Indonesia, 8 Januari 1981, Jakarta.
17. Meninjau Kembali Hubungan Indonesia-Jepang, 11 Januari 1981, Jakarta.
18. Pokok-pokok Pikirkan Kelompok Cipayung tentang Pembangunan Ekonomi Setelah 36
Merdeka, 14 Agustus 1981, Jakarta.
19. Mengkaji Ulang Peranan dalam Sejarah Peringatan Sumpah Pemuda 53 Tahun oleh
Kelompok Cipayung, 27 Oktober 1981, Jakarta.
20. Sumbangan Pikiran Kelompok Cipayung Kepada Menteri Muda Urusan Pemuda mengenai
Kemungkinan Pembentukan Suatu Forum Komunikasi Antargenerasi Muda, 31 Oktober 1981,
Jakarta.
21. Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung Kedaulatan Rakyat dalam Sistem dan Struktur
Politik Dewasa ini, 24 Desember 1981, Jakarta.
22. Keterangan Pers Pemimpin Kelompok Cipayung tentang
Pembatalan Diskusi Kelompok Cipayung dalam Penilaian, 23 Januari 1982, Jakarta.
23. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang Pembentukan Suatu Forum Komunikasi
Antargenerasi Muda, 27 Februari 1982, Jakarta.
24. Pesan Kelompok Cipayung kepada Rakyat Indonesia dalam Mengakhiri Masa Kampanye
Pemilu 82, 26 April 1982, Jakarta.
25. Pendapat Kelompok Cipayung mengenai Pengembangan Generasi Muda pada Dasawarsa
Mendatang, 23 Desember 1985, Jakarta.
26. Pokok-pokok Pikiran Akhir Tahun 1982 Kelompok Cipayung Pembangunan Bangsa
Manusia Seutuhnya, 28 Desember 1982, Jakarta.
27. Resume Studi Cipayung VI tentang Pembangunan Swadaya Masyarakat 22 Januari 1983,
Jakarta.
28. Lampiran II Hentikan Penindasan terhadap Hak-hak Asasi Manusia dan Demokrasi
Pernyataan Bela Sungkawa Atas Pembunuhan terhadap Benigno S. Aguino Jr., 24 Agustus 1983,
Jakarta.
29. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung dalam Memperingati Hari Sumpah Pemuda Ke-
55 28 Oktober 1983 Hakikat Kepeloporan Generasi Muda dalam Mewujudkan Indonesia yang
Kita Cita-citakan, 26 Oktober 1983, Jakarta.
30. Evaluasi Akhir Tahun 1983 Kelompok Cipayung Sentralisasi Kekuasaan dan Kritis Moral
Bangsa dalam Pembangunan, 29 Desember 1983, Jakarta.
31. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan, 24 Februari 1984, Jakarta.
32. Pokok-pokok Pikiran Kelompok Cipayung dalam Rangka Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia Ke-41, 13 Agustus
1986, Jakarta.
33. Refleksi Kritis Kelompok Cipayung Menghadapi Pemilu 1987, 19 Maret 1987, Jakarta.
34. Antara Keprihatinan dan Indonesia yang Dicita-citakan: Gugatan Kelompok Cipayung dalam
Peringatan HUT Ke-17, 8 Januari 1989, Jakarta.
35. Catatan Kritis Kelompok Cipayung Menjelang Munas Golkar V dan Tragedi Waduk Nipah
(GMKI, GMNI, HMI, PMII, PMKRI) Golkar: Cermin Kegagalan Politik Orde Baru?, 15
Oktober 1993, Jakarta.
36. Pernyataan Sikap Kelompok Cipayung, 7 Mei 1996, Jakarta.
37. Refleksi Akhir Tahun 1997 Kelompok Cipayung (PB HMI, PP PMKRI, PP GMKI,
Presidium GMNI, PB PMII).



EVALUASI 10 JANUARI 1972

Setelah mengikuti secara seksama kemajuan pembangunan dan perkembangan terakhir
perjuangan mahasiswa dalam memberi pendapat tentang proyek miniatur Indonesia Indonesia
Indah yang diprakarsai oleh Yayasan Harapan Kita yang dipimpin oleh Ibu Tien Soeharto
dihubungkan dengan reaksi spontan masyarakat dan kalangan generasi muda, serta dihubungkan
dengan reaksi yang datang dari pemerintah, dan terakhir dari Presiden Soeharto dalam peresmian
rumah sakit Pertamina yang baru lalu, maka kami organisasi mahasiswa yang tergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI) merasa perlu memberikan pendapat dalam rangka tanggung jawab kami
untuk masa kini dan masa datang sebagai berikut:
1. Tentang perjuangan mahasiswa dan kalangan generasi muda kini dalam menanggapi persoalan
perguruan tinggi, masyarakat dan persoalan negara tetap positif dan konstruktif. Ini sebagai bukti
bahwa mahasiswa dan generasi muda masih mempunyai kesadaran yang tinggi, dan mempunyai
rasa tanggung jawab yang besar bagi generasi ini dan generasi yang akan datang biar pun melalui
tantangan-tantangan yang cukup besar. Kesadaran ini, bertitik tolak dari perjuangan Orde Baru
menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Ini bukti bahwa generasi muda masih tetap mencintai
demokrasi yang memang diajarkan oleh Orde Baru. Dalam rangka inilah kami berpendapat
bahwa gerakan-gerakan mahasiswa selama ini, tetap dalam perjuangan meneruskan Orde Baru.
2. Dalam rangka inilah mahasiswa dan generasi muda memberikan pendapat terhadap proyek
miniatur Indonesia Indah. Biar bagaimanapun proyek sulit dibedakan antara pemerintah dan
swasta, dan ini semakin jelas dari kesibukan aparat pemerintah memberikan penjelasan dari
proyek ini. Di samping masalah campur tangan aparatur pemerintah ini, kita melihat kebutuhan
akan proyek ini masih belum dapat disesuaikan dengan strategi pembangunan sebagaimana kita
sudah tetapkan sebagai bangsa dan mencetuskan Orde Baru dan menggantikan Orde Lama.
3. Memang pengisian Orde Baru belum selesai. Kehidupan konstitusional masih banyak yang
harus diperjuangkan. Banyak lembaga ekstra-konsitutisional yang masih dipertahankan dalam
rangka menampung masa transisi ke Orde Baru yang sebaik-baiknya. Dalam hal ini, secara
khusus lembaga pengawasan atau lembaga kontrol yang sebagaimana mestinya. Bukti undang-
undang yang mengatur pengawasan ini masih banyak hasil Orde lama, dan kalau ada undang-
undangnya hanya di diatur oleh peraturan pemerintah. Dalam tidak rangka memperjuangkan ini,
mahasiswa dan generasi muda sewajarnya tidak akan berhenti dan tidak akan mematikan
perjuangannya.
4. Kami menyadari dan meyakini bahwa problema-problema dasar yang ada dalam masyarakat
hanya dapat dipecahkan melalui pembangunan. Kami mengakui dan menghargai bahwa
pembangunan yang disepakati bersama dan sedang berjalan di bawah pimpinan Presiden
Soeharto adalah usaha yang sungguh-sungguh serta memperlihatkan beberapa hasil yang positif,
walaupun belum seperti apa yang kita harapkan. Kami melihat bahwa proses pembangunan
masih mengalami hambatan-hambatan baik dari struktural dan konstitusional maupun hambatan
karena sikap mental, yang dapat menggagalkan tujuan jangka panjang agar hasil pembangunan
dapat dinikmiati oleh seluruh masyarakat. Dalam rangka inilah mahasiswa dan generasi muda
dalam proses pembangunan adalah mutlak perlu.
5. Dalam kerangka pikiran kami mengikuti makna dari pidato Presiden Soeharto pada peresmian
rumah sakit Pertamina pada tanggal 6 Januari 1972 yang lalu, yang menganggap bahwa gerakan
itu mendiskreditkan Pak Harto dan pemerintah dengan jujur kita nyatakan bahwa data yang
menyatakan demikian tidak ada pada kami, mahasiswa dan generasi muda. Yang ada pada kami
adalah idealisme sejarah, idealisme Orde Baru, idealisme Pancasila dan UUD 1945, idealisme
konstuitusional yang cita-citakan. Motivasi kami tidak lain tidak bukan adalah memperkuat
pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, sebagai hasil proses perjuangan bersama Orde
Baru. Tidak mungkin kami mendiskreditkan pemerintah Orde Baru. Namun, setiap usaha yang
akan membawa wibawa pemerintah Orde Baru ke cara-cara Orde Lama sudah pasti kita akan
menentang dengan segala kemampuan yang ada pada kami.
Untuk menyelesaikan yang tidak jelas diperlukan dialog yang jujur. Dalam rangka ini, kami
masih memerlukan dialog dari semua pihak yang tepat dapat memberi jawaban yang pasti,yaitu
Bappenas, DPR, dan Presiden.
Kepada mahasiswa dan generasi muda, kami serukan untuk
tetap meneruskan perjuangan dalam rangka cita-cita perjuangan Orde Baru.

Jakarta, 10 Januari 1972
PP GMNI Soerjadi, Ketua Umum; PB HMI Akbar Tandjung, Ketua Umum; PP PMKRI Christ
Siner Key Timu Ketua Presidium; PP GMKI Binsar Sianipar, Ketua Umum.



KESEPAKATAN CIPAYUNG

Kami, generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan belajar dari
sejarah masa lampau, bahwa disorientasi selalu terjadi dalam perjalanan sejarah perjuangan
bangsa, selalu akan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya kesatuan perjuangan
generasi muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan tuntutan bangsa secara mutlak.
Kecintaan terhadap negara dan bangsa yang tumbuh dari generasi ini, adalah manifestasi dari
kecintaan akan Indonesia di masa depan, oleh karena itu generasi ini merindukan Indonesia yang
Kita Cita-citakan sebagai berikut:
1. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang digambarkan dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu, masyarakat adil dan makmur, spiritual dan material berdasarkan Pancasila.
2. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat bersatu, Indonesia yang
cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum, Indonesia yang sehat dan makmur, Indonesia yang bebas
dari ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperanan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia, Indonesia yang layak bagi tempat dan kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
3. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan hanya mungkin dicapai dari pembangunan ke
pembangunan dengan bekerja keras, jujur, hemat, yang dilandasi semangat pioner melalui
pengorbanan.
4. Indonesia yang kita cita-citakan hanya dapat dibangun atas pikiran dan tekad bersama, yang
erat dan terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan
agama, suku, daerah, umur, dan golongan, karena tekad pikiran yang demikian inilah yang
mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru kita sekarang ini.
5. Dalam rangka membangun masa depan dalam Indonesia yang kita cita-citakan, maka
pembentukan dan pembinaan generasi pembangunan selaku generasi penerus adalah mutlak.
Kita bercita-cita membangun masa depan yang lebih baik dari masa kini dan masa kemarin,
karena itu generasi pembangun memerlukan keberanian melihat dan menilai dasar-dasar
pembangunan masa depan dan meninggalkan pola-pola lama, ikatan-ikatan lama, yang
menghalangi usaha pembangunan masa depan yang baru. Generasi pembangun itu mempunyai
ciri-ciri khas, yaitu bebas dan terbuka, positif, kritis, dinamis, jujur, berdedikasi, dan radikal.
Ciri-ciri khas itu merupakan unsur dalam melihat masa depan, serta menilai masa kini dan masa
lampau.
6. Generasi pembangun mutlak turut menentukan isi, bentuk, corak, dan watak dari Indonesia
yang kita cita-citakan, dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk menyampaikan
pikiran-pikiran, pendapat-pendapat dan tenaga melalui kebebasan yang bertanggung jawab, yang
dijamin atas dasar hukum, dan untuk itu pembinaan generasi pembangun menjadi kewajiban
bersama.
6. Generasi pembangun ini, akan mempunyai peranan bila dalam generasi pembangun itu sendiri
ada inisiatif untuk mengubah dan mempersiapkan diri menerima dan memikul tanggung jawab
masa depan dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan itu. Inisiatif itu berbentuk usaha
membuka diri dalam memahami pada artinya anugerah Tuhan untuk kita hidup di Indonesia,
mempergunakan ilmu dan teknologi dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat,
menerima pikiran-pikiran yang beraneka ragam dari berbagai golongan generasi muda dalam
masyarakat, dan kesediaan mempersiapkan diri mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan
negara.
Disepakati dan diteguhkan bersama dengan menyanyikan 'Padamu Negeri' hari Sabtu tanggal 22
Januari 1972, jam 24.00 WIB. Atas nama peserta konsultasi Indonesia yang Kita Cita-citakan.

Akbar Tandjung, Ketua Umum PB HMI;
Soerjadi, Ketua Umum DPP GMNI;
Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium PP PMKRI;
Binsar Sianipar, Ketua Umum PP GMKI.



GARIS BESAR PROGRAM KERJA DAN PENGELOLAAN PERTEMUAN CIPAYUNG

Pengantar
A. Di dalam rapat yang diadakan pada tanggal 23 April 1972 bertempat di Jalan Sam Ratulangi 1
Jakarta, Komite Kerja Pertemuan Cipayung berkesimpulan bahwa untuk dapat merealisasikan
secara konkrit hasil-hasil dan kesimpulan dari pertemuan Cipayung I dan II perlu disusun secara
konkrit dan sistematis dua hal:
a. Garis Besar Program Kerja dari Kelompok Cipayung
b. Garis Besar Tata kerja dan Pengelolaan dari Komite Kerja dan Kelompok Cipayung
B. Agar supaya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, garis-garis besar program kerja,
tata kerja, dan pengelolaan dari Komite Kerja dan Kelompok Cipayung perlu diperinci serta
disistematisasi terlebih jauh secara konkrit dan riil.
Garis Besar Program Kerja Kelompok Cipayung
A. Dasar : Seluruh dokumen dan kesimpulan pertemuan Cipayung.
B. Tujuan : Mewujudkan secara konkrit, efektif dan efisien seluruh kesimpulan dari pertemuan-
pertemuan Cipayung, sehingga dapat ditingkatkan integrasi sesama generasi dan antargenerasi,
dalam rangka peningkatan partisipasinya di dalam usaha memajukan masyarakat menuju
Indonesia yang Kita cita-citakan.
C. Program :
a. Bidang pemikiran/ aspirasi:
1. Membina komunikasi baik di tingkat pusat maupun di daerah tidak hanya antara sesama
generasi muda, tetapi juga antara generasi muda dengan pemerintah dan masyarakat;
2. Mengusahakan perluasan area of agreement antara sesama generasi muda maupun generasi
sebelumnya, baik sipil maupun militer di dalam pemikiran-pemikiran aspirasi dasar mengenai
kehidupan bermasyarakat dari Indonesia yang sekarang dan yang kita cita-citakan, mengenai
dunia perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan di Indonesia sekarang dan masa datang, tidak
saja di tingkat pusat tetapi juga di tingkat daerah sehingga integrasi dan partisipasi mahasiswa di
dalam memajukan masyarakat Indonesia menjadi semakin nyata efektif dan efisien;
3. Area of agreement dan komunikasi ini dicapai melalui:
3.1. Pertemuan-pertemuan periodik di tingkat nasional dan lokal misalnya pertemuan-pertemuan
Cipayung dan pertemuan-pertemuan di daerah,
3.2. Pertemuan-pertemuan kontinyu formal maupun informal untuk membahas follow-up dan
implementasi dari pertemuan-pertemuan di atas,
3.3. Hasil dari pertemuan-pertemuan ini hendaknya disampaikan dari pusat ke daerah dan
sebaliknya, serta antardaerah yang lain untuk dijadikan pedoman dan bahan informasi.
b. Bidang kegiatan:
1. Kegiatan kemahasiswaan di pusat dan di daerah dalam bentuk:
1.1. Kegiatan-kegiata rekreatif/ olahraga, misalnya Malam Rendevouz Cultural. Kegiatan-
kegiatan rekreatif ini merupakan saran yang efektif di dalam membina rasa persahabatan yang
human di antara anggota,
1.2. Kegiatan penerangan: diusahakan untuk menerbitkan sebuah bulletin bersama untuk seluruh
Indonesia,
1.3. Kegiatan pendidikan studi, misalnya research, kursus-kursus, dan diskusi-diskusi ilmiah,
1.4. Gedung pertemuan yang representative; mengusahakan adanya tempat pertemuan yang
representatif sebagai pusat kegiatan.
2. Kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, di pusat dan di daerah (rural development):
2.1. Mengintroduksi, memperkembangkan, dan memperluas nilai-nilai pembaruan ke dalam
masyarakat
2.2. Membantu masyarakat dengan ikut serta di dalam pembangunan fisik ekonomi, misalnya
bidang survai tentang pembuatan jembatan, pendidikan kursus berorganisasi/ manajemen, dan
sebagainya yang sesuai dengan kemampuan sebagai mahasiswa;
3. Kegiatan internasional; mengusahakan kontak dan hubungan dengan mahasiswa di negara-
negara lain, dan bentuk student exchange program comparetive study, tukar pikiran, dan kerja
sama lainnya.
Garis Besar Tata Kerja dan Pengelolaan Komite Kerja dan Forum Cipayung
A. Nama:
a. Komite Kerja, orang-orang ditunjuk dengan mandat penuh dari organisasi-organisasi
mahasiswa; pemrakarsa sebanyak 8 (delapan) orang, masing-masing setiap organisasi 2 (dua)
orang.
c. Forum Cipayung, terdiri atas Komite Kerja dan individu-
individu/perorangan:
1. Senior-senior, yaitu orang-orang yang secara otomatis menjadi anggota Forum Cipayung
karena partisipasinya secara langsung dan efektif dalam pertemuan-pertemuan Cipayung
sebelumnya,
2. Orang-orang yang ditunjuk oleh masing-masing organisasi pemraksa,
3. Orang-orang yang ditetapkan oleh Komite Kerja yang kriteria dan produsernnya akan
ditetapkan kemudian.
B. Fungsi Komite Kerja:
a. Mempersiapkan, melaksanakan, dan mengarahkan pertemuan- pertemuan Cipayung.
b. Mengkoordinasi pelaksanaan program-program yang disepakati oleh Forum Cipayung.
C. Anggota Komite Kerja: Untuk pertama kali Komite Kerja terdiri dari Ridwan Saidi, Gambar
Anom, Soerjadi, Theo L. Sambuaga, Natigor Siagian, Janes Hutagalung, Chris Siner Key Timu,
dan Eko Tjokrodjojo.
D. Panitia Ad-hoc: Komite Kerja membentuk panitia Ad-hoc yang bertugas untuk
mempersiapkan bahan-bahan, pemikiran-pemikiran/ rancangan-rancangan konsepsi di bidang
pendidikan, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan keamanan, internasional, sosial-politik, dan
lain-lain. Panitia-panitia Ad-hoc ini bertangung jawab kepada Komite Kerja.
Peralihan
Hal-hal yang belum diatur di sini, akan diatur kemudian oleh Komite Kerja sesuai dengan dasar,
tujuan, dan fungsi dari Forum Cipayung dan Komite Kerja.

Jakarta, 3 Mei 1972
KOMITE KERJA: 1. Ridwan Saidi, 2. Gambar Anom, 3. Soerjadi, 4. Theo L. Sambuaga, 5. Ir.
Natigor Siagian, 6. Janes Hutagalung, 7. Chris Siner Key Timu, 8. Eko Tjokrodjojo.



Kesimpulan Umum Cipayung II Tentang
PERENCANAAN MASYARAKAT DAN TANGGUNG JAWAB GENERASI MUDA

Latar Belakang
Kecenderungan yang paling nyata pada dekade 70 adalah adanya hasrat yang kuat terhadap
pembangunan untuk mewujudkan Indonesia yang kita cita-citakan dan adanya minat yang besar
dari semua pihak terhadap persoalan-persoalan generasi muda, aneka pikiran dan pendapat
tentang mereka yang akhirnya mempunyai tujuan yang sama: pembinaan generasi muda adalah
penting.
Pentingnya pembinaan ini adalah selain karena semua pihak ingin menghindari terjadinya
kerenggangan antargenerasi, bahkan lebih dari itu bagaimana generasi muda mengambil peranan
bersama-sama dengan generasi sebelum dan sesudahnya di dalam proses pembaharuan dan
pembangunan masyarakat dapat dijabarkan.
GMNI, HMI, GMKI, PMKRI, dan PMII adalah organisasi-organisasi yang secara sosiokultural
datang dari kelompok sosial yang berbeda-beda, kali ini mensponsori kembali pertemuan
Cipayung II yang juga dihadiri oleh eksponen generasi muda lainnya. Dengan pertemuan
Cipayung yang hendak dikaji, selain tema yang berhubungan dengan generasi muda dan
pembangunan, juga hendaknya dibuktikan kepada masyarakat adanya usaha untuk menjalin
pertemuan kultural dari aneka kelompok sosial yang berbeda dan yang pada masa terdahulu
pernah saling bertentangan.
Disadari bahwa pertentangan antarkelompok sosial bukan saja tidak menguntungkan pihak-pihak
yang bersangkutan, tetapi lebih jauh dari itu merugikan bangsa secara keseluruhan. Di dalam
rangka itu, perencanaan masyarakat dan tanggung jawab generasi muda adalah masalah pokok
kita dewasa ini.
Perencanaan Masyarakat
Tuntutan pokok dari suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat adalah kemampuan
merencanakan masyarakatnya yang akan dibangun. Demikian juga bangsa Indonesia harus
mampu merencanakan masyarakat berdasarkan potensi-potensi, serta kemampuan yang ada
dalam masyarakat dengan menghayati jalannya sejarah bangsa Indonesia dan umat manusia di
seluruh dunia ini.
Bagi Indonesia kini dan pada masa yang akan datang perencanaan masyarakat itu adalah
menetapkan strategi, prioritas, serta menggariskan langkah-langkah kebijaksanaan melalui
pembaharuan dan pembangunan masyarakat yang diperlakukan. Perencanaan masyarakat
tersebut dapat dibayangkan dan diperhitungkan secara jelas dan matang oleh semua lapisan
masyarakat, generasi demi generasi dalam mencapai tujuan bangsa Indonesia yang termaktub
dalam Mukadimah UUD 1945 serta keseluruhan bulat UUD 1945 berdasarkan Pancasila.
Ini dimulai dalam berbagai rencana pembangunan bangsa kita pada masa lalu, kini dan terus
berjalan pada masa yang akan datang, atas kasih dan anugerah, serta perkenan Tuhan Yang Maha
Esa.
Kini dalam rangka lingkup perencanaan masyarakat perlu dipertegas strategi yang jelas dalam
pembangunan maupun rencana pembaruan struktur masyarakat, yang diperlukan dalam strategi
keadilan sosial. Strategi keadilan sosial perlu mendapat pertimbangan baru dalam pembangunan
ekonomi untuk mempercepat ketahanan dan kemampuan kita berdiri di atas kaki sendiri sebagai
bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Di dalam pelaksanaan strategi keadilan sosial hendaknya perhatian yang lebih besar diberikan
kepada generasi muda sebagai lapisan masyarakat yang terbesar dewasa ini. Hal ini perlu
ditegaskan karena Indonesia di masa datang akan menghadapi persoalan-persoalan keadilan
sosial yang mungkin lebih besar dibandingkan dengan dewasa ini. Persoalan sekarang adalah:
(1) kesempatan turut serta dan menentukan pembangunan itu
(2) pendidikan dan latihan untuk berpikir dan bekerja,
(3) tersedianya lapangan kerja seluas mungkin.
Sewajarnya masalah ini menjadi kriteria-kriteria yang berwibawa dan menentukan prioritas, serta
menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diperlukan untuk mencapai strategi keadilan
sosial itu. Wadah-wadah pengambilan keputusan dalam negara dan masyarakat seyogyanya
memperhatikan strategi dan prioritas ini.
Tanggung Jawab Generasi Muda
Manusia sebagai tujuan dari perencanaan masyarakat, sekaligus sebagai pelaksana yang amat
menentukan hasil perencanaan pembangunan masyarakat itu sendiri. Karenanya menjadi faktor
penghambat utama dari proses pembangunan, apabila moralitas dan sistem nilai, mentalitas serta
intelektualitasnya tidak memenuhi syarat, di samping faktor penghambat lainnya, yaitu struktur,
pranata, sistem, dan metode dalam mana para pelaksana itu bekerja.
Perencanaan masyarakat ditujukan untuk membangun masa depan. Masa depan ini tanggung
jawab dan kepemimpinannya akan dipegang oleh generasi muda masa kini, karenanya ia harus
berani menilai faktor-faktor dasar pembangunan tersebut. Adalah tugas dan tanggung jawab
generasi muda untuk berpartisipasi
secara kreatif di dalam pembangunan, kini dan masa datang.
Untuk itu, sesuai dengan tuntutan dasar pembangunan, salah satu tugas pokok generasi muda
adalah membina dirinya secara intensif, baik dalam pembinaan mental spiritual dan
intelektualitasnya maupun dalam melatih keterampilan sosial dan teknisnya, agar kepemimpinan
dan partisipasinya di masa depan berhasil.
Hal ini hanyalah mungkin apabila ia mendapat kesempatan untuk belajar dan berlatih secara
intensif dalam perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang bermutu.
Organisasi mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda, berkewajiban membantu perguruan
tinggi menjalankan tugas ini. Tugas pembinaan kepribadian generasi muda secara paripurna
menuntut pula perhatian dari pihak pemerintah dan generasi terdahulu, karena perkembangan
masyarakat dan pembinaan generasi adalah suatu proses yang kontinyu. Di dalam pembangunan
masyarakat negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, penyimpangan-
penyimpangan sering terjadi, bahkan mungkin terjadi deviasi-deviasi keadilan sosial dan
demokrasi yang merupakan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Di sini
generasi muda bertugas dan bertanggung jawab untuk selalu berpartisipasi dengan melaksanakan
sosial kontrol dan koreksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam
pembangunan.
Dia harus mengingatkan masyarakat dan pemerintah agar jangan sampai meninggalkan tujuan,
motivasi dan orientasi pembangunan yaitu, manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya. Untuk itu
generasi muda harus mendalami masalah-masalah yang ada. Karenanya mutlak perlu untuk
selalu berkomunikasi dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan agar dapat
ditemukan jalan keluarnya. Generasi muda adalah product in process dalam masyarakat, oleh
karenanya generasi muda berpartisipasi sesuai dengan fungsi, kapasitas, dan watak
alamiahnya.
Demikianlah generasi muda harus betul-betul tampil sebagai kekuatan moral dan intelektual
dalam proses pembangunan bangsa ini.

Cipayung, 16 April 1972
STEERING-COMMITTEE PERTEMUAN CIPAYUNG II
1. Ridwan Saidi 2. Gambar Anom 3. Soerjadi 4. Budihardjono 5. Natigor Siagian 6. Janes
Hutagalung 7. Chris Siner Key Timu 8. Eko Tjokrodjojo



POKOK-POKOK PIKIRAN
KELOMPOK CIPAYUNG III

Pendahuluan
Belajar dari sejarah perjuangan bangsa dan negara, serta didasari bahwa Indonesia yang dicita-
citakan hanya dapat dibangun dengan tekad dan usaha bersama dari generasi ke generasi.
Menyadari pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai syarat terselenggaranya upaya nyata
menuju bangsa dan negara yang dicita-citakan, masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila, maka HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan GMNI sebagai generasi muda bangsa dengan
keikhlasan dan rasa kebersamaan merasa perlu untuk meningkatkan partisipasi dalam proses
pembangunan dengan menghayati dan mendalami, serta mengembangkan Kesepakatan
Cipayung.
Berdasar pada keyakinan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan bangsa adalah perjuangan
bersama segenap rakyat Indonesia dan bahwa kemerdekaan, serta negara kesatuan Republik
Indonesia adalah milik bersama segenap rakyat, maka usaha terwujudnya Indonesia yang kita
cita-citakan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Dalam proses pencapaian cita-cita
itu melalui bentuk aktivitas pembangunan, penghayatan yang mendasar akan makna
kebersamaan adalah penting. Yakni kebersamaan dalam pengertian perencanaan, pelaksanaan
maupun pemerataan hasil pembangunan, sekaligus kebersamaan dalam berbagai segi dalam
pembangunan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Sebagian dari aktivitas pembangunan masyarakat dan manusia seutuhnya, salah satu dimensinya
berupa upaya menyiapkan generasi muda menjadi warga negara yang bertangung jawab atas
masa depan negara dan bangsa. Generasi muda yang dimaksudkan adalah generasi muda yang
tidak hanya memiliki keterampilan serta menguasai ilmu dan teknologi, tetapi sekaligus harus
memiliki kepribadian manusia Indonesia.
Menyadari bahwa masalah pembangunan generasi muda adalah masalah yang kompleks,
membutuhkan pemikiran serius, kejelasan dan ketetapan pola konsepsi, ketekunan yang terus-
menerus serta sarana yang memadai, maka dalam hal ini perlu adanya pemahaman bersama
terhadap sistem dan sarana pembinaan dalam pengertian melihat generasi muda sebagai individu
maupun makhluk sosial. Pada dasarnya, tuntutan pokok dari suatu masyarakat yang berdaulat
adalah kemampuan merencanakan masyarakat yang akan dibangun. Demikian juga, bangsa
Indonesia harus mampu merencanakan berdasarkan potensi-potensi serta kemampuan yang ada
di dalam masyarakat, dengan menghayati jalannya sejarah bangsa Indonesia dan umat manusia
di seluruh dunia. Dalam pada itu, pelaksanaan dari pembangunan memerlukan pengawasan
sosial yang tidak terlambat, khususnya dari aparat-aparat yang berwenang.
Pembinaan Generasi Muda
1. Pada dasarnya pembinaan generasi muda itu menjadi tanggung jawab generasi muda sendiri,
sebab secara psikopedagogis akan menumbuhkan satu generasi bangsa yang mampu berdiri
sendiri. 2. Dasar umum tentang pembinaan generasi muda telah ditetapkan dalam GBHN. Dalam
hubungannya dengan pelaksanaan GBHN, hendaknya pemerintah lebih mengutamakan
penciptaan iklim tumbuh dan berkembangnya kreativitas serta kepribadian generasi muda yang
sesuai dengan proses aktualisasi dirinya dengan segala hasrat dan aspirasinya. 3. Secara faktual,
keanekaragaman dalam masyarakat adalah merupakan kelaziman kultural, dan hal ini tercermin
juga dalam kehidupan generasi muda Indonesia. Agar kelaziman itu berjalan secara dinamis dan
kondusif untuk pembangunan, maka diperlukan komunikasi secara terbuka dan setaraf antara
unsur-unsur generasi muda yang ada. Dalam hubungannya dengan pembinaan generasi muda,
maka pendekatan yang dilakukannya pembinaan secara comprehensive dalam pengertian seluruh
unsur dalam masyarakat merupakan subyek pembinaan.
Oleh sebab itu, generasi sebelumnya hendaknya memberikan teladan yang benar dan baik, juga
generasi tua, khususnya pemuka-pemuka masyarakat harus melaksanakan hidup yang bersifat
kerakyatan.
Umum
A. Untuk peningkatan kebersamaan dalam pembangunan, maka perlu terciptanya suatu sistem
pemerintahan yang sehat, efektif dan bersih dalam melaksanakam political commitment dari
semua pihak. B. Dalam hubungan dengan pelaksanaan di atas, maka usaha-usaha pengembangan
dan pembinaan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus dilakukan secara sungguh-
sungguh dan terus-menerus. Oleh karenanya perlu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Pelaksanaan kebebasan pers hendaknya dihargai oleh semua pihak, termasuk pemerintah dan
masyarakat, serta kepada pers sendiri diharapkan untuk melaksanakan fungsinya secara
bertanggung jawab. Ancaman berupa apapun, baik fisik maupun pemberangusan tidak pantas
diperdengarkan apalagi dilaksanakan.
b. Sikap responsif dari pemerintah dalam menanggapi koreksi-koreksi yang timbul dalam
masyarakat, diperlukan dalam rangka membina tatanan yang mampu menyalurkan rasa tanggung
jawab seluruh rakyat. Untuk itu, tatanan politik nasional harus memiliki kemampuan dan
kemauan untuk melaksanakan perbaikan secara terus-menerus, agar tatanan sungguh-sungguh
berfungsi.
c. Dalam menunjang tatanan politik di atas yang dibarengi oleh proses pergeseran nilai budaya,
sistem hukum, pranata-pranata sosial/ identitas, maka diperlukan suatu kebijaksanaan yang pasti
dan mantap sehingga memungkinkan terlaksananya rencana-rencana pembangunan.
d. Di lain pihak, pembangunan ini perlu menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut
keadilan sosial antara lain:
1. Menyehatkan aparat pelaksana perpajakan,
2. Menghentikan proses perpindahan kekayaan desa ke kota, dan kekayaan bangsa ke luar negeri,
3. Melaksanakan land reform dan bagi hasil secara konsekuen sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.

Cipayung, 25 Januari 1976
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ridwan Saidi, Ketua Umum, Saleh Elwaini, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat GMKI Ir. Natigor Siagian, Ketua Umum, Shirato Syaifei, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII Drs. H.M. Abduh Paddare, Ketua Umum, Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal;
Dewan Pengurus Pusat GMNI Drs. Soerjadi, Ketua Umum, Dien M. Amin, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Drs. Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium, Herman Karundeng,
Sekretaris Jenderal.



PENJELASAN TENTANG KERJA SAMA KELOMPOK CIPAYUNG

HMI, GMNI, PMKRI, GMKI, PMII adalah organisasi mahasiswa sebagai penerus dan pewaris
bangsa di masa depan yang secara sosial kultural datang dari kelompok sosial yang berbeda-
beda, namun telah berangkat untuk menyelenggarakan forum dialog/ komunikasi bersama dalam
suatu pertemuan di Cipayung, untuk menghindari disintegrasi yang terjadi pada masa lampau.
Dalam pertemuan-pertemuan Kelompok Cipayung, yang hendak dikaji selain tema yang
berhubungan dengan generasi muda dan pembangunan, juga hendak dibuktikan kepada
masyarakat adanya usaha untuk menjalin pertemuan kultural dari aneka kelompok sosial yang
berbeda dan yang pada masa terdahulu pernah saling bertentangan.
Disadari bahwa pertentangan antarkelompok sosial bukan saja tidak menguntungkan pihak-pihak
yang bersangkutan, tetapi lebih jauh dari itu yakni, merugikan cita-cita bangsa secara
keseluruhan. Lahirnya Kelompok Cipayung merupakan suatu manifestasi dari penghayatan
bersama terhadap masalah di atas. Menyadari akan pentingnya persatuan dan kesatuan, syarat
terselenggaranya upaya nyata menuju bangsa dan negara yang dicita-citakan, masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila; HMI-PMII-PMKRI-GMKI, dan GMNI sebagai generasi
muda bangsa dengan kesadaran dan rasa kebersamaan merasa perlu untuk meningkatkan
partisipasi dalam proses pembangunan.
Dalam perjalanannya, Kelompok Cipayung telah menyelesaikan pertemuan-pertemuan yang
menghasilkan:
A. Pertemuan I, Januari 1972, 'Indonesia Yang Kita Cita-citakan
sebagai suatu pemahaman dan perwujudan bersama terhadap Indonesia yang kita warisi untuk
masa mendatang. B. Pertemuan II, April 1972, 'Perencanaan Masyarakat dan Tanggung Jawab
Generasi Muda' sebagai suatupemahaman dan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam
perencanaan masyarakat menuju Indonesia yang kita cita-citakan. C. Pertemuan III, Januari
1976, 'Meningkatkan Kebersamaan Menuju Indonesia yang Kita Cita-citakan' dan Pembinaan
Generasi Muda yang Berkepribadian' sebagai suatu pemahaman tentang perlunya diperluas
keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan.
Selain dari pada itu, dalam merealisasikan ide Kelompok Cipayung di tingkat pusat telah pula
diwujudkan sarana-sarana operasional dalam bentuk, antara lain Komite Kerja Kelompok
Cipayung, dan bulletin Cipayung. Dengan menyadari bahwa ide kebersamaan ini adalah milik
kita bersama, dan merupakan suatu hakikat yang telah ada di tengah-tengah, oleh karena itu,
dalam pertemuan III Kelompok Cipayung dirasakan perlunya kebersamaan ini dapat
ditingkatkan dan diwujudkan di daerah Saudara-saudara.
Demikianlah penjelasan ini, kami sampaikan untuk menjadi perhatian Saudara-saudara.

Jakarta, 5 Agustus 1976
Pengurus Besar HMI Ridwan Saidi, Ketua Umum, Chumaidi Sjarif Romas, Ketua I; Pengurus
Besar PMII H. Madjidie Syah, Ketua, Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium, Herman Karundeng, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat GMKI Shirato Syafei S. Th., Ketua Umum, Tony Waworuntu, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI F. As. Alwie, Ketua II, M. Dien Amin, Wakil Sekretaris Jenderal.



Pernyataan Kelompok Cipayung Tentang
TATANAN KEHIDUPAN NASIONALDALAM MENYONGSONG MASA DEPAN
BANGSA


Menyadari sepenuhnya akan tugas dan tanggung jawab selaku bagian dari generasi muda bangsa
dan negara Republik Indonesia, dalam melihat kenyataan kehidupan dan menegaranya bangsa
Indonesia sekaligus untuk menyongsong hari depan bangsa sebagaimana yang kita cita-citakan
dalam Pancasila dan UUD 1945, maka kami, Kelompok Cipayung (PP GMKI, Presidium GMNI,
PB HMI, PB PMII, dan PP PMKRI) menyatakan sikap dan pemikiran sebagai berikut:
a. Bahwa falsafah negara Pancasila yang merupakan landasan moral dan landasan politik harus
dilaksanakan secara jujur, murni, konsekuen, dan bertanggung jawab.
b. Citra dan cita kebudayaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bersifat dan bercita-
cita kerukunan hidup secara kekeluargaan, hormat-menghormati, harga-menghargai dalam
kehidupan sehari-hari, baik sebara pribadi maupun kelompok, karena itu kekuasaan negara yang
berdasarkan Pancasila harus tumbuh dari bawah menurut kehendak aspirasi rakyat serta
digunakan bagi kepentingan rakyat.
c. Bahwa pengalaman hidup menegaranya bangsa Indonesia selama 11 tahun Orde Baru ini,
menunjukkan adanya indikasi-indikasi sebagai berikut:
1. Masih terasa dominannya cara berpikir dan pola budaya yang feodalistis dan paternalistis,
2. Bahwa pelaksanaan demokrasi Pancasila belum
sepenuhnya mencerminkan kehidupan demokrasi yang memberikan tempat bagi
terselenggaranya suatu sistem pemerintahan/kekuasaan yang sepenuhnya didasarkan kepada
kehendak dan aspirasi rakyat,
3. Pembangunan yang tengah dilaksanakan dewasa ini memberikan peluang kepada timbulnya
kapitalisme baru seperti tercermin pada kenyataan yang ada saat ini misalnya, makin melebarnya
jurang antara si kaya dan si miskin, menumpuk modal/ kekayaan pada sekelompok masyarakat
tertentu dan penyelewengan berupa korupsi, manipulasi, komersialisasi jabatan semakin
merajalela,
4. Bahwa sistem dan struktur kekuasaan yang ada saat ini, diberlakukan atau bertendensi ke arah
sistem yang monolitis sifatnya, dan cenderung mempertahankan status quo dalam kehidupan
bernegara dan bermasyarakat,
5. Sendi-sendi hukum dan kebebasan seringkali dikorbankan demi stabilitas nasional.
d. Pada dasarnya hakikat kehidupan bernegara untuk membentuk suatu pemerintahan negara
Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehiduan bangsa
berdasarkan Pancasila. Maka tatanan kehidupan nasional yang kita cita-citakan adalah sebagai
berikut:
1. Sistem dan struktur kekuasaan yang didasarkan kepada kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya sesuai dengan pasal
28 UUD 1945,
2. Sistem dan struktur kekuatan politik/ kepartaian yang ada harus ditata kembali dengan tujuan
otonomisasi dari kekuatan politik/ kepartaian,
3. Dalam meningkatkan partisipasi penuh dari masyarakat,
aspirasi yang tumbuh dari unsur-unsuratmpok-kelompok kemasyarakatan harus mendapatkan
tempat yang sewajarnya;
4. Dilaksanakannya pasal 33 UUD 1945 secara konsekuen dengan didasarkan adanya kemauan
dan keputusan politik yang berorientasi kepada terbentuknya suatu kontrol yang demokratis.
Sebagai akibat dari terselenggaranya sistem politik/ kekuasaaan selama ini, sistem dan pola
kehidupan perguruan tinggi tidak menunjang berfungsinya perguruan tinggi sesuai dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi. Terdapat kecenderungan untuk menjadikan segenap unsur perguruan
tinggi sebagai subordinat dari struktur yang berkuasa, sehingga menyebabkan lemahnya peranan
perguruan tinggi khususnya mahasiswa dalam fungsi sosial kontrol, dan menjadikan perguruan
tinggi umumnya dan mahasiswa pada khususnya mahasiswa dalam fungsi sosial kontrol, dan
menjadikan perguruan tinggi umumnya dan mahasiswa pada khususnya hanya sebagai alat
pragmatis belaka dari pembangunan dan miskin akan idealisme.
Untuk mengembalikan fungsi dan peranan perguruan tinggi sesuai dengan Tri Dharma
Perguruan Tinggi, maka:
a. Otonomisasi perguruan tinggi dan kehidupan demokrasi di perguruan tinggi harus dijamin dan
dihormati.
b. Kebebasan mimbar/ilmiah sebagai attribute dasar perguruan tinggi, tidak hanya terbatas pada
ruang lingkup kampus tetapi harus mempunyai refleksi kemasyarakatan sesuai dengan Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
c. Otonomisasi lembaga-lembaga kemahasiswaan di dalam kehidupan perguruan tinggi dalam
aktivitas kemahasiswaan haruslah mendapat jaminan yang tercermin di dalan statuta perguruan
tinggi.

Jakarta, 15 Juni 1977
Pengurus Pusat GMKI Shirato Syafei S.Th., Ketua Umum, Tony Waworuntu, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Hadi Siswanto, Ketua; Karyanto W., Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar HMI Erwin Syahril, Ketua F. Shalahudin, Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII
H. M. Abduh Paddare, Ketua Umum, Ahmad Bagdja, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium, Herman Karundeng, Sekretaris Jenderal.



Resolusi Kelompok Cipayung
SEHUBUNGAN DENGAN SIDANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

Kami, yang bergabung dalam Kelompok Cipayung, yaitu PB HMI, PP GMKI, Presidium GMNI,
PP PMKRI dan PB PMII, sebagai bagian dari generasi muda Indonesia yang turut bertanggung
jawab akan masa depan bangsa yang dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945, dengan ini
menyampaikan pendapat:
Pemilihan Pimpinan DPR dan MPR 1977
A. Kami merasa prihatin atas cara pemilihan pimpinan DPR dan MPR tahun 1977.
B. Atas dasar kenyataan tersebut di atas, jelas terlihat gambaran suram nilai demokrasi Pancasila
karena adanya tirani politik, yang meninggalkan asas musyawarah-mufakat.
C. Fungsi dan peranan lembaga demokrasi telah dikebiri dan diintervensi demi kepentingan
tertentu/ penguasa. Sebagai akibatnya, DPR dan MPR telah melanggar tata tertib yang telah
ditetapkan dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945. Hal ini merupakan precedent politik yang
dapat menghambat perkembangan kehidupan demokrasi di masa depan.
D. Bagi parpol, Golkar, dan mereka yang diangkat menjadi anggota DPR dan MPR, agar lebih
berani dalam membela harkat, wibawa, dan integritas sebagai alat demokrasi yang telah diakui
oleh undang-undang.
E. Menurut pandangan kami, pimpinan DPR dan MPR sekarang ini, secara moral belum
mewakili aspirasi fraksi-fraksinya yang ada.
F. Cara pengambilan keputusan seperti tersebut di atas, pada hakikatnya bertentangan dengan
asas musyawarah-mufakat, yang mengundang hadirnya kultur oposisi dalam kehidupan
demokrasi Pancasila.
Penyusunan GBHN
Bahwa ketetapan MPR tentang GBHN adalah masalah-masalah yang prinsipil dalam rangka
penataan kehidupan bernegara. Sehubungan dengan itu, kami berpendapat:
A. Pada dasarnya penyusunan rancangan GBHN dilahirkan oleh MPR itu sendiri, atas prasangka
fraksi-fraksi yang ada. Bahwa dalam rangka menyusun GBHN dan ketetapan lain, rancangan-
rancangan yang masuk ditempatkan sebagai suatu kesatuan rancangan.
B. Pada dasarnya isi GBHN adalah pokok-pokok penataan kehidupan bernegara, dan bukan hal-
hal yang bersifat operasional dan teknis, misalnya pembinaan KNPI, dewan mahasiswa,
Kelompok CIpayung, pramuka, pembinaan menteri-menteri, dan seterusnya.
Pembinaan Generasi muda
A. Dalam pembinaan generasi muda kami berpendapat bahwa, proses pembinaan generasi muda
hendaknya diserahkan kepada generasi muda itu sendiri. Sebab, secara sosiopsikologis dapat
menumbuhkan generasi yang kreatif, percaya pada diri sendiri, dan bertanggung jawab untuk
mencapai cita-cita bersama dengan landasan kebhinnekatunggalikaan.
B. Bertolak dari kebhinekatunggalikaan itu, maka pembinaan generasi muda hendaknya tidak
berdiri monolitis yang menuju kepada sistem kehidupan totaliter.
C. Pembinaan generasi muda hendaknya menjamin pertumbuhan idealisme generasi muda, dan
menghindari asas pragmatisme yang dipakai selama ini.
D. Sehubungan dengan rancangan GBHN yang merupakan
lampiran pidato Presiden Soeharto pada sidang penyumpahan anggota-anggota DPR dan MPR
hasil Pemilu 1977, dalam bidang pembinaan generasi muda dengan mencantumkan nama
organisasi KNPI maka dengan ini kami berpendapat:
a. Pencantuman itu terlalu bersifat teknis dan operasional dan bukan menggambarkan sebagai
Garis Besar Haluan Negara.
b. Bahwa KNPI bukan satu-satunya wadah dan forum komunikasi pembinaan generasi muda
yang dapat menjamin tersalurnya aspirasi generasi muda Indonesia.
c. Bahwa KNPI seharusnya kembali pada Deklarasi Pemuda Indonesia, Juli 1973 yang
ditandatangani oleh eksponen-eksponen generasi muda Indonesia yang bergabung dalam
organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa di Indonesia, khususnya Kelompok Cipayung.

Jakarta, 6 Oktober 1977
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Chumaidi S.R.Ketua Umum, Abdullah Hemamahua, Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI Soedaryanto, Presidium Karyanto W., Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
GMKI Shirota Syafei S.Th., Ketua Umum, Tony Waworuntu, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat PMKRI Polycarius D.L., Presidium Herman Karundeng, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII M. Madjidie Sjah, Ketua Umum, Ahmad Bagdja, Sekretaris. Jenderal.



Kesepakatan Cipayung IV
BAGI USAHA-USAHA PENGEMBANGAN GENERASI MUDA DALAM RANGKA
PEMBANGUNAN BANGSA SEUTUHNYA

Pada tanggal 22 September 1978 hingga 24 September 1978, Kelompok Cipayung yang terdiri
dari HMI, GMKI, PMII, PMKRI, dan GMNI, telah menyelenggarakan suatu forum studi
bersama dengan organisasi-organisasi pemuda lainnya di bawah tema Penghayatan Arti
Sumpah Pemuda dalam Mewujudkan Indonesia yang Dicita-citakan.
Pertemuan ini didasari pada keyakinan bahwa, perjuangan untuk merebut kemerdekaan bangsa
adalah perjuangan segenap rakyat Indonesia, di mana peranan dan pengorbanan generasi muda
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan perjuangan menuju Indonesia merdeka.
Setelah mengadakan studi bersama yang mendalam, yang meliputi aspek-aspek sejarah,
pendidikan, kepemudaan, ketahanan nasional, dan kebudayaan, maka Pertemuan Cipayung IV
mengungkapkan hasrat dan tekadnya untuk terus-menerus berusaha mewujudkan Indonesia yang
dicita-citakan dengan mengambil kesepakatan sebagai berikut:
A. Perwujudan suatu bangsa adalah hasil proses sejarah dalam usaha mencapai cita-cita bangsa
itu dengan daya cipta, karya, dan karsa manusia-manusianya. Perjalanan sejarah bangsa tidak
bisa dilepaskan dari kualitas manusianya, di mana kreativitas, dedikasi, pengabdian, keikhlasan
dan kejujuran, serta konsistensi terhadap cita-cita bangsa akan selalu mewarnainya.
B. Kebulatan tekad dan patriotisme generasi muda Indonesia 50
tahun yang lalu, yang mencetuskan Sumpah Pemuda dan menentukan corak Indonesia yang
dicita-citakan. Pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia tersebut, membuktikan bahwa
semangat kebersamaan generasi muda disertai watak dan kepribadian yang utuh dengan
kreativitas dan sifat-sifat independensinya, merupakan modal dasar dan tulang punggung bagi
suksesnya cita-cita bersama menuju masyarakat adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.
C. Perwujudan generasi muda tidak lepas dari cita dan citra masyarakat, serta budaya bangsa
Indonesia dengan segala kebhinnekaannya. Pengembangan generasi muda yang berkaitan, dan
merupakan bagian dari pendidikan bangsa serta tidak lepas dari keseluruhan cita-cita nasional,
harus ditujukan pada usaha menumbuhkan generasi muda yang secara sosiopedagogis dapat
berdiri sendiri (mandiri), dan mengaktualisasikan dirinya dalam tantangan lingkungan yang
senantiasa berkembang. Karenanya pengembangan generasi muda harus menghindari perdekatan
struktural, yang mengarah pada pewadahan tunggal, serta usaha-usaha penyederhanaan dalam
apapun sebab hal ini akan menjurus pada rezimentasi generasi muda, dan bertentangan dengan
fitrah generasi muda Indonesia serta nilai-nilai demokrasi. Untuk itu keberadaan generasi muda
Indonesia dengan segala fitrahnya harus terus-menerus dipelihara dan dikembangkan melalui
iklim kemasyarakatan yang sehat.
D. Upaya pengembangan generasi muda harus berangkat dari hakikat dan fitrah generasi muda
dengan mengembangkan kreativitas, kebebasan berserikat, dan menjalin komunikasi yang
terbuka dalam upaya mendewasan diri secara terus-menerus untuk mewujudkan masa depan
yang dicita-citakan. Untuk menghindari disintegrasi nasional, serta kerawanan yang luas
diperlukan kebijaksanaan yang sesuai serta saling pengertian antara pemerintah dengan seluruh
unsur generasi muda dalam melaksanakan tanggung jawab kemasyarakatannya.
E. Upaya pengembangan generasi muda harus menjamin bertumbuh suburnya ideologi yang
mendasari keberadaan generasi muda Indonesia, hal ini diperlukan sebagai pegangan dasar dan
peneguh kepribadian yang sangat berguna dalam menghadapi situasi masyarakat, yang
senantiasa berubah dan merupakan unsur penting dalam menumbuhkan ketahanan nasional yang
berlandaskan Pancasila.
E. Untuk melaksanakan tanggung jawab di atas, tetap bertekad melakukan dialog-dialog dan
studi bersama dalam meningkatkan pengabdian untuk menanamkan kesadaran bernegara dan
bermasyarakat menuju kesejahteraan dan kemakmuran lahir dan batin.
Disepakati dan diteguhkan bersama dengan menyanyikan lagu, Satu Nusa, Satu Bangsa dan lagu
Padamu Negeri. Di Gadok, Ciawi, hari Minggu, tanggal 24 September 1978, jam 20.02 WIB.

Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Chumaidi Syarief Romas, Ketua umum, Abdullah Hehamahua, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Rasjhandi Rasyad, Ketua Presidium, Karyanto W.,
Sekretaris Jenderal.



Keterangan Pers Kelompok Cipayung
DALAM RANGKA MENYAMBUT HARI SUMPAH PEMUDA KE-50 DAN KONGRES
KNPI II

Didorong oleh rasa tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, serta menyadari
sepenuhnya akan fungsi dan peranan generasi muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Kelompok Cipayung yang terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, GMKI, dan GMNI setelah
mengikuti, memahami, dan menilai situasi kepemudaan dewasa ini, mengemukakan catatan
sebagai berikut:
a. Keberadaan generasi muda Indonesia dalam berbagai sifat dan manifestasinya merupakan
cermin dari cita dan citra masyarakat, serta budaya bangsa, harus merupakan jaminan
kelangsungan cita-cita perjuangan bangsa seperti yang diisyaratkan oleh Sumpah Pemuda 1928,
dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Untuk itu, diperlukan persatuan dan kesatuan,
serta pendayagunaan seluruh kemampuan dan potensi generasi muda akan keterlibatan dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
b. Usaha pendayagunaan potensi generasi muda dalam rangka kesinambungan cita-cita bangsa,
harus bertolak dari kondisi obyektif kehidupan generasi muda itu sendiri dengan mengindahkan
nilai-nilai demokrasi, serta tetap meletakkan generasi muda sebagai subyek. Hal ini sesuai
dengan pidato Presiden Soeharto pada pembukaan lokakarya pembinaan generasi muda pada
tanggal 4 Oktober 1978. Ini berarti, memberikan peranan kepada generasi muda secara positif
dalam usaha mengembangkan diri dengan segala dinamika, kreativitas, dan kesadarannya akan
masa depan bangsa dan negara.
c. Usaha-usaha yang selama ini dilakukan dalam rangka mengembangkan generasi muda untuk
kepentingan masa depan bangsa dan negara, telah mendapat perhatian yang semestinya dari
generasi muda. Partisipasi dan rasa tanggung jawab generasi muda dengan segala itikad baiknya
telah terbukti dalam usaha-usaha yang dilakukan pemerintah misalnya, dalam lokakarya
pembinaan generasi muda yang berlangsung pada tanggal 4 Oktober 1978. Semestinya kesadaran
dan bentuk partisipasi generasi muda dalam usaha-usaha semacam itu dapat ditanggapi dan
diletakkan dalam posisi subyek seperti yang diamanatkan Presiden tersebut di atas, tetapi
ternyata hasil lokakarya belum mencerminkan kehendak sebagian besar generasi muda
Indonesia, dan ini sekaligus akan mengambat usaha-usaha untuk menciptakan iklim kepemudaan
yang sehat dan menunjang pembangunan.
d. Dalam kaitannya dengan akan berlangsungnya kongres KNPI yang bukan kongres pemuda,
kami berharap agar dapat menghasilkan rumusan-rumusan yang berguna bagi kehidupan bangsa
dan negara, dan sekaligus dapat mencerminkan sikap keterbukaan dan kedewasaannya dalam
memahami situasi kepemudaan dewasa ini. Ini berarti, KNPI akan mampu menemukan fitrahnya
sendiri seperti yang diisyaratkan oleh Deklarasi Pemuda 23 Juni 1973. Kelompok Cipayung yang
eksponen-eksponennya merupakan sebagian dari pencetus Deklarasi Pemuda 23 Juni 1973
(bukan sebagai organisasi pendukung), menganggap KNPI dalam posisinya dewasa ini tetap
merupakan sebagai sesama generasi muda yang kiranya dapat menjalin kerja sama sebaik-
baiknya untuk kepentingan masa depan bangsa dan negara.

Jakarta, 27 Oktober 1978
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum; Pengurus Pusat PMKRI Wem
Kaunang, Ketua Presidium; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum Pengurus Pusat
GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum; Presidium GMNI Rasjhandi Rasjad, Ketua Presidium




Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung (PB HMI-PP GMKI-PB PMII- PP PMKRI-
PRESIDIUM GMNI)Tentang
PENATAAN KEMBALI LEMBAGA PENYELENGGARAAN KEDAULATAN RAKYAT
DAN KEKUATAN-KEKUATAN SOSIAL-POLITIK

Pendahuluan
A. Di Indonesia dewasa ini dirasakan bahwa ketertiban di bidang hukum, keadilan, kebenaran,
serta nilai-nilai universal lainnya merupakan taruhan bagi berbagai kepentingan politik dari
semua institusi kemasyarakatan yang ada, sehingga lembaga sosial kontrol sangat penting dalam
mengawasi terjadinya pelanggaran hukum di berbagai bidang tersebut. Ini berarti, DPR sebagai
lembaga legislatif yang antara lain berfungsi mengontrol eksekutif, tidak hanya memiliki
tanggung jawab konstitusional tetapi juga bertanggung jawab kemanusiaan. Karena suatu
undang-undang produk DPR yang keliru dapat merontokkan pilar-pilar nilai universal dalam
masyarakat, begitu juga akibat kurang kontrolnya terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah membawa bencana bagi rakyat kecil. Fungsi DPR menjadi lebih penting manakala
diperhatikan bahwa kedaulatan rakyat dan keadilan sosial belum terselenggara sebagai mestinya.
B. Negara-bangsa yang dilahirkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945, dalam proses
perkembangannya telah mengalami krisis-krisis politik. Krisis-krisis politik demikian itu, karena
berbagai kondisi yang ada, telah memaksa ABRI campur tangan di bidang politik. Secara lebih
jauh campur tangan di bidang politik itu telah berkembang ke bidang ekonomi, budaya, dan
bahkan pendidikan. Peranan ABRI di bidang-bidang politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan
itu semakin kokoh dengan lahirnya doktrin 'Dwi fungsi ABRI'. Pada proses selanjutnya
pelaksanaan 'Dwi fungsi ABRI' menjurus pada pemihakan satu golongan. Sikap dan perilaku
ABRI yang demikian itu telah menjauhkan ABRI dan asal kelahirannya, yaitu rakyat. Keadaan
demikain akan mendapat membahayakan ketahanan nasional dan merupakan penghalang
terbesar dalam menciptakan kemanunggalan ABRI dengan rakyat yang merupakan kunci
keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia.
C. Dalam Negara-Bangsa Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, adanya
institusi sosial-politik seperti partai-partai politik menjadi keharusan. Institusi sosial-politik yang
berupa partai politik itu, tidak saja berfungsi sebagai penyalur aspirasi masyarakat pendukungnya
tetapi juga sebagai sarana pendidikan politik bagi bangsa secara keseluruhan. Fungsi dan peranan
partai-partai politik menjadi sangat penting, manakala diingat bahwa hak-hak civic warga negara
belum terselenggara sebagaimana mestinya, sedangkan kedaulatan rakyat masih jauh dari apa
yang diisyaratkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam upaya lebih
memfungsikan peran DPR, ABRI, dan partai politik termasuk Golongan Karya, dalam
menegakkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, Kelompok Cipayung yang terdiri dari PB
HMI, PB PMII, PP GMKI, PP PMKRI, dan Presidium GMNI menyampaikan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut:
Mekanisme Perwakilan dan Aturan Permainan
a. Agar setiap produk DPR sejiwa dengan aspirasi rakyat, hendaknya DPR senantiasa
berkomunikasi langsung dengan rakyat untuk menimba keinginan dasar yang sebenarnya
langsung dari rakyat itu sendiri. Berarti, tidak hanya anggota masyarakat yang meminta bertemu
dengan DPR tetapi mengundang masyarakat untuk bertukar pikiran di samping senantiasa
mendatangi langsung rakyat tanpa pesan dan cara-cara seremonial.
b. Agar setiap produk DPR dapat mengimbangi konsepsi-konsepsi yang berasal dari pemerintah,
hendaknya pengambilan keputusan melalui suatu proses kualitatif oleh anggta-anggota DPR
yang berbobot. Berarti, DPR harus memiliki staf ahli di berbagai bidang, sehingga tidak hanya
terjadi proses mendikte secara sepihak dari pikiran eksekutif.
c. Agar terhindarnya masyarakat dari keresahan dan penderitaan yang tak menentu, diperlukan
kepekaan yang tinggi dari anggota DPR untuk lebih tanggap dan peka dalam mencegah lahirnya
suatu kebijakan pemerintah, seperti kenaikan harga BBM baru-baru ini.
d. Dalam hubungan ini, integritas setiap anggota DPR menjadi taruhan, serta harus terjamin
dalam suatu mekanisme tata tertib DPR yang proporsional. Oleh karena itu, diperlukan
perubahan dan penyempurnaan terhadap tata tertib dan mekanisme kerja dari DPR yang ada
sekarang sebagai berikut:
1. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wakil rakyat, maka anggota DPR secara individual
seharusnya memiliki kekuatan untuk berbicara dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang
diwakilinya, bukan semata-mata atas keinginan fraksi atau partainya. Kekuatan ini diberikan di
atas landasan hukum yang bebas dari kepentingan-kepentingan, atau keterikatan-keterikatan
terhadap kekuasaan di dalam negara,
2. Angota DPR harus benar-benar berbobot, terpilih melalui suatu proses seleksi yang dapat
dipertanggungjawabkan kualitasnya, yang untuk itu persyaratan-persyaratan bagi angota DPR
seperti yang ada sekarang perlu ditinjau kembali,
3. Pada prinsipnya, undang-undang pelaksanaan pemilihan umum hingga saat ini, dan undang-
undang kepartaian yang ada menampakkan bahwa rakyat belum lagi diberi kesempatan memilih
wakil-wakilnya secara langsung. Sebagai konsekuensinya, lembaga DPR lebih nampak sebagai
lembaga perwakilan partai belaka,
4. Di pihak lain, mekanisme yang diberikan selama ini hanyalah memungkinkan
dipertahankannya status quo kekuasaan eksekutif dari pada berkembangya alternatif-alternatif
terhadap sistem dan struktur yang ada. Ini dapat dilihat dari perbandingan anggota-anggota
lembaga yang diangkat dan dipilih melalui proses pemilihan,
5. Kedudukan DPR disetarafkan dengan kedudukan Kepala Negara menurut perundang-
undangan yang berlaku, tetapi dalam prakteknya di bawah DPR sering dikesampingkan, baik
oleh sikap politik eksekutif maupun anggota lembaga itu sendiri. Hal mana sering tampak dalam
sikap politik DPR sebagai suatu lembaga, untuk bertindak mewakili pihak eksekutif terhadap
masyarakat,
6. MPR, sebagai lembaga tertinggi dalam negara, dirasakan kurang sekali melaksanakan
fungsinya. MPR hanya bersidang satu kali dalam lima tahun, untuk menyusun GBHN dan
mengangkat Kepala Negara.
Seharusnya MPR pun dapat bersidang atau diminta bersidang, untuk:
(a) Melakukan suatu evaluasi atas pelaksanaan GBHN dalam masa yang sedang berjalan;
(b) Mencegah dan mencabut kembali, suatu kebijaksanaan pemerintah yang dianggap
bertentangan dengan kepentingan umum, atau yang sifatnya melanggar hak-hak asasi manusia.

Peranan dan Posisi ABRI, Parpol dan Golkar sebagai Kekuatan Sosial-Politik
a. Dalam sejarah negara-bangsa Indonesia kunci keberhasilan perjuangan terletak pada
menyatunya ABRI dan rakyat, karena ABRI menurut pemahaman bangsa Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 adalah ABRI yang mempunyai citra dan naluri yang
merakyat. Untuk kelanjutan perjuangan bangsa, dan kelangsungan pembangunan mencapai
kesejahteraan masyarakat Indonesia lahir batin, tiba saatnya ABRI harus kembali pada citra dan
nalurinya sendiri, yaitu rakyat. Untuk itu rumusan kemanunggalan ABRI dengan rakyat, dan
pengertian tentang ABRI berdiri bagi seluruh kepentingan rakyat harus dipahami dan diterapkan
sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat, bukan atas kehendak dari ABRI sendiri, atau
pemegang kekuasaan negara.
b. Sebagai kekuatan politik yang berlandaskan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, ABRI harus
senantiasa mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan menjauhkan diri dari kehendak individu-
individu atau golongan, serta hanya sekedar berfungsi sebagai alat kekuasaan belaka. ABRI
harus memberikan perhatian sama besar terhadap sesama kekuatan politik yang ada. Seyogyanya
peranan ABRI di bidang sosial-politik, harus merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem
Hankamnas kita, yang perundangannya harus segera diselesaikan.
c. Dilihat dari sudut kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan politik yang sesuai dengan
mekanisme kostitusi yang berlaku, dewasa ini ABRI mempunyai peranan menonjol, sementara
itu Golkar, PPP, dan PDI senantiasa mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kedudukan dan
peranan ABRI secara proporsional. Terasa lebih sulit lagi jika diingat belum ada rumusan dan
pengertian yang jelas dari apa yang disebut demokrasi Pancasila. Keadaan demikian
menyebabkan pelaksanaan demokrasi berada dalam kondisi yang terus-menerus dipertanyakan.
Mekanisme kehidupan demokrasi di Indonesia hanya dapat bertumbuh dan berkembang apabila
seluruh komponen politik yang ada (termasuk ABRI) mempunyai kedudukan dan peranan yang
setara ('berdiri sama tinggi, duduk sama rendah'), dalam harkat dan martabat politik yang
dijunjung tinggi secara bersama-sama.
d. Untuk dapat meningkatkan peran fungsi partai-partai politik termasuk Golongan Karya dalam
menyalurkan aspirasi masyarakat diperlukan usaha terus-menerus menciptakan kondisi
organisasi yang sehat, dan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Dalam
upaya menciptakan kondisi yang sehat, harus diartikan juga upaya memperluas basis dan
memperlebar jalur bagi terselenggaranya kegiatan politik masyarakat, agar kemacetan
penyaluran aspirasi masyarakat yang selama ini ada dapat ditiadakan.
Penutup
Kesemuanya pokok-pokok pikiran di atas adalah merupakan manifestasi hati nurani yang tulus
dan murni dalam rangka memberikan dorongan kepada lembaga perwakilan rakyat, ABRI,
Parpol, dan Golkar agar dapat berfungsi sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sikap ini juga merupakan bagian tugas dan tanggung jawab kehidupan berbangsa dan bernegara,
di mana kita semuanya terpanggil untuk senantiasa memperjuangkan kehendak dan aspirasi
rakyat Indonesia. Adalah lebih baik saat ini untuk mengadakan instropeksi dan mawas diri,
daripada membutakan mata dan memekakkan telinga terhadap jeritan dan gejolak rakyat yang
begitu besar penderitaannya. Agar pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan dan
mengangkat taraf hidup rakyat itu tidak menambah beban dan derita rakyat disebabkan strategi
pembangunan yang keliru, diperlukan keterbukaan dan kejujuran dari semua pihak dalam
memperbaiki keadaan saat ini.
Untuk itu, Kelompok Cipayung senantiasa dan berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa
dan negara Republik Indonesia.

Jakarta, 26 Mei 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo, Ketua Presidium, Sutoro Sb, Sekretaris
Jenderal.




GARIS-GARIS BESAR PROGRAM DAN PENGELOLA PERTEMUAN CIPAYUNG

Pendahuluan
A. Pertemuan Cipayung V yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12-13 Juni 1980,
berkesimpulan bahwa untuk dapat mewujudkan hasil-hasil kesepakatan yang dicapai, perlu
disusun:
a. Program kerja Kelompok Cipayung,
b. Tata kerja dan pengelolaan Kelompok Kerja, serta Forum Cipayung.
B. Garis-garis Besar Program dan Pengelolaan Pertemuan Cipayung ini merupakan
kesinambungan dari hasil rumusan Pertemuan Cipayung sebelumnya.
C. Agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien Program Kerja Kelompok Cipayung,
pengelolaan Kelompok Kerja, serta Forum Cipayung, perlu dijabarkan secara terperinci dan
sistematis oleh Kelompok Cipayung tersebut.
Garis-garis Besar Kelompok Cipayung
A. Dasar: Seluruh dokumen Kelompok Cipayung, baik yang berupa statemen, pokok-pokok
pikiran maupun bahan-bahan referensi dan lain-lain, yang merupakan kesepakatan bersama.
B. Tujuan:
a. Mewujudkan secara konkrit, efektif, dan efisien seluruh kesimpulan dari pertemuan-pertemuan
Cipayung, sehingga dapat ditingkatkan integrasi sesama generasi dan antargenerasi, dalam
rangka peningkatan partisipasi di dalam usaha memajukan masyarakat menuju Indonesia
yang kita cita-citakan,
b. Membina komunikasi, baik di tinggat pusat maupun di daerah, tidak hanya sesama generasi
muda, tetapi juga antargenerasi muda dengan pemerintah dan masyarakat,
c. Mengusahakan perluasan area of agreement antarsesama generasi muda maupun dengan
generasi sebelumnya, baik sipil maupun dengan militer di dalam pemikiran/ aspirasi dasar
mengenai kehidupan bermasyarakat dari Indonesia yang sekarang dan yang kita cita-citakan,
mengenai perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan di Indonesia sekarang dan masa datang,
tidak saja di tingkat pusat tetapi juga di tinggat daerah, sehingga integrasi dan partisipasi
mahasiswa di dalam memajukan masyarakat Indonesia menjadi semakin nyata efektif dan
efisien.
C. Program Studi:
a. Menyelenggarakan diskusi-diskusi, lokakarya-lokakarya, seminar-seminar yang berkaitan
dengan kepentingan mahasiswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya,
b. Menyelenggarakan secara rutin forum studi/ kajian,
c. Pendidikan kader bersama.
D. Program Aksi:
Mengintrondusir, memperluas, dan memperkembangkan nilai-nilai perbaharuan di dalam
masyarakat,
Membantu masyarakat dengan ikut serta di dalam pembangunan fisik ekonomi, politik,
kebudayan sesuai dengan kemampuannya sebagai mahasiswa.
E. Program Komunikasi: Menerbitkan bulletin Kelompok Cipayung yang pengelolannya
ditangani oleh Kelompok Kerja.
F. Program Rekreatif/ Olahraga: Kelompok Cipayung membina atau menyelengarakan kegiatan-
kegiatan rekreatif atau olahraga. Kegiatan-kegiatan rekreatif ini merupakan sarana efektif di
dalam membina rasa persaudaran di antara anggota.
G. Yayasan Dharma Mahasiswa Indonesia:
a. Mengaktifkan kembali Yayasan Dharma Mahasiswa Indonesia dengan memfungsionalkan
kepengurusan yayasan,
b. Pengurus yayasan terdiri dari senior-senior Kelompok Cipayung.
Tata Kerja dan Pengelolaan Kelompok Kerja Cipayung dan Forum Cipayung
A. Nama: Kelompok Kerja.
B. Fungsi dan tugas:
a. Mempersiapkan pertemuan-pertemuan Kelompok Cipayung. b. Mengkoordinasikan kegiatan
Kelompok Cipayung,
c. Mengelola penerbitan bulletin Kelompok Cipayung.
C. Keanggotaan:
a. Terdiri dari unsur-unsur organisasi dalam Kelompok Cipayung, masing-masing 2 (dua) orang,
dan diberi mandat oleh masing-masing organisasi,
b. Keanggotaan Kelompok Kerja ini dapat mengalami pergantian sesuai dengan organisasi
masing-masing.
D. Tata Kerja:
a. Tempat: Sekretariat Kelompok Kerja adalah pada sekretariat tiap-tiap organisasi yang
difungsikan secara bergilir, dengan waktu satu bulan tiap-tiap organisasi, dengan urutan secara
alfabetis.
b. Waktu: Masa Kerja Anggota Kelompok Kerja adalah sama dengan masa kerja masing-masing
organisasi yang bersangkutan.
E. Nama:
Forum Cipayung, terdiri dari (a) pertemuan rutin yang
diadakan oleh setiap organisasi secara alfabetis, (b) Pertemuan Cipayung.
F. Keanggotaan:
a. Pertemuan rutin dari Kelompok Kerja dan pemimpin-pemimpin/ penanggung jawab organisasi
anggota.
b. Pertemuan Cipayung terdiri dari (a) Komite Kerja, dan (b) individu-individu/ perorangan:
senior-senior, yaitu orang-orang yang secara otomatis menjadi anggota Forum Cipayung, karena
partisipasinya secara langsung dan efektif dalam pertemuan-pertemuan Cipayung sebelumnya,
orang-orang yang ditunjuk oleh masing-masing organisasi anggota, orang-orang yang ditetapkan
oleh Kelompok Kerja yang kriteria dan prosedurnya akan ditetapkan kemudian.
G. Fungsi dan Tugas:
a. Pertemuan rutin; mengadakan studi-studi yang aktual dengan input dari Kelompok Kerja,
memberikan informasi timbal-balik antarorganisasi anggota, dan membuat kebijaksanaan-
kebijaksanaan Kelompok Cipayung bilamana perlu;
b. Pertemuan Cipayung; mengadakan studi-studi dengan forum yang lebih luas daripada
pertemuan rutin, membuat pokok-pokok pikiran bagi kehidupan bangsa dan negara.
Penutup
Hal-hal yang belum diatur di sini, akan diatur kemudian oleh Kelompok Cipayung sesuai dengan
dasar, tujuan, dan fungsi dari Kelompok Cipayung.

Jakarta, 13 Juni 1980
KOMISI A PERTEMUAN CIPAYUNG V
Lukman Hakim A.S., Agus Pribadi, Harry Azhar Azis, Stefanus Farok N,. Sahar L. Hassan, Heri
Priyono, Maxie Boboy, Suko Waluyo M.R.

Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung, Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua, Sutoro Sb. Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI
Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat
PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium.Josef Lalu Timu, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar
PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum; Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal.



Kesimpulan Pertemuan Kelompok Cipayung V 12-13 JUNI 1980 di Jakarta tentang
PENATAAN KEMBALI SISTEM SOSIAL GUNA MENUNJANG
KEWARGANEGARAAN YANG DEMOKRATIS DAN BERTANGGUNG JAWAB

Setelah mengadakan studi intensif dan mendalam melalui pertemuan yang ke V pada tanggal 12
dan 13 Juni di Jakarta, maka Kelompok Cipayung merumuskan kesimpulan pertemuan sebagai
berikut:
Pendahuluan
Hakikat sewindu perjalanan sejarah Kelompok Cipayung adalah ungkapan dari persatuan dan
kebersamaan yang dilandasi oleh rasa persahabatan dan persaudaraan generasi muda Indonesia.
Keseluruhan peristiwa yang terjadi selama ini, adalah karena motivasi dan kesetiaan kepada
perjuangan yang dasarnya telah diletakkan bersama, yakni Indonesia yang Kita Cita-citakan,
seperti yang dimaksudkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
GMKI, GMNI, HMI, PMII dan PMKRI dalam kesadaran tersebut, senantiasa menempatkan
Pancasila sebagai suatu dasar yang dinamis dan menjadi ayoman bagi keanekaragaman kultural
dan kelompok sosial di dalam masyarakat. Untuk perwujudan cita-cita dan tanggung jawab
sosial tersebut, maka Kelompok Cipayung tidak dapat tidak harus menata ulang dirinya secara
lebih proporsial, intence dan kontinyu dan serentak dengan itu bertekad untuk meningkatkan
partisipasinya terhadap pembangunan negara dan perhatiannya terhadap kehidupan rakyat yang
tertindas dan miskin.
Pokok-pokok Permasalahan
Peri kehidupan negara dan bangsa yang seharusnya diatur melalui sistem sosial yang demokratis
dan bertanggung jawab kehidupan masyarakat telah mengalami penyimpangan dari kaidah-
kaidah sosial yang diatur dalam Pancasila dan UUD 1945, sehingga hal ini perlu diluruskan
kembali sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat Indonesia secara menyeluruh. Pembangunan
negara dan bangsa adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, untuk mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara strategis pembangunan harus menempatkan
manusia Indonesia sebagai titik sentral dan subyek, sekaligus tujuan dari pembangunan itu
sendiri. Hal ini berarti semua pranata dalam sistem sosial kehidupan masyarakat Indonesia harus
menjamin perluasan hak dan kesempatan rakyat, sehingga terbentuk iklim yang menunjang
kehidupan kewarganegaraan yang demokratis dan bertanggung jawab.
Dalam dekade pembangunan, baik yang sudah kita lalui maupun yang sedang berlangsung
dewasa ini, kita melihat masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari strategi pembangunan
yang keliru yakni, masalah-masalah seperti sulitnya lapangan kerja, kesempatan memperoleh
pendidikan yang layak, disintegrasi ikatan-ikatan, atau hubungan-hubungan tradisional,
persaingan yang keras di mana kesemua masalah ini telah mengakibatkan rasa insecured social
yang semakin meluas dan Individualisme semakin menonjol dalam kehidupan bernegara dan
berbangsa. Untuk mengatasi masalah tersebut, kehidupan politik harus memberikan peluang bagi
ter-laksananya pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang maju, untuk me-luruskan kembali
strategi pembangunan, sehingga kesalahan yang selama ini terjadi dapat diakhiri. Selama ini
dirasakan bahwa kemauan dan tuntutan politik yang tumbuh dari bawah, tidak memperoleh
saluran yang semestinya karena tersekat oleh struktur kelembagaan politik yang monolitik dan
birokratis.
Di bidang ekonomi, kita menjumpai adanya akumulasi modal dan kesempatan pada sekelompok
kecil dari masyarakat, dan tidak terlepas dari jaringan kepitalisme internasional yang
mengakibatkan timbulnya kemiskinan struktural yang berlangsung secara sistematis, sehingga
hal ini makin memperlebar jurang di antara si kaya dengan si miskin. Di samping masalah politik
dan ekonomi, maka masalah etika sosial yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 yang
mengatur hubungan normatif dan fungsional di antara kelompok-kelompok masyarakat dan
mengatur penggunaan kekuasaan yang ada, telah pula mengalami penyimpangan. Penyimpangan
itu, lebih terasa dengan adanya pemusatan kekuasaan dan sistem sosial yang melemahkan fungsi
kontrol sosial masyarakat, sehingga etika sosial yang harus diberlakukan tidak dapat
terwujud.Hal ini kalau terus-menerus berlangsung akan berakibat terjadinya kekosongan moral
yang dapat membawa petaka bagi negara dan bangsa.
Penetapan Kembali Sistem Sosial Guna Menunjang Kewarganegaraan yang Demokratis dan
Bertanggung Jawab
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang dikemukakan di atas, maka dibutuhkan
adanya langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembaharuan sistem dan struktur penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh dan terpadu.
Lembaga-lembaga pengawasan umum seperti DPR, pers, partai-partai politik, perguruan tinggi,
dan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, harus berfungsi secara efektif dan konstruktif.
b. Pelaksanaan pendidikan politik secara kongkrit bagi segenap lapisan masyarakat.
c. Pelaksanaan sistem ekonomi yang demokratis dan merakyat
dalam mencapai cita-cita keadilan sosial yang sesuai dengan jiwa pasal 33 UUD 1945
menggantikan sistem ekonomi yang kapitalis yang berlaku hingga saat ini.
d. Pengaturan kembali kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah, alat-alat produksi, dan
sumber-sumber produksi untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum tani,
buruh, dan nelayan.
e. Pelaksanaan secara benar adalah nilai-nilai etika sosial yang bersumber pada Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
f. Pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang comprehensive meliputi aspek otak, watak, dan
rasa secara utuh dan terpadu, dalam rangka melahirkan generasi yang kreatif, demokratis, dan
bertanggung jawab. Lembaga-lembaga pendidikan harus memiliki otoritas dan otonomi
sebagaimana mestinya, sehingga memungkinkan berkembangnya kebebasan mimbar dan
kebebasan ilmiah secara wajar dan bertanggung jawab.
g. Derezimentasi generasi muda dalam rangka penyehatan iklim kehidupan generasi muda,
sehingga dapat berkembang secara mandiri sesuai dengan fitrahnya.
Pengembangan Kebersamaan Kelompok Cipayung
Untuk meningkatkan peranan Kelompok Cipayung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
a. Meningkatkan konsolidasi intern organisasi-organisasi dalam Kelompok Cipayung, dalam
rangka mengembangkan usaha dan tugas kebersamaan. Dengan demikian, proses kaderisasi
harus dijalankan dalam tiap-tiap organisasi dengan memperbaiki sistem, isi, dan metode
pengkaderan. Proses itu sekaligus untuk mengembangkan nilai-nilai alternatif yang dapat
menumbuhkan integritas, kepercayaan pada diri sendiri dan motivasi perjuangan yang kuat.
b. Menamankan nilai-nilai persatuan, kebersamaan, persahabatan, dan persaudaraan di dalam
Kelompok Cipayung dan kemudian memasyarakatnya secara luas.
c. Memperkokoh dan memperluas basis kebersamaan Kelompok Cipayung dengan langkah-
langkah:
1. Selalu berikhtiar untuk mencapai kebersamaan pandangan dan sikap tentang jalannya
perkembangan masyarakat dan strukturnya,
2. Selalu berikhtiar untuk meyakini secara sungguh-sungguh makna kebersamaan, dan kemudian
menyempurnakan mekanisme kebersamaan itu.
e. Memperkokoh dan memperkembangkan hakikat independensi baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, dalam pengertian bukan suatu netralitas melainkan tindakan aktif untuk mencapai
tujuan perjuangan di atas prinsip percaya diri sendiri.
Disepakati di Jakarta dengan menyanyikan lagu Bagimu Negeri pada tanggal 14 Juni 1980, jam
08.00

Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Tony Waworuntu, Ketua Umum, Frans Allorerung, Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik, Sutoro Sb, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, ketua Umum; Muhyiddin Arubusman, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Josef Lalu Timu, Sekretaris Jenderal.



REFUNGSIONALISASI PRANATA-PRANATA SOSIAL DAN REORIENTASI SISTEM
SOSIAL
Pengantar Dialog Kelompok Cipayung dengan Pemimpin DPR RI Tanggal 3 Desember
1980

A. Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, bukan
sekedar dimaksudkan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan penjajah ke tangan bangsa
sendiri, tetapi perjuangan kemerdekaan itu mempunyai pesan suci berupa cita-cita seluruh
bangsa Indonesia.
Cita-cita itu antara lain: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai cita-cita itu upaya-
upaya pembangunan dilakukan yang di dalamnya terkandung proses perubahan dan
pertumbuhan. Proses perubahan dan pertumbuhan yang terus-menerus itu melahirkan masalah-
masalah serta tantangan-tantangan yang makin kompleks, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan
laju pembangunan itu sendiri. Oleh karena masalah dan tantangan yang dihadapi tak pernah
selesai, maka diperlukan usaha yang secara terus-menerus meningkatkan ketahanan dan
kemampuan Bangsa Indonesia dengan melibatkan seluruh potensi bangsa dan golongan-
golongan masyarakat, melalui pelbagai kesempatan dalam menjalankan peranan dan partisipasi
sosialnya.
Keterlibatan tersebut sangat ditentukan oleh sistem politik yang diberlakukan oleh pihak
penyelenggara kekuasaan melalui persepsi dan caranya mengelola potensi masyarakat dan
golongan-golongan yang ada di dalamnya, dan cara pengelolaan kehidupan generasi muda.
B. Kasus-kasus peledakan sosial selama ini menunjukkan bahwa kondisi kehidupan mayoritas
masyarakat jauh dari tingkat kelayakan berada dalam cengkeraman kebodohan dan kemiskinan
massal, sehingga mengakitbatkan timbulnya keresahan umum yang makin meluas, makin
melebar, dan mendalamnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, tipisnya rasa keadilan,
kesewenang-wenangan pihak yang kuat dan yang berkuasa, birokratisasi kehidupan umum dalam
tujuan sentralisasi kewibawaan, peranan dan kekuasaan yang menghambat pertumbuhan
demokrasi baik kalangan masyarakat pada umumnya maupun pranata-pranata sosial yang ada.
Tindakan-tindakan perusakan yang menjurus ke arah situasi anarki dan rasialistis seperti yang
terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menunjukkan pula adanya titik lemah yang rawan dalam
jalinan rantai kehidupan masyarakat. Pengangguran karena kekurangan lapangan kerja,
kehilangan pekerjaan akibat kesewenang-wenangan para majikan, tiadanya lagi kepemilikan
alat-alat produksi akibat persaingan-persaingan saling mematikan atau tekanan-tekanan dari atas,
rendahnya nilai tukar hasil-hasil produksi para petani, perbedaan-perbedaan kontradiktif di
antara kelompok-kelompok sosial dan latar belakang tingkat kemakmuran individu maupun
kelompok, kaburnya kepastian hukum, dominasi ekonomi oleh segolongan kecil anggota
masyarakat, adanya kolaborasi antara kekuatan-kekuatan ekonomi dengan politik, telah
menumpuk rasa tidak puas dan sentimen sosial di kalangan masyarakat.
Hal-hal tersebut dimungkinkan oleh tiadanya atau lemahnya pengawasan umum terhadap proses
pengambilan keputusan dan penetapan kebijaksanaan nasional akibat dilumpuhkannya pranata-
pranata sosial untuk melaksanakan fungsi-fungsinya. Oleh karenanya pula arus informasi
tersumbat bersamaan dengan mandeknya aspirasi sosial di dalam batasan-batasan sempit yang
diberlakukan terhadap seluruh kehidupan, dalam hal menumbuhkan sikap kritis dan korektif
menanggapi permasalahan hidupnya. Kreativitas lumpuh, ketahanan nasional menjadi rapuh.
Maka untuk mencegah meluasnya keresahan umum, meniadakan kemungkinan-kemungkinan
ditunggangi rakyat oleh kepentingan-kepentingan bersifat merusak, atau jatuhnya korban lebih
lanjut akibat tindakan-tindakan keamanan terhadap massa rakyat, perlu adanya refungsionalisasi
pranata-pranata sosial dan reorientasi keseluruhan sistem sosial. Refungsionalisasi tersebut
dimaksudkan agar segenap unsur masyarakat lebih dilibatkan ke dalam pelbagai kegiatan
nasional, dimulai dari proses pengambilan keputusan sampai kepada menikmati hasil
pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional yang merata, adil, dan nyata.
Refungsionalisasi ini juga dimaksudkan agar masyarakat semakin mampu berdiri di atas kaki
sendiri dan memperjelas tujuan strategi pembangunan yang diterapkan. Di dalam prosesnya,
refungsionalisasi ini akan semakin lebih mengefektifkan pengawasan umum dan disiplin
nasional seluruh unsur serta fungsi sosial, sehingga lebih menjamin adanya keterlibatan umum
yang kreatif dalam seluruh usaha menyempurnakan kehidupan masyarakat.
Refungsionalisasi pranata-pranata sosial tidak saja harus bebas dari kepentingan-kepentingan
yang menjurus kepada etatisme, tetapi juga harus mampu mengangkat kembali peranan dan
wibawa demokrasi yang akan menyertakan seluruh manusia Indonesia ke dalam mobilitas sosial
menuju masyarakat yang sejahtera. Maka, agar refungsionalisasi tersebut terselenggara, perlu
dilakukan reorientasi sistem sosial, dalam perubahan mendasar yang ditujukan bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan rakyat banyak sehingga dengan demikian pula memperkokoh
landasan-landasan kepentingan negara. Reorientasi tersebut menuntut adanya perombakan-
perombakan bersifat struktural dalam mekanisme pengaturan dan pengelolaan kehidupan bangsa
dan negara, sehingga dengan demikian pelbagai ketimpangan sosial dapat ditiadakan dan dengan
demikian mengangkat martabat bangsa dan negara, manusia-manusia Indonesia, semakin
ditumbuhkan dan dihormati.
Demikian pokok-pokok pikiran kami, Kelompok Cipayung yang terdiri dari unsur-unsur PP
GMKI, Presidium GMNI, PB HMI, PB PMII, dan PP PMKRI berupa rangkuman seluruh studi
dan analisa yang telah diselenggarakan selama ini.
Besar harapan kami pokok-pokok pikiran ini mendapatkan tanggapan dari segenap warga negara
yang cinta kepada bangsa dan negara, demi perbaikan-perbaikan menyeluruh menuju Indonesia
yang dicita-citakan.

Jakarta, 3 Desember 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo, Ketua, Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Sahar L. Hasan, Wakil Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium; Paulus Andi, Sekretaris.



INDONESIA DALAM PERSPEKTIF MASA DEPAN
(Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung)Tahun 1980

Setelah 35 tahun merdeka di mana rakyat Indonesia terus-menerus bergumul, berjerih-payah dan
berjuang bersama, maka sebagai bangsa perlu secara bersama-sama, terus-menerus tanpa jemu-
jemu, membuat perenungan ulang, sebagai suatu evaluasi bersama tentang seberapa jauh
keberhasilan yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai dalam usaha besar pembangunan
dan modernisasi bangsa.
Dengan jujur, ikhlas dan jiwa besar untuk melihat semua kegagalan dan kekurangan untuk
diperbaiki bersama, yang mengangkut seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara tercinta,
karena bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menilai kehidupannya sendiri.
Belajar dari sejarah masa lampau, kenyataan hari ini, dan cita-cita di masa depan di dalam
kesadaran bahwa tanggung jawab membangun bangsa menuju terwujudnya suatu masyarakat
sejahtera, adil, makmur, tangguh, dan lestari merupakan tanggung jawab bersama, maka
Kelompok Cipayung menyampaikan pokok-pokok pikiran yang bertolak dari evaluasi perjalanan
bangsa selama ini dan meliputi 5 (lima) bidang kehidupan bangsa, yaitu: bidang politik, bidang
ekonomi, bidang pendidikan, bidang hukum, dan bidang generasi muda.
Pokok-pokok pikiran ini merupakan wujud tanggung jawab generasi muda bangsa yang
tergabung dalam Kelompok Cipayung, sebagai usaha untuk membuka perspektif-perspektif baru
guna meluruskan perjalanan sejarah menuju masa depan
sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana tercantum Pancasila dan UUD 1945.
Bidang Politik
Modernisasi-teknokratis yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya
sebagai model kebijaksanan pembangunan yang dipilih telah gagal memperlakukan manusia
sesuai dengan harkat kemanusiaannya. Kebijaksanaan pembangunan yang demikian tadi, telah
mencampakkan manusia semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang
dikendalikan melalui pusat-pusat kekuasaan politik dan ekonomi.
Dengan demikian, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pembangunan dalam proses
modernisasi-teknokratis itu tadi, kini telah menjadi obyek pembangunan dan tidak mungkin
berdaya lagi untuk berdiri di luarnya. Rakyat telah terperangkap ke dalam syarat-syarat politik
yang memberikan peluang dan melicinkan jalan bagi terpenuhinya kepentingan-kepentingan
ekonomi yang bercorak kapitalistis.
Maka dibangunlah jaringan dan rumah-rumah politik dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Memperbesar dan memperluas kekuasaan birokrasi pemerintahan dengan ABRI sebagai
tulang punggungnya.
2. Mengebiri peranan dan mekanisme lembaga-lembaga perwakilan rakyat melalui proses
pemilihan umum yang tidak adil, dan pengaturan kehidupan kepartaian yang memberangus
peranan langsung massa politik (massa mengambang), sehingga memudahkan intervensi
kekuasaan untuk ikut serta mengendalikan proses kepemimpinan partai-partai yang ada.
3. Tidak memberikan tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik bagi mereka yang
terlibat aktif dalam
proses produksi (buruh, petani, dan nelayan).
4. Menciutkan dan mengisolasi peranan kekuatan-kekuatan moral yang muncul, melalui
organisasi-organisasi maupun kegiatan-kegiatan pemuda dan mahasiswa.
5. Menciptakan iklim apatisme politik melalui jaringan kebudayaan dan pendidikan yang
menumbuhkan sikap dan alam pikiran pragmatis-fragmentaris, serta dengan mengukuhkan
kembali kebudayaan politik yang feodalistis dan paternalistis.
Tentu saja, di dalam jaringan dan rumah-rumah politik yang dibangun seperti ciri-ciri di atas,
persoalan kedaulatan ada di tangan rakyat perlu dipertanyakan kembali pelaksanaannya.
Sudahkah rakyat berdaulat untuk menentukan hitam-putihnya republik ini sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945, ataukah justru rakyat sudah dipenjara melalui suatu mekanisme politik
sehingga sudah tidak berdaya lagi untuk menentukan pilihan-pilihannya.
Melihat latar belakang yang suram pada pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dalam
menjalankan hidup berbangsa dan bernegara yang gejala-gejalanya sudah ditonjolkan dalam
uraian di atas, serta didorong oleh hasrat yang tulus dan ikhlas untuk memperbaiki keadaan
menuju Indonesia yang dicita-citakan, Kelompok Cipayung menyatakan sikap terhadap
perkembangan politik sebagai berikut:
a. Pada prinsip kedaulatan ada di tangan rakyat dilaksanakan secara utuh dalam seluruh
mekanisme dan tatanan kehidupan politik. Ini berarti, memberikan jaminan kepada rakyat tanpa
memandang ras, agama, suku, dan golongan untuk melakukan kegiatan politik sehari-hari sesuai
dengan esensi pasal 28 UUD 1945. Hak-hak rakyat untuk menjalankan kedaulatannya itu jangan
diredusir oleh manipulasi politik, seolah-olah kedaulatan rakyat itu sudah berakhir pada saat
selesainya pemilihan umum, dan baru akan diberikan lagi
lima tahun kemudian melalui pemilihan umum berikutnya.
b. Untuk mengembalikan peranan partai ke dalam fungsinya sebagai alat demokrasi formal, asas
'massa mengambang' supaya dicabut dan memberikan keleluasaan kepada rakyat di semua
tingkatan untuk mengambil bagian dalam kehidupan politik secara bebas. Asas 'massa
mengambang' yang sekarang ini dijalankan pada dasarnya adalah suatu diskriminasi politik yang
mengurangi hak-hak warga negara di pedesaan dan melenyapkan kontrol massa politik terhadap
kehidupan intern partai-partai politik yang dapat memberi peluang intervensi kekuasaan (politik
maupun ekonomi) dalam menentukan kebijaksanaan dan kepemimpinan partai-partai politik.
c. Gagasan demokrasi ekonomi menurut ketentuan-ketentuan UUD 1945 hanya dapat dijalankan
apabila pemerintah secara sungguh-sungguh menggunakan politiknya untuk memperluas hak-
hak golongan ekonomi bawah (buruh, buruh tani, petani, nelayan, dan sebagainya) untuk ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan politik perburuhan secara bebas. Apabila hal itu tidak dijalankan,
gagasan tersebut hanya tetap akan menggantung di langit.
d. Supaya pemilihan umum yang akan datang berlangsung lebih adil, harus ada pemisahan yang
tegas antara ABRI dengan Golkar, dan antara Korpri dan Golkar. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, suasana suram seperti yang terjadi dalam pemilihan umum 1971 pasti berulang
kembali.
e. Aliansi pengusaha-pengusaha adalah pola aliansi yang sangat membahayakan demokrasi,
karena praktek-praktek aliansi itu seringkali menjelma menjadi kekuatan raksasa yang tidak
kelihatan dalam menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik dan pembangunan. Aliansi
semacam ini tidak mungkin dapat diterobos oleh pranata-pranata politik formal (DPR, MPR, dan
organisasi-organisasi politik) yang lemah seperti sekarang. Oleh karena itu, harus ada pemisahan
yang tegas antara kepentingan-kepentingan kekuasaan dan kepentingan-kepentingan ekonomi
swasta, antara lain dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan yang tidak membenarkan
keterlibatan pemerintah baik secara struktural maupun personal di dalam persekutuan-
persekutuan usaha dengan pihak swasta.
f. Hakikat suatu bangsa turut ditentukan oleh watak dan perilaku para pemimpin bangsanya. Ini
berarti kepemimpinan nasional harus diwarnai oleh kualifikasi sifat-sifat dasar yaitu, berakhlak
luhur, berintegritas, mampu menangkap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, serta
komitmen terhadap kebhinnekaan. Untuk melahirkan kepemimpinan nasional tersebut di atas,
dibutuhkan suatu pendidikan politik dan pola rekruitmen yang berorientasi kualitatif yang
dilaksanakan secara demokratis melalui pranata-pranata sosial di dalam iklim dan kebudayaan
politik yang sehat.
g. Menilai bahwa politik luar negeri yang dijalankan sekarang ini masih saja berorientasi pada
usaha untuk memperoleh pinjaman luar negeri dan modal asing, sehingga mempersempit
keleluasaan diplomatik dan melemahkan kepentingan Indonesia di forum-forum internasional.
Sikap dan kebijaksanaan poltik luar negeri harus menunjukkan dan mampu menumbuhkan rasa
harga diri sebagai bangsa dan negara dalam pergaulan politik internasional, yang benar-benar
bebas, aktif berwibawa dan lepas dari ketergantungan kepada orientasi politik dari kekuatan-
kekuatan politik internasional tertentu.
Bidang Ekonomi
A. Penilaian terhadap berhasil tidaknya pembangunan ekonomi
bertolak dari ukuran-ukuran telah sejauh mana berlangsungnya transformasi struktrul sosial
ekonomi yang meliputi antara lain, struktrul pemerataan pendapatan, penguasaan, dan distribusi
alat-alat produksi secara merata, adanya mobilitaa sosial yang dibarengi peningkatan disiplin
sosial setelah proses pembangunan ekonomi berlangsung.
Praktik pembangunan nasional selama ini yang berorientasi kepada pertumbuhan menyebabkan
ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan tidak menuju kepada hal-hal di atas, melainkan
kepada data-data pertumbuhan ekonomi berdasarkan angka-angka perbandingan aktivitas
ekspor-impor, pertumbuhan rata-rata pendapatan domestik bruto, atau ukuran-ukuran kuantitaf
lainnya.
Tidak terdapat atau kurang adanya kemauan-kemauan kualitaf untuk melihatnya terutama pada
tingkat perkembangan partisipasi sosial dalam pembangunan sosial, kesejahteraan rata-rata
anggota masyarakat dalam totalitas kebutuhannya, pemilikan alat-alat produksi, spontanitas
sosial terhadap ajakan-ajakan pembangunan melalui konsep-konsep nasional, serta tingkat
kemampuan masyarakat secara mikro untuk berproduksi dan memanfaatkan fasilitas-fasilitas
sosial dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Praktik pembangunan nasional selama ini, khususnya dalam pembangunan ekonomi bertolak
dari asas free fight competition atau free market competition, telah melahirkan atau semakin
memantapkan adanya elite-elite akumulasi modal dan usaha secara sektoral, matinya usaha-
usaha ekonomi golongan ekonomi lemah dan semakin dominannya kekuatan-kekuatan ekonomi
tertentu, adanya persekutuan-persekutuan baru antara kekuasaan politik dengan kekuatan
ekonomi, adanya proses kemiskinan massal, meningkatnya semangat konsumerisme, tidak
terlindunginya kaum buruh dari kesewenang-wenangan pada majikan antara lain tarif upah yang
jauh dari kelayakan dan tiadanya hak mogok. Asas itu pula telah mendukung sistem kapitalisme
liberal dalam kebijaksanaan perekonomian nasional untuk kemudian menuju kepada kapitalisme
monopoli.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang tampaknya dimaksudkan sebagai untuk melindungi,
atau memberikan kesempatan berkembangnya kelompok ekonomi lemah melalui kebijaksanaan
perkreditan (KIK dan KMKP), Kepres 14 dan 14a, nyatanya menghadapi kegagalan, karena asas
free fight competition senantiasa akan mengalahkan kelompok-kelompok ekonomi lemah
tersebut, di dalam proses persaingan selanjutnya dengan kelompok-kelompok ekonomi kuat.
Kaum tani semakin terdesak. Petani beras tidak terangsang untuk meningkatkan produksi karena
nilai tukar yang rendah dari hasil-hasil usahanya, sekian banyak dari kalangan ini yang
kehilangan tanah mereka oleh penggusuran-penggusuran paksa.
Kasus-kasus gagalnya pengembalian kredit-kredit Bimas menunjukkan ketidakmampuan umum
petani-petani itu memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia, serta mekanisme
penyaluran/distribusi yang buruk.
Hal-hal tersebut, dibarengi dengan meningkatnya semangat konsumerisme selain urbanisasi,
menyebabkan kecilnya tingkat pertumbuhan sektor agraria (hanya 4% pendapatan negara dari
sektor ini).
Buruh petani bermunculan, kebanyakan mereka tadinya adalah petani pemilik dengan taraf
hidupnya yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya.
Terdapat ketimpangan yang besar dalam pos penerimaan dalam negeri, melihat kepada semakin
dominannya penerimaan dari minyak seperti yang dapat dilihat dalam tabel berikut (dalam
persentasi):

Tahun
Anggaran Minyak Non-minyak
(APBN)
1969/1970 27,0 73,0
1970/1971 28,8 72,2
1971/1972 32,9 67,1
1972/1973 39,0 61,0
1973/1974 39,4 60,6
1974/1975 54,6 45,4
1975/1976 55,7 44,3
1976/1977 56,3 43,7
1977/1978 55,1 44,9
1978/1979 54,1 45,9
1979/1980 61,4 38,6
1980/1981 71,0 29,0

Sumber: Nota Keuangan Negara 80/81

Ketimpangan tersebut menunjukkan kelemahan produksi termasuk di sini, produksi agraris yang
didalamnya menyangkut hidup bagian terbesar rakyat. Di lain pihak, anggaran penerimaan
pemerintah untuk belanja rutin dan pembangunan, sebagai akibat ketimpangan tersebut
merupakan deficit financing (penciptaan rupiah yang besar). Hal ini kemudian menyebabkan
adanya tekanan inflasi yang kuat dalam struktur moneter. Selain itu, walaupun trend penerimaan
dari minyak naik dari tahun ke tahun, bantuan luar negeri tidak menunjukkan trend sebaliknya.
Dalam tahun 1969/1970 jumlah bantuan luar negeri sebesar 91,0 milyar rupiah, berturut-turut
dalam tahun anggaran berikutnya sampai dengan tahun anggaran 1980/1981; 120,4 - 135,5 -
157,8 - 203,9 - 232,0 - 491,6 - 783,8 - 773,4 -1.035,5 - 1.493,5 - 1.501,6 (milyar rupiah). Ini
menunjukkan bahwa ketergantungan kepada luar negeri dari tahun ke tahun semakin kuat. Tak
dapat dielakkan bahwa, hal tersebut mempengaruhi sikap politik luar negeri karena tentu saja
'bantuan-bantuan' itu tidak bebas dari persyaratan-persyaratan yang bersifat menguntungkan
pihak pemberi bantuan.
Seperti telah dikemukakan terdulu, adanya perupiahan valuta asing menyebabkan adanya
tekanan inflasi yang kuat. Valuta asing tersebut selain dari minyak, juga datang dari bantuan luar
negeri yang bersama-sama dengan pajak perseroan minyak berjumlah 7,9 trilyun rupiah. Jauh
lebih besar dari jumlah yang ditarik dari peredaran yang berjumlah 2,6 trilyun rupiah (terdiri dari
pajak langsung, tidak langsung, dan non-tax) menurut perkiraan APBN 80/81. Dan tentu saja,
penerimaan dari sektor minyak dan bantuan luar negeri tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
hasil dari pembangunan riil.
Pertumbuhan industri dengan teknologi maju yang bersifat padat modal, membuka lapangan
kerja yang kecil dalam perbandingan nilainya dengan jumlah modal yang ditanamkan dan
pengorbanan-pengorbanan yang harus diberikan. Pengorbanan itu antara lain meliputi
pencemaran/ peracunan lingkungan dan pengurasan, ren-dahnya nilai tukar eksploitasi jasa para
buruh yang terbuka terhadap kesewenang-wenangan para pemilik unit-unit produksi massal.
Dalam hal rendahnya nilai tukar eksploitasi jasa tersebut, meliputi seluruh aspek kegiatan
produksi, baik swasta maupun pemerintah. Para guru, karyawan kantor maupun lapangan,
dipaksa untuk menerima upah yang tidak mencukupi dibandingkan kebutuhan-kebutuhannya.
Indeks biaya hidup mencapai angka 50% (1 April 1977 sampaidengan 31 Maret 1980).
Pembangunan proyek-proyek fisik tidak lain untuk melayani kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan
ekonomi, yang didalamnya para pemilik unit-unit produksilah yang paling besar kesempatan
untuk memperbesar tingkat keuntungannya. Dan mereka ini, yang berasal dan bertopang pada
kekuatan modal-modal raksasa akhirnya muncul sebagai pemenang di dalam ketimpangan
terbuka dengan golongan-golongan kecil. Maka tidak heran, adanya ketimpangan dalam
distribusi pendapatan dan pemilikan alat-alat produksi menyebabkan adanya kesenjangan-
kesenjangan sosial antar golongan masyarakat. Tumbuh sentimen-sentimen sosial, yang antara
lain telah menyebabkan terjadi peledakan-peledakan dan pertentangan antargolongan di dalam
masyarakat. Dari sini senantiasa muncul pula penindasan-penindasan tak berperikemanusiaan
dari yang kuat terhadap yang lemah.
Open door policy pemerintahan Soeharto terhadap modal asing telah memberikan kesempatan
bagi berkembangnya peranan modal asing, yang tidak lain adalah ekspansi ekonomi negara-
negara maju untuk menguasai pasar. Kebijaksanaan tersebut didukung oleh sikap terhadap kaum
buruh yang tidak dilindungi oleh ketetapan upah minimum dan tiadanya hak mogok. Maka tidak
heran, jika negeri ini dikatakan sebagai surga. bagi usaha penanaman modal, terutama bagi
perusahaan-perusahaan multinasional. Kapitalisme adalah bentuk tanpa kebangsaan, telah
semakin mapan melalui kebijaksanaan tanpa seleksi dalam open door policy tersebut; apalagi
dengan adanya aliansi antara kapitalis-kapitalis dalam negeri.
Masuknya modal asing yang bergerak dalam sektor produksi barang-barang jadi (sandang,
pangan, dan barang-barang mewah/ elektronik), menumbuhkan semangat konsumerisme di satu
pihak dan mematikan semangat produksi di lain pihak. Urbanisasi yang identik dengan
pengalihan kemelaratan dan kebodohan dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan, serta ekses-
ekses negatif lainnya juga merupakan bagian dari sebab-sebab aktivitas produksi massal dengan
dukungan modal-modal raksasa serta penerapan teknologi maju.
B. Patut dipertanyakan, siapakah atau golongan masyarakat manakah yang paling besar
mencicipi hasil-hasil pembangunan ekonomi dalam asas free fight competition ini?
a. Pemerintah, sebagai pemilik terbesar dari proyek-proyek pembangunan dan pihak yang
menguasai kemungkinan-kemungkinan dalam sektor pengaturan keuangan negara. Dan dalam
hal lemahnya kontrol atau pengawasan umum, kelompok birokrat melalui kesempatan-
kesempatan manipulatif telah menikmati porsi besar dari tiap periode tahun anggaran (ingat,
tingkat kebocoran rata-rata sebesar 30% per tahun dalam sektor pembelanjaan negara).
b. Golongan ekonomi kuat, para kapitalis menengah dan raksasa, sebagai hasil dari eksploitasi
persaingan terbuka dalam pasar (dapat dilihat pada angka; presentasi penguasaan modal
golongan ini terhadap struktur pasar dan ekonomi secara keseluruhan).
c. Para kapitalis asing, yang sekaligus pergi membawa sejumlah besar hasil/ keuntungan usaha-
usaha produksi ke luar negeri. Kenaikan jumlah APBN (tahun 1980/1981 sebesar 150% terhadap
tahun anggaran 1979/1980) sekaligus menunjukkan bahwa didalamnya terdapat kenaikan jumlah
investasi dalam negeri, tetapi hal tersebut ternyata tidak mampu mendorong pertumbuhan
kapasitas produksi sektor-sektor usaha. Kenaikan jumlah APBN tersebut bukan disebabkan oleh
kemampuan fund-of self generating dari unit-unit produksi, dan memang sulit pula
meningkatkan produktifitas akibat ancaman inflasi serius dari tahun ke tahun. Presentasi
pendapatan mayoritas masyarakat terhadap jumlah penerimaan/pendapatan dalam negeri dari
tahun ke tahun. Persentasi pendapatan mayoritas masyarakat terhadap penerimaan/pendapatan
dalam negeri dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan menurun, menunjukkan bahwa
bukan golongan inilah yang memperoleh sekian kenikmatan dari pertumbuhan ekonomi (40%
dari rakyat menerima 19,5% dari jumlah pendapatan domestik bruto tahun 1969, dibandingkan
dengan 15% di tahun 1973/1974 dan 11,5% tahun 1976).
C. Pasal 33 UUD 1945 (berikut penjelasannya) menyatakan:
a. Asas perekonomian adalah asas kekeluargaan. Asas free fight competition nyata-nyata
bertentangan dengan asas tersebut. Free fight competition ini telah menimbulkan bencana besar
bagi bangsa dan negara di dalam pertumbuhan ekonomi selama periode pemerintahan Orde Baru
ini.
b. Penguasaan dan pengelolaan usaha-usaha produksi di-lakukan secara bersama oleh anggota-
anggota masyarakat, atau menyangkut kekayaan bumi, air, dan terkandung di dalamnya oleh
negara. Kesemuanya di bawah penilikan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.
Kenyataan bahwa bagian terbesar usaha-usaha produksi, termasuk yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh orang-seorang, jelas bertentangan dengan ketentuan ini dengan
tiadanya atau lemahnya kesempatan bagi penilikan dan pengawasan umum terhadap sektor-
sektor produksi yang dikuasai dan dikelola oleh negara (Pertamina, Bulog, dan seterusnya).
c. Tujuan akhir dari usaha-usaha perekonomian bangsa dan negara adalah peningkatan
kemakmuran bersama yang adil dang merata, untuk mendukung pencapaian tujuan dan cita-cita
hidup berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, kenyataan-kenyataan atau gejala-gejala
menunjukkan bahwa, justru yang menikmati keuntungan dari pengelolaan kekayaan negara atau
usaha-usaha adalah orang seorang, para pemilik modal baik asing maupun domestik, serta
menimbulkan jurang pemisah yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Hal tersebut
jelas bertentangan dengan hakikat dasar pembangunan perekonomian seperti yang dikehendaki
oleh Pancasila dan UUD 1945.
c. Bentuk usaha bersama yang dikehendaki adalah koperasi. Akan tetapi pada kenyataannya,
sektor usaha ini telah diabaikan dalam hakikat sebenarnya. BUUD dan KUD tidak lain adalah
perpanjangan tangan kekuasaan politik ke dalam sektor usaha dan potensi ekonomi masyarakat
lapis bawah (petani, nelayan, dan sebagainya). Di lain pihak, usaha-usaha produksi pada
umumnya dikuasai oleh orang-seorang yang berproses di dalam asas free market competition,
dan inilah pola kapitalisme yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat koperasi. Cukup
jelas fakta dan data untuk menunjukkan bahwa, pola perekonomian Indonesia yang berorientasi
pada free fight competition atau free market competition tersebut, bertentangan dengan UUD
1945 dan apapun yang dilakukan, yang tampaknya berorientasi pada kepentingan/ orang banyak,
akan sia-sia dan larut ke dalam pola ini. Oleh karenanya, harus dilakukan perubahan-perubahan
mendasar untuk kembali cita-cita melalui kepada pelaksanaan ketentuan-ketentuan dasar yang
telah disepakati tatkala negara didirikan, secara
murni dan konsekuen.
D. Pasal 33 UUD 1945 di dalam pelaksanaannya menuntut adanya persyaratan-persyaratan
tertentu terhadap kondisi sosial-ekonomi seperti yang kini sedang berlangsung. Persyaratan-
persyaratan umum tersebut, langsung menyangkut pada penetapan strategi pembangunan
nasional, antara lain meliputi:
a. Adanya pendidikan nasional (politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain) yang integrative dan
berorientasi kepada cita-cita keadilan, sosial, sehingga menumbuhkan kepekaan dan kesadaran
sosial anggota-anggota masyarakat agar penilikan dan pengawasan umum dapat terselenggara
secara efektif.
b. Dilenyapkannya asas free fight competition atau free market competition secara konsekuen.
c. Diberlakukannya system ekonomi nasional yang benar-benar berorientasi kepada kepentingan
dan bertolak dari lapis masyarakat paling bawah yang mayoritas (masyarakat tani dan nelayan)
yang sekaligus menjamin adanya pemerataan distribusi pemilikan alat-alat produksi. Sebagai
misal, kebijaksanaan subsidi harus diarahkan pada perangsangan kegiatan-kegiatan produksi
masyarakat petani.
d. Adanya jaminan kemungkinan berkembangnya swadaya nasional yang bertolak dari basis-
basis perekonomian nasional (pedesaan), sekaligus untuk menghadapi tuntutan peningkatan
kesejahteraan/ kemakmuran umum.
e. Adanya strategi pembangunan ekonomi nasional yang mampu meniadakan berkembangnya
kemungkinan-kemungkinan adanya disparitas pendapatan yang menyolok di antara golongan-
golongan masyarakat, sekaligus dengan demikian memperkecil kemungkinan berkembangnya
keresahan-keresahan atau sentimen-sentimen sosial oleh sebab tingkat kesejahteraan/
kemakmuran rata-rata yang relatif setara. Kapitalisme adalah bentuk penindasan tanpa
kebangsaan dan bersifat universal, di dalam ia beroperasi tanpa seleksi dan pengawasan. Sebagai
konsekuensinya antara lain, peninjauan kembali terhadap UUPMA dan UUPMDN.
f. Oleh karena itu, perlu adanya sikap tegas terhadap modal asing untuk mengorbankan
kepentingan-kepentingan umum, dan takluk begitu saja kepada persyaratan-persyaratan
kapitalisme internasional untuk melakukan investasi modalnnya di dalam negeri.
g. Adanya usaha-usaha kongkrit dalam proses penerapan asas koperasi dalam pola perekonomian
nasional, seperti pendidikan (lewat kurikulum dan pendidikan keterampilan koperasi di dalam
sistem pengajaran nasional), serta kemauan politik pemerintah dari rezim mana pun.
h. Adanya sistem perundang-undangan yang bertolak dari/ dan berorientasi kepada asas
perekonomian seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945. Konsekuensinya adalah tidak
diberlakukannya lagi KUHD, KUH Perdata, dan menggantikannnya dengan sesuatu perangkat
undang-undang lainnya, misalnya penyempurnaan lebih lanjut UU Koperasi No. 22 tahun 1967.
i. Adanya pengalihan penguasaan dan pengelolaan usaha-usaha produksi yang menguasai hidup
orang banyak dan bidang pengolahan kekayaan bumi Indonesia, dari tangan orang per orang
kepada negara.
j. Dilaksanakannya sistem pajak progresif untuk membatasi pertumbuhan pemilikan alat-alat
produksi, atau kekayaan material, sekaligus pula dengan demikian memperkecil jurang-jurang
pemisah antara si kaya dan si miskin.
k. Dilaksanakanny UUPA (Undang-undang Pokok Agraria)
sesegera mungkin dan secara konsekuen.
Bidang Pendidikan
A. Cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak saja untuk mencapai satu masyarakat yang adil
dan makmur, material dan spiritual di atas negara kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga
ditujukan untuk kesinambungan nilai-nilai kehidupan bangsa dari generasi ke generasi. Proses
kesinambungan nilai-nilai itu akan dapat menjamin eksistensi bangsa Indonesia. Dalam kerangka
ini peranan pendidikan tidak saja penting tetapi bersifat mutlak dan berdimensi strategis. Secara
arif para perintis kemerdekaan telah meletakkan pendidikan sejajar dan sama penting dengan
masalah pencapaian masyarakat adil dan makmur itu sendiri, seperti tertera dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945; bahwa pemerintah Republik Indonesia antara lain,
berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, serta keadilan sosial dan setiap warga negara berhak mendapat
pengajaran (pasal 31 ayat 1, UUD 1945). Dengan demikian jelas bahwa, kesinambungan
kehidupan dan eksistensi bangsa Indonesia sangat tergantung kepada cara bagaimana, atas dasar
apa, dan menuju ke mana bangsa Indonesia dididik.
B. Pembangunan di bidang pendidikan yang dilakukan dewasa ini ternyata tidak menempati
posisi yang mutlak dan strategis, tetapi sekedar menjadi pelengkap dari pembangunan di bidang-
bidang yang lain, misalnya politik dan ekonomi. Pemikiran yang meletakkan pendidikan hanya
sebagai pelengkap dapat dilihat pada prioritas pembangunan yang diberikan, pada pemikiran-
pemikiran berupa konsepsi-konsepsi yang ada dan pada fasilitas, serta pembiayaan yang kurang
memadai. Pemikiran-pemikiran demikian mengakibatkan bahwa, upaya penanganan pendidikan
hanya menyentuh kulitnya, dan bersifat tambal-sulam. Ini berarti, penanganan pendidikan tidak
ditujukan kepada upaya pelestarian nilai-nilai dan kesinambungan bangsa, tetapi hanya
kebutuhan-kebutuhan insidental yang bersifat sementara dan cenderung bersifat politis. Oleh
karena itu, sudah saatnya meletakkan pendidikan menjadi proiritas yang sejajar dengan ekonomi
dalam keseluruhan pembangunan Indonesia, dengan memberikan alokasi dana yang memadai
bagi pelaksanannya.
C. Pembangunan di bidang pendidikan yang ditujukan untuk melahirkan manusia Indonesia yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kecerdasan, keterampilan, mempertinggi
budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan
idealisme, tidak boleh hanya terbatas pada dan hanya untuk satu siklus generasi, bukanlah untuk
mengawetkan satu angkatan atau tidak terbatasi semata-mata pada periode sekolah, tetapi pada
tujuan yang lebih jauh yakni, pada kesinambungan kehidupan bangsa dari generasi ke generasi.
D. Pendidikan yang ditujukan kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya seperti
tersebut di atas, yang dengan demikian dapat menjamin eksistensi dan kesinambungan bangsa,
harus bertitik tolak dari kondisi obyektif nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
khazanah kebudayaan bangsa Indonesia, dan keyakinan manusia Indonesia. Dengan demikian
dasar pendidikan nasional Indonesia harus tidak lepas dari tetapi bertumpuk pada nilai-nilai
budaya dan agama yang tumbuh dan berkembang wilayah di Indonesia, agar dapat meningkatkan
martabat dan citra manusia Indonesia sewajar dan semulia mungkin melalui proses tepat guna
dan sadar tujuan.
E. Pendidikan dapat dipahami sebagai proses normatif yang mempersoalkan nilai-nilai pada
seseorang atau suatu bangsa, tetapi juga sebagai proses teknis yang membawa manusia dari satu
tingkat keterdidikan tertentu ke tingkat keterdidikan yang lain. Untuk itu perlu diperhatikan hal-
hal sebagai berikut:
a. Diperlukan suatu sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam konsepsi pendidikan
nasional yang bertumpu pada nilai- nilai agama dan budaya bangsa secara utuh, menyeluruh dan
terpadu yang ditujukan kepada pembentukan kepribadian yang utuh, kemampuan berdiri di atas
kaki sendiri, mempunyai daya pikir yang tinggi dan sikap moral yang terpuji, serta mempunyai
pola pikir dan orientasi yang tertuju kepada kepentingan orang banyak, dan menumbuhkan
kepekaan dalam tanggung jawab sosialnya. Konsepsi pendidikan nasional tersebut, juga harus
mencerminkan fungsi dan peranan yang seimbang dan serasi antara sekolah, keluarga/
masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan nasional dan sistem pendidikan itu
harus integratif dengan aspek-aspek lain, misalnya politik, ekonomi, budaya, dan agama.
b. Campur tangan birokrasi pemerintah yang terlalu dalam pada dunia pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi telah mengakibatkan dunia perguruan tinggi menjadi ajang kepentingan politik
praktis, tidak otonomnya ilmu pengetahuan dan tidak terjalinnya hubungan di antara sivitas
akademika secara harmonis. Perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah belum dapat menjalankan
fungsinya seperti tercantum dalam Undang-undang No. 22 tahun 1961, sebab sistem perguruan
tinggi hanya terbatas pada sistem politik yang berlaku, sehingga kebebasan mimbar dan
kebebasan kampus belum berjalan
sebagaimana mestinya.
c. Menjalin pendidikan hanya sebagai faktor pelengkap, telah menyebabkan pembiayaan
pendidikan yang kurang memadai, menyebabkan pendidikan menjadi mahal bagi sebagian besar
rakyat Indonesia. Dengan demikian, maka hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati
pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) sehingga melahirkan elit tertentu dalam masyarakat,
lulusan sekolah yang tidak mempunyai kemampuan, menimbulkan drop out yang mengakibatkan
pengangguran, menurunnya mutu pengajar dan merosotnya wibawa pendidikan.
d. Untuk menjamin terselenggaranya tujuan pendidikan nasional harus tercermin dalam
komponen pendidikan, khususnya dalam penyusunan kurikulum. Pemberian materi dalam suatu
tingkat dan jenis pendidikan seharusnya disesuaikan kebutuhan utama anak didik,
memperhatikan usaha pengembangan dan kebutuhan lingkungan, serta tujuan bangsa.
Penyusunan kurikulum harus mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan dan sifat obyektif
masyarakat Indonesia yang sebagian besar terdiri dari petani dan nelayan. Tujuan pendidikan,
komponen pendidikan khususnya dalam penyusunan kurikulum dan metodologi yang dipakai
harus dihilangkan kesenjangan antara jurusan IPA, IPS, dan bahasa, menghilangkan kesenjangan
antara sekolah kejurusan dan umum, antara swasta dan negeri.
e. Dalam hal metodologi pendidikan, pendekatan dominatif sudah seharusnya ditinggalkan dan
diganti dengan pendekatan integratif yang membawa kesempatan seluas-luasnya bagi anak didik
untuk mengembangkan daya pikir, kreatifitas, dan dinamika, dengan penemuan dan pengalaman-
pengalaman baru. Dengan demikian, hasil pendidikan tidak hanya mencapai penguasaan ilmiah
tetapi mencakup kesiapan mental dan kemampuan menghadapi permasalahan hidup sehari-hari.
f. Pengertian pendidikan seperti diisyaratkan dalam pembukaan UUD 1945 dan pada batang
tubuh UUD 1945, khususnya pasal 31 tidak cukup hanya dilaksanakan di sekolah. Sebagian
besar aktivitas sekolah adalah memberikan pengajaran. Pendidikan yang hanya menekankan
peranan sekolah seperti yang dilakukan dewasa ini, tidak akan men-capai hasil yang memuaskan.
Seluruh lingkungan hidup adalah laboratorium untuk belajar dan karenanya harus tercipta iklim
lingkungan yang sehat bagi tumbuh dan berkembangnya proses pendidikan. Dalam kerangka itu
pelaksanaan pendidikan nasional hendaknya mengikutsertakan secara aktif dan maksimal
lembaga keluarga dan lembaga pendidikan, yang telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat seperti organisasi-organisasi sosial, agama, dan partai politik.
Bidang Hukum
Di saat hukum mulai sirna, di sana tirani mulai berkuasa.
A. Indonesia negara hukum:
a. Setiap negara yang mengakui bahwa negaranya adalah negara hukum dan menggunakan
hukum sebagai tata aturan bagi pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegaranya, harus dapat
benar-benar tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar atau esensi dasar dari hukum itu sendiri.
Itu berarti, bahwa hukum yang harus diberlakukan di dalam kehidupan negara, bangsa dan
masyarakatnya, harus mengandung tiga unsur dasar yang tak terpisahkan, yakni unsur keadilan,
unsur
kegunaan, dan unsur kepastian:
1. Unsur keadilan, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan haruslah benar-benar
mengandung unsur keadilan, termasuk didalamnya memberikan keadilan, mencari dan mengejar,
memperjuangkan serta mempertahankan keadilan;
2. Unsur kegunaan, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan haruslah benar-benar
mengandung unsur kegunaan, dalam artian bahwa hukum harus berguna bagi masyarakat dan
dirasakan kegunaannya bagi masyarakat;
3. Unsur kepastian, berarti bahwa hukum yang dianut dan diberlakukan harus benar-benar dapat
memberikan kepastian hukum bagi masyarakat melalui aturan perundang-undangan yang jelas
dan tegas, agar benar-benar dapat menegakkan keadilan dan terasa kegunaannya oleh
masyarakat, di dalam usahanya mencari keadilan.
Dengan demikian, maka dengan sendirinya apabila ketiga unsur atau esensi dasar hukum ini,
dimiliki dan hidup di dalam setiap hukum yang diberlakukan dan dianut oleh setiap bangsa dan
negara, akan tenteram dan teraturlah kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara itu. Sebab, pada
hakikatnya hukum itu dibuat oleh manusia dalam upaya untuk digunakan bagi dan
kepentingannya, karena ia adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup (perintah-perintah dan
larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan negara, baik itu yang
tertulis maupun yang tidak tertulis. Itu berarti, bahwa setiap anggota masyarakat yang
bersangkutan harus tunduk dan taat pada hukum positif yang diterapkan kedalamnya. Dalam
usaha hukum yang diperuntukkan bagi terwujudnya ketenteraman masyarakat, maka hukum
yang dianut dan diberlakukan harus sanggup berangkat dari sifat atau ciri-ciri dari yang sedang
hidup masyarakat, agar tidak terjadi bahwa hukum itu terasa asing bagi masyarakatnya. Ini pun
akan ikut menentukan persepsi masyarakat terhadap hukumnya, yang diharapkan merupakan
cermin kehidupannya dan yang akan menentukan apakah hukum itu mencapai tujuannya,
ataukah tidak.
b. Dalam usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945,
disusunlah UUD 1945 sebagai upaya untuk mengatur penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara, menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur. UUD 1945 sebagai hukum dasar
tertulis yang merupakan undang-undang yang mengikat seluruh komponen dan lapisan yang ada
di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, baik itu pemerintah, setiap lembaga negara, lembaga
masyarakat, setiap warga negara Indonesia di mana saja dan setiap penduduk yang berada di
wilayah Indonesia. UUD 1945 sebagai undang-undang dasar berisi norma-norma, aturan-aturan,
atau ketentuan-ketentuann yang dapat dan harus dilaksanakan dan ditaati. Undang-Undang 1945
sebagai hukum dasar dengan sendirinya merupakan sumber hukum bangsa Indonesia. Dengan
demikian setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan-peraturan atau keputusan
pemerintah, harus berlandaskan dan bersumber pada UUD 1945. Atau dengan kata lain, harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada ketentuan-ketentuan undang-undang dasar kita yang dalam
tata aturan norma hukum yang berlaku di republik ini, menempati kedudukan tertinggi.
c. Pembukaan UUD 1945 sebagai bagian yang tak terpisahkan dari batang tubuhnya adalah
sumber motivasi, aspirasi, dan tekad perjuangan bangsa Indonesia, yang bersifat universal dan
lestari. Itu berarti, bahwa setiap pasal di dalam batang tubuh UUD 1945 adalah penjabaran dan
berangkat dari sumber motivasi, aspirasi dan tekad perjuangan bangsa yang terkandung di dalam
keempat alinea Pembukaan UUD 1945, di mana didalamnya terkandung Pancasila sebagai dasar
negara. Sebagai dasar negara, Pancasila pada akhirnya merupakan sumber dari segala ketentuan
hukum yang ada, hidup dan berlaku di Indonesia dan selakigus merupakan tolok ukur hukum di
Indonesia.
d. Di dalam usaha mengatur tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam
negara kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengatur dengan jelas dua hal pokok,
yakni sistem pengaturan negara dan hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya,
yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen, serta ditaati oleh setiap komponen dalam
masyarakat secara konsekuen. Di dalam pengaturan tentang sistem pemerintah negara, secara
tegas dan jelas telah diatur bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas asas
hukum (rechtstaat) dan bukan atas asas kekuasaan (machtstaat). Dan telah diatur dengan tegas
dan jelas, bahwa pelaksanaan dilakukan secara konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat
absolut (kekuasaan tak terbatas). Juga telah diatur dengan tegas dan jelas, bahwa kedaulatan
rakyat berada di tangan rakyat dan berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
yang mencerminkan asas demokrasi. Hal ini berarti, bahwa segala kebijakan yang diambil harus
mencerminkan keinginan dan aspirasi rakyat, bukan keinginan penguasa atau pun kelompok
tertentu. Juga jelas diatur tentang kepala negara, yang antara lain mengatur bahwa kekuasaan
kepala negara tidak tak terbatas, melainkan harus tunduk kepada MPR.
e. Menyangkut hubungan negara dengan warga negara/ penduduk/masyarakat, UUD 1945
mengatur tentang siapa warga negara, tentang hak-hak dan kewajiban-kewajibannya serta tugas,
tanggung jawab dan kewajiban pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan dalam hal mengatur
dan memberlakukan hak-hak dan kewajiban ini. Tercakup didalamnya prinsip-prinsip dasar
tentang hak-hak asasi yang merupakan pengejawantahan dari pemberlakuan hak-hak asasi
manusia secara universal. Antara lain telah diatur bahwa:
1. Kedudukan setiap warga negara dalam hukum adalah sama tanpa kecuali, bersifat kerakyatan,
serta tersirat keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap warga negara. Itu berarti, bahwa
hukum yang berlaku di Indonesia diberlakukan bagi setiap penduduk dan setiap warga negara,
tanpa pandang bulu yang juga berarti, bahwa setiap warga negara dan penduduk tidak ada yang
kebal hukum, serta setiap warga negara dan penduduk berhak mendapatkan perlindungan
hukum,
2. Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, sebagai juga
cerminan dari asas keadilan sosial, serta keseimbangan antara hak dengan kewajiban. Itu berarti,
bahwa pemerintah wajib memberikan kemungkinan bagi setiap warga negara untuk dapat
melaksanakan hak ini,
3. Setiap warga negara berhak untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan, yang merupakan cerminan dari asas negara demokrasi itu (pasal 28 UUD
1945). Itu berarti pula, bahwa dalam hal pemerintah mengaturnya dengan aturan perundang-
undangan tidak justru bertentangan atau membatasi hakikat ini,
4. Setiap warga negara dan penduduk dijamin kemerdekaannya untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu. Ini adalah cerminan dari
asas negara Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, itu berarti, dalam hal negara
mengatur pelaksanaannya tidak boleh bertentangan, membatasi, ataupun mencabut hak ini,
karena ini adalah hak yang paling asasi dan hakiki di antara keseluruhan hak-hak asasi manusia,
karena langsung bersumber kepada martabat manusia ciptaan Tuhan, bukannya negara,
5. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara. Itu berarti,
hal pembelaan negara tidak semata-mata dilihat sebagai suatu kewajiban, tetapi sekaligus itu
adalah merupakan hak. Dengan demikian berarti pula bahwa dalam hal pengaturannya, setiap
rakyat ikut mengatur dan mengawasi,
6. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran, dan pemerintah wajib
menyelenggarakannya melalui suatu sistem pendidikan nasional. Itu berarti, bahwa dalam hal
pengaturannya negara harus dan wajib mengatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar setiap
warga negara memiliki peluang, kesempatan dan kemungkinan untuk menikmati dan
mendapatkan hak ini, agar dengan demikian apa yang merupakan tujuan negara kita dalam
Pembukaan UUD 1945 dapat tercapai yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan
demikian, pendidikan tidak lagi merupakan keistimewaan atau kekecualian, tetapi adalah
merupakan suatu keharusan dalam perwujudannya bagi setiap warga negara,
7. Setiap fakir miskin dan anak-anak terlantar wajib diperlihara oleh negara, dan itu pada
hakikatnya merupakan hak dari anggota masyarakat. Dengan demikian jelaslah, apa yang
dimaksudkan Pancasila dan UUD 1945 yang sekaligus menjadi tolok ukur kita tentang sejauh
mana semua dasar ini sudah dan akan diberlakukan setiap saat, agar tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan atau penyelewengan-penyelewengan, baik sengaja maupun tidak sengaja, baik
yang memerintah maupun yang diperintah.
B. Potret Praktik Hukum di Indonesia
a. Setelah 35 tahun merdeka, setelah terus-menerus bergumul dan berjuang, maka adalah mutlak
perlu untuk senantiasa kita sebagai bangsa secara bersama-sama, terus-menerus, tanpa pamrih,
tak jemu-jemu membuat perenungan-perenungan ulang sebagai evaluasi bersama kita tentang
seberapa jauh keberhasilan yang telah dicapai dan apa yang belum dicapai, dalam usaha besar
pembangunan dan modernisasi bangsa, untuk dengan jujur dan ikhlas tetapi dengan jiwa besar
melihat kegagalan-kegagalan, kekurangan-kekurangan untuk diperbaiki, khususnya dalam
pembangunan di bidang hukum. Bangsa yang besar, adalah bangsa yang berani untuk menilai
kehidupan diri sendiri, yang berani juga membebaskan diri dari seluruh belenggu kegagalan,
ketidakadilan, dan ketidakbenaran, tanpa batas waktu. Karena keadilan yang terlambat adalah
sebenarnya ketidakadilan, dan ketidakadilan bukanlah lagi hukum.
b. Kita sadari, bahwa hal yang paling ironis, dan yang selalu
'dikambinghitamkan' dalam sistem hukum dan peradilan di Indonesia adalah sebagian besar
hukum kita, justru bersumber pada hukum kolonial. Itu berarti, bahwa sudah waktunya sekarang
bagi pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dengan segala dana dan daya yang ada,
memperbaruinya, berangkat dari dan mencerminkan kehidupan budaya dan perilaku bangsa, sifat
dan ciri-ciri masyarakat Indonesia. Dengan demikian sebagai bangsa yang telah 35 tahun
merdeka dan berdaulat, dapat berdiri dengan tegak dan penuh percaya diri, menantang masa
depannya penuh kepastian dan keadilan.
c. Negara ini adalah negara hukum, maka itu berarti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-
lembaga penegak hukum yang ada setiap warga negara, setiap anggota masyarakat dalam
melaksanakan tindakan apapun, harus benar-benar berlandaskan hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, sebagai lawan dari tindakan kekuasaan yang melanggar
hukum. Di dalam peraturan pelaksanaannya harus tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945 sebagai dasar negara dan sumber hukum. Dengan demikian, maka sesuai dengan semangat
dan jiwa Pembukaan UUD 1945, Indonesia sebagai negara hukum, tidaklah sekedar dalam artian
formal, di mana negara hanya sebagai polisi lalu lintas semata-mata, tetapi lebih daripada itu,
yakni benar-benar melaksanakan secara konsekuen. Negara hukum saja 'melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia', tetapi serentak dengan itu harus dan wajib
"memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa". Dalam
pelaksanaannya, pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib memperhatikan kegunaan,
tujuan dan landasan hukumnya, yang kedua-duanya harus dipenuhi agar tidak terjadi bahwa
demi pencapaian suatu tujuan tertentu semua cara dihalalkan, atau pun untuk membenarkan cara
yang sudah terlanjur digunakan dengan mengaburkan tujuannya.
d. Itu berarti, sudah waktunya bagi pemerintah dan semua pihak untuk menilai ulang semua
lembaga yang inkonstitusional yang ada, seperti misalnya lembaga Kopkamtib, dan mencegah
serta menahan diri untuk membentuk lembaga-lembaga inkonstitusional lainnya. Pemerintah dan
seluruh rakyat wajib mendorong dan menciptakan iklim memadai, serta memberikan
kemungkinan kepada setiap institusi yang ada, untuk kembali berfungsi secara proporsional dan
bertanggung jawab. Dengan pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab secara fungsional
dan proporsional, akan lebih mendorong setiap orang, setiap institusi untuk melaksanakan
tugasnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, dengan adanya lembaga-lembaga
inkonstitusional akan merupakan suatu stagnasi terhadap pelaksanaan asas dan ketentuan hukum
di dalam negara.
e. Dengan demikian, maka sudah tiba saatnya bagi pemerintah, untuk sesegera mungkin
menghapus seluruh lembaga inkonstitusional yang ada, serta benar-benar dengan tegas dan
konsekuen menegakkan hukum di republik ini. Itu berarti, bahwa beberapa kasus yang hingga
kini belum terselesaikan lewat proses hukum harus segera diselesaikan secara hukum pula, agar
seluruh persoalan menjadi jelas bagi rakyat dan masyarakat, dan tidak membiarkan keresahan
berlarut-larut yang dapat mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban, serta ketahanan
nasional bangsa. Antara lain dapat disebutkan kasus Sengkon dan Karta, dan serangkaian kasus
lainnya.
f. Asas kedaulatan berada di tangan rakyat telah tercermin dalam kekuasaan tertinggi di tangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang oleh pemerintah adalah kewajiban untuk
mengatur dan menjaga, agar adanya mekanisme yang memungkinkan prinsip ini berlaku dan
berjalan secara bertanggung jawab dan tidak justru sebaliknya, sekaligus sebagai pencerminan
kehidupan paham demokrasi di republik ini.
g. Mekanisme Perwakilan Rakyat di dalam MPR, harus benar-benar mencerminkan
dilaksanakannya asas kedaulatan rakyat secara konsekuen. Oleh karena itu, mekanisme
perwakilan rakyat yang sekarang itu diberlakukan, harus ditinjau kembali termasuk peraturan
persidangan MPR, yang seharusnya, dan sebaiknya bersidang sekali dalam dua tahun.
h. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melaksanakan fungsi pengawasan umum, apabila
menganggap presiden telah melanggar ketentuan-ketentuan dasar yang berlaku, harus memanggil
sidang MPR untuk meminta pertanggungjawaban presiden. DPR dalam melaksanakan fungsi
pengawasan umumnya, harus benar-benar peka terhadap aspirasi-aspirasi sosial yang tumbuh
dari bawah, berani menentukan sikap politik terhadap sesuatu penyimpangan yang telah
dilakukan oleh pemerintah, maupun berinisiatif untuk mendahului pemerintah dalam hal
membuat undang-undang, tanpa mementingkan kepentingan-kepentingan golongan yang ada di
dalamnya tetapi kepentingan rakyat banyak.
i. Jabatan presiden dan wakil presiden tidak dapat diberlakukan lebih daripada dua kali berturut-
turut, untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan seseorang. Hal ini harus diatur
oleh undang-undang melalui DPR sebagai konsekuen logis dari diperlukannya penjabaran UUD
1945, khususnya pasal 5. Di dalam hal presiden menggunakan hak-hak prerogatifnya, harus
didasarkan atas faktor-faktor rasa keadilan, aspirasi sosial, ketentuan-ketentuan kualitatif yang
menyangkut orang per orang, dan kepentingan bangsa. Dalam melaksanakan pasal 11 UUD
1945, khususnya yang menyangkut perjanjian dengan negara-negara lain, baik yang menyangkut
ekonomi, politik, dan keamanan, presiden harus mendapat persetujuan DPR.
j. Sebagai konsekuensi dari asas keadilan di dalam hukum, maka sesegera mungkin diharapkan
ke pengadilan, mereka yang terlibat di dalam kasus-kasus tertentu, khususnya tanpa pandang
bulu untuk dapat menjelaskan persoalan-persoalan yang hingga kini belum terselesaikan, seperti
misalnya kasus Pertamina. Demikian pula seluruh perjanjian dengan negara-negara lain yang
belum, atau tanpa persetujuan DPR harus segera dipertanggungjawabkan presiden untuk
memperoleh persetujuan.
k. Perlu ada suatu Undang-Undang Perburuhan yang adil dan yang memungkinkan hidupnya
serikat-serikat buruh yang dalam hal ini dibentuk secara demokratis oleh buruh ini sendiri, tanpa
campur tangan pemilik perusahaan dan/ atau pemerintah. Dalam hal Undang-undang Perburuhan
itu, harus dipenuhi hak-hak kaum buruh seperti misalnya, upah yang layak, perlindungan
keamanan kerja, jaminan sosial dan masa depan, serta hak untuk mogok (apabila tidak
terpenuhinya ketentuan-ketentuan hak-hak tersebut).
l. Dalam hubungan dengan kehidupan pers dalam fungsi pengawasan umumnya, serta sebagai
sarana penyaluran informasi yang benar bagi masyarakat, perlu disusun undang-undang
menyangkut pers dan media umumnya yang berpangkal pada UUD 1945 pasal 28. Undang-
undang baru tersebut, harus dapat menjamin pertumbuhan pers yang sehat, bebas dan
bertanggung jawab kepada kepentingan rakyat untuk mendapatkan infomasi yang layak dan
benar, serta tetap melaksanakan fungsi kontrolnya secara efektif. Pers dalam menjalankan
fungsi-fungsinya sebagai penyalur infomasi yang layak dan benar, sebagai sarana pendidikan dan
alat kontrol harus bersikap berani dan konsisten.
m. Dalam penjabaran pasal 28 UUD 1945, khususnya yang menyangkut kebebasan berserikat
dan berkumpul, perlu disusun suatu undang-undang kepartaian yang bertumbuh dari bawah,
yang benar-benar menjamin dan memberikan kesempatan kepada kemungkinan bertumbuhnya
kekuatan politik yang baru, serta keikutsertakan mereka dalam proses kehidupan politik yang
sehat, wajar, dan demokratis. Seleksi terhadap kekuatan-kekuatan politik menurut persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan adalah melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tersebut harus
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan terbuka bagi penilikan anggota-
anggota masyarakat. Oleh karena itu, perlu pula disusun suatu Undang-Undang Pemilu yang
baru, yang menjamin terselenggaranya hal-hal tersebut, sekaligus menetapkan adanya sanksi-
sanksi yang tegas.
n. Dalam hal pelaksanaan pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama, segala bentuk
campur tangan pemerintah yang bersifat menghambat ataupun menghalangi pertumbuhan
kebebasan tersebut harus dihentikan, seperti penyensoran terhadap naskah-naskah khotbah dan
sebagainya.
o. Rakyat berhak dan berkewajiban ikut serta dalam usaha-usaha pembelaan negara sesuai pasal
30 UUD 1945. Oleh karenanya, perlu ditetapkan suatu Undang-Undang Pertahanan Keamanan
Nasional, yang mencerminkan fungsionalisasi yang serasi antarangkatan di dalam ABRI dengan
mengembalikan kepolisian kepada fungsinya yang sebenarnya, menentukan secara jelas peranan
dan keterlibatan sosial ABRI, dan meletakkan proporsi yang sebenarnya bagi Pertahanan Sipil
dan Resimen Mahasiswa.
p. Adalah suatu kewajiban bagi pemerintah untuk sungguh-sungguh memelihara fakir miskin
dan anak-anak terlantar sesuai dengan pasal 34 UUD 1945, yang pada hakikatnya merupakan
hak mereka.
q. Dalam pelaksanaan pasal 18 UUD 1945, maka
Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dan Undang-
Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, hendaknya ditinjau kembali. Dengan
perubahan tersebut, diharapkan terciptalah suatu kehidupan berbangsa, bernegara, dan
berpemerintahan yang demokratis, khususnya yang menyangkut proses pemilihan dan
pengangkatan kepala daerah, kepala desa, lembaga-lembaga perangkat pemerintahan desa dan
efektifnya fungsi kontrol Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap pelaksanaan
pemerintahan tingkat daerah.
r. Setiap warga negara berhak atas perlindungan dan pembelaan hukum, oleh karena itu pada
setiap proses pengadilan, setiap warga negara harus mendapat bantuan hukum yang bebas dan
otonom. Dengan demikian, pertumbuhan kesadaran hukum dalam masyarakat akan memudahkan
berlangsungnya tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat, dan serentak dengan itu rakyat
dapat mengambil peran serta aktif dalam proses perubahan dan penyempurnaan hukum secara
efektif. Dalam hubungan itu, prasarana hukum haruslah memadai dan faktor keteladanan para
penegak hukum merupakan salah satu faktor yang menentukan tegaknya wibawa hukum.
t. Pembangunan bidang hukum, khususnya menyangkut partisipasi masyarakat, pendidikan
hukum dan politik perlu diperluas sampai ke daerah-daerah terpencil, terutama daerah-daerah
pedesaan kaum petani dan nelayan.
Dengan demikian, maka Undang-Undang 1945 benar-benar akan terlaksana secara murni dan
konsekuen.
Bidang Generasi Muda
A. Pemuda atau generasi muda adalah konsep-konsep yang terkadang diberati nilai-nilai.
Terutama, keduanya selain merupakan istilah ilmiah juga sering menjadi pengertian ideologis
atau kultural. Pemuda harapan bangsa, pemuda pemilik masa depan, pemuda kusuma
bangsa, dan semacamnya merupakan indikasi yang kuat. Berarti memberi pengertian pada
pemuda atau generasi muda haruslah diperhitungkan aspek obyektif dan subjektifnya. Aspek
objektif seperti perumusan berdasarkan patokan riil yang dapat diperhitungkan misalnya
kesamaan umur. Aspek subyektif dapat ditentukan atas pendekatan historis, sosiologis,
psikologis, kultural, dan semacamnya.
B. Dari aspek kualitatif, secara kodrati sulit manusia menghindari ikatan sosial dan hubungan
lingkungannya. Maka setiap pengembangan generasi muda harus dititikberatkan pada
peningkatan persenyawaan tersebut, agar hubungan timbal-balik yang bermanfaat bagi
peningkatan harkat hidup manusia dapat terwujud. Jika pemuda ingin mempelajari,
mengidentifikasi serta melaksanakan tugas-tugas sosial, harus terlebih dulu mengenal secara baik
diri sendiri sebagai suatu kepribadian, serta lingkungan interaksi antarindividu tersebut. Kedua
variabel itu harus berjalan sinkron dan fungsional karena ciri khasnya berbeda. Secara
paedagogis, harus dipahami konsep aku, aspirasi yang hidup di kalangan pemuda khususnya
selama periode remaja, bagaimana pandangan pemuda terhadap diri sendiri dan cita-citanya.
Dengan demikian dapat dipahami, apakah aku dan aspirasi mereka mencerminkan kesadaran
akan tugas-tugas perkembangan sosial yang dihadapkan kepadanya. Jika tidak, ikhtiar perbaikan
tindakan pedagogis mestilah dipersiapkan sedini mungkin.
Dari tinjauan sosiologi sejak usia setahun, manusia sudah memiliki pertautan dengan dunia
sekitarnya. Anak-anak membuat konsep diri dan lingkungannya, justru dari hasil tanggapan
mereka terhadap lingkungannya (sosialnya), dan dari proses sosialisasi yang terjadi di sekitarnya.
Struktur sosial masyarakat Indonesia saat ini yang sangat rawan, sangat dominan dalam
membentuk persepsi dan opini anak-anak terhadap masyarakat. Misalnya, kehidupan di pedesaan
yang prihatin, baik karena tingkat ekonomi maupun perlakuan hukum semena-mena, membuat
mereka frustasi, apatis, bahkan ada kalanya apriori terhadap pemerintah. Adalah wajar jika
generasi muda yang dibesarkan dalam struktur masyarakat dan kehidupan demikian, memiliki
persepsi negatif terhadap pemerintah dan masyarakatnya. Paling tidak terhadap generasi di
atasnya. Hal ini sepatutnya dipahami, karena masa muda usia sebagai perwujudan biologis
bagaimanapun sangat ditentukan oleh budaya setempat maupun keadaan kesezamanan.
Kegoncangan terhadap keadaan itu dapat menimbulkan konflik antargenerasi dalam suatu
periode tranformasi yang kritis. Akan tetapi, munculnya suatu generasi baru terkadang
disamakan dengan invasi kaum barbar. Yaitu, generasi muda sebagai penyerbu tetapi kemudian
secara bertahap dilibatkan ke dalam budaya dominan milik lawannya. Penyerbu itu lalu
mengalami proses pembudayaan baik secara aktif maupun pasif.
Dari segi psikologis, generasi muda terdiri dari orang-orang muda dengan kecenderungan-
kecenderungan dan kebutuhan-kebutuhan antara lain:
a. Kebutuhan untuk dihargai kebebasannya, baik dalam sikap maupun pilihan-pilihan pribadinya,
b. Kebutuhan akan kepercayaan terhadap kemampuannya untuk melakukan prestasi-prestasi,
c. Kebutuhan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuannya;
d. Kebutuhan akan pekerjaan untuk mempertahankan, atau melanjutkan hidupnya;
e. Kebutuhan seks untuk melanjutkan kehidupan;
f. Kebutuhan akan pendidikan, untuk meningkatkan kemampuan pribadi dalam pengembangan
karien pribadinya.
Hambatan-hambatan terhadap pengembangan segi itu, menyebabkan timbulnya perlawanan-
perlawanan psikologis antara lain, sikap revolusional/radikal.
C. Perhatian terhadap generasi muda bukan hanya lantaran mereka merupakan generasi penerus
(secara alamiah), tetapi tindakan dan pendapat mereka pula yang sangat menentukan arah dan
bentuk dari apa, yang kelak mereka teruskan. Di samping perhatian terhadap struktur demografis
pemuda juga tak dapat diabaikan. Sebab ini berhubungan dengan angkatan kerja yang pada
gilirannya berpengaruh langsung pada pendapatan nasional dan pendapatan per kapita.
Diperkirakan, tahun 1981 pemuda Indonesia mencapai 49,50% (39.181.622) dan 51,40% pada
tahun 1986 (44.873.903), bahkan diperkirakan tahun 2001 pemuda (usia 15-30 tahun) mencapai
jumlah 58.833.551 orang. Dari struktur umur, golongan penduduk muda (0-9 tahun)
menunjukkan prosentase lebih besar di daerah pedesaan, tetapi golongan pemuda (15-30 tahun)
jauh lebih besar di daerah kota. Berarti, ada kecenderungan pemuda desa pindah ke kota mencari
pekerjaan atau sekolah. Angka-angka berikut dapat merupakan indikator: pemuda Jakarta 33%,
Jawa Barat 27,6%, Jawa Tengah 27,8%, Jawa Timur 27,1%, Yogyakarta 29,7%, Sumatera
30,1%, Kalimantan 29,3%, Sulawesi 20,6%, dan lain-lain 27,3%.
Dalam hubungan komposisi pemuda itu, masalah lapangan kerja menjadi persoalan raksasa.
Tahun 1976-1981, angkatan kerja potensi diperkirakan bertambah 15.671.885 dengan prosentase
sekitar 60% berusia 10-24 tahun. Tragisnya, 65% daripadanya masih merupakan pencari kerja
pertama, sementara yang sudah bekerja belum mencapai tingkat produktivitas optimal. Dengan
demikian, kenaikan produksi dalam masing-masing kegiatan ekonomi tidak berbanding lurus
dengan daya serap tenaga kerja baru oleh kegiatan ekonomi yang ada. Sebenarnya di daerah
pedesaan kesempatan kerja bagi pemuda yang memiliki keterampilan khusus dan terbuka.
Lantaran kejenuhan kesempatan kerja di desa, pemuda yang tak punya ketrampilan pun ikut ke
kota. Keadaan bertambah kelut, dan tingkat pengangguran meningkat.
D. Setiap terjadi perubahan masyarakat, generasi muda langsung terlibat. Akan tetapi yang lebih
terlibat adalah mereka yang terpilih, pemuda elit. Yakni, mereka yang memperoleh kesempatan
lebih banyak dalam mengenyam pendidikan. Umumnya mereka berasal dari keluarga menengah,
tinggal di kota-kota. Yang lain, pada umumnya dari keluarga sederhana, tinggal di desa-desa dan
hanya sedikit yang mengenyam pendidikan. Perbedaan menyolok antara kedua kelompok itu
adalah tingkat kepekaan mereka pada setiap peralihan suasana serta gejolak sosial yang ada.
Yang 'elit' lebih cepat berkeinginan untuk merevisi harapan sosial, dan mengadakan perumusan
baru atas peranan mereka. Kelompok elit dengan asumsi, bahwa pengetahuan dan horison
pemikiran lebih siap. Dari lapisan itu pula lahirlah para intelektual.
Peristiwa 1905, 1908, 1928, 1945, dan 1966 adalah peristiwa-peristiwa besar yang sangat
ditentukan pemuda, khususnya kelompok elit. Sebenarnya, pemberian predikat 'elit' terhadap
mahasiswa adalah tindakan keliru, tetapi lantaran tingkat kebodohan, paternalistis-feodalistis
sangat tinggi dalam masyarakat, maka mereka dipaksa untuk menyapa sebagai 'wakil' dan
'penyalur aspirasi' mereka.
Gerakan mahasiswa tahun 1970-an dalam skala tertentu dianggap berbahaya oleh pemerintah,
bahkan terkadang dihadapi sebagai lawan. Mereka ditindak secara kasar, dipukuli, ditahan,
diteror, dan semacamnya. Jika diteliti secara jeli, agaknya sikap pemerintah seperti itu bukan
lantaran tidak dipahaminya kondisi sosiokultural dan psikologis dari pemuda dan mahasiswa,
tetapi lebih banyak disebabkan oleh prestasi, sikap feodalistis, dan lebih penting dari itu,
keangkuhan untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaannya. Ini merupakan: a)
produk pembangunaan yang sedang berlangsung, dan b) suatu kesengajaan yang sistematis dan
terencana.
Padahal, dalam hal pelaksanaan penilikan dan pengawasan umum, gerakan pemuda dan
mahasiswa seperti itu sangat menolong dalam proses pembangunan, karena gerakan pemuda dan
mahasiswa umumnya spontan, dan setiap gerakan spontanitas tidak dilatarbelakangi oleh
pretensi-pretensi politk tertentu. Adalah lebih berbahaya, jika mereka melakukan gerakan bawah
tanah secara diam-diam karena dibatasi ruang geraknya, sebab konsolidasi dan perpaduan hati
nurani secara alamiah, khususnya di kalangan pemuda tidak bisa dihalangi oleh kekuatan
apapun.
E. Akibat perkembangan sains dan teknologi, terjadi pergeseran nilai-nilai khususnya di negara-
negara sedang berkembang. Salah satu hal yang menyolok adalah terjadinya peralihan peranan
lembaga-lembaga adat karena kehilangan kewibadaan, termasuk orang tua. Perbedaan latar
belakang pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai tersebut, berakibat terjadinya generation gap
antara orang muda dengan orang tua. Tidak dapat diabaikan di saat generasi tua berada pada titik
kulminasi kehidupannya, generasi muda cenderung memilih dan menentukan pilihan lain,
termasuk nilai.
Suatu proses regenerasi tidak hanya berupa proses yang otomatis dan alamiah secara material,
tetapi di dalamnya terkandung pula proses pendidikan yang menunjang pertumbuhan nilai-nilai
baru dalam generasi muda sebagai alternatif terhadap nilai-nilai lama yang ada dan hidup pada
generasi terdahulu. Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan adanya sikap atau tindakan politik
yang mengatasnamakan 'regenerasi' demi kelanggengan kepentingan politik suatu kekuatan
politik, atau semangat kekuasaan rezim tertentu. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan atas
pewarisan nilai-nilai 45 bagi generasi muda.
Bersamaan dengan proses perkembangan sosial-budaya yang berlangsung secara cepat seperti
terjadinya ledakan penduduk, krisis ekonomi, energi, dan sebagainya secara internasional,
sehingga generasi muda Indonesia juga menghadapi suatu ancaman terhadap eksistensi diri
mereka sendiri. Karenanya, dalam penanganan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, mutlak
diperlukannya pelibatan generasi muda.
Namun, keterlibatan generasi muda tersebut, harus lebih
dititikberatkan pada keterlibatan kualitatif yaitu, dalam setiap kebijakan, peraturan perundang-
undangan, hendaknya senantiasa tercermin dan hadir aspirasi, serta keinginan pemuda. Dengan
begitu, pemuda tidak boleh dilihat secara parsial apalagi hanya sebagai obyek semata, tetapi
harus dihayati sebagai tonggak yang kokoh dalam satu wawasan kehidupan masyarakat
Indonesia.
Namun, jika diamati secara jeli pula, bahwa ditemukan serangkaian problem generasi muda
Indonesia saat ini, yaitu: adanya erosi idealisme dan patriotisme; timpangnya jumlah generasi
muda dengan fasilitas dan sarana yang tersedia bagi pengemban kehidupannya secara utuh;
kurangnya gizi karena tingkat pendapatan yang rendah, sekaligus mempengaruhi tingkat
kecerdasan (di samping banyak yang tuna fisik, mental, dan sosial); pengabaian nilai-nilai agama
dengan merajalela pergaulan bebas dan kenakalan remaja. Hal-hal tersebut di atas, erat kaitannya
dengan penyimpangan sosial selama ini, dan memperberat tantangan-tantangan pokok yang
dihadapi selain masalah kemiskinan, kebodohan, peledakan penduduk, energi, pelayanan
kesehatan umum, dan lain-lain.
Selanjutnya, generasi muda dapat pula dilihat penggolongan-penggolongan sebagai berikut:
a. Bertolak dari pengalaman kesejarahan (generasi muda pendobrak eksistensi ekstern dan
generasi muda pendobrak eksistensi intern);
b. Bertolak dari orientasi sikap sosial budaya (berorientasi ke atas dan berorientasi ke bawah);
c. Melihat dari produk sistem sosial (pemuda-pemuda sensitif, frustasi, santai, oportunis, ugal-
ugalan, pemuda pedesaan yang sedang berada pada peralihan dari pemuda frustasi ke pemuda
santai).
Pelaksanaan konsep-konsep pengembangan generasi muda harus mampu melahirkan manusia
berorientasi kualitatif, tidak materialistis kuantitatif. Pemuda dipersiapkan untuk berorientasi
kepada keadaan sekitarnya, cinta lingkungan masyarakatnya. Mereka lalu merupakan insan
sosial-budaya, insan politik, dan mampu berwiraswasta. Pemuda harus berorientasi ke depan,
memiliki kepekaan dan tanggung jawab sosial dengan bersikap mawas diri, kreatif, kritis, serta
konstruktif. Manusia seperti itu hanya ada jika mereka memiliki sifat-sifat jujur, adil, demokratis,
sederhana, bertanggung jawab, cerdas, berilmu, inovatif, berbudi luhur, serta berakhlak imani.
Dengan demikian, terbentuklah generasi muda yang berintegritas serta berkepribadian yang utuh.
F. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Kelompok Cipayung berpendapat/bersikap sebagai
berikut:
a. Menolak setiap bentuk penataan generasi muda dengan pewadahan yang monolitik dan
regimentaris, baik secara konsepsional maupun operasional seperti pewadahan KNPI. Untuk itu,
perlu dilakukan pemurnian kembali atas isi, jiwa, dan semangat Deklarasi Pemuda 1973.
b. Menempatkan diri masalah generasi muda sebagai masalah bangsa secara keseluruhan dengan
cara melibatkan generasi muda secara kualitatif, dalam setiap proses perumusaan kebijaksanaan
dan perundang-undangan pada seluruh sistem pemerintahan dan kemasyarakatan. Dalam
hubungan ini, Kelompok Cipayung tetap menempatkan diri sebagai moral force bangsa dengan
senantiasa menyumbang dan mengembangkan konsepsi-konsepsi kemasyarakatan bagi
pembangunan bangsa.
c. Dalam menyongsong masa depan bangsa, generasi muda perlu memurnikan pemahamannya
atas proses pewarisan nilai-nilai 1945 yaitu, nilai-nilai yang terkandung dalam Proklamasi 17
Agustus 1945, Pancasila dan UUD 1945, idealisme, patriotisme, cinta tanah air, jujur, adil, dan
kesatria.
d. Dalam proses pengembangan generasi muda, pemerintah harus menempatkan diri sebagai
penyedia fasilitas dan sarana, serta bertindak secara adil dan merata, sambil bersikap Tut Wuri
Handayani.
Penutup
Demikian seluruh pikiran ini disampaikan, yang berangkat dari sejarah masa lampau, kenyataan
hari ini dan cita-cita di masa datang, sebagai salah satu sumbangsih yang datang dari dalam
lubuk hati yang paling dalam yang tulus, ikhlas, dan murni sebagai persembahan kepada Ibu
Pertiwi tercinta, di akhir tahun ini. Kesadaran, bahwa hari-hari di belakang adalah hari-hari
perjuangan dan pengorbanan dalam pengabdian yang sulit, namun yang telah dihadapi dan
dilewati dengan penuh konsistensi tanpa pamrih, tetapi yang adalah bagian dari kekayaan dan
sejarah republik ini.
Dengan menembus waktu dan membentuk sejarah, Kelompok Cipayung akan tetap hadir dalam
kehidupan ini, sebagai bagian dari sejarah kemarin, hari ini, dan masa depan bangsa ini, seta
dengan penuh optimisme dan sukacita kita bersama-sama akan menatap hari besok dalam
perjuangan, keyakinan, dan pengharapan akan suatu masa depan yang lebih baik yakni,
Indonesia yang Kita Cita-citakan seperti yang dimaksud di dalam Pancadila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Kami sudah coba yang terbaik bagi republik ini, dan sejarahlah yang akan menentukan
nilai.Merdeka!

Disepakati di: Jakarta, tanggal 30 Desember 1980
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Soedaryatno, Ketua Komite Politik, Kristiya Kartika, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Yosef Lalu Timu, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang,
Sekretaris Umum; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubasman,
Sekretaris Jenderal.



PEMERATAAN PEMBANGUNAN DEMI TERWUJUDNYA DEMOKRASI EKONOMI

Kelompok Cipayung yang terdiri dari PP GMKI, PB HMI, PP PMKRI, PB PMII, dan Presidium
GMNI merupakan bagian tak terpisahkan dari generasi muda Indonesia, senantiasa berusaha
memberikan perhatian dan partisipasinya dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perhatian dan partisipasi itu, dalam bentuk apapun, tidak lepas dari niat baik dan dorongan rasa
tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara. Dalam rangka itu, Kelompok Cipayung
memberikan perhatian dan pendapatnya atas pidato Bapak Presiden Soeharto mengenai RAPBN
pada tanggal 5 Januari 1981 di depan DPR sebagai berikut:
A. RAPBN 1981/1982 Berwatak GNP-isme
Melihat kepada RAPBN 1981/1982 yang disampaikan oleh Presiden RI tanggal 5 Januari 1981
di depan sidang pleno DPR RI, harus diakui ada peningkatan jumlah sebesar lebih kurang 31%
dibanding tahun anggaran terdahulu. Akan tetapi menjadi pertanyaan, berapakah tingkat
kenaikan kualitatif yang terdapat di dalamnya, mengingat besarnya tingkat inflasi dan
pendapatan dari minyak berkisar pada angka 71% dari seluruh penerimaan pajak, baik langsung
maupun tidak langsung.
Hal tersebut berarti bahwa tingkat produktivitas sektor usaha tidak bertambah, mengingat tidak
adanya kenaikan berarti pada sektor minyak (harga dinaikkan tetapi produksi menurun). RAPBN
tersebut juga menunjukkan masih besarnya subsidi negara untuk sektor pangan dan minyak bumi
yang menunjukkan masih rendahnya tingkat kemampuan masyarakat yang secara kualitatif tidak
berbeda dengan tahun anggaran terdahulu.
Pada hakikatnya, suatu RAPBN juga sekaligus menggambarkan orientasi pembangunan
nasional. Angka-angka menujukkan bahwa kali ini pun arah pembangunan masih
menitikberatkan sektor-sektor yang tidak berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar, serta
pengembangan kemampuan masyarakat mayoritas untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya.
Harga BBM tidak dinaikkan, tetapi adakah jaminan bahwa harga-harga tidak naik mengingat
sangat terbukanya sistem ekonomi Indonesia terhadap faktor-faktor inflasi? (Ekonomi pasar
dengan asas free fight competition dan ketergantungan kuat terhadap phenomenon ekonomi
internasional serta peningkatan jumlah rupiah yang beredar untuk membiayai proyek-proyek
pembangunan fisik yang dikuasai pemerintah).
Upah pegawai negeri dan ABRI dinaikkan, tetapi adakah jaminan harga-harga tidak naik
mengingat tradisi bahwa setiap upah senantiasa diikuti pula oleh kenaikan? Bagaimana pula
dengan nasib kaum buruh yang tidak terlindungi oleh ketentuan mengenai patokan upah
minimum yang layak? Bantuan asing untuk bantuan proyek dan bantuan program sangat besar.
Berapa besarkah bagian untuk sektor-sektor pendidikan dan human-investment lainnya?
Bukankah bantuan tersebut lebih ditujukkan untuk pembangunan proyek-proyek yang nantinya
hanya akan menunjang pertumbuhan usaha-usaha penanam modal asing yang bersifat pasar
modal? Tidak Jelas, pendekatan manakah yang akan digunakan dalam rangka pelaksanaan pasal
33 UUD 1945. Berapa besar pula porsi pembelanjaan dan subsidi negara bagi pembangunan
sektor koperasi yang meliputi pendidikan keterampilan, pembentukan sarana, perkreditan, dan
sebagainya?
Orientasi pertumbuhan dan watak GNP-isme antara lain, digambarkan oleh sistem ekonomi pintu
terbuka meliputi liberalisme perdagangan luar negeri, pemasukan modal asing tanpa seleksi dan
adanya ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri dalam menopang kebijaksanaan-
kebijaksanaan pembangunan, adanya sektor dualistik yang berat sebelah' (sektor tradisional yang
diabaikan dan sektor modern yang didahulukan). Eksplisit, orientasi tersebut mengandung
elemen-elemen ekspansi ekonomi yang harus terjadi melalui proses industrialisasi dan
pengembangan sektor modern. Ekspansi ekonomi tersebut, kemudian dibiayai melalui
redistribution ressources kepada kalangan kapitalis yang dipercayai mempunyai dan akan
mempunyai kecenderungan menabung yang tinggi untuk membiayai proses reinvestasi dan
bantuan luar negeri dalam bentuk pinjaman atau penanaman modal. Ciri-ciri tersebut seluruhnya
tergambarkan dalam RAPBN 1981/1982.
B. Pemerataan Menuju Pertumbuhan Ekonomi
RAPBN pada prinsipnya adalah penggambaran rencana pemerintah tentang pembangunan
nasional. Oleh karenanya, RAPBN seharusnya:
a. Menekan kecenderungan memperkaya diri secara tak terbatas melalui penyempurnaan sistem
perpajakan, pembatasan tingkat keuntungan, pembatasan kepemilikan alat-alat produksi
(misalnya tanah), pembatasan wilayah usaha komersial badan-badan usaha swasta, untuk
memperkecil jurang pemisah antara si kaya dengan si miskin. Termasuk di sini pemerataan
distribusi pendapatan untuk mencegah adanya disparitas pendapatan yang menyolok di antara
golongan-golongan masyarakat
b. Mengefektifkan penilikan dan pengawasan umum, serta memfungsikan lembaga-lembaga
pengawasan umum, agar dana-dana pembelanjaan negara yang besar itu benar-benar diarahkan
kepada pemenuhan kepentingan umum dan memungkinkan adanya keleluasaan usaha-usaha
pengembangan wilayah.
c. Membangun disiplin di kalangan aparatur negara dari yang tertinggi sampai yang terendah,
agar benar-benar melaksanakan fungsi pengabdian masyarakat bukannya penguasaan masyarakat
yang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar tindakan-tindakan yang melawan hukum dari
penyelenggaraan kekuasaan.
d. Merangsang pertumbuhan produksi dalam masyarakat produsen (tani dan nelayan), dengan
adanya subsidi negara dalam rangka penyediaan bahan-bahan pokok (beras, gula, dan
sebagainya), atau perlindungan bagi mereka yang memproduksi bahan-bahan mentah (kopi, teh,
karet, dan sebagainya).
e. Menumbuhkan suatu iklim politik yang demokratis dan berkemanusiaan, sehingga mendorong
adanya partisipasi sosial dalam proses pembangunan nasional.
C. Bantuan Asing dan Penanaman Modal Asing
Pada hakikatnya bantuan asing (pinjaman) maupun penanaman modal asing tidak lain adalah
upaya perluasan pengaruh politik dan mengembangkan kekuasaan ekonomi. Oleh karenanya
harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam rangka mengusahakan dan menerima bantuan
asing, kita harus bebas dari persyaratan-persyaratan apapun, kecuali bahwa bantuan/ pinjaman
tersebut akan dibayar kembali pada saatnya.
b. Dalam rangka mengusahakan, menerima, dan memanfaatkan bantuan asing, sektor
pembangunan kemanusiaan harus mendapatkan perhatian utama dan pengembangan industri-
industri ringan.
c. Harus ada sikap politik yang tegas untuk menolak bantuan yang ditawarkan, atau menolak
persyaratan-persyaratan bagi sesuatu bantuan asing, demi kehormatan bangsa dan negara dengan
mengandalkan potensi nasional (kekayaan alam dan bahan mentah lainnya).
Dalam hubungan dengan penanaman modal asing, maka harus diperhatikan :
a. Tidak diperlukan adanya penanaman modal asing yang memproduksi barang-barang yang
seyogyanya dapat pula dilakukan oleh kalangan usaha dalam negeri secara kecil-kecilan tetapi
merata, dengan bantuan dan perlindungan yang layak dari negara.
b. Membatasi atau menghentikan sama sekali kegiatan usaha-usaha produksi komoditi tertentu
yang selama ini telah merangsang pertumbuhan sifat konsumerisme (produksi barang-barang
mewah seperti mobil sedan, alat-alat elekronik mewah, dan sebagainya).
c. Tidak diperkenankannya penanaman modal asing untuk usaha-usaha vital (penerbangan,
perlistrikan, perkeretaapian, air minum, dan sebagainya).
d. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dasar
tersebut.
e. Penanaman modal asing tidak untuk melanggengkan keberadaannya di dalam negeri, tetapi
justru untuk menumbuhkan kemampuan di dalam negeri sendiri agar secepatnya bebas dari
pengaruh dan kekuasaan modal
asing itu sendiri.
Khusus dalam hubungan ekonomi Indonesia-Jepang, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa posisi historis Indonesia terhadap Jepang dan sebaliknya; Jepang berhubungan nyawa
dan berhutang darah terhadap bangsa Indonesia.
b. Bahwa dalam kenyataannya ekspansi ekonomi Jepang telah turut merangsang sifat
konsumerisme dalam masyarakat.
c. Bahwa Indonesia bukan semata-mata wilayah pemasaran hasil-hasil produksi Jepang, oleh
karenanya hubungan yang dibina haruslah berwajah kemanusiaan.
D. Demokrasi Ekonomi untuk Menegakkan Nasionalisme
Dengan melihat besarnya cadangan devisa serta prospek potensi minyak bumi dan gas alam pada
masa mendatang, tuntutan saat ini adalah:
a) turunkan harga barang-barang pabrik;
b) tingkatkan bantuan terhadap usaha-usaha koperasi;
c) tetapkan upah minimum yang layak bagi kaum buruh;
d) lindungi kaum tani dan nelayan dengan subsidi negara, melalui harga minimum yang pantas
bagi hasil-hasil usaha produksi beras, gula, ikan, dan sebagainya;
e) hentikan segala usaha dalam penanaman modal asing yang memproduksi barang-barang
mewah dan barang-barang yang dapat dihasilkan/ diproduksi oleh kekuatan-kekuatan ekonomi
dalam negeri (produksi mobil sedan, elektronik mewah, minuman ringan, susu, tekstil, dan
sebagainya);
f) tinjau kembali sistem perkreditan yang menghambat perkembangan usaha-usaha kecil dan
menengah yang dikelola oleh rakyat;
g) ubah orientasi pembangunan nasional, dari pertumbuhan menuju ke pemerataan ekonomi;
h) dalam rangka pendekatan terhadap pembangunan ekonomi, maka pendekatan harus
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan perkembangan pada masa mendatang daripada
pendekatan keamanan semata-mata;
i) dalam rangka penanaman modal asing, di samping telah memenuhi persyaratan-persyaratan
dasar tersebut di atas, harus pula memperhatikan ratio yang layak antara nilai modal yang
ditanamkan dengan tenaga kerja yang diserap dari kalangan rakyat.

Jakarta, 8 Januari 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, Ketua Presidium, Paulus Andi, Sekretaris;
Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arubusman, Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik, Kristiya Kartika, Sekretaris
Jenderal.




MENINJAU KEMBALI HUBUNGAN INDONESIA-JEPANG

Sehubungan dengan kunjungan Perdana Menteri Zenko Suzuki ke Indonesia dan negara-negara
anggota ASEAN lainnya, sebagai perlawatan luar negeri yang pertama setelah menduduki
jabatan tersebut, dengan ini Kelompok Cipayung yang terdiri atas Gerakan Mahasiswa Kristen
Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Perhimpunan Mahasiswa
Katolik Republik Indonesia (PMKRI) menyatakan pendapat dan pendiriannya tentang hubungan
Indonesia-Jepang sebagai berikut:
A. Kunjungan Perdana Menteri Zenko Suzuki ke Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya
itu, sepatutnya mendapat perhatian yang kritis dan perlu dipelajari secara mendalam dengan
sikap kewaspadaan yang tinggi, sehubungan dengan watak kapitalisme Jepang yang cerdik dan
ekspansionis, karena watak yang demikian tadi telah dibuktikan oleh sejarah yang berlumuran
darah.
B. Kapitalisme Jepang, setelah sembuh dari sakitnya akibat Perang Dunia II kini sedang tumbuh
untuk mencapai titik puncaknya dan dengan gigih sedang memperluas ekspansi ekonominya ke
negara-negara Asia Tenggara sebagai bagian ekspansi kapitalisme internasional. Gejala yang
kuat, yang kini sedang tumbuh untuk membangkitkan kembali militerisme Jepang, adalah bagian
integral dari kesadaran ekspansionis untuk melindungi dan mengamankan perluasan pengaruh
ekonominya di kawasan Asia Tenggara di kemudian hari, dan oleh karenanya kehadiran
ekonomi Jepang sekarang ini pada hakikatnya tidak berbeda dengan kehadiran Jepang
sebelumnya dan selama Perang Dunia II dalam bentuk yang ditingkatkan.
C. Ekspansi kapitalisme Jepang tadi, telah menjadikan Indonesia sebagai kawasan eksploitasi
melalui praktek-praktek:
a. Menjadikan Indonesia yang berpenduduk 147 juta jiwa lebih sebagai pasar untuk
melemparkan produksi barang-barang jadi dan barang-barang setengah jadi.
b. Menjadikan Indonesia sebagai tempat penanaman modal secara sepihak sangat
menguntungkan Jepang, terutama karena sangat rendahnya upah buruh dan harga energi, serta
tersedianya kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah Indonesia kepada modal asing.
c. Menjadikan Indonesia sebagai tempat untuk menguras sumber-sumber energi, mineral, dan
kekayaan alam lainnya.
d. Menjadikan sebagian rakyat Indonesia semata-mata sebagai kuli dan buruh yang diperas
tenaga kerjanya untuk kepentingan produksi kapitalisme Jepang.
D. Untuk melicinkan jalan bagi ekspansi kapitalismenya tersebut, Jepang bersama-sama dengan
negara-negara donor lainnya telah berhasil memaksakan kepentingan ekonomi untuk
mempengaruh kebijaksanaan ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia melalui kartu
bantuan luar negeri.
E. Ekspansi kapitalisme Jepang di Indonesia telah membuahkan bencana-bencana sebagai
berikut kepada rakyat Indonesia:
a. Runtuhnya sendi-sendi perekonomian rakyat, khususnya sektor industri tradisional yang
mengakibatkan berjuta-juta rakyat kehilangan kesempatan kerja dan mata pencahariannya.
b. Menjerat bangsa Indonesia ke dalam pola konsumtif
Barat, yang secara sistematis memang diatur untuk kepentingan perluasan pasar melalui iklan-
iklan, dan jaringan kebudayaan lainnya untuk menumbuhkan konsumerime.
c. Menciptakan kantong-kantong elit di kota-kota besar, serta menumbuhkan kapitalisme baru
yang menjadi sebab ketidakadilan sosial melalui hubungan-hubungan ekonomi yang merugikan
rakyat kecil, terutama rakyat pedesaan.
d. Secara umum ekspansi tersebut telah menciptakan ketergantungan ekonomi Indonesia kepada
modal asing dan pinjaman luar negeri.
e. Ekspansi ekonomi tersebut, juga berdosa besar atas rusaknya lingkungan ekologi seperti
penggundulan hutan, polusi, dan lain-lain, serta pengurasan tanpa batas terhadap kekayaan laut,
energi, mineral, dan kekayaan alam lainnya.
Oleh karenanya, berdasarkan kerangka pikiran yang telah diuraikan di atas, Kelompok Cipayung
mengajak semua pihak untuk memperjuangkan prinsip-prinsip sebagai berikut dalam
hubungannya dengan ekspansi kapitalisme Jepang:
A. Mengecam lahirnya kembali semangat militerisme Jepang, karena menurut pengalaman
sejarah, kemampuan militer Jepang yang kuat akan dipergunakan untuk melindungi dan
memperluas ekspansi kapitalismenya tanpa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu,
seruan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, serta sementara pemimpin negara-
negara ASEAN yang mendesak Jepang untuk meningkatkan kualitas pertahanan, harus ditolak.
B. Menolak gagasan dibentuknya Masyarakat Samudra Pasifik (Pasific Basin Community) dan
keinginan Jepang untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
C. Menolak kemungkinan adanya kerja sama militer dengan Jepang dalam segala cara.
D. Meninjau kembali seluruh sistem dan struktur kerja sama ekonomi dengan Jepang, karena
sistem dan struktur yang sekarang berlangsung itu telah menimbulkan bencana besar terhadap
rakyat Indonesia seperti yang dimaksudkan dalam butir (C) di atas.
E. Secara khusus, keterlibatan Jepang dalam mengembangkan industri di Indonesia harus
dititikberatkan pada pembangunan industri hulu (up-stream industries), dan tidak kepada
pembangunan industri-industri hilir (down-strem industries) seperti yang dijalankan selama ini.
F. Pada hakikatnya tidak dapat menerima kehadiran modal Jepang yang bersifat menumbuhkan,
memelihara, dan melindungi kapitalisme di Indonesia.
G. Supaya segera dihentikan pengurasan dalam skala besar terhadap sumber-sumber energi dan
mineral, serta kekayaan alam lainnya terutama kekayaan laut dan hutan.

Jakarta, 11 Januari 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar HMI Abdullah Hehamahua, Ketua Umum, Ahmad Zacky Siradj, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Wem Kaunang, ketua Presidium, Josef Lalu Timu, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Ahmad Bagdja, Ketua Umum, Muhyiddin Arusbusman,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komita Politik, Kristya Kartika,
Sekretaris Jenderal.



Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
PEMBANGUNAN EKONOMI SETELAH 36 TAHUN MERDEKA

Dilandasi kesadaran sebagai generasi muda Indonesia untuk bertanggung jawab mengisi
kemerdekaan dalam perjalanan sejarah bangsa, Kelompok Cipayung yang terdiri dari Pengurus
Pusat GMKI, Pengurus Besar HMI, Pengurus Pusat PMKRI, Pengurus Besar PMII, dan
Presidium GMNI dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik
Indonesia yang ke-36, dengan ini menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang pembangunan
ekonomi yang kini telah berjalan sebagai berikut:
A. Pembangunan dewasa ini yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan
semakin luasnya kemiskinan massal dan semakin tergantungnya perekonomian kita kepada luar
negeri. Ini berarti, pembangunan ekonomi belum memenuhi sasaran yang tepat untuk
mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia. Oleh karenanya, Kelompok Cipayung
berpendapat untuk dipikirkan kembali secara serius persoalan strategi pembangunan untuk
memerangi langsung persoalan kemiskinan massal dan ketergantungan ekonomi Indonesia.
B. Kelompok Cipayung berpendapat, agar pembangunan dapat berlangsung kontinyu dan
memiliki perspektif ke depan yang berjangkauan jauh, unsur stabilitas politik hendaknya
ditempatkan dalam usaha kebijakan pembangunan itu sendiri. Ini berarti, setiap kebijaksanaan
ekonomi yang dijalankan harus menghasilkan stabilitas politik itu sendiri; dan tidak sebaliknya,
malahan membuka kondisi-kondisi yang rawan bagi stabilitas. Hal ini dimaksudkan agar
persoalan stabilitas tidak dijadikan dalih untuk pengamanan kondisi-kondisi status quo yang
mengakibatkan terhambatnya inisiatif dan kreativitas rakyat di segala bidang. Dengan demikian
sekaligus harus dicegah meluncurnya dalih stabilisasi menjadi suatu ideologi.
C. Kebijakan ekonomi yang selama ini dijalankan untuk memaksimalkan pinjaman luar negeri
dan modal asing melalui persetujuan-persetujuan bilateral atau dalam rangka IGGI hendaknya
segera dihentikan. Hendaknya disadari bahwa kebijakan ekonomi yang memaksimalkan
pinjaman luar negari dan modal asing ternyata telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian
rakyat. Juga perlu dipertanyakan, apakah kebijakan ekonomi yang demikian tadi sebenarnya
tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomis, dan gaya hidup konsumerisme golongan
elit ekonomi yang sudah mapan saja.
D. Kelompok Cipayung berpendirian, mutlak perlu untuk segera dijalankan kebijakan ekonomi
yang bertumpu pada kekuatan diri sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Meminimalkan pinjaman luar negeri dan modal asing sehingga pinjaman luar negeri dan
modal asing tersebut hanya bergerak pada hal-hal yang vital yang tidak bisa diperoleh di dalam
negeri, khususnya sektor industri hulu yang menggunakan teknologi tinggi,
b. Melepaskan ketergantungan dari negara-negara industri maju dan memerangi produksi serta
impor barang-barang konsumerisme,
c. Peranan modal asing untuk memproduksi barang-barang harus ditekan ke titik minimal, serta
keharusan untuk menggunakan dan memanfaatkan segala sumber daya dan teknologi yang ada di
dalam negeri,
d. Pemerintah tidak boleh mengintrodusir barang-barang yang tidak dapat dijangkau oleh daya
beli mayoritas rakyat melalui kebijaksanaan apapun,
e. Pemerintah secara sungguh-sungguh memberikan proteksi maksimal kepada sektor
perekonomian rakyat.
E. Kelompok Cipayung berpendapat, pembangunan koperasi saat ini kurang sungguh-sungguh
ditangani dan masih bersifat mobilisasi yang kurang menumbuhkan inisiatif dan kondisi-kondisi
yang menopang bagi pertumbuhan koperasi dari bawah. Sehubungan dengan ini, upaya
pembangunan koperasi haruslah dikaitkan dengan kebijakan ekonomi yang mengandalkan
kekuatan diri sendiri, serta perlu dikembalikan citra koperasi di tengah-tengah masyarakat, agar
koperasi mampu menjadi tiang utama perekonomian nasional kita.
F. Kelompok Cipayung berpendirian bahwa, untuk memerangi ketidakadilan ekonomis dan
menegakkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, perlu dibangun kemauan
politik rakyat yang kuat untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian,
terwujudnya cita-cita keadilan sosial tidak semata-mata tergantung pada kemauan politik pihak
pemerintah saja. Hal ini sejalan dengan prinsip kedaulatan ada di tangan rakyat, dan merupakan
satu-satunya cara untuk menghindari bertambah kuatnya aliansi antara penguasa dengan
pengusaha.
G. Kecenderungan yang semakin kuat untuk bertambah eratnya aliansi antara penguasa dengan
pengusaha dalam menggerakkan roda pembangunan, mempunyai akibat yang serius terhadap
nasib sektor perkonomian rakyat dan sekaligus berakibat menekan majunya hak-hak politik
rakyat. Dalam skala yang lebih luas, aliansi tersebut merupakan alat yang strategis untuk
mengintegrasikan perekonomian kita ke dalam pelukan sistem kapitalisme dunia, di mana
perusahaan-perusahaan multinasional memegang peranan kunci yang sangat merugikan.
H. Kelompok Cipayung mensinyalir, pembangunan selama ini banyak didominasi oleh peranan
pemerintah untuk mengatur semua jalannya pembangunan, sehingga kurang menumbuhkan
inisiatif dan kemampuan rakyat. Dalam keadaan demikian pemerintah akan nampak semakin
kuat; tetapi kondisi rakyat dan ketahanan bangsa semakin melemah.
I. Kelompok Cipayung berpendapat bahwa sukses yang berhasil diraih oleh pemerintah untuk
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditentukan oleh bonansa
minyak. Tetapi, sementara itu, pengawasan terhadap Pertamina yang hanya disandarkan pada
pihak pemerintah telah terbukti kurang bisa mengatasi kebocoran terus-menerus yang terjadi
pada perusahaan negara itu.
J. Untuk meningkatkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap jalannya pembangunan,
Kelompok Cipayung berpendapat agar aparat pengawasan yang ada dalam tiap-tiap departemen
atau lembaga lainnya dikembalikan menjadi aparat lembaga-lembaga pengawasan yang
sebenarnya, yaitu Kepolisian Negara, kejaksaan dan Badan Pemeriksa Keuangan.
K. Menyadari akan buruknya nasib buruh yang berkepanjangan karena standar upah minimal
yang tidak memadai, dan adanya kenyataan peranan pemerintah yang kurang menyatu dengan
pihak buruh dalam penyelesaian kasus-kasus perburuhan, Kelompok Cipayung memandang
perlu untuk adanya jaminan hukum terhadap tuntutan-tuntutan buruh yang berusaha
memperbaiki nasibnya.
L. Kelompok Cipayung melihat, pendidikan selama ini masih diperlakukan sebagai pelengkap
pembangunan ekonomis dan masih merupakan barang mewah dalam masyarakat. Selama
kebijakan pendidikan seperti ini diteruskan, pendidikan hanya akan dinikmati golongan elite
ekonomi yang akan berakibat sentralisasi dan akumulasi kekayaan, serta kekuasaan pada
golongan okonomi tersebut. Oleh karenanya, perlu diupayakan secara sungguh-sunguh agar
pendidikan depat dinikmati oleh seluruh warga negara sebagai hak mereka.
Penutup
Apa yang dilakukan hari ini adalah hasil dari kemarinnya, dan apa yang dikatakan hari ini tidak
berbeda dengan hari kemarinnya, hanya berbeda dalam pergeseran kata-kata saja. Apa yang kita
lakukan hari ini adalah untuk hari esoknya yang lebih baik. Untuk itu, perlu secara terus-menerus
mengadakan reorientasi dan re-evaluasi dalam mengisi cita-cita kemerdekaan, guna menebus
amanat penderitaan rakyat dengan berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan Orde Baru dan seluruh bangsa Indonesia. Merdeka!

Jakarta, 14 Agustus 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Alex F. Litaay, Pejabat Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris
Umum; Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Ulil Amri Nawawi, Wakil
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyidin Arubusman, Ketua Umum, H.M. Thaher
Husein, Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium, Antonius
Wantoro, Pejabat Sementara Sekretaris Jenderal.




MENGKAJI ULANG PERANAN PEMUDA DALAM SEJARAH
Peringatan Sumpah Pemuda Ke-53 Tahun oleh Kelompok Cipayung

A. Pemuda sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia mempunyai peranan yang
cukup besar dalam menentukan perjalanan sejarah bangsa. Hal itu dimungkinkan karena pemuda
mempunyai nilai-nilai yang kondusif (mendukung) ke arah itu, yaitu patriotisme, idealisme,
heroisme, solidaritas, dan penghayatan akan makna kepelbagaian latar belakang sosial budaya,
agama, dan sebagainya. Modal dasar tersebut akan semakin berkembang manakala ditopang oleh
iklim yang nyaman, yaitu adanya rasa bebas dari keterkungkungan (penjajahan), yang karenanya
akan mampu melahirkan generasi yang mandiri dan bertanggung jawab dalam menghadapi
semua tantangan. Mengkaji ulang peranan pemuda dalam perjalanan sejarahnya, amat perlu
untuk mengembangkan potensi yang terkandung dalam diri pemuda.
B. Angkatan 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, merupakan tonggak sejarah bagi bangsa
Indonesia, kehendak mereka untuk bersatu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan
manifestasi dari kesadaran mereka terhadap beberapa hal, yaitu:
a. Kesadaran akan kebesaran bangsa, latar belakang sosial, budaya, dan agama yang berbeda.
b. Kehendak untuk bebas dari kungkungan penjajahan
selama berabad-abad.
c. Cita-cita kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan adanya persatuan dari seluruh potensi
bangsa.
Semangat sumpah pemuda ini pada gilirannya telah menjadi motivasi yang kuat dan sumbangan
yang sangat berharga dalam pencapaian cita-cita kemerdekaan.
C. Angkatan 1945, telah merealisasi semangat dan cita-cita kemerdekaan ke dalam bentuk yang
lebih nyata dan berani, yaitu menghancurkan pemerintahan penjajah Belanda untuk kemudian
dibentuk suatu negara merdeka yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam era
pengisian kemerdekaan, bangsa Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih luas untuk
berbangsa dan bernegara dengan landasan Pancasila dan UUD 1945. Sejarah telah membuktikan
bahwa Pancasila dan UUD 1945 ternyata mampu memberikan pengamanan atas keutuhan
bangsa dari setiap tantangan, di mana Pembukaan UUD 1945 memberi isyarat yang jelas akan
maksud didirikannya negara ini adalah untuk mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa, serta
mewujudkan perdamaian dunia. Inilah nilai-nilai yang telah disumbangkan oleh Angkatan 1945
yang perlu diwariskan kepada generasi selanjutnya.
D. Semangat yang diwariskan oleh kedua angkatan tersebut merupakan ekspresi dari
ketidakrelaan terhadap setiap usaha pengendalian, penguasaan, dan pembatasan terhadap
kemerdekaan di mana kemerdekaan adalah hak asasi setiap individu.
E. Memperingati Sumpah Pemuda juga mempunyai makna keberanian menilai terhadap
perjalanan sejarah kepemudaan tanah air, yaitu sejauh mana nilai-nilai yang telah diwariskan itu
berkembang secara wajar. Usaha-usaha konsepsional dan operasional untuk menjadikan generasi
muda terkendali yang akhirnya cenderung kepada pola monolitisme itu, cukup memprihatinkan
karena bertentangan dengan nilai yang telah diwariskan oleh angkatan-angkatan yang terdahulu.
Usaha-usaha seperti itu pada gilirannya akan membuat generasi muda semakin sempit horizon
berpikirnya, tidak bisa terlepas dari serba ketergantungan, dan selalu berorientasi ke atas. Dalam
semangat dan momentum Sumpah Pemuda, Kelompok Cipayung mengingatkan kembali akan
pentingnya peranan pemuda sebagai kekuatan moral yang mempunyai ciri selalu menolak setiap
usaha mengendalikan dan penguasaan terhadap kemerdekaan.
F. Generasi muda yang meliputi pemuda, pelajar, dan mahasiswa mempunyai tanggung jawab
moral terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, perlu ditinjau kembali
setiap kebijaksanaan yang tidak mendukung terbentuknya kader-kader bangsa yang dinamis,
kreatif, serta bertanggung jawab. NKK/BKK misalnya, ternyata hanya mampu memproduk
mahasiswa yang egoistis dan eksklusif yang hanya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Untuk itu, perlu diluruskan kembali dalam hubungannya dengan perguruan tinggi sebagai
lembaga ilmiah dengan tolok ukur otonomi kampus dan kebebasan mimbar.
G. Dalam bidang kepemudaan, perlu dikembalikannya KNPI sebagai forum komunikasi sesuai
dengan Deklarasi Pemuda 1973. Deklarasi tersebut, mengisyaratkan bahwa KNPI adalah forum
untuk memperbincangkan masalah-masalah pemuda dalam hubungan dan partisipasinya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian bahan kajian yang disampaikan oleh Kelompok
Cipayung sebagai tanggung jawab moralnya terhadap dunia kepemudaan di tanah air.

Jakarta, 27 Oktober 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Imam Suhardjo H.M., Ketua, A. Rivai Hassan, Wakil Sekretaris Jenderal;
Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik, Baringin Pardede, Pejabat Sementara
Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A. Suherman,
Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R.
Simatupang, Sekretaris Umum.




Sumbangan Pikiran Kelompok Cipayung Kepada Menteri Muda Urusan Pemuda
Mengenai
KEMUNGKINAN PEMBENTUKAN SUATU FORUM KOMUNIKASI
ANTARGENERASI MUDA

Sebagai kelanjutan dari pertemuan antara Menteri Muda Urusan Pemuda dengan Kelompok
Cipayung pada tanggal 30 Oktober 1981, untuk membicarakan kemungkinan terbentuknya suatu
forum komunikasi antargenerasi muda, dengan ini Kelompok Cipayung menyatakan sikap dan
pikirannya sebagai berikut:
A. Kelompok Cipayung sepakat dan memandang perlu untuk terbentuknya suatu forum
komunikasi antargenerasi muda.
B. Forum komunikasi seperti yang dimaksud titik (A) di atas haruslah merupakan suatu forum
yang secara struktural berada di luar organisasi KNPI. Prinsip ini telah disepakati pula oleh
Menteri Muda Urusan Pemuda dalam pertemuannya dengan Kelompok Cipayung tersebut di
atas.
C. Sesuai dengan saran Menteri Muda Urusan Pemuda yang disampaikan kepada Kelompok
Cipayung dalam pertemuan tersebut di atas, agar Kelompok Cipayung menyampaikan saran
kepada Menteri Muda Urusan Pemuda untuk memperbaiki pasal-pasal yang menyangkut Dewan
Pertimbangan Pimpinan Pemuda (DP3) dalam rancangan Anggaran Rumah Tangga KNPI yang
diajukan dalam kongresnya sekarang ini, dengan ini Kelompok Cipayung menyampaikan saran-
saran sebagai berikut:
a. Sesuai dengan prinsip bahwa suatu forum komunikasi
antargenerasi muda secara struktural adalah di luar organisasi KNPI, maka bunyi pasal 18
Rancangan Anggaran Dasar Rumah Tangga tersebut harus dihilangkan; dan dapat diganti
sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18. DPP KNPI mempunyai hubungan konsultatif
dengan Dewan Pertimbangan Pimpinan Pemuda.
b. Sebagai konsekuensi dari titik (a) di atas, maka kata-kata dan Dewan Pertimbangan Pimpinan
Pemuda dalam pasal 20 ayat 2 (d) Rancangan Anggaran Rumah Tangga tersebut juga harus
dihilangkan.
c. Kelompok Cipayung menyarankan agar Kongres KNPI mengeluarkan suatu rekomendasi
kepada Menteri Muda Urusan Pemuda, melalui keputusan kongresnya, agar Menteri Muda
Urusan Pemuda memprakarsai pembentukan suatu forum komunikasi antargenerasi muda (dalam
hal ini adalah Dewan Pertimbangan Pimpinan Pemuda ).
Demikian saran-saran yang dapat disampaikan oleh Kelompok Cipayung, mudah-mudahan
bermanfaat.

Jakarta, 31 Oktober 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Polly O. Wowor, Wakil Sekretaris
Umum; Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komisi Politik, Antonius Wantoro, Pejabat
Sementara Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMI Kurniawan Zulkarnaen, Ketua, Nitra
Arsyad, Ketua; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A.Suherman,
Wakil Sekretaris Jenderal.




Evaluasi Akhir Tahun Kelompok Cipayung
KEDAULATAN RAKYAT DALAM SISTEM DAN STRUKTUR POLITIK DEWASA INI

A. Hakikat kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat, untuk menentukan seluruh arah dan kehidupan perkembangan
bangsa dan negara. Pelaksanaan kedaulatan rakyat harus didukung oleh sistem dan struktur
politik yang demokratis, sehingga memberikan tempat bagi rakyat melakukan hal-hak politiknya
secara leluasa. Wujud dari kedudukan dan peranan kedaulatan rakyat harus terungkap dalam
perangkat demokrasi seperti MPR, DPR, pemilihan umum, kepartaian, dan lain-lainnya yang
secara formal dan materiil harus mendukung dan menjamin kedudukan dan penyelenggaraan
kedaulatan rakyat.
B. Pengalaman kehidupan politik sebagai produk sistem dan struktur politik yang diberlakukan
selama ini, mengungkapkan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Lembaga MPR yang sekarang ini hanya bersifat formal institusional belaka, karena tidak
melaksanakan fungsinya telah menurunkan wibawa MPR sebagai lembaga tertinggi dalam
negara.
b. Lembaga DPR telah berubah fungsi sebagai lembaga penampung dan pendengar persoalan
belaka dari pihak eksekutif, sehingga fungsi pengawasan yang merupakan tugas utamanya telah
terabaikan.
c. Pemilu yang telah berlangsung hanya berfungsi sebagai alat legitimasi terhadap status quo,
telah
menguburkan kemungkinan terjadinya pembaruan dalam tatanan politik.
d. Partai politik dan Golongan Karya telah berubah fungsinya menjadi alat perpanjangan
kekuasan pemerintah, akibatnya menurunnya integritas parpol dan Golkar, serta intervensi
kekuasaan yang bertujuan melanggengkan status quo.
e. ABRI sebagai pengawal dan pengaman negara telah meluas peranan politiknya, sehingga
semakin mengurangi peranan kekuatan sosial-politik yang lain.
f. Kekuatan moral (moral force) sebagai partner perjuangan Orde Baru dan sebagai suatu unsur
yang merupakan keharusan dalam suatu kehidupan politik yang sehat, telah dimatikan ruang
geraknya.
g. Hilangnya hak-hak politik dari rakyat kecil seperti buruh, buruh-tani, petani, dan nelayan telah
melestarikan penderitaan dan kemiskinan.
Melihat dan memahami ciri-ciri dari kehidupan politik yang terjadi sekarang ini, seyogyanya
meyakinkan semua pihak yang cinta tanah air bahwa kedaulatan telah berpindah dari tangan
rakyat, sehingga merupakan tuntutan mendesak untuk segera mengadakan koreksi dan
pembaruan terhadap sistem dan struktur poltitik yang sekarang sedang berlangsung. Keadaan ini
bila terus dibiarkan, maka lonceng kematian demokrasi tidak terelakkan dan pada gilirannya
akan menjadi petaka bagi kelestarian dan ketangguhan bangsa dan negara yang berlandaskan
Pancasila. Berdasarkan kenyataan-kenyataan politik seperti di atas, dan didorong oleh hasrat
yang tulus ikhlas untuk mendekatkan Indonesia dalam kenyataan sekarang ini kepada Indonesia
yang dicita-citakan, maka Kelompok Cipayung menyatakan pikiran dan sikapnya sebagai
berikut:
a. Agar lembaga MPR sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
yang mempunyai fungsi
pengawasan terhadap jalannya pemerintahan negara, maka perlu segera diadakan perbaikan
mengenai pengadaan dan penentuan komposisi keanggotaan MPR dan DPR, pembaruan
mengenai mekanisme kerja MPR dan DPR, kepemimpinan MPR dan DPR, serta campur tangan
terselubung penguasa dalam kehidupan MPR dan DPR harus diakhiri. Pengadaan dan penentuan
keanggotaan MPR dan DPR yang diciptakan melalui suatu mobilisas politik dalam pemilihan
umum dan diskriminasi politik dalam penentuan komposisi keanggotaan MPR dan DPR, harus
ditinjau kembali. Persidangan MPR seharusnya dilaksanakan lebih dari 1 kali dalam 5 tahun,
agar memberikan kesempatan bagi penyelenggaraan kedaulatan rakyat untuk mengevaluasi
kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Dominasi eksekutif terhadap lembaga DPR telah
menempatkan lembaga perwakilan tersebut hanya berfungsi alat legitimasi terhadap kehendak
penguasa. Ketidakberdayaan lembaga perwakilan tersebut untuk menjalankan pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan, telah mengakibatkan penderitaan rakyat dan kerugian negara
seperti pemberangusan hak-hak asasi manusia, merajalelanya korupsi, dan kesewenangan
lainnya semakin meluas di dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu untuk menghilangkan
kekaburan dan manipulasi hak-hak politik rakyat, dan perangkat lembaga-lembaga demokrasi
yang ada, maka pemisahan kepemimpinan antara MPR dan DPR yang selama ini menyatu dalam
satu kepemimpinan, merupakan keharusan untuk dipisahkan.
b. Pemilihan umum yang telah diselenggarakan dua kali selama Orde Baru ini, belum
menampilkan nafas dan wajah demokrasi. Secara kualitatif Pemilu tidak dapat dikatakan sebagai
sarana pendidikan politik seluruh rakyat, sarana penegakan nilai-nilai demokrasi Pancasila, dan
sebagai momentum penyerahan kedaulatan rakyat kepada segenap wakil-wakilnya, manakala
Pemilu hanya disemangati oleh tujuan-tujuan legitimasi bagi penguasa. Pengalaman Pemilu
selama ini menunjukkan bahwa kesukarelaan dalam Pemilu telah tenggelam di bawah deru
mobilisasi dalam rangka meningkatkan tingginya presentasi pemilih. Oleh karena itu, pemilihan
umum keberhasilannya hanya dapat dinilai bila aturan-aturan penyelenggaraan dan proses
pelaksanaan berlangsung secara demokratis tanpa diwarnai oleh manipulasi dan intimidasi
politik yang mengebiri kebebasan rakyat untuk menyatakan hak politiknya. Di samping itu,
pemilihan umum akan dinyatakan sukses jika memunculkan pemimpin-pemimpin baru yang
mempunyai integritas serta lahirnya ide-ide baru bagi pembaruan tatanan politik, serta mampu
menjadi sarana kajian terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan
sebelumnya. Itu berarti yang paling utama diharapkan bahwa Pemilu akan memungkinkan
bangsa untuk menjawab tantangan masa depannya, berupa pemecahan masalah-masalah dasar
yang dihadapi yang berhubungan dengan penyelenggaraan kedaulatan rakyat, dan pembebasan
rakyat dari belenggu penderitaan dan kemiskinan yang telah berlarut-larut. Sehubungan dengan
hal-hal tersebut, kepada semua pihak diharapkan agar mempunyai sikap etis dan keberanian
moral untuk tidak merampas kebebasan rakyat dalam menggunakan hak-hak politiknya pada
setiap Pemilu.
c. Partai politik dan Golongan Karya sebagai bagian integral dalam suatu tatanan politik yang
demokratis yang fungsinya sebagai penyalur aspirasi hak-hak politik massa rakyat, telah
terbelenggu oleh sistem dan struktur yang menempatkan partai politik dan Golongan Karya tidak
berfungsi lagi sebagai sarana demokrasi, tetapi telah berubah fungsi menjadi alat legitimasi dari
kekuasaan yang ada. Oleh karena itu, pengembalian integritas dan otonomi partai merupakan
kebutuhan yang sangat mendesak dan hal ini membutuhkan perubahan-perubahan yang
mendasar pada semua aturan-aturan yang diberlakukan kepada kehidupan partai politik dan
Golongan Karya selama ini, antara lain Undang-Undang Pemilihan Umum dan Undang-Undang
Kepartaian. Pemahaman bahwa melaksanakan pemilihan umum tidak berarti bahwa, demokrasi
telah berjalan apabila integritas partai politik sebagai peserta Pemilu tidak dibiarkan berkembang
secara wajar. Semakin besar peranan lembaga izin bagi kehidupan partai politik (rapat,
kongres, recalling) telah memberikan peluang bagi intervensi penguasa baik secara langsung
maupun terselubung, sehingga semakin mempersempit peranan partai politik sebagai lembaga
aspirasi politik. Lembaga izin yang dikuasai oleh penguasa telah menyumbat partisipasi politik
dari massa politik yang pada gilirannya semakin mematikan partai politik sebagai lembaga
aspirasi politik. Oleh karena itu, penghapusan lembaga izin dari penguasa bagi partai politik
merupakan tuntutan demokrasi agar pertumbuhan demokrasi dapat berkembang secara bebas dan
wajar.
d. Suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa peranan ABRI dalam kehidupan sosial-politik
semakin meningkat dan menentukan. Pengalaman historis kehidupan berbangsa dan bernegara,
telah memungkinkan peranan ABRI yang begitu besar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Namun, menjadi kegelisahaan bagi rakyat terutama pada masa-masa yang akan
datang, di mana akan mucul generasi muda ABRI yang tidak mempunyai pengalaman
keterlibatan langsung dengan kegetiran kehidupan dan perjuangan rakyat, seperti yang terjadi
selama perang rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu,
pada masa-masa yang akan datang di mana ABRI mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
untuk menumbuhkan dan mengembangkan kehidupan demokrasi sehari-hari dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, melalui pengurangan peranan ABRI dalam politik
sehingga semakin terwujudnya suatu masyarakat tertib sipil sebagaimana yang dikehendaki oleh
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk menuju pada keadaan demikian ini, maka
mulai sekarang seharusnya ABRI memberikan jaminan pengamanan bagi keluasan gerak
pelaksanaan kritik-kritik sosial di dalam masyarakat.
e. Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak hanya dinyatakan atau digunakan satu kali dalam lima
tahun, tetapi harus diberlakukan sehari-hari dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, perjuangan
hak-hak politik dari massa rakyat lapisan bawah seperti buruh, buruh-tani, tani, dan nelayan
harus mendapatkan jaminan penyelenggaraan hak-hak politik mereka. Pemberangusan hak-hak
politik massa rakyat lapisan bawah pada akhirnya merupakan pelestarian dengan sengaja
penderitaan dan kemiskinan mayoritas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penataan ulang atas
pranata-pranata sosial seperti organisasi buruh-tani, petani, nelayan, dan lain-lain harus
dilaksanakan sehingga penempatan organisasi-organisasi tersebut tidak lagi semata-mata sebagai
alat penguasa politik dan ekonomi seperti yang terjadi selama ini dapat dihindari.
Dalam semangat solidaritas dan tangung jawab untuk kelestarian bangsa dan negara, maka kami
mengajak semua pihak untuk sungguh-sungguh memikirkan dan mengambil langkah-langkah
guna penyelesaian dan pembaruan tatanan politik yang berlangsung sekarang ini, agar Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat berlaku secara formal dan faktual dalam kehidupan
bangsa dan negara.

Jakarta, 24 Desember 1981
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua Presidium, Baringin Pardede, Pejabat Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar HMI H. Firdaus Arsyad, Ketua, Harry Azhar Aziz, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Islail Umri, Sekretaris; Pengurus
Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal.



Keterangan Pers Pemimpin Kelompok Cipayung tentang
PEMBATALAN DISKUSI KELOMPOK CIPAYUNG DALAM PENILAIAN

Kelompok Cipayung yang berdiri pada tanggal 22 Januari 1972, telah merencanakan serangkaian
diskusi dengan tema, Kelompok Cipayung Dalam Penilaian untuk menyambut satu dasawarsa
keberadaan Kelompok Cipayung. Diskusi yang sedianya akan dilaksanakan pada tanggal 22-23
Januari 1982, dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi generasi
muda, masyarakat, dan unsur-unsur pemerintah agar memberikan penilaian kepada eksistensi
dan peranan Kelompok Cipayung dalam masalah-masalah kepemudaan, masyarakat, bangsa, dan
negara. Penilaian tersebut diharapkan dapat membantu Kelompok Cipayung bersama-sama
dengan generasi muda lainnya untuk menentukan perspektif-perspektif baru dalam
mengembangkan kebersamaan untuk masa depan bangsa dan negara, untuk mewujudkan
Indonesia yang dicita-citakan.
Kelompok Cipayung menyadari sepenuhnya bahwa, masih terlalu banyak kekurangan dalam diri
Kelompok Cipayung yang perlu diperbaiki agar Kelompok Cipayung dapat menjadi sarana
perjuangan bangsa dan genersi muda. Di samping itu, kelemahan-kelemahan sendiri Kelompok
Cipayung dalam perjalanannya masih menghadapi berbagai tantangan dari luar yang kadang-
kadang terjadi karena kurangnya pemahaman tentang Kelompok Cipayung, dan keterlibatan
generasi muda dalam persoalan-persoalan pemuda, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun di
dalam kelemahan-kelemahan tersebut, dalam banyak hal Kelompok Cipayung telah tumbuh
menjadi forum komunikasi generasi muda yang mampu mengatasi dan melampaui berbagai
perbedaan kultural yang ada dalam realitas masyarakat Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena
motivasi beradanya dan bergeraknya Kelompok Cipayung senantiasa menempatkan kepentingan
masa depan bangsa di atas kepentingan golongan untuk menuju Indonesia yang dicita -citakan.
Tetapi keinginan luhur dari Kelompok Cipayung untuk menyebarkan ide kebersamaan melalui
rangkaian diskusi tersebut ternyata mengalami hambatan, dan pada akhirnya pembatalan karena
kesulitan mendapat perizinan dari pihak pemerintah yang berwenang atas perizinan. Untuk itu
Kelompok Cipayung ingin menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Menyampaikan permintan maaf kepada para penceramah, generasi muda, pers, masyarakat,
dan unsur pemerintah yang telah kami undang untuk menghadiri acara diskusi di atas. Kami
mengharapkan pengertian bapak/ ibu dan saudara-saudara, acara tersebut terpaksa kami gagalkan
karena adanya faktor yang di luar kemampuan kami seperti yang telah kami sampaikan di atas.
2. Menghimbau kepada pemerintah, agar menyederhanakan prosedur pemberian izin dalam
rangka memfaktualkan pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan
berkumpul dan menyatakan pendapat bagi warga negara.
Demikianlah keterangan pers ini kami sampaikan, agar semua pihak dapat mengambil hikmah
serta langkah-langkah perbaikan dalam rangka memperluas partisipasi masyarakat untuk
menggunakan hak dan kewajibannya dalam masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara.

Jakarta, 23 Januari 1982
Kelompok Cipayung

Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Presidium GMNI Lukman Hakim A, Ketua Komite Organisasi, Kristiya Kartika, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Azis, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Ismail Umri, Sekretaris
Jenderal.




Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
PEMBENTUKAN SUATU FORUM KOMUNIKASI ANTARGENERASI MUDA

Usaha untuk meningkatkan peranan generasi muda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah upaya yang luhur untuk tercapainya cita-cita kemerdekaan. Ini berarti harus ada usaha-
usaha yang aktif dari generasi muda sendiri untuk selalu membangun kebersamaan melalui
proses komunikasi yang demokratis, dewasa dan prinsip untuk saling menghargai satu sama lain.
Keinginan luhur ini mendorong Kelompok Cipayung untuk selalu membuka diri untuk berdialog
dengan semua pihak, baik dengan kalangan generasi muda sendiri maupun pemerintah, untuk
merumuskan kemungkinan-kemungkinan dibentuknya suatu forum komunikasi antargenerasi
muda yang konstruktif dan bertanggung jawab.
Sesuai dengan sumbangan pikiran Kelompok Cipayung kepada Menteri Muda Urusan Pemuda
mengenai hal ini yang dikeluarkan pada tanggal 31 Oktober 1981, dengan ini Kelompok
Cipayung menyatakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1. Suatu forum komunikasi antaragenerasi muda yang demokratis dan didirikan di atas prinsip
untuk saling menghargai adalah suatu bentuk kongkrit untuk membangun kebersamaan yang luas
dalam kalangan generasi muda. Melalui suasana yang komunikatif dalam forum tersebut,
generasi muda akan dapat menjalankan dialog yang efektif untuk menjalankan ide-idenya.
2. Forum komunikasi antargenerasi muda tersebut sekaligus akan menangkap dan mengangkat
berbagai persoalan yang dihadapi oleh generasi muda itu sendiri secara bersama-sama.
3. Sesuai dengan prinsip untuk saling menghargai satu sama lain, forum komunikasi tersebut
haruslah siap untuk menampung keanekaragaman pikiran dan gagasan; karena keanekaragaman
pikiran dan gagasan tersebut pada dasarnya adalah pencerminan totalitas sifat dan peri laku
kepemudaan.
4. Supaya tercermin nafas demokrasi di dalam forum tersebut, hal-hal yang menyangkut
mekanisme dan cara kerja forum komunikasi tersebut diserahkan pada forum itu sendiri.
5. Sesuai dengan kesepakatan yang telah dicapai antara Kelompok Cipayung dengan Menteri
Muda Urusan Pemuda dalam pertemuan 30 Oktober 1981, forum komunikasi tersebut secara
struktural haruslah berada di luar organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Hal ini
sejalan pula dengan jiwa pernyataan Ketua Umum DPP KNPI, yang dimuat surat kabar
Kompas baru-baru ini yang mempersilahkan Kelompok Cipayung untuk menempuh jalannya
sendiri dan tidak perlu terikat dengan KNPI.
6. Sesuai dengan janji Menteri Muda Urusan Pemuda dalam pertemuannya dengan Kelompok
Cipayung tanggal 31 Oktober 1981, Kelompok Cipayung tetap menunggu prakarsa Menteri
Muda Urusan Pemuda untuk membuka dialog yang akan membicarakan fungsi, struktur, dan
kemungkinan pembentukan forum komunikasi yang dimaksud di atas.

Jakarta, 27 Pebruari 1982
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Liesje A. Sumampouw, Pejabat
Sementara Sekretaris Umum, Presidium GMNI Soedaryanto, Ketua Komite Politik, Wimmy Ch.
Riky, Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar HMIKurniawan Zulkarnaen, Ketua, Ahmad Rifa'i
Hasan, Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi
Mengko, Sekretaris Jenderal, Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A.
Suherman Hs., Wakil Sekretaris Jenderal.




Pesan Kelompok Cipayung
KEPADA RAKYAT INDONESIA DALAM MENGAKHIRI MASA KAMPANYE
PEMILU '82

Merdeka!
A. Semangat emosional dan suasana panas yang kadang-kadang diikuti oleh berbagai tindakan
kekerasan yang mengakibatkan konflik berdarah, sebenarnya merupakan akibat dari bertemunya
diskriminasi, ketidakadilan dan intimidasi politik yang inheren di dalam sistem dan struktur
politik dewasa ini, di satu pihak dan ungkapan kebebasan rakyat sebagai refleksi dari kehidupan
akumulatif yang menghendaki berlangsungnya kehidupan demokratis dalam praktek berbangsa
dan bernegara.
Kondisi seperti tersebut juga didorong oleh tema-tema yang disampaikan oleh pemimpin-
pemimpin politik selama masa kampanye tersebut yang tidak menunjang usaha pendidikan
politik dan pengembangan solidaritas bangsa, telah menanamkan sentimen-sentimen sosial yang
pada akhirnya dapat menghancurkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Tema-tema
kampanye tersebut telah merugikan masa depan kehidupan bangsa dan negara, juga
mengungkapkan bahwa bangsa semakin kekurangan pemimpin-pemimpin yang mempunyai
pandangan dan sikap kenegarawanan. Perasaan adanya ketidakadilan dari generasi muda, akibat
diskriminasi di kalangan generasi muda melalui strategi pembinaan yang monolitik telah ikut
membantu tumbuhnya suasana kampanye yang tidak diharapkan itu. Secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa, selama masa kampanye tidak terjadi pendidikan politik yang nampak adalah
kepentingan-kepentingan praktis untuk melanggengkan kekuasaan. Sadar atau tidak massa rakyat
terperangkap dalam arus mobilisasi umum yang mendominasi kemeriahan-kemeriahan
kampanye, sehingga pesta demokrasi yang diharapkan dari pelaksanaan Pemilu tidak terwujud.
Hal ini juga memberikan kesan seolah-olah pernyataan hak-hak politik secara bebas dari rakyat
dan generasi muda hanya bersifat sesaat dan situasional.
B. Pengalaman selama kampanye tersebut, hendaknya mengajak seluruh lapisan dari bangsa
untuk merenung ulang pengalaman pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini.
Pembangunan ekonomi yang merupakan prioritas telah berlangsung tanpa disertai pembaruan-
pembaruan struktural yang memadai, termasuk pengaturan penyaluran kehendak dan kedaulatan
rakyat. Pemeliharaan struktur yang tidak adil tersebut, dalam banyak hal telah menciptakan
diskriminasi politik dan sosial ekonomi, sekaligus telah memperluas perasaan tidak adil yang
semakin dalam dan meluas dalam kehidupan rakyat, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok masyarakat. Kehadiran generasi muda yang banyak terlibat dalam aksi kekerasan
politik yang terjadi selama masa kampanye tersebut, juga telah menunjukkan kegagalan yang
paling besar dari strategi pembinaan generasi muda sekarang ini yang bersifat monolitik
diskriminatif. Pengalaman selama ini dan peristiwa selama kampanye tersebut seyogyanya
menyadarkan rakyat, generasi muda, dan pemimpin bangsa yang cinta tanah air untuk meninjau
kembali strategi pembinaan generasi muda, sebab jika strategi tersebut diteruskan pada akhirnya
generasi sekarang hanya akan mewariskan benih-benih perpecahan yang mengancam kehidupan
bangsa pada masa yang akan datang.
C. Belajar dari pengalaman selama lebih dari satu dasawarsa khususnya suasana dan kejadian
selama kampanye Pemilu 1982, maka dengan ini Kelompok Cipayung menyampaikan pesan-
pesan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan kembali hal-hal sebagai berikut:
a. Bahwa pembaruan struktural dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara
termasuk struktur politik dan ekonomi, merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa dan negara
untuk menjawab tantangan masa depan bersama, menuju Indonesia yang dicita-citakan. Jika
tidak terjadi pembaruan struktural, maka ketidakadilan yang telah meresahkan rakyat serta
suasana dan kejadian selama masa kampanye berlangsung, akan terus-menerus berulang dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang. Kemandekan struktural
akhirnya menjadikan setiap pemilu tidak lagi berfungsi sebagai sarana demokrasi, tetapi lebih
banyak berfungsi sebagai sarana pelestarian ketidakadilan dan penerusan diskriminasi politik dan
ekonomi.
b. Bahwa bangsa dan negara pada saat ini telah sampai kepada suatu situasi yang kritis, di mana
semakin kurangnya pemimpin-pemimpin bangsa yang mempunyai tindakan dan sikap sebagai
seorang negarawan. Kepemimpinan bangsa sekarang ini lebih banyak didominasi oleh
persekongkolan kelompok-kelompok yang mengutamakan kepentingan praktis dan sesaat demi
keuntungan pribadi serta kelompoknya, dan semakin asing dengan pikiran-pikiran yang
berorientasi kepada cita-cita rakyat yang mendambakan tatanan masyarakat yang adil dan
demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD'1945.
c. Kami memahami keresahan generasi muda yang disebabkan oleh struktur politik yang
memungkinkan pemimpin politik memperalat sifat alamiah generasi muda yang emosional.
Namun, demikian kami mengajak sesama generasi muda untuk senantiasa bersikap kritis
terhadap setiap perkembangan yang terjadi, sehingga tidak mudah diperalat sebagai ujung
tombak perpecahan tetapi lebih mengorientasikan pemikiran dan tindakan ke arah
pengembangan kebersamaan di antara generasi muda, untuk membebaskan rakyat dari berbagai
belenggu ketidakadilan dan penindasan. Keterlibatan generasi muda merupakan kebutuhan yang
mutlak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak hanya terbatas mengatasnamakan masa
depannya, tetapi peranan tersebut juga merupakan tuntutan hari ini yang tidak dapat ditawar lagi.
Konsep-konsep yang hanya mengkaitkan generasi muda dengan masa depannya kadang-kadang
disalahgunakan sebagai obat bius untuk memudahkan menggiring generasi muda ke dalam
rencana monolitik yang pada akhirnya mengeliminir peranan generasi muda dalam kehidupan
politik sekarang ini. Menyadari hal ini, maka merupakan hak dan kewajiban bagi generasi muda
untuk berjuang bersama-sama dengan rakyat guna mengadakan pembaharuan-pembaharuan
struktural, sehingga rakyat tidak terus-menerus menjadi korban janji-janji politik yang diucapkan
setiap menjelang pemilihan umum.
d. Dalam berbagai tingkat keresahan dan suasana ketidakadilan yang dihadapi sekarang ini, kami
mengharapkan agar rakyat dan generasi muda tidak bersikap apatis, bahkan perlu meningkatkan
kreativitasnya untuk mewujudkan usaha-usaha pembaharuan dan tetap memelihara persatuan
serta kesatuan bangsa dalam keadaan apapun. Persatuan dan kesatuan bangsa itu akan dapat
ditingkatkan melalui perjuangan menghilangkan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidakadilan
yang dihasilkan oleh penindasan struktural yang telah menghalangi usaha perwujudan cita-cita
bangsa.
D. Pesan yang kami sampaikan ini merupakan ungkapan kesadaran Kelompok Cipayung untuk
bersama-sama dengan rakyat dan generasi muda Indonesia yang patriotik guna meneruskan
perjuangan merealisasikan cita-cita Proklamasi 1945. Kami menyadari bahwa dewasa ini sedang
terjadi kebangkitan kedasaran rakyat untuk memulai sejarah baru dalam rangka mencapai hari
depan yang lebih cerah. Pergerakan-pergerakan yang mengemban ke dalam spiritual dan
solidaritas kemanusiaan rakyat banyak akan merupakan titik pembanding utama dalam
memahami dan membuat sejarah.

Jakarta, 26 April 1982
Kelompok Cipayung
Pengurus Pusat GMKI Frans Allorerung, Ketua Umum, Togi R. Simatupang, Sekretaris Umum;
Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua Presidium, Kristya Kartika, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar HMI Imam Suhardjo H.M., Ketua, Harry Azhar Azis, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, Ismail Umri, Sekretaris.




Pendapat Kelompok Cipayung Mengenai
PENGEMBANGAN GENERASI MUDA PADA DASAWARSA MENDATANG

Kelompok Cipayung yang terdiri dari HMI, GMNI, GMKI, PMII, dan PMKRI setelah mengikuti
Seminar Rencana Strategis Pengembangan Generasi Muda dan mendengar rumusan-rumusan
yang dihasilkan mulai dari tanggal 20 sampai dengan 23 Desember 1982, Kelompok Cipayung
berpendapat bahwa pengembangan generasi muda dalam dasawarsa mendatang sangat perlu
memperhatikan :
1. Kesinambungan peran dan fungsi generasi muda agar dilihat secara obyektif, untuk itu perlu
adanya kondisi yang memungkinkan untuk menjamin dan mendukung aktualisasi diri dari
generasi generasi muda sendiri.
2. Penglihatan yang obyektif terhadap generasi muda dimaksudkan adalah untuk tidak
melepaskan persoalan-persoalan generasi muda dalam hubungannya dengan kehidupan
kebangsaan yang lebih luas.
3. Persoalan-persoalan tersebut di antaranya adalah adanya suasana ketidakpastian di kalangan
generasi muda akibat kesenjangan antara harapan-harapan atas peranan dan keterlibatannya
dengan kenyataan-kenyataan yang berbentuk usaha-usaha pengendalian cenderung monolitik
yang ini berarti mengingkari hakikat kemandirian dan kreativitas bagi generasi muda itu sendiri.
4. Suasana ketidakpastian tersebut di atas akan semakin luas jika dibaringi usaha-usaha yang
selalu mempertentangkan orientasi politik di satu pihak dengan orientasi pembangunan di pihak
lain. Pada dasarnya bahwa politik itu sebagai pemandu dan pemacu jalannya pembangunan.
5. Dalam ikhtiar untuk keluar dari ketidakpastian maka perlu adanya semangat kepeloporan.
Semangat kepeloporan tersebut, hanya dimungkinkan apabila generasi muda merasa sebagai
subyek dan penentu masa depan bangsa.
6. Sebagai subyek pembangunan maka keterlibatan generasi muda, selain dapat merasakan dan
mengalami proses pembangunan juga dimungkinkan munculnya ide-ide dan gagasan-gagasan
baru yang dimaksudkan untuk memperbaiki jalannya pembangunan itu sendiri.
7. Sebagai penentu masa depan bangsa, maka generasi muda harus memiliki harga diri,
kepribadian yang kuat, sikap moral, dan tidak selalu menggantungkan diri pada kemapanan.
Dengan memperhatikan faktor-faktor dan keadaan seperti tersebut diatas Kelompok Cipayung
berkeyakinan bahwa masa depan generasi muda dalam dasawarsa mendatang hanya dapat
dicapai bila adanya sikap kepercayaan dari semua pihak.

Jakarta, 23 Desember 1982
Kelompok Cipayung
Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum PB HMI; Daryatmo M., Ketua Presidium GMNI; Johan
Sanggelorang, Ketua Umum PP GMKI; Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum PB PMII; Marcus
Mali, Ketua Presidium PP PMKRI.




Pokok-Pokok Pikiran Akhir Tahun 1982 Kelompok Cipayung tentang
PEMBANGUNAN MANUSIA SEUTUHNYA

Kami, Kelompok Cipayung yang terdiri dari Pengurus Besar HMI, Pengurus Pusat GMKI,
Pengurus Besar PMII, Pengurus Pusat PMKRI, dan Presidium GMNI merasa terpanggil untuk
senantiasa melakukan usaha-usaha ke arah perwujudan cita-cita kebangsaan yaitu, tegaknya
keadilan, kemerdekaan dan kesejahteraan. Karena itu, proses pembangunan yang dilaksanakan
harus selalu mencerminkan pembuktian-pembuktian adanya usaha penegak keadilan,
kemerdekaan, dan kesejahteraan. Kelompok Cipayung berkeyakinan apabila pembangunan yang
berjalan dewasa ini tidak dalam usaha-usaha tersebut di atas maka pembangunan telah
mengingkari hakikat keberadaan dan tujuannya yaitu, hakikat untuk membangun manusia
seutuhnya.
Pada dasarnya membangun manusia secara utuh tidak lain adalah ikhtiar melakukan
pembangunan nilai-nilai kemanusiaan seperti harga diri, kemerdekaan, solidaritas, keterbukaan,
kesederhanaan, kejujuran, dan penghargaan terhadap sesama manusia yang berbeda pendapat.
Dengan demikian, pembangunan fisik ekonomis yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup
rakyat, hendaklah diletakkan dalam kerangka pengembangan nilai-nilai lain di atas. Sehingga
ikhtiar-ikhtiar dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup
ekonomis tersebut tidak akan mengorbankan harkat kemanusiaan. Sehingga manusia yang lahir
dari proses semacam ini adalah manusia yang mewujudkan dalam dirinya nilai-nilai
kemanusiaan dan selalu menghargai manusia di luar dirinya bukan atas dasar penilaian yang
bersifat fisik materi seperti kekayaan dan kekuasaan, tetapi atas dasar yang lebih maknawi
sifatnya, yaitu kemampuan seseorang itu untuk menyandang nilai-nilai di atas.
Berpedoman atas pikiran-pikiran tersebut, maka Kelompok Cipayung berpendapat:
A. Bahwa adanya kecenderungan ideologisasi kekuasaan, di mana kekuasaan tidak bersedia
membuka diri terhadap kritik dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat (rakyat) pada
dasarnya merupakan proses dehumanisasi kekuasaan. Ini berarti, proses ideologisasi kekuasaan
tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, tetapi pada gilirannya dapat menafikan setiap usaha yang menuju ke arah terwujudnya
manusia Indonesia seutuhnya. Untuk itu maka hubungan-hubungan kekuasaan yang tercermin
dalam hubungan-hubungan politik harus senantiasa menuju pada terwujudnya tata kuasa yang
lebih manusiawi, karena itu setiap institusi politik harus ditegakkan pada landasan-landasan
demokratis aspiratif dan harus ditegakkan pada dasar partisipasi politik yang emansipatif, hal ini
ditempuh dalam rangka mengurangi kecenderungan institusi-institusi politik yang mapan, hanya
menjadi hak istimewa, ataupun pencerminan dari kemapanan kedaulatan institusi-institusi politik
hanya dipegang oleh seorang atau sekelompok orang. Ini berarti, hubungan-hubungan politik
harus dapat membuka selebar-lebarnya bagi adanya usaha-usaha perbaikan, sehingga
membangun upaya dan sistem kontrol adalah yang sejajar/ inheren dengan pelaksanaan
kekuasaan. Karena itu proses pelaksanaan kekuasaan juga berarti melakukan ikhtiar
menghidupkan rakyat yang kritis, korektif terhadap pelaksanaan kekuasaan tersebut, dengan
jalan kembali memfungsikan institusi-institusi kenegaraan secara proporsional dan
konstitusional.
B. Mengenai pembangunan di bidang ekonomi nampak lebih cenderung untuk meletakkan
pembengkakan di sektor industri padat modal dan konsentrasi di sekitar kota sehingga orientasi
sumber daya manusia hanya dilihat sebagai perangkat yang pasif di dalam proses pembangunan
tersebut. Karena itu penitikberatan pengembangan bidang industri padat karya akan mampu
menghindarkan diri untuk melihat manusia hanya sebagai alat produksi. Dengan demikian,
proses industrialisasi dapat memelihara pertumbuhan yang tidak terlepas dari pemerataan,dan
sekaligus berorientasi pada sumber daya manusia. Orientasi pada sumber daya manusia yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa, manusia dapat mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan
seperti harga diri, kemerdekaan, keterbukaan, kejujuran yang pada dasarnya aspek-aspek inilah
yang dapat menopang terhadap kukuhnya makna produktivitas dalam kerangka pembangunan
ekonomi. Sebab jika pembangunan ekonomi tidak didasarkan pada aspek-aspek kemanusiaan,
maka pada dasarnya pembangunan ekonomi itu sendiri terlepas dari pembangunan manusia
seutuhnya. Dalam meninjau pengembangan ekonomi ini, baik dalam sektor negara dan sektor
swasta diperlukan jiwa koperatif sehingga tidak menjadi monopoli sekelompok orang-orang
yang berjiwa eksploitatif, sehingga penanganan di sektor koperasi untuk dapat mengembangkan
jiwa kooperatif hendaknya harus dapat ditumbuhkan dari bawah dengan senantiasa memegang
semangat partisipatif berswadaya, dihindarkan dari aspek-aspek eksploitatif, dan kapitalistik
tetap diberikan kesempatan-kesempatan yang leluasa bagi proses pengembangan dirinya. Dengan
menempatkan koperasi seperti ini tidak saja dapat menjadikan koperasi sebagai soko guru
ekonomi, tetapi lebih jauh merupakan perwujudan dari identitas pembangunan ekonomi yang
lebih manusiawi. Menyangkut masalah dualisme pola ekonomi antara ekonomi kota dengan
ekonomi desa yang telah mengakibatkan semakin melebarkan jurang antara kaum kaya dan
kaum miskin, maka untuk itu perlu segera ditempuh kebijakan-kebijakan yang dapat memelihara
keseimbangan diantaranya: Rintisan untuk pembangunan yang dimulai dari desa dengan
kemudahan pemilihan alat-alat produksi sektor pertanian dan sektor maritim, sehingga mampu
bertahan terhadap pola konsumsi yang ditawarkan oleh kota dan tidak menghancurkan ekonomi
desa, serta tidak membuat terasingnya masyarakat desa dari desanya. Untuk itu perlu kembali
ditempuh distribusi yang merata dengan jalan menggalakkan kebijakan tentang Iandreform dan
perhatian terhadap industri tradisional atas dasar kuantitas dan kualitas produksinya.
C. Mengenai masalah pola-pola budaya bangsa nampaknya lebih mencerminkan proses budaya
yang cenderung memihak pada pola nilai manusia yang sangat digantungkan pada nilai-nilai
kekayaan kebendaan dan kekuasaan. Dengan demikian, pola budaya yang ditunjukkan lebih
memiliki karakteristiknya yang sangat vertikal, tertutup, berpola sentripetal, takut pada kritik dan
pendapat yang berbeda. Karakteristik seperti itu pada gilirannya dapat menumbuhkan proses
sakralisasi terhadap kekuasaan yang dapat mengakibatkan lebih terasingnya rakyat dari rasa
memiliki dan rasa bertanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu
pola budaya seperti ini tidak dapat menumbuhkan partisipasi terbuka yang dapat mendukung
aktualisasi potensi diri dalam menuju kwalitas orientasi sumber daya manusia. Untuk ini perlu
dikembangkan pola-pola budaya yang mendukung orientasi tersebut seperti pola budaya yang
bergaris horisontal, terbuka lebih berpola sentrifugal, dapat menerima kritik dan akomodatif
terhadap kenyataan-kenyataan yang berbeda, sehingga kecenderungan yang terus-menerus
tentang adanya gejala-gejala seperti eufemisme (penghalusan bahasa) sebagai usaha mengingkari
diri dari kenyataan-kenyataan sebenarnya yang memang keliru dapat dihindari atau ditiadakan.
D. Mengenai usaha pendidikan yang merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
hendaknya ditempatkan dalam kerangka memberikan dimensi-dimensi kualitas terhadap
pengembangan sumber daya manusia yang ini berarti, mengembangkan nilai-nilai dari pola-pola
budaya yang memihak pada aspek-aspek kemanusiaan secara utuh seperti, pengembangan yang
seimbang antara kemampuan-kemampuan fisik, spiritual, keterampilan, kecerdasan, mental dan
aspek moral. Dengan demikian output sistem pendidikan dapat melahirkan kualitas-kualitas
insan yang memiliki ciri; merdeka, cerdas, dan susila. Dengan begitu dapat dihindari out-put
pendidikan yang lebih mengarah pada teknokratisasi, sistem pendidikan yang tertutup terhadap
aspek keilmuan yang luas, dan masyarakat dapat ditiadakan, sehingga sistem pendidikan tidak
diletakkan sebagai penyedia tenaga-tenaga alat produksi tetapi mampu melahirkan gagasan-
gagasan atau ide-ide baru yang berusaha memperbaiki jalannya pembangunan. Industrialisasi
pendidikan akan melahirkan konsep kemanusiaan yang beku dan tidak merdeka.
E. Sebagai upaya ke arah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, maka perlu adanya ikhtiar-ikhtiar
yang dapat memperjelas hubungan-hubungan sosial pada setiap strata sosial yang ada, terutama
strata sosial paling bawah dan lemah. Tegaknya nilai-nilai kemanusian seperti keadilan,
kemerdekaan, dan kesejahteraan tiada lain harus kembali ditegakkan wibawa hukum.
Dimaksudkan dengan menegakkan wibawa hukum ialah, pertama agar hukum dapat
menghindari dirinya dari hanya sekedar menjadi alat kekuasaan. Kedua, dapat melindungi setiap
kecenderungan-kecenderungan yang anarkis bagi tegaknya kaidah-kaidah sosial dan terjaminnya
hak-hak dan kewajiban-kewajiban rakyat. Dengan demikian, menegakkan wibawa hukum bukan
sekedar membina sikap mental penegak hukum, menempatkan institusi-institusi penegak hukum
secara proporsional tetapi sekaligus dapat menghentikan setiap penyimpangan-penyimpangan
hukum.
F. Berkenaan dengan ideologi negara, maka sebuah ideologi sedikitnya memiliki tiga
persyaratan:
a. Ideologi harus memiliki dimensi realitas di mana sebuah ideologi harus didukung oleh realita
masyarakat paling tidak realita masyarakat tatkala lahirnya ideologi.
b. Suatu ideologi harus memiliki dimensi akomodatif yaitu, harus mampu mengakomodasi
isyarat-isyarat zamannya dan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakatnya dengan tetap
berpegang teguh pada esensi dan tujuan ideologi tersebut.
c. Suatu ideologi harus memiliki dimensi idealisme, karena setiap ideologi harus dapat
menggambarkan dunia cita yang diharapkan oleh masyarakat yang mendukung ideologi tersebut.
Karena itu, Pancasila sebagai sebuah ideologi harus memiliki ketiga persyaratan tersebut di atas,
dan dengan persyaratan-persyaratan tersebut dapat diharapkan Pancasila tidak memiliki
kecenderungan-kecenderungan yang monolitik sehingga tidak menjadi totaliter, karena dengan
mempertegas persyaratan-persyaratan tersebut, Pancasila akan dapat mengontrol dirinya dari
setiap kecenderungan yang bertentangan dengan semangat yang terdapat dalam Pancasila itu
sendiri.
Demikianlah, pokok-pokok pikiran akhir tahun 1982 ini kami susun dalam kerangka partisipasi
kritis terhadap pembangunan, agar kiranya proses jalannya pembangunan yang sedang kita
jalankan ini dapat mendekatkan kepada hakikat tujuannya yaitu, membangun manusia seutuhnya.
Karena dengan hakikat ini pula kita dapat terhindar dari proses pemiskinan insani, tidak hanya
miskin dalam ukuran-ukuran fisik material tetapi miskin dari memperoleh kesempatan yang
lainnya, sehingga dapat terhindar dari tersumbatnya pengembangan sumber daya manusia.
Pokok-pokok pikiran ini juga diharapkan dapat mempererat rasa solidaritas, persatuan, dan
kesatuan bangsa terutama bagi kalangan generasi muda, semoga!

Jakarta, 28 Desember 1982.
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Azis, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubarusman, Ketua Umum, A. Suherman Hs., Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Yohan Sanggelorang, Ketua Umum, Sunggul Siahaan,
Sekretaris Umum; Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo. M., Ketua, Kristiya Kartika, Sekretaris
Jenderal.



Resume Studi Cipayung VI tentang
PEMBANGUNAN SWADAYA MASYARAKAT
22 JANUARI 1983

Menyadari pentingnya proses pembangunan yang memiliki hakikat tujuannya membangun
manusia seutuhnya, maka Kelompok Cipayung yang terdiri dari Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam (PB HMI), Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI),
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Pengurus Pusat
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PP PMKRI), Presidium Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (Presidium GMNI), dalam memperingati 11 (sebelas) tahun
kelahirannya telah melakukan studi mengenai Pembangunan Swadaya Masyarakat.
Sebagaimana disadari bersama bahwa pembangunan baik model, strategi, metode dan hasil-
hasilnya telah banyak sekali ditemukan macam-macam ragamnya, sehingga sering ditemukan
bahwa model, strategi, metode dan hasil-hasil pembangunan yang diterapkan pada suatu
masyarakat, terutama masyarakat di negara-negara berkembang bukan saja dapat ditemukan
berbagai ketidak sesuaian bahkan sering pula berlawanan dengan kenyataan-kenyataan yang ada
serta kehendak cita-cita masyarakat itu sendiri. Ini berarti bahwa dalam mempertahankan
momentum pembangunan dibutuhkan syarat yang paling mendasar yaitu, pengujian-pengujian
terhadap jalannya pembangunan mengenai sejauh mana proses pembangunan tersebut telah dapat
mendekatkan dirinya terhadap tuntutan tuntutan masyarakat, terutama tuntutan-tuntutan yang
bersifat
substansial (hakiki).
Dengan demikian hakikat pembangunan, yaitu membangun manusia seutuhnya seperti di
Indonesia misalnya, hendaknya didekati dengan model, strategi, dan, metode yang lebih
dimungkinkan dapat mendekati tujuan di atas ialah yang bisa mengembangkan potensi manusia
(sumber daya manusia) yaitu, pembangunan swadaya masyarakat. Karena dalam pembangunan
seperti ini pembangunan swadaya, manusia bukan saja dapat membangun dirinya sendiri sebagai
manusia pembangun, tetapi sekaligus dalam waktu yang sama dapat mengaktualisasikan potensi
dirinya secara optimal.
Hal ini sangat mutlak dilakukan tatkala kenyataan cenderung menyempitkan gerak dinamika
masyarakat untuk melakukan proses aktualisasi potensi diri. Ini terbukti oleh adanya indikasi
gejala kemiskinan struktural, bertambah besarnya jumlah tunakarya, serta kurang meratanya
sumber produksi bagi lapisan masyarakat yang paling bawah. Gejala ini berlanjut ke arah tidak
meratanya pengetahuan dan kemakmuran, yang pada gilirannya berakibat jauh pada semua segi
kehidupan baik politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan sosial-budaya.
Berlandaskan pada pikiran di atas, maka Kelompok Cipayung dalam studinya menyoroti
beberapa segi sebagi berikut:
Bidang Politik
Agar pembangunan swadaya dapat terwujud, maka hendaknya ditegakkan dalam sistem politik
yang memiliki orientasi terhadap swadaya masyarakat. Sistem politik yang memiliki orientasi
seperti ini yaitu, yang memiliki sifat selalu mengutamakan manusia. Ini berarti, prasyarat bagi
sistem ini selalu mengutamakan perwujudan pemerataan hak-hak politik dan pemerataan
kesempatan berpolitik. Bentuk pemerataan ini dapat diwujudkan apabila dibaringi dengan
peningkatan kemampuan masyarakat dalam berpolitik yang ditopang oleh proses yang semakin
merata dalam pendidikan dan penghasilan. Sistem politik yang berorientasi swadaya ini juga
memiliki sifat yang terbuka bagi tumbuhnya budaya kompetisi yang didasarkan atas
keseimbangan dan persamaan. Untuk ini, perlu adanya pengaturan yang adil, terbuka, jujur dan
bersih. Dengan demikian, suasana kompetisi yang tercipta bukanlah pertarungan tanpa batas,
atau konflik tanpa konsensus tetapi harus ditemukan sebagai ikhtiar mengisi kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam kerangka usaha memperoleh yang terbaik yang sesuai dengan
cita-cita kemerdekaan, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hal ini dapat ditempuh dengan menumbuhkan suasana yang dialogis baik antara individu-
individu pemegang kekuasaan juga dengan individu-individu dan kelompok-kelompok yang
lebih luas yang ada di dalam masyarakat, sehingga suasana kompetisi bukan saja tumbuh di
tingkat kelembagaan, tetapi juga tumbuh di dalam masyarakat karena dengan ini pula masyarakat
luas dapat berperan serta dalam proses politik. Dengan demikian dapat dihindari proses politik
yang terpusat hanya di kalangan elit yang terbatas dan sekaligus kehidupan politik dapat
membuka peluang bagi masyarakat untuk merealisasikan hak-hak politiknya, sehingga proses
penyertaan rakyat dalam pengambilan keputusan politik lebih optimal adanya. Ini berarti juga
bangsa dan negara dapat terhindar dari kehidupan politik yang elitis dan formalitis.
Selain hal-hal tersebut di atas, maka dalam mewujudkan sistem politik yang berorientasi
swadaya ini juga harus ditopang oleh proses sosialisasi politik yang tumbuh dan berkembang
dari bawah.
Bidang Ekonomi
Pada dasarnya pembangunan ekonomi suatu bangsa
bertujuan untuk meningkatkan tarap hidup rakyat banyak. Ini
berarti bahwa, sistem ekonomi yang harus diterapkan adalah yang memiliki orientasi rakyat
banyak. Dengan orientasi seperti ini, maka pembangunan ekonomi merupakan usaha untuk
memanusiakan manusia dalam arti mengangkat harkat kemanusiaan, sebab adanya kemiskinan
merupakan musuh kemanusiaan berarti pula musuh pembangunan.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, maka sistem ekonomi yang harus menjadi pilihan adalah
sistem ekonomi swadaya. Karena memang kenyataan menunjukkan semakin banyaknya jumlah
rakyat yang menikmati sebagian kecil dari penghasilan negara, padahal seharusnya rakyat
banyaklah yang harus menikmati sebagian besar penghasilan negara. Kenyataan ini pada
gilirannya bukan saja mengakibatkan rakyat semakin jauh dari pembangunan bahkan dengan
hanya dinikmati sekelompok kecil dari sebagian besar penghasilan negara berakibat, semakin
menjadikan rakyat banyak tergantung secara terus-menerus dalam memenuhi hidup dan
kehidupannya.
Hal ini dapat dilihat dari semakin terbatasnya kemampuan masyarakat untuk berkembang sendiri
karena akumulasi modal yang terpusat, sedangkan tujuan pemberian modal itu sendiri hanya
untuk memperoleh dan menyedot keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Untuk ini, maka perlu
ditempuh usaha-usaha yang menuju ke arah realokasi sumber-sumber produksi usaha-usaha
untuk menumbuhkan sektor-sektor ekonomi rakyat yang dibangun oleh rakyat secara swadaya,
karena itu hendaknya penyediaan alat-alat produksi tetap berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
dasar rakyat. Agar dapat berkembang secara baik, maka ekonomi yang berswadaya hendaknya
dipegang oleh badan-badan usaha ekonomi rakyat yang tumbuh dan dikembangkan secara
swadaya pula, dengan terlebih dulu melakukan redistribusi pendapatan.
Untuk itu, perlu pula ditempuh bahwa proses pembentukan modal terutama dilakukan dengan
mendinamisasi sumber daya
manusia, serta mempergunakan teknologi yang selektif dan berprioritas pada pemilikan swadaya.
Dengan demikian, maka gejala pasar bebas dan etatisme, juga kecenderungan-kecenderungan
konsumerisme dan hedonisme dapat dihindari.
Bidang Hukum
Pembangunan hukum pada dasarnya menuntut peran lembaga yudikatif secara lebih fungsional.
Hal ini dapat ditempuh dengan lembaga-lembaga pengadilan yang dapat berdaya cukup luas dan
merata, serta secara efektif senantiasa melindungi kepentingan-kepentingan substantif rakyat
berupa hak-hak asasinya.
Tegaknya hak-hak asasi tersebut, mutlak didukung oleh sistem hukum yang memberi pengaturan
terhadap perwujudan tatanan masyarakat yang berswadaya sehingga hukum diharapkan dapat
mengayomi harkat dan martabat kemanusiaan di mana rakyat yang lemah dan miskin dapat
perlakuan hukum yang wajar dalam batas kemanusiaan. Ini berarti, kenyataan adanya
ketidakpastian hukum yang diakibatkan oleh praktik-praktik hukum yang tidak melindungi
kepentingan masyarakat bawah dapat dihindari. Itu semua secara simultan dengan dilakukan
usaha-usaha penyadaran dengan dilakukan usaha-usaha penyadaran hukum yang melibatkan
lebih banyak partisipasi masyarakat dengan pendekatan di luar hukum (ekstra legal) yang
bersifat lintas sektoral bersama pranata sosial lainnya. Untuk itu, harus diterapkan sistem
pembangunan hukum nasional yang terpadu dengan mengutamakan proses penyelesaian hukum
pada lembaga-lembaga hukum yang terdapat pada lapisan masyarakat paling bawah, seperti
lembaga adat dan kebiasaan penyelesaian hukum pada setiap masyarakat desa.
Dengan demikian pelayanan hukum tidak saja didekati secara legal formal, tetapi dapat
diselesaikan dengan aksi kultural dan
untuk lebih menjaminnya secara efektif pelindungan kepentingan substantif masyarakat dalam
mengaktualisasikan dirinya secara seutuhnya. Untuk ini peran bantuan hukum harus memiliki
sifatnya yang struktural agar produk, pelaksanaan, peri laku, dan pelaku hukum tetap memihak
pada pembangunan masyarkat yang berswadaya yang ini berarti pula peran hukum merupakan
working ideologi dari pembangunan swadaya.
Bidang Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya merupakan usaha untuk membangun pribadi manusia, hingga kaya
akan nilai-nilai kemanusiaan, karena itu pendidikan merupakan proses sosialisasi nilai-nilai
kemanusiaan menuju terwujudnya manusia seutuhnya. Ini berarti, selain pendidikan mampu
meningkatkan kecerdasan rakyat, juga dapat mengisi tuntutan rohaniahnya. Dengan demikian,
pendidikan merupakan usaha memerdekakan manusia secara subtansial sehingga memungkinkan
dapat mengaktualisasikan potensi diri sebagai manifestasi dari sumber manusia.
Usaha menempuh pendidikan yang merata, murah, dan dapat menjangkau semua orang dalam
setiap pelapisan masyarakat dengan tetap meningkatkan kesetarafan mutunya serta tidak lagi
menggambarkan tahapan formalitas yang cenderung elitis. Untuk ini, perlu dilaksanakan upaya
pendidikan yang dapat memihak pada kemampuan rakyat banyak dalam pengertian bahwa
pendidikan memberikan pengetahuan dasar yang dapat menopang kebutuhan hidup secara
mandiri.
Untuk itu, pelaksanaan pendidikan terutama bagi pendidikan dasar membutuhkan pola
keterpaduan antara guru, murid, pemuka masyarakat, bahkan dalam pola ini murid harus
menempati sentrum dari proses pendidikan. Di samping itu metode yang dipakai harus
sepenuhnya mampu menopang kreativitas diri, dengan demikian maka metoda yang dipakai
adalah pemecahan masalah dan penyadaran sehingga pendidikan formal dapat menjadi sekolah
yang aktif dalam pengertian sekolah untuk dapat menyelesaikan problem-problem kehidupan
masyarakat. Selain itu, perlu pula didukung oleh pola pengembangan model-model keterampilan
yang hendaknya sesuai dengan tantangan lingkungannya. Artinya, dapat menjawab tantangan
lingkungan wilayah masyarakatnya dengan keterampilan yang semakin meningkat, sehingga
sifat pendidikan ini lebih menunjukkan sifatnya yang bervariasi bukan saja bervariasi dalam
pemilihan pengembangan bakat murid yang ditentukannya sendiri, tetapi juga bervariasi menurut
orientasi pengembangan masing-masing wilayah.
Hal ini ditempuh agar pendidikan tidak lagi terasing dari masya-rakatnya dan mampu memberi
pemihakan yang jelas dalam menjawab kebutuhan masyarakat sesuai dengan potensi alami
wilayah. Dengan demikian, pendidikan yang harus dikembangkan adalah pendidikan swadaya
masyarakat.
Pengembangan Masyarakat
Sistem pengembangan yang memihak lapisan masyarakat yang terbesar, yang terancam harkat
kemanusiaannya akibat berlarut-larutnya kemiskinan yang disebabkan oleh struktur sosial yang
menekan dan tertutup, baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan adalah sistem swadaya
masyarakat.
Untuk ini, upaya pengembangan masyarkat yang berorientasi swadaya sekaligus memerangi
kemiskinan tersebut, dalam mana bukan saja dituntut untuk senantiasa melakukan peninjauan-
peninjauan terhadap sistem dan struktur sosial penyebab kemiskinaan, tetapi merupakan usaha
yang lebih fundamental dalam melakukan usaha-usaha penyerangan terhadap pusat-pusat dan
kantong-kantong kemiskinan dengan cara memilih strategi pemgembangan masyarakat yang
tepat yaitu, yang memihak pada kebutuhan rakyat banyak. Ini baru dapat diwujudkan apabila
secara serentak ada usaha-usaha yang simultan, baik yang dilakukan oleh pusat-pusat
pengambilan keputusan maupun oleh model partisipasi yang dilakukan masyarakat luas.
Kedua sisi ini harus bersamaan dalam geraknya melakukan pemihakan terhadap proses swadaya
masyarakat, Hal ini ditempuh tidak saja sebagai ikhtiar ke arah pendekatan kesempurnaan
dimensi manusia seutuhnya tetapi juga meminimalkan setiap usaha-usaha pembangunan yang
cenderung memiliki sifat menindas dan sifat berkelebihan yang mengakibatkan suburnya pola
hidup yang konsumerisme dan hedonisme yang pada gilirannya lebih menonjolkan sifat
dehumanisasi.
Dengan demikian pengembangan partisipasi masyarakat bawah hendaknya memperhatikan
variabilitas (keanekaan) masyarakat, serta variabilitas (keanekaan) kondisi yang dimiliki oleh
masing-masing kelompok masyarakat. Upaya memerangi kemiskinan pada golongan
masyarakat yang paling bawah yang miskin dan lemah, hanya mungkin diatasi dari diri mereka
sendiri yaitu, pembangunan dari bawah yakni pengembangan potensi, kepercayaan, dan
kemampuan masyarakat itu sendiri untuk mengorganisasi diri serta membangun sesuai dengan
tujuan yang mereka kehendaki yang tetap dalam kerangka pembangunan nasional bangsa.
Bidang Budaya
Mewujudkan pola budaya bangsa hendaknya tetap berada pada kaidah-kaidah sosial yang telah
menjadi titik temu rakyat Indonesia. Dengan demikian proses integrasi kultural harus tetap
berlandaskan atas kebhinnekaan bangsa. Bertolak dari sini perwujudan pola budaya bangsa yang
integratif dapat dijabarkan pada nilai-nilai, norma-norma dari institusi-institusi yang ada.
Dikarenakan titik temu itu dirumuskan dalam Pancasila yang pada hakikatnya memiliki orientasi
langsung pada manusianya itu sendiri. Dalam hal ini Pancasila merupakan nilai-nilai
kemanusiaan yang berproses memanusiakaan manusia.
Oleh karena itu, setiap bentuk tindakan dari mana pun datangnya yang dapat menampilkan nilai-
nilai kemanusiaan, pada dasarnya mengingkari nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Ini berarti karena
nilai-nilai Pancasila didukung oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada realitas
masyarakat Indonesia, maka sistem budaya yang dapat mendukung usaha pembangunan swadaya
masyarakat adalah proses yang dapat mengembangkan sistem nilai, norma, dan institusi-institusi
yang terdapat dalam kebhinnekaan bangsa. Ini berarti, setiap usaha yang mengarah kepada
perwujudan masyarakat yang monolitik, tidak saja mengingkari realitas kebhinnekaannya, tetapi
justru tidak mendapat tempat dalam nilai-nilai Pancasila itu sendiri yang pada gilirannya dapat
mematikan setiap usaha swadaya masyarakat.
Untuk itu pembangunan swadaya masyarakat hendaknya ditopang oleh kesempatan masyarakat
untuk dapat mengaktualisasikan nilai-nilai, norma-norma, dan institusi-institusi yang dimiliki
oleh kebhinnekaan itu sendiri. Karena disadari benar bahwa, semangat kreatifitas rakyat untuk
membangun dirinya sendiri hanyalah dapat terwujud apabila kenyataan nilai-nilai yang
menopang bangunan kerjanya dapat termanifestasikan.
Penutup
Demikian beberapa resume dari hasil-hasil studi Kelompok Cipayung VI yang tiada lain pikiran-
pikiran tersebut, dimaksudkan agar proses pembangunan sebagai ikhtiar pengisisan kemerdekaan
sekaligus ikhtiar mendekati terwujudnya masayarakat yang adil dan makmur, karena itu pilihan
dan pemihakan dari pembangunan itu sendiri bukan saja harus nampak jelas, tetapi dari hari ke
hari bukan saja harus dibuktikan pula oleh kenyataan-kenyataan kehidupan yang mendekati
terwujudnya suasana yang adil dan makmur.
Karena itulah Kelompok Cipayung dalam memperingati 11 tahun kelahirannya, 22 Januari 1983
melakukan studi model pembangunan yang bukan saja mendekati pada perwujudannya manusia
seutuhnya, tetapi juga mendekati pada perwujudannya masyarakat yang adil dan makmur,
dengan mengajukan Model Pembangunan Swadaya Masyarakat yang berorientasi sumber daya
manusia. Semua ini baru terwujud bila dibaringi dengan kemauan politik yang melahirkan
tindakan-tindakan politik yang memihak pada model sekaligus orientasi pembangunan swadaya
itu sendiri.
Semoga pikiran-pikiran ini dapat menjadi sumbangan bagi rakyat yang ingin memperjuangkan
nasib dirinya.
Merdeka!

Jakarta, 24 Januari 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Ahmad Zacky Siradj, Ketua Umum, Harry Azhar Aziz, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat GMKI Alex Litaay, Ketua Bidang Aksi dan Pelayanan, Sunggul Siahaan,
Sekretaris Umum, Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman Ketua Umum, A, Suherman
H.S., Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Lowi Mengko,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium, Wimmy Ch. Riry, Pejabat
Sekretaris Jenderal.



HENTIKAN PENINDASAN TERHADAP HAK-HAK AZASI MANUSIA DAN
DEMOKRASI
Pernyataan Bela Sungkawa Atas Pembunuhan terhadap Benigno S. Aquino Jr.

Dengan penuh keharuan kami mahasisiwa Indonesia yang tergabung dalam Kelompok
Cipayung: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik
Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menyampaikan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya
atas pembunuhan secara keji dan biadab terhadap seorang pejuang demokrasi Filipina, Benigno
S. Aquino Jr.
Berita pembunuhan terhadap Benigno S. Aquino Jr. benar-benar sangat mengejutkan setiap insan
demokratis dan menggambarkan betapa besar dan beratnya tantangan terhadap perjuangan
menegakkan hak-hak asasi manusia dan demokrasi. Sekaligus juga peristiwa itu merupakan
pencerminan keadaan di banyak bagian dunia, terutama di negara-negara dunia ketiga yang
masih penuh dengan tantangan untuk mewujudkan hak-hak asasi manusia dan demokrasi,
sehingga peristiwa ini sesungguhnya merupakan suatu penindasan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Karena itu tidak hanya rakyat pencinta dan pejuang hak-
hak asasi manusia dan demokrasi di Philipina saja yang prihatin, khawatir, dan was-was dengan
terjadinya peristiwa ini, tetapi juga seluruh rakyat dan setiap pecinta dan pejuang hak-hak asasi
manusia dan demokrasi di seluruh dunia ikut prihatin, khawatir, dan was-was termasuk di
Indonesia.
Dari peristiwa ini kita dapat menarik pelajaran yang sangat berharga bahwa, dengan
pembunuhan yang keji dan biadab atas diri Benigno S. Aquino Jr., putra bangsanya yang
berjuang demi mewujudkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya,
kembali membuktikan kekejaman dari suatu negara yang represif. Setiap pengorbanan yang
diberikan bagi perjuangan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran
bukanlah sesuatu yang sia-sia. Karena ia akan semakin menumbuhkan dan mengokohkan
inspirasi dan tekad perjuangan yang pada hakikatnya memang merupakan ikhtiar untuk
menjawab permasalahan yang paling mendasar dari umat manusia, yakni masalah kehidupan,
harkat, dan martabat kemanusiaan. Perjuangan semacam ini sedang berlangsung dan akan terus
berkobar di seluruh pelosok dunia dan dijalankan secara bersama-sama dalam suatu ikatan yang
bersifat insaniah.
Peristiwa yang terjadi di Filipina terhadap Benigno S. Aquino Jr. merupakan suatu kehilangan
besar, pada saat yang sama juga merupakan penggugah semangat bagi para pejuang dalam
memperjuangkan hak-hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, dan kebenaran sebagai suatu
ikhtiar pembebasan atas penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh bangsa asing
maupun yang tidak mustahil dilakukan oleh bangsa sendiri. Ini semua adalah dalam kerangka
menjawab amanat yang bersumber dari aspirasi dan cita-cita insan Ilahi yang mendambakan
pemenuhan makna hidup baik dalam aspek spiritualnya. Dari perjalanan sejarah kehidupan
manusia senantiasa dapat ditemui kenyataan-kenyataan yang menunjukkan, bahwa setiap usaha
untuk meniadakan aspirasi dan cita-cita kemanusiaan yang hakiki itu dari penyelenggaraan
kehidupan masyarakat pasti akan menemui kehancurannya, karena merupakan pengingkaran
terhadap hakikat kehidupan itu sendiri.
Berkenaan dengan peristiwa keji dan biadab itu, maka demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan,
keadilan, dan kebenaran kami mengharapkan pemerintah negara Republik Filipina untuk
mengusut peristiwa itu secara adil dan tuntas, serta mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang
semakin menindas nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Sebab, tindakan yang
demikian itu akan memperberat beban penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Bagi rakyat dan
pemerintah bangsa-bangsa di seluruh dunia, hendaknya peristiwa itu dapat menjadi pelajaran
yang sangat berharga, sehingga hal yang serupa tidak harus terulang lagi.
Dengan penuh hikmat kami mengajak seluruh bangsa di dunia agar menjauhkan diri dari
kebiasaan-kebiasaan buruk, mempraktekkan cara-cara yang bertentangan dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan, nilai-nilai demokrasi, serta berbagai bentuk kekerasan untuk
menyingkirkan lawan-lawan politik atau orang-orang yang berbeda pendapat. Mengingat masih
besarnya kemungkinan bagi berkembangnya kecenderungan untuk mempraktikkan hal-hal di
atas, terutama di negara-negara yang sedang membangun maka upaya pencegahannya harus
dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan niat yang luhur dan tekad yang kokoh demi
terwujudnya hakikat kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepada seluruh rakyat Filipina yang mencintai dan memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan
demokrasi, serta kepada seluruh keluarga yang ditinggalkan, kami sampaikan ucapan turut
berduka cita yang sedalam-dalamnya atas kepergian Benigno S. Aquino Jr. yang merupakan
pahlawan demokrasi. Semoga perjuangannya berkenan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, dan
kepada yang ditinggalkan tetap diberi kesabaran, ketabahan, dan kekuatan iman dalam
melanjutkan cita-cita perjuangannya. Amin.
Merdeka!

Dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar Aziz, Ketua Umum, Alex Tofani, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium; Paulus Januar, Wakil Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium, A.N. Wantoro, Pejabat Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Alex Litaay, Ketu Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum Ismail Umri, Walik Sekretaris
Jenderal.




Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung Dalam Memperingatu Hari Sumpah Pemuda
Ke-55
28 Oktober 1983
HAKIKAT KEPELOPORAN GENERASI MUDA DALAM MEWUJUDKAN
INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN

Dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda Ke-55, kami mahasiswa Indonesia yang tergabung
dalam Kelompok Cipayung yang terdiri dari: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), didorong oleh kesadaran akan hak dan kewajiban, serta peran dan tanggung
jawab terhadap hari depan bangsa, menyampaikan pokok-pokok pikiran berikut:
A. Indonesia yang kita cita-citakan pada hakikatnya adalah idealisasi masa datang yang menjadi
kerinduan kita semua sebagai warga yang merdeka, berdaulat dan bersatu. Wujud Indonesia yang
kita cita-citakan di masa datang adalah:
a. Indonesia yang digambarkan Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yakni masyarakat adil
dan makmur, spiritual, dan material berdasarkan Pancasila.
b. Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat dan bersatu, Indonesia yang
cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum, Indonesia yang adil dan makmur, Indonesia yang bebas
dari ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperanan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia dan terhormat, Indonesia yang layak bagi kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
B. Perwujudan Indonesia yang kita cita-citakan sesungguhnya merupakan proses perjuangan
terus-menerus dari setiap generasi bangsa. Oleh karena itu, setiap generasi harus memiliki
komitmen yang kuat dan kokoh terhadap perjuangan mewujudkan Indonesia yang kita cita-
citakan sebagai kesadaran yang mendalam terhadap tanggung jawab akan perjalanan sejarah
Bangsa Indonesia. Kesadaran yang demikian itulah yang seharusnya menjadi dinamika
perjuangan setiap generasi. Kesadaran yang demikian itulah yang mendorong setiap generasi
untuk bekerja keras, jujur, dan hemat dalam menjawab tantangan generasinya yang timbul dalam
perjalanan mencapai Indonesia yang kita cita-citakan. Dan kesadaran yang demikian itu pula
yang membentuk tekad bersama dari setiap generasi untuk bersatu dalam kebhinnekaan seperti
yang ditemui dalam peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
C. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memberi pelajaran yang arif kepada kita bahwa, generasi
yang mampu mengemban tanggung jawab kesejarahannya dan berhasil menjalankan tugas
kesejarahannya adalah generasi yang mampu bersikap bebas, merdeka, kritis, positif, dinamis,
jujur, berdedikasi, dan radikal. Dengan sikap-sikap itu mereka memiliki keberanian untuk
melihat dan menilai dasar-dasar pembangunan di masa kini dan di masa datang. Dengan sikap-
sikap itu mereka mempunyai keberanian untuk mengukur dan mengkoreksi setiap penyimpangan
dalam upaya pencapaian Indonesia yang kita cita-citakan. Dan dengan sikap-sikap itu pula
mereka memiliki keberanian untuk memberikan alternatif untuk setiap upaya pencapaian
Indonesia yang kita cita-citakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, generasi muda
Indonesia yang mampu dan berhasil mengemban tugas dan tanggung jawab kesejarahannya
adalah mereka yang memiliki sikap kepeloporan, keberanian, dan kritis yang didasari atas
kejujuran, keadilan, dan objektivitas. Dan hakikat kepeloporan itu terletak pada keberanian untuk
mencari dan mengemukakan alternatif bagi proses perubahan masyarakat ke arah Indonesia yang
kita cita-citakan, serta keberanian untuk melakukan koreksi terhadap berbagai bentuk
penyimpangan baik yang datang dari pemerintah maupun yang bersumber dari masyarakat.
Hakikat kepeloporan seperti itu merupakan refleksi dari hak sah setiap pemuda untuk ikut
menentukan isi, bentuk, corak, dan watak dari Indonesia yang kita cita-citakan.
D. Realitas yang ditemui dewasa ini memperlihatkan kecenderungan yang semakin kuat tentang
adanya penyimpangan persepsi tentang hakikat kepeloporan generasi muda dalam mewujudkan
Indonesia yang kita cita-citakan. Kepeloporan generasi muda senantiasa diartikan dengan
kepatuhan untuk membenarkan berbagai bentuk ketimpangan dalam pembangunan nasional yang
direncanakan dan dijalankan oleh pemerintah. Makna kepeloporan yang mengalami
penyimpangan ini dijelmakan melalui pemaksaan terhadap generasi muda untuk menerima
gagasan-gagasan pemerintah tanpa ada kesempatan menganalisanya secara kritis, obyektif, dan
rasional dalam forum dialog intelektual. Bahkan yang lebih ironi, generasi muda Indonesia
dipaksa untuk memberikan pembenaran formalistik terhadap berbagai kehendak pemerintah,
meskipun sesungguhnya hal itu bertentangan dengan hati nuraninya yang hakiki.
Kecenderungan-kecenderungan yang dikemukakan di atas, pada hakikatnya merupakan tindakan
mematikan potensi generasi muda Indonesia. Karena sikap kepeloporan, keberanian, dan kritis
yang didasarkan atas kejujuran, keadilan, dan objektivitas hanya mungkin tumbuh dengan subur
dalam suasana kehidupan yang bebas, merdeka, terbuka, demokratis, obyektif, dan rasional. Atas
dasar keyakinan itu, maka kami mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Kelompok
Cipayung, mengingatkan dan mengajak semua pihak bahwa, demi pengembangan sikap
kepeloporan, keberanian, dan kritis dalam diri generasi muda maka berbagai bentuk pemaksaan
dalam kehidupan masyarakat umumnya dan generasi muda khususnya agar segera dihentikan
dan dihilangkan. Ini dapat ditempuh melalui:
a. Menghargai setiap inisiatif dan ikhtiar generasi muda untuk mempersiapkan diri menerima dan
memikul tanggung jawab di masa depan dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan.
b. Menciptakan kesempatan yang sebesar-besarnya bagi generasi muda Indonesia untuk
melakukan koreksi, penilaian, dan alternatif terhadap proses pembangunan nasional dalam
semangat kebebasan yang bertanggung jawab sebagaimana yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
c. Memberikan kesempatan yang wajar bagi generasi muda Indonesia untuk bersatu dalam
kebhinnekaan sesuai dengan realitas sosiokultural yang memang menjadi nilai intrinsik dari
dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila.
c. Mengusahakan sedapat mungkin agar tidak melibatkan generasi muda, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam konflik kekuasaan politik dan konflik kekuasaan ekonomi yang
seringkali berlangsung di
kalangan rezim yang berkuasa.
Merdeka!

Dikeluarkan di: Jakarta
Pada tanggal: 26 Oktober 1983
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar, Ketua Umum, Alex Tofani, Sekretaris Jenderal; Pengurus
Pusat PMKRI Lowi Mengko, Presidium Intern Organisasi; Paulus Januar, Wakil Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Daryatmo M., Ketua Presidium, Kristiya Kartika, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum; Pengurus Besar
PMII Indriawan Ali Manshur, Ketua, A. Suherman H.S., Sekretaris Jenderal.



Evaluasi Akhir Tahun 1983 Kelompok Cipayung
SENTRALISASI KEKUASAAN DAN KRISIS MORAL BANGSA DALAM
PEMBANGUNAN

Didorong oleh kesadaran yang mendalam akan hak dan kewajiban serta peranan dan tanggung
jawab untuk membangun masa depan Bangsa Indonesia yang lebih demokratis, adil,dan makmur
dalam kehidupan yang penuh perdamaian dan kebahagiaan, maka kami mahasiswa Indonesia
yang tergabung dalam Kelompok Cipayung yaitu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), setelah mengamati dan mempelajari perkembangan kehidupan Bangsa
Indonesia selama tahun 1983, menyampaikan penilaian sebagai berikut:
A. Di samping keberhasilan pembangunan yang telah diraih sampai saat ini, khususnya dalam
bidang material, namun pada sisi lain terdapat pula kecenderungan yang sangat menonjol yang
mewarnai perjalanan kehidupan Bangsa Indonesia sepanjang tahun 1983 yaitu, semakin
nyatanya wujud dari sentralisasi kekuasaan. Kecenderungan itu, hampir meliputi semua segi
kehidupan masyarakat. Dengan cukup jelas beberapa kenyataan berikut, memperlihatkan
kecenderungan sentralisasi kekuasaan itu:
a. Pengelolaan sumber-sumber ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, baik
secara langsung maupun tidak langsung melalui aliansi dengan kapitalisme, dikuasai dan
dikendalikan oleh pihak penguasa yang semata-mata tidak berpihak kepada rakyat banyak.
b. Campur tangan yang sangat dominan dari pihak penguasa dalam pengelolaan lembaga-
lembaga perekonomian yang seharusnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak seperti
koperasi misalnya, pada gilirannya menghilangkan citra dan peranan koperasi sebagai soko guru
perekonomian nasional.
c. Besarnya peranan penguasa untuk menentukan bidang-bidang usaha yang dapat ditempuh
masyarakat dalam menjalankan aktivitas perekonomiannya akhirnya menyempitkan peluang
partisipasi rakyat banyak dalam kegiatan ekonomi.
d. Pengungkungan terhadap hak-hak buruh untuk memperoleh kesejahteraan sosial yang sesuai
dengan harkat kemanusiaannya, mengakibatkan keterasingan buruh dari kepentingan kapitalis,
sehingga buruh semata-mata diperlakukan sebagai faktor produksi semata.
e. Kehidupan politik masyarakat yang dalam kenyataannya menjurus pada pengendalian yang
sentralistis mengakibatkan kehadiran kekuatan sosial politik, baik Golkar maupun Parpol hanya
sekedar menjadi pelengkap dan instrumen politik saja.
f. Kehidupan jurnalistik dikekang dengan dalam berbagai bentuk ketergantungan, baik dalam hal
modal kerja yang diperoleh melalui fasilitas kredit maupun dalam hal hak hidup yang
mekanismenya dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa. Sehingga produksi dan distribusi
informasi kepada rakyat banyak bersifat sentralistik dan sepihak yaitu, hanya memenuhi
kehendak pihak penguasa saja.
g. Kehidupan lembaga-lembaga pendidikan tinggi terlalu banyak dicampuri oleh pihak
pengendali kekuasaan, baik secara langsung melalui penempatan rektor sebagai penguasa
tunggal maupun secara tidak langsung melalui pengendalian dan pengaburan makna kebebasan
mimbar dan kebebasan akademis. Sehingga otomoni perguruan tinggi sebagai laboratorium
penguji kebenaran dari gagasan-gagasan kemasyarakatan semakin mengabur, independensi
perguruan tinggi untuk melahirkan gagasan-gagasan yang dapat memberi arah dan tujuan
perkembangan semakin pudar, dan demokratisasi kampus sebagai masyarakat akademis yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak semakin terkekang.
h. Kehidupan mahasiswa semakin dikungkung dalam tembok-tembok birokrasi yang dibangun
secara sistematis oleh sentral kekuasaan, antara lain dengan memperalat pimpinan perguruan
tinggi sebagai penguasa tunggal di kampus yang memiliki wewenang penuh dalam mengatur
mahasiswa. Sehingga mahasiswa Indonesia terbentuk menjadi manusia yang terasing dari
kehidupan masyarakatnya, tidak menangkap, merumuskan dan mengemukakan getaran jiwa dan
aspirasi rakyat banyak, serta memiliki tingkat kepekaan sosial yang sangat rendah.
i. Fungsi lembaga perwakilan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung masih jauh
dari cita-cita demokrasi Pancasila, sebab dalam kenyataannya lembaga ini lebih banyak berperan
sebagai perwakilan aspirasi aliansi kelompok kepentingan dari pada aspirasi rakyat banyak.
j. Campur tangan sentral kekuasaan terhadap lembaga-lembaga yudikatif mengakibatkan
keputusan-keputusan hukum yang seharusnya dihasilkan demi tegaknya keadilan justru memihak
kepada kepentingan sempit
kelompok tertentu.
k. Semakin dalamnya keterlibatan kelompok kepentingan dalam mengatur kegiatan dan
menentukan ruang gerak dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang tumbuh dari bawah,
sehingga dalam kenyataannya cenderung menghantarkan kehidupan masyarakat kepada pola
hidup yang mekanistis.
B. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan pada hakikatnya merupakan perwujudan krisis
komitmen terhadap perjuangan mewujudkan cita-cita nasional. Pada saat yang sama, ia juga
merupakan penjelmaan dari sikap ragu terhadap kemampuan diri sendiri. Sikap semacam itu
bertolak dari keinginan yang terkendali untuk mempertahankan dan memelihara keabadian
kekuasaan. Sesungguhnya hal itu bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam
demokrasi Pancasila, yang secara konstitusional telah menjadi sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Karena nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam demokrasi Pancasila tidak pernah
membenarkan adanya sentralisasi kekuasaan, malahan sebaliknya, justru mengharuskan agar
kekuasaan tetap berada di tangan rakyat. Nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi Pancasila
menghendaki agar:
a. Dalam alam demokrasi Pancasila ada kesediaan untuk membagi kekuasaan secara jujur dan
ikhlas dengan semua pihak agar terwujud keseimbangan yang harmonis di antara berbagai
kelompok sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam kehidupan masyarakat.
b. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin berlangsungnya proses saling mengawasi dan saling
menghargai antara pihak yang berkuasa dengan rakyat banyak berdasarkan kemauan untuk
mematuhi aturan permainan secara legal konstitusional.
c. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin hak-hak
kebebasan untuk rakyat untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan untuk
beragama, kebebasan pers, dan kebebasan dari rasa takut.
d. Dalam demokrasi Pancasila dijunjung dan dihormati prinsip-prinsip rakyat mengawasi
penguasa dan bukan sebaliknya, penguasa mengawasi rakyat.
e. Dalam alam demokrasi Pancasila dijamin hak rakyat untuk menempatkan para wakilnya di
lembaga-lembaga perwakilan secara bebas tanpa ada campur tangan dan pemaksaan dari pihak
penguasa. Ini berarti bahwa sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan kehidupan masyarakat
merupakan penyimpangan dari hakikat mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat. Bahkan lebih
jauh lagi, sentralisasi kekuasaan dalam mengelola kehidupan masyarakat merupakan
pengungkungan atas hak-hak rakyat yang sesungguhnya menjadi tuntutan abadi dari kodrati
manusia sebagai makhluk sosial.
C. Kecenderungan sentralisasi kekuasaan, pada gilirannya menciptakan orientasi kehidupan
masyarakat kepada oportunisme kekuasaan. Masyarakat yang demikian itu senantiasa digiring
memasuki jaringan yang sengaja direntang. Setiap kelompok masyarakat yang terperangkap
dalam jaringan tersebut, maka hak-hak yang paling mendasar dari kehidupannya, yaitu hak untuk
menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya, masyarakatnya dan bangsanya, diasingkan
sedemikian rupa dari kodrat kemanusiaannya. Sesungguhnya masyarakat yang kehidupannya
berorientasi kepada oportunisme kekuasaan adalah tempat yang subur bagi tumbuhnya nilai-nilai
etik yang secara dominan diwarnai oleh karakter otoriter dari kekuasaan yang tersentralisasi.
Nilai-nilai etik semacam itu, akhirnya terformulasi menjadi etik otoriter yang secara diametral
bertentangan dengan nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam demokrasi Pancasila. Etika
otoriter demikian itu memiliki dua kriteria pokok yaitu, formal dan material. Secara formal, etik
otoriiter menyangkal adanya kemauan manusia untuk mengetahui yang baik dan yang buruk,
yang bernilai dan yang tidak bernilai. Norma untuk itu senantiasa di tentukan oleh sentral
kekuasaan yang posisinya mengatasi kodrat kemanusiaan. Sistem ini sama sekali tidak
didasarkan atas kearifan dan akal sehat, tetapi atas citra kehebatan suatu otoritas dan atas
perasaan tergantung dari manusia yang berada dibawah jaringan otoritas tersebut. Dan secara
material, etik otoriter menempatkan jawaban dari pertanyaan tentang baik atau buruk, benar atau
salah dalam ukuran kepentingan sempit kekuasaan. Karena itu etik otoriter dengan sendirinya
bersifat eksploitatif dan mematikan kreativitas manusia. Dalam ukuran etik ini, suatu dosa yang
tak terampunkan adalah sikap kritis untuk mempertanyakan keabsahan suatu keputusan atau
kebijakan yang ditetapkan oleh sentral kekuasaan.
D. Sentralisasi kekuasaan menimbulkan akibat yang destruktif bagi kehidupan masyarakat, baik
untuk saat ini maupun masa datang. Untuk saat ini, sentralisasi kekuasaan menyebabkan
masyarakat terkungkung dalam ketakutan untuk menyalurkan aspirasinya, keadaan ini
menciptakan rakyat banyak yaitu, antara kodrat kemanusiaan dengan aspirasinya. Dalam
keterasingan tersebut, adalah mustahil untuk melibatkan rakyat secara sadar dalam pembangunan
bangsa. Sedangkan untuk masa datang, sentralisasi kekuasaan tidak akan mampu lagi menjawab
persoalan-persoalan yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Karena masa datang sangat
dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut prestasi dibidang masing-
masing. Ini berarti bahwa untuk masa datang kesediaan untuk berkompetisi secara jujur,
obyektif, dan rasional adalah syarat mutlak. Lebih jauh lagi, pada masa datang bentuk
pemaksaan harus diganti dengan kerelaan dan keikhlasan. Karena tuntutan masa datang adalan
tuntutan untuk hidup dalam suasana yang demokratis, yang menghargai hak-hak kedaulatan
rakyat, yang menghargai manusia menurut harkat dan martabat kemanusiaannya.
E. Menyadari sepenuhnya akibat dari sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan kehidupan
masyarakat, baik untuk masa kini maupun untuk masa datang, yakni secara perlahan tetapi pasti
menuntut bangsa pada kehancuran sendi-sendi kehidupannya, yang merupakan sumber krisis
moral dalam pembangunan. Oleh karena itu, demi masa depan Bangsa dan Negara Indonesia,
maka dengan tulus ikhlas kami menyampaikan penilaian ini kepada semua pihak untuk
dipertimbangkan secara arif dan bijaksana.
Merdeka!

Jakarta, 29 Desember 1983.
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H.Harry Azhar Aziz, Ketua Umum, Alex Tofani, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Pusat PMKRI Marcus Mali, Ketua Presidium, Paulus Januar, Wakil Sekretaris
Jenderal; Presidium GMNI Sudirman Kadir, Ketua Komite Politik, Antonius Wantoro, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum;
Pengurus Besar PMII Muhyiddin Arubusman, Ketua Umum, A. Suherman H.S., Sekretaris
Jenderal.



Pokok-Pokok Pikiran Kelompok Cipayung tentang
UNDANG-UNDANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN

Sebagai generasi muda yang sadar akan hak dan kewajiban, serta peranan dan tanggung jawab
terhadap masa depan bangsa, maka kami mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Kelompok
Cipayung, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), setelah mengkaji dengan seksama rencana penetapan
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan, menyampaikan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut.
Pengantar
A. Hakikat Kemerdekaan
Bahwa kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah
kemerdekaan yang mengandung makna merdeka dari semua bentuk penjajahan yang tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, dan sekaligus merdeka untuk mewujudkan cita-cita
bangsa, yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, spiritual dan
material, berlandaskan Pancasila.
Bagi semua bangsa kemerdekaan merupakan hak yang secara asasi harus dimiliki, karena
substansi kemerdekaan adalah membebaskan diri dari segala struktur yang menindas kedaulatan
rakyat dan menghambat perwujudan cita-cita bangsa. Karena itu dengan kemerdekaan kita harus
melakukan ikhtiar yang benar-benar dapat memajukan kehidupan bangsa, sehingga berbeda
misalnya, dengan upaya pendidikan maupun pembangunan yang dilaksanakan oleh penjajah
yang tujuan utamanya adalah untuk kepentingan sang penjajah.
Dalam negara merdeka pengisian kemerdekaan harus dijalankan dengan bersungguh-sungguh
dan untuk pelaksanaannya diperlakukan suatu struktur kemasyarakatan yang benar-benar
berupaya untuk menampilkan dan memelihara kemerdekaan dalam rangka mencapai cita-cita
bangsa. Karena itu dalam negara merdeka harus terwujud:
a. Struktur kemasyarakatan yang menjamin syarat kehidupan yang diperlakukan dalam
pencapaian cita-cita bangsa.
b. Kemerdekaan warga negara untuk mewujudkan kehendak bebasnya tetap terjamin.
Kedua hal itu, senantiasa harus diusahakan keselarasannya. Bilamana keselarasan diantara
keduanya tercipta dengan harmonis, maka iklim kehidupan yang menggairahkan dinamika
kemajuan bangsa akan terwujud. Sebaliknya jika penekanan dititikberatkan pada salah satu aspek
saja, maka hakikat kemerdekaan akan terancam, karena:
a. Penekanan pada struktur kemasyarakatan dan mengabaikan kemerdekaan warga negara dapat
melahirkan totaliter.
b. Penekanan pada kemerdekaan warga negara dan mengabaikan struktur kemasyarakatan dapat
menciptakan penindasan manusia atas manusia.
Dari dua keadaan ini, sangat jelas terlihat, bahwa hakekat kemerdekaan tidak akan terpenuhi.
Dalam kehidupan yang merdeka, maka kemerdekaan harus secara paripurna terdapat pada
pelbagai bidang kehidupan baik politik, ekonomi, pers, ilmu pengetahuan, hukum, pendidikan
maupun sosial, dan agama. Sedangkan dalam kehidupan di bawah penjajahan, semua bidang
kehidupan dikekang dan kerapkali dimanipulasi untuk
mendukung dan melegitimasi status quo yang ada.
Oleh karena itu, dalam alam kemerdekaan, sejauh bidang-bidang kehidupan tertentu
dipercayakan pada negara, maka kewajiban negara adalah untuk menjamin pemerataan
perwujudan dan kemerdekaan, baik secara struktural maupun individual bagi warga negara harus
diusahakan bersama seluruh rakyat. Ini berarti harus ada usaha untuk menumbuhkan dan
memelihara partitipasi yang emansipatif dari seluruh rakyat.
B. Identitas Masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika
Masyarakat Indonesia merupankan masyarakat yang pluralistis yang dalam kebersamaannya
telah berhasil melahirkan komitmen politik bangsa, yaitu Pancasila. Sejak berdirinya negara
kesatuan Republik Indonesia, telah disepakati bahwa persatuan Bangsa Indonesia yang
masyarakatnya pluralistis adalah persatuan dalam kebhinnekaan (bhinneka tunggal ika), yaitu
persatuan yang tidak mematikan kebhinekaan dan persatuan yang tidak monolitik.
Berdasarkan relaitas yang hidup dan dihayati oleh masyarakat, maka dengan berlandaskan
Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seluruh warga negara Indonesia bersatu
dengan tidak meniadakan ciri kebhinnekaan yang dimilikinya. Sehingga dengan begitu
Pancasila, yang lahir dari bangsa Indonesia yang masyarakatnya pluralistis, memberikan tempat
dan mengayomi kebhinnekaan masyarakat Indonesia.
Sebagai komitmen bersama, maka persatuan dalam kebhinnekaan menjadi identitas bangsa dan
bilamana diberlakukan secara konsisten akan menumbuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang kokoh, sehat, dan dinamis. Dinamika yang terdapat dalam kesatuan dan persatuan bangsa,
yang terwujud tanpa harus meniadakan kebhinekaan bangsa, merupakan potennsi yang sangat
besar bagi upaya memajukan kehidupan bangsa sebagaimana yang dicita-citakan oleh seluruh
bangsa Indonesia.
Sejarah perjuangan bangsa di masa lalu memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita hari
ini untuk memahami arti dan makna kebhinnekaan. Dari suatu masyarakat yang pluralistis,
tumbuh kesadaran dan gerakan untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan. Dalam suasana
pergerakan kemerdekaan itu, melalui suatu dialog intelektual yang jujur, dicetuskan semangat
persatuan yang sama sekali bukan untuk mematikan kebhinnekaan, yang dituangkan dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam pengertian demikian itu, antara kebhinnekaan dan keikaan bukan merupakan dua hal yang
saling tanding menandingi sehingga akhirnya salah satu diantaranya harus menang atau kalah.
Dengan demikian bilamana ke-bhinnekaan dan ke-ikaan ditempatkan dalam satu kesatuan yang
harmonis, maka kebhinnekaan justru akan mengokohkan ke-ikaan dan keikaan akan
menyuburkan kebhinnekaan. Karena itu, dalam perspektif realistas identitas bangsa Indonesia
yang secara internal tertanam dalam substansi masyarakatnya, setiap usaha untuk merusak
keharmonisan nilai kebhinnekatunggalikaan akhirnya akan merobek-robek identitas bangsa.
Dalam realitas identitas bangsa Indonesia itu dijalankan upaya perwujudan cita-cita bangsa. Dan
cita-cita itu sendiri, pada dasarnya merupakan cita-cita yang lahir dari identitas, nilai-nilai dan
harapan-harapan bangsa Indonesia.
E. Cita-cita Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan supaya untuk mewujudkan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, spiritual dan material,
berlandaskan Pancasila. Kemerdekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya
kemerdekaan formal yaitu, bebas dari penjajahan bangsa asing. Tetapi kemerdekaan harus
diartikan dalam wujud substansial, yakni terbebasnya warga negara dari struktur dan sistem yang
menindas baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun yang tidak mustahil dijalankan oleh
bangsa sendiri.
Persatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus merupakan persatuan yang terbentuk
berdasarkan prosedur yang konstitusional dan benar-benar sesuai dengan aspirasi rakyat.
Kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan bentuk kedaulatan yang
menempatkan kekuasaan tertinggi berada di tangan seluruh rakyat yang dijalankan secara
demokratis melalui lembaga legislatif dan meliputi seluruh aspek kehidupan kemasyarakatan
sehingga setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Masyarakat adil dan makmur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berarti hadirnya suatu
tata kemasyarakatan yang menjamin terciptanya perkembangan yang merata bagi seluruh rakyat.
Dalam masyarakat adil dan makmur harus terbina suatu struktur masyarakat yang teratur dengan
baik yang didalamnya terdapat kesempatan nyata bagi semua lapisan masyarakat dan semua
aspek kemasyarakatan untuk membangun suatu kehidupan yang layak sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan.
Dengan dimensi-dimensi itu, maka wujud Indonesia yang kita cita-citakan di masa depan adalah:
a. Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesi yang digambarkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu masyarakat adil dan makmur, spiritual dan material,
berlandaskan Pancasila.
b. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat dan bersatu, Indonesia
yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum, Indonesia yang sehat dan makmur, Indonesia yang bebas
dari ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia, Indonesia yang layak bagi tempat tinggal dan kehidupan manusia makhluk Tuhan.
Perwujudan Indonesia yang kita cita-citakan harus dijalankan dalam satu kesatuan yang utuh dari
seluruh aspek kehidupan masyarakat, yaitu ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hankam yang
berarti bahwa salah satu aspek tidak boleh dikesampingkan apalagi diabaikan. Dalam rangka
perwujudan cita-cita di atas, pemerintah sebagai penyelanggara negara adalah sebagai
pengemban amanat rakyat yang memiliki kewajiban untuk bersama-sama dengan seluruh rakyat
menjalankan ikhtiar perwujudan cita-cita tersebut. Dengan demikian, fungsi semua aparat negara
adalah melayani kepentingan rakyat. Karena itu jika ia tidak memperjuangkan kepentingan
rakyat seluruhnya berarti telah meninggalkan kewajiban dan tanggung jawab yang diamanatkan,
pada gilirannya, dapat menghambat upaya perwujudan cita-cita bangsa.
F. Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
Salah satu syarat mutlak bagi partisipasi warga negara baik secara perseorangan maupun secara
berkelompok dalam mewujudkan cita-cita bangsa adalah kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan pada hakikatnya
merupakan bagian dari seluruh perangkat hak-hak warga negara yang memuat hasrat bangsa
Indoneisa untuk membangun negara yang demokratis dan yang hendak menyelenggarakan
keadilan sosial dan perikemanusiaan. Sehingga dengan demikian kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya merupakan suatu
syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam perwujudan cita-cita bangsa. Dalam hal ini,
kemerdekaan berserikat dharus diartikan sebagai kemerdekaan untuk membentuk, kemerdekaan
untuk menata, dan kemerdekaan untuk mengadakan kegiatan dalam organisai. Sedangkan
kemerdekaan berkumpul diartikan sebagai kemerdekaan untuk menyelenggarakan dan mengikuti
segala jenis pertemuan, kemerdekaan untuk bermuktamar, kemerdekaan untuk berkongres,
kemerdekaan untuk berkonperensi, serta kemerdekaan bermusyawarah.
Oleh karena itu, undang-undang yang ditetapkan sehubungan dengan kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan harus semakin mengokohkan
perlaksanaan kemerdekaan, bukannya menindas perwujudan kemerdekaan itu sendiri. Sehingga
pembatasan terhadap berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan
hanya boleh dilakukan apabila pelaksanaannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, sesuai dengan sistem pemerintahan negara yang berdasarkan hukum
(rechtsstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat), karena itu pembatasan harus
dijalankan memalui proses peradilan yang adil dan bebas.
Pedoman Pokok dalam Penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
A. Hakikat Orientasi
Pengaturan yang dijalankan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
khususnya dalam pengaturan kehidupan organisasi kemasyarakatan hendaknya merupakan
hakikat orientasi:
a. Mengokohkan kemerdekaan Negara Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945
sehingga benar-benar
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam upaya mewujudkan cita-cita
bangsa.
b. Menjamin dan melindungi hak-hak warga negara yang dijunjung tinggi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
c. Menjamin dan melindungi kemerdekaan warga negara untuk berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya.
Dengan demikian pengaturan organisasi kemasyarakatan melalui suatu undang-undang harus
memenuhi hakikat dan orientasi itu. Sehingga alasan utama bagi kelahiran Undang-Undang
Organisasi Kemasyarakatan tidak boleh dilandasi oleh faktor-faktor dan pendekatan-pendekatan
lain yang bertentangan dengan hakikat orientasi itu sendiri.
B. Prinsip-prinsip Umum
Bertolak dari hakikat orientasi pengaturan organisasi kemasyarakatan, maka penyusunan
Undang-Undang Organisasi kemasyarakatan harus memenuhi prinsip-prinsip umum berikut:
a. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan yang merupakan pelaksanaan pasal 28
Undang-Undang Dasar 1945, kedudukan hukumnya lebih rendah dari Undang-Undang Dasar
1945. Karena itu, Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan tidak dapat secara sewenang-
wenang meniadakan atau mengurangi kemerdekaan sebagaimana yang telah diakui oleh Undang-
Undang Dasar 1945 itu sendiri. Sehingga dalam suatu negara hukum (rechtstaat) dan pemerintah
berdasarkan atas sistem konstitusi (machtstaat), maka kemerdekaan yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar 1945 tidak bila dikurangi apalagi dilenyapkan.
b. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus menjamin kebhinnekaan organisasi
kemasyarakatan termasuk organisasi kemasyarakatan yang berjiwa/bersifat keagamaan, sesuai
dengan semangat dan jiwa dari:
1. Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi sebagai berikut: Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
dan sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
2. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan
dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang. Oleh Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 golongan-golongan ini diartikan sebagai
badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja, dan lain-lain badan kolektif. Ini dapat diartikan
bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mentolerir adanya kebhinnekaan organsasi kemasyarakatan.
3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
(1) Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan yang Maha Esa
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal ini merupakan pengakuan dan jaminan dari Undang-Undang Dasar 1945 terhadap
kebhinnekaan organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi kemasyarakatan yang dijiwai/
bersifat keagamaan sebagai upaya perwujudan ajaran agama yang dianutnya dalam rangka
berperan serta dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia
seluruhnya.
c. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus memberi jamin-an pada perbedaan
pendapat sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung di dalam:
1. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak;
3. Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai perubahan Undang-Undang Dasar:
Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang
hadir. Dengan pengambilan keputusan dengan secara yang terbanyak tidak mengharuskan
setiap orang berpendapat sama (aklamasi).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mentolerir adanya perbedaan
suara, perbedaan pendapat, perbedaan agama, dan perbedaan golongan sesuai dengan
kebhinnekaan masyarakat Indonesia.
d. Bahwa Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus memberi jaminan bagi setiap
organisasi kemasyarakatan untuk mengatur dan menetukan dirinya sendiri, tanpa dicampuri oleh
pemerintah sesuai dengan jiwa dan semangat pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Sesungguhnya persatuan dan kesatuan bangsa hanya dapat tumbuh dan lestari apabila kita
senantiasa tetap bertumpu pada keempat prinsip umum di atas.
C. Mekanisme Penyusunan
Penyusunan Undang-Undang Organisasi kemasyarakatan harus diselengaraakan melalui
mekanisme proses berikut:
a. Bahwa upaya menetapkan dan menata organisasi
kemasyarakatan menyangkut kehidupan seluruh masyarakat, maka pendekatan yang dilakukan
kepada masyarakat harus lebih bersifat sosio-kultural dan sosio-edukatif. Dengan demikian
senantiasa harus dihindari pendekatan kekuasaan dan sikap ambisius target yang tidak reasiltis,
karena pendekaran seperti ini, pada gilirannya, akan menimbulkan praktek jalan pintas seperti
yang selama ini cenderung dilakukan. Dalam kenyataannya pendekatan kekuasaan semacam itu
seringkali hanya mempergunakan hukum sekedar sebagai alat legitimasi bagi tindakan-tindakan
yang tidak mustahil bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak warga negara.
b. Bahwa proses penyusunan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan harus sejalan dengan
semangat dan jiwa demokrasi, serta diselenggarakan dengan arif dan bijaksana dalam suasana
keterbukaan dan dialogis yang dibimbing oleh sikap kenegarawanan, sehingga mampu memberi
tempat bagi tumbuhnya inisiatif dan tersalurnya aspirasi yang berasal dari masyarakat.
Pokok-Pokok Pikiran tentang Materi Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan
Dengan berlandaskan pemikiran-pemikiran yang mendasar tentang Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan sebagaimana yang telah dikemukakan di muka serta berdasarkan ketentuan-
ketentuan konstitusional sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka
Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan selaku pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar 1945 harus mencakup paling tidak hal-hal sebagai berikut:
A. Konsiderans menimbang harus berisikan Hakikat Orientasi
dan Prinsip-Prinsip umum Undang-Undang Organisasi
Kemasyarakatan sebagaimana yang telah dikemukakan di muka.
B. Konsiderans mengingat harus mencakup: Pasal 2 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2),
Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pengertian organisasi kemasyarakatan adalah suatu wadah yang dibentuk oleh warga negara
Republik Indonesia atas dasar persamaan kehendak, persamaan agama, bidang kegiatan, profesi
dan fungsinya untuk berperan serta dalam pembangunan nasional sebagai perwujudan hak dan
kewajiban rakyat warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
namun ini tidak berarti bahwa dalam pengaturan klasifikasi organisasi kemasyarakatan harus
dipisah-pisahkan secara kaku berdasarkan persamaan-persamaan tersebut, sehingga tidak berarti
bahwa suatu organisasi kemasyarakatan tidak diperbolehkan berdasarkan lebih dari sebuah
persamaan tersebut.
D. Dalam Anggaran Dasar Organisasi Kemasyarakatan, sebagai pernyataan komitment dari
setiap organisasi kemasyarakatan bagi upaya pelestarian ideologi Pancasila sebagai dasar
kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila atau nilai-nilai Pancasila harus dicantumkan
pada mukadimah/ pembukaan Anggaran Dasar dan atau pada batang tubuh Anggaran Dasar dan
atau sebagai asas organisasi.
E. Tiap-tiap organisasi kemasyarakatan memiliki hak untuk mencantumkan asas sesuai dengan
jiwa/ sifat dari organisasi yang bersangkutan.
F. Tujuan organisasi kemasyarakatan harus ditempatkan dalam kerangka tujuan berbangsa dan
bernegara. Di samping tujuan umum ini setiap organisasi kemasyarakatan dapat mencantumkan
tujuan khususnya dalam anggaran dasarnya sepanjang tidak bertentangan dengan tujuan
berbangsa dan bernegara.
G. Usaha organisasi kemasyarakatan secara umum ditempatkan dalam usaha pencapaian tujuan
bernegara dan berbangsa. Di samping itu, dalam usaha pencapaian tujuan khususnya organisasi
kemasyarakatan dapat melakukan kegiatan melalui usaha-usaha yang sesuai dengan kehendak,
agama, kegiatan, profesi, dan fungsinya masing-masing.
H. Di samping kewajiban sebagai warga negara, maka organisasi kemasyarakatan yang
berjiwa/bersifat keagamaan dapat mencantumkan kewajiban khususnya dalam anggaran
dasarnya.
I. Organisasi kemasyarakatan mempunyai kemerdekaan untuk menyusun dan menentukan
struktur organisasinya sendiri. Dengan demikian setiap organisasi kemasyarakatan berhak
mempunyai bagian wanita, pemuda, dan lain-lainnya yang dianggap perlu.
J. Keanggotaan dari organisasi kemasyarakatan diatur dengan ketentuan berikut:
a. Yang dapat menjai anggota organisasi kemasyarakatan adalah warga negara Republik
Indonesia. Keanggotaannya adalah sukarela dan terbuka.
b. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dapat menyimpang dari
ayat (a) di atas, dengan mengingat sifat khusus organisasi kemasyarakatan yang berjiwa/bersifat
keagamaan itu.
K. Pembekuan dan pelarangan organisasi kemasyarakatan dilakukan bagi organisasi
kemasyarakatan apabila dapat dibuktikan bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945 melalui proses peradilan dan bebas.
Penutup
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini kami sampaikan
sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab terhadap pembangunan bangsa menuju cita-cita
bersama dia merupakan hasil dari proses pengkajian terhadap rencana penetapan Undang-
Undang Organisasi kemasyarakatan yang mampu mewujudkan kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan dan sebagainya seperti yang
terkandung dalam jiwa dan semangat pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Merdeka!

Jakarta, 24 Februari 1984
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI H. Harry Azhar Azis, Ketua Umum, Alex Tofani, Sekretaris Jenderal;
Pengurus Besar GMKI Alex Litaay, Ketua, Sunggul Siahaan, Sekretaris Umum, Pengurus Pusat
PMKRI Markus Mali, Ketua Presidium, Paulus Januar,Wakil Sekretaris Jenderal; Pengurus
Besar PMII Muhyiddin Arusman, Ketua Umum, Suherman H.S., Sekretaris Jenderal.



POKOK-POKOK PIKIRAN KELOMPOK CIPAYUNG DALAM RANGKA HARI
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA KE-41

Memahami perjalanan Bangsa Indonesia sejak proklamasi hingga usia yang ke-41 sekarang ini,
telah banyak perubahan-perubahan yang terjadi di segala bidang kehidupan sebagai manifestasi
dari suatu proses pembangunan yang sedang berjalan. Upaya mewujudkan cita-cita proklamasi
pada dasarnya merupakan landasan utama dalam mengaktualisasikan program pembangunan ke
arah tercapainya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Tuhan yang Maha Kuasa
Generasi muda sebagai bagian terbesar dan terpenting harus memiliki peran strategis untuk
menjawab persoalan bangsanya. Ini berarti tanggung jawab generasi muda yang paling utama
adalah mempersiapkan diri sebagai potensi kader bangsa di masa depan melalui penguasaan
masalah dasar pembangunan itu sendiri. Sesuai dengan arahan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) serta pengamatan terhadap perjalanan pembangunan selama Pelita IV sekarang ini.
Kelompok Cipayung yang dimotivasi oleh jiwa dan semangat Undang Undang Dasar 1945 dan
Pancasila menyampaikan pokok-pokok pikiran yang meliputi bidang ekonomi, pendidikan, dan
bidang politik sebagai berikut:
Bidang Ekonomi
1. Pembangunan ekonomi yang mengacu pada pertumbuhan dan
pemerataan sesuai dengan Trilogi Pembangunan ternyata menghadapi tantangan yang cukup
berat sebagai akibat adanya kelesuan ekonomi dunia. Tantangan itu antara lain adalah
keterlanjuran melakukan investasi di bidang industri berat (perkapalan, pesawat terbang, dan
lain-lain) yang tidak diimbangi oleh peningkatan efisiensi. Kelompok Cipayung berpendapat
perlunya mengembangkan bidang ekonomi di luar sektor industri berat yaitu sektor informal dan
sektor agrobisnis. Di samping itu perlu diusahakan secara terus-menerus untuk lebih
meningkatkan pengembangan industri yang mendukung sektor pertanian, sehingga secara
langsung memberikan manfaat bagi sebagian besar masyarakat yang hidupnya tergantung pada
sektor pertanian ini.
2. Dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan disadari bahwa, ditengah-tengah keberhasilan
melakukan swasembada pangan terdapat kecenderungan semakin bergantungnya ekonomi desa
pada ekonomi perkotaan yang pada gilirannya mengurangi tingkat ketahanan desa dari aspek
ekonomi. Bersamaan dengan itu Koperasi Unit Desa (KUD) belum dapat berfungsi sebagai
organisasi ekonomi desa yang dinamis, bahkan cenderung berkembang menjadi birokrasi baru
bagi pemerintah dan kekuatan ekonomi perkotaan dalam mendistribusikan kebutuhan sarana
produksi pertanian. Kelompok Cipayung berpendapat bahwa, kemelut ketergantungan ekonomi
pedesaan ini harus diakhiri melalui pengembangan industri rumah tangga (home industri) yang
memanfaatkan potensi sumber daya lokal, pembelian subsidi harga hasil pertanian (khususnya
beras), dan mengupayakan pengembangan koperasi sebagai organisasi ekonomi berdasarkan
potensi sosiokultural secara demokratis.
3. Pada hakikatnya wilayah Indonesia memiliki keaneka-
ragaman potensi sumber daya yang secara nasional merupakan potensi kekayaan untuk
dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat semesta. Dalam pada itu telah diterapkan konsep
pembangunan berdasarkan seluruh wilayah sebagai manifestasi sebuah negara kesatuan Republik
Indonesia. Kelompok Cipayung mengamati masih terdapatnya daerah yang terisolasi dari
komunikasi dan pergaulan nasional sebagai akibat dari keterlambatan proses pembangunan di
wilayah itu. Ini berarti telah saatnya untuk memberanikan diri melakukan desentralisasi
perencanaan pembangunan dan otonomisasi dalam pengelolaan ekonomi regional, yang pada
gilirannya mendewasaan daerah yang bersangkutan untuk tumbuh mendiri dengan tingkat
ketergantungan yang rendah secara ekonomi dengan pemerintah pusat.
Bidang Pendidikan
1. Pendidikan nasional sejak proklamasi dalam kenyataannya belum memiliki konsep dasar yang
dirumuskan secara sistematik dan berjangka panjang. Sementara itu pendidikan nasional dalam
kebijaksanaannya maupun pengelolaannya baru pada tingkat peringkat undang-undang dan
peraturan pemerintah. Dalam kaitan ini, Kelompok Cipayung memandang perlu adanya dialog
nasional yang diselenggarakan pemerintah bersama masyarakat guna merumuskan persepsi dan
konsep kependidikan yang pada gilirannya menjadi konsep dasar yang berlaku secarara sah di
masyarakat Indonesia, baik di dalam maupun di luar negeri.
2. Kebebasan akademik merupakan elemen penting dari sistem pendidikan tinggi, yang berarti
merupakan milik seluruh masyarakat akademik perguruan tinggi. Untuk itu Kelompok Cipayung
menilai perlunya meninjau kembali makna kebebasan akademik yang selama ini hanya
diperuntukkan dan menjadi milik guru besar. Peninjauan konsep kebebasan akademik ini
diperlukan untuk menghindari feodalisme dalam pengembangan dunia ilmiah di perguruan
tinggi. Sikap feodalisme ilmiah itu akan berkembang bilamana guru besar memiliki peran dan
otoritas akademik yang berlebihan tanpa ditunjang oleh semangat otokritik dalam iklim kampus
yang kondusif untuk pengembangan kreativitas.
3. Dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja terampil dan terdidik sesuai dengan tantangan
bangsa hari ini dan masa datang, pemerintah telah mengupayakan mengembangkan pendidikan
politeknik di berbagai universitas/ institut negeri. Kebijaksanaan ini diikuti dengan penangguhan
pembangunan universitas negeri yang baru. Kelompok Cipayung berpendapat perlunya
menangguhkan pembangunan sekolah lanjutan umum dan mengalihkan perhatian pada sekolah-
sekolah kejuruan dengan kualitas terjamin dan sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Bidang Politik
1. Terdapat kecenderungan bahwa peran birokrasi semakin dominan dalam kehidupan politik
yang tercermin pada perjalanan kepemimpinan partai politik hingga saat ini. Kelompok
Cipayung menilai bahwa peran birokrasi yang dominan ini akan melemahkan kekuatan rakyat
bagi tumbuhnya partisipasi yang pada gilirannya mematikan infrastruktur demokrasi. Kelompok
Cipayung mencatat adanya persepsi stabilitas nasional yang keliru telah berkembang di kalangan
birokrasi sehinggga secara langsung mempengaruhi perkembangan budaya-politik. Untuk itu
sudah saatnya melakukan upaya pendewasaan demokrasi dalam iklim satu asas Pancasila,
melalui penciptaan iklim keterbukaan dan pemberian otonomi secara bertahap pada lembaga-
lembaga politik rakyat khususnya kaum muda.
2. Keberhasilan pembangunan politik antara lain dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat
dalam mengemukakan keyakinan-keyakinan politiknya. Sikap memandang politik sebagai suatu
yang menakutkan dan ketidakberanian mengungkapkan aspirasi politik, dinilai oleh Kelompok
Cipayung sebagai gejala rendahnya partisipasi yang pada gilirannya menempatkan masyarakat
pada keterisoliran dan ketidakmandirian. Kelompok Cipayung berpendapat, perlunya
menumbuhkan iklim pendidikan politik yang menunjang partisipasi. Dalam kaitan ini pula,
pemilihan umum sebagai sarana pendidikan politik rakyat harus dilaksanakan secara demokratis
dengan etika politik yang berkiprah pada kepentingan bangsa.
3. Keberhasilan pemilihan umum antara lain dapat dilihat pada proses pelaksanaan pemilu
sebagai perwujudan prinsip pelaksanaan demokrasi yang mampu memberikan makna bagi
kewibawaan MPR dan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Kelompok Cipayung mencatat
belum berfungsinya secara maksimal lembaga perwakilan rakyat ini sebagai akibat dari masih
rendahnya kualitas sebagian anggota MPR dan DPR yang didukung oleh pola rekruitmen yang
tidak representatif untuk mewakili rakyat secara aspiratif. Dalam kaitan ini Kelompok Cipayung
berpendapat perlunya menumbuhkan mekanisme pemilihan umum yang tidak menggunakan
Vote getter (penarik suara) dan sistem rekruitmen (pencalonan) wakil rakyat yang lebih
representatif.
4. Pokok-pokok pikiran Kelompok Cipayung ini diharapkan memberikan manfaat bagi
perjalanan bangsa hari ini dan mendatang, di mana disadari sepenuhnya bahwa, dalam
perwujudannya memerlukan kemauan politik dan keberanian untuk mengoreksi serta mengkaji
ulang perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini.

Jakarta, 13 Agustus 1986
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI - Pengurus Pusat GMKI -Pengurus Pusat PMKRI - Pengurus Besar PMII -
Presidium GMNI



REFLEKSI KRITIS KELOMPOK CIPAYUNG MENGHADAPI PEMILU 1987

Pendahuluan
Pemilu bagi Bangsa Indonesia bermakna maha penting secara konstitusional merupakan
manifestasi dari paham demokrasi yang sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Secara
konstitusional pada saat itu rakyat berhak menentukan kelangsungan hidup bangsa dan negara
melalui wakilnya yang ada dan dipercaya di badan legislatif pelaksanaan Pemilu yang tepat pada
waktunya, merupakan cermin keberhasilan bangsa dalam mengayuh kemudi pembangunan pada
lima tahun sebelumnya. Sekali pun ukuran keberhasilan tersebut masih dalam batasan
'mempertahankan kontinyuitas pembangunan'. Dengan pelaksanaan Pemilu, rakyat akan terus
mempertahankan kontinyuitas dan mengembangkan pembangunan di masa mendatang.
Itulah sebabnya Pemilu harus diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
dasar dan falsafah negara, serta sesuai dengan konstitusi. Di samping harus sesuai dengan asas
langsung, umum, bebas dan rahasia. Pemilu keempat dari Orde Baru ini ditandai dengan
ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi ketiga kekuatan sosial politik. Itu berarti
penampilan ketiga kekuatan sosial-politik tidak lagi berpacu dengan integritas asas organisasi
masing-masing. Tetapi telah melangkah kepada pendewasaan politik bangsa, berbasis pada
ideologi nasional dan integritas diri. Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas tersebut,
menjadi Pemilu 1987 sebagai tonggak sejarah.
Langkah awal dari pembangunan politik ini harus disahuti dan ditindaklanjuti dengan langkah
cerdas berikutnya. Yakni, dengan pembaharuan dari citra Pemilu, dalam upaya rekayasa
kerangka budaya politik yang lebih positip. Penampilan ketiga kekuatan sosial politik harus lebih
dewasa dari ketiga Pemilu sebelumnya. Diharapkan keterbukaan Orpol/ Golkar terhadap rakyat
pemilih semakin besar, sehingga semua organisasi peserta pemilu (OPP) tidak lagi berjuang
untuk kepentingan golongannya. Tetapi dalam konteks yang lebih luas dan mulia yakni, bangsa
dan negara. Pemilu 1987 hendaknya dilandasi sikap-sikap kenegarawanan dan jiwa nasionalisme
oleh seluruh rakyat, khususnya aktor politik yang terlibat langsung dalam kampanye.
Seluruh langkah khilaf yang sempat teraktualisasikan pada masa sebelumnya hendaknya
dihilangkan. Pemilu 1987 ini pun ditandai dengan kondisi yang cukup penting yakni, kehadiran
generasi muda yang sangat menentukan, baik mereka yang berada pada posisi sebagai pemiilih
ataupun sebagai calon anggota badan legislatif. Mereka hidup dan dibebaskan dalam situasi yang
berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi muda hendaknya memberikan warna baru dalam
wawasan politik Indonesia.
Mereka harus bebas dari wawasan konflik dan menampilkan wawasan baru yang dilingkupi
semangat kebangsaan yang lebih kental. Kesadaran akan beratnya tugas dan masa depan yang
akan diemban sangat diperlukan. Dalam Pemilu 1987 ini hendaknya sikap kritis dan obyektif
ditampilkan oleh generasi muda.
Pembahasan
1. Makna Pemilu
Pemilu tidak hanya sekedar pesta demokrasi rakyat yang secara rutin dilakukan setiap lima tahun
sekali, tetapi merupakan perwujudan dari faham kedaulatan rakyat, sesuai dengan pasal 1 ayat
(1) UUD 1945. Pemilu merupakan media untuk menjaring dan mengakomodir suara hati nurani
dan kehendak dasar rakyat. Sehingga wakil-wakil terpilih mempunyai kewajiban untuk selalu
mempunyai komitmen terhadap kepentingan rakyat, terutama masyarakat kumuh dan pedesaan
yang merupakan bagian terbesar rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, wajar apabila rakyat mengharapkan agar wakilnya mempunyai kualitas dan
profesionalitas tertentu, serta selalu konsisten dalam melanggengkan dan mengembangkan
kelangsungan hidup negara kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan jiwa dan semangat
proklamasi kemerdekaan.
Setelah tiga kali Pemilu yang lalu selama Orde Baru Kelompok Cipayung melihat bahwa,
keterlibatan rakyat terutama masyarakat pedesaan dalam Pemilu ternyata masih kurang akibat
adanya kesenjangan informasi antara elit politik dengan rakyat. Di samping itu terlihat adanya
sikap dan budaya patron-klien yang masih cukup subur dalam kehidupan politik bangsa ini.
Rakyat selalu mendapat perlindungan dan diberi informasi yang selalu baik, sehingga tidak
mengetahui kekurangan yang terjadi dalam proses pendidikan politik lewat Pemilu itu.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menilai bahwa kalau hal seperti ini terus dilakukan juga
dalam Pemilu 1987, maka Kelompok Cipayung punya khawatir rakyat akan bersikap apatis
terhadap pelaksanaan Pemilu, yang pada akhirnya akan membawa akibat berupa tersendatnya
proses pendidikan, kesadaran, dan perdewasan politik rakyat melalui Pemilu.
Pelaksanaan Pemilu bukan hanya sebagai suatu pesta demokrasi yang formalitas dan tepat waktu
sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku, sehingga Pemilu tidak hanya sebagai alat
legitimasi politik oleh elit politik (elit penguasa) tertentu, tetapi sebagai konsumsi politik rakyat
secara keseluruhan. Karena kalau hanya sebagai rakyat konsumsi politik elite penguasa, maka
Kelompok Cipayung memproduksi bahwa Pemilu hanya sebagai formalitas yang merupakan alat
legitimasi kekuasaan belaka, yang pada akhirnya hanya akan semakin menggiring rakyat pada
suatu keadaan di mana Pemilu tidak lagi dibutuhkan. Tetapi yang terpenting adalah
keseimbangan kekuasaan oleh elit penguasa.
Oleh karena itu, apabila hal ini sampai terjadi, Kelompok Cipayung memprediksi akan
membahayakan sendi kehidupan demokrasi di masa mendatang.
2. Pemilu sebagai Proses Pendidikan dan Pendewasaan Politik
Setelah mereguk masa kemerdekaan selama 42 tahun dan tiga kali Pemilu di masa Orde Baru,
bahkan akan memasuki keempat kali, sudah seharusnya rakyat semakin didewasakan dalam
memahami dan mengerti arti dari tujuan Pemilu sebagai alat demokrasi, sebab membiarkan
mengambangnya rakyat dalam hal berpolitik menyebabkan demokrasi itu lumpuh dan tidak
mempunyai arti. Jika rakyat tidak diberikan peranan dalam bidang politik bisa terjadi penurunan
kadar demokrasi juga gejolak-gejolak yang menjurus kepada konflik-konflik pada saat
menurunnya kadar demokrasi tersebut.
Untuk itu, Kelompok Cipayung menilai sudah saatnya setiap aktor politik yang tampil bukan
berorientasi pada golongannya, tetapi sebagai tokoh bangsa yang mempunyai komitmen moral
terhadap rakyat. Dengan demikian, penampilan dan peril aku kenegarawanan dan semangat
kebangsaan sudah saatnya diaktualisasikan sebagai budaya politik.
Di lain pihak, untuk menilai sampai sejauh mana rakyat mengerti dan memahami arti dan tujuan
Pemilu perlu ditetapkan suatu tolok ukur kuantitatif dengan bersumber dari data dan penilaian
kualitatif; berdasarkan tolok ukur inilah penentuan kedewasaan politik rakyat dapat dilakukan
seobyektif mungkin. Dalam pelaksanaannya Pemilu dapat merupakan konsumsi politik bagi elit
penguasa maupun masyarakat.
Untuk itu, Kelompok Cipayung mengharapkan para OPP hendaknya menjadikan Pemilu 1987
sebagai media komunikasi dalam rangka peningkatan kesadaran rakyat dalam berbangsa dan
bernegara. Agitasi yang bersifat menggelitik dan membakar emosi massa disertai janji muluk
harus dihilangkan. Karena selama ini Kelompok Cipayung melihat adanya kecenderungan
masyarakat yang menganggap bahwa, politik hanyalah permainan kotor dan tipu muslihat
belaka. Ini terlihat di dalam reaksi masyarakat terhadap daftar calon sementara yang begitu besar
terhadap OPP malah tidak ditanggapi dengan serius.
Menyangkut peranan LPU, lembaga ini diharapkan bersifat jujur dan profesional di dalam
melaksanakan tugasnya. Menyangkut lembaga infrastruktur (pers, cendikiawan, LSM, dan
Ormas) diharapkan lebih berperan memberikan informasi secara obyektif tentang pelaksanaan
Pemilu 1987 dalam upaya lebih memantapkan proses pendidikan, pendewasaan, dan penyadaran
politik rakyat.
3. Peranan dan Partisipasi Generasi Muda dalam Pemilu
Kehadiran generasi muda Pemilu 1987 unik dan menentukan karena baik sebagai pemilih dengan
jumlah cukup besar maupun sebagai kader bangsa yang sikap dan kepribadiannya secara
kualitatif akan menentukan kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar generasi muda terlibat secara langsung dalam Pemilu
1987 berdasarkan pemikiran kritis dan obyektif dengan semangat kebangsaan dan
kenegarawanan. Dengan demikian, ikatan primordial yang masih terus melekat pada sementara
generasi muda sudah saatnya harus ditinggalkan.
Keterlibatan generasi muda yang seluas-luasnya baik sebagai pemilih maupun calon yang akan
dipilih sudah saatnya mendapat perhatian yang besar dalam rangka kaderisasi dan rekruitmen
calon pemimpin nasional. Kelompok Cipayung mengharapkan agar rekruitmen yang dilakukan
hendaknya berdasarkan tolok ukur yang benar-benar obyektif dan ketat yang dilandasi pada
kualitas, profesionalitas yang tinggi, memiliki integritas, dan komitmen terhadap rakyat bukan
terhadap golongan tertentu, mempunyai dedikasi yang tinggi, jujur, ulet, dan berkepribadian.
Semuanya ini berdasarkan seleksi alam yang wajar dengan menghindarkan pola rekruitmen yang
berdasarkan ikatan kekerabatan, ikatan primordial, sikap mumpungisme, dan nepotisme. Karena
sikap picik tersebut merupakan titik rawan dalam kaderisasi kepemimpinan bangsa di bidang
politik dan bidang lainnya, yang pada gilirannya akan sangat membahayakan sendi kehidupan
demokrasi di dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa dengan seleksi yang wajar berdasarkan kualitas,
profesionalitas, serta sikap seperti yang tersebut diatas, maka bangsa dan rakyat Indonesia akan
mendapatkan pemimpin politik masa depan yang terbuka, dan tanggap terhadap gagasan
kebutuhan dasar rakyat, serta mempunyai komitmen total dan integritas pribadi serta kepribadian
yang utuh. Yakni, pemimpin politik yang selalu berorientasi kepada kepentingan bangsa dan
negara bukan golongan. Hanya dengan cara tersebutlah Kelompok Cipayung menilai bahwa
Bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin nasional yang tahan uji di tengah-tengah
persaingan yang semakin tajam, terutama dalam pergaulan internasional yang semakin
kompleks.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar para aktor politik dan seluruh jajaran yang terlihat
dalam Pemilu 1987 untuk tidak mengecewakan generasi muda, termasuk juga tidak menanamkan
persepsi dan budaya politik yang negatif. Karena hanya akan menjadi bumerang pada Pemilu
selanjutnya, yang pada gilirannya akan membawa kepada suatu trauma politik yang sulit sekali
dilupakan oleh generasi muda dalam setiap kehidupan dan perjalanan politik bangsa dan negara.
Semua ini sudah jelas tidak sesuai dengan budaya politik Pancasila.
Di sisi lain Kelompok Cipayung mengamati bahwa terdapatnya gejala tampilnya generasi muda
ke panggung politik lebih berorientasi kepada formalitas struktur, sementara sistem, dan budaya-
politik kurang mendapatkan perhatian. Dalam hal ini Kelompok Cipayung mengharapkan agar
generasi muda yang akan tampil harus mampu memadukan struktur, sistem, dan budaya politik.
4. Sikap Netral Pemerintah
Pemerintah termasuk ABRI merupakan milik seluruh rakyat dan OPP. Karena itu wajarlah bila
pemerintah dan ABRI bersikap netral dan berdiri di atas semua golongan. Dalam perjalanan tiga
Pemilu sebelumnya sikap positif tersebut telah diperhatikan, namun dalam rangka meningkatkan
pendidikan dan pendewasaan politik rakyat, sikap netral dan obyektif tersebut perlu ditingkatkan
pada Pemilu 1987. Terutama pada daerah tingkat I ke bawah (desa), yang sering terjadi tindakan
di luar kontrol.
Kelompok Cipayung menghimbau agar pemerintah dan ABRI berlaku adil dan merata, dalam
memberikan kesempatan sarana dan kesempatan berkampanye sehingga partisipasi dan
kepercayaan rakyat meningkat.
Di sisi lain dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas oleh
ketiga OPP, maka sudah saatnya kehidupan politik semakin terbuka. Tidak terjadi lagi rasa
saling mencurigai antar OPP. Untuk itu, Kelompok Cipayung mengharapkan kehadiran ABRI
dalam kekuatant sosial politik harus mulai ditinjau kembali, tanpa mengurangi rasa terima kasih
kami terhadap ABRI dalam mengawal dan mengamankan Pancasila selama ini.
Harapan tersebut berdasarkan pemikiran dalam rangka profesionalisasi selama ini, seluruh sendi
kehidupan bangsa. Kemandirian rakyat dan profesionalisasi ABRI dalam bidangnya
sebagaimana himbauan pimpinan ABRI semakin diperlukan. Tentunya tanpa mengurangi
kemanunggalan ABRI dengan rakyat, yang merupakan ciri mendasar dari lahirnya kemerdekaan
dan Bangsa Indonesia serta perkembangannya. Perangkat hukum yang jelas tentang pengaturan
sistem tersebut hendaknya mulai dipikirkan dan dirancang.
5. Kampanye
Masa kampanye merupakan bagian sangat penting dalam rangkaian Pemilu. Rakyat umumnya
khawatir menghadapi masa ini. Hal ini disebabkan kenyataan yang dialami pada masa kampanye
sebelumnya. Timbulnya konflik bahkan benturan fisik di beberapa daerah. Ironisnya, yang
terkena dampak dari keberingasan politik ini sebagian besar adalah rakyat kecil.
Kelompok Cipayung sadar bahwa, memenangkan Pemilu dengan menyakinkan massa akan
kemampuan kelompoknya merupakan keharusan juru kampanye. Tetapi menanamkan kesadaran
rakyat akan kehidupan berbangsa dan bernegara secara dewasa merupakan kewajiban yang
sebetulnya justru lebih penting. Kelompok Cipayung mengharapkan agar OPP menghayati dan
melaksanakan prinsip satu asas.
Solidaritas nasional sebagai cermin 'kesamaan ideologi' harus teraktualisasi dalam perilaku
politik nasional pada masa kampanye. Pemilu 1987 merupakan barometer dalam mengukur
perwujudan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam manifestasi kehidupan sosial politik.
Karena itu, Kelompok Cipayung mengharapkan ditampilkannya sikap-sikap jujur, yakni:
kejujuran untuk menyukseskan pemilu, kejujuran untuk menjunjung tinggi ketentuan Pemilu,
kejujuran untuk membela dan memuliakan demokrasi, serta kejujuran menghormati dan
melaksanakan disiplin politik nasional dalam Pemilu.
6. Produk Pemilu
Keberhasilan Pemilu diukur atas keterlibatan rakyat secara jujur dan obyektip. Sepak terjang
perilaku produk pemilu yang duduk di lembaga legislatif serta hasil kebijakan lembaga tersebut
merupakan cermin untuk menilai, apakah Pemilu merupakan konsumsi rakyat banyak ataukah
hanya konsumsi politik dari kelompok elite politik tertentu. Kelompok Cipayung mengharapkan,
hendaknya produk Pemilu 1987 merupakan cerminan dari hasil pilihan rakyat yang jujur dan
tulus. Anggota badan legislatif terpilih, harus mempunyai keterikatan moral yang kuat untuk
selalu memperjuangkan dan memperhatikan suara nurani rakyat.
Di samping itu, mereka harus merupakan tokok masyarakat yang mempunyai kualitas tinggi dan
integritas pribadi yang utuh serta berkarya secara profesional dalam mengemban amanat rakyat.
Kelompok Cipayung mengharapkan agar produk Pemilu mempunyai komitmen total akan
kepentingan rakyat secara keseluruhan, bukan hanya terikat atas kepentingan golongannya.
Karena hanya dengan komitmen total itulah, kebutuhan dan kepentingan rakyat akan terserap
dan terpenuhi. Sehingga rakyat mempunyai rasa percaya diri dan motivasi tinggi, untuk
meningkatkan dan mengembangkan kemampuan bangsanya.
Penutup
Demikianlah beberapa refleksi kritis Kelompok Cipayung, dalam rangka lebih menyemarakkan
kehidupan politik di Indonesia tercinta. Refleksi dan pemikiran ini berlandaskan kepada sikap
dan pemikiran konstruktif dalam upaya membina dan mengembangkan kehidupan politik yang
terus berlanjut. Refleksi dan pemikiran ini dikeluarkan Kelompok Cipayung berdasarkan rasa
tanggung jawab dan kewajiban moral sebagai warga dan negara tercinta yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Tentunya dengan harapan semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi langkah tulus
bangsa menuju masa depan yang gemilang.

Jakarta, 19 Maret 1987
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI - Pengurus Pusat GMKI - Pengurus Pusat PMKRI - Presidium GMNI -
Pengurus Besar PMII



ANTARA KEPRIHATINAN DAN INDONESIA YANG DICITA-CITAKAN:
Gugatan Kelompok Cipayung Dalam Peringatan HUT ke-17

Sejak didirikan 17 tahun lalu, 22 Januari 1972, seluruh gerak Kelompok Cipayung tidak pernah
terlepas dari hakikat keberadaannya dalam proses dinamika bermasyarakat, berbagsa dan
bernegara. Kehadiran Kelompok Cipayung adalah untuk memenuhi aspirasi dan tuntutan rakyat
tentang Indonesia yang dicita-citakan, sebagaimana ikrar Kelompok Cipayung yakni,
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Seluruh gerak Kelompok Cipayung selalu diarahkan untuk memberikan alternatif jawaban
terhadap berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan negara. Kelompok
Cipayung, sebagai bagian dari mahasiswa maupun generasi muda Indonesia menilai proses
pembangunan di bidang ideologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial-budaya dalam upaya
mencapai cita-cita bangsa, ternyata masih menghadapi berbagai masalah yang kompleks. Bahkan
makin menjauh dari cita-cita semula.
Dalam memperingati 17 tahun kelahirannya, Kelompok Cipayung bertanggung jawab untuk
menyampaikan peringatan dan gugatan sebagai berikut:
Bidang Politik
Dalam upaya pembangunan politik harus dihindarkan proses pendidikan politik yang mengarah
pada pembuataan dan sikap ketergantungan, melainkan harus diciptakan kemandirian dan
kedewasaan berpolitik. Untuk itu Kelompok Cipayung berpendapat keterlibatan pemerintah
sudah saatnya hanya sebagai pengayom dan katalisator, bukan pendikte. Pola seleksi dan
rekrutmen kader pemimpin bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai obyektif, bukan berdasarkan
ikatan emosional, seperti primordialisme, budaya restu, dan nepotisme. Sebaliknya kualitas dan
obyektivitas harus menjadi kriteria utama. Kelompok Cipayung menolak dengan tegas segala
praktek seleksi dan rekrutmen yang dapat merugikan kepentingan dan kemajuan bangsa.
Kelompok Cipayung meminta agar seluruh kekuatan politik (Parpol dan Golkar) serta organisasi
kemasyarakatan dapat mempertahankan kemandiriannya dalam memantapkan setiap upaya
kaderisasi kepemimpinan bangsa.
Wujud partisipasi politik rakyat dalam pembangunan bangsa dan negara harus didasasarkan pada
pengakuan dan penghargaan terhadap hak dan kewajiban rakyat. Oleh karena itu, Kelompok
Cipayung secara tegas menolak segala bentuk mobilisasi yang mengarah kepada pembutaan,
ketergantungan, dan partisipasi semu rakyat. Sistem politik yang monolitik dan pemusatan
kekuasaan harus segera ditinggalkan. Karena monolitik dan pemusatan kekuasaan merupakan
penyebab terjadinya pembatasan, pelumpuhan, dan bahkan pemasungan terhadap peran politik
rakyat.
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa dwifungsi ABRI bukan untuk mendominasi kehidupan
sosial-politik, melainkan hanya melaksanakan fungsi dinamisator dan katalisator dalam rangka
perwujudan kehidupan politik yang selaras dengan harapan demokrasi Pancasila. Kelompok
Cipayung memperingatkan ABRI harus makin meningkatkan fungsinya sebagai kekuatan
Hamkam dan berbaringan dengan itu pula ABRI harus mengurangi fungsinya sebagai kekuatan
sosial-politik dalam upaya mengembangkan demokrasi Pancasila.
Bahaya laten komunis harus diwaspadai dan ditantang karena bertentangan dengan ideologi
Pancasila. Upaya kewaspadaan tersebut harus termanifestasikan dalam pendidikan politik karena
hanya dengan demikian setiap warga negara Indonesia dapat menjadi insan Pancasila sejati.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menolak cara dan kecenderungan penilaiaan ideologi
seseorang semata-mata hanya dari lingkungannya. Kelompok Cipayung mengingatkan agar kita
menghargai dan menghormati setiap warganegara yang komit terhadap ideologi Pancasila
sebagai hasil dari setiap bentuk dan proses pendidikan politik bangsa.
Bidang Ekonomi
Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang mengandung asas demokrasi dan demokratisasi
ekonomi, maka pembangunan ekonomi harus benar-benar dilaksanakan secara adil dan merata.
Pada kenyataannya dewasa ini terjadi praktek-praktek pemusatan kekuasaan ekonomi pada
segelintir masyarakat dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan sistem kartel yang sangat
membahayakan kelangsungan hidup rakyat. Menurut Kelompok Cipayung praktik-praktik
tersebut harus segera diakhiri.
Untuk mengembangkan kebijakan ekonomi yang dapat menyentuh masyarakat terbawah, sudah
seharusnya kebijakan deregulasi dan debirokratisasi bukan hanya untuk menguntungkan
kelompok ekonomi kuat yang monopolistik. Tetapi diarahkan untuk memberikan kesempatan
bagi wirausaha kelompok ekonomi lemah agar dapat berkembang secara mandiri.
Kenyataan lain menunjukkan bahwa, pembangunan ekonomi dewasa ini masih terpusat pada
wilayah dan sektor tertentu. Sehingga terjadi ketimpangan dalam pengembangan wilayah.
Terpusatnya pembangunan ekonomi, khususnya pada daerah perkotaan hanya akan
menimbulklan urbanisasi dengan segala dampak negatifnya. Oleh karena itu, Kelompok
Cipayung berpendapat bahwa sudah saatnya pembangunan ekonomi semakin diarahkan ke
pedesaan dalam memenuhi tuntutan pemerataan pembangunan.
Dengan mengarahkan pembangunan ekonomi ke wilayah tertentu yang belum berkembang,
diharapkan terjadi pemanfaatan sumber daya alam dan manusia secara optimal sesuai dengan
keunggulan komparatif setiap daerah. Berbaringan dengan itu pula harus dibangun etos kerja
yang sesungguhnya. Kelompok Cipayung dengan tegas menolak praktik-praktik eksploitasi yang
berlebihan terhadap sumber daya alam dan manusia.
Pembangunan ekonomi harus dilakukan secara cermat, sehingga menghemat sumber daya alam
tanpa harus merusak lingkungan hidup. Karena perusakan sumber daya alam hanya akan
mempercepat proses pemiskinan dan penghancuran generasi mendatang. Dalam upaya
meningkatkan peran kehidupan ekonomi rakyat, sudah saatnya koperasi mendapat prioritas
utama untuk dikembangkan secara lebih berdaya guna dan profesional. Pengembangan koperasi
itu selain merupakan tuntutan konstitusi juga mengandung makna menjamin peningkatan
kesejahteraan rakyat. Kelompok Cipayung berpendapat pengabaian terhadap pembinaan koperasi
berarti merupakan pengkhianatan terhadap konstitusi.
Utang luar negeri yang dalam tahun anggaran 1989/1990 berjumlah sekitar 12 trilyun rupiah
(meningkat lebih dari 15% dibandingkan tahun sebelumnya) makin dirasakan sebagai beban
rakyat Indonesia, kendati masih tetap dibutuhkaan dalam upaya mempercepat proses
pembangunan. Ketergantungan yang berlebihan terhadap utang luar negeri dan memberatkan
pengembaliannya harus segera dihentikan. Karena itu, Kelompok Cipayung mengingatkan agar
pemanfaatan utang luar negeri dilakukan secara efektif, efisien, optimal, fungsional, dan
proposional, serta profesional sehingga tidak terjadi kebocoran. Penyimpangan dan
penyalahgunaan terhadap utang luar negeri yang merugikan rakyat menurut Kelompok Cipayung
adalah mengkhianatan terhadap bangsa dan negara, serta generasi mendatang.
Bidang Pendidikan
Kelompok Cipayung berpendapat bahwa sistem pendidikan nasional harus demokratis untuk
menjamin kelangsungan tujuan pendidikan yang berintikan ketaqwaan, kecerdasan, dan
keimanan moral terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu
maka sistem pendidikan nasional harus didukung dengan kebijakan yang konsisten, mantap, dan
sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa. Bukan kebijakan yang dengan mudah dapat diganti
apalagi tambal sulam.
Seiring dengan upaya rekayasa sistem pendidikan nasional melalui Rancangan Undang-Undang
Pendidikan Nasional, Kelompok Cipayung menuntut agar undang-undang pendidikan nasional
nantinya benar-benar merupakan aturan perundang-undangan yang dapat memantapkan sistem
pendidikan nasional. Oleh karena itu, undang-undang pendidikan nasional beserta aturan
pelaksanaannya tidak boleh memasung kemajuan dan perkembangan manusia Indonesia.
Kelompok Cipayung menilai output dari proses pendidikan tinggi saat ini makin menjauh dari
tujuan pendidikan nasional, bahkan tidak mampu memenuhi tuntutan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, Kelompok Cipayung menyerukan pendidikan tinggi harus ditata secara
menyeluruh dan terpadu melalui pola seleksi yang demokratis, pola belajar-mengajar yang
dialogis dan demokratis, serta terciptanya iklim dan lingkungan kampus yang terbuka serta
tanggap terhadap kehidupan sosial. Bersama dengan ini Kelompok Cipayung berpendapat bahwa
kemandirian dunia pendidikan tinggi adalah suatu keharusan. Oleh karena itu segala bentuk
pembatasan yang mengekang kreatifitas harus segera dihapuskan karena hal tersebut hanya akan
menghambat kemajuan bangsa. Dengan demikian, Kelompok Cipayung menuntut bentuk dan
suasana kehidupan dunia kemahasiswaan beserta lembaga-lembaganya yang demokratis harus
dihidupkan kembali.
Bidang Sosial Budaya
Bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya telah bertekad memantapkan budaya dan pandangan
hidup Pancasila. Budaya Pancasila menurut Kelompok Cipayung bertumpu pada sikap dan
perilaku yang religius, gotong-royong, setia kawan, kerja keras, dan menghargai etos kerja,
realistis, bertanggung jawab, dan menghormati hak hidup sesama.
Namun kenyataannya sewasa ini telah terjadi pergeseran nilai budaya yang sangat
memprihatinkan. Keprihatinan itu tercermin dalam sikap dan perilaku hidup masyarakat yang
lebih menghargai status sosial berdasarkan materi ketimbang prestasi, menumpulnya kepekaan
dan kesetiakawanan sosial, egois dan individualis, memiliki mental menerabas dan sikap yang
makin diarahkan kepada perilaku ilusif dan tidak realistis yang pada gilirannya dapat mematikan
etos kerja.
Dengan demikian, Kelompok Cipayung menyerukan kepada pemerintah dan seluruh rakyat
Indonesia untuk meninggalkan nilai budaya yang bertentangan dengan Pancasila karena hal itu
hanya akan merusak tatanan budaya bangsa dan menghilangkan identitas nasional. Untuk itu,
Kelompok Cipayung menuntut agar pemerintah segera menghapuskan segala upaya yang dapat
mengarahkan masyarakat kepada pembentukan sikap mental menerabas, perilaku ilusif, tidak
realistis, dan mematikan etos kerja seperti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) dan
segala bentuk perjudian lainnya. SDSB dan segala bentuk perjudian, menurut Kelompok
Cipayung bertentangan dengan nilai-nilai agama dan hanya akan mempercepat proses
pemiskinan menyeluruh pada masyarakat yang kondisinya sudah miskin, melarat, dan tertindas.
Dengan pernyataan, gugatan dan keprihatinan Kelompok Cipayung dalam menanggapi berbagai
masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan dalam usianya yang ke-17. Semoga,
Tuhan Yang Maha Kuasa melindungi seluruh rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Jakarta, 8 Januari 1989
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI Herman Widyananda, Ketua Umum, Ramli H.M. Yusuf, Sekretaris
Jenderal; Pengurus Pusat GMKI Nicolas H.B. Hasibuan, Ketua Umum, Baltasar Tarigan,
Sekretaris Umum; Pengurus Pusat PMKRI Gaudens Wodar, Ketua Presidium, Yos Rahawadan,
Sekretaris Jenderal; Presidium GMNI Kristya Kartika, Ketua Presidium, Hairul Malik A.S.,
Sekretaris Jenderal; Pengurus Besar PMII Mohammad Iqbal Assegaf, Ketua Umum, Abdul
Khaliq Ahmad, Sekretaris Jenderal.




Catatan Kritis Kelompok Cipayung Menjelang Munas Golkar V dan Tragedi Waduk
Nipah
(GMKI, GMNI, HMI, PMII, PMKRI)
GOLKAR: CERMIN KEGAGALAN POLITIK ORDE BARU ?

Saat-saat sekarang ini hampir seluruh komponen kekuatan sosial politik, baik pada tataran
infrastruktur, maupun pada tataran suprastuktur, menaruh perhatian besar terhadap Munas
Golkar yang akan diselenggarakan pada tanggal 20-25 Oktober 1995. Hal ini menunjukkan
betapa besarnya pengaruh Golkar di dalam mekanisme pembangunan politik, sekaligus
menunjukkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap Golkar, sebagai salah satu kekuatan
politik untuk dapat menyelesaikan problem-problem kemasyarakatan.
Kelompok Cipayung, sebagai eksponen pembaru bangsa berkewajiban untuk memberikan
pandangan-pandangan kritis dalam rangka menciptakan kehidupan bangsa dan masyarakat yang
lebih dinamis, demokratis, dan bertanggung jawab dalam platform demokrasi Pancasila. Hal ini
didasarkan pada beberapa pandangan:
Pertama, meningkatnya tuntutan arus demokratisasi dan keterbukaan merupakan kehendak
manusiawi yang tidak dapat dielakkan. Tuntutan-tuntutan tersebut menunjukkan adanya
peningkatan kesadaran dan apresiasi politik rakyat di dalam mengartikulasikan kepentingannya.
Dalam hal seperti inilah seharusnya Golkar mampu merespon dan mewadahi tuntutan tersebut,
sekaligus memenuhinya.
Kedua, sebagai kekuatan sosial-politik terbesar (single majority), peri laku politik Golkar
mempunyai implikasi yang besar pula di dalam mempercepat kehidupan politik yang lebih
demokratis. Karena itulah, Munas Golkar mendatang harus menjadi momentum secara
kelembagaan untuk melakukan pembaharuan politik.
Ketiga, kehidupan bangsa dan negara di masa depan akan menemui tantangan, hambatan, dan
masalah yang semakin kompleks. Dalam hal ini, kehadiran Golkar harus dapat menjadi lembaga
yang mampu menyelesaikan masalah tersebut, bukan justru menjadi beban dan masalah baru.
Mencermati keberadaan Golkar dewasa ini, Kelompok Cipayung manilai adanya kesenjangan
antara apa yang seharusnya dilakukan dengan realitas kemampuan, Golkar di dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada. Paling tidak ditemukan lima kelemahan mendasar yang
dimiliki Golkar bila dikaitakan dengan arah dan perkembangan Demokrasi Pancasila:
Pertama, Golkar yang seharusnya menjadi representasi rakyat di dalam memperjuangkan dan
memperbaiki nasib hidupnya, yang terjadi justru adanya alienasi rakyat terhadap Golkar. Dalam
kebanyakan hal, Golkar lebih mencerminkan dan mendukung kepentingan penguasa, bukan
kepentingan rakyat kecil. Dengan demikian, Golkar hanya menjadi alat justifikasi kepentingan
penguasa, bukan menjadi wahana untuk memperjuangkan rakyat kecil. Elitisme yang
berkembang subur di tubuh Golkar demikian pada ujungnya akan menjauhkan rakyat terhadap
Golkar sendiri, bahkan akan bisa antipati dan memusuhinya, karena rakyat seringkali hanya
menjadi tumbal kekuasaan. Elitisme Golkar, ternyata juga terdapat di dalam mekanisme
pengambilan keputusan dan kebijakan yang ditentukan dengan adanya hak prerogratif Dewan
Pembina. Kalau sudah demikian, Golkar itu siapa? Dan masih adakah komitmen kerakyatan
Golkar?
Kedua, ketertutupan Golkar di dalam melakukan rekruitmen kader dan pemimpin selama ini,
selain karena belum mempunyai sistem kaderisasi yang reguler, mantap, dan profesional; lebih-
lebih akan dapat memperkuat arus nepotisme. Keadaan demikian akan melahirkan kekecewaan
dan kefrustrasian kader Golkar yang berkualitas tetapi tidak mempunyai peluang untuk
meningkatkan posisi kepemimpinannya. Keterbukaan rekuritmen kepemimpinan dan mobilitas
kelas secara vertikal merupakan tuntutan riil Golkar jika Golkar tidak menghendaki hilangnya
kader yang kapabel dan berkualitas. Jika tidak nepotisme Golkar masih berkembang terus, lalu,
milik siapakah sesungguhnya Golkar itu?
Ketiga, dengan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat maupun tingkat pendidikan,
maka secata langsung berpengaruh terhadap meningkatnya tuntutan dan apresiasi rakyat terhadap
perkembangan demokrasi. Dalam keadaan demikian, realitas di dalam Golkar justru
menunjukkan adanya gejala undemocratics yang ditandai dengan adanya kecenderungan peri
laku birokratis, elitis, dan tidak antisipatif didalam menyerap perkembangan zaman, dikarenakan
terhambat pada pola dan mekanisme pengambilan keputusannya. Sikap konvensional dan
kekakuan birokrasi Golkar yang demikian tidak mencerminkan kepentingan rakyat banyak,
tetapi justru semata-mata untuk mempertahankan status quo dan kepentingan penguasa. Lalu,
demokratiskah pelaksanaan Munas Golkar mendatang? Kita tunggu.
Keempat, munculnya tuntutan yang kuat dari Kino-kino Golkar akhir-akhir ini menunjukkan
adanya kuatnya gejala sektarianisme. Hal ini sungguh bertentangan dengan arah pembangunan
politik dan pertahanan keamanan yang senantiasa menghendaki adanya persatuan dan kesatuan
bangsa. Munculnya sektarianisme tersebut, menunjukkan adanya ketidakkonsistenan pemerintah
di dalam melakukan kebijakan deideologisasi dan dealiranisasi yang diterapkan pemerintah Orde
Baru dengan mendasarkan pada ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kalau faktanya
demikian, bukankah Golkar justru 'membidani' lahirnya kekuatan disintegratif masyarakat yang
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?
Kelima, tidak adanya linearisasi pendidikan politik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru,
sebetulnya semata-mata hanya diperuntukkan menjaga stabilitas politik. Hal ini diwujudkan pada
pelaksanaan Pemilu yang hanya mengandalkan mobilisasi massa, bukan dalam upaya sosialisasi
dan pendidikan politik yang sebenarnya. Pemilu demikian, semata-mata di dalam upaya tujuan
memenangkan Golkar sebagai mesin politik penguasa; tetapi bukan di dalam rangka memperkuat
posisi rakyat (civil society) sebagai pemegang kedaulatan. Kalau sudah demikian, bukankah
Golkar 'mengambil habis' hak-hak rakyat?
Berdasarkan premis-premis tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, bukankah
keberadaan Golkar demikian merupakan indikasi kuat cermin kegagalan pembangunan politik
Orde Baru?
Jangan Jadikan Rakyat sebagai Tumbal Pembangunan
Di tengah-tengah kuatnya tuntutan masyarakat untuk mendapatkan perlakuan secara lebih
demokratis dalam kehidupannya, maka segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat akan
menimbulkan reaksi-reaksi. Reaksi tersebut dapat dalam bentuk dukungan bila dinilai positif,
sebaliknya bila negatif yang terjadi dapat berupa keluhan. Tragedi waduk Nipah, yang
merenggut 4 jiwa merupakan wujud dari reaksi negatif atas pemaksaan pelaksanaan proyek.
Tragedi tersebut terjadi karena ketidaksamaan persepsi antara masyarakat dengan aparat
pemerintah, sekaligus menunjukkan adanya kesalahan pendekatan pembangunan yang dipakai.
Selama ini pendekatan pembangunan yang dilakukan pemerintah cenderung menegasi kultur,
nilai, religi, serta suatu nurani masyarakat bawah.
Pemaksaan kehendak pemerintah untuk melakukan proyek-proyek pembangunan, dapat
menimbulkan konflik nilai, serta teralienasinya masyarakat dari manfaat pembangunan tersebut.
Pembangunan model demikian menandakan bahwa kebijakan 'pemerataan, pertumbuhan, dan
stabilitas' yang selama ini didengung-dengungkan hanya merupakan slogan pembenar aparat
pemerintah. Karena itulah sudah waktunya dilaksanakan pendekatan pembangunan yang
mendasarkan pada dimensi kemanusiaan, kerakyatan, keadilan dan kebersamaan. Dengan
demikian pelaksanaan pembangunan seharusnya senantiasa mengikutsertakan rakyat dan tokoh
masyarakat sejak dari perencanaan sampai pada tahapan pelaksanaan dan pemanfaatannya.
Hanya dengan pendekatan yang demikianlah posisi rakyat tidak menjadi obyek pembangunan
semata-mata, tetapi menjadi subyek pembangunan yang otonom. Berkenaan dengan terjadinya
waduk Nipah, serta fenomena-fenomena yang berkembang akhir-akhir ini tentang ekses-ekses
pembangunan, maka kiranya pemerintah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, selalu mengadakan pendekatan-pendekatan dialogis dan komunikatif secara intensif,
pendekatan yang demikian jangan hanya dilakukan sesudah munculnya masalah, melainkan
harus dimulai semenjak perencanaan itu dibuat.
Kedua, perlu ditekankan sikap obyektif di dalam menentukan makna dan nilai guna
pembangunan yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan kepercayaan setempat, sehingga jika terjadi
perbedaan antara pengambil kebijakan dengan masyarakat atas proyek pembangunan tersebut,
masyarakat tidak dipojokkan pada jargon-jargon anti pembangunan dan tidak Pancasilais, serta
sebutan-sebutan lainnya.
Ketiga, hendaknya posisi aparat keamanan tidak sekedar
sebagai 'pemukul' di lapangan yang menakutkan masyarakat, tetapi seharusnya sebagai 'wasit'
pembangunan yang netral dan obyektif. Hal ini sangat penting, dikarenakan selama ini jika
terjadi kasus serupa, biasanya aparat keamanan memihak kepada pemerintah, dan sebaliknya
kurang mempertimbangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat
Sebagai wujud dari kepedulian Kelompok Cipayung terhadap problem-problem kemasyarakatan,
khususnya tragedi Waduk Nipah maka Kelompok Cipayung membentuk 'Tim Pengumpulan
Fakta' guna membantu penyelesaiaan kasus tersebut. Tim Pengumpulan Fakta tersebut akan
mulai bekerja dan terjun dilapangan pada besok hari Senin, 18 oktober 1993.
Mengambil hikmah atas Tragedi Waduk Nipah tersebut, Kelompok Cipayung menghimbau
kepada pemerintah dan seluruh pelaksana pembangunan jangan jadikan rakyat sebagai tumbal
pembangunan'.

Jakarta, 15 OKtober 1993
Atas Nama Kelompok Cipayung
Ketua Umum PP GMKI Immanuel E. Bleggur; Ketua Presidium, Presidium GMNI Herry
Wardono, Ketua Umum PB HMI M. Yahya Zaini, Ketua Umum PB PMI Ali Masykur Musa,
Ketua Presidium PP PMKRI. Leonardo J. Renyut.



PERNYATAAN SIKAP KELOMPOK CIPAYUNG

Disadari bahwa Pemilu adalah bagian penting dari proses berdemokrasi di Indonesia, karena itu
Pemilu mempunyai arti dan pengaruh yang besar terhadap praktek penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Hal ini nampak dari hakikat Pemilu sebagai sarana pelaksanaan
asas kedaulatan rakyat, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Mencermati pentingnya arti Pemilu di atas, maka segenap upaya untuk mensukseskan dan
meningkatkan kualitas pelaksanaan Pemilu, menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda
pemenuhannya. Sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, tuntutan peningkatan kualitas Pemilu,
bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, atau kekuatan-kekuatan sosial politik lainnya,
melainkan kewajiban seluruh komponen masyarakat Indonesia.
Setelah mengkaji pengalaman masa lampau, mencermati situasi sosial politik akhir-akhir ini,
juga prediksi dan harapan masa depan bangsa yang lebih baik, maka Kelompok Cipayung yang
terdiri dari: PB HMI, PP PMKRI, PP GMKI, PRESIDIUM GMNI, PB PMII, menyatakan sikap
dan harapan sebagai berikut:
1. Kesadaran politik rakyat yang semakin tinggi sebagai buah dari pembangunan politik Orde
Baru (Orba), mesti dipandang sebagai suatu kemajuan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dan karenanya harus ditingkatkan dan diberi ruang yang cukup bagi
perwujudan dan penyalurannya. Pemilu dan kesadaran politik rakyat adalah dua hal yang
simbiosis mutualistik. Kesadaran politik rakyat yang tinggi, akan menghasilkan partisipasi
politik dalam Pemilu yang lebih bermakna, sehingga tercipta Pemilu yang berkualitas, yang
dapat menjamin realitas pencapaian tujuan-tujuan Pemilu. Sebaliknya Pemilu yang berkualitas,
merupakan ajang pendidikan politik yang sehat dan dinamis, sekaligus merupakan pengalaman
politik rakyat yang akan semakin menyuburkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat pasca
Pemilu. Oleh karena itu segenap apresiasi kerakyatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran
politik masyarakat dan kualitas Pemilu hendaknya tidak dipandang sebagai gerakan anti-
kemapanan, gerakan ekstrim, tindakan yang di luar sistem, atau cap-cap lainnya yang pada
hakekatnya tidak bernuansa pendidikan politik.
2. Penyelenggaraan Pemilu, harus benar-benar diorientasikan bagi peningkatan dinamika fungsi
dari seluruh organ demokrasi bangsa. Orba memang telah berhasil membangun format politik
dan format demokrasi yang kokoh. Persoalannya, tidak semua organ demokrasi menjalankan
fungsinya sebagaimanan termaktub dalam UUD 1945 dan hukum politik lainnya yang lebih
rendah. Terdapat kesan yang cukup kuat dalam masyarakat, bahwa perangkat demokrasi kita
sangat didominasi oleh lembaga eksekutif yang tidak saja berkonsekuensi pada ketergantungan
yang cukup besar terhadap lembaga eksekutif, juga menjadi kendala bagi peningkatan kualitas
berdemokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, segenap komponen masyarakat yang harus disiapkan
sedini mungkin untuk mendorong dan berpartisipasi aktif melalui Pemilu untuk mencapai
orientasi dimaksud.
3. Organisasi sosial politik (Orsospol) sebagai unsur penting dalam proses Pemilu, harus lebih
mandiri, berani, dan kreatif dalam melaksanakan fungsi-fungsi politik, khususnya yang
berkenaan dengan Pemilu. Undang-undang di bidang politik menjamin kesamaan hak ketiga
Orsospol di hadapan rakyat, hukum dan pemerintahan. Prinsip kesamaan hak ini, harus benar-
benar ditonjolkan dalam penyelenggaraan Pemilu dan benar-benar diorientasikan bagi kesatuan
bangsa, kepentingan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan, oleh karena itu Kelompok
Cipayung menyesalkan perilaku politik Orsospol yang hanya mengutamakan kepentingan politik
masing-masing. Seluruh Orsospol adalah produk Orba, dan Orba adalah produk politik seluruh
masyarakat, termasuk Orsospol. Karena itu, Orba, masyarakat, dan Orsospol adalah suatu
kesatuan sinergi yang merupakan jaminan terhadap masa depan bangsa yang lebih baik.
4. Kelompok Cipayung menyadari bahwa kehadiran 5 (lima) UU di bidang politik adalah upaya
bersama rakyat dan pemerintah untuk menjamin keberhasilan dan keberlangsungan pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Sasaran ini, hanya dapat tercapai bila kehadiran
lima UU di bidang politik mampu mendorong proses pembangunan politik di Indonesia, yang
berlandaskan pada prinsip equalitas, differensiasi politik dan penguatan dinamika sistem politik
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kelompok Cipayung mengamati, bahwa
pembangunan politik hingga saat ini belum mampu mengokohkan tiga prinsip di atas, bahkan
cenderung menggoyahkannya. Oleh karena itu, Kelompok Cipayung mengharapkan proses
Pemilu yang sedang dijalani harus benar-benar dijadikan ajang diskursus nasional yang kreatif,
sehat, dan dinamis dari seluruh komponen masyarakat bersama-sama pemerintah guna
menemukan jalan damai bagi pemantapan kehidupan politik nasional di satu sisi, dan
implikasinya bagi arah dan aspek kehidupan berbangsa lainnya.
5. Pengalaman penyelenggaraan Pemilu di Indonesia menunjukkan bahwa aspek pengawasan
Pemilu, selain masih terkesan formal dan kurang fungsional, juga penyelenggaran dan
pertanggungjawabannya masih berputar dalam lingkaran elit politik nasional. Proses pengawasan
pemilu selama ini, belum mampu mengekspresikan kontrol sosial rakyat atas pelaksanaan
kedaulatan mereka. Kedaulatan rakyat dalam mengawasi Pemilu belum terwujud secara utuh.
Oleh karena itu, Kelompok Cipayung menyerukan kepada pemerintah, komponen kenegaraan,
dan seluruh kemasyarakatan lainnya untuk mengembangkan pemikiran konstruktif bagi
penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas, termasuk menggagaskan dan mendorong proses
pelaksanaan Pemilu yang berkualitas. Untuk itu, perlu dikembangkan ruang yang lebih besar dan
kondusif untuk menampung dinamika partisipasi masyarakat dalam mengawasi Pemilu.
6. Pelaksanaan kampanye sebagai salah satu sub-proses Pemilu, harus benar-benar dipersiapkan
dan dilaksanakan secara baik. Pengalaman menujukkan bahwa tendensi menjadikan kampanye
sebagai sekoci penolong masih cukup kuat. Seharusnya kampanye harus dijadikan ajang
pendidikan politik masyarakat. Karena itu, kampanye harus mampu membentuk wawasan politik
masyarakat kuat, meningkatkan kesadaran politik, dan memantapkan moral politik rakyat
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kampanye perlu ditatakembangkan menjadi ajang
pengagregasian dan pengartikulasian kepentingan rakyat, baik dalam perspektif tuntutan maupun
dukungan. Kampanye juga harus berlangsung dalam komitmen yang kuat dari setiap Orsospol
untuk menjamin konsistensi sikap dan kebijakan politik, baik dalam perspektif program
pembangunan maupun dalam perspektif kepemimpinan nasional. Sebuah penyelenggaraan
kampanye hendaklah didasarkan kesadaran kebangsaan yang utuh, semangat kebersamaan yang
kokoh, dan kepedulian yang tulus untuk memajukan masyarakat dan Bangsa Indonesia.
7. Pencalonan dan pemilihan anggota DPR dan MPR sebagai bagian penting dari proses Pemilu,
juga perlu mendapatkan perhatian seksama. Proses pencalonan dimaksud, hendaklah benar-benar
didasarkan kepada kehendak politik rakyat. Demokrasi dengan sistem perwakilan sebagaimana
diterapkan di Indonesia, harus benar-benar menjamin prinsip kualitas dan representativeness
secara bersama-sama. Kita harus menghindari proses pencalonan yang didasarkan pada
kedekatan-kedekatan tertentu, atau kepentingan politik tertentu. Semua pihak justru dituntut
tanggung jawabnya untuk membentuk lembaga perwakilan yang berkualitas, melalui pencalonan
dan pemilihan wakil-wakil rakyat yang berkualitas.
Demikianlah pokok-pokok pernyataan sikap dan harapan Kelompok Cipayung menyangkut
Pemilu 1997 mendatang.

Jakarta, 7 Mei 1996
Kelompok Cipayung
Pengurus Besar HMI, Taufiq Hidayat, Ketua Umum; Pengurus Pusat PMKRI, Antonius Doni,
Ketua Presidium; Pengurus Pusat GMKI, Emmanuel E. Blegur, Ketua Umum; Presidium GMNI,
Ayi Vivananda, Ketua Umum; Pengurus Besar PMII, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum.



Refleksi Akhir Tahun 1997 Kelompok Cipayung
PB HMI, PP PMKRI, PP GMKI, PRESIDIUM GMNI, PB PMII

1. Sepanjang tahun 1997 kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan kita banyak
diwarnai dengan peristiwa kekerasan antarsesama warga masyarakat dan penyalahgunaan
kekuasaan seperti tindakan represif, kolusi, korupsi, dan monopoli. Ada pun alasannya bentuk-
bentuk kerusuhan sosial dan penyalahgunaan kekuasaan tersebut, telah menjauhkan rakyat dari
rasa dan semangat keadilan. Kami yakin bahwa, keadilan merupakan kata kunci untuk
merefleksikan semua peristiwa yang memprihatinkan selama tahun 1997.
2. Berbagai bentuk kerusuhan sosial yang merebak sepanjang tahun 1997 secara nyata
memanfaatkan fakta perbedaan yang ada dalam masyarakat bangsa ini, seperti sara yang sejak
dahulu diyakini sebagai kekuatan. Tentu saja pluralitas bangsa ini bukan penyebab dari
kerusuhan-kerusuhan tersebut.
3. Praktek ketidakadilan dalam proses pembangunan tersebut semakin merajalela bersamaan
dengan maraknya korupsi, kolusi, monopoli, nepotisme, dan manipulasi yang bersumber dari
semakin merosotnya moral para penyelenggara negara.
4. Di bidang politik kualitas demokrasi sebagai perwujudan demokrasi Pancasila tidak
mengalami peningkatan, bahkan cenderung menurun bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan
Pemilu secara kualitas dan kuantitas mengalami pengalami peningkatan. Hal yang sama juga
terjadi dalam kebijakan keamanan. Tindakan represif dan praktik kambing hitam dalam berbagai
bidang cenderung meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
5. Kualitas pelaksanaan hukum selama tahun 1997 pun sangat memprihatinkan. Makin hari
rakyat tidak lagi mempercayai hukum sebagai piranti untuk menjamin rakyat. Pada banyak
kejadian hukum justru digunakan untuk menindas rakyat. Dengan demikian hukum yang sedang
kita praktekkan kini adalah hukum yang bukan diperuntukkan untuk menjamin keadilan rakyat.
Fungsi hukum sebagai alat kontrol pun tidak lagi dapat berjalan dengan baik.
6. Lemahnya kontrol terhadap penyelenggaraan negara tersebut telah menimbulkan dampak yang
sangat luas dan sistematik. Di dalam masyarakat, misalnya yang berkembang adalah kritis
kepercayaan terhadap pemerintah. Adanya krisis ini antara lain, telah mendorong rakyat untuk
mencari keadilan secara sendiri-sendiri sebagaimana berwujud dalam bentuk kerusuhan-
kerusuhan sosial. Dampak lain yang tak kalah gawatnya adalah terjadinya krisis moneter yang
sampai hari ini masih mencekam.
Dari keseluruhan kenyataan seperti tersebut di atas, kami, organisasi kemahasiswaan yang
tergabung dalam Kelompok Cipayung menyatakan penyataan sikap sebagai berikut:
A. Agar merevisi pendekatan pembangunan yang selama ini diterapkan, sekaligus juga
melakukan reformulasi terhadap berbagai kebijakan yang akan dilaksanakan pada saat-saat
mendatang. Kami menegaskan bahwa, apa pun pendekatan pembangunan yang diterapkan harus
secara langsung memberikan kesempatan pada rakyat seluas-luasnya untuk berperan serta dan
secara secara transparan, serta adil memberikan prioritas kepada rakyat atau kelompok
masyarakat yang secara sosial-ekonomi lebih lemah untuk meningkatkan kesejahteraan.
B. Menurut adanya penyusutan dan pertanggungjawaban secara tuntas terhadap praktek-praktek
korupsi, kolusi, manipulasi, yang menyebabkan pemborosan pembangunan dan rusaknya moral
para penyelenggara negara. Selain itu, kami mendesak diadakannya undang-undang yang tegas
dan transparan menolak setiap bentuk manipulasi yang selama ini terbukti sangat merugikan
upaya pembangunan rakyat yang adil, makmur, dan kokoh.
C. Sebagai generasi muda yang bertanggung jawab, kami tentu tidak lari dari tanggung jawab
untuk memikul beban atas berbagai hal yang terjadi, termasuk utang negara yang kini
membumbung. Tetapi perlu kami ingatkan bahwa, kami tentu menolak menanggung beban utang
dan segala konsueksinya yang bersumber dari keserakahan dan vested interest orang perorang
atau sekelompok orang yang mengatasnamakan negara dan rakyat Indonesia seluruhnya. Karena
itu, kami mendesak agar utang negara dan utang swasta yang turut membebani perekonomian
negara untuk di atasi sesegera mungkin. Kami juga menuntut agar semua bentuk pinjaman
negara atau swasta agar dimanfaatkan dan dikontrol untuk tujuan-tujuan yang produktif dan
bermanfaatkan bagi kesejateraan rakyat.
D. Sebagai bagian dari bangsa ini, kami terlibat dan sungguh merasakan kesulitan perekonomian
nasional yang saat ini sedang terjadi. Kami menyatakan keprihatinan dan solidaritas kepada
kaum buruh, para pedagang kecil, para petani, dan lapisan masyarakat bawah yang paling
merasakan dampak dan krisis ekonomi ini. Bersama-sama dengan mereka yang paling
merasakan dampak dari krisis tersebut, kami mengecam setiap upaya dari pemilik modal yang
mencari keuntungan dan keselamatan dirinya sendiri dengan melarikan modalnya keluar
negerinya.
E. Untuk menyelamatkan perekenomian nasional dari krisis yang tengah terjadi, kami mendesak
presiden segera mengeluarkan instruksi dan/ atau kebijakan yang mengikat secara hukum agar
para pemilik modal menarik dana yang diparkir di luar negeri.
F. Menyambut tahun 1988 yang penuh dengan tantangan, kami mengajak seluruh lapisan
masyarakat untuk melupakan semua peristiwa yang menyakitkan, peristiwa yang melukai
perasaan, atau kejadian apa pun yang menjadikan kita sebagai korban. Ajakan ini tidak
dimaksudkan untuk mencampakkan begitu saja penegakan keadilan melalui undang-undang atau
peraturan yang berlaku, tetap semata-mata untuk menyatukan semangat, solidaritas, dan harapan
yang baru di atas cita-cita keadilan yang terbukti telah menyatukan kita selama setengah abad.
Tekan untuk mencapai Indonesia yang cita-citakan akan tercapai bila kita bersatu dalam
semangat dan harapan. Mari kita bersatu membangun, menuntut keadilan, dan demokrasi!

Jakarta, 24 Desember 1997
PB HMI Anas Urbaningrum, Ketua Umum; PP GMKI P. Foekh, Pjs. Ketua Umum; Presidium
GMNI Ayi Vivananda, Ketua Presidium; PB PMII Saiful Bahri Anshori, Ketua Umum; PP
PMKRI Antonius Doni, Ketua Presidium.
Diposkan oleh KELOMPOK CIPAYUNG di 23:55 Tidak ada komentar:
Posting Lama Beranda
Langganan: Entri (Atom)
Arsip Blog
10 (19)
o 01 (19)
PERNYATAAN KELOMPOK CIPAYUNG 01. Evaluasi 10 J...
REFLEKSI MANTAN AKTIFIS KELOMPOK CIPAYUNG Idama...
IDAMAN KEMAHASISWAAN (Drs Christ Siner Key Timu)
INDONESIA YANG KITA CITA-CITAKAN (Ir. Akbar Tandju...
KEBERSAMAAN KELOMPOK CIPAYUNG (Drs. Soerjadi)
PERSATUAN DAN PERJUANGAN (H.M. Abduh Paddare)
KELOMPOK CIPAYUNG, QUO VADIS? (Drs. Eko Tjokrodjoj...
KELOMPOK CIPAYUNG BARU (Eki Syachrudin)
KESEPAKATAN KELOMPOK CIPAYUNG (Ir. Abdullah Hehama...
KESADARAN DAN KEKUATAN MORAL (Drs. Ahmad Bagdja)
MENGHADAPI MASA GLOBALISASI (Drs. Tonny Waworuntu)...
PEMAHAMAN DAN PERSAHABATAN (Drs. Soedaryanto)
PENGERTIAN DAN PERSAUDARAAN (Drs. Frans Allorerung...
PEMIKIRAN MASA DEPAN (Ir. Daryatmo Mardiyanto)
KELOMPOK CIPAYUNG DAN CITA-CITA KITA (Drs Ahmad Za...
MINIATUR PANCASILA (Drs Marcus Mali)
EMBRIO KEBANGSAAN (Alex F. Litaay)
PENGALAMAN KELOMPOK CIPAYUNG Dr. Paulus Januar, dr...
KESAN KELOMPOK CIPAYUNG (Ir. M. Saleh Khalid)
TENTANG KELOMPOK CIPAYUNG
Kelompok Cipayung merupakan forum bersama 5 organisasi mahasiswa:
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII), dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
disepakati pembentukkannya di Cipayung Jawa Barat pada tanggal 22 Januari 1972
dengan ditandatanganinya Kesepakatan Cipayung.


KESEPAKATAN CIPAYUNG

Kami, generasi muda bangsa sebagai penerus dan pewaris bangsa di masa depan belajar dari
sejarah masa lampau, bahwa disorientasi selalu terjadi dalam perjalanan sejarah perjuangan
bangsa, selalu akan menghambat kemajuan bangsa. Oleh karenanya kesatuan perjuangan
generasi muda untuk membangun negeri ini adalah merupakan tuntutan bangsa secara mutlak.
Kecintaan terhadap negara dan bangsa yang tumbuh dari generasi ini, adalah manifestasi dari
kecintaan akan Indonesia di masa depan, oleh karena itu generasi ini merindukan Indonesia yang
Kita Cita-citakan sebagai berikut:

1. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang digambarkan dalam pembukaan
UUD 1945 yaitu, masyarakat adil dan makmur, spiritual dan material berdasarkan Pancasila.
2. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang kuat bersatu, Indonesia yang
cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil, Indonesia yang menjunjung tinggi
martabat manusia dan wibawa hukum, Indonesia yang sehat dan makmur, Indonesia yang bebas
dari ketakutan dan penindasan, Indonesia yang berperanan dalam pergaulan bangsa-bangsa di
dunia, Indonesia yang layak bagi tempat dan kehidupan manusia selaku makhluk Tuhan.
3. Bahwa Indonesia yang kita cita-citakan hanya mungkin dicapai dari pembangunan ke
pembangunan dengan bekerja keras, jujur, hemat, yang dilandasi semangat pioner melalui
pengorbanan.
4. Indonesia yang kita cita-citakan hanya dapat dibangun atas pikiran dan tekad bersama, yang
erat dan terarah dari generasi ke generasi bangsa Indonesia dengan tidak mengenal perbedaan
agama, suku, daerah, umur, dan golongan, karena tekad pikiran yang demikian inilah yang
mencetuskan Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945 dan Orde Baru kita sekarang ini.
5. Dalam rangka membangun masa depan dalam Indonesia yang kita cita-citakan, maka
pembentukan dan pembinaan generasi pembangunan selaku generasi penerus adalah mutlak.
Kita bercita-cita membangun masa depan yang lebih baik dari masa kini dan masa kemarin,
karena itu generasi pembangun memerlukan keberanian melihat dan menilai dasar-dasar
pembangunan masa depan dan meninggalkan pola-pola lama, ikatan-ikatan lama, yang
menghalangi usaha pembangunan masa depan yang baru. Generasi pembangun itu mempunyai
ciri-ciri khas, yaitu bebas dan terbuka, positif, kritis, dinamis, jujur, berdedikasi, dan radikal.
Ciri-ciri khas itu merupakan unsur dalam melihat masa depan, serta menilai masa kini dan masa
lampau.
6. Generasi pembangun mutlak turut menentukan isi, bentuk, corak, dan watak dari Indonesia
yang kita cita-citakan, dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk menyampaikan
pikiran-pikiran, pendapat-pendapat dan tenaga melalui kebebasan yang bertanggung jawab, yang
dijamin atas dasar hukum, dan untuk itu pembinaan generasi pembangun menjadi kewajiban
bersama.
6. Generasi pembangun ini, akan mempunyai peranan bila dalam generasi pembangun itu sendiri
ada inisiatif untuk mengubah dan mempersiapkan diri menerima dan memikul tanggung jawab
masa depan dalam mencapai Indonesia yang kita cita-citakan itu. Inisiatif itu berbentuk usaha
membuka diri dalam memahami pada artinya anugerah Tuhan untuk kita hidup di Indonesia,
mempergunakan ilmu dan teknologi dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakat,
menerima pikiran-pikiran yang beraneka ragam dari berbagai golongan generasi muda dalam
masyarakat, dan kesediaan mempersiapkan diri mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan
negara.

Disepakati dan diteguhkan bersama dengan menyanyikan 'Padamu Negeri' hari Sabtu tanggal 22
Januari 1972, jam 24.00 WIB. Atas nama peserta konsultasi Indonesia yang Kita Cita-citakan.

Akbar Tandjung, Ketua Umum PB HMI;
Soerjadi, Ketua Umum DPP GMNI;
Chris Siner Key Timu, Ketua Presidium PP PMKRI;
Binsar Sianipar, Ketua Umum PP GMKI.

(Kesepakatan Cipayung merupakan kesepakatan dibentuknya Kelompok Cipayung, dan pada
perkembangan selanjutnya PMII juga turut bergabung dalam Kelompok Cipayung)

Pengikut

WEM KAUNANG
Pemimpin adalah dia yang memiliki keberanian untuk melawan arus, mengorbankan keamanan
pribadi, dan ketentraman keluarganya, mengambil risiko serta mengorbakan hartanya demi
prinsip-prinsip yang diyakininya. Dia adalah yang termuka dari suatu perkauman manusia,
apapun nama dan jenisnya, Dia orang besar, memperhatikan sahabat-sahabatnya dengan
kepercayaan dan solidaritas, memperhatikan pengikut-pengikutnya dengan sabar dan penuh
toleransi betapapun kecilnya mereka dalam ukuran status sosial. Dia tegar bagaikan karang Pulau
Timor yang dengan bijak tak akan berkompromi, apalagi bersekutu dengan kejahatan. Dia adalah
cendekiawan yang tak gentar terhadap pendapat atau kritik, bahkan memberi peluang dan
kebebasan kepada lawan-lawannya untuk berhadapan dengannya secara adil dan jujur. Dia
menghidupkan konflik yang yang mengarah kecerdasan, selalu siap dengan pemecahan masalah
ketika konflik-konflik cenderung menjadi perbenturan yang mengancam persekutuan
antarmanusia. Dia adalah cahaya dalam kesuraman hidup lingkungannya, tonggak dalam
kesesatan perjalanan kaumnya, dan titian yang menjembatani jurang-jurang perbedaan
kepentingan di dalam kehidupanbangsanya. Dia adalah manusia biasa, sikap dan perbuatannya
boleh dineracakan; kecondongan timbangan akan senantiasa mengarah kepada kelebihan-
kelebihannya yang bermakna bagi kemulian Allah dan kemanusiaan. Oleh karena itu dia patuh
terhadap Allah yang Maha Pengayang, serta dihormati dan dikasihi sesama manusia dan alam
semesta. - Jakarta, 31 Januari 1987 - Wem Kaunang

Anda mungkin juga menyukai