Anda di halaman 1dari 4

Cegah Hantu Sekolah

Oleh : Paul Budi Kleden

Pos Kupang Sabtu, 8 Mei 2010

Sekolah yang hampir selalu berhasil meluluskan semua muridnya dalam ujian, terkejut dan
merasa tidak percaya bahwa kali ini prestasinya dicemarkan oleh ketidaklulusan beberapa
siswa/i-nya. Ada bahaya, angkatan tahun ini pun dicatat pada sekolah-sekolah itu sebagai hantu
yang membuat orang takut ke lembaga seperti itu.

Perdebatan seputar sekolah dan pendidikan juga ramai di Australia akhir-akhir ini. Temanya
bukan ujian akhir. Ujian akhir pada tingkat SMA di Australia terkesan diatur jauh lebih baik
daripada di Indonesia. Di sini tidak ada ujian akhir yang diselenggarakan secara nasional. Ujian
akhir diatur oleh masing-masing negara bagian. Di Negara Bagian Victoria, misalnya, nilai
akhir yang menentukan kelulusan tidak hanya diperoleh dari ujian akhir tersebut tetapi juga
dari prestasi yang ditunjukkan di sekolah. Karena diatur oleh negara bagian dan memberikan
porsi tertentu kepada sekolah dalam penentuan kelulusan, maka sistem ini tidak banyak
dipermasalahkan.

Yang menjadi tema diskusi beberapa waktu terakhir adalah test literasi dan numerasi yang
dikenal dengan singkatan NAPLAN (National Assessment Program Literacy and Numeracy).
Test ini diberikan pada kelas 3, 5, 7 dan 9. Berbeda dari ujian akhir yang diatur oleh negara
bagian, test ini diselenggarakan secara nasional. Ada dua hal yang ditest, yakni kemampuan
berbahasa Inggris dan matematika. Tujuan dari test ini adalah untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan penguasaan bahasa Inggris dan matematika dari para siswa pada berbagai
tingkatan. Dari test ini diharapkan dapat diketahui siswa/i dan sekolah mana yang
membutuhkan bantuan khusus untuk perkembangannya. Dengan ini pembagian perhatian dana
pun dapat dibuat secara lebih baik.

Hasil test tersebut dipublikasikan dalam sebuah website yang disebut 'My School'. Di sini
dibuat perangkingan sekolah berdasarkan prestasi para siswa/inya. Alasan utama publikasi
adalah transparansi bagi warga terutama bagi orangtua.

Tahun ini rencana pelaksanaan test diwarnai oleh ancaman organisasi persatuan para guru yang
hendak memboikot pelaksanaan test. Beberapa alasan yang menjadi dasar ancaman mereka.
Pertama, publikasi perangkingan sekolah dalam sebuah website dinilai lebih merusak daripada
memperbaiki suasana pendidikan. Para siswa/i yang bersekolah pada lembaga-lembaga yang
berada pada rangking bawah bisa kehilangan minat dan rasa harga dirinya. Biasanya sekolah-
sekolah pada rangking bawah adalah sekolah-sekolah dengan sumber daya yang kecil.

Kedua, test dan hasilnya yang dipublikasikan tidak memperhatikan situasi yang bervariasi dari
masing-masing sekolah. Banyak siswa/i dari sekolah pada rangking bawah terpaksa bersekolah
di sana sebab mereka tidak mampu bersekolah para sekolah favorit. Atau, sebagian besar dari
murid-murid di sekolah-sekolah tersebut adalah anak-anak penduduk asli (kaum Aboriginal)
yang memiliki tradisi tersendiri dan karena itu tidak selalu nyaman berada di sekolah. Tidak
heran bahwa sebagian besar 150 sekolah yang berada pada rangking bawah menurut hasil test
2009 adalah sekolah-sekolah para penduduk asli. Test hanya memperhatikan bahasa Inggris
dan matematika, sementara keunggulan lain dari para murid Aboriginal sama sekali diabaikan.
Perangkingan sekolah semata-mata berdasarkan hasil test tersebut dipandang mengabaikan
banyak elemen lain dalam diri siswa/i dan kekayaan lainnya di sekolah.

Ketiga, test menempatkan sekolah di bawah tekanan. Terlampau banyak perhatian diberikan
untuk mempersiapkan anak menghadapi test, sehingga sejumlah aspek lain dari pendidikan
tidak mendapat penanganan secukupnya. Test menjadi semacam hantu yang menakut-nakuti
guru, siswa/i dan orangtua. Hasil test yang buruk dapat menimbulkan kesan bahwa para guru
tidak bekerja serius, padahal mereka sungguh sudah berusaha sebaik-baiknya. Para guru yang
berada dalam tekanan tidak dapat menjamin suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa/i.

Walaupun ada ancaman boikot ini, namun test akan tetap dilaksanakan minggu depan, karena
pemerintah nasional memandangnya sebagai instrumen yang tepat untuk mengukur secara
nasional tingkat pengetahuan siswa/i dalam hal membaca/menulis dan menghitung. Pemerintah
kembali mengancam setiap guru dengan denda sebanyak 6.600 Dollar Australia (kira-kira 50
juta rupiah) kalau tetap bertahan pada sikapnya. Namun, pemerintah bukannya mengabaikan
sama sekali keberatan para guru. Sebab itu, walaupun test tetap dijalankan, publikasinya akan
diperhatikan agar dapat memperhatikan pertimbangan para guru, khususnya berkaitan dengan
perbedaan latar belakang para murid dan kondisi sekolah. Organisasi para guru akhirnya
mencabut ancamannya karena pemerintah bersedia membentuk satu komisi pendidikan yang
akan memperhatikan publikasi hasil test. Karena test untuk setiap murid dibuat setiap dua
tahun, maka diharapkan satu bentuk publikasi yang lebih menunjukkan usaha setiap sekolah
dalam meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan matematika para siswa/inya daripada
satu pemaparan secara umum.

Hemat saya, yang kita butuhkan di Indonesia adalah satu bentuk test bertahap yang bertujuan
membantu siswa/i untuk memperbaiki prestasinya agar memenuhi standar nasional. Test ini
bukan ujian nasional sebagaimana terjadi sekarang. Ujian nasional tidak membantu siswa/i,
sebab dia bersifat final. Ujian ulang yang dimungkinkan bukanlah kesempatan untuk
memperbaiki kemampuan siswa/i melainkan sekadar melengkapinya dengan strategi yang
tepat demi menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Perbaikan kemampuan tidak ditempuh
dalam waktu beberapa minggu yang terutama diwarnai oleh tekanan.

Mengharapkan perubahan secara nasional tampaknya terlalu sulit. Sebagai propinsi yang
tercatat sebagai wilayah dengan persentase kelulusan yang sangat rendah, kita mesti
mengambil inisiatif perubahan. Salah satu yang mungkin adalah menyelenggarakan test mutu
pendidikan secara regional. Test ini dilakukan secara berkala, sehingga setelah misalnya dua
tahun siswa/i yang sama mendapat kesempatan untuk kembali mengikuti test.
Yang perlu diperhatikan adalah penggunaan hasil test. Hasil tersebut tidak boleh dipakai untuk
menstigmatisasi sekolah tertentu sebagai lembaga tidak bermutu karena besarnya persentase
siswa/i yang tidak mencapai standar regional. Banyak faktor menentukan kemampuan seorang
siswa/i. Yang utama adalah melihat bagaimana usaha sekolah membantu siswa/i dengan
kondisinya yang bervarisasi untuk meningkatkan kualitas pendidikannya. Berdasarkan hasil
test tersebut, sekolah dibantu untuk membuat evaluasi atas program belajar yang diberikan
untuk para siswa/inya.

Karena pengukuran prestasi pada standar yang lebih luas dari sekadar standar sekolah terjadi
secara bertahap, maka siswa/i dan para penyelenggara pendidikan dapat lebih disiapkan untuk
menghadapi ujian yang tingkat nasional. Kalau karena kondisi tertentu seperti minat dan latar
belakang, sejumlah besar siswa/i dari satu sekolah tidak bisa mencapai standar regional
berdasarkan test bertahap tersebut, maka mereka bisa diarahkan untuk mengambil jalur
pendidikan yang lebih sesuai dengan minat dan latar belakang mereka. Lebih dari itu, dengan
adanya test tersebut, kualitas sebuah sekolah tidak hanya ditentukan oleh besarnya persentase
murid yang berhasil lulus dalam ujian nasional. Selain ujian nasional, kualitas sekolah pun
diukur berdasarkan kontribusinya bagi pengembangan kemampuan para siswa/i yang
ditunjukkan dalam test yang diselenggarakan secara berkala.

Inisiatif ini memerlukan kesungguhan pemerintahan daerah dalam memenuhi tuntutan undang-
undang yang mewajibkan pendistribusian 20% anggaran belanja untuk bidang pendidikan.
Karena pendidikan sungguh menjadi persoalan di wilayah ini, maka perhatian pemerintah
terhadap penanganan masalah ini mesti tercermin dalam distribusi anggaran.

Penyelenggaraan test secara regional ini dapat menjadi satu langkah untuk menuntut
penyelenggaraan ujian akhir secara regional. Ketidakseimbangan akses informasi dan
kepincangan distribusi fasilitasi pendidikan tidak memberikan legitimasi bagi penyelenggaraan
ujian yang bersifat nasional yang menentukan kelulusan siswa/i tanpa menyertakan kontribusi
sekolah. Tentu saja, kita pun tidak melimpahkan semua kesalahan pada pihak lain. Ada banyak
hal yang perlu dibenahi dalam kondisi pendidikan kita. Namun, selama sistem itu tidak adil,
pembenahan model apa pun tidak akan secara menyeluruh mengatasi masalah pendidikan kita.

Bahaya yang terjadi apabila kita membiarkan sistem yang sekarang tetap bertahan adalah
berubahnya sekolah menjadi hantu yang ditakuti. Dia bermula dari tampilan ujian nasional
sebagai hantu. Orang takut terhadap ujian nasional. Murid takut, guru pun takut. Seluruh proses
pendidikan di sekolah, khususnya pada tahun terakhir, berlangsung dalam suasana ketakutan
terhadap hantu ini. Ketika hasil yang dicapai ternyata sama sekali tidak memuaskan, sekolah
pun berubah menjadi hantu. Orang takut terhadap sekolah, sebab takut mengalami kegagalan
dan menjadi sebab kegagalan. Kita perlu hadapi bahaya ini dengan keberanian dan
kesungguhan. Keberanian untuk membuat program alternatif, dan kesungguhan untuk
mendanai. *

Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere

Anda mungkin juga menyukai