Anda di halaman 1dari 3

Buku Negara Paripurna

B. Herry Priyono

Kondisi kritis biasanya ditandai dengan titik liminal. Itu seperti momen berayun antara
pekatnya kegelapan dan cemerlangnya terang, antara kesesakan tak tertanggungkan dan
kelegaan yang didambakan. Pada momen itu, kematian dan kelahiran kembali bagaikan saudari
kembar yang memanggil-manggil dengan suara bersahutan.

Itulah perasaan saya saat membaca buku ini. Ketika pada banyak tikungan peristiwa selama
sekian tahun terakhir bau kematian menyesakkan negeri ini, buku Yudi Latif menuliskan
kemungkinan kelahiran kembali (renaissance). Renaissans adalah penciptaan ulang dengan
kembali ke asal mula: bagaimana menciptakan kembali Indonesia dengan pulang ke momen
kelahiran. Itulah pesan yang dibawa buku setebal 694 halaman ini.

Seperti ditulis dalam Pendahuluan: Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati
hancur, anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya dari luar
rumah (hal 48, 49, 50). Mengapa? Karena rumah kami gelap (hal 50). Dalam kesesakan itu,
yang dibutuhkan adalah renaissans: Mengikuti cara Soekarno, menggali kembali mutiara
terpendam, mengargumentasikan, mengontekstualisasikan dalam kehidupan semasa, dan
mengupayakan aktualisasinya dalam kehidupan masa kini dan masa depan (hal 50).

Itulah agenda kembali ke Pancasila. Meringkas buku tebal dalam ruang sesempit ini tentu usaha
semena-mena. Namun, jika didesak, dengan terbata-bata saya akan berangkat dari pertanyaan
sederhana. Mengapa cita-cita membentuk Indonesia sebagai bangsa tidak/belum juga tercapai
(intended but unrealised)? Pertanyaan besar itu punya banyak kemungkinan jawaban. Yang
pasti, setiap proyek manusiawi tidak pernah purna sebab hasrat manusia selalu berlipat ganda.

Ideologis

Buku ini rupanya menjawab begini: itu karena kita mengabaikan landasan ideologis yang
melahirkan terbentuknya Indonesia, yaitu Pancasila. Mengapa Pancasila kunci? Dan mengapa
pengabaian itu fatal? Sebab, Pancasila bukan hanya sedimentasi nilai-nilai kebaikan hidup
bersama masa lalu kita, melainkan juga panduan bagaimana Indonesia melintasi segala cuaca
ke depan. Karena membentuk negara-bangsa adalah jerih payah menciptakan sebuah kita,
para pendiri Indonesia mengerahkan seluruh keluhuran dan kebijaksanaan mereka dengan
merumuskan kita sebagai tata kehidupan bersama yang dibentuk dan disatukan oleh lima
sila.

Itulah mengapa ketika mencari-cari landasan pembentuk dan pengikat lain di luar lima sila
(entah landasan agama, ekonomi, atau lainnya), Indonesia menjadi berantakan. Indonesia yang
berantakan memang kondisi yang lebih dialami ketimbang dibuktikan. Namun, itu sudah cukup
menggerakkan penulis mengerahkan daya untuk menuangkan buku bersifat sugestif ini
sebagai panduan solusi. Rute yang ditempuh berisi tiga lapis. Pertama, penulis masuk dengan
menggali sejarah. Lapis kedua, yang ditemukan dalam penggalian itu lalu diangkat untuk
dipertanggungjawabkan pada daya nalar. Lapis ketiga, akhirnya tiap sila dijadikan cermin
untuk menakar kondisi berantakan dewasa ini. Itulah mengapa buku ini punya subjudul
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.
Becermin pada lima sila, dapat dikatakan hampir semua sisi kehidupan bersama dan bernegara
dewasa ini ditandai nilai merah. Bukan hanya kerukunan beragama yang diremuk kaum
fanatik, atau keadilan yang dibusukkan oleh uang, tetapi demokrasi juga merosot jadi
pemerintahan calo, koruptor, dan massa beringas.

Bayang-bayang

Dalam bayang-bayang itu, saya membaca dengan takjub bagaimana para pendiri Indonesia
berdebat merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Perdebatan terjadi sengit, namun
dipandu bukan oleh kepentingan-kepentingan sempit, tetapi oleh pencarian kebaikan bersama
(common good). Sebagai bagian telaah historis, perdebatan sila-sila dalam perumusan
Pancasila dan Konstitusi pada semua bab utama (Bab 2-6) merupakan bagian paling kuat dan
indah dari buku ini. Setiap pembelajaran Pancasila perlu membaca cermat bagian ini.

Pada bagian itu pula tersimpan rahasia Pancasila sebagai ideologi terbuka. Ia terbuka karena
disimpulkan melalui bahasa nalar yang menempuh diskusi dan perdebatan publik. Baik
peneguhan maupun kritik dilakukan secara publik melalui argumentasi yang bersifat publik
pula. Dalam nalar publik, mayoritas tidaklah identik dengan yang terbaik (hal 429). Ketololan
publik bahkan sering muncul dari suara mayoritas. Para pendiri Indonesia itu begitu
menakjubkan lantaran mereka mengerti persis negara bangsa yang demokratis tidak mungkin
didasarkan pada perintah Tuhan. Sebab, pembenaran dengan memakai perintah Tuhan
hanyalah cara menutup kemungkinan perdebatan melalui penalaran dan argumentasi yang
bersifat publik.

Mungkin itulah mengapa saya melihat urutan Pancasila dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945
jauh lebih bertenaga daripada urutan resmi sekarang. Sila pertama adalah Kebangsaan
Indonesia: Kita hendak mendirikan suatu negara; dasar pertama yang baik dijadikan dasar
buat Negara Indonesia ialah dasar kebangsaan (hal 15). Dalam pidato itu, Ketuhanan yang
Berkebudayaan menempati urutan kelima. Bung Karno menyebut susunan itu bukan urutan
logis, tapi hanya sekuensial. Namun, dengan banyaknya tafsiran serampangan dewasa ini
bahwa Ketuhanan adalah dasar negara Indonesiasusunan Pancasila dalam pidato 1 Juni 1945
itu menampilkan keunggulannya. Bukan karena sila Ketuhanan kurang penting, tapi karena
proyek membentuk Indonesia adalah agenda yang mesti dapat dipertanggungjawabkan dalam
kategori kausalitas manusiawi. Pokok ini sentral sebab kita manusia (warga negara) sendiri
yang mesti bertanggung jawab atas berhasil-tidaknya membentuk Indonesia. Itulah mengapa
perlu didasarkan pada tata bahasa bersama khas manusia, yaitu nalar publik. Dengan kata
lain, Tuhan tidak dapat diserahi tanggung jawab atas sukses-gagalnya membentuk Indonesia
sebagai bangsa.

Buku ini masih menyimpan banyak mutiara yang tak mungkin disebut satu per satu di sini.
Salah satunya, Pancasila adalah nama Indonesia bagi Demokrasi-Sosial (Social Democracy).
Dalam buku berbahasa Indonesia, ada baiknya kutipan-kutipan panjang berbahasa Inggris
diterjemahkan (misal hal 458). Juga banyak literatur rujukan tidak tercantum di daftar pustaka
(misal hal 261, 361, 503, 552, 558). Beberapa kesalahan tipografis, yang saya temukan
sekurangnya pada 22 titik, tentu sulit dicegah dalam buku setebal ini. Selebihnya, buku ini
layak menjadi bacaan wajib pelajar SMA, mahasiswa/i, pejabat pemerintah, pendukung
maupun pengkritik Pancasila, dan segenap khalayak. Para peneliti Pancasila juga akan
menemukan banyak ilham dan persoalan baru yang ditinggalkan buku ini. Bonus liber optimus
magister-buku bermutu adalah guru terbaik.
Di pucuk waktu antara kondisi berantakan dan kelahiran kembali Indonesia, buku ini hadir
sebagai olokan dan tantangan. Kerdilnya komitmen dan wawasan telah membuat kita bagai api
yang padam di hadapan nyala keluhuran para pendiri Republik. Dan kehendak kita untuk
kembali menyala mesti dimulai dengan pulang ke asal-mula. Pada mulanya adalah Pancasila.

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai