discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/319746366
CITATIONS READS
0 215
1 author:
Susriyati Mahanal
State University of Malang
13 PUBLICATIONS 3 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Susriyati Mahanal on 15 September 2017.
Abstrak
Pada abad 21 Indonesia menyongsong generasi emas pada usia emas. Generasi emas adalah
generasi yang mempunyai keterampilan abad 21 yaitu insan yang berkarakter, berpikir kritis,
kreatif, inovatif, komunikatif, kolaboratif, dan kompetitif. Menyiapkan generasi emas Indonesia
untuk kehidupan di abad ke-21 adalah sesuatu yang rumit. Berbagai tantangan yang harus
dihadapi seperti: globalisasi, teknologi, migrasi, kompetisi internasional, perubahan pasar,
tantangan lingkungan dan politik internasional. Upaya pemerintah menyiapkan generasi emas
dengan pembangunan dibidang pendidikan, diantaranya dengan melakukan penyempurnaan
kurikulum dan peningkatan profesionalisme guru. Peran guru dalam pendidikan sangat
penting, maju mundurnya suatu Negara berada ditangan guru. Dalam menyiapkan generasi
emas Indonesia yang tangguh, kreatif, inovatif, dan cerdas tentunya diperlukan guru yang
berkualitas dengan kompetensi masa depan. Penyempurnaan kurikulum 2006 menajadi
kurikulum 2013 membawa konsekwensi perubahanan standar pendidikan nasional yaitu standar
kelulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Pada standar proses pemerintah
menyarankan perlu diterapkan pembelajaran berbasis penelitian (discovery/inquiry learning),
dan berbasis pemecahan masalah(project based learning).
A. Pendahuluan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan
Nasional pada tanggal 2 Mei 2012 menyatakan bahwa tema Hari Pendidikan
Nasional Tahun 2012 adalah Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sesuai kondisi
Indonesia pada dasawarsa ke 2-4 abad 21 (tahun 2010-2035) penduduk pada usia produktif
jumlahnya sangat luar biasa banyaknya. Melimpahnya penduduk usia produktif disebabkan
menurunnya angka kelahiran dan angka kematian. Kondisi yang demikian dapat menjadi bonus
demografi (demographic dividend ) yang sangat berharga, namun dapat juga menjadi bencana
demografi atau (demographic disaster) bila kita tidak dapat mengelolanya dengan baik. Di lain
pihak pada tahun 2045 Indonesia memperingati kemerdekaan yang ke 100 tahun atau usia
emas. . Dengan demikian, Indonesa pada abad 21 ini menyongsong bangkitnya generasi emas
pada usia emas. Generasi emas yang dicita-citakan bangsa Indonesia adalah insan yang
bekarakter, berpikir kritis, kreatif, inovatif , komunikatif, kolaboratif, dan kompetitif . Menurut
Suyanto (2010) generasi emas memiliki perilaku karakter atau nilai-nilai luhur yang terbagi
menjadi 4 pilar sebagai berikut. (1) Pikir: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta reflektif. (2) Hati: jujur,
beriman dan bertakwa, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko,
pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. (3) Raga: tangguh, gigih, berdaya
tahan, bersih dan sehat, disiplin, sportif, andal, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif,
*) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan HMPS Pendidikan Biologi FKIP
Universitas Halu Oleo Tgl. 20 September 2014.
dan ceria. (3) Rasa: peduli, ramah, santun, rapi, menghargai, toleran, suka menolong, nasionalis,
mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan produk dan bahasa Indonesia,
dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Generasi Indonesia emas adalah generasi yang mampu menjawab tantangan abad 21.
Generasi emas adalah generasi yang mempunyai keterampilan abad 21. Menyiapkan generasi
emas Indonesia untuk kehidupan di abad 21 adalah sesuatu yang rumit. Berbagai tantangan
yang harus dihadapi seperti: globalisasi, teknologi, migrasi, kompetisi internasional, perubahan
pasar, tantangan lingkungan dan politik internasional. Siswa kita saat ini menggunakan laptop,
pager, ponsel atau alat komunikasi lain untuk terhubung dengan teman-teman, keluarga, ahli,
dan lain-lain di komunitas mereka dan di seluruh dunia. Generasi abad ini dibombardir dengan
pesan-pesan visual melalui berbagai alat komunikasi pribadi yang dapat mengontrol dan
mempengaruhi mereka. Generasi sekarang secara aktif berpartisipasi dalam alat komunikasi
pribadi. Sekarang ini para remaja lebih suka menghabiskan waktu untuk main game atau
interrnet dari pada menonton televisi. Dunia maya dengan janji-janji dan perangkap ada di ujung
jari remaja kita.
Apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini untuk menyongsong bangkitnya generasi
emas? Jawabannya adalah pembangunan dibidang pendidikan. Peran pendidikan penting dalam
membangun peradaban bangsa yang berdasarkan atas jati diri dan karakter bangsa. Pendidikan
harus mampu menyiapkan generasi emas untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut.
Menurut Burkhardt dkk. 2003 yang dibutuhkan siswa untuk sukses dalam konteks abad 21
adalah keterampilan dan pengetahuan (keterampilan abad 21). Peran guru dalam pendidikan
sangat penting, maju mundurnya suatu Negara berada ditangan guru. Dalam menyiapkan
generasi emas Indonesia yang tangguh, kreatif, inovatif, dan cerdas tentunya diperlukan guru
yang berkualitas dengan kompetensi masa depan. Menurut Kasim (2013), kompetensi masa
depan tersebut antara lain kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis dan jernih.
2
harus dikuasai oleh siswa adalah 4 C yaitu: (1) Critical Thinking and Problem Solving (berpikir
kritis dan pemecahan masalah) , (2) Communication (komunikasi), (3) Collaboration
(kolaborasi), dan (4) Creativity and Innovation (kreativitas dan inovasi).
1. Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahanan masalah).
Murdoch University (2008) mengutip pendapat Ennis, berpikir kritis adalah suatu proses,
yang berfokus pada mengambil keputusan yang layak tentang apa yang dipercaya dan dilakukan.
Berpikir kritis menurut AMSC (Mahanal, 2009) digambarkan sebagai ketertiban mengarahkan
pikiran diri sendiri yang menunjukkan keterampilan-keterampilan intelektual dan kemampuan
metakognisi. Pada keterampilan ini peserta didik dituntut menunjukkan kemampuan berikut: 1)
berfokus pada masalah (mengidentifikasi dan memecahkan masalah), 2) menganalisis argumen,
3) bertanya dan menjawab pertanyaan, 4) menentuan sumber yang kredibel, 5) menentukan dan
melakukan obsevasi, 6) melakukan deduksi, 7) melakukan induksi, 8) menentukan dan membuat
evaluasi, 9) memberikan definisi, 10) mengidentifikasi asumsi, (11) memutuskan dan
melakukan, 12) berinteraksi dengan yang lain, dan metakognisi (Murdoch University, 2008;
Mahanal, 2009).
Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual
yang sangat penting bagi setiap orang dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan
manusia. Terdapat hubungan yang signifikan antara berpikir kritis dengan hasil belajar. Berpikir
kritis memberikan kontribusi keberhasilan belajar baik ditingkat pendidikan dasar, menengah
maupun perguruan tinggi. Berpikir kritis juga memberi kontribusi dalam kesuksesan karier.
Pembiasaan belajar berpikir kritis berdampak pada kemampuan siswa dalam mengembangkan
keterampilan lain, seperti peningkatanan kemampuan berpikir tingkat yang lebih tinggi,
kemampuan analisis, dan peningkatan pengolahan pikiran. Mengajarkan berpikir kritis dan
memecahkan masalah secara efektif dalam kelas sangat penting bagi siswa. Keterampilan
berpikir kritis dapat diajarkan di sekolah melalui proses pembelajaran. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa strategi pembelajaran berbasis konstruktivis dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis.
2. Comunication (Komunikasi)
Pada keterampilan ini peserta didik dituntut mampu: (1) memahami, mengelola, dan
menciptakan komunikasi yang efektif, (2) menyampaikan pikiran dan ide-ide secara efektif
dalam berbagai bentuk dan isi baik secara lisan, tertulis, dan multimedia. (3) mendengarkan
secara efektif untuk memahami makna, termasuk pengetahuan, nilai, sikap, dan minat.(4)
menggunakan komunikasi untuk berbagai tujuan (misal untuk memberi informasi, instruksi,
memotivasi, dan persuasi), (5) memanfaatkan media komunikasi dan teknologi, dan tahu
bagaimana menilai efektifitas dan dampaknya, (6) `berkomunikasi secara efektif dalam berbagai
lingkungan (termasuk multibahasa dan multikultural)
Siswa harus mampu secara efektif menganalisa dan memproses sumber informasi
termasuk mengidentifikasi keakuratan sumber informasi dan memanfaatkan sumber informasi
secara efektif. Pemanfaatan media komunikasi modern membuat pembelajaran lebih efektif;
keterampilan komunikasi membuat pengajaran lebih kuat. Menurut kalangan pendidik membaca
dengan lancar, pidato yang benar, dan menulis yang jelas adalah keterampilan komunikasi yang
tingkat dasar.
Keterampilan komunikasi lisan dan tertulis memberi kontribusi pengembangan karier di
abad 21. Sekarang ini dalam kerjasama global komunikasi bahasa dan budaya yang efektif
3
berkontribusi untuk keberhasilan kerjasama tersebut. Keterampilan komunikasi seperti
hubungan antara karyawan dengan pelanggan, antara sesama karyawan diperlukan dalam
memperluas layanan ekonomi. Mendengarkan, empati, dan keterampilan komunikasi yang
efektif adalah keterampilan yang harus dikuasai oleh setiap orang yang terlibat dalam
perekonomian jasa. Ekonom Levy dan Mundane (NEA, tanpa tahun) menegaskan pentingnya
komunikasi di tempat kerja saat ini; karena komunikasi yang kompleks melibatkan penjelasan,
negosiasi, dan bentuk-bentuk interaksi manusia yang intens.
3. Colaboration (Kolaborasi)
Beberapa indikator bahwa siswa mempunyai keterampilan berkolaborasi adalah sebagai
berikut. (1) Menunjukkan kemampuan bekerja sama dalam kelompok secara efektif dan saling
menghormati, (2) fleksibilitas secara pribadi, kemauan saling membantu, berkompromi untuk
mencapai tujuan bersama , (3) bekerja secara produktif dengan yang lain, bertanggung jawab
dan berkontribusi terhadap pekerjaan.
Dalam dekade terakhir kolaborasi telah diterima sebagai keterampilan yang penting
untuk mencapai hasil yang berarti dan efektif. Kolaborasi tidak hanya penting tetapi yang
diperlukan bagi pelajar/mahasiswa dan karyawan, karena globalisasi dan munculnya teknologi.
Dibandingkan dengan kerja individual, kolaborasi tidak hanya menciptakan hasil yang lebih
holistik, tetapi juga juga menghasilkan pengetahuan yang lebih banyak. Siswa bekerja secara
kolaboratif dalam kelompok dapat menghasilkan lebih banyak pengetahuan. Dengan demikian
berkolaborasi merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh siswa untuk keberhasilan
dalam masyarakat global.
4
Individu-individu masa depan tumbuh sesuai masanya, yaitu individu-individu dengan
pola pikir, kreasi, dan tuntutan yang berbeda dengan sekarang. Jika siswa meninggalkan sekolah
tanpa mengetahui bagaimana untuk terus berkreasi dan berinovasi, mereka tidak siap untuk
menghadapi tantangan masyarakat dan lapangan kerja abad 21. Sekarang ini (abad 21)
persaingan global dan otomatisasi tugas, kemampuan berinovasi dan semangat berkreasi adalah
persyaratan menjadi pribadi yang professional dan sukses.
6
profesionalismenya melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuannya
dalam mengelola pembelajaran maupun kemampuan lain dalam upaya menjadikan peserta didik
memiliki keterampilan belajar, mencakup keterampilan dalam memperoleh pengetahuan
(learning to know), keterampilan dalam pengembangan jati diri (learning to be), keterampilan
dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu (learning to do), dan keterampilan untuk dapat hidup
berdampingan dengan sesama secara harmonis (learning to livetogether). Pemerintah melalui
Kemdikbud atau Departemen lain sudah melakukan upaya-upaya peningkatan profesionalisme
guru, misalnya: bea siswa studi lanjut, sertifikasi guru (PLPG dan PPG), dan pelatihan-pelatihan
(in servis training).
Terkait dengan menyiapkan generasi emas, maka guru dituntut mampu menerapkan
model atau strategi pembelajaran yang ditengarai dapat memberdayakan keterampilan abad 21.
Melalui Permen Dikbud No 65 tahun 2013 tentang standar proses pemerintah menyarankan perlu
diterapkan pembelajaran berbasis penelitian (discovery/inquiry learning), dan berbasis
pemecahan masalah(project based learning) untuk mendorong kemampuan peserta didik untuk
menghasilkan karya kontekstual, baik individual maupun kelompok.
Model pembelajaran dengan guru menyampaikan pengetahuan faktual melalui ceramah
dan buku teks, tidak melatih siswa menerapkan pengetahuan untuk konteks baru, berkomunikasi
dengan cara yang kompleks, dan memecahkan masalah atau mengembangkan kreativitas.
Singkatnya, pembelajaran yang demikian bukan cara yang paling efektif untuk mengajarkan
keterampilan abad 21. Modus pembelajaran menurut kurikulum 2013 ada dua, yaitu
pembelajaran langsung dan pembelajaran tidak langsung. Proses pembelajaran langsung adalah
proses pendidikan dimana peserta didik mengembangkan pengetahuan, kemampuan berpikir dan
keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang
dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan pembelajaran. Proses pembelajaran langsung
menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan instructional
effect. Pembelajaran tidak langsung adalah proses pendidikan yang terjadi selama proses
pembelajaran langsung tetapi tidak dirancang dalam kegiatan khusus. Pembelajaran tidak
langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan sikap. Pengembangan sikap sebagai proses
pengembangan moral dan perilaku dilakukan oleh seluruh mata pelajaran dan dalam setiap
kegiatan yang terjadi di kelas, sekolah, dan masyarakat. Dalam sebuah proses belajar, peranan
guru sebagai sosok yangdigugu dan ditiru adalah penting. Perilaku seorang guru akan
menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar pada
peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi teladan bagi kehidupan sosial peserta didik.
Berikut disampaikan 9 resep bagaimana mengajar keterampilan abad 21.
1) Buatlah relevan dengan kehidupan siswa. Agar efektif, pembelajaran apapun harus relevan
dengan kehidupan siswa. Menghafal pengetahuan faktual membuat materi pelajaran
tampaknya tidak relevan dengan kehidupan siswa. Salah satu cara untuk membuat
pembelajaran relevan dengan kehidupan, guru dapat memulai dengan menyampaikan topik
yang menarik atau menantang. Isu-isu yang aktual yang terjadi di masyarakat, misalnya
perubahan iklim bagi daerah mereka dan daerah lain dengan karakteristik geografis yang
sama adalah contoh topik yang menarik dan menantang. Topik yang menantang
memerlukan keterlibatan siswa dengan isu-isu kompleks.
2) Ajarkan melalui disiplin ilmu.
Belajar ilmu pengetahuan tidak hanya belajar konten materi pengetahuannya. Siswa perlu
tahu bahwa mereka mempelajari setiap disiplin ilmu karena ilmu tersebut penting.
Demikian juga siswa juga perlu tahu bagaimana para ahli menciptakan pengetahuan baru
7
dengan metode ilmiah, bagaimana para ilmuwan melakukan percobaan, bagaimana mereka
mencapai kesimpulan. Masing-masing langkah ini erat dengan pengembangan
keterampilan abad ke-21
3) Mengembangkan keterampilan berpikir tingkat rendah dan tinggi dalam waktu yang sama.
Siswa perlu memahami hubungan antara variabel yang diberikan dan bagaimana
menerapkan pemahaman ini untuk konteks yang berbeda.
4) Mendorong transfer belajar. Siswa perlu belajar menerapkan keterampilan, konsep,
pengetahuan, sikap atau strategi yang mereka kembangkan dalam satu konteks dan situasi
ke dalam konteks dan situasi yang lain. Kegiatan berikut adalah salah satu cara melatih
siswa mentransfer belajarnya: (a) membimbing siswa untuk melakukan brainstorming
tentang cara-cara menerapkan keterampilan, sikap, atau konsep yang telah dikembangkan
untuk situasi yang lain, (b) Mintalah siswa untuk membuat analogi antara topik yang
berbeda, seperti antara ekosistem dan pasar keuangan. Pakar pendidikan Shanghai percaya
bahwa pelatihan siswa untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan untuk masalah
nyata memberikan kontribusi terhadap keberhasilan mereka pada PISA 2009.
5) Ajarkan siswa untuk belajar bagaimana belajar (metakognisi).
Peters (2000) menyatakan bahwa metakognisi adalah kecakapan siswa untuk menyadari dan
memonitor proses belajarnya. Lee dan Baylor (2006) mendiskripsikan keterampilan
metakognisi menjadi 4 dimensi yaitu planning, regulating, evaluating, dan revising.
Planning menyangkut kesadaran mengidentifikasi apa yang telah diketahui, menentukan
tujuan belajar, mempertimbangkan alat bantu belajar, dan mempertimbangkan bentuk tugas.
Regulating meliputi mengontrol kemajuan belajar, kemajuan menyelesaikan tugas, dan
kemajuan tujuan belajar yang telah didapat. Evaluating meliputi penilaian terhadap
pengetahuan yang baru didapat, menyeting tujuan, dan menyeleksi bahan belajar. Revising
meliputi modifikasi rencana tujuan sebelumnya, strategi-strategi, dan pendekatan-
pendekatan belajar lainnya.
6) Memperbaiki miskonsepsi.
Banyak orang yang salah konsep tentang bagaimana dunia bekerja. Kesalahan konsep itu
bertahan sampai mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan penjelasan alternatif.
7) Mendorong kerja sama dalam kelompok .
Kemampuan untuk bekerja sama adalah keterampilan abad ke-21 yang penting. Kolaborasi
juga diperlukan agar pembelajaran optimal. Siswa belajar dalam kelompok lebih baik dari
pada belajar individual. Belajar berpasangan atau kelompok merupakan cara yang ideal
bagi siswa untuk mengembangkan metakognisi dan keterampilan komunikasi, serta
memperbaiki miskonsepsi. Ada banyak cara yang dilakukan guru untuk merancang
pembelajaran yang mendorong bekerjasama dalam kelompok. Siswa dapat mendiskusikan
konsep secara berpasangan atau kelompok dan berbagi apa yang mereka pahami. Siswa
dapat mengembangkan argumen dalam debat. Siswa dapat bermain peran.
8) Memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran.
Teknologi menawarkan potensi pada siswa dengan cara-cara baru untuk mengembangkan
keterampilan memecahkan masalah, berpikir kritis, dan keterampilan komunikasi; berlatih
menangani miskonsepsi; dan berkolaborasi dengan rekan-rekan pada topik yang relevan
dengan kehidupan mereka. Forum berbasis web di mana siswa dan rekan-rekan mereka dari
seluruh dunia dapat berinteraksi, berbagi, debat, dan belajar dari satu sama lain. Internet itu
sendiri juga menyediakan forum untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21 dan
8
pengetahuan. Sifat sumber yang tak terhitung jumlahnya, memberi kesempatan untuk
belajar menilai sumber-sumber yang reliabel dan valid.
9) Mengembangkan kreativitas siswa. Guru juga dapat memfasilitasi berkembangnya
kreativitas siswa dengan mendorong, mengidentifikasi, dan membantu siswa untuk
mengembangkan mental positif tentang kemampuan untuk mengembangkan kreativitas
siswa. Mengidentifikasi kreativitas dapat membantu siswa untuk mengenali sendiri
kemampuan kreatif . Guru dapat membimbing secara langsung tentang proses kreatif dan
memberikan kontribusi untuk pengembangan kreativitas. Pengembangan kreativitas dapat
dipelajari melalui masing-masing disiplin ilmu, bukan hanya melalui seni.
Model pembelajaran yang memenuhi resep di atas antara lain pembelajaran inkuiri,
problem based learning, dan project base learning.
Pembelajaran Inkuiri
Kata inkuiri berasal dari bahasa inggris, yaitu to inquire yang berarti bertanya atau
menyelidiki. Pertanyaan merupakan inti dari pembelajaran berbasisi inkuiri. Pertanyaan dapat
menuntun untuk melakukan penyelidikan sebagai usaha peserta didik dalam memahami materi
pelajaran. Inkuiry bukan monopoli pembelajaran sains, tetapi juga bisa diterapkan pada matapelajaran
lain seperti IPS. Menurut Ong dan Boorich (2006) Pembelajaran berbasis inkuiri adalah pencapaian hasil
belajar melalui pencarian informasi, pengetahuan diperoleh melalui pengajuan pertanyaan. Selanjutnya
dikemukakan inkuiri adalah berbagai kegiatan termasuk melakukan observasi, mengajukan pertanyaan,
mencari dan menggunakan informasi untuk mengetahui dengan jelas peritiwa melalui percobaan,
menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan data; mengajukan pertanyaan,
menjelaskan, dan memprediksi; dan mengkomunikasikan hasil.
Menurut National Research Council (2000) pembelajaran berbasis inkuiri mengacu
pada cara ilmuwan bekerja ketika mempelajari alam, yaitu mencari penjelasan melalui bukti
yang dikumpulkan dari dunia di sekitar mereka. Pembelajaran berbasis inkuiri meliputi kegiatan
mengajukan pertanyaan, menyelidiki masalah atau topik, dan menggunakan berbagai sumber
daya untuk menemukan solusinya. Para peserta didik akan menarik kesimpulan dan biasanya
peserta didik meninjau kembali kesimpulan tersebut untuk direvisi sebagai eksplorasi sehingga
memunculkan pertanyaan baru. Melalui proses ini, peserta didik akan mengintegrasikan
pengetahuan baru mereka dengan pengetahuan sebelumnya, yang pada gilirannya akan
membantu mereka dalam membangun konsep mereka saat ini.
Pembelajaran inkuiri sangat mendukung standar proses (pendekatan saintifik) yang
dianjurkan kurikulum 2013. Kesesuaian pembelajaran inkuiri dengan pendekatan saintifik dapat
dilihat dari sintaks inkuiri. Ong dan Boorich (2006) mengusulkan sintak pembelajaran
pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu ask (merumuskan pertanyaan atau hipotesi), investigate
(merencakanan penyelidikan dan mengumpulkan data), create (menganalisis data dan
menginterpretasikan hasil), discuss (mendiskusikan temuan penyeldiikan dan membuat
simpulan), reflect (melakukan refleksi dan membuat hubungan antar konsep). Pembelajaran
berbasis inkuiri juga mengembangkan ketrampilan abad 21 seperti yang tertera pada Tabel 1.
Untuk menumbuhkan keterampilan berkolaborasi dan komunikasi dalam implementasinya
pembelajaran inkuiri siswa bekerja dalam kelompok dan berbagi apa yang mereka pahami
melalui diskusi kelas.
9
Tabel 1. Sintak pembelajaran inkuiri, pendekatan saintifik, dan keterampilan abad 21.
10
dorongan agar siswa bertanya tentang apa yang menarik atau penting untuk dipecahkan (3) penetapan
masalah, (4) pemetaan masalah dan utamakan pada satu permasalahan, (5) lakukan
penyelidikan terhadap masalah tersebut, (6) analisalah hasil-hasilnya, (7) ulangi lagi
pembelajaran, (8) hasilkan penyelesaian dan rekomendasikan, (9) mengomunikasikan hasil,
(10) lakukan asesmen diri. Dengan demikian sama dengan pembelajaran inkuiri, PBL juga mendorong
berkembangnya keterampilan abad 21 sekaligus juga relevan dengan pendekatan saintifik (Tabel 2)
11
PjBL merupakan model belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal
dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktifitas secara nyata. PjBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek
yang diperlukan siswa dalam melakukan investigasi dan memahaminya.
Implementasi PjBP dapat dikerjakan secara individu atau oleh kelompok secara
kooperatif atau bahkan seluruh kelas. Secara umum, tiga fase dapat diusulkan di dalam
melaksanakan Project-Based Learning, yaitu Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi. Dari
tiga fase tersebut dirinci menjadi 5 tahap seperti berikut.
1) Persiapan Proyek
Pada tahap awal, siswa membentuk tim. Setiap anggota tim saling mempelajari satu dengan
yang lain tentang kemampuan setiap individu untuk memberi sumbangan dan kemampuan
mereka. Selanjutnya siswa menentukan aturan dan tujuan sebagai pedoman kolaborasi
mereka. Hal ini penting untuk memudahkan kerja kooperatif dan untuk menciptakan
atmosfer belajar yang kondusif.
2) Perencanaan Proyek
Siswa dihadapkan pada masalah riil di lapangan dan siswa didorong untuk mengidentifikasi
masalah tersebut. Pada tahap ini siswa dibimbing menemukan masalah dalam konteks
dunia nyata, misalnya siswa diminta mempelajari lingkungan perairan (sungai) yang ada
disekitar siswa. Siswa secara kooperatif mengidentifikasi pertanyaan proyek. Apa yang
diinginkan dalam penelitian? Apakah tujuan dari proyek? Berapa lama waktu yang kita
punya, yang mana tempatnya, materialnya, atau patner yang ada?Apa yang dibutuhkan,
dan siapa yang dapat membantu? Bila proyek ini komplek, pembagian kerja dalam
kelompok akan dibentuk. Melalui PjBL siswa belajar bermufakat, belajar mendifinisikan
tujuan secara individu dan melakukan eksplorasi. Guru sebagai fasilitator membimbing
siswa melakukan perencanaan proyek dan merencanakan artefak yang akan dibangun
(analisis kebutuhan serta langkah-langkah dalam pelaksanaan proyek).
3) Implementasi Proyek
Kelompok kerja mengerjakan item-item sesuai dengan perencanaan, ketepatan waktu telah
ditentukan, realisasi proyek siap dimulai. Terdapat beragam alat untuk membantu mencari
jawaban terkait mengkoleksi data, Film (kamera), mungkin diperlukan untuk mereka .
Guru membimbing siswa untuk melakukan pengujian produk (analisis data) serta
menyusun arifak misalnya berupa laporan hasil penelitian.
4) Presentasi Proyek
Guru membimbing siswa menyiapkan presentasi. Presentasi ini dimaksudkan untuk
mengomunikasikan kreasi atau temuan dari investigasi kelompok. Presentasi proyek
mungkin dalam bentuk pameran yang diadakan di lingkungan sekolah.
5) Evaluasi proyek
Proses dan produk adalah dua aspek penilaian yang populer dalam PjBL. Penilaian proses
dan hasil belajar siswa dapat menggunakan beberapa cara misalnya rekaman catatan
lapangan, hasil observasi atau fortofolio. Kesepakatan-kesepakatan belajar dan kelompok
kerja kolaborasi perlu didiskusikan dan diberi penilaian
Implementasi PjBL, siswa dapat berkolaborasi dan melakukan investigasi atau
penyelidikan dalam kelompok kerja antara 4-5 orang. Keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan dan dikembangkan oleh siswa dalam kelompok adalah merencanakan,
mengorganisasikan, negosiasi, dan membuat konsensus atau kesepakatan tentang tugas yang
12
dikerjakan, siapa yang mengerjakan apa, dan bagaimana mengumpulkan informasi yang
dibutuhkan dalam berinvestigasi. Keterampilan yang dibutuhkan dan yang akan dikembangkan
oleh siswa merupakan keterampilan yang esensial sebagai landasan untuk keberhasilan proyek
mereka. Keterampilan-keterampilan yang dikembangkan melalui kolaborasi dalam tim
menyebabkan pembelajaran menjadi aktif, di mana setiap individu memiliki keterampilan yang
bervariasi sehingga setiap individu mencoba menunjukkan keterampilan yang mereka miliki
dalam kerja kelompok. Pembelajaran secara aktif dapat memimpin siswa ke arah peningkatan
keterampilan dan kinerja ilmiah. Kinerja ilmiah tersebut mencakup prestasi akademis, mutu
interaksi hubungan antar pribadi, rasa harga diri, persepsi dukungan sosial lebih besar, dan
keselarasan antar siswa. Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa pembelajaran PjBL
sesuai dengan standar proses kurikulum 13 dan mendorong keterampilan abad 21 (Tabel 3).
Penutup
13
Kualitas bangsa dapat dilihat dan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia tersebut sangat ditentukan oleh kualitas guru yang membimbing dan
mengajarkan ilmu kepada generasi penerus bangsa. Peran guru juga sangat menentukan
perkembangan seorang anak. Guru adalah orang yang berwenang dan bertanggungjawab
terhadap pendidikan peserta didik, untuk menyiapkan generasi Indonesia emas yang dicita-
citakan. Sebaik apapun kurikulum yang diberlakukan, tidak akan tercapai bila tidak diimbangi
dengan peningkatan kualitas guru. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki kepribadian,
menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar sebagai dasar kompetensi.
Pembelajaran dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing
ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani). Pembelajaran tidak
hanya sekedar dimaknai dengan transfer keilmuan saja, melainkan dilengkapi dengan karakter.
Dorothy Law Nolte dalam Children Learn What They Live menyatakan sebagai berikut.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyeasali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta
dalam kehidupan
Daftar Pustaka
Arends, R.I. 2004. Learning toTeach. Sixth Edition. New York: The McGraw-Hill.
Burkhardt, Gina., Monsour, Margaret., Valdez, Gil., Gunn, Cathy., Dawson, Matt., Lemke,
Cheryl., Coughlin, Ed., Thadani, Vandana., Martin, Crystal. 2003. Century Skills:
Literacy in the Digital Age. (Online) http://pict.sdsu.edu/engauge21st.pdf. diakses tgl.9
September 2014.
Dyer, J. H., Gregersen, H.B., and Christensen C. M. 2009. Five discovery skills separate true
inovators from the rest of us. Harvard Business Review. December 2009.
Greenstein, L. 2012. Assesing 21 st Century Skill A Guide to Evaluating Mastery And Authentic
Learning. California: Corwin A Sage Company
Greenwald, N. (2000). Learning from problems. The Science Teacher. 67(4), 28-32
.Kasim, M. 2012. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan:
Implementasi Kurikulum 2013 dan Relevansinya Dengan Kebutuhan Kualifikasi
Kompetensi Lulusan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Semarang.
14
Kemdikbud. 2013. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. 2012. Sambutan Menteri Pendidikan Dan
Kebudayaan Pada Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012. (Online)
http://www.slideshare.net/guruonline/sambutan-mendikbud-pada-hari-pendidikan-
nasional-2012. diakses 10 Sepetember 2014
Lee, M., and Baylor, A. L., 2006, Designing Metacognitive Maps for Web-Based Learning,
Educational Technology & Society, 9 (1), 344 348
Mahanal, S. 2009. Pengaruh Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai Dengan
Indikator Biologi Berbasis Proyek Terhadap Hasil Belajar Siswa SMA Di Kota
Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana (S3) Universitas Negeri
Malang
Murdoch University, 2003. Critical Thinking-Getting started. (Online).
(http://www.tlc.murdoch.edu.au/slearn/resource/pdf/Critical%20Thinking.pdf. diakses
30 Juli 2008).
National Research Council. 2002. Inquiry and the National Science Education Standard: A
Guide for Teaching and Learning. Washington DC: National Academy Press.
NEA. Tanpa tahun. Preparing 21st Century Students for a Global Society an Educators Guide
to the Four Cs. (Online) http://www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf.
diakses tgl 9 September 2014.
Ong, Ai-Cho dan Borich, G D. 2006. Teaching Strategies That Promote Thinking Models and
Curriculum Approaches. Singapore: Mc Graw Hill
Peters, M. 2000. Does Contructivist Epistomo;ogy Have a Place in Nurse Education?. Journal
of Nursing Education 39. No. 4 (April 2000) : 1666-170.
Saavedra, Anna Rosefsky and Opfer, V. Darleen. 2012. Skills Lessons From The Learning
Sciences. (Online), http://asiasociety.org/files/rand-1012report.pdf . diakses 9 September
2014
Sonmez, D. & Lee, H. (2003). Problem-Based Learning In Science. ERIC Clearinghouse For
Science, Mathematics, And Environmental Education. (Online)
http://Www.Stemworks.Org/Digests/EDO-SE-03-04.Pdf. diakses 12 Februari 2008.
Suyanto, 2010. Peran Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam Menyiapkan Tenaga Kependidikan
yang Profesional dan Berkarakter. Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dasar
dan Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Malang.
Torp, L. and Sage, S. 2002. Problems as Possibilities: Problem-based Learning for K-16
Education. Alexandria, VA: Association for Supervision and Curriculum Development
Wagner, T. (2008). The global achievement gap: Why even our best schools dont teach the new
survival skills our children needand what we can do about it. New York, NY: Basic
Books.
Wibowo, M E. 2012. Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. (Online)
http://eprints.umk.ac.id/1042/2/1_-_Prof._Mungin.pdf diakses tgl 9 september 2014.
15
.
16