Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang penghapusan Ujian Nasional

Adapun tujuan penyusunan Maklaah  ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
Sekolah.

Penulis menyadari bahwa Penyusunan ini jauh dari kata sempurna dan banyak


kekurangan sehingga membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menyempurnakan penulisan makalah ini.

            Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya.

Bekasi, 03 Februari 2020

                                                                                      

Penyusun
PENDAHULUAN

Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai
pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor
penentu kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan
fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami
kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus
mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional ditetapkan sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS,
SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata pada Ujian Nasional sebesar 4,0. tahun 2005
menjadi 4,25, tahun 2006 4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan
tahun 2009 angka kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi
persoalan jika hasil evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang
diketahui dari hasi Ujian Nasional tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata rendah.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung
sejak lim tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi
tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali
diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar
kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan
kontra dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah
rampung, karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan,
tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan. “Tujuan
penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi terutama
terkait penentu kelulusan atau standar nasional,” ujarnya.
Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan.
Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun
anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi
pendididkan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari
segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan penulis melihat kenyataan pada era ini,
perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional
banyak pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
PEMBAHASAN

Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar


dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang
dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 20  tahun  2003menyatakan bahwa dalam rangka
pengendalianmutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala,
menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional
pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara
berkesinambungan.
Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan
pada akhirnya akan dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan
dimulai dengan penentuan standar.
Penentuan standar yang meningkat diharapkan akan mendorong peningkatan mutu
pendidikan, yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai
batas (cut off hiscore). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai
batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi
tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi
pada ujian nasional atau sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta
didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan
disebut standard setting.
Manfaat pengaturan standar ujian akhir:

 Adanya batas kelulusan setiap mata pelajaran sesuai dengan


tuntutan kompetensi minimum.
 Adanya standar yang sama untuk setiap mata pelajaran sebagai standar minimum
pencapaian kompetensi.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 hingga saat ini, ujian yang dilakukan secara
nasional telah mengalami perubahan istilah. Dikutip dari kemdikbud.go.id, berikut ini
berbagai perubahan istilah untuk ujian yang dilakukan secara nasional: 1965 - 1971 : Ujian
Negara 1972 - 1979 : Ujian Sekolah 1980 - 2002 : Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional
(EBTANAS) 2003 - 2004 : Ujian Akhir Nasional (UAN) 2005 - sekarang : Ujian Nasional
(UN) Penyelenggaraan Ujian Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh
Satuan Pendidikan dan Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah. Ujian Nasional adalah
kegiatan pengukuran capaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran tertentu secara nasional
dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan. Ujian Nasional adalah sistem evaluasi
standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat
pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan. Baca juga: Menanti
Realisasi Ujian Nasional Dihapus… Tujuan Ujian Nasional Ujian Nasional bertujuan untuk
mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik pada jenjang satuan pendidikan dasar
dan pendidikan menengah sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL). UN sebagai subsistem penilaian dalam Standar Nasional
Pendidikan (SNP) menjadi salah satu tolak ukur pencapaian SNP dalam rangka penjaminan
dan peningkatan mutu pendidikan. Thomas Kellaghan, Vincent Greaney dalam The
Globalisation of Assessment in the 20th Century. Assessment in Education (2001),
menjelaskan tujuan pelaksanaan ujian nasional adalah: Meningkatkan standar pendidikan
untuk menjawab kebutuhan lapangan kerja. Untuk mempertahankan standar pendidikan yang
sudah dimiliki. Memberikan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan
terkait dengan alokasi sumber daya pembelajaran untuk sistem pendidikan secara umum,
sekolah-sekolah yang memiliki karakteristik khusus dan sekolah berprestasi. Untuk
memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menetapkan akuntabilitas prestasi belajar
peserta didik. Ujian negara dilakukan sebagai bagian dalam gerakan modernisasi, di bawah
pengaruh pemberi modal, yang tidak terlalu memperhatikan kesinambungan dan tidak
memahami bagaimana memanfaatkan informasi yang diperoleh. Untuk mengubah
keseimbangan pengawasan dalam sistem pendidikan. Untuk mengimbangi lemahnya praktek
penilaian atau evaluasi yang dilakukan oleh para guru. Baca juga: KPAI Dukung Nadiem
Hapuskan UN, tetapi... Manfaat Ujian Nasional Hasil Ujian Nasional digunakan untuk:
Pemetaan mutu program pendidikan dan atau satuan pendidikan, Pertimbangan seleksi masuk
jenjang pendidikan berikutnya, Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Sedangkan manfaat UN
bagi Pemerintah Daerah adalah Pemda dapat memanfaatkan hasil UN untuk melakukan
perencanaan program pembinaan satuan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas
lulusan yang unggul dan berdaya saing, baik pada tataran lokal, nasional maupun global.
M. David Miller dalam Measurement and Assessment in Teaching (2009) memaparkan
sejumlah manfaat ujian nasional yaitu: Hasil ujian dapat digunakan oleh para pembuat
kebijakan pendidikan untuk mendeteksi kelemahan yang dimiliki. Sebagai alat untuk
melakukan perubahan dalam bidang pendidikan. Memberikan informasi mengenai kondisi
terkini dan kemajuan peserta didik serta kualitas sekolah. Memberikan hasil ujian yang
akuntabel guna memotivasi guru dan peserta didik untuk berusaha lebih baik. Baca juga:
Rapat Kerja Komisi X, Nadiem Jelaskan Konsep Pengganti UN Mengapa siswa wajib
mengikuti UN selama ini? Dikutip dari bsnp-indonesia.org, siswa wajib mengikuti UN satu
kali untuk mata pelajaran tertentu yang dibiayai pemerintah. UN diselenggarakan untuk
mengukur pencapaian kompetensi lulusan siswa secara nasional. Kelulusan dari satuan
pendidikan belum dapat ditetapkan bila siswa belum mengikuti UN. Dengan demikian, agar
dinyatakan lulus, siswa harus mengikuti Ujian Nasional. Siapa yang mengadakan Ujian
Nasional? Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, disebutkan bahwa UUD 1945 mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Sistem Pendidikan Nasional bertujuan
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Pasal 10
UU No. 20 Tahun 2003 menjelaskan tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah
daerah terkait Sistem Pendidikan Nasional. Ayat 1 Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2003
menyebutkan Pemerintah dan Pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta
menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Dalam melaksanakan Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah berwenang
menentukan kurikulum pendidikan untuk semua jenjang (pendidikan dasar, menengah hingga
tinggi). Baca juga: Rapat di DPR, Nadiem Paparkan Alasan Hapus UN: Materi Padat,
Ujungnya Menghafal Namun, sesuai pasal 35 ayat 3 UU No. 20 Tahun 2003 dalam
pengembangan Standar Nasional Pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya
secara nasional, dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian
mutu pendidikan. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Menindaklanjuti UU No. 20
Tahun 2003 pasal 35 ayat 3, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Pasal 73 ayat 1 PP tersebut,
pemerintah mengamanatkan pembentukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk
mengembangkan, memantau, dan melaporkan pencapaian Standar Nasional Pendidikan
secara nasional. BSNP berkedudukan di ibukota negara dan bertanggung jawab kepada
Menteri, dalam hal ini Menteri Pendidikan. Namun BSNP bersifat mandiri dan profesional.
Jumlah anggota BSNP antara 11-15 orang yang terdiri atas ahli-ahli di bidang psikometri,
evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan. Selain itu juga dipilih orang
yang memiliki wawasan, pengalaman dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.
Anggota BSNP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dengan masa bakti 4 tahun. Baca
juga: Terobosan Merdeka Belajar Nadiem Makarim, Ubah Sistem Zonasi hingga Hapus UN
Salah satu tugas dan wewenang BSNP adalah menyelenggarakan ujian nasional. Sebagai
salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan berkualitas, Ujian Nasional diperlukan
sebagai sistem penilaian yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan
dapat dipertanggunggugatkan (accountable). Bentuk Ujian Nasional Dikutip dari bsnp-
indonesia.org, ada dua bentuk Ujian Nasional, yaitu: Ujian Nasional Kertas dan Pensil
(UNKP)           Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). UNBK adalah ujian nasional
dengan menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang
khusus dikembangkan untuk Ujian Nasional untuk menampilkan soal dan proses
menjawabnya dengan tingkat kesulitan yang sama dengan UN tertulis. Apa dampak bila tidak
ada ujian nasional? Robert L. Ebel dalam Practical Problems in Educational Measurement
(1980) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul jika ujian negara tidak dilakukan,
yaitu: Dorongan dan penghargaan atas usaha seseorang untuk belajar akan menjadi lebih
sulit. Kesuksesan program pendidikan kurang dapat dinyatakan sebagai tujuan dan
pencapaian kurang dapat dibuktikan. Keputusan-keputusan penting terkait dengan masalah
kurikulum dan metode tidak diambil berdasarkan bukti-bukti yang kuat melainkan lebih
berdasarkan pada perkiraan dan cenderung plin-plan. Kesempatan menempuh pendidikan
tidak berdasarkan bakat dan prestasi namun lebih berdasarkan keturunan dan pengaruh yang
dimiliki. Hambatan kelas sosial kurang dapat ditembus.

PERNYATAAN NADIEM MAKARIM

"Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi


Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan
bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan
penguatan pendidikan karakter," jelas Nadiem di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu
(11/12/2019).

Menurut Nadiem, Ujian Nasional dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi


belajar. Materi UN juga terlalu padat, sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan
kompetensi.

"Kedua, ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua. Karena sebenarnya ini
berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia.
Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan.
Baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.

Sumber Liputan6.com

ANALISIS

Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan
UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian
orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan
UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN
sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan
tingkat atas.

Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran


tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun
2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan
peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting seperti yang
dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan diharapkan dapat
memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis
peserta didik

Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur
dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila
dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya
pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat
dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum
menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau
meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu
disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya
tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu
pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata
pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu
pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan
ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat
menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah
raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri
dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata
lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu
pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UAN.

Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta
didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian
akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan
peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam
keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar
anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang
sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan
anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang
ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa
diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.

Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk
mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN
dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan
merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu
pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur,
mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan
penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan
salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum.
Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-
masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi
sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh
berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota
relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok
keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan
yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar
yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan
mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda,
sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.

Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap
“penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan
beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan
mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk
melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan
pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena
yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan
demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk
cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan
ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak
semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi
peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.

Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena
dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang
seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan
peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat
mata pelajaran tersebut.

Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan


otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat
dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya
kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi
sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan
tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi
sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur
dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan
yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan
otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen
berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara
yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan
nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang
ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat
diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada
bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah
di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat
rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana
dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan dengan


evaluasi pendidikan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan.
Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu
perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes
yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu
salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu
mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak dengan
memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai
mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.

Sebaiknya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa


pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-
masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui
tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan
sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang
menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan
ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam
menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya.
Sistem penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan
membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk
meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi
dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena
masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya
disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang
diserahkan sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman
untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam
melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara
umum.

Apabila UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus


dimodifikasi dimana UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai
sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan
siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini
maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya
berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di atas
maka UAN bukanlah suatu kebijakan yang patut dipertentangkan lagi.

Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang sistem
penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang kebijakan
UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan melakukan pelurusan
kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain
pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa
dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading sectornya dan anggotanya bisa berasal
dari elemen-elemen masyarakat pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para
pakar pendidikan, organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan
sebagainya. Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua
kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan melakukan
studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan Indonesia dan
kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta
melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan
menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam
bidang penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat berupa
substansi seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir serta
berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan tinggi

2. Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai


dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online assessment) perlu diantisipasi
dalam era teknologi informasi.

3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem


pemberian skor atau nilai.

4. Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan dalam PP


tentang Standar Nasional Pendidikan?

5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.

Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan
menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
(PP).

Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri tentang


sistem penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan dimana PP ini secara
komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang terkecil. Setelah PP dapat
diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.
PENUTUP

KRITIK DAN SARAN

Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan model evaluasi


pendidikan yang seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu
sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang
ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan
sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi
juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena
perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal
tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan
mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.

Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau
memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal.
Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan
bangsa dan Negara di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai