Anda di halaman 1dari 6

Negara di Indonesia

Dalam beberapa bulan terakhir, timbul perdebatan tentang bentuk negara di Indonesia. Di satu
pihak, ada yang berpendapat bahwa bentuk negara kesatuan sudah tidak lagi relevan dengan
kondisi masyarakat sekarang. Alasannya, karena kekuasaan yang sentralistik di masa Orde
Baru cenderung mempertajam kesenjangan dan ketegangan antara pusat dan daerah. Berulang
kali muncul kritik bahwa negara kesatuan, dalam praktiknya berarti pemaksaan kebijakan dari
atas, yang tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan kepentingan daerah. Diskusi yang
muncul kemudian makin berkembang, terlebih ketika pemerintah mengumumkan dua opsi
bagi rakyat Timor Loro Sae: menerima otonomi luas atau melepaskan diri dari Republik
Indonesia. Di Irian Jaya dan Aceh muncul gejolak serupa yang bertolak dari ketidakpuasan
terhadap dan pengalaman buruk semasa Orde Baru, yang bercampur dengan gagasan
kemerdekaan yang telah mengendap di benak sebagian rakyat sejak 1960-an dan 1970-an.

Di pihak lain, muncul reaksi keras terhadap gagasan kemerdekaan atau pemisahan diri dari
Republik Indonesia. Gagasan itu dengan sendirinya berarti perubahan bentuk dan batas negara.
Bagi sebagian pejabat pemerintah dan elit politik, bentuk negara kesatuan adalah hasil final
proklamasi 17 Agustus 1945 yang dianggap sakral dan tidak dapat diganggu-gugat lagi, seperti
halnya Pancasila dan UUD 1945. Dalam kasus Timor Loro Sae misalnya, para pejabat dan elit
politik itu bahkan menolak langkah maju Habibie dan kembali menekankan bahwa wilayah
itu adalah bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan setiap usaha untuk
melepaskan wilayah itu adalah pengkhianatan terhadap cita-cita Proklamasi. Di masa Orde
Baru, konsep negara kesatuan adalah bagian dari doktrin Orde Baru yang lebih luas tentang
alasan bagi orang Indonesia untuk hidup sebagai sebuah bangsa. Para pejabat berulangkali
menegaskan bahwa ancaman terhadap negara kesatuan dengan sendirinya merupakan ancaman
terhadap bangsa. Karena itu setiap unsur di dalam bangsa harus bekerja keras untuk
mempertahankan bentuk negara tersebut.

Jika diperhatikan dengan seksama, perdebatan di atas bertolak dan berhenti pada masalah
bentuk negara yang dalam hal ini terkait dengan nilai-nilai historis dan moral. Beberapa hal
yang sesungguhnya substansial, seperti asas, fungsi dan konsep negara itu sendiri, tampaknya
justru diabaikan atau terlewatkan. Tulisan berikut ini tidak akan masuk pada salah satu posisi,
tapi mencoba menguraikan beberapa pengertian dasar untuk mengisi berbagai kekosongan di
atas. Negara dalam hal ini akan dilihat sebagai produk perjalanan sejarah, bukan semata-mata
sebagai hasil pikiran cemerlang dari sebagian elit politik atau sesuatu yang muncul begitu saja.
Lebih lanjut akan disoroti bagaimana bangunan negara muncul di Nusantara, kemudian
Indonesia, sebagai hasil pergulatan di antara berbagai kekuatan sosial dalam masyarakat.

Beberapa Pengertian Dasar

Cukup banyak orang yang menganggap negara dan bangsa itu sebagai sesuatu yang identik.
Misalnya ketika seseorang mengatakan Saya orang Indonesia, maka biasanya yang dimaksud
adalah berkebangsaan Indonesia sekaligus warga negara Indonesia. Padahal ada perbedaan
mendasar di antara keduanya. Seseorang bisa saja merasa sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, tapi memiliki kewarganegaraan berbeda. Sebaliknya seorang yang datang dari
Eropa bisa saja menjadi warga negara Indonesia, dan juga merasa dirinya bagian dari bangsa
Indonesia. Kewarganegaraan seseorang bisa ditentukan melalui paspor atau surat-surat
resminya, sedangkan kebangsaan tidak dapat diukur melalui perangkat hukum. Negara bisa
membatasi kewarganegaraan seseorang, tapi tidak dapat membendung rasa nasionalismenya.
Seorang yang hidup dalam pengasingan karena alasan politik misalnya, bisa saja dirampas
paspornya (dan kehilangan kewarganegaraan), tapi negara dengan kekuatan apapun tidak akan
dapat membatasi apalagi merampas rasa kebangsaannya.

Perbedaan ini juga bisa kita lihat dalam konsep kepala negara dan pemimpin bangsa. Seorang
kepala negara tidak dengan sendirinya menjadi pemimpin bangsa, begitupun sebaliknya.
Jenderal Soeharto, misalnya, selama 32 tahun menjadi kepala negara sesuai prosedur yang (ia
buat) berlaku. Tapi orang bisa mempertanyakan, apalagi sekarang, apakah selama masa
jabatannya sebagai kepala negara, ia juga menjadi pemimpin bangsa. Bandingkan misalnya
dengan Hatta, Sjahrir atau Amir Sjarifuddin, yang kerap disebut sebagai pemimpin bangsa,
tanpa sekalipun menjadi kepala negara.

Di sini kita melihat perbedaan yang jelas antara negara dan bangsa. Negara diartikan sebagai
kumpulan institusi yang menguasai dan memerintah (govern) sebuah wilayah dengan batas-
batas tertentu. Negara menciptakan hukum, menarik pajak, mempekerjakan pegawai,
menetapkan mata uang, menjalankan pelayanan pos, membentuk polisi dan biasanya juga
tentara. Negaralah yang mengadakan perjanjian atau kesepakatan dengan negara lain,
mengumumkan perang, menjebloskan orang ke dalam penjara, dan mengatur kehidupan
masyarakat yang hidup di atas wilayah kekuasaannya. Bangsa sementara itu adalah kumpulan
orang yang mengklaim adanya ikatan seperti kebudayaan, bahasa atau kesamaan sejarah.
Klaim itu pada dasarnya merupakan sebuah pernyataan politik, dan seperti akan kita lihat, tidak
banyak hubungannya dengan ciri-ciri fisik atau keturunan, sekalipun sering dipahami
demikian.

Di dunia ini ada negara-negara yang tumbuh dari klaim sebuah bangsa, seperti misalnya Mesir,
Prancis, Belanda, Jepang, atau Iran. Ada juga bangsa yang tidak memiliki negara dan sedang
berjuang untuk membentuknya, seperti bangsa Irlandia Utara, Chechnya, Palestina dan Timor
Leste. Sebaliknya ada bangsa yang tidak merasa perlu membentuk sebuah negara sendiri dan
merasa cukup dengan otonomi di bawah negara tertentu, seperti bangsa Sioux yang berada di
bawah negara Amerika Serikat, bangsa Skot di Britania Raya, dan Catalan di Spanyol.
Sekalipun ada batas-batas yang jelas, hak dan hukum yang berbeda, serta kebudayaan
tersendiri, mereka tidak mengklaim sebuah negara yang terpisah. Ada juga bangsa yang hidup
tersebar di berbagai negara, seperti bangsa Arab yang hidup di lebih dari 10 negara saat ini,
atau bangsa Kurdi yang hidup di setidaknya empat negara, yaitu Turki, Irak, Iran dan Suriah.

Tumbuhnya Negara dan Bangsa

Banyak orang beranggapan bahwa pembagian dunia ke dalam beberapa negara merupakan
sesuatu yang mapan dan tidak dapat berubah-ubah. Tapi dalam sejarah, justru terlihat bahwa
batas-batas negara terus berubah dan bahkan ada negara yang kemudian bubar karena perang
atau membubarkan diri karena berbagai desakan. Perubahan batas misalnya terjadi saat Rusia
menjual Alaska kepada Amerika Serikat. Di Amerika Latin sampai beberapa tahun belakangan
masih ada perselisihan di antara berbagai negara untuk menetapkan batas-batas mereka, seperti
perang antara Peru dan Ekuador pada 1995, atau antara Argentina dan Chili yang
memperebutkan tanah tak berpenghuni di bagian selatan benua itu. Di dunia dalam sepuluh
tahun terakhir, tidak sedikit negara besar yang menghilang seperti Cekoslovakia, Yugoslavia,
Jerman Timur, Yaman Utara dan Selatan, dan Uni Soviet.
Beberapa negara yang kita kenal di dunia sekarang ini adalah produk sejarah abad ke-20. Di
Afrika dan Asia, hampir semua negara merdeka berdiri sebagai hasil perjuangan menentang
kolonialisme dan proses dekolonisasi sejak Perang Dunia II. Dalam 20 tahun terakhir, terjadi
penambahan jumlah dengan munculnya negara-negara kecil (micro-states) di beberapa belahan
dunia, seperti Andorra (berpenduduk 64.000 jiwa), San Marino (24.000), Monaco (34.000),
dan Lichtenstein (31.000). Negara terkecil di dunia saat ini adalah Tahta Suci Vatikan, baik
dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduknya yang hanya 774 orang.

Sampai saat ini tidak ada kepastian mengenai berapa sesungguhnya jumlah negara di dunia.
Keanggotaan di PBB sering dianggap sebagai ukuran resmi. Tapi seperti diketahui lembaga ini
masih menyimpan sejumlah agenda sengketa, termasuk sengketa Portugal-Indonesia mengenai
Timor Leste. Republik Rakyat Tiongkok, misalnya, selama 20 tahun tidak dianggap sebagai
negara oleh PBB, sementara Taiwan menikmati pengakuan sebagai satu-satunya Cina.
Sekarang ini keadaannya terbalik. RRT menikmati posisi sebagai anggota PBB dan satu-
satunya Cina, sementara Taiwan masih berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan.
Dalam sebuah artikel di Le Monde Diplomatique edisi bulan Juli 1996, disimpulkan bahwa
jumlah negara di dunia saat ini berkisar antara 168 sampai 254. Dalam artikel itu dikatakan ada
168 mata uang yang berbeda di dunia, 185 negara yang mengeluarkan perangko sendiri, dan
239 negara yang terdaftar pada International Standards Organization. Pemerintah Jerman
memiliki korps diplomatik untuk 281 negara, tapi 65 di antaranya digolongkan sebagai negara
yang dikuasai negara lain.

Kemunculan negara di dunia juga berbeda-beda dalam perjalanan sejarah. Di Eropa, institusi-
institusi yang sekarang dikenal sebagai bagian dari negara modern, seperti pengadilan, lembaga
pemungut pajak dan militer yang dikendalikan oleh pemerintahan tertentu, muncul pada abad
ke-17 dan ke-18 dalam bentuk negara absolut. Bermula dari fungsi yang sangat terbatas
(terutama fungsi pengadilan untuk menyelesaikan perselisihan di antara warga), institusi-
institusi negara tumbuh semakin kompleks, menjadi jaringan birokrasi yang luas. Seiring
dengan tumbuhnya jaringan institusi ini, klaim terhadap wilayah juga ditegakkan dan untuk itu
dijaga dengan kekuatan bersenjata. Kedudukan birokrasi ini boleh dibilang semakin mantap
seiring dengan tumbuhnya kapitalisme yang memerlukan kepastian dalam bidang hukum,
terutama untuk menjaga persaingan di antara mereka dan ancaman dari bawah.

Sementara itu bangsa muncul dari kesamaan pengalaman sejarah, dan tidak melalui penetapan
yang sifatnya memaksa (hukum). Di beberapa wilayah, kemunculan bangsa identik dengan
etnik tertentu. Tapi di wilayah lainseperti Indonesiaada berbagai etnik yang mengklaim
dirinya sebagai sebuah bangsa. Jika masyarakat adalah konsep yang netral (menggambarkan
kumpulan manusia di wilayah tertentu), maka konsep bangsa selalu memiliki kandungan
historis, politik, dan sentimen lainnya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa bangsa lebih
merupakan konsep untuk menggambarkan komunitas tertentu.

Berbeda dengan negara yang memiliki kepastian hukum dan batas-batas yang jelas, maka
makna bangsa sebagai sebuah konsep sangat bergantung pada komunitas yang
menggunakannya dan juga pada kekuatan-kekuatan sosial di dalam komunitas tersebut.
Misalnya, makna bangsa Indonesia pada masa kolonial adalah alat pengungkap kesadaran
anti-kolonial dan anti-penindasan pada umumnya. Di zaman Orde Baru, kandungan tersebut
ditanggalkan, dan bangsa bergeser menjadi konsep yang sangat longgar dan cenderung
mengikuti kehendak penguasa. Misalnya saja dikatakan oleh Orde Baru bahwa kita adalah
bangsa yang ramah terhadap penanaman modal asing, bangsa yang cinta damai kalau
menghadapi pertentangan atau konflik politik (artinya tunduk pada kehendak penguasa), atau
pun juga bangsa yang menghormati kedaulatan kalau ada kritik dari luar negeri terhadap
penguasa Orde Baru.

Munculnya Negara di Indonesia

Sejak abad ke-8, di Nusantara telah ada berbagai kerajaan yang berkuasa atas wilayah tertentu
di Jawa dan Sumatra. Salah satunya Kerajaan Mataram (Hindu) di Jawa Tengah, memiliki
struktur birokrasi yang kompleks, dan menjalankan berbagai proyek pembangunan raksasa
seperti Candi Borobudur. Kerajaan itu berkuasa selama satu abad lebih. Seperti layaknya
negara, kerajaan-kerajaan ini menarik pajak, menjalankan fungsi keamanan dan sampai batas
tertentu juga menjamin kesejahteraan rakyatnya. Perbedaannya mungkin terletak pada batas-
batas kekuasaan negara yang tidak tetap, karena tidak diukur berdasarkan kekuasaan atas tanah,
melainkan kekuasaan atas orang (cacah). Batas kerajaan bertambah luas seiring penaklukan
terhadap kerajaan lain yang berkuasa atas sejumlah orang.

Masalah batas-batas yang jelas dan penguasaan atas tanah (teritori) adalah produk kolonialisme
memperkenalkan tanah dan sumber daya alam sebagai milik pribadi (privateproperty).
Konsep ini tumbuh mapan pada pergantian abad ke-19, terutama di Jawa dan Sumatera, dan
menghasilkan berbagai dampak secara sosial maupun politik. Penguasaan wilayah dan
penetapan batas menjadi penting untuk menjaga tanah dan sumber daya alam yang sudah
menjadi milik pribadi, dan pelanggaran terhadapnya dianggap sebagai kejahatan. Sejak abad
ke-18 penguasa kolonial bergerak cepat menaklukkan kerajaan-kerajaan dan memberlakukan
konsep pemilikan pribadi atas wilayah-wilayahnya. Negara kolonial kemudian menyewakan
tanah kekuasaannya kepada pihak swasta, yang sebaliknya membayar pajak dan sewa guna
membiayai birokrasi dan tentara.

Pada awal abad ke-19, seiring dengan bangkrutnya VOC, negara kolonial menjadi
perpanjangan tangan Kerajaan Belanda dengan dibentuknya Kementerian Urusan Tanah
Jajahan. Sebagai pimpinan tertinggi di tanah jajahan ditunjuk seorang Gubernur Jenderal yang
berwenang untuk membuat perjanjian dengan negara-negara lain, mengambil tindakan yang
perlu untuk menjaga batas-batas wilayah kekuasaannya, mengumumkan perang dan fungsi-
fungsi lain dari seorang kepala pemerintahan. Fungsi, kedudukan dan wewenang dari
pemerintah kolonial ini diatur melalui peraturan pemerintah (regeeringsreglement) yang
dirumuskan dan ditetapkan oleh Parlemen Belanda. Birokrasi kolonial pada 1855 hanya
terbatas departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekonomi. Dalam
reorganisasi tahun 1866 barulah dibentuk Departemen Dalam Negeri, dan Departemen
Pendidikan, Keagamaan dan Industri. Departemen Kehakiman dibentuk pada 1870. Fungsi
etisyang merupakan salah satu karakteristik negara modern baru berkembang pada
pergantian abad ke-20 dengan munculnya berbagai badan dan kantor khusus yang menangani
masalah kesehatan dan penyakit hewan, perluasan pertanian, kredit rakyat dan rumah gadai.

Batas-batas negara Hindia-Belanda sendiri selama abad ke-19 dan awal abad ke-20 masih terus
mengalami perubahan. Pada 1824 di London, dibuat kesepakatan yang disusul dengan
Perjanjian Sumatera pada 1871 antara Inggris dan Belanda. Kesepakatan itu memberi
wewenang kepada Belanda untuk berkuasa atas Sumatera, sementara Inggris menguasai
Semenanjung Malaya. Pada 1904, Belanda membuat kesepakatan dengan Portugal untuk
menetapkan batas-batas kekuasaan di Pulau Timor. Selama masa itu penguasa kolonial masih
sibuk berperang dan menindas perlawanan rakyat di Aceh (sampai tahun 1906), dan baru
berhasil menegakkan kekuasaan di wilayah itumenjadikan wilayah Hindia Belanda kurang
lebih sama dengan Republik Indonesia sekarangbeberapa waktu menjelang Perang Dunia I.
Penguasaan itu bertahan sampai kedatangan Jepang pada 1942.

Terlepas dari perdebatan yang pernah terjadi dalam sidang-sidang BPUPKI, batas-batas Hindia
Belanda inilah yang digunakan ketika memproklamirkan Republik Indonesia pada 1945.
Dalam sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan pembentukan 12 departemen
pemerintahan yang pada dasarnya merupakan pengambilalihan bangunan negara kolonial ke
tangan penguasa republik, dan pembagian wilayah Indonesia dalam delapan provinsi yang
dibagi ke dalam puluhan karesidenan. Di masa pemerintahan Soekarno, Republik Indonesia
beberapa kali mengalami perubahan bentuk dan batas-batas negara, antara lain dengan
berdirinya Republik Indonesia Serikat, munculnya negara boneka. Gagasan negara federal
ditolak pada masa ini karena dianggap memudahkan proses rekolonisasi yang nyata, hendak
dijalankan oleh negara-negara industri maju. Negara kesatuan dengan kekuasaan yang
sentralistik dianggap paling memadai untuk bersatu menghadapi kemungkinan tersebut.

Sementara itu dilihat dari segi asas dan fungsinya, negara Republik Indonesia mewarisi banyak
hal dari negara kolonial. Undang-undang pidana misalnya, hampir tidak mengalami perubahan
berarti. Begitu pula dengan hukum yang mengatur pemilikan pribadi atas tanah dan sumber
daya alam, pengaturan penanaman modal asing, atau transportasi. Dari segi lembaga, Republik
Indonesia mewarisi sebagian besar bangunan birokrasi kolonial dengan perubahan dan
modifikasi di sana-sini. Ada beberapa langkah yang diambil untuk mengubah asas dan fungsi
negara, misalnya dengan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan mengeluarkan UUPA I960 yang
membatasi pemilikan atas tanah. Di samping itu juga dibentuk berbagai departemen yang
bertugas memperhatikan dan menangani kesejahteraan rakyat, seperti Kementerian
Perburuhan. Namun, berbagai upaya ini kelihatannya tidak berhasil merombak fungsi dan asas
negarasebagai pelindung kepentingan kekuatan sosial tertentu dalam masyarakatsecara
mendasar. Justru sebaliknya, di masa Demokrasi Terpimpin, kekuasaan yang sentralistik
memberi jalan pada penguatan asas ini, yang kemudian digunakan oleh para penguasa Orde
Baru.

Negara di Masa Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru boleh dibilang mewarisi semua karakteristik negara kolonial, dengan
beberapa modifikasi yang justru memperkuat aspek represifnya. Watak sentralistik yang
muncul pada awal tahun 1960-an dengan Demokrasi Terpimpin tetap dipertahankan, begitu
pula dengan struktur birokrasi yang memberi kekuasaan begitu besar pada pemerintahan pusat.
Di samping itu, masih banyak produk hukum yang diwarisi dari jaman pemerintahan Soekarno,
bahkan negara kolonial, seperti UU No. ll/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi dan pasal-pasal penyebar kebencian (haatzaai artikelen) dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana. Peran militer, khususnya Angkatan Darat, semakin besar dengan
ditempatkannya sejumlah besar perwira di jajaran birokrasi.

Batas-batas negara sekali lagi mengalami perubahan saat para elit pemerintahan Soeharto
memutuskan untuk menyerbu Timor Leste pada 1975, dan mengintegrasikannya dengan
Republik Indonesia. Dalam sidang BPUPKI bulan Agustus 1945, penggabungan wilayah bekas
jajahan Portugis ini tidak pernah disepakati, dan bahkan beberapa orang secara tegas
menolaknya dengan alasan yang kuat. Namun, para penguasa Orde Baru rupanya berpikiran
lain, dan dengan dukungan atau setidaknya restu dari negara-negara industri maju, proses
integrasi dijalankan secara paksa, yang sampai saat ini memakan korban paling tidak
sebanyak 200.000 jiwa atau sepertiga penduduk Timor Leste.
Di masa Orde Baru ini pula kita lihat adanya penegasan asas dan fungsi negara untuk menjaga
tatanan sosial yang berlaku sejak zaman kolonial, yakni pemilikan pribadi atas tanah dan
sumber daya alam, pelayanan bagi kelas bermilik (propertied class) dan sebaliknya kontrol
yang kuat terhadap rakyat kebanyakan (popular classes). Hal ini terlihat misalnya dari
perubahan terus-menerus dalam birokrasi dan aturan hukum yang berkaitan dengan kegiatan
bisnis atau penanaman modal. Sementara itu, untuk pengaturan hubungan dalam masyarakat,
Orde Baru mempertahankan banyak warisan kolonial yang represif dan tidak menguntungkan.
Dalam beberapa hal bahkan Orde Baru melangkah mundur dari pencapaian di masa
pemerintahan Soekarno, misalnya dalam pengaturan hak atas tanah dan sumber daya alam, atau
undang-undang perburuhan.

Penutup

Dari uraian di atas terlihat bahwa negara selalu mengikuti perkembangan masyarakat, dan
terutama imbangan di antara kekuatan-kekuatan sosial. Konsep tentang negata, dan negara
dalam kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Seperti terlihat dalam sejarah Indonesia sendiri,
pemikiran tentang negara dalam sidang-sidang BPUPKI tidak dengan sendirinya menjadi alat
kontrol yang ampuh. Negara menjadi bermasalah ketika kontrol masyarakat terhadapnya
menjadi semakin lemah, dan bangunannya dikuasai oleh segelintir elit, seperti yang terjadi
pada masa Orde Baru. Dengan kata lain, perubahan bentuk negara tidak dengan sendirinya
menjawab persoalan-persoalan yang muncul, seperti ketimpangan pusat-daerah, dan
penindasan propertied class terhadap popular classes. Perubahan mendasar dalam hubungan
negara dan masyarakat menjadi jauh lebih penting, dan hal itu tidak selalu berarti terjadinya
perubahan bentuk negara.

Persoalan di Indonesia sekarang bertambah pelik, karena masyarakat tidak hanya harus
berhadapan dengan negara resmi yang berpusat di Istana Negara, melainkan juga dengan
sebuah shadow state yang kekuasaannya jauh lebih besar dari penguasa resmi. Hal ini yang
misalnya sanggup menjelaskan sulitnya dilakukan pengadilan terhadap mantan Presiden
Soeharto, dan pembongkaran berbagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan selama masa
kekuasaannya. Perubahan bentuk negara, dari negara kesatuan ke negara federal misalnya,
belum tentu mampu mengatasi kekuasaan shadow state. Hanya perombakan pada tiang-tiang
penyangganya, yang mampu melakukan hal itu.

Hilmar Farid, 1999

Keterangan: Tulisan ini pernah dimuat dalam buku Dari Keseragaman Menuju Keberagaman
Wacana Multikultural Dalam Media pada 1999 yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Pers &
Pembangunan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai