Anda di halaman 1dari 30

A.

Pengertian Ujian Nasional


Pada era globalisasi ini, semua negara berkompetisi untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk
sering dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus
menerus dan berkelanjutan.
Yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah
penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan lulus
atau kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai
batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi
tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi
tertentu. Bila itu terjadi pada Ujian Nasional atau sekolah maka nilai
batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus
dan yang tidak lulus disebut batas kelulusan. Kegiatan penentuan
batas kelulusan disebut standard setting.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003, pada
bab XVI pasal 57 sampai dengan 59 tentang evaluasi menyatakan
bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional
dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara
pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik
untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses
pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan.
Manfaat standard setting ujian akhir, diantaranya:
1) Adanya batasan kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan
tuntutan kompetensi minimum.
2) Adanya standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai
standar minimum pencapaian kompetensi.
B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional
Di antara berita masalah hukum yang belum berkeadilan, masih
ada berita masalah pendidikan yang juga tak kalah seru. Ujian
nasional akan dimajukan waktunya, dan sungguh sangat
mengejutkan Bila sampai mereka mogok, maka akan sengsaralah
para guru, apalagi buat mereka yang belum dinyatakan lulus
sertifikasi guru. Sudah lulus saja masih bermasalah, apalagi belum
lulus sertifikasi pastilah ada banyak masalah, khususnya masalah isi
kantong yang belum menyebar merata ke semua guru. Itulah yang
saya baca dari koran kompas cetak bagian opini hari ini, Jum’at 20
November 2009.
Masalah pendidikan memang masalah pelik, dan tidak semua orang
bisa memahaminya dengan cara-cara yang bijaksana. Tentu dari
kebijakan menteri pendidikan nasional yang baru, kita berharap ada
terobosan yang berbeda dari menteri pendahulunya.
Perbedaan itu misalnya berani menghapus Ujian Nasional karena
Ujian Nasional mematikan kreatifitas siswa dan guru. Ujian Nasional
hanya melatih siswa menjawab soal-soal pilihan ganda dan semua
soal Ujian Nasional itu bisa di drill dengan latihan soal-soal terus
menerus. Bagi mereka yang mempunyai uang banyak mungkin tak
ada kesulitan dalam memberikan materi tambahan, tetapi bagi
mereka yang tak punya uang, maka harus belajar ekstra keras
berlatih soal-soal.
Untuk bisa mengerjakan soal-soal Ujian Nasional, anda tak perlu
sekolah, cukup masuk bimbingan belajar (bimbel) selama beberapa
bulan, dijamin anda pasti lulus. Bila tak lulus, janji mereka, uang
kembali 100 %.
Ujian Nasional tidaklah cocok dijadikan penentu kelulusan siswa.
Sebab, masih banyak ukuran kelulusan yang bisa dilakukan,
misalnya dengan sistem tes masuk perguruan tinggi, sehingga bila
ada peserta didik yang ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih
tinggi, maka peserta didik itu harus ikut tes sesuai dengan jenjang
yang akan dimasukinya. Seleksi tes perguruan tinggi tak melihat
nilai siswa, tetapi kemampuan siswa. Mereka yang tak lolos tes,
otomatis akan terlibas oleh mereka yang lulus tes.
Selain masalah Ujian Nasional, ada masalah sertifikasi guru yang
belum tuntas dan masih terus dievaluasi. Pelaksanaan sertifikasi
guru memang belum menyenangkan semua pihak. Guru diibaratkan
seperti kelinci percobaan dari para penentu kebijakan yang
sebenarnya kebijakan ini dipaksakan. Satu sisi jelas guru harus
disertifikasi untuk meningkatkan profesionalisme mereka, tetapi di
sisi lain masalahnya adalah banyak guru yang kurang bersabar
dalam menunggu giliran sesuai dengan jenjang kepangkatannya,
dan kurang bersyukur dengan apa yang telah didapatkan, sehingga
banyak kita lihat guru yang sudah tersertifikasi justru mengalami
penurunan kinerja.
Akhirnya Ujian Nasional dan sertifikasi adalah masalah yang
memusingkan menteri, dan kita doakan beliau mampu
mengatasinya dengan kebijakan yang “smart” . Berlaku adil dan
menyenangkan semua pihak. Kita pun berharap guru semakin
bermartabat. Guru di sekolah mampu menjalankan tugasnya
dengan baik, dan dosen di perguruan tinggi tidak terlalu asyik
mengerjakan tugasnya di luar, untuk mencari tambahan
penghasilan sehingga banyak mahasiswa yang tidak terbina dengan
baik.
Semoga saja kita bisa memberikan dorongan positif agar
pelaksanakan Ujian Nasional dan sertifikasi ini berjalan sesuai
dengan harapan semua pihak. Tidak 100 % mungkin memang,
tetapi setidaknya masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan
dengan tepat dan cepat.
Fungsi Ujian Nasional SMA, SMK, dan MA sebagai bahan
pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri. Fungsi
evaluasi nasional tidak lagi merupakan syarat kelulusan tetapi
terutama adalah untuk mengevaluasi sampai di mana pencapaian
mutu pendidikan, baik secara kewilayahan maupun nasional.
C. Ujian Nasional Sebagai Kebutuhan
Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan
dengan sistem yang digunakan dalam bidang pendidikan. Yang
terakhir kurikulum yang digunakan dalam sistem pendidikan
nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang secara substansi dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah
kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan
dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal. Hal ini
menyebabkan adanya perbedaan kurikulum antara sekolah yang
berada di wilayah A dengan sekolah yang berada di wilayah B.
Karena karakteristik suatu wilayah pasti berbeda sesuai dengan
topografi dan kondisi budayanya.
Untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa, dilakukan penilaian
secara sistematis. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan,
penilaian dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk
memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk
ulangan harian, ujian tengah semester dan ujian akhir semester.
Satuan pendidikan atau sekolah juga harus melakukan penilaian
kepada siswa untuk menilai pencapaian Standar Kompetensi
Lulusan (SKL) semua mata pelajaran melalui ujian sekolah. Namun
selain penilaian dari kedua pihak tersebut adalagi penilaian yang
dilakukan oleh pemerintah untuk menilai kompetensi lulusan secara
nasional pada mata pelajaran tertentu kelompok mata pelajaran
iptek melalui Ujian Nasional.
Ujian Nasional Bukan Representasi Pencapaian Kompetensi Siswa.
Pertanyaan yang boleh diajukan adalah perlukah Ujian Nasional
dilakukan untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan?
Padahal guru dan sekolah sebagai pihak yang bertanggung jawab
penuh dalam proses pembelajaran pun sudah melakukan penilaian
yang menurut hemat saya sudah sangat representatif untuk
mengetahui kompetensi siswa, bahkan hasilnya lebih valid dalam
menggambarkan pencapaian belajar siswa karena dilakukan secara
berkesinambungan dan disesuaikan dengan kurikulum sebagai
perencanaan pembelajaran siswa.
Permasalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan Ujian Nasional
adalah banyaknya praktek kecurangan, mulai dari joki jawaban
ujian sampai dengan mark up nilai ujian nasional. Tuntutan nilai
ketuntasan minimum yang semakin tinggi adalah salah satu indikasi
penyebab praktek kecurangan dalam Ujian Nasional.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, pasal 66 menyebutkan bahwa Ujian
Nasional adalah salah satu bentuk penilaian hasil belajar yang
dilakukan oleh pemerintah, bertujuan untuk menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu
dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi. Hal ini
sedikit berbeda dengan penilaian hasil belajar di perguruan tinggi,
yang proses penilaiannya hanya dilakukan oleh pendidik dan satuan
pendidikan (perguruan tinggi) yang bersangkutan. Jika pada
perguruan tinggi saja penilaian bisa dilakukan oleh dosen dan
perguruan tinggi yang bersangkutan saja, maka tidak akan ada
masalah berarti jika saja Ujian Nasional dihapuskan, karena pada
tingkatan perguruan tinggi pun penilaian yang dilakukan oleh
pendidik dan perguruan tinggi yang bersangkutan sudah
representatif untuk mengetahui penguasaan kompetensi lulusan.
Kalau pemerintah mengatakan bahwa hasil Ujian Nasional dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan dalam seleksi penerimaan
mahasiswa di perguruan tinggi, maka hal itu bisa dinegasikan
karena perguruan tinggi bisa melakukan penerimaan mahasiswa
baru melalui seleksi ujian masuk perguruan tinggi. Penerimaan
mahasiswa dengan jalur khusus pun masih bisa menggunakan nilai
hasil ujian akhir sekolah dan raport, karena hasil ujian akhir sekolah
dan raport juga sudah memenuhi standar kompetensi lulusan yang
ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Artinya
alasan apapun yang menjadi pertimbangan agar Ujian Nasional
tetap digunakan sebagai alat penilaian hasil belajar atau sebagai
alat untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi lulusan secara
nasional bisa terbantahkan.
Untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional,
pemerintah pusat bisa berkoordinasi dengan pemerintah daerah,
karena satuan pendidikan (sekolah) biasanya melakukan pelaporan
hasil belajar siswa secara berkala kepada dinas pendidikan yang
menaungi sekolah tersebut. Selain itu pemerintah pusat punya
badan khusus yang disebut dengan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) yaitu badan mandiri dan independen yang
bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan
mengevaluasi standar nasional pendidikan. Standar nasional
pendidikan yang ditetapkan BSNP yang terdiri dari standar isi,
standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan
adalah acuan bersama satuan pendidikan dalam mengelola proses
pembelajarannya.
Untuk mensinergiskan pencapaian minimal profesionalitas
pendidikan mungkin keberadaan badan bagian dari pemerintah
yang capable dalam memformulasikan standar minimal secara
nasional seperti BSNP diakui sangat dibutuhkan. Namun formulasi
yang dilakukan hendaknya secara konsep dan teori adalah sebagai
acuan pelaksanaan pembelajaran oleh satuan pendidikan.
Pelaksanaannya dikembalikan lagi ke satuan pendidikan,
disesuaikan dengan sejauh mana pemerintah daerah tempat satuan
pendidikan tersebut bernaung dalam memberikan dan
meningkatkan fasilitas yang layak untuk proses pembelajaran.
Kondisi daerah yang berbeda pastinya memberikan pengaruh
terhadap satuan pendidikan yang dinaunginya. Alhasil ini pun
berdampak pada hasil belajar siswa yang berada di daerah
tersebut. Ujian Nasional dengan standar nilai minimal yang sama
tidak memungkinkan digunakan karena kondisi tiap daerah tidak
sama, ada yang pendapatan daerahnya tinggi sehingga fasilitas
belajarnya lengkap dan menunjang pembelajaran siswa dan tidak
dinafikan pula masih banyak daerah tertinggal di negeri ini yang
tentunya hanya memenuhi kebutuhan fasilitas belajar satuan
pendidikan di daerahnya seadanya atau bahkan jauh dari standar
nasional yang sudah ditetapkan.
D. Dampak Negatif Ujian Nasional
Perhelatan rutin tahunan Ujian Nasional telah usai. Sebagai sebuah
kebijakan pemerintah Ujian Nasional jelas ada sisi positif (manfaat)
dan juga ada sisi negatifnya (madharat). Untuk kasus Ujian
Nasional, manfaatnya jelas ada, dampak/ekses negatif dari Ujian
Nasional itu jauh lebih besar dibanding dengan manfaatnya. Tulisan
ini sengaja hanya akan mencoba menguak dampak negatif dari
pelaksanaan Ujian Nasional dengan sistem yang ada sekarang.
Bukankah Ujian Nasional yang sungguh telah menghabiskan dana
negara atau uang rakyat yang sangat banyak itu, langsung maupun
tidak langsung, sebenarnya telah meninggalkan efek negatif
terhadap masyarakat di dalam mempersepsi keberadaan pendidikan
nasional?.
Dampak negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini
adalah bergesernya paradigma (wijhat al- Nadzar) bagi para
praktisi pendidikan, peserta didik dan wali pseserta didik.
Pertama, konstruk berfikir para kepala sekolah / madrasah dan
guru tentang hakekat atau substansi dari kegiatan pendidikan
sekarang ini hanyalah sebatas mengantarkan para peserta didik
untuk lulus Ujian Nasional saja. Akibatnya, tentang bagaimana
mengantarkan peserta didik untuk menjadi anak yang cerdas
sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan nasional,
tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting
bagaimana para peserta didik itu siap berlaga dalam Ujian Nasional
yang hanya terdiri dari tiga mata pelajaran tersebut.
Kedua, dampak Ujian Nasional bagi peserta didik adalah timbulnya
pemahaman yang keliru terhadap makna bejalar di
sekolah/madrasah. Tujuan study (belajar) yang mestinya dalam
rangka mencari ilmu (thalab al- ‘ilmi), kecerdasan dan akhlak yang
mulia (akhlak al-Karimah) berubah menjadi sekedar meraih
kelulusan Ujian Nasional untuk tiga mata pelajaran Ujian Nasional.
Akibatnya, mata pelajaran yang tidak di Ujian Nasional kan
akhirnya menjadi dinomorduakan, termasuk gurunya. Kondisi
demikian ini masih diperparah oleh sistem pelaksanaan Ujian
Nasionalnya tidak jujur. Setiap kali ada pelaksanaan Ujian Nasional
hampir pasti muncul aroma yang cukup tajam bahwa ada beberapa
sekolah/madrasah yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya tidak
fair-play alias tidak jujur. Artinya, dalam pelaksanaan Ujian
Nasional di tingkat sekolah/madrasah itu panitianya dan tentu
dengan “restu” kepalanya secara langsung atau tidak langsung
membantu siswa supaya lulus Ujian Nasional, misalnya dengan cara
memberi kunci jawaban kepada peserta Ujian Nasional, dan juga
bisa dengan cara menggunakan siswa pandai untuk “dicontoh” oleh
peserta didik yang memang lemah.
Sebenarnya untuk mendeteksi sebuah sekolah/madrasah bertindak
curang atau tidak itu tidak terlalu sulit, di antaranya menanyakan
kepada para peserta didik yang baru saja menyelesaikan belajarnya
(tamat). Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebuah
sekolah/madrasah itu melakukan curang/ tidak. Di samping itu, di
dunia pendidikan kita sekarang ini muncul “keanehan-keanehan”.
Pertanyaannya adalah “ada apa denganmu panitia Ujian Nasional di
tingkat sekolah/madrasah?” Sekolah/madrasah yang dalam
pelaksanaan Ujian Nasionalnya itu tidak jujur dan tidak fair-play,
sebenarnya lembaga pendidikan tersebut telah melakukan
“kejahatan intelektual” secara berjama’ah. Siapa yang paling
berdosa, tidak lain adalah panitia Ujian Nasional di tingkat
sekolah/madrasah yang tentu saja “dikomandani” oleh kepala
sekolah/kepala madrasahnya. Dengan melakukan kecurangan,
berarti telah menafikan nilai-nilai akademis dari sebuah kegiatan
pendidikan yaitu kejujuran (fairness) dan obyektifitas (objectivity)
itu sendiri. Kalau dalam wilayah ilmu itu tidak jujur, jelas itu
merupakan bentuk “kejahatan intelektual”. Bagi sekolah/madrasah
yang dalam pelaksanaan Ujian Nasionalnya curang, maka akan
berdampak pada peserta didik di kelas bawahnya yang tahun
berikutnya akan melaksanakan Ujian Nasional. Mereka para adik
kelas yang mwngetahui bahwa kakak kelas dalam Ujian Nasionalnya
itu dibantu oleh guru, maka jelas mereka akan “ogah-ogahan”
dalam belajar karena mereka tahu bahwa nanti pada saat UJian
Nasional pasti akan dibabntu oleh guru sebagaimana kakak
kelasnya dulu.
Ketiga, dampak negatif terhadap wali peserta didik adalah bahwa
sekarang ini sudah banyak wali peserta didik yang beranggapan
bahwa yang namanya sukses pendidikan anaknya yaitu apabila
anaknya lulus Ujian Nasional. Degan demikian para wali peserta
didik sudah tidak lagi memperdulikan apakah anaknya itu
akhlak/kelakuannya baik atau tidak, menjadi tambah mandiri,
berwawasan luas, kretaif dan inovatif atau tidak?. Yang penting
apabila sudah lulus Ujian Nasional berarti sudah berhasil.
Konsekuensi asumsi yang demikian adalah wali peserta didik
kemudian menjadi kurang respek terhadap pengawasan dan
pendampingan belajar anaknya. Orang tua baru akan peduli
terhadap belajar anaknya ketika Ujian Nasional sudah dekat,
sementara untuk saat-saat di luar menjelang Ujian Nasional, anak
tidak pernah dimotivasi untuk belajar secata continue.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, sebenarnya dampak
negatif dari sistem Ujian Nasional yang ada sekarang ini juga
melanda ke lembaga-lembaga /para pengelola pendidikan non
pemerintah. Harus diingat bahwa para pengelola lembaga
pendidikan non-pemerintah dalam membangun gedung/ RKB dan
pengadaan fasilitas pendidikan yang lain itu, dananya berasal dari
hutang bank. Kemudian guru dan karyawannya 100% swasta .
Mereka berkewajiban “mencicil” tiap bulan ke Bank dan membayar
guru/karyawan tiap bulan. Coba apa yang bakal terjadi apabila
sekolah tersebut banyak yang tidak lulus?. Dengan demikian
lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah yang kondisinya
demikian penulis yakin akan berusaha dengan “cara apapun” yang
penting para siswanya harus lulus Ujian Nasional. Sebab, kalau
sampai terjadi banyak yang tidak lulus Ujian Nasional akan dapat
berakibat fatal dan bahkan bisa terjadi “kiamat” di lembaga
pendidikan tersebut. Sebab, secara empirik, lembaga pendidikan
non pemerintah yang demikian itu, sebenarnya bukan saja
berfungsi sebagai wahana pencerdasan anak bangsa/peserta didik
tetapi juga berfungsi ekonomis, yakni sebagai “lahan penghidupan”
bagi guru dan pegawai yang berada di dalamnya beserta
keluarganya. Dengan demikian kelulusan Ujian Nasional itu ada
hubungannya dengan “dapur”.
Pelaksanaan Ujian Nasional sering kali mengorbankan siswa dan
guru, di tingkat akhir sekolah pembelajaran siswa hanya difokuskan
untuk lulus Ujian Nasional dengan pemberian pelajaran tambahan
yang bisa menyebabkan siswa stress.
Ada yang berpendapat Ujian Nasional malah menghambat
perkembangan anak didik. Ujian Nasional merupakan pemborosan
untuk sesuatu yang tidak berarti apa-apa dalam peningkatan
perkembangan anak didik.
E. Solusi
Untuk menghindari pro dan kontra tentang perlu-tidaknya ada Ujian
Nasional, maka penulis menawarkan alternatuf solusi. Pertama,
kembalikan fungsi Ujian Nasional itu sebagai sekedar alat
“pemetaan” (mapping) kualitas pendidikan, bukan sebagai alat
penentu kelulusan. Jadi, Ujian Nasional itu berfungsi seperti sistem
Ebtanas yang model dahulu. Artinya anak tetap mendapat STTB dan
nilai Ebtanas sebagai lampiran dari STTB tersebut. Ketika Ujian
Nasional tidak dijadikan alat penentu kelulusan, maka pelaksanaan
Ujian Nasional di sekolah/madrasah jelas cenderung akan lebih fair-
play dan jujur karena tidak ada rasa khawatir peserta didiknya tidak
lulus. Kemudian yang menentukan lulus-tidaknya peserta didik,
diserahkan kepada sekolah/madrasah. Kedua, apabila Ujian
Nasional itu tetap dijadikan alat penentu kelulusan, maka agar Ujian
Nasional itu lebih demokratis dan adil, batas kelulusan (passing-
grade) yang dijadikan patokan kelulusan itu jangan hanya ada satu
seperti sekarang, tapi paling tidak ada tiga tipologi /strata passing-
grade, misalnya : tipe A dinyatakan lulus dengan passing grade 5,1,
tipe B lulus dengan passing grade 4,1 dan tipe C lulus dengan
passing grade 3,1. Dan sejak awal pendaftaran Ujian Nasional
peserta didik sudah mendaftar Ujian Nasional dengan preferensi
tipe /passing-grade yang sesuai dengan kemampuan dirinya.
Sekarang ini kan tidak adil.
Sekolah/madrasah yang pinggiran, sekolah/madrasah yang gurunya
belum memenuhi standar, sekolah/madrasah yang sarprasnya
sangat tidak memenuhi, passing-grade-nya disamakan dengan
sekolah yang sudah berstandar SSN. Dimana letak keadilannya?.
Apabila tiga tipologi passing-grade itu sejak awal sudah ditawarkan
kepada peserta didik yang akan melaksanakan Ujian Nasional
berarti telah ada keadilan dalam dunia pendidikan kita. Peserta
didik yang mendapat nilai tinggi tentu akan masuk ke sekolah-
sekolah favorit- sementara yang nilainya rendah akan memilih
sekolah/madrasah yang sekiranya mau menerima dirinya sesuai
dengan nilai hasil Ujian Nasional/Nilai Ebtanas Murni yang dimilki.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Indonesia sudah mengalami beberapa kali perombakan berkenaan
dengan sistem yang digunakan dalam bidang pendidikan. Yang
terakhir kurikulum yang digunakan dalam system pendidikan
nasional disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) yang secara substansi dikembangkan dengan prinsip
diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan
peserta didik. Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah
kurikulum operasional yang disusun oleh tiap satuan pendidikan
dengan memasukkan pendidikan berbasis budaya lokal.
Ada yang bahagia karena berhasil lulus dan ada sekelompok kecil
yang bersedih karena tidak berhasil lulus. Yang lulus belum berarti
mereka lebih pintar daripada yang tidak lulus tidak mengindikasikan
bahwa mereka lebih bodoh.
Satu hal lagi yang dilupakan oleh pemerintah adalah bahwa tidak
semua siswa menjadi lebih rajin dalam mempersiapkan menghadapi
Ujian Nasional. Pemerintah mungkin lupa akan adanya kecerdasan
majemuk dan sifat para siswa yang memang sangat beragam.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Jawa Barat, Ginandjar
Kartasasmita, menyatakan menolak penyelenggaraan Ujian
Nasional dengan alasan Ujian Nasional mengurangi hak guru
menilai prestasi siswanya selama belajar di sekolah tersebut.
Sedangkan Sofyan Yahya, anggota dewan DPD lainnya,
menyayangkan sikap pemerintah yang bersikeras melaksanakan
Ujian Nasional meski sudah ada putusan kasasi dari Mahkamah
Agung (KOMPAS, 15 Desember 2009).
B. Saran-saran
Dari beberapa sumber yang saya baca, Ujian Nasional memang
sangat dibutuhkan karena dengan standar tersebut saya bisa
termotivasi untuk lebih giat belajar untuk mencapai hasil yang
maksimal.
Sebaiknya Ujian Nasional, tidak perlu terus dinaikkan setiap
tahunnya. Karena akan membuat peserta didik menjadi sangat
terbebani dengan nilai standarisasi itu. Upaya yang harus lebih
diperhatikan siswa dianjurkan sewaktu mengikuti kegiatan belajar
tambahan harus serius dan bersungguh-sungguh.
Ujian Nasional sangat penting karena itu merupakan barometer
atau ukuran keberhasilan peserta didik sejauh mana siswa
menyerap atau menerima materi yang disampaikan pengajar,
karena kalau peserta didik yang berhasil menerima materi tersebut
pasti lulus, tapi itu kembali pada pengajar dan yang memberi
materi tersebut.
Selain mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sebaiknya
peserta didik dibekali keterampilan, agar peserta didik bisa
mengembangkan keterampilannya setelah keluar dari sekolahnya.
Tidak harus yang mengeluarkan biaya besar-besaran untuk
mengadakan pendidikan keterampilan tersebut di sekolah.
A. Latar Belakang Masalah

Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa


masyarakat yang menilai pemerintah tidak konsisten, karena
dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor penentu
kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu
pendididkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum
diimbangi dengan pemerataan fasilitas pendidikan di beberapa
daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami kesulitan
untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa
terpaksa harus mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi
standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional ditetapkan sejak tahun 2004
lalu, tingkat SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata pada
Ujian Nasional sebesar 4,0. tahun 2005 menjadi 4,25, tahun 2006
4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan
tahun 2009 angka kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun
berikutnya, tidak akan menjadi persoalan jika hasil evaluasi Ujian
Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-
daerah yang diketahui dari hasi Ujian Nasional tersebut memiliki
nilai kelulusan rata-rata rendah.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional
secara gencar berlangsung sejak lim tahun terakhir seiring
munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi tahap
akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak
sekolah kembali diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian
Nasional sebagai standar kelulusan nasional, diantaranya gugatan
warga negaranya sendiri.
Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui
terjadinya pro dan kontra dalam pelaksanaan Ujian Nasional.
Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah rampung, karena bukan
masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan,
tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan.
“Tujuan penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu diperdebatkan dan
dipertentangkan lagi terutama terkait penentu kelulusan atau standar nasional,” ujarnya.
Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan.
Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun anak
didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi pendididkan yang
dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari segi kuantitatif, tetapi juga
kualitatif.
Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan penulis melihat kenyataan pada era ini, perkembangan
pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional banyak pro kontra dari
berbagai kalangan masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan di atas penulis merasa tertarik untuk membuat makalah ini dengan
memilih judul : “ PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI INDONESIA”.

B. Rumusan Masalah
Di dalam pembuatan makalah ini penulis mengambil sebuah judul “PRO KONTRA UJIAN NASIONAL DI
INDONESIA”. Dengan orientasi untuk memberikan gambaran umum dari seputar dunia pendidikan di
Indonesia itu sangat luas maka penulis batasi dengan pembatasan sebagai berikut:
1) Bagaimana pengertian Ujian Nasional ?
2) Bagaimana peran dan fungsi Ujian Nasional?
3) Bagaimana jika Ujian Nasional menjadi salah satu kebutuhan?
4) Bagaimana dampak negatif dari Ujian Nasional?
5) Bagaimana solusi dari Ujian Nasional?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama penulisan pembuatan makalah ini ialah sebagai berikut :
1) Untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Akhir Semester mata kuliah Teknik Penulisan Karya
Ilmiah (TPKI).
2) Untuk mencoba kemampuan penulis sendiri membuat makalah dan untuk memperoleh
pengalaman.
3) Untuk memberikan gambaran tentang Ujian Nasional di Indonesia
D. Langkah-langkah Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Langkah-langkah Penulisan (sistematika)
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ujian Nasional
B. Peran dan Fungsi Ujian Nasional
C. Ujian Nasional Salah Satu Kebutuhan
D. Dampak Negatif Ujian Nasional
E. Solusi Dari Ujian Nasional
BAB III PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran-saran
A.     Latar  Belakang
Apa yang terlintas dalam pikiran kita ketika mendengar istilah “Ujian
Nasional?” Ya, Ujian Nasional (UN) tentu sudah tidak asing di telinga para
pelajar, orang tua, guru dan pihak-pihak lain yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan. Masyarakat umumseringkali menafsirkan UN sebagai bagian
akhir dari proses panjang pada satuan pendididikan tertentu  sebelum
mereka  dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebihtinggi. Sebelum
melaksanakan UN, para siswa juga harus menjalani serangkaian bentuk ujian
yang nantinya hasil dari ujian-ujian tersebut dapat digunakan sebagai acuan
apakahsiswa tersebut lulus atau tidak. Penyelengaraan UN ternyata banyak
memunculkan pro dan kontra baik dilingkungan internal pendidikan maupun di
lingkungan eksternal pendidikan. Yusuf, S.E.(2008),menyatakan bahwa
evaluasi hasil belajar seperti UN tidak dapat mencapai tujuan pendidikan
nasional  karena tingkah laku peserta didik dipengaruhi oleh materi yang
akandiujikan. Jika yang diujikan adalah kumpulan hapalan pengetahuan maka
mereka hanyaakan belajar materi yang diujikan dan mengabaikan berbagai
pengalaman belajar yangtidak termasuk bahan ujian.
Munculnya perbedaan pendapat mengenai UN ternyata, disadari atau
tidak,memicu kegelisahan dalam diri para peserta didik. Kegelisahan ini juga
dirasakan olehseluruh warga sekolah, mulai dari siswa, guru, staf, kepala
sekolah bahkan orang tua siswa.Pihak orang tua dan sekolah berupaya keras
agar anak dan siswanya dapat lulus UN (bahkan ada beberapa pihak yang
ekstrim menyatakan “yang penting lulus, apapuncaranya”). Para guru pun
lebih terfokus untuk mengajarkan materi-materi yang munculdalam UN agar
siswanya lulus 100% sehingga menghambat kreativitas para pengajar untuk
menyediakan pembelajaran yang kreatif bagi para peserta didik. Lantas,
apakah inigambaran pendidikan Indonesia yang ingin dicapai pada masa
awal kemerdekaanIndonesia?

1
 
Kita akan menilik sejenak pada tujuan pendidikan nasional yang tersirat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “...mencerdaskan
kehidupan bangsa...”.Bangsa yang cerdas direpresentasikan melalui profil
warga negara yang cerdas. Warganegara yang cerdas merupakan pribadi
yang tidak hanya cerdas secara kognitif tetapi juga mencerminkan nilai-nilai
yang terdapat dalam dasar negara Indonesia, Pancasila. Nilai-nilai yang
dimaksudkan adalah:
1.       Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, mencerminkan pribadi
yangmendasarkan pengetahuannya sebagai wujud pengakuannya terhadap
TuhanYang Maha Esa.
2.       Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, mencerminkan pribadi
yang mampu bersikap adil dan memanusiakan manusia lainnya.
3.        Sila ketiga, Persatuan Indonesia, mencerminkan pribadi yang menunjung
tinggi persatuan bangsa diatas kepentingan pribadi.
4.       Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, mencerminkan pribadi yang mampu
mewujudnyatakan hikmat dan kebijaksanaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
5.       Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerminkan
pribadi yang
menggunakan pengetahuannya untuk kebaikan seluruh umatmanusia
terutama bangsanya.
Profil manusia Indonesia yang cerdas tentu saja perlu dikembangkan
dengan menyediakan pembelajaran yang tidak hanya menekankan aspek
kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik. United Nations
Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
merekomendasikan lima pilar dasar pembelajaran yangsebaiknya diterapkan
oleh seluruh program pendidikan, yaitu: 
1.       Learning to know. Setiap peserta didik mempunyai kesempatan
untuk membangun sendiri pengetahuannya dengan cara
mengintegrasikan pengetahuan asli yang dimiliki dengan
pengetahuan yang berasal dari luar.Dengan demikian, peserta didik akan
berpikir kritis untuk memaknai pembelajarannya.
2.       Learning to do.Peserta didik memiliki kemampuan dan kesempatan
untuk mengaplikasikan apa yang sudah ia pelajari dalam kehidupan
sehari-hari. Tidak hanya mengaplikasikan tetapi juga dapat
mengembangkan teori atau konsepintelektualitasnya.
3.       Learning to live together. Peserta didik menyadari bahwa dirinya
merupakan bagian dari komunitas,
masyarakat lokal maupun global dan ia mempunyai peran untuk dapat
bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia.
4.      

2
 
Learning to be. Pembelajaran sebaiknya membuka kesempatan kepada
siapasaja untuk dapat mengembangkan potensi dirinya sehingga setiap
individu dimampukan untuk belajar, mencari tahu, membangun dan
mengunakan pengetahuannya untuk  mengatasi masalah-masalah yang
terjadi. Pendidikan ukan untuk memenuhi tujuan pemerintah atau
hanya sekear mencetak ilmuwan-ilmuwan.
5.       Learning to transform oneself and society. Peserta didik
menyadarikebutuhannya untuk terus belajar sepanjang hayat sebagai
bentuk transformasidiri dan berkontribusi dalam masyarakat.
Dalam rangka mengevaluasi pembelajaran yang sudah dilakukan di
seluruh Indonesia dan mengacu pada tujuan pendidikan nasional, pemerintah
menyusun suatumodel evaluasi. Model evaluasi yang diterapkan saat ini,
Ujian Nasional, dikatakan sebagaisalah satu upaya pemerintah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.Makalah ini akan
memaparkan sejarah sistem ujian akhir yang pernah dan masihditerapkan di
Indonesia, bagaimana pelaksanaannya, pelaksanaan UN sebagai salah
satu bentuk mandated examination,makna dan peranan assessment dalam
proses pembelajaranserta menilik persiapan UN yang dilakukan oleh salah
satu sekolah swasta di Jakarta.
1. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah UN di Indonesia?
2. Bagaimana Pelaksanaan UN di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud Mandated Examation?
4. Apa Saja Makna dan Peranan Assessment?
5. Bagaimana Study Kasus di Lapangan?

1. Tujuan
1. Agar Kita Mengetahui Sejarah UN di Indonesia.
2. Agar Kita Mengetahui Pelaksanaan UN di Indonesia.
3. Agar Kita Mengetahui Mandated Examation.
4.

3
 
5. Agar Kita Mengetahui Makna dan Peranan Assessment.

BAB II
PEMBAHASAN
Dengan berlandaskan pada tujuan negara untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, pemerintah
berusaha menyediakan pendidikan yang berkualitas kepada seluruh warga
negara Indonesia. Pendidikan yang berkualitas diharapkan tersebar merata
dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, pemerintah memandang perlu
untuk menetapkan dan memantau standar pendidikan secara nasional. Salah
satu upaya yang dilakukan adalah mengevaluasi penyelenggaraan
pendidikan. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
menyatakan bahwa evaluasi dilakukan sebagai bentuk akuanttabilitas
penyelenggara pendidikan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan. Evaluasi tersebut dilakukan oleh lembaga mandiri
secara berkala, menyeluruh, transparan dan sistemik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan.

A.     Sejarah Ujian Nasional


Ujian Nasional (UN) merupakan sistem ujian akhir nasional yang
berlaku diIndonesia saat ini. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007, UN merupakan kegiatan
pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara 
nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam pelaksanaann
ya, sistem ujian
akhir memang tidak pernah lepas dari evaluasi dan penyempurnaan. Sejarah 
mencatat beberapa kali perubahan sistem ujian hingga saat inikita
mengenalnya sebagai UN.
1.       Tahun 1965-1971. Sistem ujian akhir yang dilaksanakan disebut Ujian
Negaradan berlaku untuk semua mata pelajaran. Pada periode ini, ujian
masih tersentralisasi sehingga pelaksanaannya masih ditetapkan oleh
pemerintah pusat.
2.       Tahun 1972-1979. Pada periode ini, ujian negara dihapuskan dan diganti
dengan ujian sekolah. Sistem ini memberikan kewenangan pada tiap sekolah
untuk menyelenggarakan ujian akhir masing-masing. Soal dan pemrosesan
hasil pun diserahkan kepada pihak sekolah. Peran pemerintah pusat hanya
menyusundan mengeluarkan pedoman ujian yang bersifat umum.
3.      

4
 
Tahun 1980-2000 diberlakukan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS). Sistem ini diterapkan untuk meningkatkan dan mengendalikan
mutu pendidikan serta memperoleh indikator (nilai) yang bermakna “seragam”
agar dapat menjadi bahan perbandingan antar sekolah. Dalam
menyelenggarakan, Ebtanas disarankan
mempunyai banyak kelemahan baik dari segi akademis maupun teknis
penyelenggaraan. Kelemahan-kelemahanyang dijumpai, antara lain: (a)
ketidak mampuan mengukur pencapaian prestasiakademik secara
komprehensif, (b) pengujian dilakukan secara temporal dandalam waktu yang
singkat, (c) proses pembelajaran tereduksi dan hanya berorientasi pada
Ebtanas dan (d) Ebtanas hanya mampu  mengumpulkan informasi terkait
dengan kemampuan kognitif saja.
4.       Tahun 2001-2004. Mengingat kelemahan-kelemahan yang muncul akibat
Ebtanas, pada periode ini sistem ujian akhir diganti dengan Ujian Akhir
Nasional (UAN). Perbedaan yang menonjol antara Ebtanas dengan UAN
yang ada pada cara menentukan
kelulusan siswa. Dalam Ebtanas, kelulusan siswaditentukan oleh kombinasi
antara nilai semester I, nilai semester II dan nilai Ebtanas murni. Sedangkan
dalam UAN, kelulusan siswa ditentukan oleh nilaimata pelajaran secara
individual.
5.       Tahun 2005-sekarang. Untuk mendorong tercapainya wajib belajar yang
bermutu, pemerintah menyelenggarakan ujian nasional untuk tingkat
SMP danSMA atau sederajat. Sedangkan untuk tingkat SD atau sederajat
Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) baru diterapkan pada
tahun 2008 dankini nama yang digunakan adalah UN.

B.      Pelaksanaan UN di Indonesia
UN dilaksanakan satu tahun sekali menjelang akhir tahun ajaran.
Untuk tingkat SMA dan SMP, UN diselenggarakan sekitar bulan April
sedangkan untuk tingkat SD diselenggarakan sekitar bulan Mei. UN
merupakan salah satu komponen yang menentukankelulusan peserta didik
dari satuan pendidikan tertentu. Berdasarkan Peraturan Menteri No.59 tahun
2011, peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan setelah:
1.       menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
2.       memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata
pelajaran yang terdiri atas kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok
mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan
kesehatan.
3.       lulus ujian sekolah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
danteknologi.
4.       lulus UN.

5
 
Kriteria kelulusan UN sendiri sempat mengalami beberapa kali
perubahan. Nilai UN merupakan salah satu komponen dalam perhitungan
nilai akhir (NA) selain nilaisekolah (NS). Berdasarkan peraturan menteri di
atas, pada tahun ajaran 2011/2012, peraturan NA ditetapkan oleh satuan 
pendidikan dalam rapat dewan guru (untuk SD dansederajat) atau
dikembangkan oleh Badan Sertifikasi Nasional Pendidikan (BSNP)
danditetapkan oleh menteri (untuk SMP, SMA dan sederajat). NA merupakan
gabungan 40 % NS dari mata pelajaran yang diuji nasionalkan dan  60%
nilai UN. Sedangkan peserta didik SMP atau SMA dan sederajat dinyatakan
lulus UN jika nilai rata-rata dari semua NAminimal 5,5 dan nilai setiap mata
pelajaran minimal 4,0. Standar kelulusan ini sempatdikritisi oleh pakar
pendidikan, Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd. Beliau mengemukakan bahwa
dalam penetapan nilai ujian nasional rata-rata daerah harus dipertimbangkan
karena jika kita mengacu pada standar mutu internasional, faktor keadilan
(dalam hal ini nilai rata-rata daerah) harus dipertimbangkan.
Informasi mengenai hasil UN kemudian digunakan sebagai umpan
balik bagi semua stakeholders untuk memperbaiki pembelajaran dan mutu
pendidikan secara berkelanjutan.
Sedangkan bagi sekolah, data hasil UN disajikan dalam statistik deskriptif gun
a mengklasifikasikan kemampuan sekolah. Berikut ini adalah tabel klasifikasi
sekolah berdasarkan hasil UN yang disajikan oleh Tim Balitbang
Kemendiknas (2010).
No Kriteria Hasil UN
1 Baik Sekali (A) Rerata nilai UN>7,50
2 Baik (B) 6,50<Rerata nilai UN ≤
7,50
3 Sedang (C) 5,50 < Rerata nilai UN ≤
6,50
4 Kurang (D) 4,50 < Rerata nilai UN ≤
5,50
5 Kurang sekali (E) Rerata nilai UN ≤ 4,50
Sebuah opini yang ditulis oleh Yusuf, I. dalam kompas.com (2008)
memberikan pendapat
bahwa keberhasilan pendidikan yang ditunjukkan oleh angka statistik keberha
silan UN sebenarnya semu. Ada dua hal penting terkait pelaksanaan UN,
yaitu persentase yaitu persentase dan target kelulusan yang
akan dicapai sekolah seharusnya berjalan beriringan dengan kejujuran dalam
pelaksanaannya. kedua hal tersebut nampaknya sulit untuk berjalan
beriringan mengingat masih banyak keterbatasan sarana-prasarana dan sum
ber daya manusia di berbagai daerah. Aplikasinya, sekolah cenderung
memilih target kelulusanyang tinggi atau 100% dibandingkan
memperjuangkan nilai kejujuran karena padakenyataannya, kualitas (prestise)
sebuah sekolah dilihat dari seberapa tinggi tingkatkelulusan sekolah tersebut.
                Di tengah berbagai polemik yang muncul terkait penyelenggaraan
UN, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Muhammad Nuh) menyatakan
bahwa pemerintah akan tetap melaksanakan UN yang baik dan kredibel.
Terdapat empat kunci keberhasilan UN yang baik dan kredibel, yaitu:
1.       UN dijamin kerahasiaan dan keamanannya. Jika berkas bocor atau hilang
maka kredibilitas UN dipertaruhkan.
2.       Distribusi tepat waktu, tepat jumlah dan tepat bahan yang diujikan.
3.      

6
 
Kelancaran pelaksanaan UN dengan cara meminimalisir terjadinya kesalahan,
seperti kesalahan soal.
4.       Sistem evaluasi harus dipastikan agar nilai rapor bisa menjamin bahwa
nilaitersebut mencerminkan kemampuan peserta didik yang bersangkutan.
Jika keempat poin tersebut dilakukan maka fungsi pelaksanaan UN
dapat terwujud. Fungsi tersebut adalah untuk mengukur dan menilai
pencapaian kompetensi lulusan dalam mata pelajaran tertentu, untuk
memetakan mutu pendidikan Indonesia pada tingkat dasar dan menengah,
dan untuk memotivasi pihak-pihak terkait untuk bekerja lebih baik guna
mencapai hasil ujian yang baik.

C.      Mandated Examination 
                Tidak hanya Indonesia, negara-negara di belahan dunia lainnya
jugamenyelenggarakan UN pada tingkat sekolah dasar dan (sebagian)
menengah. UNmerupakan salah satu bentuk  mandated examination (ujian
yang diamanatkan atau di bawah pengawasan) yang didesain untuk
menggambarkan tingkat pencapaian keseluruhansistem pendidikan, bukan
pencapaian individu tertentu. Menurut Miller
(2009), mandated examination memiliki beberapa kegunaan, yaitu:
1.       Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pendidikan untuk
mendeteksi kelemahan yang dimiliki.
2.       Sebagai alat untuk melakukan perubahan dalam bidang pendidikan.
3.       kondisi terkini dan kemajuan peserta didik serta kualitas sekolah.
4.       Memberikan hasil ujian yang akuntabel guna memotivasi guru dan
pesertadidik untuk berusaha lebih baik.
Meskipun memiliki banyak kegunaan, tidak sedikit pula pihak-pihak
yang mengkritik pelaksanaan ujian negara. Kritik yang muncul menyebutkan
bahwa ujian dapat menimbulkan kecemasan, mengganggu konsep diri
peserta didik, mengkotak-kotakkan peserta didik dan seringkali peserta didik
membuat “ramalan” sendiri atas hasil ujian yang akan diterimanya. Kritik ini
seharusnya ditujukan kepada para pengguna hasil ujian, bukan kepada ujian
itu sendiri karena ujian dimaksudkan untuk membantu peserta
didik meningkatkan dan mengembangkan pembelajarannya.
Motivasi pelaksanaan ujian negara memang tidak selalu tersampaikan
dengan jelas.
Namun demikian, pelaksanaan ujian di beberapa negara memuat beberapa m
otivasi(Kellaghan dan Greaney, 2001).
1.       Untuk meningkatkan standar pendidikan (beberapa negara menganggap
standar
pendidikan mereka perlu ditingkatkan untuk menjawab kebutuhan lapanganke
rja).
2.       Untuk mempertahankan standar pendidikan yang sudah dimiliki.
3.       Untuk memberikan informasi yang dapat digunakan untuk
mengambilkeputusan terkait dengan alokasi sumber daya pembelajaran
untuk sistem pendidikan secara umum, sekolah-
sekolah yang memiliki karakteristik khususdan sekolah berprestasi.
4.      

7
 
Untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk
menetapkanakuntabilitas prestasi belajar peserta didik.
5.       Ujian negara dilakukan sebagai bagian dalam gerakan modernisasi,
(mungkin)di bawah pengaruh pemberi modal, yang tidak terlalu
memperhatikankesinambungan dan tidak memahami bagaimana
memanfaatkan informasi yangdiperoleh.
6.       Untuk mengubah keseimbangan pengawasan dalam sistem pendidikan.
7.       Untuk mengimbangi lemahnya praktek penilaian atau evaluasi yang
dilakukan oleh para guru.
Terlepas dari motivasi apapun yang menyertai di balik
penyelenggaraannya, ujian dapat menjadi cara ampuh untuk mempengaruhi
kualitas guru mengajar dan peserta didik belajar di sekolah. Selain lebih
murah, cara ini juga dianggap lebih mudah karena bisa di instruksikan oleh
pihak luar sekolah (contohnya pemerintah). Hasil ujian yang dapatdilihat dan
diwartakan secara rutin oleh media juga menjadi salah satu alasan
penerapanujian negara. Ebel (1980) juga menyebutkan beberapa
konsekuensi yang mungkin muncul jika ujian tidak dilakukan, yaitu:
1.       Dorongan dan penghargaan atas usaha seseorang untuk belajar akan
menjadi lebih sulit.
2.       Kesuksesan program pendidikan kurang dapat dinyatakan sebagai tujuan
dan pencapaian kurang dapat dibuktikan.
3.       Keputusan-keputusan penting terkait dengan masalah kurikulum dan
metodetidak diambil berdasarkan bukti-bukti yang kuat melainkan lebih
berdasarkan pada perkiraan dan cenderung plin-plan.
4.       Kesempatan menempuh pendidikan tidak berdasarkan bakat dan
prestasinamun lebih berdasarkan keturunan dan pengaruh yang dimiliki.
5.       Hambatan kelas sosial kurang dapat ditembus.
Kebijakan dan praktek ujian nasional diharapkan dapat merangsang
perubahan di  internal sekolah, sektor-sektor dalam dunia pendidikan maupun
di bidang ideologi dan politik.
Persiapan dan prosedur internal sekolah terkait ujian nasional jelas merupaka
n target utama perubahan sistem ujian, salah satunya adalah kurikulum. Yang
dimaksudkan dengan perubahan kurikulum bukan hanya kurikulum resmi
yang menggambarkan apa yang seharusnya diajarkan oleh para pengajar
tetapi juga kurikulum yang benar-benar dilakukan; apa yang benar-benar
diajarkan oleh para pengajar dan apa yang benar-benar dikuasai oleh peserta
didik. Perubahan dalam sistem ujian seringkali sengaja didesainuntuk
mempengaruhi materi pembelajaran, upaya atau bahkan metode
pembelajaran danterutama untuk mempengaruhi usaha yang dilakukan
peserta didik.

8
 
Selain itu, adanya tuntutan akuntabilitas juga mendorong pemerintah
dan pejabat
pendidikan mencari dan mengimplementasikan berbagai cara untuk mempero
leh data faktual mengenai “produk” atau “hasil” dari institusi pendidikan atau
sekolah dengan cara mengevaluasi peserta didik sekaligus mengevaluasi
kualitas sekolah. Jika pemerintahmasih memandang ujian sebagai cara jitu
untuk mengevaluasi mutu pendidikan nasional maka sistem ujian perlu
diubah. Perubahan tidak hanya pada metode pengumpulan data tetapi juga
mengembangkan kriteria evaluasi yang sesuai dengan keberagaman
populasisekolah dan perlunya mengubah standar prestasi bagi populasi
sekolah secara keseluruhan.

D.     Makna dan Peranan Assessment 


                Evaluasi atau penilaian (assessment ) merupakan bagian yang tak
terpisahkan(integral) dari seluruh proses
pembelajaran. Assessment melibatkan kegiatan pengumpulandan analisa
informasi mengenai hasil pembelajaran peserta didik dan didesain
untuk memberikan informasi mengenai kegiatan
pembelajaran. Assessment juga diterapkan untuk mengidentifikasi apa yang
diketahui dan dipahami peserta didik, apa yang dapat mereka lakukan dan
mereka rasakan pada berbagai tahapan yang berbeda dalam proses
pembelajaran yang berlangsung. Tidak hanya guru, tetapi peserta didik juga
harus terlibataktif dalam menilai kemajuan belajar sebagai salah satu upaya
pengembangan critical thinking dan keterampilan self-assessmentf. Setiap
pihak yang menaruh perhatian pada assessment ; peserta didik, guru, orang
tua dan pengelola pendidikan, sebaiknya memiliki pemahaman yang benar
mengenai alasan dilakukannya assessment, apa yang dievaluasi,kriteria
sukses dan metode evaluasi yang diterapkan.
Menurut Sudjana (2005), kegiatan penilaian adalah suatu tindakan
atau kegiatan untuk melihat sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah
dapat dicapai atau dikuasaioleh siswa dalam bentuk hasil-hasil belajar yang
diperlihatkannya setelah mereka menempuh pengalaman belajarnya. Selain
itu, kegiatan penilaian juga dapat dilakukanuntuk mengetahui keefektifan
pengalaman belajar dalam mencapai hasil belajar yangoptimal. Berdasarkan
pengertian tersebut maka Assessment dapat digolongkan menjadi
dua bentuk, yaitu  formative assessment (penilaian formatif)
dan summative assessment (penilaian sumatif).
Penilaian formatif memberikan informasi yang dapat digunakan oleh
guru untuk merencanakan pembelajaran selanjutnya. Penilaian ini terjalin
dalam pembelajaran dan menolong guru dan peserta didik untuk mengetahui
apa yang sudah diketahui dan apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik.
Penilaian formatif mendukung pengajaran dengan cara memberikan umpan
balik secara teratur dan membantu peserta didik mengembangkan
pengetahuan dan pemahamannya, meningkatkan antusiasme ketika mengiku
ti pembelajaran, melakukan refleksi yang mendalam, mengembangkan kapasi
tas self-assessment  dan mengenali kriteria-kriteria sukses. Penilaian ini
sangat menolong pesertadidik yang berprestasi rendah untuk memperbaiki
atau mempertajam pemahaman merekasecara signifikan.
Penilaian sumatif bertujuan untuk memberikan pengetahuan
mendalam kepada guru dan peserta didik mengenai pemahaman peserta
didik. Penilaian sumatif merupakan kulminasi dari proses pembelajaran dan
memberikan kesempatan kepada peserta didik menyajikan apa yang telah
mereka pelajari. Penilaian ini dapat mengevaluasi beberapa haldalam waktu
yang bersamaan, yaitu menginformasikan dan meningkatkan proses belajar-
mengajar dan mengukur pemahaman peserta didik terhadap
pembelajaran.Mengingat pentingnya penilaian sebagai bagian dalam proses
pembelajaran makaupaya merencanakan dan melaksanakan penilaian
hendaknya memperhatikan beberapa prinsip. Prinsip penilaian yang perlu
diperhatikan adalah:
1.      

9
 
Penilaian dirancang dengan baik sehingga kemampuan yang dinilai,
materi penilaian, alat penilaian dan interpretasi hasil penilaian diketahui
dengan jelas.
2.       Penilaian hendaknya menjadi bagian integral dari proses pembelajaran
sehingga senantiasa dilaksanakan setiap saat dan berkesinambungan.
3.       Penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan bersifat
komprehensif  (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) sehingga hasil yang
diperoleh lebih objektif dan benar-benar menggambarkan prestasi dan
kemampuan pesertadidik.
4.       Penilaian harus diikuti dengan tindak lanjut. Hasil penilaian hendaknya
dijadikan bahan pertimbangan untuk menyusun program
pembelajaran,memperbaiki kelemahan-kelemahan pembelajaran dan
membimbing siswa yangmasih kesulitan.

E.      Studi Kasus
Pelaksanaan UN memang dapat menjadi dilema bagi sekolah-sekolah
tertentu di Indonesia, misalnya sekolah-sekolah swasta berstandar
internasional. Sekolah-sekolah tersebut biasanya menggunakan kerangka
kurikulum yang bersifat concept-based learning yang relatif berbeda dengan
kurikulum nasional yang umumnya masih bersifat content-based learning dan
berujung pada UN. Meskipun terdapat perbedaan, sekolah-sekolah tersebut
tetap harus mengikuti UN karena merupakan bagian dalam sistem pendidikan
Indonesia dan UN sudah menjadi kebijakan Kemendikbud.
Salah satu contoh sekolah tersebut adalah Sekolah Pilar Indonesia
(SPI) yang berlokasi
di kawasan Cibubur, Jakarta. SPI merupakan sekolah swasta berstandar inter
nasional yang menggunakan kerangka kurikulum internasional, yaitu
kurikulum IB ( international
baccaleureate ) program Primary Years Programme untuk usia 3-12
tahun(TK-SD). PYP berfokus pada perkembangan holistik peserta didik
sebagai seorang inquirer baik di dalam maupun di luar kelas. PYP
merupakan kerangka pembelajaran yangmenekankan pada metode inquiry,
terdiri atas enam tema global (transdisciplinary themes) yang dieksplorasi
dengan pengetahuan dan keterampilan dari enam bidang yang
berbeda.Kerangka kurikulum IB-PYP sangatlah fleksibel sehingga masing-
masing sekolah dapatmengadaptasi program tersebut sesuai kebutuhan lokal
maupun nasional.
Adanya perbedaan antara kurikulum yang diaplikasikan di sekolah
dengankurikulum SD pada umumnya, sekolah harus memikirkan strategi
untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti UN. Strategi-
strategi tersebut telah dilakukan sejak tahun ajaran2008/2009 dan dianggap
sebagai cara terbaik untuk mengatasi dilema yang dihadapi sertaterbukti
mampu meluluskan 100% peserta didiknya dengan jujur.

Kelas Program Frekuensi Ke


10 IV Tutorial 1 x seminggu (2 Te
  sesi) pe
V Tutorial 1 x seminggu (2 Te
sesi) pe
VI Tutorial 3 x seminggu 1
dil
UN
3 x seminggu
Te
pe
Mentoring Tentatif
Pe
sa
ka
m
Pertemuan Tentatif pe
dengan orang memotivasi
tua siswa
Menyampaikan
perkembangan peserta didik
untuk mengikut sertakan
orang tua dalam persiapan
UN.

Memberikan tutorial untuk kepentingan UN sebenarnya tidak sejalan


dengan filosofi belajar yang dipercayai pihak sekolah. Hal tersebut memang
terasa menjadi “beban” karena di satu sisi sekolah ingin mempertahankan
idealisme belajar, tetapi di sisi lain para guru dituntut untuk menyelesaikan
materi guna memenuhi kebutuhan UN. Semuastrategi yang diterapkan tidak
akan berhasil tanpa adanya kerjasama antara peserta didik,sekolah dan
orang tua.

11
 

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
1.       Ujian Nasional merupakan suatu bentuk evaluasi (assessment )
sebagai  pertanggung jawaban penyelenggara pendidikan kepada
semua stakeholders.
2.       Assessment merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran
yang dapat menggambarkan kemampuan peserta didik dan dapat menjadi
umpan balik untuk  pengembangan pembelajaran.
3.       Ujian Nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi
peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
4.       Evaluasi yang sedang dan akan dikembangkan harus
mempertimbangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik ke dalam
sistem ujian yang diselenggarakan.
5.       Ujian Nasional menjadi cara terbaik yang dimiliki pemerintah saat ini
untuk mengevaluasi program pendidikan dan meningkatkan kualitas
pendidikan karenadianggap lebih murah dan lebih mudah serta dapat
memberikan data faktual yangdapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
membuat kebijakan.

1.  Saran
Pro dan Kontra dalam kurikulum itu hal yang biasa karna pada
dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memajukan pendidikan di
indonesia agar lebih baik lagi. Antara pendidik dan peserta didik harus saling
bekerja sama dalam proses  pelaksanaan pembelajaran.

Selamat Pagi, salam sejahtera untuk kita semua yang hadir pada hari…
bertempat di… dalam kegiatan debat Bahasa Indonesia dengan MOSI:….
Debat hari ini terdiri dari tiga tim yaitu tim Afirmasi, Oposisi, dan tim Netral
Sebelum pelaksanaan debat dimulai, saya akan membacakan tata tertib
debat sebagai berikut.
Perkenalan
Setiap tim memperkenalkan diri selama 1 menit. Penyampaian pernyataan
topik Setiap tim menyampaikan argumentasinya terhadap pernyataan topik
selama 5 menit, dimulai dari Tim Pendukung, dilanjutkan oleh Tim
Penyanggah, dan Tim Netral. Penyampaian pernyataan topik dilakukan oleh
Pembicara 2 masing-masing tim. Debat 9 menit pertama mengomentari
argumentasi Tim Penyanggah dan Tim Netral selama 3 menit, demikian
seterusnya. Tugas ini dilakukan oleh Pembicara 2. Simpulan Setiap tim
memberikan ungkapan penutup terhadap pernyataan topik sesuai dengan
posisinya selama 1 menit. Tugas ini dilakukan oleh Pembicara 3. Selanjutnya,
saya persilakan kepada juru bicara setiap tim untuk memperkenalkan diri,
perkenalan untuk setiap tim adalah 1 menit waktu dimulai dari tim afirmasi.

#Perkenalan tim afirmasi dimulai dari, sekarang! (waktu 1 menit)

#Perkenalan dilanjutkan oleh tim oposisi, silakan memperkenalkan diri tim


oposisi, waktu dimulai dari sekarang! (waktu 1 menit)

#Perkenalan selanjutnya adalah dari tim netral, kami persilakan tim netral
memperkenalkan diri. Waktu dimulai dari sekarang! (waktu 1 menit)
(Keterangan: kegiatan perkenalan selesai, waktu 3 menit) Debat Bahasa
Indonesia dengan MOSI … telah dimulai kami persilakan untuk tim afirmasi
menyatakan pernyataan topik dalam waktu 5 menit, Pembicara I dari Tim
Afirmasi kami persilakan. Waktu dimulai dari sekarang ! (Pernyataan
penyampaian topik Tim Afirmasi selama 5 menit) Demikian tadi pernyataan
penyampaian topik dari Tim Afirmasi, selanjutnya kami persilakan Pembicara
I dari Tim Oposisi untuk menyampaikan topik selama 5 menit. Waktu dimulai
dari sekarang ! (Pernyataan penyampaian topik Tim Oposisi selama 5 menit)
Selanjutnya kami persilakan Tim Netral untuk menyampaikan topik, kepada
Pembicara I kami persilakan. Waktu dimulai dari sekarang ! (Pernyataan
penyampaian topik Tim Netral selama 5 menit) Penyampaian pernyataan
topik dari setiap tim telah dipresentasikan masing-masing tim, selanjutnya
dalam waktu 9 menit pertama setiap tim dipersilakan mengomentari
argumentasi tim lain selama 3 menit Pernyataan topik dari Tim Afirmasi
selama 3 menit dipersilakan. Pernyataan topik dari Tim Oposisi selama 3
menit dipersilakan. Pernyataan topik dari Tim Netral selama 3 menit
dipersilakan. Ketiga pernyataan topik telah disampaikan masing-masing tim,
selanjutnya selama 5 menit berikutnya diberikan hak bicara selama 1 menit,
dan diberikan 5 kali kesempatan memencet bel atau meniup peluit waktu 5
menit adalah hak bicara, yang diperebutkan oleh tiap tim debat. Waktu
dimulai dari sekarang!

#Hak bicara kami berikan pada tim…selama 1 menit waktu telah berakhir
#Hak bicara kami berikan pada tim…selama 1 menit waktu telah berakhir
#Hak bicara kami berikan pada tim…selama 1 menit waktu telah berakhir
#Hak bicara kami berikan pada tim…selama 1 menit waktu telah berakhir
#Hak bicara kami berikan pada tim…selama 1 menit waktu telah berakhir
(Keterangan: hak bicara digunakan untuk memberikan komentar, sanggahan,
atau pertanyaan, bukan celaan. Hak bicara ini diperbutkan oleh masing-
masing tim. Bagi yang memencet bel terlebih dahulu akan mendapatkan
kesempatan lebih awal menggunakan hak bicara 1 menit) Baiklah, 5 menit
telah berlalu, selanjutnya adalah penutup debat. Kepada Pembicara 3 untuk
menutup debat terhadap pernyataan topik dari masing-masing tim. Kami
persilakan dari Tim Afirmasi untuk memberikan ungkapan penutup selama 1
menit. Waktu dimulai dari sekarang ! (Waktu 1 menit) Selanjutnya Tim Oposisi
kami persilakan untuk menutup debat waktu dimulai dari sekarang! (Waktu 1
menit) Sebagai penutup debat, kami persilakan pembicara 3 dari Tim Netral
untuk menutup debat. Waktu dimulai dari sekarang ! Debat Bahasa Indonesia
dengan MOSI … telah selesai. Terima kasih atas perhatian Anda dan salam
sukses untuk kita semua. Aamiin.
LEBIH SEDIKIT

Anda mungkin juga menyukai