BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi dalam pendidikan perlulah dilaksanakan dalam menjawab
tuntutan persaingan global dan dalam menyesuaikan sistem pendidikan
dengan perkembangan jaman serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
daerah. Otonomi daerah ini merupakan implementasi dari azas desentralisasi
yang telah diterapkan.
Dengan ditetapkannya kebijakan otonomi daerah ini maka mulai dari
wilayah provinsi hingga kota/kabupaten akan mengurusi sendiri urusan
daerahnya. Setiap daerah tersebut akan memiliki wewenang, hak, dan
tanggung jawab sendiri untuk mengurus rumah tangganya sesuai dengan
batasan dan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat.
Otonomi daerah ini diharapkan dapat mengefisienkan pelayanan publik di
masyarakat sehingga dalam penerapannya masyarakat menjadi lebih dekat
dengan pemerintah. Salah satu bidang yang didesentralisasikan adalah bidang
pendidikan, dimana dalam penerapan di sekolah disebut Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS).
Manajemen Berbasis Sekolah ini merupakan kebijakan dalam sistem
penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah yang dilakukan secara mandiri.
Sistem ini memberikan peluang bagi sekolah untuk mengatur pengelolaan
sekolahnya secara demokratis, professional, dan dinamis. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan pemerataan pendidikan, mutu sekolah dan peningkatan
efisiensi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana implementasi Manajemen Berbasis Sekolah?
2. Efektifitas, Efisiensi, dan Produktifitas Manajemen Berbasis Sekolah?
3. Kepemimpinan Dalam Manajemen Berbasis Sekolah?
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia efesien berarti tepat. Efisiensi ialah
mampu mengerjakan kewajiban dengan baik dan tepat, tepat sesuai dengan
rencana, tepat dan tidak membuang-buang waktu.
Efisiensi merupakan aspek penting dalam manajemen sekolah karena
sekolah umumnya dihadapkan pada masalah kelangkaan, sumber dana, dan
secara langsung berpengaruh terhadap kegiatan manajemen. Jika efektifitas
dilihat dari perbandingan antara rencana dengan tujuan yang dicapai maka
efisiensi lebih ditekankan pada perbandingan antara input atau sumber daya
dengan output. Suatu kegiatan efisien bila tujuan dapat dicapai secara optimal
dengan penggunaan atau pemakaian sumber dana yang minimal. Efisiensi dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Efisiensi Internal
Cycle cost yang mengacu pada jumlah rata-rata biaya yang dikeluarkan
oleh setiap peserta didik dalam satu tahun.
Attrition cost melihat biaya berdasarkan keseluruhan biaya yang
dikeluarkan dan konstribusinya terhadap pengeluaran.
Cost per-unit dispersion, analisis efektitas biaya ini akan
mengahasilkan angka-angka yang mengandung dispersi.
Cost per-unit achievement, analisis efektifitas biaya ini berasumsi
bahwa biaya yang dikeluarkan mempunyai kontribusi pada
peningkatan output maupun outcomens.
b. Analisis biaya minimal
Analisis biaya minimal berupa mencari cara produksi yang paling
murah untuk mencapai efektifitas dengan menggunakan salah satu
alternatif analisis atau kombinasi alternatif-alternatif yang dapat
digunakan.
c. Analisis manfaat biaya
Analisis manfaat biaya dilakukan berdasarkan interpretasi subjektif.
Dalam hal ini setiap pengeluaran sekolah diidentifikasi sumbangannya
terhadap kepuasan kerja, dan tingkat kepuasan tersebut dibandingkan
dengan jumlah biaya yang dikeluarkan, sehingga manfaat yang diperoleh
sesungguhnya merupakan pertimbangan subjektif terladap alternative
berdasarkan referensi nilai yang dianut.
Produktivitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu sebagai berikut:
1) Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi dan manajemen;
yakni kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan pendidikan.
2) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepala sekolah; meliputi
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kelancaran pendidikan atau
sekolah.
3) Faktor-faktor yang berhubungan dengan guru; meliputi tanggung
jawab guru atas pekerjaan dalam melaksanakan tugas pengajaran.
12
4. Kepemimpinan Delegatif/demokratif
Ketika mengambil keputusan, pemimpin memberi kepada seorang
individu atau kelompok, suatu kekuasaan serta tanggung jawab untuk
membuat suatu keputusan.
c. Pendekatan Situasional
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku,
keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam
hal ini kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai
kualitas pribadi, dan merupakan kualitas yang timbul karena interaksi orang-
orang dalam situasi tertentu.
Menurut pandangan perilaku, dengan mengkaji kepemimpinan dari
beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku akan memudahkan
menentukan gaya kepemimpinan yang paling cocok. Pendekatan ini menitik
beratkan pada berbagai gaya kepemimpinan yang paling efektif diterapkan
dalam situasi tertentu. Terdapat beberapa studi kepemimpinan yang
menggunakan pendekatan ini antara lain “teori kepemimpinan kontingensi”.
Teori kepemimpinan kontingensi dikembangkan oleh Fiedler dan
Chemers, berdasarkan hasil penelitianya pada tahun 1950, disimpulkan
bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faktor kepribadian
yang dimiliki, tetapi juga berbagai faktor situasi dan saling berhubungan
antara situasi dengan kepemimpinan. Keberhasilan pemimpin bergantung
baik pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi.
3) Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kinerja
Sejarah pertumbuhan peradaban manusia banyak menunjukkan bukti bahwa
salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan organisasi
adalah kuat tidaknya kepemimpinan. Kegagalan dan keberhasilan organisasi
banyak ditentukan oleh pemimpin karena pemimpin merupakan pengendali dan
penentu arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju ke suatu tujuan yang
akan dicapai. Hal ini sejalan dengan pandangan Siagian, 1994 (dalam Suditha,
2011) bahwa arah yang hendak ditempuh oleh organisasi menuju tujuan haruslah
sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan
18
prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik
yang disusun serta dijalankan dijalankan oleh organisasi bersangkutan.
Untuk mendapatkan kinerja yang baik dan hasil kerja yang meningkat di
suatu organisasi, maka harus memenuhi persyaratan atau memiliki: (1) keahlian
dan kemampuan dasar, yaitu sekelompok kemampuan, yang meliputi
kemampuan komunikasi, kemampuan teknik, kemampuan konseptual dan lain
sebagainya, (2) kualitas pribadi yang meliputi mental, fisik, emosi, watak sosial,
sikap, komitmen, integritas, kesadaran, serta perilaku yang baik, (3) kemampuan
administrasi meliputi kemampuan menganalisis persoalan, memberi
pertimbangan, pendapat, keputusan, mengatur sumber daya, dan berbagai
macam kegiatan, lapang dada, sabar, berpartisipasi aktif dalam berbagai
aktivitas, dan motivasi yang tinggi.
Dalam rangka melaksanakan MBS, kepala sekolah sebagai pemimpin harus
memiliki berbagai kemampuan, antara lain yang berkaitan dengan pembinaan
disiplin pegawai, pemberian penghargaan, dan pembangkit motivasi.
4) Kepemimpinan Transformasional dalam MBS
Dalam UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
2000-2004 untuk sektor pendidikan disebutkan akan perlunya pelaksanaan
manajemen otonomi pendidikan. Perubahan manajemen pendidikan dari
sentralistik ke desentralistik menuntut proses pengambilan keputusan pendidikan
menjadi lebih terbuka, dinamik, dan demokrasi. Dalam melaksanakan MBS
menurut Komite Reformasi Pendidikan, kepala sekolah perlu memiliki
kepemimpinan yang kuat, partisipatif, dan demokratis. Untuk
mengakomodasikan persyaratan ini kepala sekolah perlu mengadopsi
kepemimpinan transformasional (Nurkolis, 2002:171).
Kepemimpinan transformasional dicirikan dengan adanya proses untuk
membangun komitmen bersama terhadap sasaran organisasi dan memberikan
kepercayaan kepada para pengikut untuk mencari sasaran. Ciri-ciri
kepemimpinan transformasional sejalan dengan gaya manajemen model MBS
yaitu sabagai berikut.
19
Menurut tugas dan fungsinya keduanya mempunyai kaitan satu sama lain
sehingga perlu dilakukan koordinasi. Koordinasi horisontal terbagi :
1. Interdiciplinary, Koordinasi dalam rangka mengarahkan, menyatukan
tindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin antara unit yang satu
dengan unit yang lain secara intern maupun ekstern pada unit-unit
yang sama tugasnya.
2. Inter-Related, koordinasi antar badan (instansi). Unit-unit yang
fungsinya berbeda, tetapi instansinya saling berkaitan secara intern-
ekstern yang selevel.
Koordinasi diagonal, yaitu koordinasi fungsional, yang
mengkoordinasikan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi eselonnya
dibandingkan yang dikoordinasikan, tetapi satu dengan yang lainnya
tidak berada pada satu garis komando (line of command)
2. Koordinasi Ekstern
Koordinasi ekstern, termasuk koordinasi fungsional. Dalam
koordinasi ekstern yang bersifat fungsional, koordinasi itu hanya bersifat
horizontal dan diagonal. Siagian (1979) mengelompokkan koordinasi
menjadi sebagai berikut :
Koordinasi menjadi atasan dengan bawaan, yang disebut koordinasi
vertikal.
Koordinasi diantara sesama pejabat yang setingkat dalam suatu instansi,
disebut koordinasi horizontal.
Koordinasi fungsional, koordinasi antarinstansi, tiap-tiap instansi
mempunyai tugas dan fungsi dalam suatu bidang tertentu.
e. Cara Melakukan Koordinasi
Koordinasi dapat dilakukan secara formal dan informal, melalui
konferensi lengkap, pertemun berkala, pembentukan panitia gabungan,
pembentukan badan koordinasi staff, wawancara dengan bawahan,
edaran/memo berantai, buku pedoman lembaga, tata kerja dan sebagainya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sutarto (1983) yang mengemukakan
cara-cara koordinasi berikut :
27
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
perandantanggungjawabsemuapihakdalamSekolah
transparansi.
1. Koordinasi dalam MBS adalah suatu usaha kerja sama antara badan, instansi,
unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu, sehingga terdapat saling
mengisi, saling membantu dan saling melengkapi untuk tercapainya suatu
tujuan tertentu.
2. Komunikasi dalam MBS adalah proses menyalurkan informasi, ide,
penjelasan, perasaan, pertanyaan dari orang ke orang atau dari kelompok ke
kelompok. Komunikasi dalam MBS terbagi menjadi:
Komunikasi intern
Komunikasi ekstern
3. Dalam MBS, supervisi ditekankan pada pembinaan dan peningkatan
kemampuan serta kinerja tenaga kependidikan di sekolah dalam
melaksanakan tugas
37
DAFTAR PUSTAKA