Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang penghapusan Ujian Nasional
Adapun tujuan penyusunan Maklaah ini yaitu untuk memenuhi salah satu tugas
Sekolah.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya.
Penyusun
PENDAHULUAN
Pro kontra dalam Ujian Nasional terjadi disebabkan rasa kecewa masyarakat yang menilai
pemerintah tidak konsisten, karena dengan Ujian Nasional tetap dijadikan sebagai factor
penentu kelulusan siswa ketimbang sarana pemetaan standar mutu pendididkan di Indonesia.
Dari tahun ke tahun standar kelulusan terus meningkat belum diimbangi dengan pemerataan
fasilitas pendidikan di beberapa daerah secara tidak langsung membuat siswa mengalami
kesulitan untuk memenuhi target yang ada. Sehingga tidak sedikit siswa terpaksa harus
mengulang, disebabkan nilainya kurang memenuhi standar.
Angka kelulusan dalam Ujian Nasional ditetapkan sejak tahun 2004 lalu, tingkat SMP/MTS,
SMA/MA, dan SMK yaitu nilai rata-rata pada Ujian Nasional sebesar 4,0. tahun 2005
menjadi 4,25, tahun 2006 4,50, tahun 2007 naik menjadi 5,0, tahun 2008 sebesar 5,25 dan
tahun 2009 angka kelulusan Ujian Nasional yakni 5,5.
Angka kelulusan siswa terus dinaikkan dari tahun ke tahun berikutnya, tidak akan menjadi
persoalan jika hasil evaluasi Ujian Nasional diumumkan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) ditindaklanjuti dengan memberikan perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang
diketahui dari hasi Ujian Nasional tersebut memiliki nilai kelulusan rata-rata rendah.
Gerakan adanya penolakan terhadap pelaksanaan Ujian Nasional secara gencar berlangsung
sejak lim tahun terakhir seiring munculnya kebijakan pemerintah untuk menjadikan evaluasi
tahap akhir siswa yang sebelumnya sempat diserahkan kepada pihak sekolah kembali
diberlakukan secara nasional.
Berbagai upaya dilakukan untuk menolak pelaksanaan Ujian Nasional sebagai standar
kelulusan nasional, diantaranya gugatan warga negaranya sendiri.
Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) Mohammad Nuh mengakui terjadinya pro dan
kontra dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Perdebatan ini diakuinya tidak akan pernah
rampung, karena bukan masalah boleh ataupun tidak boleh Ujian Nasional dilaksanakan,
tetapi bagaimana kualitas pelaksanaan Ujian Nasional ditingkatkan. “Tujuan
penyelenggaraan Ujian Nasional tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lagi terutama
terkait penentu kelulusan atau standar nasional,” ujarnya.
Pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut dari kemajuan dunia pendidikan.
Mohammad Nuh juga mengatakan salah satu komitmen Depdiknas adalah untuk membangun
anak didik yang berkarakter, berkepribadian, dan berbudaya unggul. Untuk itu, orientasi
pendididkan yang dilaksanakan tidak hanya mengukur hasil kegiatan belajar mengajar dari
segi kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Oleh karena itu, ada beberapa pertimbangan penulis melihat kenyataan pada era ini,
perkembangan pendidikan di kalangan masyarakat umumnya mengenai Ujian Nasional
banyak pro kontra dari berbagai kalangan masyarakat.
PEMBAHASAN
"Kedua, ini sudah menjadi beban stres antara guru dan orangtua. Karena sebenarnya ini
berubah menjadi indikator keberhasilan siswa sebagai individu," ucap dia.
Padahal, kata Nadiem, semangat UN adalah untuk mengasesmen sistem pendidikan.
Baik itu sekolahnya, geografinya, maupun sistem pendidikan secara nasional.
Sumber Liputan6.com
ANALISIS
Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan
UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian
orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan
UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN
sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004
disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik
melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan
tingkat atas.
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur
dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila
dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya
pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat
dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum
menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau
meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu
disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya
tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu
pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata
pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu
pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan
ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat
menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah
raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri
dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata
lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu
pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan
penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata
pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta
didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian
akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan
peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam
keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar
anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang
sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan
anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang
ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa
diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk
mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN
dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan
merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu
pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur,
mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan
penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai
sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan
salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum.
Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-
masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi
sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh
berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota
relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok
keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan
yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar
yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan
mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda,
sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap
“penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan
beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan
mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk
melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan
pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena
yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan
demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk
cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan
ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak
semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi
peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena
dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang
seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan
peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat
mata pelajaran tersebut.
Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang sistem
penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang kebijakan
UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan melakukan pelurusan
kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain
pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa
dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading sectornya dan anggotanya bisa berasal
dari elemen-elemen masyarakat pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para
pakar pendidikan, organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan
sebagainya. Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua
kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan melakukan
studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan Indonesia dan
kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta
melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan
menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam
bidang penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat berupa
substansi seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir serta
berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan tinggi
5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan
menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
(PP).
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau
memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal.
Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai
dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan
bangsa dan Negara di masa mendatang.