Kenyataan pluralitas ini pun menjadi tema inti aliran filsafat yang
disebutkan dengan sebuah nama yang kontroversial, “posmodernisme”.
Jean Baudrillard, salah satu tokoh penting dalam pola pikir postmodern,
mendefiniskan masyarakat postmodern sebagai masyarakat konsumptif,
yang dibedakan dari masyarakat modern sebagai masyarakat produktif (2).
Kalau di dalam modernitas produksi dan faktor-faktornya menjadi unsur
pembeda dan karena itu warga masyarakat dibagi dalam kelas buruh dan
pemilik modal, maka dalam kondisi postmodern warga dibedakan oleh apa
yang di konsumsinya.
Dalam bayangan Metz, hanya Gereja yang sanggup melepaskan dirinya dari
eurosentrisme dan memetakan diri secara polisntris, yang dalam pluralitas
saling menginspirasi, sanggup menjadi satu kekuatan dalam dunia
postmodern. Sebaliknya, sebuah Gereja yang tetap bersifat sentralistis dan
monolistis, hanya akan menjadi sebuah peninggalan masa lampau dikagumi
namun tidak sanggup menjadi sumber inspirasi bagi transformasi
masyarakat. Sebuah Gereja yang polisentris serentak mesti mencegah segala
bentuk kesewenang-wenangan atas nama kontekstualitas, sebab hal ini
justru mengarah kepada relativisme. Di sini Gereja pun menghadapai
pertanyaan dasar mengenai relasi antara pluralitas dan kebenaran yang
merupakan sebuah pertanyaan filosofis.
Pergeseran ke ruang personal ini terjadi juga di dalam agama. Gereja dan
agama-agama lain pada umumnya semakin memahami dan
mempresentasikan diri sebagai oase bagi manusia postmodern yang
merindukan rasa nyaman dan mendambakan tanah air yang hilang. Agama-
agama menawarkan pengalaman akan keutuhan dan pemenuhan di dalam
dunia yang ditandai oleh ketidakutuhan dan penundaan pemenuhan.
Mereka memberikan keseimbangan bagi pengalaman manusia yang mesti
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial, politis dan ekonomis yang
keras, yang sering tidak memperhatikan individualitas menusia karena
mereka berfungsi dengan prinsip-prinsip umum yang indeferen terhadap
keunikan pribadi.(14)
Metz tidak menyangkal bahwa salah satu tugas penting dari agama-agama
adalah menawarkan pengalaman kedamaian personal dan peneyembuhan
luka-luka batin. Untuk tugas ini psikologi dapat memberikan kontribusi
besar. Psikologi dapat membantu membebaskan manusia beriman dari rasa
takut dalam kehidupan religius dan menggereja.(16)
Tanpa menempatkan diri dalam koneksitas dengan dunia dan sejarah yang
memerlukan peneyembuhan, maka agama-agama akan menjadi suatu faktor
yang mempunyai krisis pemahamanan dan penghayatan relasi dengan
Tuhan. Allah yang berdaulat dan tidak identis dengan dunia justru di
mumifikasikan di dalam agama-agama. Agama-agama mempermak Allah
agar tampak menyenangkan manusia. Teologi tidak mempersoalkan
absensi-Nya di dalam dunia.(17) Kegelisahan manusia karena merasa
ditinggalkan Allah tidak lagi menjadi pertanyaan yang ditanggapi secara
sungguh-sungguh di dalam teologi. Yang diutamakan adalah Allah yang
sudah selalu ada, yang mewahyukan diri-Nya secara definit dan total dalam
peristiwa historis tertentu dan dibakukan di dalam ajaran yang pasti. Allah
yang sudah selalu ada sebenarnya kehilangan dimensi rahasia-Nya. Dia
tidak lagi menantang dan mengundang pencarian yang militant dari pihak
manusia.
Krisis Allah ini tidak lagi dialami di dalam ateisme yang radikal melainkan
dalam bentuk imunisasi Allah di dalam agama-agama. Allah diterima begitu
saja. Orang tidak mempersoalkan eksistensinya. Penderitaan pun tidak
menjadi wadas bagi ateisme seperti yang pernah dikatakan Georg
Bucher.(18) Di mana-mana Allah dialami dan dirayakan sebagai penjamin
dan pemberi kepenuhan bagi manusia, sebagai yang selalu setia tanpa batas
bagi manusia yang selalu meletakkan kesetiannya pada syarat-syarat
tertentu. Allah seperti ini menjadi kompensasi bagi manusia yang
mengabaikan kewajiban sosio-politisnya, yang menyalahgunakan
kekuasaan dengan tindakan korupsi dan tenggelam dalam apatisme politik
sebagai warga yang dibelenggu rasa tidak berdaya.
Apabila pada tahun 1960-an ada kecemasan bahwa kita akan memasuki
sebauh masa post-religius Ketika konsep-konsep mengenai Allah dan setiap
orientasi adi- kodrati akan dinilai sebagai spekulasi murni dan tidak lagi
menyentuh hati dan budi manusia,(19) maka sekarang yang kita alami
adalah kenyataaan bahwa Allah dijinakkan di dalam bahasa doa dan liturgi
Gereja(20) dan dengan demikian hanya berfungsi untuk sebagai pompa
hlusinasi rasa bahagia dan pemberi ketenangan bagi manusia. Sebab itu, di
dalam krisis seperti ini kita harus merasa terdesak untuk mendefinisihkan
secara baru pertanyaan mengenai Allah dan membahasakannya secara
aktual.
Negativitas ini adalah konteks kita berteologi. Tidak ada teologi yang
dilaksanakan dalam vacuum dan bebas dari penentuan situasi aktual.
Teologi lahir di dalam satu kompleksitas permasalahan, namun dia tidak
tenggelam di sana. Sebaliknya, sebuah teologi mesti juga memiliki
kemampuan untuk di universalisasi. Sebab itu teologi mesti sungguh
menyadari godaan yang selalu mengintainya yakni untuk berbicara di dalam
rumusan-rumusan abstrak. Satu teologi yang sadar akan tantangan
situasinya dan memanfaatkan keterbukaan terhadap situasi sebagai kriteria
kredibilitasnya, mesti sanggup menjadikan pengalaman-pengalaman yang
kontradiktoris sebagai titik pusatnya.(21)
Namun apabila kita melihat janji Allah sebagai sumber iman, maka iman
yang dihayati, ditandai oleh harapan. Dalam harapan kita menantikan
kehidupan dan kebahagiaan, tetapi ternyata yang kita alami adalah
penderitaan dan kematian dini. Masa depan menghadirkan makna dan
pemenuhan bagi masa sekarang, namun masa sekarang itu sendiri penuh
dengan penderitaan yang terkesan sia-sia. Tanggapan teologis tidak dapat
diberikan dalam bentuk soteorologi individual yang menunjukkan
bagaimana manusia pendosa dapat menemukan jalan kembali kepada
Tuhan dan dengan demikian mencapai keselamatan. Pertanyaan teodicea
pada dasarnya adalah mengenai keadilan bagi penderita. Sebab itu, jawaban
tidak dapat diberikan dalam bentuk soteriology individual (24). Namun,
teologi pun tidak dapat menjadikan harapan sebagai sebuah ideologi politik
yang mengabaikan para penderita yang konkret.
Ciri naratif pembicaraan tentang Tuhan dalam Kitab Suci tidak tanpa alasan.
Narasitas pembicaraan ini mengungkapkan keterbukaan kepada hal-hal
yang mengejutkan dan yang tidak dapat disistematisasi, kepada para
pemberontak dan pembela Allah. Kitab Suci tidak tidak menyembunyikan
pengalaman-pengalaman sulit manusia dalam relasinya dengan Tuhan.
Dalam arus pengalaman itu manusia diberi iman. Iman biblis menawarkan
janji dan harapan akan masa depan yang didasarkan pada Allah dan terbuka
kepada masa depan. Keteguhan iman menjadi paling nyata dalam protes
melawan kekuatan yang menindas dan protes menentang pereduksian
manusia menjadi pengertian-pengertian abstrak. Iman berarti berseru
kepada Allah demi penyelamatan mereka yang menderita.
Teologi yang peka terhadap penderitaan dan sadar waktu tidak menawarkan
jawaban-jawaban final untuk setiap persoalan. Dia menanggapi sambil tetap
memperdengarkan pertanyaan yang menunjukkan ketidaktuntasan jawaban
yang tersedia. Teologi yang peka terhadap penderitaan sadar bahwa manusia
selalu mempunyai sekurang-kurangnya satu pertanyaan lebih banyak
daripada jawaban yang tersedia. Gagasan Rahner tentang manusia sebagai
pertanyaan terbuka kepada Allah mendapat artikulasinya yang paling jelas
berhadapan dengan penderitaan. Penderitaan tidak hanya melahirkan
pertanyaan tentang Allah, tetapi juga pertanyaan kepada Allah. Allah
menjadi alamat pertanyaan karena Dia setia, dan masa depan adalah masa
depan Allah. Berhadapan dengan penderitaan kita mestinya bisa bertanya
balik kepada-Nya.(30)
Hal ini menjadi tugas yang autentik dari setiap teologi. Teologi
mengandaikan iman. Namun, dia tidak mengharuskan kepemilikan iman
yang teguh tak tergoyahkan. Sebuah teologi yang merumuskan pertanyaan
dan yang hidup dari pertanyaan, dapat dilaksanakan dalam kondisi
keraguan. Sebab, di dalam doa sebagai bahasa asali teologi ini keraguan dan
pemberontakan adalah hal yang diperkenankan. “Bahasa doa jauh lebih
menyeluruh daripada bahasa iman. Di dalamnya orang dapat mengatakan
bahwa dia tidak percaya.(31)
Jeritan, penolakan dan idealisasi ini hanya mungkin karena ada janji. Israel
berpegang pada janji yang diberikan Allah sebagai masa depan kepada umat-
Nya. Janji ini tidak membuat Israel buta terhadap realitas penderitaan.
Israel serentak membawa dalam dirinya janji dan penderetiaan, panggilan
dan penolakan, harapan dan salib. Bangsa ini tidak bersedia melepaskan
yang satu demi yang lain. Sejarah Israel adalah godaan yang terus-menerus
atas harapan, sebuah tantangan entahkah harapan itu memiliki dasar.
Namun, konsentrasi pada ketidaksempurnaan dan penderitaan bukanlah
penyangkalan diri di dalam penderitaan. Kita tidak diharapkan untuk
sanggup menghancurkan diri di dalam pergumulan dengan kekuasaan-
kekuasaan yang mematikan.
Dalam konteks ini pembicaraan Metz mengingatkan kita secara sangat kuat
pada Immanuel Kant(33). Keduanya menuntut pembicaraan yang tidak
terlampau tergesa-gesa mengenai Allah. Teologi tidak boleh melampaui
batasnya sendiri. Bagi Metz, batas itu adalah otoritas para penderita.
Keduanya pun berkonsentrasi pada praksis yang selalu mengandaikan
adanya harapan. Kant menyebut Allah harapan sebagai syarat transedental
yang sudah selalu hadir dan diandaikan apabila manusia mewujudkan
kebebasannya. Metz menolak transendentalitas ini, sebab menurut dia, di
dalam pengertian ini kita sudah memberikan jaminan akan kepastian
kehadiran Allah, kendatipun pengalaman terkadang menunjukkan absensi
Tuhan. Allah justru dicari dan dirindukan di dalam penderitaan. Namun,
bagaimanapun Metz, tetap mengandaikan harapan akan Allah, sebab kita
hanya mencari apa yang kehadirannya dijanjikan. Kendati demikian, catatan
kritis Metz dapat diapahami, sebab apabila kita berkonsentrasi pada syarat
transendental itu, kita tidak akan lagi memperhatikan penderitaan secara
penuh. Catatan Metz ini penting untuk dapat dari krisis mengenai paham
dan relasi manusia dan Tuhan. Namun, gagasan ini bukanlah sebuah
penolakan total melawan harapan.
3. Tanggapan Kritis
Gagasan yang serupa ditunjukkan pula oleh Jacques Derrida. Bagi Derrida,
keadilan, pengampunan, hospitalitas dan demokrasi merupakan hal-hal
universal yang diperlukan dan harus diperjuangkan. Tentang keadilan,
misalnya, Derrida menegaskan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman
akan yang tidak mungkin. Maksudnya, sebagai pengalaman keadilan terikat
pada hukum, namun hukum tak pernah dapat identik dengan keadilan sebab
keadilan selalu melampaui hukum. Ideal keadilan menjadi alasan untuk
terus-menerus bersikap kritis terhadap hukum dan peraturan yang ada.(36)
Pola pikir Lyotard dan Derrida sebagaimana dikatakan secara sangat singkat
di atas tidak hanya menunjukkan bahwa postmodernisme tidak bersifat anti-
universal sebagaimana dikatan Metz. Mereka mengusung juga ideal-ideal
universal, namun dalam bentuk futur yang tidak pernah menemukan
perwujudannya. Dengan demikan ideal-ideal tersebut berperan sebagai
negasi terhadap semua tendensi totalisme yang ada di dalam sejarah. Di sini
kita dapat menemukan paralelitas dengan pandangan Metz tentang otoritas
universal para penderita.
Dasar dari otoritas ini adalah kesadaran bahwa apa yang ada di dalam
sejarah belum mewujudkan sepenuhnya apa yang dijanjikan. Allah dan
pemenuhan janji-Nya masih selalu akan datang. Otoritas para penderita
bukanlah sebuah otoritas positif yang mengarah kepada diktatur para
penderita, meliankan sebagai dialektika negatif yang membongkar kerangka
teologis yang mempromosikan identifikasi Allah dan sejarah serta
melanggengkan kekuasaan totalitas baik dalam bentuk struktur dan ajaran
gerejani maupun dalam wujud politisasi agama oleh pusat-pusat kekuasaan
politik.
Gagasan tentang Allah yang selalu akan datang, yang eskatologis, tentu saja
dalam Kekristenan mesti menghadapi pertanyaan mengenai inkarnasi Allah
yang definitif di dalam diri Yesus dari Nazaret. Namun, Metz tidak
memberikan uraian yang memadai tentang posisi Kristus dalam teologinya
yang terbuka terhadap penderitaan. Teologi Metz memiliki defisit kristologis
eksplisit, kendati secara implisit pandangannya mengandung sejumlah
pikiran dasar yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah
kristologi (38). Metz lebih mempromosikan sebuah kristologi eksatologis
yang terobsesi untuk dimensi ‘belum’ dari seluruh warta Kerajaan Allah (39).
Apa yang sudah terlaksana di dalam diri Kristus masih merupakan sebuah
janji yang belum dipenuhi selama masih ada manusia yang menjadi korban
ketidakadilan dan alam tetap dieksploitasi karena keserakahan manusia.
Sebab itu, Kristus tetap hadir dan dihadirkan dalam tanda salib. Jumad
Agung tetap menjadi latar belakang setiap kali kita merayakan Paskah.
Penutup
Salah satu ungkapan yang sangat sering muncul dalam tulisan-tulisan John
M. Prior adalah belarasa. John terkesan lebih memprioritaskan penggunaan
kata ini daripada versi Latin yang juga digunakan dalam bahasa Indonesia,
solidaritas. Dari berbagai perspektif, entah dari pendekatan biblis,
misiologis, kultural atau teologis John berulang kali menunjukkan
urgensitas belarasa dalam situasi Indonesia dan di dalam dunia dewasa ini.
Leidempfindliche Theologie, teologi yang peka dan terbuka terhadap
penderitaan, pun dapat memberikan kontribusi untuk maksud ini.
—————————————————————————————
Catatan Kaki
6. Paul Budi Kleden, “Perkawinan Baru antara Iman dan Akal Budi: Mas
Kawin yang Terlanjur Mahal”, dalam Jurnal Ledalero 6/2/2007, hlm. 161-
189
12. Ibid
17. Dengan ini Metz secara implisit menunjuk pada teologi wahyu dalam
sisitem tertutup seperti yang diperkenalkan oleh Karl Barth dan Karl Rahner
18. Georg Buchner “Dantons Tod”, dalam George Buchner, Buchner Werke
in einem Bnad, Berlin: Aufbau-Verlag, 1967, hlm. 40
19. B. Metz, “Gott vor uns. Statt eines theologischen Arguments”. Frankfut a.
m. : Shurkamp 1965
23. Pada titik itu Metz mengambil jarak dari gurunya Karl Rahner, yang
dikritiknya kerena dinilai mengabaikan dimensi sosial iman kristiani dalam
teologi transedentalnya.
30. , hlm. 84
38. Paul Budi Kleden, Christogie in Fragmenten. Die Rede von Jesus
Christus im Spanungsfeld von Hoffnungs und Leidesgeschichte bei Johann
Baptis Metz, Munstler: LIT Verlag, 2001.