Anda di halaman 1dari 8

KONTROVERSI UJIAN NASIONAL

Apa Itu UN ?
Satu lagi persoalan pendidikan yanng terus menjadi kajian dan perdebatan hangat baik oleh
pemerintah, kalangan akademisi dan masyarakat adalah mengenai Ujian Nasional. Satu sisi,
khususnya pemerintah masih berkeinginan dan mempertahankannya karena UN ini dipandang
sebagai alat ukur keberhasilan pendidikan secara nasional. Akan tetapi di sisi lain, tidak sedikit
pula suara dari tokoh pendidikan dan masyarakat yang menginginkan dihapusnya UN karena
setiap tahun pelaksanaannya pasti memiliki masalah dan kendala yang sulit untuk dicari jalan
keluarnya. Kesulitan ini terlihat dari berulang-ulangnya kesalahan pelaksanaan Ujian Nasional
seperti; kecurangan yang dilakukan oleh pihak sekolah dan indikasi bocornya soal ujian, serta
tidak adanya jaminan kesuksesan pelaksanaan UN itu sendiri.
Depdiknas mengatakan bahwa latar belakang diadakannya Ujian nasional adalah:1
1. Pemerintah wajib menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu untuk setiap
warga negara.
2. Dalam rangka menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu perlu dilakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan mutu, serta pemantauan dan pengendalian mutu
pendidikan.
3. Dalam rangka upaya peningkatan mutu serta pemantauan dan pengendalian mutu
pendidikan perlu dilakukan ujian nasional untuk mengukur pencapaian standar
kompetensi kelulusan.
4. Untuk kelancaran pelaksanaan ujian nasional, perlu dikembangkan sistem
penyelenggaraan ujian nasional yang akuntabel dan dapat mendukung upaya peningkatan
dan pemerataan pendidikan
5. Setiap sistem pendidikan memerlukan adanya suatu sistem ujian sebagai alat
pengendalian mutu lulusan (quality control) dan perbaikan mutu lulusan (quality
improvement)
6. Ujian nasional dapat memacu sekolah untuk bekerja lebih baik dan menghasilkan lulusan
yang bermutu sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang ditetapkan.
7. Ujian Nasional memiliki daya dorong yang cukup kuat untuk menumbuhkan daya
kompetitif sekolah untuk mencapai standar nasional dan internasional dalam bidang
pendidikan.
8. Ujian nasional juga dirasakan dapat menjadi daya perekat antar daerah di era otonomi
saat ini dalam rangka suatu sistem pendidikan.

1
Sobri AR (ed), Meneropong realitas Kebijakan Pendidikan (jakarta:Spektrum, 2008), h. 176
UN menurut Depdiknas ialah merupakan salah satu bentuk kegiatan evaluasi program yang
bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional.
UN juga merupakan upaya untuk mendorong peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan.2
Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) mengatakan bahwa Ujian Nasional adalah
penilaian hasil belajar oleh pemerintah yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi
lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok ilmu pengetahuan dan
teknologi. Berangkat dari pengertian ini, setidaknya Ujian Nasional memiliki beberapa ciri
khas yaitu: 1) Ujian Nasional dilakukan oleh pemerintah. 2) Ujian dilakukan dalam rangka
mengukur kesuksesan pendidikan secara nasional. 3) Ujian hanya pada mata pelajaran
tertentu khususnya mata pelajaran yang berkaitan dengan kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi.
PP No. 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu
pertimbangan untuk:
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya
3. Penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
4. Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya
meningkatkan mutu pendidikan.
Berangkat dari definisi dan perlunya Ujian Nasional, pemerintah menyusun UU Sisdiknas
yang mengatur tentang pelaksanaan Ujian Nasional tersebut diantaranya:
a. Pasal 58, ayat 1 disebutkan bahwa “terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan
evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.”
b. Pasal 35 ayat 1, 2 dan 3 disebutkan bahwa evaluasi dilakukan terhadap peserta didik,
satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (ayat 3) dan/atau
menilai (pasal 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan,
tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan pembiayaan dan evaluasi pendidikan
(ayat 1).
c. Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan
untuk memantau atau menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga
mandiri (pasal 58 ayat 2)
d. Pada pasal 35, 57 dan 58 mengisyaratkan perlunya pelaksanaan Ujian Nasional untuk
pengendalian mutu pendidikan secara nasional.

2
Depdiknas, Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2008, h. 290.
e. Permendiknas No. 45 tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada Sekolah
Pertama/Madrasah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa dan Sekolah Menengah
Kejuruan.

Bagaimana Tanggapan Para Tokoh Tentang UN ini?


Jusuf Kalla, pada saat menjadi wakil presiden Republik Indonesia, menyatakan bahwa
Ujian Nasional atau UN tidak dapat ditawar dan harus dilaksanakan agar anak sekolah
terlatih untuk bekerja keras dan berani bersaing. Menurut beliau, UN akan memaksa siswa
belajar dan menumbuhkan etos kerja keras. Bahkan katanya lagi, seharusnya dari tahun ke
tahun kualitas kesulitan soal harus ditingkatkan. Kalla mengatakan, “Jangan sampai lulus
UN dengan mudah, tapi lulusan tersebut tidak diterima di perguruan tinggi manapun”...
“Jangan lupa, ilmu pengetahuan itu terus berkembang, maka untuk meningkatkan mutu
pendidikan, standar SDM pun harus ditingkatkan...Di antara cara untuk menjaga standar
pendidikan dan mutu SDM adalah menaikkan tingkat kesulitan pada UN atau meningkatkan
nilai minimum kelulusan.”
Bambang Sudibyo, mantan Menteri Pendidikan Nasional, pada 2006 menyatakan bahwa
kebijakan UN merupakan kebijakan pemerintah yang secara konsiten tetap terus dijalankan
karena UN merupakan alat untuk mengukur standar dan mutu pendidikan nasional. “UN ini
bukan kebijakan Depdiknas, namun sudah menjadi kebijakan pemerintah yang akan
dilaksanakan dengan konsisten... sejumlah pakar pendidikan sepakat melanjutkan UN untuk
mengukur standar dan mutu pendidikan nasional”.
Arief Rachman mengatakan bahwa Ujian Nasional tidak ada dalam UU Pendidikan.
Yang diminta oleh UU adanya evaluasi dalam pembelajaran anak dan evaluasi itu bisa lewat
ujian sekolah, ujian provinsi dan lainnya. Ujian Nasional yang lalu tidak memenuhi azas
keadilan karena menyamakan mutu pendidikan antara SMU 8 Bukit Duri di Jakarta Selatan
yang sudah bagus mutunya dengan SMU di Wamena dan di Timika. Bahkan Rahman
menanyakan, ketika Ujian Nasional menjadi semangat pemerintah dalam memetakan
permasalahan kualitas pendidikan, kenapa ada kategori lulus dan tidak lulus. “Kalau
mengadakan UN seperti sekarang jelas melanggar prinsip keadilan pendidikan, sebab
rumus yang dipakai juga keliru. Yang sedang dinilai itu apa, mutu pendidikan Indonesia
atau anak didik. Dengan evaluasi itu nanti bisa kita gunakan untuk menyusun strategi
perbaikan mutu pendidikan setiap daerah,”
Beberapa pakar pendidikan menyebutkan bahwa Ujian Nasional sebagai pola berpikir
tengkulak. Pemerintah hanya ingin memetik hasil dengan jalan pintas tanpa memperdulikan
proses untuk mendapatkan hasil tersebut dan kondisi ekonomi masyarakat.15
Prof. HAR Tilaar dengan sangat keras menolak adanya Ujian Nasional ini dan beliau
mengatakan bahwa proyek Ujian Nasional hanya menghamburhamburkan dana saja. “Badan
Skandal Nasional sebutan bagi Badan Standar Nasional Pendidikan telah menghabiskan dana
600 milyar untuk penyelenggaraan Ujian Nasional. Semestinya dana itu bisa digunakan
untuk meningkatkan pendidikan Indonesia Timur.
Jadi, kontroversi seputar UN berakar dari berbagai pelanggaran terhadap UU Sisdiknas
Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) berupa tindakan-
tindakan yang bertentangan secara akademik dan yuridis atas dasar undang-undang tersebut.
Beberapa pelanggaran disajikan berupa untaian butir-butir kritik sebagai materi bahasan yang
akan dijadikan dasar untuk mencarikan solusinya.

Para Pendukung Kontra UN


Menurut Suke Silverius, ada beberapa alasan yang mana beliau cenderung kontra
terhadap UN:
1. Kenyataan menunjukkan bahwa UN hanya mengukur aspek kognitif yang hasilnya
dipakai sebagai penentu kelulusan kompetensi siswa. Hal ini bertentangan dengan
penetapan kompetensi lulusan menurut UU Sisdiknas. Padahal menurut penjelasan
pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek
yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik).
Dengan demikian, kebijakan UN tidak dapat dijadikan standar untuk mengukur mutu
pendidikan.
2. Penilaian yang dilakukan dalam UN tidak memperhatikan keragaman potensi
daerahdan peserta didik. Menurut Pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi (kemajemukan) sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik, namun kebijakan tersebut diabaikan
UN
dengan melakukan penilaian pendidikan tanpa memperhatikan keberagaman potensi
daerah dan peserta didik. Menelusuri hasil UN dalam perkembangan dari tahun ke
tahun tampak hasil yang sangat beragam. Keragaman itu pula dijadikan sebagai
landasan pemilihan cara merealisasikan suatu kebijakan. Sebagai contoh, komitmen
yang diminta dari pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis diselaraskan dengan
kebutuhan dan kemampuan masing-masing wilayah/daerah. Sanksi yang diberikan
kepada kepala sekolah atau pihak terkait lainnya yang tidak melaksanakan pendidikan
gratis ditetapkan oleh wilayah bersangkutan. Ditetapkan bahwa Departemen
Pendidikan Nasional bakal memberikan sanksi kepada sekolah, khususnya SD dan
SMP, yang tidak menerapkan pendidikan gratis. Kewenangan bentuk sanksi
diserahkan kepada masing-masing daerah sesuai dengan peraturan daerahnya (Perda).
Perda di setiap daerah pasti berbeda sesuai keragaman situasi dan kondisi wilayah
daerah sendiri. Dengan adanya perda sebagai aturan hukum yang memayungi
pelaksanaan pendidikan gratis maka sekolah yang tidak dapat menerapkan pendidikan
gratis bakal terkena sanksi. Setiap daerah memiliki potensi dan kebutuhan beragam.
Karena keragaman potensi dan kebutuhan masingmasing wilayah, jangan sampai
kebijakan sekolah menimbulkan polemik di masyarakat.
3. Hak guru untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didiknya diambil alih oleh
pemerintah dengan diberlakukannya UN. Hal ini melanggar Pasal 39 ayat 2 UU
Sisdiknas yang menyatakan bahwa “Pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran…”
4. Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UN hanya melakukan evaluasi terhadap
peserta didik sedangkan menurut Pasal 57 ayat 2 UU Sisdiknas, mutu pendidikan
seharusnya didasarkan pada evaluasi yang dilakukan terhadap peserta didik, lembaga,
dan program pendidikan. Keterpaduan komponen sumber daya manusia dalam
lingkup sekolah tidak dapat dipisah-pisahkan jika menginginkan hasil optimal dari
karya pendidik di tingkat sekolah. Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang sampai
sekarang masih tetap melanda pelaksanaan pendidikan ialah pemusatan pelaksanaan
evaluasi pendidikan, khususnya UN, hanya pada peserta didik. Segala upaya dan cara
diikhtiarkan untuk dilaksanakan kepada para peserta didik untuk mendapatkan
keberhasilan UN. Segala cara dan upaya itu lebih banyak didasarkan atas gengsi dan
hasrat tampil beda secara lebih meningkat dalam kompetisi antarsekolah.
5. Menurut Pasal 58 ayat 1 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar dan penentuan
kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/ guru dan sat uan pendidikan/
sekolah. Kewenangan pendidik/ guru dan sekolah termaksud telah dirampas melalui
pelaksanaan UN.
Sedangkan jika UN dipandang dari segi evaluasi, menurut analisis Abdul Hadi, ialah :
1. Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah. Pembatasan mata pelajaran yang
diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya
ditekankan pada penguasaan mata pelajaran yang di UN-kan, sedangkan mata pelajaran
lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan
pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih
memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada
siswa kelas akhir. Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus
dicapai.
2. Proses pembelajaran yang kurang bermakna. Untuk mempersiapkan siswa menghadapi
dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran
drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan
keluar pada saat UN. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa
menghadapi soal UN, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal UN yang
dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang
dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial.
Pembelajaran seperti gelembungkan (mark-up) hasil ini kurang mengembangkan
kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi salah satu indikator
kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
3. Upaya-upaya yang tidak fair. Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap
persentase/ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-
jawaban siswa Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan
yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila
ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia
pendidikan (formal jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang
diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk
mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan
prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase
yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan
unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai
posisi tersebut. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair
dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang
setinggi-tingginya. Kasus di beberapa sekolah, guru dengan berbagai modus memberi
kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah
seperti dinas pendidikan, usaha untuk menghalangi kita.
4. Hanya ranah kognitif yang terukur UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise
hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah
kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC
hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa
belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan
bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan.
Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan
dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada
pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara
kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian
yang memadai.
5. Keputusan penentuan kelulusan yang kurang obyektif. Pada umumnya satuan
pendidikan hanya mengacu pada hasil UN untuk menentukan kelulusan siswa artinya
kalau hasil UN sudah memenuhi syarat kelulusan maka siswa tersebut sudah pasti lulus
walaupun nilai mata pelajaran yang tidak di UN-kan jelek dan sikapnya kurang baik.
Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya
ditentukan oleh hasil UN yang dikerjakan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam
UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi
karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan soal
UN.

6. Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin. Hasil UN dijadikan


juga sebagai acuan penentuan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti dari
SMP ke SMA. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para
siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan
lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nila UN yang setinggi-tingginya Untuk
mewujudkan impian itu, bagi orang tua yang berkecukupan (kaya) berusaha melibatkan
anaknya untuk mengikuti pelajaran tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti
bimbingan be lajar. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu,
karena upaya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan siswa miskin hanya bisa
berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka
yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.

Para Pendukung Pro UN

Secara umum bahwa kegunaan UN dilaksanakan dalam rangka melaksanakan:


Pertama Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; Kedua, Dasar seleksi
masuk jenjang pendidikan berikutnya; Ketiga Penentuan kelulusan peserta didik dari
satuan pendidikan;dan Keempat Dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Dengan demikian, maka
dampak positif pelaksanaan UN antara lain adalah: (1) memperoleh data hasil belajar
siswa; (2) memperoleh data untuk menentukan lulusan SMP/Mts yang dapat melanjutkan
pendidikan
ke SMA/MA/SMK; (3) memperoleh data yang akan digunakan sebagai dasar untuk
program tindak lanjut. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan.

Terdapat hal yang menarik sekaligus menggelitik ketika UN sebagai penentu


kelulusan. Disinilah letak diskusi dan argumentasi yang tak berujung. Taufikurrahman
misalnya menilai harus ada pembedaan yang jelas antara standar kelulusan dengan
kontrol kualitas. Dengan UN, hanya angka yang dijadikan ukuran kualitas, tetapi tidak
ada makna di dalamnya sehingga belum tentu mencerminkan mutu lulusan. Begitu pula
Muhammadi, ia mempertanyakan “Bagaimana mungkin UAN dari pusat yang hanya
terdiri dari tiga mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris,
menentukan proses belajar 3 tahun. Seharusnya yang menjadi pegangan bukan hasil,
tetapi proses (Kompas,5 Mei 2004). Lebih lanjut Agus Listiono mempertanyakan Pak
Mendiknas, siapa yang Peduli Proses? (Kompas, 17 Mei 2004).

Jadi, UN Masih Penting kah ?


Berikut ini ialah pendapat yang kami simpulkan dari beberapa pernyataan
kontroversi pro kontra di atas. Menurut kami, UN masih penting bila dana untuk
pelaksanaannya sudah cukup memadai dan pemerataan pendidikan sudah berjalan. Itu
pun masih perlu beberapa hal yang harus dibenahi. Pertama, harus ada revisi payung
hukum UN. Kedua, UN dijadikan sebagai alat evaluasi, bukan penentu kelulusan. Ketiga,
perbaikan sarana prasarana. Keempat, revisi soal, penentu kelulusan, dan instrumen
penilaian. Dan jika pendidikan di Indonesia belum merata, maka UN tidaklah lagi
penting. Dana untuk biaya UN seharusnya dialokasikan untuk pemerataan pendidikan di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai