di Sekolah Dasar
PRO I (Argumentasi)
Saya sebagai pihak pro setuju bahwa UN di Sekolah Dasar dihapuskan karena tidak adil jika hanya tiga
mata pelajaran saja yang diujikan dalam UN. Sementara, siswa selama enam tahun sekolah mempelajari
banyak pelajaran. Selain itu, sangat tidak adil juga jika menentukan kelulusan peserta didik hanya dengan
waktu 3 atau 4 hari saja. Berbagai pengorbanan, moril maupun materiil, selama 6 tahun tampaknya sia-
sia ketika mereka gagal memperoleh nilai ujian nasional di atas standard nasional. Banyak siswa
berprestasi tidak lulus hanya lantaran gagal dalam ujian nasional. Ujian sebagai standarisasi kelulusan itu
dianggap mengabaikan prestasi yang dibina anak didik selama bertahun-tahun.
Saya sebagai pihak kontra menolak dengan tegas pernyataan tersebut. UN di Sekolah Dasar bukan
memiliki tujuan untuk menjatuhkan peserta didik. Bukankah UN itu sudah menjadi tradisi untuk menguji
tingkat kemampuan siswanya, dengan diujikannya soal-soal UN maka kita akan mengetahui tingkat
kemampuan siswa dalam mereka belajar selama 6 tahun. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri
Pendidikan Nasional menerbitkan peraturan No. 74 dan 75 tentang Panduan UN Tahun Pelajaran 2009-
2010 SD, salah satu isinya menyebutkan bahwa hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan
untuk penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan. Selain
itu sebagaimana dalam pasal 58 ayat (1) “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Jadi,
UN bukanlah untuk menyulitkan siswa namun sebagai evaluasi hasil belajar untuk meningkatkan mutu
pendidikan dan standardisasi nasional. Jika UN SD dihapus akan memberikan dampak buruk terhadap
dunia pendidikan di Indonesia karena tidak ada instrumen yang menjadi tolak ukur kemajuan pendidikan.
Anda menyebutkan untuk standardisasi nasional. Kenyataan yang kita hadapi adalah pembelajaran yang
ada di desa dan di kota jauh berbeda. Pembelajaran di kota mungkin jauh lebih unggul, bisa kita lihat dari
segi guru yang kompeten, sarana dan prasarana yang mendukung, dan keefisienan proses belajar
mengajar. Tentu tidak akan sama pembelajaran yang ada di Sumatra, Jawa, atau pun di Papua. UN untuk
penyeragaman atau pengintegrasian bangsa, dengan demikian artinya tidak menghargai
perbedaan. Materi yang diujikan di Jawa dengan materi di Papua tentunya tidak bisa dipaksa atau
disamakan.Bagaimana bisa kita melakukan evaluasi yang bertujuan menstandarkan mutu secara
nasional. Setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Hanya daerah masing-masing atau sekolahlah
yang mengetahui situasi dan kondisi pembelajaran dan evaluasi apa yang tepat diterapkan di sekolahnya.
Sebaiknya, evaluasi kelulusan bukan berdasarkan hasil UN atau campuran UN dengan ujian sekolah, tetapi
murni berdasarkan ujian sekolah atau ujian mandiri. Ujian mandiri yang dilaksanan oleh pihak sekolah
tersebut tetap berpegangan pada standard-standard secara nasional, batas minimum, dan aturan
pembuatan soal dari pemerintah pusat.
Penyeragaman atau pengintegrasian ujian nasional bukan seperti yang Anda maksud. Ujian nasional yang
terintegrasi dengan ujian sekolah (UNTUS) pada Sekolah Dasar (SD) dengan standar kelulusan 3 mata
pelajaran, yaitu Matematika, IPA, dan Bahasa Indonesia tidak dipatok oleh pemerintah pusat melainkan
sepenuhnya diserahkan pada kebijakan masing-masing sekolah. Pemerintah pusat hanya membuat soal
yang porsinya 40%, sementara sisanya 60% diserahkan pada pemerintah daerah. Kriteria kelulusan
ditentukan melalui rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai minimum dan nilai rata-rata dari
ketiga mata pelajaran yang diujikan. Selanjutnya peserta akan diberi surat keterangan hasil UNTUS yang
diterbitkan oleh sekolah.
PRO II (Sanggahan)
Ya, ujian integrasi dengan pembagian 60 persen dan 40 persen porsi kewenangan sekolah dan negara
justru dipakai sebagai sarana menggelembungkan nilai agar siswa sekolah bisa lulus UN. Kultur
manipulatif diwadahi melalui kebijakan kalkulasi porsi penilaian ini. Jadi, ada permainan nilai di sekolah.
Jika ada indikasi seperti itu tentunya bukan karena kesalahan dari pembagian porsi ujian terintegrasi
melainkan ketidakjujuran pihak sekolah dalam menghadapi ujian nasional. Selama ini UN digunakan
sebagai tolok ukur belajar. Selain itu, UN dapat dijadikan tolok ukur untuk siswa dalam neneruskan ke
jenjang selanjutnya. Jika tidak ada UN maka siswa masih harus mengikuti tes lagi untuk masuk ke SMP.
Padahal, seharusnya anak bisa menggunakan nilai UN untuk mendaftar ke sekolah favorit. Jika UN tingkat
SD dihapus, maka akan membuat peserta didik kebingungan ketika akan mengikuti seleksi penerimaan ke
tingkat menengah pertama. Nanti indikasi seperti apa yang akan ditentukan oleh SMP saat menyeleksi
murid-murid lulusan SD.
PRO I (Argumentasi)
UN sebagai evaluasi dan tolok ukur belajar, bagi siswa SD seharusnya bertujuan melihat kemajuan siswa
bukan penentu kelulusan dan masuk atau tidaknya ke SMP. Untuk mendaftar ke SMP, siswa bisa
menggunakan nilai akhir pada raport kelas VI mereka sehingga tidak perlu lagi mengikuti tes ujian masuk.
Sudah tidak asing bahwa UN SD menjadi momok bagi siswa dan sekolah. Ada kekhawatiran tidak lulus
sehingga UN menjadi sebuah beban tersendiri. Setiap menjelang ujian nasional para siswa dilanda stres
yang luar biasa. Tidak hanya karena peningkatan aktivitas belajar tetapi yang paling berat adalah beban
psikologis, yakni apakah mereka akan lulus atau tidak. Siswa SD akan mengalami stres tingkat tinggi,
seperti cemas, khawatir, gelisah, dan frustasi ketika menghadapi UN sebab mereka belum ada
pengalaman sebelumnya dan mungkin merupakan sesuatu yang sangat menegangkan bagi mereka.
Terlebih lagi UN menyita waktu bermain anak yang disibukkan dengan belajar keras di rumah atau pun
lembaga penyelenggara pendidikan atau bimbel.
UN sering dianggap hal yang menakutkan. Padahal hal tersebut hanyalah ekspresi ketakutan atau
kekecewaan dari mereka yang tidak melaksanakan proses belajar mengajar dengan sungguh-
sungguh. Adanya UN berdampak positif bagi anak agar terbiasa menghadapi ujian sejak kecil. Jika anak
sudah terlatih menghadapi tantangan, dia akan tahan uji kemudian hari. Oleh karena itu, mereka
membutuhkan dukungan atau motivasi terutama dari orang tua, teman, kerabat, dan lain sebagainya.
Jangan sampai membiarkan seseorang mengalami stres yang berkepanjangan karena akan berakibat
buruk. Pemberian curahan kasih sayang, perhatian, dan kepedulian akan mengurangi atau meminimalkan
rasa stres. Tidak ada satu orang pun, termasuk anak-anak, yang dapat sepenuhnya melarikan diri dari
keadaan yang sarat dengan tekanan batin atau stres itu. Kita dapat mengurangi sumber-sumber stres yang
dapat menggerogoti keadaan mental anggota keluarga sampai pada tingkat yang masih dapat diatasi atau
dikuasai, dan menolong mereka untuk mengendalikan akibat tekanan itu.
PRO II (Argumentasi)
Pelaksanaan UN di Sekolah Dasar tidak sejalan dengan Kurikulum 2013 yang tematik integratif.
Cara evaluasi pada Kurikulum 2013 menggunakan pola authentic assessment. Sistem evaluasi
model multiple choice (pilihan ganda) sebagaimana UN tidak berhubungan dengan Kurikulum
2013 yang menekankan pada pengetahuan dan keterampilan. Selain itu, penghapusan UN SD
merupakan suatu keharusan sebab ada program wajib belajar (Wajar) 9 tahun dan akan masuk
program wajar 12 tahun. Sekolah Dasar masih kerangka Wajar 9 tahun, jika diadakan ujian
nasional tingkat Sekolah Dasar maka akan memotong program wajib belajar tersebut.
Sesungguhnya SD menuju SMP merupakan satu kesatuan. Selain itu, guru hanya akan
mengajarkan beberapa topik atau kompetensi yang (berdasarkan panduan SKL) diprediksi bakal
keluar dalam UN dan cenderung mengabaikan kompetensi lainnya yang diperkirakan tak akan
diujikan dalam UN.
Saya rasa tipe soal multiple choice atau pilihan ganda merupakan tipe soal yang tepat dan
objektif. Tipe soal pilihan ganda sudah memenuhi keajegan dan reabilitasnya dalam mencapai
tujuannya, yaitu untuk mengetes dan mengetahui pengetahuan peserta didik yang telah
berlangsung selama 6 tahun. Untuk menilai keterampilan peserta didik bisa dilakukan pada saat
proses pembelajaran berlangsung dan juga penilaian dalam praktikum yang dilakukan oleh siswa,
seperti praktikum olahraga, melukis, IPA, berbahasa, dan lain-lain. Tidak akan memengaruhi
program wajib belajar 9 tahun jika kita tetap menggunakan UN sebagai penentu kelulusan,
karena UN juga sebagai alat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya, yaitu Sekolah Menengah
Pertama (SMP). Untuk guru yang hanya terfokus pada materi-materi yang diujikan dalam ujian
nasional bukan suatu permasalahan. Memang sudah ada aturan dan kesepatan bahwa pada
semester ganjil kelas VI, peserta didik diajarkan seluruh materi yang ada pada kelas VI lalu pada
semester genap guru memfokuskan materi yang akan diujikan dalam ujian nasional dengan cara
melakukan latihan-latihan soal dan membahasnya.
PRO I
UN hendaknya sebatas untuk mengetahui peta kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui UN dapat
diketahui sejauh mana kurikulum secara nasional tercapai bukan menjadi alat penentu kelulusan siswa.
Kualitas pembelajaran sebaiknya tidak dibebankan ke siswa dengan target nilai. Siswa menderita masalah
psikologis yang serius. Banyak siswa mengalami kecemasan saat ujian dan banyak yang merasa frustasi
karena gagal ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh ujian tidaklah sama satu dengan yang lain.
Kecemasan tentunya memengaruhi performa peserta ujian, yang pada gilirannya berimbas pada hasil
ujian. Tekanan psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara ujian
nasional. Sebaiknya, pemerintah menyerahkan sekolah-sekolah dasar untuk menyelenggarakan ujian
kelulusan sendiri.
KONTRA I
Ujian nasional atau ujian yang distandarkan memiliki beberapa hal positif yang berdampak pada
peningkatan mutu pendidikan. Di antara hal positif yang dihasilkan adalah munculnya semangat belajar
atau kemauan belajar siswa agar dapat menguasai pelajaran yang diujikan, meningkatkan kompetensi
guru untuk selalu memperbaharui pengetahuannya karena pengetahuan selalu berubah seiring dengan
perkembangan zaman, meningkatkan peran orang tua dalam mengawasi proses belajar anak di rumah,
dapat dilakukan analisis dan penilaian terhadap kinerja sekolah sebagai bentuk akuntabilitas terhadap
orang tua dan masyarakat. Dari segi psikologi, untuk siswa SD dilaksanakan UN memiliki manfaat untuk
memberikan sikap disiplin, berlatih dalam menghadapi ujian nasional, memberikan rasa tanggung jawab
untuk belajar lebih giat lagi dalam menghadapi UN. Dari segi psikologi jika dilihat dari guru, guru harus
lebih kuat untuk menguatkan siswanya agar siswa tidak takut menghadapi UN. Instrumen UN sebagai
standar kompetensi kelulusan, dapat menjadi stimulus kepada semua pihak, baik dari pemerintah, guru,
sampai siswa untuk mempersiapkan diri untuk menjadi lebih baik.
Inas:
“Lalu apa salahnya? UN hanya mengambil 40% bagain dari penentu kelulusan
siswa. Sisanya dari gabungan nilai ujian selain UN.”
Salwa:
“Walaupun hanya 40% tapi sangat berpengaruh. Ada siswa yang sebelumnya
berprestasi, tiba-tiba saat ada UN ia dinyatakan tidak lulus. Padahal nemnya
hanya kurang 0,26 dari angka yang sudah ditentukan pemerintah.”
Aldahafa:
“Ya itu salah siswanya…”
Ririn:
“Loh kenapa salah siswanya? Siswa ini sebelumnya siswa yang berprestasi
disekolah”
Aldhafa:
“Harusnya dia lebih bisa memanage waktu agar tidak terjadi hal seperti itu….”
Moderator:
(mengembalikan focus) “Hey, kita sudah melenceng dari topik. Silahkan kemabli
ke topik awal yaa. Jadi sekarang tim pro dan kontra dipersilahkan untuk
membuat kesimpulan.”
Tim Kontra (menyimpulkan)
Salwa:
“Kesimpulannya, banyak siswa yang sebelum UN nilainya bagus-bagus bahkan
selalu rangking 1 dan setelah dia melaksanakan UN nilainya sangat menurun.
Jauh dari harapan. Itu karena kurangnya fasilitas dari pemerintah. Banyak
sekolah-sekolah diperbatasan dan propinsi tertinggal yang belum merasakan
kemajuan fasilitas di Indonesia.”
Tim Pro
Inas:
“UN bisa menambah prestasi kita. Tujuannya mulia. Kita bisa memiliki
pandangan bahwa UN itu susah sekali, tetapi bagaimana kita menyikapinya.
Saya harap, kita bisa berembung bersama-sama tentang UN. Kita bisa temukan
plus minusnya. Bisa menyatukan plusnya dan membuat Indonesia lebih baik.”
Moderator:
“Jadi begini kesimpulannya?”
Pro:
Temukan plus minus UN, gabungkan, dan mebuat Indonesia lebih baik.
Kontra:
Kemajuan teknologi pendidikan di Indonesia belum dirasakan oleh siswa
diperbatasan dan kota-kota tertinggal.
Selanjutnya diskusi ini saya serahkan kepada pemimpin diskusi.
Pemimpin Diskusi:
“Waktu untuk diskusi kali ini sudah habis, kita tutup. Terimakasih kepada tim pro
dan kontra. Semoga tidak ada salah paham dan perselisihan.”
(berdoa)
(salam)
Jumat siang kemarin (25/11), Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa Ujian Nasional
(UN) akan dihapus, atau lebih tepatnya ditiadakan sementara (moratorium).
Kata beliau, hal tersebut sudah disetujui Presiden Jokowi, hanya tinggal menunggu keluarnya
instruksi presiden (inpres). Wih, media langsung ramai memberitakannya, seperti yang Youthmanual
tulis di sini.
Seperti yang sudah diduga, gonjang-ganjing UN menimbulkan pro dan kontra, Presiden pun angkat
bicara. Gimana kelanjutannya?
Kata Pak Muhadjir...
Dalam keterangan pada pers tanggal 25 November kemarin, dikutip situs Merdeka, Mendikbud
menyatakan baru saja berbicara dengan presiden soal rencana penghapusan sementara Ujian
Nasional.
"Saya sudah dipanggil Pak Presiden. Sebelum Jumatan tadi saya dipanggil. Prinsipnya beliau sudah
menyetujui (moratorium), tinggal menunggu Inpres (instruksi presiden).”
Dari keterangan Pak Muhadjir, bisa disimpulkan bahwa mulai tahun 2017 (dan kemungkinan di tahun-
tahun berikutnya) nggak akan ada UN lagi. UN akan diadakan kembali, jika kualitas pendidikan di
Indonesia sudah merata.
Menurut pak Menteri, rencana ini sudah disetujui, kok, sama Pak Jokowi. Jadi tinggal menunggu
keluar instruksi presiden saja. Trus cus deh, dihapus.
Pak Muhadjir cerita bahwa persiapan penghapusan (sementara) UN ini sudah berlangsung sekitar 60
persen. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sudah memanggil kepala dinas pendidikan
provinsi di Indonesia untuk memberikan penjelasan teknis seputar peniadaan UN. Soalnya, nanti Ujian
Nasional akan diganti dengan ujian akhir. Untuk tingkat SMA, ujian akhirnya akan menjadi tanggung
jawab provinsi.
Ujian Nasional akan dihapus mulai 2017, begini penjelasan Mendikbud – Ujian
Nasional (UN) pada 2017 akan ditangguhkan. Rencana tersebut sudah diajukan ke
presiden dan tengah menunggu persetujuan. Hal itu diungkapkan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.
“Sudah tuntas kajiannya dan kami rencana (UN) dimoratorium. Sudah diajukan ke
Presiden dan menunggu persetujuan Presiden,” kata Muhadjir ketika ditemui di kantor
Kemendikbud, Jakarta, Jumat (25/11/2016) kemarin.
DP BBM Ujian
Nasional.
“Negara cukup mengawasi dan membuat regulasi supaya standar nasional benar-benar
diterapkan di masing-masing sekolah,” ujar Muhadjir.
Rencana moratorium tersebut kata Muhadjir, juga menyesuaikan dengan peralihan
kewenangan pengelolaan sekolah menjadi milik pemerintah daerah.
“Jadi nanti untuk evaluasi nasional itu SMA/SMK diserahkan ke provinsi masing-
masing, untuk SD dan SMP diserahkan ke kabupaten atau kota,” tutur Muhadjir.
“Kalau sudah tahu dengan (pemetaan) melalui UN ternyata sekitar 30 persen saja yang
bagus, maka kami harus melakukan pembenahan-pembenahan dulu,” ucap dia lagi.
Aspek-aspek yang ditingkatkan dalam pembenahan tersebut antara lain kualitas guru,
proses bimbingan dan pembelajaran, revitalisasi sekolah, dan lingkungan.
“Orang tua tidak perlu stres (tentang UN). Saya masih mengajukan ke Presiden, karena
pertama-tama masih harus ada Instruksi Presiden soal UN,” pungkas Muhadjir.
Presiden setuju?
Belum ada tanggapan langsung dari presiden Joko Widodo atau Jokowi terhadap
usulan ini, tetapi sebagaimana dikutip HaiOnline, Muhadjir mengklaim telah
menyampaikan rencana tersebut kepada Jokowi. Bahkan Muhadjir mengklaim bahwa
presidenmenyetujui Ujian Nasional dimoratorium atau dihapuskan pada 2017.
“Sebelum jumatan tadi saya dipanggil Presiden. Prinsipnya beliau sudah menyetujui di
tahun 2017 UN ditiadakan, tinggal menunggu inpres,” katanya di Jakarta.
Sementara Inpres belom keluar, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu
menambahkan, kelulusan siswa masih akan ditentukan oleh pihak sekolah melalui ujian
sekolah dan bukan ujian nasional, karena sejatinya Muhadjir setuju kalo hasil ujian akhir
bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan siswa.
7 Alasan Ujian Nasional Harus
Dihapuskan
07 November 2013 21:24:27 Diperbarui: 24 Juni 2015 05:28:15 Dibaca : Komentar : Nilai :
Berdasarkan Permendiknas No.22 Tahun 2006, KTSP merupakan kurikulum yang bersifat
tak terpusat, dikatakan tak terpusat karena disusun oleh setiap satuan pendidikan masing-
masing yang sesuai denganciri khusussekolah dan kebutuhan berbagai daerah, misal
industri, daerah dataran rendah dan tinggi, daerah pesisir.
2. Bahan, media, dan metode pembelajaran di sekolah tidak sama tetapi disesuaikan
dengan keunikan atau ciri khasnya
3. Output pendidikan sekolah dapat sesuai dengan kebutuhan stake holder, masyarakat,
dan pemerintah daerah setempat
Kita sudah ketahui bahwa kurikulum yang digunakan sekarang adalah KTSP dimana
kurikulum yang kita gunakan tidak terpusat pada pemerintah tetapi terpusat pada satuan
pendidikan masing- masing, otomatis kemampuan siswa berbeda- beda disetiap satuan
pendidikannya masing- masing. Namun kenapa pemerintah masih bercampur tangan
apalagi mengadakan evaluasi penentu kelulusan padahal kurikulum yang membuat sekolah
oleh guru yang sudah paham tentang karakteristik masing- masing siswanya, kenapa tiba-
tiba yang mengadakan evaluasi pemerintah pusat yang tidak tahu bagaimana karakteristik
siswa sendiri. Berbagai dampak negatif dengan adanya UN diantaranya:
1. Guru hanya sia- sia mengajar karena yang memberi keputusan lulus adalah pemerintah.
2. Terjadi ketidakadilan dalam dunia pendidikan Indonesia karena tiap sekolah memiliki
standar mutu yang berbeda- beda sehingga evaluasi yang diberikan seharusnya
menyesuaikan.
3. UN bukan menjadi saran untuk mengontrol mutu pendidikan. Mutu pendidikan tidak bisa
hanya berdasar pada jumlah siswa yang mendapat nilai UN 100 dan lulus, ada juga
sebagian siswa yang sebenarnya pandai justru tidak lulus begitu juga sebaliknya.
4. UN bukan membentuk watak kerja keras, namun malah membentuk watak- watak
pembohong dan licik karena UN sifatnya “memaksa” harus lulus maka tak jaraang yang
berbuat curang.
5. Hanya menilai siswa dari nilai- nilai kognitif yang tertulis dengan angka di hasil lembar
jawaban, sementara nilai dari sikap dan perilaku untuk membentuk siswa yang berbudi
pekerti serta berkarakter bangsa justru dikesampingkan.
6. UN dijadikan syarat kelulusan siswa, pada saat itulah fungsi UN telah menyimpang.
Meski persen dari nilai kelulusan 50% dari nilai UN dan 50% dari nilai Ujian Sekolah namun
nilai UN tetap menentukan hasil akhir.
Jadi, sejauh ini UN hanya sebagai sertifikasi siswa yang akan melanjutkan ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dan belum akurat untuk mengukur seberapa tingkat
kecerdasan siswa. Oleh karena itu masih harus ada perbaikan lagi dalam evaluasi
pendidikan yang tepat supaya benar- benar menghasilkan output yang berkualitas.
Ulasan saya tentang UN ini masih berdasar KTSP karena kurikulum 2013 memang belum
diaplikasikan di seluruh sekolah di Indonesia dan masih banyak yang menggunakan KTSP,
serta kurikulum 2013 dengna KTSP juga tidak jauh berbeda secara teknis.
Landasan yuridis pelaksanaan UN adalah a) Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; b)
Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; c) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) No.20/2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelelajaran 2005/2006. UN bertujuan menilai pencapaian
kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi. Sedangkan hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu satuan
dan/program pendidikan; seleksi untuk masuk jenjang pendidikan berikutnya; penentuan kelulusan peserta didik dari
suatu satuan pendidikan; akreditasi satuan pendidikan; dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan
pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Senada dengan hal tersebut Haryanti dan Mujiran (Suara Merdeka, 150205) mengemukakan bahwa alasan
pemerintah menyelenggarakan ujian nasional, antara lain karena ujian nasional berguna untuk mengukur dan menilai
kompetensi peserta didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Selanjutnya disampaikan juga bahwa
pemerintah memandang perlu dilaksanakannya UN karena selain untuk kepentingan pemetaan pendidikan UN juga
dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi peserta didik.
Tujuan diadakan Ujian Nasional (UN) , Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 153/U/2003 Tentang
Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 bahwa tujuan dan fungsi ujian nasional seperti yang tercantum
dalam SK Mendiknas 153/U/2003 yaitu:
• Mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
• Mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan sekolah/madrasah.
• Mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, propinsi,
kabupaten/kota, sekolah/madrasah, dan kepada masyarakat.
- PRO UN
UN (Ujian Nasional) merupakan kegiatan tahunan pemerintah yang menimbulkan banyak pro dan kotra. Meskipun
banyak masyarat dan beberapa pejabat pemerintah menilai kegiatan ini harus dihapuskan, tapi masih ada
masyarakat dan pejabat pemerintah yang mendukung kegiatan ini. Bapak Agung Laksono selaku Menkokesra yang
dikutip dalam Kompas edisi 25 April 2013 menyatakan dukungannya kepada UN. Beliau menyampaikan bahwa
pelaksanaan UN itu penting bagi pemeritah, meskipun ada banyak kekurangan dan harus diperbaiki setiap tahunnya.
Selain Menkokesra, UN juga mendapat dukungan penuh dari instansi terkait seperti Kemendikbud, DPR dan
Kementrian Keuangan. Bentuk dukungan mereka yaitu berupa anggaran yang selalu disihkan untuk UN setiap
tahunnya.
Menurut Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN
peru dipertahankan, antara lain : Ada beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu tetap
dipertahankan, antara lain:
a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian
atau evaluasi pendidikan adalah pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan ayat-
ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu pemahaman seperti berikut ini.
1) Terhdap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh pendidik dengan tujuan utama untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (pasal 58, ayat 1).
2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau
(pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan (isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan evaluasi
pendidikan) (pasal 35, ayat 1).
3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan program pendidikan untuk memantau atau
menilai pencapaian standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58, ayat 2), dapat berupa badan
standarisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau lembaga yang
diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.
4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan untuk (a) pengendalian mutu pendidikan
secara nasional (pasal 57, ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2)
pencapaian standar nasional pendidikan.
5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan membentuk lembaga evaluasi yang mandiri
disertai beberapa spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1). Masyarakat
dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag
dimaksud dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).
b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama didasarkan pada argumentasi tentang
pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta
didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola dan penylenggara pendidikan terhadap
pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN mampu menyediakan
informasi yang akurat kepada masyarakat tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga
pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk
membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam konteks ini UN
merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.
Beberapa masyarakat pun berpendapat bahwa UN masih perlu dilaksanakan karena UN memberikan beberapa
dampak positf dan hasil dari UN bisa dijadikan acuan untuk kejenjang pendidikan selanjutnya. Beberapa kegunaan
hasil UN :
• Penetapan mutu satuan dan atau program pendidikan di seluruh Indonesia,
• Seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau berikutnya,
• Pertimbangan penentuan kelulusan peserta didik dari satuan dan atau program pendidikan,
• Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan dan atau program pendidikan dalam upaya peningkatan mutu
pendidikan untuk mencapai tingkat kelulusan tertentu, dan
• Perbaikan sarana dan prasarana untuk guru, laboratorium, perpustakaan, tenaga kependidikan dan keperluan
sekolah lainnya. Secara tidak langsung dampak positif dari pelaksaan UN bagi siswa adalah memotivasi siswa untuk
lebih rajin belajar, karena siswa sadar bahwa persaingan dalam UN sangat ketat sekali dan hasil UN merupakan
penentu masa depan mereka.
- KONTRA UN
Telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangan tentang UN yang dilansir
oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapn
dan menggantinya dengan ujian sekolah. Menurut kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan
dengan digulirkannya UN (Tempo, 040205), yaitu ;
• pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif.
• Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah
dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan
dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan,
evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN
mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan
pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam
UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
• Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok
standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005 dan pada tahun 2006 ini standar nilai kelulusan dinaikan hingga 5,00. Ini menimbulkan kecemasan
psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-
UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
• Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Pada 2005 memang
disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan
masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan
finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya.
Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Selain itu Karso selaku Lektor Kepala FPMIPA UPI berpendapat bahwa argumentasi yang dapat dikemukakan
sebagai penolakan UN antara lain :
a. Dilihat dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Pasal 8 ayat 1: “Evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemampuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan”.
b. Karena sifat ujiannya nasional, maka bidang kajian yang di-UN-kan dianggap lebih penting daripada pelajaran lain,
sehingga sebagian besar upaya sekolah hanya ditujukan untuk mengantarkan peserta didik mencapai keberhasilan
dalam UN. Padahal materi UN hanya mencakup aspek intelektual, belum mampu mengukur seluruh aspek
pendidikan secara utuh. Dalam hal ini telah terjadi malpraktik dengan kesan penyempitan terhadap makna dan
hakekat pendidikan yang utuh menjadi hanya menyangkut aspek kognitif untuk beberapa pelajaran yang diujikan.
Kecakapan motorik, sosial, emosional, moral atau budi pekerti, dan aspek spiritual dianggap diabaikan.
c. Menurut sebagian ahli tes, UN dalam keadaan sekarang bertentangan dengan kaidah pendidikan itu sendiri.
Dalam kaidah pendidikan tes digunakan untuk menjamin kualitas anak didik, bukan untuk menghukumnya. Sekarang
ini UN digunakan untk menghukum anak didik yang telah belajar selama tiga tahun tetapi tidak lulus dalam UN yang
hanya dilaksanakan dalam beberapa menit dan beberapa mata pelajaran. Padahal seharusnya pemerintah
introspeksi diri bahwa ketidaklulusan anak didik adalah cerminan dari ketidakmampuan pemerintah dalam
memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Jangan kesalahan itu dibebankan kepada para siswa.
d. Kenyataannya sekarang ini di lapangan, di sekolah-sekolah ada yang mulai berkiblat pada bimbingan les. Para
siswa lebih percaya pada bimbingan les daripada kepada guru mereka sendiri, yang mengajar selama tiga tahun.
Guru mata pelajaran yang di-UN-kan saja merasa terabaikan, bagaimana dengan guru mata pelajaran yang non-
UN? Tidak sedikit ada yang mendatangkan guru bimbingan belajar atau bentuk-bentuk kersajama antara lembaga
bimbingan belajar dengan sekolah. Ada yang berangapan bahwa dunia pendidikan berkiblat pada UN, sehingga
telah mengerdilkan makna pendidikan. Menurut Ketua Komisi X DPR RI Heri Ahmadi (Pikiran Rakyat, 19 Desember
2007) mengungkapkan bahwa “Pelaksanaan UN ini mengakibatkan fungsi sekolah sebagai tempat belajar semakin
kehilangan makna, sebab yang terpenting bagaimana sekolah dapat meluluskan siswanya”. Hal ini memang benar,
karena sering terdengar adanya berita-berita yang negatif yang dilakukan oleh oknum guru atau sekolah dalam
pelaksanaan UN.
e. Belum lagi tentang disvaritas mutu sekolah, efisiensi anggaran, belum memberikan jaminan kualitas lulusan
meningkat. Sebagai contoh penulis pernah menemukan suatu sekolah di suatu kabupaten terpencil yang hanya
mengajarkan mata pelajaran yang di-UN-kan saja untuk para siswa di kelas tiga. Kemudian menurut hasil penelitian
di ITB, ternyata lebih banyak mahasiswa yang drop out yang pada waktu di SMA-nya mengikuti bimbingan belajar
daripada mereka yang tidak mengikuti bimbingan belajar.
apa peraturannya sama jaman ente sama sekarang? apa sistem paket sama soalnya sama
kelulusan sekarang 60% dari UN sisanya sekolah, jadi gedean mana tuh yang menentukan
kelulusan?
ga kasian apa anak anak muda jaman sekarang yang ingin cita cita tinggi tapi dihadang sama UN
yang berat?
gan anak muda jaman sekarang sama dulu sama aja gan ga ada bedanya, yang nakal yah nakal
oke masalah hacker, apa agan udah tau hacker itu benar benar anak SMA? kalo yakin itu anak
SMA kasih bukti, siapa tau itu orang yang udah ga sekolah (mahasiswa/guru/atau siapalah) yang
Quote: waktu SD dari kelas 1-6 SD tuh ane selalu ya Ranking 2 ga pernah turun peringkat.nilai ane
disekolah rata-rata hampir 10 dan 9 jarang banget dapet 8,7,6,5 apalagi 0 wkwkwk..semua tugas
dan PR sekolah ane kerjain dan hampir tepat waktu semua mulai dari PR sampai Prakarya.Tapi
apaaa...????
Saat pengumuman nilai UN dan kelulusan...ane dinyatakan lulus tapi APA dengan nilai rata" 70
WTF!!!! sedangkan temen ane yg nilai rapotnya pas-pasan bisa dapet rata-rata UN 80 an*ing
banget deh.kesel ane waktu itu.JADI KERJA KERAS ANE DAPETIN RANKING 2 SELAMA
KELAS 1-6 CUMAN DIHARGAIN DENGAN NILAI RATA" 70 SAMA PEMERINTAH fuck you lah
lu tau artinye apa kagak) sama aja menilai dan mengatai aslinya dirimu sendiri, F You
Kalo kamu bilang yang tau kemampuan murid adalah sekolah itu sendiri, ya pasti sekolah
ngelulusin, nggak tega dong alias nggak objektif lagi. Apa sekolah lu juga ikutan survey, dunia
universitas bijimana, dunia kerja bijimana... Jangan2 setelah dilulusin kamu gak bisa ngikutin kuliah
atau di dunia kerja cuman plonga-plongo gara2 yang harusnya gak lulus UN malah dilulusin ama
sekolah.
Adek siaga, UN itu untuk evaluasimu selama 3 tahun (atau 6 tahun) kamu sekolah, artinya selama 6
tahun lu sekolah dan ortu ngeluarin duit itu kamu paham gak dengan seluruh pelajarannya. Jangan
salah, sejak jaman jebot dulu sudah ada UN. Tapi yang menolak UN kebanyakan generasi
millenium 2000 pasca reformasi, yang menolak UN di generasi ini mentalnya tempe, dikit2 stress....
masih berat aku dulu jaman Soeharto ada pra ebta, ebta praktek, ebta, ebtanas. Dasar MENTAL
TEMPE... Belajar lah sono! Jangan game online melulu!
Multi Quote Quote
wsk
Kaskus Addict
–
Join: 29-09-2009, Post: 2,573
12-04-2013 10:30
#43
FrostBack
Kaskuser
–
Join: 25-03-2011, Post: 126
12-04-2013 11:25
IKUTAN AH.........
setiap orang tua pasti pengen anaknya lulus UN, mungkin dengan segala cara di halalkan.
orang tua berani bayar siapa pun yang bisa dibayar buat lulusin anaknya.
orang tua yang kebetulan punya akses ke proses penggandaan soal UN berani/nekat mencuri
soal untuk anaknya (kasus yang pernah ane liat dengan mata ane sendiri).
TAPI..... lebih banyak lagi orang tua yang menyerahkan semuanya dengan kemampuan anaknya,
SEKARANG..... apakah anak yang dipercaya sudah maksimal melaksanakan kepercayaan yang
di berikan?
gubernur menekan kepala dinas agar dicapai tingkat kelulusan yang diinginkan.
kepala dinas menekan jajarannya dan kepala sekolah agar memperoleh tingkat kelulusan yang
diinginkan gubernur.
kepala sekolah dengan segala macam cara berusaha mendongkrak tingkat kelulusan. bahkan
dengan resiko bakal terdepak dari jabatannya jika tidak tercapai (ini banyak kasus lho, disetiap
guru-guru dengan berbagai macam tekhnik dan usaha (usaha ngasi jawaban ke anak saat UN)
ditambah tekanan dari kepala sekolah berusaha memberikan pemahaman materi kepada siswa.
mereka menyerahkan semuanya dengan kemampuan siswanya, bukan karna gak berkepentingan
kenyataanya...????
Liat di mall-mall, warnet, pasar, warung, kios, lapak, pinggir jalan, dimana-mana, banyak anak-
anak/siswa-siswi yang keliaran di saat jam belajar, ngakunya les ternyata di warnet, ngakunya
ortunya pengen ginilah-gitulah, update status yang tidak pada tempatnya di jejaring sosial.
banyak juga kok yang serius dengan kepercayaan yang diberikan, dan berhasil membuktikannya.
TRUS..... kenapa si A yang PINTER kok gagal sedangkan si B yang lebih sering di bilang BEGO
kok bisa lulus. ini kasus yang paling sering di bahas kalo ngomongin soal kesiapan UN. (ane dah
yang dianggap pinter tuh biasanya menghadapi UN dengan beban, JANGAN SAMPAI GAGAL.
sedangkan yang dibilang bego bisa menghadapi UN dengan tanpa/minimal beban (LULUS sukur,
GAK lulus kebangetan) dan bersiap diri. tidak semua orang pinter bisa berfikir dengan kondisi
terbeban.
SAAT UN...... yang pinter liat soal, pilih jawaban, liat soal selanjutnya, pilih jawaban, trus ampe
selesai. yang bego liat soal bingung, liat soal selanjutnya bingung, trus ampe soal terakhir. trus
diulangi lagi mungkin ampe berkali2, baru mutusin mau pilih jawaban yang mana. padahal inti dari
Tau nggak Dek, guru kamu itu menyayangimu, mengasihimu, mencintaimu, jadi kamu selalu diberi
rangking/nilai yang bagus, alias Nggak Objektif atau SUBJEKTIF. Adek-adek siaga sekalian,
nilaimu yang diberi pemerintah itu ya nilai murnimu sendiri karena pemerintah nggak ada rasa
sayang-sayangan, cinta-cintaan, itu asli dirimu alias Objektif. Jadi kalo kamu bilang F***
Y** (entah lu tau artinye apa kagak) sama aja menilai dan mengatai aslinya dirimu sendiri, F
You
Kalo kamu bilang yang tau kemampuan murid adalah sekolah itu sendiri, ya pasti sekolah
ngelulusin, nggak tega dong alias nggak objektif lagi. Apa sekolah lu juga ikutan survey, dunia
universitas bijimana, dunia kerja bijimana... Jangan2 setelah dilulusin kamu gak bisa ngikutin
kuliah atau di dunia kerja cuman plonga-plongo gara2 yang harusnya gak lulus UN malah dilulusin
ama sekolah.
Adek siaga, UN itu untuk evaluasimu selama 3 tahun (atau 6 tahun) kamu sekolah, artinya selama
6 tahun lu sekolah dan ortu ngeluarin duit itu kamu paham gak dengan seluruh pelajarannya.
Jangan salah, sejak jaman jebot dulu sudah ada UN. Tapi yang menolak UN kebanyakan generasi
millenium 2000 pasca reformasi, yang menolak UN di generasi ini mentalnya tempe, dikit2
stress.... masih berat aku dulu jaman Soeharto ada pra ebta, ebta praktek, ebta, ebtanas. Dasar
BERPERANG
pdhl jaman gw skolah dlo pasti angkatan gw yg jadi kelinci percobaan, standar nilai dinaikin + UN
model baru (jadi beda bgt ma angkatan2 diatasnya) tp pada lulus smua tuh.. emang sih sempet
takut tp ga se-LEBAY anak2 jaman skrg, miris gw liatnya..
kadang apa yang kita bayangin ga sesuai ma kenyataan, pasti awal2 mkir UN model baru lbih susah
ato gmn lah tp nyatanya ga susah2 amat kok yang pnting BELAJAR+PASRAH...
yang tkut ma UN 20 paket biasanya tkut ga isa nyontek> knp nyontek? karena dia ga bisa jawab>
knp ga bisa jawab? karena ga belajar... jadi salah siapa coba??
sebego2nya orang pasti klo dah kepepet muncul sendiri tuh jawaban soal (padahal wktu bljr cmn
baca skilas) klo pun emang mentok saatnya uji keberuntungan lalu PASRAH.... << pengalaman ane
yg bego ahahahahah
Multi Quote Quote
#44
pist
Kaskuser
–
Join: 04-08-2011, Post: 414
12-04-2013 11:54
Yang paling penting sekarang itu, mikirin gimane caranya supaya soal UN ga bocor gan..
Masalahnya stiap ada UN pasti bakalan ada kebocoran...
Trus buat apa ada UN, malah jadi bikin anak jadi korup..
Mereka mau menghalalkan apa saja asal bisa lulus UN..
ini malah mendidik anak jadi mental tempel.
#45
ivory2306
Newbie
–
Join: 25-07-2009, Post: 87
12-04-2013 13:05
Tau nggak Dek, guru kamu itu menyayangimu, mengasihimu, mencintaimu, jadi kamu selalu diberi
rangking/nilai yang bagus, alias Nggak Objektif atau SUBJEKTIF. Adek-adek siaga sekalian,
nilaimu yang diberi pemerintah itu ya nilai murnimu sendiri karena pemerintah nggak ada rasa
sayang-sayangan, cinta-cintaan, itu asli dirimu alias Objektif. Jadi kalo kamu bilang F***
Y** (entah lu tau artinye apa kagak) sama aja menilai dan mengatai aslinya dirimu sendiri, F
You
Kalo kamu bilang yang tau kemampuan murid adalah sekolah itu sendiri, ya pasti sekolah
ngelulusin, nggak tega dong alias nggak objektif lagi. Apa sekolah lu juga ikutan survey, dunia
universitas bijimana, dunia kerja bijimana... Jangan2 setelah dilulusin kamu gak bisa ngikutin
kuliah atau di dunia kerja cuman plonga-plongo gara2 yang harusnya gak lulus UN malah dilulusin
ama sekolah.
Adek siaga, UN itu untuk evaluasimu selama 3 tahun (atau 6 tahun) kamu sekolah, artinya selama
6 tahun lu sekolah dan ortu ngeluarin duit itu kamu paham gak dengan seluruh pelajarannya.
Jangan salah, sejak jaman jebot dulu sudah ada UN. Tapi yang menolak UN kebanyakan generasi
millenium 2000 pasca reformasi, yang menolak UN di generasi ini mentalnya tempe, dikit2
stress.... masih berat aku dulu jaman Soeharto ada pra ebta, ebta praktek, ebta, ebtanas. Dasar
Stuju ama komentar nan pedas dr agan yang satu ini. Ane tambahin satu lagi, kalo para siswa2
skalian mrasa klo yang nilai yg dikasih sma skolah agan2 adalah OBYEKTIF dan mreka yg paling
tau takaran pendidikan loo, coba dipikir lagi.
Skolah agan2 itu punya penilaian juga dari pusat di mana ada standarisasi klo skolah ini jadi skolah
unggulan dan UN juga jadi salah satu tolak ukur buat SKOLAH agan apakah tuh SKOLAH bermutu
ato ngga dengan mengasilkan siswa2 yg lulus.Nah klo kagak ada UN, coba agan pikir deh, apa ntr
jadi VALID klo tuh SKOLAH bs ngelulusin kalian semua dengan kualitas yang OK buat kedepannya?
Ane ttp PRO klo UN perlu dilaksanakan buat sebagai pedoman ke jenjang slanjutnya. Yang
harusnya dibetulin itu, sistem dari pemerintah pas bikin soal UN mulai dari keamanannya, trs ntr pas
pemeriksaanny gmana dan tetek bengeknya laah dan jangan lupa untuk DISOSIALISASIKAN. Ane
yakin yang gak lulus itu bukan gara2 gk bs jawab soal2nya tp lebih ke masalah TEKNIS gan.
Bayangin aja gan klo hrs meriksa lebih dari ratusan ribu lembar jawaban. Pasti agan2 juga mabok
klo hrs meriksa.
Jaman skarang tuh klo UN masih pake pensil 2B trus dibuletin seitem2ny gk sih?
Multi Quote Quote
#46
5812
Kaskus Addict
–
Join: 13-07-2009, Post: 3,211
12-04-2013 13:11
#47
dracocalculus
Kaskuser
–
Join: 20-01-2012, Post: 228
12-04-2013 15:07
kalo menurut ane ga ada yang salah sama un, yang salah sebenernya sistem unnya yang di jadikan
sebagai syarat kelulusan, dan walaupun sekarang nilai kelulusan sudh di campur sama nilai
sekolah, tapi tetep aja nilai un masih lebih dominan yaitu 60% dan sisanya nilai sekolah
jadi seharusnya un di jadikan sebagai alat pengukur untuk mengetahui kualitas pendidikan di setiap
daerah, sehingga apabila ada daerah yang kualitas pendidikannya kurang bisa langsung dibantu
supaya pendidikan di daerah tersebut menjadi lebih berkualitas. terutama untuk memperbaiki
kualitas pendidikan yang ada di pelosok pelosok yang sangat memprihatinkan...
Multi Quote Quote
#48
dracocalculus
Kaskuser
–
Join: 20-01-2012, Post: 228
12-04-2013 15:20
oiya satu lagi, sebenernya agan2 yang pro atau kontra sama un pasti tau fakta mencengangkan
dibalik un , kan???
#49
KijangKrista2.5
Kaskus Addict
–
Join: 18-07-2012, Post: 2,636
12-04-2013 15:26
kalo menurut ane ga ada yang salah sama un, yang salah sebenernya sistem unnya yang di
jadikan sebagai syarat kelulusan, dan walaupun sekarang nilai kelulusan sudh di campur sama
nilai sekolah, tapi tetep aja nilai un masih lebih dominan yaitu 60% dan sisanya nilai sekolah
jadi seharusnya un di jadikan sebagai alat pengukur untuk mengetahui kualitas pendidikan di
setiap daerah, sehingga apabila ada daerah yang kualitas pendidikannya kurang bisa langsung
dibantu supaya pendidikan di daerah tersebut menjadi lebih berkualitas. terutama untuk
memperbaiki kualitas pendidikan yang ada di pelosok pelosok yang sangat memprihatinkan...
berarti pinter (nilai 70 keatas) sama bego/malas (nilai 60 kebawah) gak ngaruh yang penting lulus
ya. kalo gitu selamat menempuh game online, selamat ke kafe gaul, selamat tawuran, selamat
bermalas-malasan dan selamat tidur ya Adek.. soalnya mau garap soal UN sambil merem aja gak
#50
dkharis
Newbie
–
Join: 20-03-2013, Post: 68
12-04-2013 20:10
menurut ane sih diadakannya UN itu bagus yaaa walaupun ane dan temen-temen ane itu ngerasa
tertekan dengan yang namanya UN. tapi percuma aja gan UN mau dibuat ratusan paket pun atau
soalnya dipersulit kaya gimanapun juga kalo ada kunci jawaban yang bocor juga percuma gan...
#51
westlander
Auto Banned
–
Join: 16-05-2010, Post: 184
12-04-2013 20:21
UN aja jadi Pro Konta yang Kuliah aja sidang cuman 1 jam ga pro kronta
hahahha
Multi Quote Quote
#52
HijrahKeMalang
Kaskus Addict
–
Join: 14-03-2012, Post: 2,074
13-04-2013 05:58
#53
nishikunigawa
Auto Banned
–
Join: 29-03-2012, Post: 71,608
28-05-2013 07:46
#54
shiguma
Kaskus Addict
–
Join: 13-01-2011, Post: 2,302
28-05-2013 08:05
#55
junkerbata
Kaskus Maniac
–
Join: 26-03-2011, Post: 4,484
28-05-2013 08:11
punya malu,NYONTEK aja sama sekali gak ngaku,bangga banget kalo nyontek gan
Multi Quote Quote
#56
junkerbata
Kaskus Maniac
–
Join: 26-03-2011, Post: 4,484
30-05-2013 10:03
#57
editking
Kaskuser
–
Join: 08-11-2011, Post: 294
30-05-2013 10:38
Gapapa ada UN terus,,,tapi ane rasa standar kelulusan nya maksimal 6 lah... ..kasian
anak ane nanti kalo standar nilainya minimal 8... walaupun belon punya anak ane..
Toh tetep kan tiap taon banyak yang lulus...yang 99% yang ga lulus cuma 1
% ato bahkan kurang....Ini membuktikan bahwa sebenarnya anak2 Indonesia sanggup mengerjakan
soal2 UN...terlepas dari adanya kecurangan ato bocornya soal...
Coba andaikata ga ada UN..wah bisa2 tuh ababil2 pada ga mau belajar...yah tinggal sogok
sekolahnya aja..pasti lulus...
Maen sepuasnya ke mall2 lah,, ngegame, ngerokok, ngedrugs...ato bahkan pada ML...
Makanya perlu diadakan UN buat shock therapy mereka..wong ada UN aja masih aja banyak ababil
yg ga peduli ama sekolahnya..gimana kalo
ga ada UN...
Kalo banyak yg bilang..kenapa UN mesti dijadikan standar kelulusan..toh sekarang uda lumayan
fair...40% nilai dari sekolah...
Coba kalo UN ga dijadikan standar kelulusan..cuma formalitas gt aja...pas zaman Ebtanas dulu...lo
Ane setuju ama saran atas ane,,,banyak sekolah2 di Indonesia yg penilaianya masi SUBJEKTIF
kata kasarnya DUIT YANG BICARA,,,,
Dan soal2 yang ada diujikan di UN benernya juga kagak susah2 amat..itu semua ada kok di buku
pelajaran..yg uda lo baca selama 3 taon di sekolah...
Lagian kalo ente wotalay ga lulus UN..oh come dude, that's not the end of the world..masa depan lo
masi panjang...
Cuma saran ane..emang sistem pelaksanaan UN ini harus makin tahun makin baik...begitu juga
dengan perbaikan fasilitas2 sekolah yg perlu ditingkatkan..agar lebih meningkatkan mutu pendidikan
di Indonesia secara merata dan menyeluruh,,,
#58
kudilzzade
Aktivis Kaskus
–
Join: 27-10-2008, Post: 512
30-05-2013 11:25
sebelum membahas UN, kita harus tau dulu, objektif atau tujuan dari pendidikan itu apa sih? apa
cuma mencetak orang2 pinter? hebat dalam penalaran dan kognisi? tetapi malah mengalami
degradasi moral dan mental? bersikap semakin agresif dan egois....
menurut gw, tujuan pendidikan itu adalah membentuk mental dan moralitas yang baik dan tinggi
serta diiringi dengan kemampuan penalaran dan intelegensia yang tinggi pula.
baru dikatakan, pendidikan itu berhasil.
banyak orang pinter sekarang, tapi ujung2nya egois, korupsi, dan banyak melakukan kecurangan.
bersenang-senang di atas penderitaan orang lain.
selama ini fokus pendidikan di Indonesia menurut gw baru dibagian atas-atasnya atau kulit luarnya
aja. makanya kita yang pernah sekolah, pasti sering yg namanya ulangan pilihan ganda yang
materinya cuma hapalan. dan satu jam, atau mungkin 5 menit setelah ulangan, kita lupa semua
materi tersebut, dan pada akhirnya pelajaran yg sudah kita pelajari kehilangan makna dan
esensinya. kalo disuruh menjabarkan dalam bentuk tulisan dan essay, pasti mengalami kesulitan,
mengeluarkan pendapat dalam bentuk tulisan pun susah keluar kata-katanya. (tanpa maksud
merendahkan ataupun menjelekkan metode ini) metode ceramah adalah metode favorit yang paling
sering dipakai untuk mengajar.
faktanya adalah siswa Indonesia yang belajar di luar negeri, apabila mengerjakan tes multiple
choice (PG) hasilnya baik, tp kalo disuruh menulis essay mengangkat sebuah tema, akan
mengalami kesulitan.
balik ke UN, seharusnya kalo UN mau dijadikan standar, harus dapat mengakomodir tujuan dari
pendidikan tersebut. pendidikan yg berkarakter. nah, bagaimana cara mengukur moral dan perilaku?
itu PR pemerintah sebagai pembuat regulasi.
jadi siswa tidak hanya dikondisikan untuk "dilatih" mengerjakan soal PG, tetapi juga harus "dididik".
selama ini pengelolaan UN jg tidak transparan kalo menurut gw (ini opini ya). apakah tender
pencetakan kertas soal itu sudah transparan? apakah proses scan LJK siswa bisa
dipertanggungjawabkan? karena sampai saat ini, blm pernah liat bagaimana sistem scan LJK UN itu
seperti apa, menggunakan alat yg seperti apa, merk apa, siapa yang mengerjakan, dll. jadi tingkat
kepercayaannya sangat rendah. tingkat keandalan juga rendah, terbukti dengan terlambatnya
naskah UN di beberapa daerah.
kemudian nih ya... pemerintah kan mengadakan sistem akreditasi sekolah, menurut gw, kalo udah
ada akreditasi sekolah, seharusnya sekolah yang sudah terakreditasi A misalnya, tidak usah UN
lagi. kan sudah standar dari pemerintah. penilaian akreditasi sudah terstandar, kenapa harus
melakukan standar ulang dengan UN?
(ini opini lagi ya...) kalo sistemnya bener, nanti pelaku-pelakunya bener juga, nah nular ke bagian
bawah-bawahnya bener juga deh...
tapi kalo sistemnya udah gak bener, banyak kecurangan dan korupsi sana-sini, akan lebih sering
lagi perdebatan dan pertentangan kaya begini.
nah kira-kira begitulah gan pendapat gw. tidak mencoba untuk berdebat, atau menyanggah
pendapat orang lain... hanya ingin mengutarakan pendapat aja...
katanya.... orang bijak banyak mendengar dariapada berbicara gan.
(lah tulisan ini panjang ya.... berarti emang gw belum bijak gan )