nasional secara umum dilatarbelakangi oleh realitas bahwa kopi merupakan salah satu
komoditas penting Indonesia yang memiliki peranan penting antara lain sebagai penghasil
devisa negara sehingga komoditas ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk
meningkatkan produksi dan mutu kopi. (Aji, 2013)
Disamping itu, kebijakan pengembangan kopi secara umum juga Dilandasi oleh
adanya kesadaran bahwa sebagian besar perkebunan kopi di Indonesia adalah
perkebunan rakyat, dimana sekitar 96 persen dari total luas areal perkebunan kopi di
Indonesia pengusahaannya dilakukan oleh rakyat yang umumnya adalah para petani
bermodal kecil, sedangkan sisanya sekitar 4,10 persen berupa perkebunan besar yang
diusapermasalahaan utama yang dihadapi dalam pengembangan kopi antara lain adalah
karena tanaman ini 96% diusahkan oleh rakyat maka teknik budidaya yang
diterapkan umumnya belum sesuai dengan anjuran/good agriculture practice (GAP);
produktivitas tanaman rendah karena munggunakan bibit asalan; lemahnya kelembagaan
petani; value added yang diterima petani rendah karena sebagian yang diekspor dalam bentuk
biji kopi, serta terbatasnya modal. Meskipun demikian harapan pengembangan komoditas ini
cukup besar karena sistem budidaya kopi akan disesuaikan dengan GAP, upaya
meningkatkan barganing position kopi Indonesia di pasar internasional,
peningkatan daya saing kopi Indonesia melalui upaya sertifikasi kebun kopi
berkelanjutan.hakan baik oleh PTPN (Perkebunan BUMN) maupun swasta (Aji, 2013)
Kopi adalah salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan sebagai
penghasil devisa dan salah satu bahan minuman yang banyak di perdagangkan di dunia.
Indonesia berada pada posisi keempat sebagai pengekspor kopi terbesar setelah Brazil,
Vietnam, dan Colombia. (ICO:2016) Pasar kopi Eropa merupakan pasar kopi terbesar bagi
Indonesia, Eropa sendiri mengimpor kopi sebanyak 1.134.435 ton dari Indonesia dari total
keseluruhan 24.066.517 ton kopi dari bulan Januari-juni 2013. Italia adalah salah satu negara
yang terletak di Eropa dan memiliki minat yang cukup besar terhadap produk kopi(Direktorat
Kajian Strategis dan kebijakan Pertanian, 2017)
Ekspor komoditas perkebunan Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk
komoditas primer. Sebagai contoh, volume ekspor kopi Indonesia 97,7 persen masih dalam
bentuk biji kopi. Demikian pula volume ekspor kakao 80,4 persen masih dalam bentuk biji
kakao dan untuk ekspor teh 95,6 persen masih dalam bentuk teh curah. Pada minyak kelapa
sawit, kondisinya sudah lebih baik karena volume ekspor dalam bentuk olahan telah mencapai
53,7 persen dari total volume ekspor, namun sebagian besar hanya berupa minyak goreng
(olein) yang bernilai tambah rendah
Dalam rangka meningkatkan devisa negara, menjaring nilai tambah, memperkuat
struktur ekspor, mengurangi risiko fluktuasi harga komoditas primer perkebunan, dan
mencegah penurunan nilai tukar, serta antisipasi terhadap kejenuhan pasar komoditas primer
perkebunan di masa mendatang perlu pengembangan industri perkebunan ke arah hilir.
Pengembangan agroindustri perkebunan ke arah hilir secara umum memiliki beberapa
keunggulan karena efek penggandaannya (multiplier) yang relatif besar, efek distribusinya
yang relatif baik, komponen impor yang kecil, bertumpu pada sumberdaya yang dapat
diperbaharui, pemicu pertumbuhan daerah baru, dan memperkuat struktur ekspor melalui pola
diversifikasi Efek penggandaan yang besar tercermin dari tingkat keterkaitan yang kuat, baik
yang bersifat keterkaitan ke belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke depan
(forward linkage). Efek distribusi agroindustri yang baik disebabkan sekitar 60 persen nilai
tambah agroindustri adalah dalam bentuk upah Demikian pula, agroindustri hanya
mempunyai komponen impor sekitar 17 persen.Peran yang cukup penting lainnya dari
agroindustri khususnya agroindustri hilir perkebunan dalam mendukung sektor pertanian
adalah dalam upaya mengurangi fluktuasi harga produk primer pertanian dan mencegah
penurunan nilai tukar produk pertanian Fluktuasi harga yang tinggi serta penurunan nilai tukar
komoditas primer perkebunan terutama berpangkal dari inelastisnya permintaan dan
penawaran komoditas primer perkebunan. Dengan mengolah produk primer perkebunan
melalui agroindustri dan permintaan produk perkebunan menjadi lebih elastis sehingga
diharapkan mengurangi fluktuasi harga dan mencegah penurunan nilai tukar hasil
perkebunan. (Kustiari, 2005)
Output dari pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan
atas input teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan untuk
melakukan diversifikasi produk dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai tambah
produk diversifikasi tersebut serta memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
harga komoditas awalnya berorientasi ke arah hilir merupakan strategi yang harus
dilaksanakan untuk beberapa jenis komoditas perkebunan yang berpotensi untuk
dikembangkan menjadi produk hilir yang berorientasi ekspor.(Hervinaldi, 2017)
Pada tahun 2014 ekspor kopi Indonesia mengalami penurunan. Hal tersebut
dikarenakan, hanya sebagian produk kopi Indonesia yang memenuhi standar sustainability, itu
terjadi karena Italia adalah negara yang memperhatikan standar produk kopi yang berbasis
sustainability dan juga mensyaratkan traceability atau pelacakan produk kopi mulai dari
sumber awal produk hingga produk sampai pada konsumen. Selain itu, permasalahan terkait
ekspor kopi Indonesia tidak hanya dikarenakan masalah standar impor kopi yang diterapkan
Italia, tetapi juga terkait masalah internal Indonesia seperti masalah faktor kondisi, faktor
permintaan, faktor industri pendukung dan faktor strategi, struktur, dan
persaingan(Sitanggang, 2013)
Perkembangan produksi kopi dunia yang melebihi peningkatan permintaan telah
menyebabkan kelebihan pasokan dan mengakibatkan persaingan antar negara produsen
menjadi semakin ketat. Dalam periode 1999- 2004, rata-rata produksi kopi dunia mencapai
7,3 juta ton (Brasilia memproduksi 2,1 juta ton yang 24 persen di antaranya jenis robusta,
diikuti Vietnam 737 ribu ton (robusta 95%), Kolombia 650 ribu ton (robusta 2%), Indonesia
614 ribu ton (robusta 90%), dan India 286 (robusta 62%). Pangsa Indonesia di pasar kopi
dunia cenderung menurun, walaupun volume ekspornya meningkat dalam periode tahun
1986-2004