Anda di halaman 1dari 18

Strategi Greenpeace dalam Menanggulangi Limbah Beracun di Tiongkok (Studi

Kasus: Greenpeace Detox Campaign on Fashion)

Andi Anna Varelly A. Makkasau


Aswin Baharuddin
Seniwati

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk transformasi strategi Detox
Campaign on Fashion Greenpeace serta dampak dari perubahan strategi
tersebut. Penelitian ini menggambarkan bagaimana strategi Greenpeace dalam
menanggulangi pencemaran lingkungan di Tiongkok akibat limbah beracun
hasil produksi barang-barang fashion. Tipe penelitian yang penulis gunakan
untuk mencapai tujuan penelitian adalah tipe penelitian kualitatif deskriptif
dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka yang
bersumber dari berbagai literatur, seperti buku-buku, jurnal, dan artikel, yang
berkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
ada perubahan dalam strategi kampanye Detox on Fashion Greenpeace. Hal ini
dibuktikan dengan terbentuknya The Detox Catwalk dengan tujuan utama
mengevaluasi dan mendorong perusahaan fashion agar mencapai tujuan Detox
pada tahun 2020. Terbentuknya The Detox Catwalk merupakan strategi
Greenpeace dalam mengurangi limbah beracun yang disebabkan oleh
perusahaan fashion yang memiliki pemasok dari Tiongkok. Selain itu,semakin
banyaknya perusahaan fashion yang mengikuti komitmen Detox Greenpeace
setiap tahunnya menjadi bukti keberhasilan Greenpeace dalam upaya
menanggulangi pencemaran air di Tiongkok.

Kata Kunci: Limbah, Tiongkok, Greenpeace Detox Campaign, Fashion,


Lingkungan

ABSTRACT
This study aims to determine the form of transformation of the Greenpeace
Detox Campaign on Fashion strategy and the impact of the change in strategy.
This research illustrates how Greenpeace's strategy in tackling environmental
pollution in China due to toxic waste produced by fashion items. The type of
research that I use to achieve the research objectives is the type of descriptive
qualitative research with the data collection techniques used are literature
review sourced from various literatures, such as books, journals, and articles,
which are related to this research.The results of this study indicate that there is a
change in Greenpeace's Detox on Fashion campaign strategy. This is evidenced
by the establishment of The Detox Catwalk with the main goal of evaluating
and encouraging fashion companies to achieve Detox goals in 2020. The
establishment of The Detox Catwalk is Greenpeace's strategy in reducing toxic
waste caused by fashion companies that have suppliers from China. In addition,
the growing number of fashion companies that follow Detox Greenpeace's
commitments each year is a testament to Greenpeace's success in tackling water
pollution in China.
Keywords: Waste, China, Greenpeace Detox Campaign, Fashion, Environment

PENDAHULUAN
Isu lingkungan mulai menarik perhatian lembaga internasional sejak awal 1970-
an. Saat itu, konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia yang berlangsung
di Stockholm secara eksplisit menghubungkan tema lingkungan hidup dan
pembangunan untuk kali pertama (Steans & Pettiford, 2009, p. 404). Dengan
kemajuan teknologi komunikasi, informasi tentang isu lingkungan menyebar dengan
luas dan cepat ke segala penjuru dunia. Di samping itu perbincangan tentang
permasalahan lingkungan bersumber dari negara yang telah maju, antara lain
Amerika Serikat. Karena citranya sebagai negara maju dan kekuasaan ekonomi dan
politik negara maju itu, perbincangan tentang permasalahan itu diikuti pula oleh
negara berkembang (Soemarwoto, 1983, p. 6). Hingga kini, isu mengenai kerusakan
lingkungan seperti pemanasan global dan emisi karbon masih sering diperbincangkan
oleh masyarakat global.
Salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar ialah Tiongkok. Tiongkok
dikenal sebagai salah satu negara super power yang memiliki pertahanan militer dan
perekonomian yang mumpuni. Negara tirai bambu ini memiliki reputasi yang baik
berkat kemajuan perkembangan danpertumbuhan ekonomi yang spektakuler sehingga
sering dikatakan dengan berbagai julukan seperti keajaiban Tiongkok (China’s
miracle), kemudian kebangkitan sang naga (rise of the dragon), dan beberapa nama
gelar lainnya yang memuji kemajuan perekonomian Tiongkok (Gusman & Waluyo,
2015, p. 1662). Salah satu bidang bisnis yang menguntungkan di Tiongkok adalah
Fashion atau biasa disebut dengan pakaian. Sejak kebijakan open door policy dan
reformasi ekonomi dimulai pada tahun 1979, industri tekstil dan pakaian telah
menjadi kekuatan pendorong dalam ekspor Tiongkok. Industri ini pun menjadi
sumber utama devisa negara dan dengan demikian memainkan peran penting dalam
perdagan gan luar negeri dan pembangunan ekonomi Tiongkok.
Perkembangan ekonomi dan industrialisasi tidak hanya membawa dampak
positif ke Tiongkok tetapi jugamembawa dampak buruk di sektor lingkungan.
Terdapat dua pabrik tekstil di Tiongkok yaitu Youngor Textile City Complex yang
beroperasi dekat dengan Sungai Yangtze dan Well Dyeing Factory Limited yang
berdiri dekat dengan Delta Pearl. Limbah hasil proses pembuatan tekstil di pabrik
tersebut menyebabkan pencemaran air di Tiongkok. Penelitian menunjukan bahwa
limbah kedua pabrik tersebut berkontribusi besar terhadap polusi air di Tiongkok.
Beberapa kandungan bahan kimia yang terkandung dalam limbah produksi tekstil
bersifat tidak hancur sehingga dapat merusak lingkungan. Fakta lain ditemukan,
bahwa banyak brand fashion ternama dunia seperti H&M, Li Ning, Nike, Adidas,
Lacoste, dan lain-lain, mempercayakan produksi tekstilnya kepada dua pabrik tekstil
di Tiongkok tersebut, Youngor dan Well Dyeing (Puti Parameswari, 2016, p. 215).
Berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta cairnya dinamika
hubungan internasional di era globalisasi ini memunculkan banyak aktor selain
negara yang juga mempunyai pengaruh besar. Organisasi internasional serta para
pelaku bisnis merupakan aktor-aktor non negara yang kini memegang peranan
signifikan di dunia internasional. Aktor non negara, seperti NGO dan gerakan
transnasional adalah dua hal yang tidak terpisah satu sama lain. Gerakan
transnasional menjadi salah satu metode bagi NGO dalam upayanya mengusung
sebuah isu. Gerakan yang bersifat lintas batas negara tersebut memungkinkan ranah
gerak yang lebih luas bagi aktor non negara, karena usaha yang dilakukan tidak
dibatasi oleh teritori tertentu (Puti Parameswari, 2016, p. 210). Hadirnya Greenpeace
sebagai International Non Governmental Organization (INGO) juga ikut mengambil
peranan penting di dunia internasional, khususnya di bidang lingkungan. Greenpeace
adalah suatu organisasi internasional yang berkampanye untuk kampanye lingkungan
secara global. Amsterdam, Belanda adalah kantor pusat dari Greenpeace, telah
mempunyai 2,8 Juta pendukung di seluruh dunia, nasional dan kantor regional di 41
negara (Greenpeace, 2008).
Di dalam mengurangi dan mengatasi pencemaran lingkungan yang dihasilkan
oleh zat kimia berbahaya, Greenpeace memiliki program kampanye Detox.
Kampanye Detox yang diusung oleh Greenpeace ini bertujuan untuk menyadarkan
publik akan bahayanya bahan kimia terhadap lingkungan serta memiliki tujuan agar
bahan kimia berbahaya tidak lagi diproduksi, digunakan dan disebarkan ke
lingkungan. Seperti program-program Greenpeace yang lainnya, program kampanye
ini ada yang bersifat global dan bersifat regional. Kampanye ini pun juga dibagi ke
beberapa jenis hasil produksi seperti detoks bahan kimia berbahaya dari hasil
produksi mainan. Peralatan outdoor, gadget, dan juga fashion.Pada kampanye ini,
Greenpeace menentang merek fashion global untuk menghilangkan semua bahan
kimia berbahaya dari rantai suplai dan produksi mereka.
Saat ini kampanye ini juga telah mendapatkan komitmen Detox global dari
berbagai toko ritel, pemasok dan juga dari 76 merek internasional ternama seperti
Nike, Benetton, H&M, Puma, Adidas, dan Burberry. Kampanye ini juga memiliki
dampak politik. Kampanye ini memicu perubahan kebijakan seperti penerapan
standar limbah pada perairan di Tiongkok yang lebih ketat atau larangan Uni Eropa
pada impor tekstil yang mengandung bahan kimia berbahaya nonylphenol ethoxylates
(NPEs) yang harus mulai berlaku pada tahun 2020. Merek fashion memiliki peran
penting dalam mengubah praktek pemasok mereka dan beberapa perusahaan pertama
yang melakukan komitmen untuk detoks (Greenpeace, 2016).

METODE PENELITIAN
Penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif deskriptif dengan menjelaskan
bagaimana strategi Greenpeace dalam menanggulangi limbah beracun di Tiongkok
dan juga apa dampak yang dihasilkan oleh strategi Greenpeace tersebut. Adapun
bagian dari tipe penelitian yang penulis gunakan adalah tipe deskriptif. Tipe
deskriptif adalah penelitian yang menggunakan penggambaran berdasarkan fakta
empiris yang disertai argumen yang mendukung. Lalu hasil uraian tersebut
dilanjutkan dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka, yaitu
cara pengumpulan data berupa data sekunder dengan menelaah berbagai literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti yang dapat berasal dari buku, jurnal,
dokumen, makalah, laporan, majalah, surat kabar dan artikel yang berhubungan
dengan masalah penelitian.

TINJAUAN PUSTAKA
Green Thought
Konsep Green Thoughts menjadi popular dan semakin banyak dibahas oleh
penstudi HI sejak berakhirnya perang dingin. Isu lingkungan yang semakin
menghawatirkan kini membutuhkan perhatian lebih oleh masing-masing individu,
pelaku industri internasional, organisasi internasional, negara dan juga kelompok-
kelompok masyarakat lainnya. Kebanyakan orang akan menjawab kemunculan Green
Thoughts dari pemberitaan berbagai prediksi pesimistik tentang masa depan, yang
paling terkenal adalah laporan Limits to Growth karya Roma Klub yang diterbitkan
tahun 1972. Limits to Growth kemunculannya sangatlah penting dalam mendorong
diskusi, perdebatan, dan penelitian, dan dalam menawarkan suatu alternative
terutama bagi pertembuhan kemanusaiaan yang berorientasi sikap. Pada beberapa
tingkatan, argumen Limit to Growth yang dikombinasikan dengan suatu penolakan
dari anthoposentrisme, dapat dilihat sebagai esensi dari Green Thoughts (Steans &
Pettiford, 2009, p. 386). Para pemikir konsep Green Thoughts percaya bahwa dunia
itu terdiri dari serangkaian ekosistem yang saling berkaitan. Hubungan manusia dan
alam harus diperbaiki mengingat krisis lingkungan hidup telah terjadi saat ini.
Singkatnya, Green Thoughts menuntut perubahan-perubahan radikal (baca:
mendasar) dalam hal organisasi sosio-politik dan penghargaan bagi spesies non-
manusia. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh para pendukung pemikiran ini, Green
Thoughts tidak perlu menjadi sebuah posisi yang tetap tetapi secara umum terlibat
dalam: (1) suatu penolakan/pembahasan ulang terhadap pandangan-pandangan
antroposentris; (2) suatu penolakan terhadap strategi-strategi pembangunan yang
terlalu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga jauh di atas kualitas kehidupan; (3)
keyakinan bahwa campur tangan manusia dalam hukum alam saat ini sedang
mengancam keberlangsungan hidup umat manusia dan spesies lainnya; (4) sebuah
desakan atas perlunya perubahan mendasar dalam struktur sosial, ekonomi, dan
teknologi dan system ideologi/nilai; (5) suatu pemisahan antara kebutuhan-kebutuhan
vital dan non-vital; (6) suatu etika yang berdasarkan ‘teori tentang nilai yang peduli
pada lingkungan’ yang menempatkan nilai intrinsik dalam kehidupan non-manusia;
dan (7) sebuah komitmen aktif terhadap penerapan perubahan yang diperlukan untuk
mencapai masa depan yang ‘hijau’, yang mencakup promosi gaya-gaya hidup
alternatif, nilai-nilai, dan suatu desentralisasi kekuasaan (Steans & Pettiford, 2009, p.
383).

Global Social Movements


Gerakan sosial global adalah salah satu kajian yang ada dalam dunia hubungan
internasional kontemporer. Gerakan Sosial (Social Movement) diperkirakan muncul
pada abad ke-18 ketika terjadi Revolusi Perancis pada tahun 1789 dimana rakyat
berbondong-bondong melawan kebijakan raja dan meruntuhkan kekuasaan otoriter.
Gerakan sosial muncul bukan saja di negara-negara yang tergolong masih
menerapkan sistem politik otoritarian, transisional, dan tingkat ekonomi bangsa yang
masih terbelakang dan berkembang, akan tetapi juga terjadi di negara-negara yang
selama ini tergolong maju dan demokratis. Peristiwa-peristiwa sosial serupa
berlangsung melintasi abad ke-19, khususnya di Amerika Serikat. Studi yang pernah
dilakukan adalah mengenai gerakan hak-hak sipil dikalangan kulit hitam di Amerika
Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an, serta kajian mengenai beberapa gerakan
lain, seperti gerakan mahasiswa tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan
hidup, gerakan perdamaian, dan gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan pada
tahun 1970-an dan 1980-an (Kusumaningrum, 2016, p. 1).
Munculnya gerakan sosial disebabkan oleh berbagai hal. Mulai dari gerakan
sosial lingkungan, pembangunan internasional, kepada mereka yang peduli tentang
pengungsi dan pencari suaka, minoritas agama, hak minoritas seksual, atau
globalisasi. Sederhananya, gerakan sosial global muncul karena fenomena fenomena
ketidakadilan dan ketimpangan yang ada di dunia internasional. Yang khas dari
aktivitas gerakan sosial global ialah aksi perlawanan dan unjuk protes terhadap
pemerintah. Unjuk protes ini kemudian bertujuan untuk melakukan dan mengajak
lebih banyak masyarakat untuk melakukan perubahan terhadap pemasalahan yang
dianggap merusak sistem sosial global. Bentuk unjuk protes ini juga dilakukan
dengan berbagai macam cara baik langsung turun ke jalan, protes lewat jejaring sosial
media, membuat karya seni dan lain sebagainya.
Beberapa gerakan sosial ini juga melawan organisasi internasional seperti Bank
Dunia, International Monetary Fund (IMF), serta World Trade Organization (WTO)
yang dimana tiga organisasi internasional tersebut dianggap semakin menguntungkan
negara-negara maju dan merugikan banyak warga di negara berkembang dengan
paham liberalisme nya. Gerakan sosial telah menarik lebih banyak perhatian pada
hak asasi manusia dan mengatasi setiap pelanggaran yang dilakukan (International
Relations, 2015).

International Non-Governmental Organizations


Awal mula terciptanya ide untuk membentuk organisasi internasional tidak
hanya muncul pada saat Perang Dunia saja. Berabad-abad sebelumnya telah muncul
ide mengenai bagaimana mencegah perang. Ide yang masih sederhana itu dibentuk
dilatar belakangan oleh keinginan bersama untuk menciptakan perdamaian dan
kerjasama antar negara. Menurut Karen Mingst organisasi internasional merupakan
agensi-agensi atau badan-badan internasional yang dibentuk oleh negara-negara dan
dikendalikan oleh anggota-anggotanya, yang berhubungan dengan kepentingan
bersama(Mingst, 1999, p. 269). Biasanya organisasi internasional dibedakan antara
organisasi yang bersifat pemerintah (governmental), bukan pemerintah (non
governmental), dan bisnis; antara yang bersifat universal, regional, dan selektif;
antara yang umum (general) dan khusus (specialized); dan antara yang berfungsi
sebagai forum atau pelayanan (Groom & Taylor, 1998).
Organisasi internasional dapat digolongkan menjadi dua kategori, yaitu:
1. Inter-Govermental Organizations (IGO) atau organisasi antar
pemerintah. Organisasi ini beranggotakan delegasi resmi
pemerintah negara-negara. Contohnya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dan Badan-badan Internasional dibawah PBB seperti ILO,
UNICEF, UNESCO.
2. International Non-Governmental Organizations (INGO) atau
Organisasi non-Pemerintah. Organisasi ini beranggotakan
kelompok-kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan,
kebudayaan, lingkungan, bantuan teknik atau bantuan ekonomi.
Contohnya adalah Palang Merah Internasional dan Greenpeace
(Perwita, Yani, & Mochamad, 2006)
Menurut artikel karya David Lewis yang berjudul Non Governmental
Organization, Definition and History, INGO dapat dikategorikan menjadi dua aspek
menurut tujuan pembentukannya. Tujuan yang pertama adalah INGO yang memiliki
tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, seperti OXFAM, MSF dan
banyak lainnya. Sedangkan tujuan yang kedua adalah INGO yang dibentuk untuk
bergerak dalam bidang advokasi kebijakan serta kampanye untuk mengejar
perubahan sosial, seperti WWF yang bergerak dalam bidang konservasi, penelitian
dan restorasi lingkungan (Firlianita, 2014).
Cakupan kerja INGO pun mencakup berbagai aspek. Seperti pedagangan,
politik, lingkungan hidup, HAM dan lain sebagainya. INGO juga memiliki hubungan
kerjasama yang baik dengan IGO yang merupakan salah satu aktor utama dalam
interaksi global. Seringkali INGO pun berdiri karena pemintaan negara untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh IGO
karena sifat fleksibilitas yang dimilikinya. Menurut Lewis dalam artikelnya, hal ini
dapat terjadi dikarenakan terdapat tiga sifat utama yang dimiliki INGO jika
dipandang dari segi suatu pemerintah atau negara. ketiga sifat tersebut di antaranya
adalah (1) INGO mampu berperan sebagai implementer, yakni mampu
menyelesuaikan beragam jenis dan bidang pekerjaan; (2) INGO mampu berperan
sebagai katalis, yakni mampu menjadi fasilitator dari bagian permasalahan sebuah
negara, terkait suatu individu atau masyarakat dan mampu menjadiagent of
changeatau penggerak menuju ke arah perubahan; (3) INGO mampu menjadi partner,
yakni ketika negara ingin menyelesaikan kasus-kasus tertentu yang bukan dalam
cakupan negara. Dilihat dari cakupan INGO yang lebih luas jika dibandingkan
dengan badan-badan pemerintah yang lainnya, dapat dibuktikan bahwa individu atau
aktor non negara pun memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam menyelesaikan
permasalahan di lingkup global. INGO juga mampu begerak lebih fleksibel dalam
beberapa permasalahan terkait isu-isu global. Menurut Betsill & Corell dalam
bukunya yang berjudul NGO Diplomacy: The Influence of Nongovernmental
Organizations in International Environmental Negotiations, semakin menjamurnya
INGO di dalam dunia internasional dan semakin signifikan peranan INGO dalam
bidangnya, maka INGO ini memiliki kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi
keputusan pemerintah dalam pembentukan suatu kebijakan domestik di dalam suatu
negara (Firlianita, 2014).

ANALISIS DAN DISKUSI


Industri Tekstil Dan Fashion Di Tiongkok Serta Dampak Pencemaran
Lingkungan
Industri tekstil dan pakaian modern Tiongkok dimulai pada 1870-an. ChenQi
Yuan membangun pabrik tekstil pertama yang disebut Ji Chang Long Reeling Mill di
Tiongkok. Hingga 1949, industri tekstil berkembang lambat pada masa itu
dikarenankan kondisi masyarakat yang tidak stabil, juga faktor terlibatnya Tiongkok
dengan banyak peperangan (Qiu L. D., 2005, p. 2).
Perkembangan sektor pakaian Tiongkok dapat dibagi menjadi tiga fase:
1. Periode pra-reformasi (1949 hingga 1979). Pada masa ini, pemerintah
fokus pada kebijakan industri yang berat. Sedangkan produktivitas
dalam industri pakaian masih terbilang rendah pada masa ini.
Meskipun pada tahun 1954 skema transformasi sosial
memperkenalkan koperasi jahit kolektif yang berskala besar, sektor
pakaian jadi masih dianggap sebagai sektor yang non-strategis
dikarenakan kurangnya investasi nasional dan mundurnya teknologi
produksi secara substansial.
2. Periode Transisi (1978 hingga 2000). Sektor ini memasuki masa
emasnya berkat refomasi ekonomi pada tahun 1978. Pada masa
ini,produksi pakaiantumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan rata-
rata 14% selama periode dari 1978 hingga 2000. Didorong oleh
kebijakan berorientasi ekspor nasional, produksi pakaian jadi
tumbuhdengan cepat, dari 6700 juta barang pada tahun 1978 hingga 10
miliar barang pada tahun 2000. Pada akhir tahun 2000, seperlima dari
pasar global direbut oleh produsen pakaian asalTiongkok.Produksi
pakaian Tiongkok pun dapat ditemukan di lebih dari 220 negara /
wilayah. Persaingan global yang semakin berkembang mendorong
munculnya merek domestik dan perumusan sistem produksi yang
lengkap, yang sebagian besar terdiri dari pengusaha swasta dan
perusahaan yang terdaftar.
3. Periode peningkatan (2000 hingga 2013). Setelah tahun 2000,
produksi lebih terfokus pada penanaman nilai tambah dan branding.
Bergabungnya Tiongkok ke WTO tidak hanya membawa perluasan
produksi, tetapi juga membawa tantangan baru terkait bagaimana
mempertahankan pembangunan sektoral jangka panjang. Dengan
demikian, alih-alih merakit dan manufaktur murni, pabrik pakaian
Tiongkok memilih untuk meningkatkan nilai pada produk mereka
melalui desain, bahan mentah dan pembangunan jaringan (Zhang,
Kong, & Ramu, 2015, p. 1).
Tiongkok mulai menaruh perhatian lebih pada sumber daya, pengembangan
industri tekstil dan pakaian dalam negeri dalam Rencana Lima Tahun pertamanya
pada tahun 1950 hingga 1955. Pemerintah pun menyediakan banyak kapas sebagai
bahan baku, percetakan serta pewarna tekstil.Selain itutersedia juga 9,8 juta alat
penggulung benang dan 310.000 alat tenun. Produksi pun meningkat secara
signifikan terbukti dengan dihasilkannya sekitar 1,3 juta ton benang katun dan 6,3
miliar meter kain katun (Qiu L. D., 2005, p. 3).
Industri tekstil Tiongkok pun telah berkomitmen untuk meningkatkan
penelitian dasar dan proyek-proyek pembangunan danmeningkatkan inovasinya
dalam bidang teknis. Akibatnya, teknologi industri tekstilTiongkok telah mengalami
pertumbuhan pesat selama dekade terakhir. Teknologi industri tekstil Tiongkok ini
tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan industri tekstil secara keseluruhan.
Perusahaan tekstil pun meningkatkan teknologi mereka. Dengan dukungan signifikan
dari pemerintah, banyak produsen Tiongkok dalam industri ini berusaha untuk
meningkatkan nilai produk mereka (Irun, 2017, p. 4).
Selain industri tekstil, industri fashion atau mode juga menjadi salah satu
bidang industri yang menguntungkan di Tiongkok. Tekstil yang diproduksi oleh
Tiongkok banyak digunakan sebagai bahan baku membuat berbagai pakaian oleh
merek pakaian terkenal. Kini pun pakaian bukan hanya sebagai benda yang dapat
menutupi tubuh, namun pakaian juga dapat menjadi benda yang dapat menunjukkan
strata seseorang. Selain itu, di zaman yang modern ini pun, hampir semua proses
produksi barang berlangsung dengan cepat. Begitu juga dengan mode pakaian.
Terdapat istilah Fast Fashion, yaitu dimana produksi pakaian meningkat cepat
sehingga dapat menghasilkan berbagai macam jenis model pakaian perminggunya.
Fast Fashion muncul akibat meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat. Fast
Fashion merupakan sebuah istilah kontemporer untuk industri pakaian yang muncul
pada tahun 1990 di pasar Eropa dan Amerika dan makin memperluas pasarnya pada
tahun 2000an hingga saat ini. Fast Fashion muncul sebagai respon dari lamanya
jangka waktu yang dibutuhkan perusahaan-perusahaanritel untuk memproduksi
pakaian mereka. Sebelum munculnya industri fast fashion, para produsen ritel
pakaian diwajibkan untuk mendapatkan pesanan dengan jumlah yang besar agar
dapat memenuhi tuntutan setiap musim pakaian dalam satu tahun penuh (Woriwoen,
2018, p. 2).
Fast Fashion adalah salah satu pasar paling menjanjikan di dunia, dengan Zara,
Uniqlo, dan H&M menjadi pemimpin dalam industri ini. Industri ini memasuki pasar
Tiongkok antara tahun 2002 dan 2007. Setelah pertumbuhan yang cepat dan sukses,
merek lain segera mengikuti jejak mereka. Keberhasilan Tiongkok dalam industri fast
fashion dapat dikaitkan dengan generasi "Mix & Match" dimana konsumen muda
Tiongkok tertarik pada rancangan desainer yang lebih murah.
Industri tekstil memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Industri ini
menggunakan banyak pembangkit listrik sehingga mengkonsumsi energi yang cukup
besar. Bagian dari total energi manufaktur yang dikonsumsi oleh industri tekstil di
negara tertentu tergantung pada struktur sektor manufaktur di negara itu. Misalnya,
industri tekstil menyumbang sekitar 5% penggunaan energi primer di bidang
manufaktur di Tiongkok, sementara pangsa ini kurang dari 2% di AS (China Energy
Group, 2015). Selain mengorbankan energi, perindustrian di Tiongkok juga
mengorbankan kualitas air mereka. Industri tekstil adalah industri yang banyak
menggunakan bahan kimia dalam aktivitasnya, banyak di antaranya berbahaya dan
persisten, dan dilaporkan sebagaisumber utama pencemaran air. 'Wet Processing' atau
proses basah dalam industri tekstil,termasuk pencelupan, pencucian, pencetakan dan
finishing kain menyebabkan pembuangan sejumlah besar air limbah yang
mengandung zat beracun (Greenpeace, 2011, p. 6).
Limbah adalah dampak negatif lainnya dari era perindustrian yang pesat di
Tiongkok. Tidak sedikit dari limbah tersebut juga mengandung zat kimia yang
bersifat berbahaya bagi lingkungan. Ketika limbah hasil aktifitas perindustrian
banyak dibuang ke sungai dan lautan maka menyebabkan pencemaran dengan
merusak kualitas air dan habitat yang hidup didalamnya. Industri tekstiladalah satu
dari 3 industri dengan limbah air terbesar di Tiongkok dan dapat menghasilkan lebih
dari 2,5 miliar ton air limbah setiap tahun (BussinesVibes, 2015).
Industri tekstil di Tiongkok juga membuang dua kali lipat jumlah air limbah
yang daripada industri batubara - Tiongkok menghasilkan hampir setengah dari batu
bara dunia. Juga, sejumlah besar dan jenis bahan kimia berbahaya digunakan oleh
fashion untuk pencelupan, finishing & proses lainnya dibuang ke saluran air. Ini
termasuk asam asetat, asam klorida, hidrogen peroksida, asam sulfat, pewarna sulfur
dan banyak lagi (China Water Risk, 2016). Hasil investigasi Greenpeace pada dua
sungai di Tiongkok yaitu Sungai Yangtze dan Delta Pearl yang dekat dengan dua
pabrik tekstil; Youngor Textile City Complex dan Well Dyeing Factory Limited,
mendapati limbah cair kedua pabrik tersebut mengandung bahan kimia berbahaya dan
persisten (sulit terurai) bioakumulatif (terakumulasi dalam jaringan makhluk hidup)
yang dapat mengganggu sistem hormon yang dalam jangka panjang dapat
mengancam kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa bahan kimia yang
ditemukan dalam sampel tersebut adalah alkyphenols (termasuk nonyphenol),
perfluorinated chemicals (PFCs) dan Perfluorooctane sulphorate (PFSs).
Sungai Yangtze merupakan pusat dari aktivitas industri negara Cina
(menyumbang 40% GDP Cina) dan juga sumber air minum untuk 20 juta orang di
Shanghai dan 15 kota lainnya. Temuan bahan kimia berbahaya yang dibuang ke
dalam Sungai Yangtze tentunya sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2008
setidaknya 15% sungai di Cina tidak memenuhi standard untuk menjadi sumber air
minum. Pada tahun 2010, investigasi Greenpeace bahkan menemukan kandungan
bahan kimia berbahaya serupa dalam sampel tubuh ikan yang biasa disantap dari
sungai Yangtze (Ashov, 2011).
Sungai di Tiongkok menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang pesat.
Saat ini, banyak sungai di negara itu yang tercemar, dibendung, diselewengkan dan
digunakan berlebihan untuk pertanian dan industri. Dalam sejumlah kasus yang
mengejutkan, sungai di Tiongkok menghilang begitu saja. Menurut Biro Statistik
Tiongkok, ada 50.000 sungai di Tiongkok pada tahun 1980 tetapi hanya terdapat
23.000 hari ini. Penggunaan berlebihan ini telah membebani sumber daya air yang
menjadi semakin parah. Meskipun Tiongkok adalah rumah bagi sekitar 20% dari
populasi dunia, tetapi hanya memiliki 7% dari total sumber daya air tawar
dunia.Terlebih lagi, sumber daya tidak terdistribusi merata di seluruh negeri. Sekitar
70% air bersih berada di provinsi-provinsi selatan, menyebabkan kekeringan di
provinsi-provinsi utara yang notabenenya menghasilkan pertanian, manufaktur dan
energi intensif air. Hasilnya adalah kelangkaan air terus meningkat. Sebelas provinsi
di Tiongkok, dengan total populasi 510 juta orang, memiliki kurang dari 1.000 meter
kubik air per orang setiap tahun. Tingkat ini telah didefinisikan oleh PBB dan Bank
Dunia sebagai tanda kemiskinan air, yang berarti sangat menghambat produksi
pangan, pembangunan ekonomi dan perlindungan sistem alam (Cornier, 2017).
Dengan segala permasalahan polusi air Tiongkok serius dan meluas membuat
para pejabat di Tiongkok memantau kualitas air permukaan di 12.226 situs di seluruh
negeri. Menurut Institute of Public and Environmental Affairs - sebuah LSM yang
berbasis di Beijing -, Tiongkok memiliki hanya 35% air berkualitas baik, 32%
lainnya cocok untuk menjadi pasokan air, 20% cocok untuk penggunaan industri atau
pertanian - tetapi tidak untuk kontak manusia - dan 13% tidak berguna. Bahkan di
Shanghai, salah satu kota terkaya, paling sadar lingkungan dan modern di Tiongkok,
52 dari 65 lokasi pemantauan memiliki air yang tidak cocok untuk kontak manusia
(Webber, 2017).
Selain itu Tiongkok juga menginventasikan GDP mereka setiap tahun untuk
menangani pencemaran lingkungan. Inventasi untuk menanggulangi pencemaran
akibat industri dan air limbah pun selalu diadakan oleh Tiongkok tiap tahunnya.
Adapun pada tabel dibawah ini, tersedia data inventasi Tiongkok dalam menangani
pencemaran lingkungan dalam kurun waktu 2012-2016.
Jumlah Inventasi Tiongkok Terhadap Penanganan Lingkungan 2012-2016
Tahun GDP per Total Total Total
Tahun (100 Investasi Investasi Investasi
juta yuan) Penanganan Penanganan Penanganan
Pencemaran Pencemaran Air
Lingkungan Industri Limbah
(100 (10000 (10000
juta yuan) yuan) yuan)
2012 540367.4 8253.5 5004573 1403448

2013 595244.4 9037.2 8496647 1248822

2014 643974.0 9575.5 9976511 1152413

2015 689052.1 8806.3 7736822 1184138

2016 744127.2 9219.8 8190041 1082395

Sumber: National Bureau of Statistics of China, 2013-2017

Menurut laporan tahunan oleh National Bureau of Statistics of China,


investasi terhadap penanganan pencemaran lingkungan dari GDP Tiongkok
pada tahun 2012 hingga 2016 semakin menurun. Pada tahun 2012 , persentasi
inventasi dari GDP ini mencapai 1,53%, 1,52% pada tahun 2013, 1,49% di
tahun 2014, 1,28% pada tahun 2015 dan hanya 1,24% di tahun 2016 (National
Bureau of Statistics of China, 2018). Menurut ketuaEnvironmental and
Natural Resources Law Research Institute, Wang Canfa, investasi pemerintah
Tiongkok dalam menangani pencemaran lingkungan tidak sebanding dengan
perkembangan ekonomi Tiongkok. Wang Canfa juga menyebutkan bahwa
pemerintah semustinyamengalokasikan setidaknya 2,5%atau 3% dari GDP
untuk perlindungan lingkungan yang lebih baik (Duggan, 2013).

Strategi Greenpeace Dalam Menanggulangi Limbah Kimia Hasil Proses


Industri Tekstil Di Tiongkok
Greenpeace adalah salah satu organisasi non-pemerintah internasional yang
fokus mengkampanyekan isu-isu lingkungan global. Greenpeace sendiri terbentuk
pada tahun 1971 dan terdiri dari 27 organisasi nasional / regional independen di lebih
dari 55 negara di Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Pasifik, serta badan koordinasi,
Greenpeace Internasional di Amsterdam, Belanda (Greenpeace, 2010). Kehadiran
Greenpeace di Republik Rakyat Tiongkok dimulai pada tahun 1980-an, yaitu untuk
menghentikan uji coba nuklir yang dilakukan Republik Rakyat Tiongkok. Pada masa
awal kehadirannya, Greenpeace tidak mendapatkan respon yang baik dari pemerintah
(Wang, 2006, p. 121).Greenpeace kemudian secara resmi hadir pada tahun 1997 di
Republik Rakyat Tiongkok dan turut aktif dalam berbagai permasalahan lingkungan
hidup yang ada. Greenpeace di Republik Rakyat Tiongkok memiliki fokus terhadap
isu: perubahan iklim dan energi, polusi udara, bahan kimia beracun, pangan dan
pertanian, hutan, dan laut (Greenpeace, 2011).
Greenpeace meluncurkan kampanye "Detox My Fashion" pada bulan Juli 2011.
Greenpeace meminta industri tekstil untuk segera mengambil tanggung jawab untuk
kontribusinya terhadap masalah limbah kimia berbahaya pada masa lampau dan
sekarang. Bahan kimia berbahaya - termasuk 11 kelompok prioritas yang
diidentifikasi oleh Greenpeace - umumnya digunakan untuk pembuatan pakaian oleh
banyak merek terkenal. Bahan kimia ini masih ditemukan di limbah cair yang
dibuang para pabrik pemasok mereka, di dalam produk dan di lingkungan, meski
regulasi dan program tanggung jawab perusahaan telah berlangsung puluhan tahun.
Ambang batas legal penggunaan dan pembuangan telah menyebabkan bahan kimia
berbahaya ini menumpuk dan berakumulasi di lingkungan selama bertahun-tahun.
Tidak ada ambang batas ‘aman’untuk bahan kimia berbahaya yang sulit terurai atau
dengan kata lain bersifat persisten(Greenpeace, 2016, p. 1).
Sebelum Greenpeace merilis kampanye ini, Greenpeace melakukan investigasi
untuk meneliti perairan Tiongkok yang rusak akibat limbah beracun. Investigasi itu
mengambil 2 studi kasus terhadap limbah hasil industri oleh pabrik Youngor Textile
Complex yang berada dekat dengan Sungai Yangtze dan juga pabrik Well Dyeing
yang berada dekat dengan kawasan Delta Sungai Mutiara Tiongkok. Kedua pabrik
tersebut juga menjadi produsen tekstil untuk banyak brand fashion ternama dunia
seperti H&M, Li Ning, Nike, Adidas, Lacoste, dan lain-lain. Investigasi ini
menghasilkan laporan yang berjudul “Dirty Laundry” dan menjadi latarbelakang
terciptanya Kampanye Detox pada Fashion oleh Greenpeace.
Di dalam berjalannya kampanye ini, Greenpeace menargetkan pemerintah,
perusahaan fashion dan juga masyarakat global. Greenpeace ingin mengubah
kebijakan pemerintah, menghapuskan penggunaan dan pembuangan zat kimia
berbahaya dalam aktivitas industri tekstil serta ingin membangun kesadaran
masyarakat global untuk menjadikan pencemaran perairan hasil limbah industri di
Tiongkok sebagai akanpermasalahan kolektif bersama. Terbentuknya grup ZDHC
(Zero Discharge of Hazardous Chemicals) pada tahun 2011 merupakan bentuk
tanggapan industri fashion secara kolektif terhadap kampanye Detox
Greenpeace(Greenpeace, 2016, p. 1). Lewat proses negosiasi antara perusahaan
fashion dan Greenpeace akhirnya disepakati agar anggota dari grup ZDHC untuk
melarang penggunaan 11 bahan kimia berbahaya yang dikenal dengan nama
Manufacturing Restricted Substances List (MRSL) dalam aktifitas industri mereka
(Nini, 2018). 11 bahan kimia yang tercatat dalam MRSL adalah: Alkylphenols
(APEOs), Phthalates, Brominated and chlorinated flame retardants (BFRs, CFRs),
Azo dyes, Organotin compounds, Per- and polyfluorinated chemicals (PFCs),
Chlorobenzenes, Chlorinated solvents, Chlorophenols, Short chain chlorinated
paraffins, dan logam berat seperti cadmium, lead, mercury and chromium (VI)
(Greenpeace, 2016, p. 1).
Pada tahun 2012, komitmen untuk tidak menggunakan bahan-bahan kimia
berbahaya berhasil dikumpulkan dari berbagai brand fashion lainnya. Brand fashion
tersebut yaitu Marks and Spencer, Zara, Esprit, Mango, dan Levi’s (Levi Strauss &
Co). Kemudian di tahun 2013, brand fashion global lainnya—yaitu Uniqlo, Benetton,
Victoria’s Secret, G-Star, Coop and Migros, dan Canepa juga turut menyatakan
dukungan terhadap advokasi polusi air di Tiongkok dengan komitmen yang sama.
Pada tahun 2014, Greenpeace melanjutkan ekspansi Detox Campaign on Fashion
dengan memprakarsai The Detox Catwalk di Eropa (Puti Parameswari, 2016, p. 216).
Walaupun Greenpeace telah mendapatkan banyak komitmen dari merek-merek
fashion dunia, Greenpeace masih tetap mengkampanyekan Detox hingga hari ini.
Namun berjalannya kampanye ini, Greenpeace tidak mencapai tujuan mereka
terhadap pemerintah Tiongkok. Tuntutan Greenpeace kepada Tiongkok untuk
menghapus penggunaan bahan kimia berbahaya dalam perinudstrian dan
menggunakan bahan alternatif yang lebih ramah lingkungan belum sama sekali
direalisasikan oleh pemerintah. Selain karena pemerintah Tiongkok lebih
memprioritaskan pembangunan daripada perlindungan lingkungan mereka, pengaruh
sistem politik di Tiongkok menyulitkan Greenpeace untuk mencapai tuntutan
mereka.
Berdasarkan studi politik, sistem politik dari Republik Rakyat Tiongkok terus
dianggap otoriter (Perinova, 2005, p. 11). Sifat otoriter dari Tiongkok menjadikan
hambatan bagi organisasi non-pemerintah yang dimana pemerintah cenderung dapat
menggantikan organisasi non-pemerintah yang mandiri dengan organisasi pemerintah
yang kegiatannya diawasi oleh negara. Di Tiongkok, terdapat regulasi dimana
organisasi non-pemerintah yang melakukan aktivitas di Tiongkok wajib untuk
melakukan registrasiatau pendaftaran kepada pemerintah dan departemen maupun
organ lain yang masihberada di bawah naungan pemerintah, untuk mengawasi
pendaftaran dan aktivitas dariorganisasi. Hal ini dilakukan oleh organisasi non
pemerintah untuk dapat terdaftar secara legal oleh Tiongkok (Trianda, 2018, p. 177).
Pemerintah Tiongkok tidak melarang keberadaan NGO, namun dengan sifat
otoriternya, Tiongkok tetap ingin mengendalikan perkembangan NGO, memantau
dan membatasi aktivitas dari NGO yang berlaku. Hal ini dilakukan sebagai usaha dari
pemerintah untuk mencegah pembentukan NGO secara besar-besaran yang kemudian
dapat menentang negara. Dengan peraturan yang berlaku, maka kegiatan INGO
sebagian tunduk pada peraturan untuk pendaftaran dan administrasi dari NGO
Tiongkok. INGO juga harus disponsori oleh pemerintah atau departemen partai di
bidang yang relevan. Menurut Lo Sze-ping, direktur kampanye Greenpeace di
Tiongkok, mereka telah berusaha mencari sponsor pemerintah selama dua tahun
sehingga dapat didaftarkan secara sah. Tetapi Greenpeace mendapatkan penolakan
dari otoritas perlindunganlingkungan hidup setempat (Edele, 2005, p. 17). Adanya
kesulitan untuk terdaftar secaralegal sebagai organisasi non-pemerintah kemudian
menyebabkan organisasi non pemerintah yang ingin beroperasi di Tiongkok termasuk
Greenpeace akhirnya mendaftar sebagai korporasi, agar aktifitas mereka di Tiongkok
dapat terus berjalan. Namun dengan terdaftarnya organisasi non pemerintah sebagai
korporasi mengharuskan mereka untuk membayar pajak yang lebih tinggi. Status dari
organisasi non-pemerintah yang melakukan registrasi sebagai korporasimembatasi
kapasitas mereka untuk membangun kepercayaan publik, penerimaan sosial,
penggalangan dana dan perekrutan personil, advokasi kebijakan, dan kampanye(Zhan
& Tang, 2011, p. 12).
Kendati demikian, demonstrasi publik Greenpeace dalam kampanye ini lebih
banyak ditujukan kepada perusahaan-perusahaan fashion yang memiliki pemasok dari
Tiongkok. Pada tahun 2016, tahun dimana ditandai sebagai edisi ketiga dari Detox
Catwalk, Greenpeace mengevaluasi merek-merek fashion yang telah berkomitmen
dalam kampanye detox kedalam tiga kategori dan merek dievaluasi berdasarkan
tujuan detox pada tahun 2020 untuk menghapuskan bahan-bahan kimia berbahaya.
Strategi Greenpeace untuk lebih fokus kepada perusahaan fashion dinilai dapat lebih
efektif dalam menuntaskan permasalahan limbah kimia akibat industri tekstil.

KESIMPULAN
Adapun hasil dari penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Dalam menanggulangi permasalahan limbah beracun akibat industri fashion
di Tiongkok, usaha Greenpeace dapat dibilang berhasil. Terbukti dari
bertambahnya perusahaan fashion maupun perusahaan tekstil yang bergabung
dalam grup ZDHC tiap tahunnya. Menurut ZDHC Annual Report 2016, telah
tercatat bahwa grup ZDHC beranggotakan 22 perusahaan fashion (The Zero
Discharge of Hazardous Chemicals, 2016, p. 1) yang awalnya pada tahun
2011, grup ini hanya beranggotakan 9 perusahaan fashion (The Zero
Discharge of Hazardous Chemicals (ZDHC) , 2012, p. 1). Grup ZDHC juga
kini berafiliasi dengan 20 perusahaan tekstil yang tidak hanya berada di
Tiongkok, tetapi di berbagai negara lainnya seperti di Amerika Serikat, India,
Inggris, Belanda, dan lain-lain. Hal ini menjadikan Greenpeace sebagai
INGO berhasil untuk menyebarkan kesadaran kepada pihak perusahaan
fashion maupun tekstil yang menjadi pemasok merek-merek fashion ternama
bahwa permasalahan pencemaran air akibat limbah beracun hasil industri
tekstil merupakan tanggung jawab bersama.
2. Walaupun tidak berhasil dalam menuntut pemerintah Tiongkok untuk
menghapus penggunaan bahan kimia berbahaya dalam sektor produksi tekstil
di negara tersebut, kampanye Detox Campain on Fashion Greenpeace ini
tetap memicu kebijakan pemerintah Tiongkok. Kampanye ini memicu
pemerintah Tiongkok untuk menerapkan standar limbah yang lebih ketat.
Selain itu, kampanye ini juga memicu perubahan kebijakan di Uni Eropa
dengan adanya pelarangan impor tekstil yang mengandung bahan kimia
berbahaya nonylphenol ethox ylates (NPEs) dan harus mulai berlaku pada
tahun 2020.
3. Adapun bentuk transformasi strategi Detox Campaign on Fashion
Greenpeace adalah dengan memperbarui kampanye mereka dengan nama The
Detox Catwalk. Greenpeace disini lebih memusatkan perhatian mereka
terhadap perusahaan fashion sehingga usaha untuk mencapai tujuan Detox
2020 menjadi lebih terarah. Mereka memperhatikan hal-hal yang diperlukan
dan mengontrol usaha perusahaan untuk mencapai detox hingga tahun 2020.
Greenpeace mengelompokkan merek-merek fashion menjadi 3 kategori dan
mengevaluasi merek tersebut satu per satu. Rincian akan prestasi dan
kekurangan merek fashion dalam menapai tujuan detox dapat diakses oleh
siapapun melalui website Greenpeace sebagai bentuk transparansi dalam The
Detox Catwalk.
4. Lewat The Detox Catwalk, Greenpeace juga menekan perusahaan fashion
untuk memberhentikan penggunaan bahan kimia berbahaya dalam produksi
pakaian mereka. Dengan melibatkan masyarakat global yang merupakan
konsumen dari perusahaan fashion memberi tekanan yang lebih kepada
perusahaan fashion. Dampaknya, perusaaan fashion yang berkomitmen dalam
kampanye ini secara tidak langsung mempengaruhi kondisi perairan di
Tiongkok dengan tidak digunakannya lagi bahan kimia berbahaya dalam
industri fashion. Hal ini dapat mengurangi volume limbah kimia yang dibuang
di perairan Tiongkok.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis mencoba
memberikan saran, yakni sebagai berikut:
1. Kepada pemerintah Tiongkok untuk tetap memperbaiki kondisi perairan
mereka yang telah banyak rusak dengan pencemaran limbah beracun.
Pemerintah Tiongkok juga perlu untuk memperketat regulasi mereka dalam
perlindungan lingkungan, khususnya perairan mereka dan untuk menindak
secara tegas bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
2. Kepada Greenpeace untuk terus meminta komitmen terhadap perusahaan
fashion yang lainnya, demi perindustrian fashion yang lebih ramah
lingkungan. Apalagi dewasa ini telah memasuki era dimana fast fashion
semakin merambah dan masyarakat semakin menggandungi fashion. Selain
itu, untuk Greenpeace agar tetap melibatkan masyarakat global dalam
kampanye ini. Masyarakat global perlu tahu akan apa yang disebabkan oleh
produksi fashion yang mereka kenakan sehari-hari kepada lingkungan.
3. Kepada masyarakat global untuk pandai-pandai memilih barang fashion yang
dikenakan, mengingat betapa banyaknya limbah kimia berbahaya bersifat
tidak ramah lingkungan yang dihasilkan dalam memproduksi barang-barang
fashion. Sebisa mungkin pilihlah merek yang ramah terhadap lingkungan dan
membeli pakaian ketika dibutuhkan saja.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Edele, A. (2005). Non-Governmental Organizations in China. Geneva: Centre for
Applied Studies in International Negotiations.
Groom, A., & Taylor, P. (1998). The Advent of International Organisation. London:
Pinter.
Kusumaningrum, H. (2016). Aplikasi Teori New Social Movement Pada Komunitas
Lingkungan Di D.I Yogyakarta Dan Bandung. Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Mingst, K. (1999). Essentials of International Relations. New York: W.W. Norton.
Perinova, M. (2005). Civil Society in Authoritarian Regime: The Analysis of China,
Burma and Vietnam . Lund: Lund University.
Perwita, B., Yani, & Mochamad, Y. (2006). Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soemarwoto, O. (1983). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Steans, J., & Pettiford, L. (2009). Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Woriwoen, F. C. (2018). Ekspansi Pasar Inditex Group Spanyol di Indonesia.Skripsi.
Makassar: Universitas Hasanuddin.
Jurnal dan Laporan:
China Water Risk. (2016). Today’s Fight For The Future of Fashion. Is there room
for fast fashion in a Beautiful China? China Water Risk.
Greenpeace. (2016). DETOX COLLABORATION – TWO TALES: OF GREATER
AND LESSER AMBITION. Greenpeace.
Greenpeace. (2011). Dirty Laundry. Amsterdam: Greenpeace International.
Greenpeace. (2016). The Detox Catwalk 2016 – Campaign And Criteria Explained.
Greenpeace.
Gusman, D., & Waluyo, T. J. (2015). PERAN GREENPEACE DALAM
PENANGANAN KERUSAKAN LINGKUNGAN (POLUSI UDARA DAN AIR) DI
CHINA. Jurnal Transnasional, Vol. 6, No. 2 .
Irun, B. (2017). Business Opportunities and Challenges in The Textile and Apparel
Market in China. EU SME Centre.
National Bureau of Statistics of China. (2018). China Statistical Yearbook 2017.
National Bureau of Statistics of China.
Puti Parameswari, M. (2016). Gerakan Transnasional dan Kebijakan : Strategi
Advokasi Greenpeace Detox Campaign on Fashion di Tiongkok. International
Relations Unida Gontor, Vol. 1, No. 2 .
Qiu, L. D. (2005). China’s Textile and Clothing Industry. Hong Kong: Hong Kong
University of Science and Technology.
Trianda, F. (2018). Aktor Non-Negara dalam Hubungan Internasional: Studi Kasus
Detox Campaign oleh Greenpeace di Republik Rakyat Tiongkok. Journal of
International Relations, Volume 4, Nomor 2 .
Wang, L. (2006). Understanding greenpeace campaigns in China: Empowerment and
Mobilization. Hong Kong: The University of Hong Kong.
The Zero Discharge of Hazardous Chemicals (ZDHC). (2012). The Zero Discharge of
Hazardous Chemicals (ZDHC) Programme Annual Report 2012. ZDHC
The Zero Discharge of Hazardous Chemicals. (2016). The Zero Discharge of
Hazardous Chemicals (ZDHC) Programme Annual Report 2016. ZDHC
Zhan, X., & Tang, Z.-Y. (2011). Political Opportunities, Resource Constraints, and
Policy Advocacy of Environmental NGOs in China. Reform and Transition in Public
Administration Theory and Practice in Greater China .
Zhang, M., Kong, X. X., & Ramu, S. C. (2015). The Transformation of the Clothing
Industry. ERIA Discussion Paper Series .
Internet:
Ashov, A. (2011, July 21). Pencemaran Sungai Yangtze dan Delta Pearl di Cina,
Apakah Sungai Citarum akan mengalami hal serupa? Retrieved September 28, 2018,
from Greenpeace Indonesia: http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/pencemaran-
sungai-yangtze-dan-delta-pearl-di-/blog/35805/
BussinesVibes. (2015, May 7). 30 Shocking Figures and Facts in Global Textile and
Apparel Industry. Retrieved September 28, 2018, from Business 2 Community:
https://www.business2community.com/fashion-beauty/30-shocking-figures-facts-
global-textile-apparel-industry-01222057#hBWEEKFemo8cCM9Q.97
China Energy Group. (2015, February 27). Textile Industry. Retrieved September 9,
2010, from https://china.lbl.gov/research-projects/textile-industry
Cornier, S. J. (2017, September 1). The state of China’s rivers. Retrieved September
28, 2018, from Chinadialogue: https://www.chinadialogue.net/blog/10033-The-state-
of-China-s-rivers/en
Duggan, J. (2013, March 4). China comes clean on water pollution . Retrieved
October 28, 2018, from Aljazeera:
https://www.aljazeera.com/indepth/features/2013/02/201322811575389871.html
Firlianita, A. (2014). Organisasi Internasional Non Pemerintah. Retrieved May 10,
2018, from http://anggresti-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116874-
Organisasi%20Internasional-
Organisasi%20Internasional%20Non%20Pemerintah.html
Greenpeace. (2011, July 16). Greenpeace exists because this fragile earth deserves a
voice. Retrieved October 6, 2018, from Greenpeace:
http://www.greenpeace.org/eastasia/about/
Greenpeace. (2010). Our offices. Retrieved October 1, 2018, from Greenpeace:
https://www.greenpeace.org/international/worldwide/
Greenpeace. (2016, July 5). Penjelasan DETOX CATWALK. Retrieved October 2,
2018, from The Detox Catwalk 2016:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/detoxcatwalk/
Greenpeace. (2008, July 29). Sejarah Greenpeace. Retrieved May 24, 2018, from
Greenpeace: http://www.greenpeace.org/seasia/id/about/sejarah-greenpeace/
International Relations. (2015, May 5). Social Movements. Retrieved May 15, 2018,
from International Relations: http://internationalrelations.org/social-movements/
Nini, J. (2018, July 16). 7 Years of Detoxing the Clothing and Textile Sectors,
Greenpeace Shows That Fashion Activism Can Work. Retrieved November 1, 2018,
from Eco Warrior Princess: https://ecowarriorprincess.net/2018/07/7-years-detoxing-
fashion-industry-greenpeace-fashion-activism-can-work/
Tingting, D. (2017, June 2). In China, the water you drink is as dangerous as the air
you breathe . Retrieved September 29, 2018, from The Guardian:
https://www.theguardian.com/global-development-professionals-
network/2017/jun/02/china-water-dangerous-pollution-greenpeace
Webber, P. M. (2017, October 9). Tackling China’s water pollution. Retrieved
September 28, 2018, from Global Water Forum:
http://www.globalwaterforum.org/2017/10/09/tackling-chinas-water-pollution/

Anda mungkin juga menyukai