Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA

PRO KONTRA UJIAN NASIONAL


DI INDONESIA


Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Ujian Akhir Semester
Pada Mata Kuliah TPKI
Dosen Pembimbing : Mulyawan S. Nugraha, M. Ag. M.Pd












Disusun Oleh :

MARYAH ULFAH
NIM : 0891.01.1060
SEMESTER III B



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
Jl. Veteran I No. 36 Telp. (0266) 225 464 Suakbumi 43111
TAHUN 2010 M / 1431 H
BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai
pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu
kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan
fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami
kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus
mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional ditetapkan sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS,
SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata pada Ujian Nasional sebesar 4,0. tahun 2005 menjadi
4,25, tahun 2006 4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan tahun 2009
angka kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi
persoalan jika hasil evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang diketahui
dari hasi Ujian Nasional tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata rendah.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung
sejak lim tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi
tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali
diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar kelulusan
nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan kontra
dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung, karena
bukan masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan, tetapi bagaimana kualitas
pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan. Tujuan penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu
diperdebatkan dan dipertentangkan lagi terutama terkait penentu kelulusan atau standar
nasional, ujarnya.
Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan.
Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun
anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi
pendididkan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari segi
kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan penulis melihat kenyataan pada era ini,
perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional banyak
pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan di atas penulis merasa tertarik untuk membuat makalah ini dengan
memilih judul : PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA.

B. Rumusan Masalah
Di dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil sebuah judul PRO KONTRA UJIAN
NASIONAL DI INDONESIA. Dengan orientasi untuk memberikan gambaran umum dari
seputar dunia pendidikan di Indonesia itu sangat luas maka penulis batasi dengan pembatasan
sebagai berikut:
1) Bagaimana pengertian Ujian Nasional ?
2) Bagaimana peran dan fungsi Ujian Nasional?
3) Bagaimana jika Ujian Nasional menjadi salah satu kebutuhan?
4) Bagaimana dampak negatif dari Ujian Nasional?
5) Bagaimana solusi dari Ujian Nasional?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama penulisan pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut :
1) Untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Akhir Semester mata kuliah Teknik Penulisan Karya
Ilmiah (TPKI).
2) Untuk mencoba kemampuan penulis sendiri membuat makalah dan untuk memperoleh
pengalaman.
3) Untuk memberikan gambaran tentang Ujian Nasional di Indonesia
D. Langkah-langkah Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Langkah-langkah Penulisan (sistematika)
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ujian Nasional
B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional
C. Ujian Nasional Salah Satu Kebutuhan
D. Dampak Negatif Ujian Nasional
E. Solusi Dari Ujian Nasional
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran-saran
BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Ujian Nasional
Pada era globalisasi ini, semua negara berkompetisi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Tingkat pendidikan penduduk sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off
score). Seseorang dikatakan lulus atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa
nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik
yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada Ujian Nasional atau sekolah
maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan yang tidak
lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, pada bab XVI pasal 57 sampai
dengan 59 tentang evaluasi menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bahwa evaluasi
dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik
untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut
harus dilakukan secara berkesinambungan.
Manfaat standard setting ujian akhir, diantaranya:
1) Adanya batasan kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kompetensi minimum.
2) Adanya standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standar minimum pencapaian
kompetensi.

B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional
Di antara berita masalah hukum yang belum berkeadilan, masih ada berita masalah pendidikan
yang juga tak kalah seru. Ujian nasional akan dimajukan waktunya, dan sungguh sangat
mengejutkan Bila sampai mereka mogok, maka akan sengsaralah para guru, apalagi buat mereka
yang belum dinyatakan lulus sertifikasi guru. Sudah lulus saja masih bermasalah, apalagi belum
lulus sertifikasi pastilah ada banyak masalah, khususnya masalah isi kantong yang belum
menyebar merata ke semua guru. Itulah yang saya baca dari koran kompas cetak bagian opini
hari ini, Jumat 20 November 2009.
Masalah pendidikan memang masalah pelik, dan tidak semua orang bisa memahaminya dengan
cara-cara yang bijaksana. Tentu dari kebijakan menteri pendidikan nasional yang baru, kita
berharap ada terobosan yang berbeda dari menteri pendahulunya.
Perbedaan itu misalnya berani menghapus Ujian Nasional karena Ujian Nasional mematikan
kreatifitas siswa dan guru. Ujian Nasional hanya melatih siswa menjawab soal-soal pilihan ganda
dan semua soal Ujian Nasional itu bisa di drill dengan latihan soal-soal terus menerus. Bagi
mereka yang mempunyai uang banyak mungkin tak ada kesulitan dalam memberikan materi
tambahan, tetapi bagi mereka yang tak punya uang, maka harus belajar ekstra keras berlatih soal-
soal.
Untuk bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional, anda tak perlu sekolah, cukup masuk
bimbingan belajar (bimbel) selama beberapa bulan, dijamin anda pasti lulus. Bila tak lulus, janji
mereka, uang kembali 100 %.
Ujian Nasional tidaklah cocok dijadikan penentu kelulusan siswa. Sebab, masih banyak ukuran
kelulusan yang bisa dilakukan, misalnya dengan sistem tes masuk perguruan tinggi, sehingga
bila ada peserta didik yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, maka peserta didik itu
harus ikut tes sesuai dengan jenjang yang akan dimasukinya. Seleksi tes perguruan tinggi tak
melihat nilai siswa, tetapi kemampuan siswa. Mereka yang tak lolos tes, otomatis akan terlibas
oleh mereka yang lulus tes.
Selain masalah Ujian Nasional, ada masalah sertifikasi guru yang belum tuntas dan masih terus
dievaluasi. Pelaksanaan sertifikasi guru memang belum menyenangkan semua pihak. Guru
diibaratkan seperti kelinci percobaan dari para penentu kebijakan yang sebenarnya kebijakan ini
dipaksakan. Satu sisi jelas guru harus disertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme mereka,
tetapi di sisi lain masalahnya adalah banyak guru yang kurang bersabar dalam menunggu giliran
sesuai dengan jenjang kepangkatannya, dan kurang bersyukur dengan apa yang telah didapatkan,
sehingga banyak kita lihat guru yang sudah tersertifikasi justru mengalami penurunan kinerja.
Akhirnya Ujian Nasional dan sertifikasi adalah masalah yang memusingkan menteri, dan kita
doakan beliau mampu mengatasinya dengan kebijakan yang smart . Berlaku adil dan
menyenangkan semua pihak. Kita pun berharap guru semakin bermartabat. Guru di sekolah
mampu menjalankan tugasnya dengan baik, dan dosen di perguruan tinggi tidak terlalu asyik
mengerjakan tugasnya di luar, untuk mencari tambahan penghasilan sehingga banyak mahasiswa
yang tidak terbina dengan baik.
Semoga saja kita bisa memberikan dorongan positif agar pelaksanakan Ujian Nasional dan
sertifikasi ini berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Tidak 100 % mungkin memang,
tetapi setidaknya masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan dengan tepat dan cepat.
Fungsi Ujian Nasional SMA, SMK, dan MA sebagai bahan pertimbangan untuk masuk ke
perguruan tinggi negeri. Fungsi evaluasi nasional tidak lagi merupakan syarat kelulusan tetapi
terutama adalah untuk mengevaluasi sampai di mana pencapaian mutu pendidikan, baik secara
kewilayahan maupun nasional.

C. Ujian Nasional Sebagai Kebutuhan
Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan dengan sistem yang digunakan
dalam bidang pendidikan. Yang terakhir kurikulum yang digunakan dalam sistem pendidikan
nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara substansi
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun
oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal. Hal ini
menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah yang berada di wilayah A dengan
sekolah yang berada di wilayah B. Karena karakteristik suatu wilayah pasti berbeda sesuai
dengan topografi dan kondisi budayanya.
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, dilakukan penilaian secara sistematis. Dalam
kurikulum tingkat satuan pendidikan, penilaian dilakukan oleh pendidik secara
berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan
harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Satuan pendidikan atau sekolah juga
harus melakukan penilaian kepada siswa untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) semua mata pelajaran melalui ujian sekolah. Namun selain penilaian dari kedua pihak
tersebut adalagi penilaian yang dilakukan oleh pemerintah untuk menilai kompetensi lulusan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu kelompok mata pelajaran iptek melalui Ujian
Nasional.
Ujian Nasional Bukan Representasi Pencapaian Kompetensi Siswa.
Pertanyaan yang boleh diajukan adalah perlukah Ujian Nasional dilakukan untuk mengetahui
penguasaan kompetensi lulusan? Padahal guru dan sekolah sebagai pihak yang bertanggung
jawab penuh dalam proses pembelajaran pun sudah melakukan penilaian yang menurut hemat
saya sudah sangat representatif untuk mengetahui kompetensi siswa, bahkan hasilnya lebih valid
dalam menggambarkan pencapaian belajar siswa karena dilakukan secara berkesinambungan dan
disesuaikan dengan kurikulum sebagai perencanaan pembelajaran siswa.
Permasalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan Ujian Nasional adalah banyaknya praktek
kecurangan, mulai dari joki jawaban ujian sampai dengan mark up nilai ujian nasional. Tuntutan
nilai ketuntasan minimum yang semakin tinggi adalah salah satu indikasi penyebab praktek
kecurangan dalam Ujian Nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal
66 menyebutkan bahwa Ujian Nasional adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang
dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
teknologi. Hal ini sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi, yang proses
penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan pendidikan (perguruan tinggi) yang
bersangkutan. Jika pada perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan perguruan
tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada masalah berarti jika saja Ujian Nasional
dihapuskan, karena pada tingkatan perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh pendidik
dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah representatif untuk mengetahui penguasaan
kompetensi lulusan.
Kalau pemerintah mengatakan bahwa hasil Ujian Nasional dijadikan sebagai salah satu
pertimbangan dalam seleksi penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi, maka hal itu bisa
dinegasikan karena perguruan tinggi bisa melakukan penerimaan mahasiswa baru melalui seleksi
ujian masuk perguruan tinggi. Penerimaan mahasiswa dengan jalur khusus pun masih bisa
menggunakan nilai hasil ujian akhir sekolah dan raport, karena hasil ujian akhir sekolah dan
raport juga sudah memenuhi standar kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP). Artinya alasan apapun yang menjadi pertimbangan agar Ujian
Nasional tetap digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar atau sebagai alat untuk mengukur
tingkat penguasaan kompetensi lulusan secara nasional bisa terbantahkan.
Untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pemerintah pusat bisa
berkoordinasi dengan pemerintah daerah, karena satuan pendidikan (sekolah) biasanya
melakukan pelaporan hasil belajar siswa secara berkala kepada dinas pendidikan yang menaungi
sekolah tersebut. Selain itu pemerintah pusat punya badan khusus yang disebut dengan Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yaitu badan mandiri dan independen yang bertugas
mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan.
Standar nasional pendidikan yang ditetapkan BSNP yang terdiri dari standar isi, standar proses,
standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan adalah
acuan bersama satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajarannya.
Untuk mensinergiskan pencapaian minimal profesionalitas pendidikan mungkin keberadaan
badan bagian dari pemerintah yang capable dalam memformulasikan standar minimal secara
nasional seperti BSNP diakui sangat dibutuhkan. Namun formulasi yang dilakukan hendaknya
secara konsep dan teori adalah sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran oleh satuan pendidikan.
Pelaksanaannya dikembalikan lagi ke satuan pendidikan, disesuaikan dengan sejauh mana
pemerintah daerah tempat satuan pendidikan tersebut bernaung dalam memberikan dan
meningkatkan fasilitas yang layak untuk proses pembelajaran.
Kondisi daerah yang berbeda pastinya memberikan pengaruh terhadap satuan pendidikan yang
dinaunginya. Alhasil ini pun berdampak pada hasil belajar siswa yang berada di daerah tersebut.
Ujian Nasional dengan standar nilai minimal yang sama tidak memungkinkan digunakan karena
kondisi tiap daerah tidak sama, ada yang pendapatan daerahnya tinggi sehingga fasilitas
belajarnya lengkap dan menunjang pembelajaran siswa dan tidak dinafikan pula masih banyak
daerah tertinggal di negeri ini yang tentunya hanya memenuhi kebutuhan fasilitas belajar satuan
pendidikan di daerahnya seadanya atau bahkan jauh dari standar nasional yang sudah ditetapkan.

D. Dampak Negatif Ujian Nasional
Perhelatan rutin tahunan Ujian Nasional telah usai. Sebagai sebuah kebijakan pemerintah Ujian
Nasional jelas ada sisi positif (manfaat) dan juga ada sisi negatifnya (madharat). Untuk kasus
Ujian Nasional, manfaatnya jelas ada, dampak/ekses negatif dari Ujian Nasional itu jauh lebih
besar dibanding dengan manfaatnya. Tulisan ini sengaja hanya akan mencoba menguak dampak
negatif dari pelaksanaan Ujian Nasional dengan sistem yang ada sekarang. Bukankah Ujian
Nasional yang sungguh telah menghabiskan dana negara atau uang rakyat yang sangat banyak
itu, langsung maupun tidak langsung, sebenarnya telah meninggalkan efek negatif terhadap
masyarakat di dalam mempersepsi keberadaan pendidikan nasional?.
Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini adalah bergesernya paradigma
(wijhat al- Nadzar) bagi para praktisi pendidikan, peserta didik dan wali pseserta didik.
Pertama, konstruk berfikir para kepala sekolah / madrasah dan guru tentang hakekat atau
substansi dari kegiatan pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta
didik untuk lulus Ujian Nasional saja. Akibatnya, tentang bagaimana mengantarkan peserta didik
untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan
nasional, tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting bagaimana para peserta
didik itu siap berlaga dalam Ujian Nasional yang hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tersebut.
Kedua, dampak Ujian Nasional bagi peserta didik adalah timbulnya pemahaman yang keliru
terhadap makna bejalar di sekolah/madrasah. Tujuan study (belajar) yang mestinya dalam rangka
mencari ilmu (thalab al- ilmi), kecerdasan dan akhlak yang mulia (akhlak al-Karimah) berubah
menjadi sekedar meraih kelulusan Ujian Nasional untuk tiga mata pelajaran Ujian Nasional.
Akibatnya, mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasional kan akhirnya menjadi dinomorduakan,
termasuk gurunya. Kondisi demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan Ujian
Nasionalnya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan Ujian Nasional hampir pasti muncul aroma
yang cukup tajam bahwa ada beberapa sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian
Nasionalnya tidak fair-play alias tidak jujur. Artinya, dalam pelaksanaan Ujian Nasional di
tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu dengan restu kepalanya secara langsung atau
tidak langsung membantu siswa supaya lulus Ujian Nasional, misalnya dengan cara memberi
kunci jawaban kepada peserta Ujian Nasional, dan juga bisa dengan cara menggunakan siswa
pandai untuk dicontoh oleh peserta didik yang memang lemah.
Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah bertindak curang atau tidak itu tidak
terlalu sulit, di antaranya menanyakan kepada para peserta didik yang baru saja menyelesaikan
belajarnya (tamat). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebuah sekolah/madrasah itu
melakukan curang/ tidak. Di samping itu, di dunia pendidikan kita sekarang ini muncul
keanehan-keanehan. Pertanyaannya adalah ada apa denganmu panitia Ujian Nasional di
tingkat sekolah/madrasah? Sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya itu
tidak jujur dan tidak fair-play, sebenarnya lembaga pendidikan tersebut telah melakukan
kejahatan intelektual secara berjamaah. Siapa yang paling berdosa, tidak lain adalah panitia
Ujian Nasional di tingkat sekolah/madrasah yang tentu saja dikomandani oleh kepala
sekolah/kepala madrasahnya. Dengan melakukan kecurangan, berarti telah menafikan nilai-nilai
akademis dari sebuah kegiatan pendidikan yaitu kejujuran (fairness) dan obyektifitas
(objectivity) itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu itu tidak jujur, jelas itu merupakan bentuk
kejahatan intelektual. Bagi sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya
curang, maka akan berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun berikutnya akan
melaksanakan Ujian Nasional. Mereka para adik kelas yang mwngetahui bahwa kakak kelas
dalam Ujian Nasionalnya itu dibantu oleh guru, maka jelas mereka akan ogah-ogahan dalam
belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat UJian Nasional pasti akan dibabntu oleh guru
sebagaimana kakak kelasnya dulu.
Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa sekarang ini sudah banyak wali
peserta didik yang beranggapan bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila
anaknya lulus Ujian Nasional. Degan demikian para wali peserta didik sudah tidak lagi
memperdulikan apakah anaknya itu akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah
mandiri, berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak?. Yang penting apabila sudah lulus
Ujian Nasional berarti sudah berhasil. Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta
didik kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan pendampingan belajar
anaknya. Orang tua baru akan peduli terhadap belajar anaknya ketika Ujian Nasional sudah
dekat, sementara untuk saat-saat di luar menjelang Ujian Nasional, anak tidak pernah dimotivasi
untuk belajar secata continue.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dampak negatif dari sistem Ujian
Nasional yang ada sekarang ini juga melanda ke lembaga-lembaga /para pengelola pendidikan
non pemerintah. Harus diingat bahwa para pengelola lembaga pendidikan non-pemerintah dalam
membangun gedung/ RKB dan pengadaan fasilitas pendidikan yang lain itu, dananya berasal dari
hutang bank. Kemudian guru dan karyawannya 100% swasta .
Mereka berkewajiban mencicil tiap bulan ke Bank dan membayar guru/karyawan tiap bulan.
Coba apa yang bakal terjadi apabila sekolah tersebut banyak yang tidak lulus?. Dengan demikian
lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah yang kondisinya demikian penulis yakin akan
berusaha dengan cara apapun yang penting para siswanya harus lulus Ujian Nasional. Sebab,
kalau sampai terjadi banyak yang tidak lulus Ujian Nasional akan dapat berakibat fatal dan
bahkan bisa terjadi kiamat di lembaga pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga
pendidikan non pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja berfungsi sebagai wahana
pencerdasan anak bangsa/peserta didik tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni sebagai lahan
penghidupan bagi guru dan pegawai yang berada di dalamnya beserta keluarganya. Dengan
demikian kelulusan Ujian Nasional itu ada hubungannya dengan dapur.
Pelaksanaan Ujian Nasional sering kali mengorbankan siswa dan guru, di tingkat akhir sekolah
pembelajaran siswa hanya difokuskan untuk lulus Ujian Nasional dengan pemberian pelajaran
tambahan yang bisa menyebabkan siswa stress.
Ada yang berpendapat Ujian Nasional malah menghambat perkembangan anak didik. Ujian
Nasional merupakan pemborosan untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa dalam peningkatan
perkembangan anak didik.

E. Solusi
Untuk menghindari pro dan kontra tentang perlu-tidaknya ada Ujian Nasional, maka penulis
menawarkan alternatuf solusi. Pertama, kembalikan fungsi Ujian Nasional itu sebagai sekedar
alat pemetaan (mapping) kualitas pendidikan, bukan sebagai alat penentu kelulusan. Jadi,
Ujian Nasional itu berfungsi seperti sistem Ebtanas yang model dahulu. Artinya anak tetap
mendapat STTB dan nilai Ebtanas sebagai lampiran dari STTB tersebut. Ketika Ujian Nasional
tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan Ujian Nasional di sekolah/madrasah
jelas cenderung akan lebih fair-play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya
tidak lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik, diserahkan kepada
sekolah/madrasah. Kedua, apabila Ujian Nasional itu tetap dijadikan alat penentu kelulusan,
maka agar Ujian Nasional itu lebih demokratis dan adil, batas kelulusan (passing-grade) yang
dijadikan patokan kelulusan itu jangan hanya ada satu seperti sekarang, tapi paling tidak ada tiga
tipologi /strata passing-grade, misalnya : tipe A dinyatakan lulus dengan passing grade 5,1, tipe
B lulus dengan passing grade 4,1 dan tipe C lulus dengan passing grade 3,1. Dan sejak awal
pendaftaran Ujian Nasional peserta didik sudah mendaftar Ujian Nasional dengan preferensi tipe
/passing-grade yang sesuai dengan kemampuan dirinya. Sekarang ini kan tidak adil.
Sekolah/madrasah yang pinggiran, sekolah/madrasah yang gurunya belum memenuhi standar,
sekolah/madrasah yang sarprasnya sangat tidak memenuhi, passing-grade-nya disamakan dengan
sekolah yang sudah berstandar SSN. Dimana letak keadilannya?. Apabila tiga tipologi passing-
grade itu sejak awal sudah ditawarkan kepada peserta didik yang akan melaksanakan Ujian
Nasional berarti telah ada keadilan dalam dunia pendidikan kita. Peserta didik yang mendapat
nilai tinggi tentu akan masuk ke sekolah-sekolah favorit- sementara yang nilainya rendah akan
memilih sekolah/madrasah yang sekiranya mau menerima dirinya sesuai dengan nilai hasil Ujian
Nasional/Nilai Ebtanas Murni yang dimilki.





BAB III
PENUTUP


A. Simpulan
Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan dengan sistem yang digunakan
dalam bidang pendidikan. Yang terakhir kurikulum yang digunakan dalam system pendidikan
nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang secara substansi
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun
oleh tiap satuan pendidikan dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal.
Ada yang bahagia karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil yang bersedih karena tidak
berhasil lulus. Yang lulus belum berarti mereka lebih pintar daripada yang tidak lulus tidak
mengindikasikan bahwa mereka lebih bodoh.
Satu hal lagi yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak semua siswa menjadi lebih
rajin dalam mempersiapkan menghadapi Ujian Nasional. Pemerintah mungkin lupa akan adanya
kecerdasan majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat beragam.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Barat, Ginandjar Kartasasmita, menyatakan
menolak penyelenggaraan Ujian Nasional dengan alasan Ujian Nasional mengurangi hak guru
menilai prestasi siswanya selama belajar di sekolah tersebut. Sedangkan Sofyan Yahya, anggota
dewan DPD lainnya, menyayangkan sikap pemerintah yang bersikeras melaksanakan Ujian
Nasional meski sudah ada putusan kasasi dari Mahkamah Agung (KOMPAS, 15 Desember
2009).

B. Saran-saran
Dari beberapa sumber yang saya baca, Ujian Nasional memang sangat dibutuhkan karena dengan
standar tersebut saya bisa termotivasi untuk lebih giat belajar untuk mencapai hasil yang
maksimal.
Sebaiknya Ujian Nasional, tidak perlu terus dinaikkan setiap tahunnya. Karena akan membuat
peserta didik menjadi sangat terbebani dengan nilai standarisasi itu. Upaya yang harus lebih
diperhatikan siswa dianjurkan sewaktu mengikuti kegiatan belajar tambahan harus serius dan
bersungguh-sungguh.
Ujian Nasional sangat penting karena itu merupakan barometer atau ukuran keberhasilan peserta
didik sejauh mana siswa menyerap atau menerima materi yang disampaikan pengajar, karena
kalau peserta didik yang berhasil menerima materi tersebut pasti lulus, tapi itu kembali pada
pengajar dan yang memberi materi tersebut.
Selain mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sebaiknya peserta didik dibekali
keterampilan, agar peserta didik bisa mengembangkan keterampilannya setelah keluar dari
sekolahnya.
Tidak harus yang mengeluarkan biaya besar-besaran untuk mengadakan pendidikan
keterampilan tersebut di sekolah.

PROBLEMATIKA UJIAN NASIONAL

BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ujian nasional 2013 menimbulkan banyak permasalahan dalam pelaksanaannya. Bahkan tiada
hari tanpa masalah, dan sepertinya pantas kalau ujian nasional dikatakan kacau balau. Betapa
tidak karut marut ini mulai terjadi sejak proses pengandaan naskah soal, pendistribusian naskah
soal, sampai pada pengerjaan oleh siswa peserta ujian di kelas. Bahkan akan sampai pada
pemeriksaan atau proses pemindaian hasil ujian pada LJUN.
Proses penggandaan bermasalah dengan terlambatnya penyelesaian dari pihak percetakan untuk
11 propinsi yakni pada wilayah bagian tengah Indonesia. Untuk masalah ini terjadi saling tuding
dari pihak percetakan, Kemdikbud, BSNP, dan pengawas perguruan tinggi. Namun pak Menteri
Dikbud (Prof. M. Nuh) menyatakan orang yang paling bertanggung jawab terhadap problem UN
2013, meski enggan mundur karena hal itu.
Mengatasi problem pendistribusian soal ke pelosok daerah, terpaksa presiden turun tangan
menginstruksikan TNI dan Polri untuk mengerahkan segala kemampuan untuk membantu
distribusi soal. Tak tanggung-tanggung TNI melibatkan pesawat hercules dan foker untuk
mengangkut soal ke 11 propinsi tujuan, bahkan sampai disertai dengan pengawalan Pak
Wamendikbud. Sedangkan polri terlibat langsung dalam pengawalan naskah soal sampai ke
kabupaten. Namun karena persebaran sekolah yang beragam, maka sekolah yang terletak jauh di
pelosok atau terpencil menjadi tambah terlambat. Bahkan beberapa sekolah di Luwu Sulawesi
Selatan (Bastem) dan di Kolaka Utara harus mengerjakan soal ujian pada malam hari dengan
penerangan lampu minyak.
Ketika pengerjaan soal berlangsung ternyata masih banyak pula masalah yang di alami oleh
siswa dan panitia penyelenggara sekolah. Beberapa sekolah tidak mendapatkan jatah soal UN,
Soal tidak cukup untuk semua peserta, dan kertas LJUN yang tipis sehingga mudah sobek.
Ketika naskah soal tidak tersedia dan/atau soal tidak cukup, panitia terpaksa berinisiatif untuk
mengadakan naskha soal dan LJUN dengan memfoto kopi sendiri untuk sejumlah siswa di
sekolahnya.
Problem naskah soal dan LJUN yang foto copy-an ini lah yang akan menimbulkan masalah
lanjutan pada proses pemeriksaan hasil ujian. LJUN foto copy-an hanya berupa LJUN sementara,
dan petugas teknis harus memindahkan data dan jawaban siswa pada LJUN sementara ke LJUN
komputer yang semestinya. LJUN komputer/LJK yang digunakan harus disesuaikan
dengan barcodesoal yang digunakan siswa dalam UN. Oleh karena itu, prosesnya akan butuh
waktu lebih lama atau yang lebih mudah dilakukan dengan cara manual.
Sebagaimana telah ditetapkan oleh BSNP bahwa untuk menjaga keotentikan hasil ujian nasional,
maka naskah soal dan LJUN memiliki barcode yang sama. LJUN-pun menyatu dengan naskah
soal. Ketika siswa hendak mengerjakan ujian, terlebih dahulu harus memisahkan LJUN dari
naskah soal agar tidak kusut atau rusak. Namun sebuah kasus kecerbohan pengawas terjadi pada
sebuah sekolah penyelenggara ujian nasional. Kasusnya terjadi di SMAN 1 Towuti Kabupaten
Luwu timur Sulawesi selatan, di mana guru pengawas ruang ujian memisahkan naskah soal dan
LJUN sebelum dibagikan ke siswa. LJUN lalu dibagi secara acak dalam satu ruangan.
Problemnya ketika membagi soal, guru pengawas kebingungan berdua dalam ruangan ujian.
Mengetahui kasus ini, ketua panitia penyelenggara yang juga berperan sebagai ketua subra dan
kepala sekolah (Adam, S.Pd.) mengalami kepanikan. Beruntung kelebihan soal dari ruangan
ujian lain di sekolah itu, cukup untuk peserta ujian di ruang bermasalah tadi.
Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai
pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu
kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan
fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami
kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus
mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang terdapat pada makalah ini yaitu sebagai
berikut :
1. Asal usul munculnya ujian nasional ?
2. Tujuan penyelenggaraan ujian nasional ?
3. Apa saja masalah yang terjadi padapelaksanaan ujian nasional tahun 2013 ini ?
4. Bagaimana solusi masalah Ujian nasional tahun 2013 ini?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk mendeskripsikan seperti apa
problematika Ujian Nasional 2013.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan studi perbandingan dalam upaya
peningkatan mutu ujian nasional yang dianggap relevan, terutama terkait masalah problematika
Ujian Nasional 2013.
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi dalam khazanah pengetahuan tentang ujian
nasional bagi penulis khususnya dan pembaca pada umunya.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Munculnya Ujian Nasional
Yang namanya Ujian Nasional atau UN pasti semua orang baik dewasa sampai anak-anak tahu.
Namun mengenai sejarah panjang mengenai ujian untuk penentuan kelulusan peserta didik pada
setiap tingkatan mulai dari jaman perjuangan hingga sekarang tentu tidak banyak yang
mengetahui, terutama bagi mereka yang tidak mengalaminya. Pada postingan kali ini saya ingin
sedikit menceritakan tentang sejarah perkembangan ujian di Indonesia dari awal hingga
sekarang.
Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sistem ujian nasional telah mengalami beberapa
kali perubahan dan penyempurnaan, perkembangan ujian nasional tersebut yaitu :
1. Periode sebelum tahun 1969
Pada periode ini, sistem ujian akhir yang diterapkan disebut dengan Ujian Negara, berlaku untuk
semua mata pelajaran. bahkan ujian dan pelaksanaannya ditetapkan oleh pemerintah pusat dan
seragam untuk seluruh wilayah di Indonesia.
2. Periode 1972 1982
Pada tahun 1972 diterapkan sistem Ujian Sekolah di mana setiap atau sekelompok sekolah
menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan hasil pemrosesan hasil ujian semuanya
ditentukan oleh masing-masing sekolah/ kelompok sekolah. Pemerintah pusat hanya menyusun
dan mengeluarkan pedoman yang bersifat umum. Untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu
pendidikan serta diperolehnya nilai yang memiliki makna yang sama dan dapat dibandingkan
antar sekolah.
3. Periode 1982 2002
Pada tahun 1982 dilaksanakan ujian akhir nasional yang dikenal dengan sebutan Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). dalam EBTANAS dikembangkan sejumlah perangkat soal
yang pararel untuk setiap mata pelajaran dan penggandaan soal dilakukan didaerah. Pada
EBTANAS kelulusan siswa ditentukan oleh kombinasi nilai semester I (P), nilai semester II (Q)
dan nilai EBTANAS murni (R)
4. Periode 2002-2004
Pada tahun 2002, EBTANAS diganti dengan penilaian hasil belajar secara nasional dan
kemudian berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara
UAN dengan EBTANAS adalah dalam cara menentukan kelulusan siswa, terutama sejak tahun
2003. Untuk kelulusan siswa pada UAN ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual.
5. Periode 2005 sekarang
Mulai tahun 2005 untuk mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan yang bermutu,
pemerintah menyelenggarakan Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB dan
SMA/SMK/MA/SMALB/SMKLB. Sedangkan untuk mendorong tercapainya target wajib belajar
pendidikan yang bermutu, mulai tahun ajaran 2008/2009 pemerintah menyelenggarakan Ujian
Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD/MI/SDLB.

Anda mungkin juga menyukai