Anda di halaman 1dari 22

Otoritas Para Penderita – Penderitaan

sebagai “Locus Theologicus” dalam Kondisi


Postmodern Menurut J.B. Metz
Juni 1, 2022

Oleh: Paul Budi Kleden

SEBAGAI seorang misionaris dan ilmuwan pelintas batas, John M. Prior


berhadapan dengan pengalaman keberagaman dalam aneka aspek dan
merefleksikannya secara sungguh-sungguh. Pertanyaan yang muncul setiap
kali realitas pluralitas tampil secara tajam adalah: Apakah masih ada sesuatu
yang dipandang dan dipromosikan sebagai nilai atau gagasan Bersama yang
menikat semua yang berbeda itu? Kalau ada, apakah itu? Dan kalau nilai
atau gagasan itu dapat disebutkan, bagaimana cara paling efektif untuk
merumuskannya dan mempromosikannya? Pertanyaan ini memiliki bobot
kemendesakan yang tinggi dalam agama-agama monoteistis dengan
semangat, paham dan praktik misi universal.

Realitas pluralitas tentu bukanlah sebuah kenyataan yang baru dialami


sekarang. Dalam tulisannya “Integrasi, Isolasi atau Deviasi. Membaca
Galatia 3:27-28 di Indonesia Dewasa Ini” (1), John menunjukkan bahwa
sudah pada abad pertama Gereja Kristen mesti menghadapi kenyataan ini
dan harus menanggapinya. Tafsir sosial “Para Pemburu Egaliter” membaca
dalam Galatia 3:27-28 sebuah upaya Paulus untuk mempromosikan
wawasan inklusif menentang politik imperium romanum yang memecah
belah.

Kenyataan pluralitas ini pun menjadi tema inti aliran filsafat yang
disebutkan dengan sebuah nama yang kontroversial, “posmodernisme”.
Jean Baudrillard, salah satu tokoh penting dalam pola pikir postmodern,
mendefiniskan masyarakat postmodern sebagai masyarakat konsumptif,
yang dibedakan dari masyarakat modern sebagai masyarakat produktif (2).
Kalau di dalam modernitas produksi dan faktor-faktornya menjadi unsur
pembeda dan karena itu warga masyarakat dibagi dalam kelas buruh dan
pemilik modal, maka dalam kondisi postmodern warga dibedakan oleh apa
yang di konsumsinya.

Orang mendefinisihkan diri dengan barang konsumsi dan mendapat harga


dirinya dari barang tersebut. Orang dari kampung merasa tidak kalah
dengan orang kota yang menggunakan HP bermerek yang sama. Seorang
umat agama tertentu merasa lebih dekat dengan penggemar seri film yang
disukainya yang beragama lain malah tidak beragama daripada rekan
seagama yang selalu beribadat dengannya. Yang paling menentukan
perbedaan adalah jenis dan merek barang yang dikonsumsi.

Perbedaan objek konsumsi meleburkan warga dalam satu bricolage.


Masyarakat konsumptif terhipnotis oleh iklan dan karena itu mengalami
pengaburan distingsi antara kenyataan dan stimulasi. Batasan-batasan
tradisional menjadi renggang karena dominasi pola konsumsi yang secara
cerdas memanfaatkan media telekomunikasi.

Namun, menyebt kondisi postmodernisme hanya sebagai situasi peleburan


keberagaman sebenarnya mengandung kelemahan. Karena, cara pandang
seperti ini mengabaikan kebutuhan artikulasi perbedaan sampai pada
kenyataan penajaman konflik yang sedang kita alami sekarang. Reaksi atas
penajaman konflik muncul dalam berbagai bentuk. Di dalam arus peleburan
itu serentak terjadi penajaman kepekaan akan perbedaan.

Pertama adalah penolakan atas perbedaan dengan usaha untuk


menyeragamkan segalanya. Perbedaan dilihat sebagai ancaman yang tidak
boleh ada karena merongrong jati diri suatu kelompok yang memiliki
kesadaran kultural atau religius sebagai kelompok dominan. Maka,
terjadilah aksi-aksi teror melawan kelompok agama lain dan penindasan
terhadap kebudayaan-kebudayaan lain.

Kedua, penolakan semua sistem penjelasan yang universal atau metanarasi.


Karena semua berbeda dan memiliki hak yang sama untuk eksis, maka tidak
ada sesuatu pun yang dapat diterima sebagai pemberi dasar bagi suatu
kebenaran universal yang mesti dianuti semua. Kehidupan di dalam
masyarakat yang diikat oleh jejaring komunikasi serentak merupakan
kehidupan yang terfragmentasi. Jean-Francois Lyotard mendefinisikan
kondisi post modern sebagai kondisi hilangnya kepercayaan pada kisah-
kisah besar (3).

Realitas itu tampaknya sudah pula menjadi masalah di negara-negara


berkembang seperti Indonesia. Pembicaraan etika politik sebagai dasar
penyelenggaraan kehidupan berpolitik menjadi sulit. Walapun pada tataran
teoritis orang masih memperjuangkannya dan keniscayaannya masih cukup
mudah diamini, namun praksis perpolitikan menunjukkan gejala
fragmentarisasi yang kian mencemaskan. Orang memanfaatkan peluang
yang tersedia untuk apa yang menurutnya sendiri diperbolehkan.

Persoalan ini mendesak untuk direfleksikan dalam konteks seperti


Indonesia, sebab bangsa ini pun tidak dapat dibendung dari arus besar
budaya konsumptif. Kebudayaan didangkalkan dan warga dibodohi oleh
reklame-reklame ekonomi dan politik. Kalau dalam pemasaran barang dan
jasa orang berbicara mengenai ekonomi maya, maka dalam politik Indonesia
dibicarakan tentang politik pencitraan. Kebenaran politik hendak ditutup-
tutupi dengan tampilan yang memukau mengundang pesona atau ucapan
sentimentalistis yang hendak memaksakan simpati.

Di dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan: Apakah sebuah masyarakat


sungguh dapat berfungsi tanpa adanya sesuatu yang diterima sebagai
kebenaran umum? Dan apakah pernyataan penolakan terhadap metanarasi
sebenarnya hanya menjadi tameng untuk menutupi berbagai arus besar
penyeragaman yang tengah terjadi? (4). Intervensi dari Lembaga-lembaga
yang memiliki komitmen kepada kemanusiaan dan lingkungan dibendung
dengan dalih kedaulatan masyarakat local yang sebenarnya sedang menjadi
mangsa kekuatan-kekuatan global yang merepresi. Apa yang terjadi apabila
kita membiarkan konsumsi menjadi hal paling utama yang mendefinisikan
kita?

Artikel ini hendak mendiskusikan pandangan J.B. Metz tentang kepekaan


terhadap penderitaan sebagai hal yang mempersatuakan umat manusia.
Menurut Metz, juga di dalam kondisi post modern kita tidak dapat
mengelakkan diri dari penerimaan sebuah otoritas yang bersifat universal
dan mengikat. Dia berbicara mengenai otoritas para penderita. Memberikan
otoritas kepada para penderita mewajibkan setiap orang untuk berbelarasa
dengan para penderita. Karena mengfokuskan diri pada gagasan teologi
Metz, artikel ini hanya mendiskusikan postmodernisme sejauh relevan
dengan tema tulisan .

1.Pandangan Metz tentang Post-Modernisme

John Baptist Metz secara eksplisit membuat pernyataan-pernyataan negatif


tentang postmodernisme. Kendati demikian, dalam beberapa tahun terakhir
sejumlah muridnya melakukan studi yang menunjukkan kedekatan Metz
dengan gagasan inti postmodernisme (5). Pernyataan eksplisit dari Metz
yang cendrung negatif dapat dipahami sebagai ungkapan yang lahir dari
suatu konsep yang popular tentang postmodernisme, tanpa melalui sebuah
pendalaman yang serius. Uraian berikut pun dapat menunjukkan bahwa
sebenarnya apa yang dikatakan dan diperjuangkan Metz tidak bertentangan
dengan konsep-konsep dasar postmodernisme.

Pluralitas sebagai Satu Raelitas Sosial dan Gerejani

Berbeda dari Yohanes Paulus II yang dalam ensikliknya Fides et Ratio


menolak postmodernisme yang disejajarkan dengan relativisme, dan
Benediktus XVI yang dalam pidato progmatisnya menjelang konklav
menstigmatisasi postmodernisme sebagai diktator relativisme (6), Metz
mempunyai pengamatan yang lebih variative. Metz melihat
postmodernisme dari kaca mata modernisme dan dengan demikian
menempatkan diri dalam jajaran para pemikir yang menilai
postmodernisme sebagai kritik atas modernisme (7).

Modernisme mengusung gagasan tentang kebebasan dan otonomi.


Persoalannya, kebebasan dan otonomi ini hanya dibatasi pada mereka yang
sanggup memperjuangkannya. Karena itu, kebebasan dan otonomi tidak
terutama dilihat sebagai kenyataan terberi pada setiap orang, melainkan
prestasi yang diperoleh kelompok orang yang sanggup merebut dan
mempertahankannya. Dengan demikian kebebasan dan otonomi terkait erat
dengan kategori kekayaan dan kekuasaan. Kebebasan dan otonomi
termanifestasi di dalam kekayaan yang ditumpuk dan kekuasaan yang
diraih.

Karena kebebasan dan otonpmi mendasarkan diri dan mempertahankan


eksistensinya dalam kekuasaan, maka kebebasan dan otonomi pun menjadi
pendorong untuk menindas orang lain dan menaklukan alam. Hal ini
menjadi alasan mengapa kondisi modern ditandai oleh kolonialisme dan
eksploitasi alam secara besar-besaran.

Sebagai reaksi atas modernitas yang bertendensi kolonialisasi ini, banyak


bangsa baik dengan kekerasan maupun perundingan yang cerdas
membebaskan diri dari penjajah. Bersamaan dengan kemerdekaan ini
terjadi kebangkitan kesadaran bangsa-bangsa untuk menggali
kebijaksanaan hidup dari tradisi mereka sendiri. Kendati pada tahap awal
hal ini masih mendapat perlawanan dari sejumlah kekuatan dari dalam dan
terlebih penolakan dari luar karena pandanganbangsa standardisasi
pengetahuan yang dominatif eurosentris, namun sejarah perlahan
kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan menjadi sumber inspirasi bagi
bangsa mereka sendiri dan juga banyak orang di Eropa yang sedang
mengalami kelesuan. Pengalaman akan dialektika pencerahan telah
mengantar bangsa-bangsa Eropa kepada pandangan akan kebuntuan pola
pikir dan gaya hidup mereka serta kemendesakan pencarian akan alternatif.

Bersamaan dengan apresiasi yang kian luas terhadap kebudayaan bangsa-


bangsa bekas jajahan, seruan untuk mencari alternative atas pemecahan
permasalahan dunia pun menjadi semakin keras. Semakin banyak orang
kehilangan kepercayaan terhadap ideologi pembangunan buatan Barat yang
hegemonik dan eksploitatif. Konsepsi pemikiran Barat yang diteguhkan
dalam dominasi ilmu pengetahuan, kebudayaan dan agama Kristen
mendapat gugatan. Metafisika menghadapi krisis. Konsekuensinya,
muncullah pertanyaan berkaitan dengan daya ikat dari kebenaran.
Bagaimana kita mesti memikirkan dan mendefinisihkan kebenaran di dalam
dunia yang menekankan dan mengalami pluralitas? Dunia dan pengalaman
hidup yang plural menuntut definisi baru dari kebenaran. Dan
postmodernisme dengan konsepnya tentang kebenaran yang menyebar di
dalam narasi-narasi lokal menjawab permaalahan tersebut. Tidak ada lagi
kebenaran tunggal dan tidak hanya ada satu perangkat kriteria penilaian
tindakan yang mesti menjadi rujukan setiap orang di mana-mana. Entahkah
seseorang disebut beradab dan berbudaya tidak dapat lagi dinilai hanya
dengan menggunakan standard Barat.

Bagi Metz, gejala sosiologis dan epistemologis ini menemukan pula


padanannya di dalam Gereja Katolik. Metz berbicara mengenai Gereja
sejagat yang bersifat polisentris. Gereja kehilangan ciri homogenitasnya dan
mesti menerima serta menghargai keberagaman budaya yang terdapat di
dalamnya. Keberagaman budaya ini menjadi nyata dalam beberapa pusat
kekatolikan. Gereja tidak lagi sentralisitis, tapi polisentristis. Gereja Eropa
tidak dapat disamakan dengan Gereja Afrika atau Amerika Latin. Gereja
Afrika akan mendapat warna khusus yang berasal dari kebudayaan bangsa-
bangsa Afrika.

Dalam bayangan Metz, hanya Gereja yang sanggup melepaskan dirinya dari
eurosentrisme dan memetakan diri secara polisntris, yang dalam pluralitas
saling menginspirasi, sanggup menjadi satu kekuatan dalam dunia
postmodern. Sebaliknya, sebuah Gereja yang tetap bersifat sentralistis dan
monolistis, hanya akan menjadi sebuah peninggalan masa lampau dikagumi
namun tidak sanggup menjadi sumber inspirasi bagi transformasi
masyarakat. Sebuah Gereja yang polisentris serentak mesti mencegah segala
bentuk kesewenang-wenangan atas nama kontekstualitas, sebab hal ini
justru mengarah kepada relativisme. Di sini Gereja pun menghadapai
pertanyaan dasar mengenai relasi antara pluralitas dan kebenaran yang
merupakan sebuah pertanyaan filosofis.

Metz tidak terobsesi untuk merefleksikan pertanyaan ini secara teoritis-


filosofis. Minatnya lebih terarah pada apa yang disebutnya sebagai diskursus
praktis yang memiliki konsekuensi baik bagi teologi, maupun bagi filsafat
dan politik. Pertanyaan utama yang dilontarkannya adalah: Apakah di dalam
dunia plural ini ada satu otoritas tertentu yang bersifat laten dan diterima
oleh semua, yang validitasnya bukan merupakan hasil sebuah diskursus?
Atau: Bagaimana kita dapat berbicara mengenai harapan yang universal di
dalam dunia yang plural ini?

• Allah dalam Postmodernitas: Tuhan dalam Krisis dan


Konsekuensinya
Di dalam tulisannya yang berjudul “Diagnosen zur Zeit” (8) yang diterbitkan
Bersama tulisan Jurgen Habermas dan Dorothe Solle serta beberapa pemikir
lain dalam rangka peringatan perpisahannya dari Universitas Munster pada
tahun 1993, Metz secara istimewa berbicara mengenai krisis Allah dalam
dunia postmodern. Di sini, tampaknya Metz sudah meramalkan pentingnya
memberikan ruang pada agama dalam diskursus publik dalam negara-
negara demokratis, yang kemudian menjadi tema pembicaraan Habermas
pasca peristiwa 11 September2001, pemboman menara kembar New York.
(9)

Penghayatan relasi manusia dengan Allah tengah mengalami krisis. Bagi


Metz, krisis ini terutama terletak dalam kesewenangan berbicara mengenai
Allah dalam suatu iklim yang ditandai oleh kebangkitan agama-agama. Di
satu pihak kita sedang mengalami suatu euforia penemuan kembali tema
agama. Allah Kembali menjadi tema, tidak hanya sebagai bahan dalam
diskusi ilmiah filosofis, tetapi juga sebagai suatu faktor dalam perubahan
politis sebagaimana dipromosikan oleh para komunitarian dengan gagasan
mereka tentang tentang civil-religion, atau sebagai sarana psikologis untuk
menolong perkembangan kepribadian seseorang. Allah menjadi nama untuk
memaksakan kesatuan orang yang hidup dalam suatu tatanan sosial, dan
karena itu dia serentak menjadi pemicu konflik. Gerak persatuan di bawah
komando Allah mana yamg disembah berarti aksi pemebersihan atau paling
halus pembungkaman lingkungan sosial dari mereka yang berpandagan
berbeda. Dan Tuhan mengalami konjuktor dia dalam parktek kelompok-
kelompok evangelikal yang mempermosikan penyembuhan-penyembuhan
religius.(10)

Berhadapan dengan fenomena ini kita patut bertanya: Entahkan


fungsionalisasi Allah secara massif ini masih dapat dipertanggungjawabkan?
Metz menegaskan, di dalam gejala-gejala ini, “Allah disebut dalam berbagai
percakapan, namun orang tidak bermaksud sungguh-sungguh untuk
membicarakannya.(11) Fungsionalisasi Allah baik demi kepentingan politik
maupun psikologis sebenarnya sedang memenggal Allah. Sebab di dalam
fenomena-fenomena ini orang hanya berkonsentrasi pada dimensi
inkarnatoris dari Allah, pada identitas yang ilahi dan manusiawi, tetapi
serentak dengan itu orang melepaskan dimensi eskatologis dari Allah.
Padahal, Allah hanya tetap dihormati dan disungguh dipikirkan sebagai
Allah, apabila orang tetap mengindahkan dimensi eskatologis ini, karena
dimensi inilah yang menegaskan bahwa Allah memiliki kedaulatan yang
tidak dapat di objektivasi oleh manusia.

Dalam psikologisasi terkandung bahaya pereduksian Allah menjadi salah


satu faktor dari psike manusia, sementara dalam politisasi Allah mudah
dijadikan sarana belaka bagi penataan kehidupan bersama. Dengan ini Allah
sebenarnya dibungkam dan divonis untuk tidak mengungkapkan tuntutan-
tuntutan yang membongkar kemapanan pribadi dan sosial. Allah
didomestifikasi di dalam agama, dan agama seperti ini “tidak lebih dari
sekedar nama untuk impian akan kebahagiaan tanpa penderitaan, obsesi
mistis jiwa atau khayalan psikologis-estetis tentang ketakbernodaan
manusia.”(12)

Pengkerdilan Allah ini berakhir pada pengkerdilan manusia. Manusia tidak


hanya meninggalkan posisinya sebagai pusat segala sesuatu, tetapi juga
kehilangan daya juang. Kemerosotan militansi menjadi keluhan yang kian
sering terdengar. Semakin banyak orang menarik diri ke dalam kemapanan
individualnya. Dalam kondisi postmodern, tidak hanya terjadi privatisasi
agama, tetapi privatisasi berbagai bidang kehidupan lain, khususnya politik.
Para warga kehilangan militansi ideologis dan bersikap indiferen terhadap
realitas politik.

Demokrasi diperjuangkan di negara-negara yang masih berada di bawah


rezim otoritarian, namun menjadi satu realitas yang diterima begitu saja
tanpa pathos di negara-negara yang telah memiliki atau sedang menata
tradisi demokrasi. Kebebasan dan otonomi yang diperjuangkan di dalam
modernitas, menjadi sesuatu yang sangat normal dalam kondisi postmodern
dan karena itu tidak lagi menarik perhatian dan komitmen. Seperti dalam
konteks Indonesia, demokrasi dipermainkan oleh para politisi untuk
mendapat kuasa dan akses kepada kekayaan, sementara rakyat dibiarkan
hidup dalam bayangan demokrasi semu. Kebebasan, otonomi dan
demokrasi kehilangan kekuatan sebagai nilai yang hendak diperjuangkan
dengan sungguh-sungguh.

Manusia postmodern yang dilahirkan dalam alam kebebasan dan demokrasi


mengalami diri bukan lagi sebagai orang yang terlempar ke dalam penjara
dunia melainkan ke dalam kebebasan dan otonomi. Dalam kondisi seperti
ini manusia berada pada posisi konsumptif yang menghadapi sekian banyak
pilihan pemaknaan atas hidup dan harus sendiri menganyam makna hidup
itu. Hidup manusia merupakan rancangannya sendiri yang dibangunnya
dari berbagai sumber tanpa mesti memiliki hubungan dengannya.

Akibat dari keterlemparan pada diri sendiri adalah konsentrasi pada


persoalan sendiri. Manusia kehilangan pandangan untuk persoalan-
persoalan besar umat manusia. Pertanyaan mengenai tata dunia dan masa
depan umat manusia serta dunia hanya menjadi persoalan para politisi dan
sejumlah aktivis LSM. Warga dunia umumnya terkesan lebih mudah
digerakan oleh nasib yang dihadapi manusia-manusia konkret. Wajah anak
busung lapar atau korban gempa bumi dan tsunami lebih mudah
membangkitkan belarasa dan menggalang aksi bantuan daripada pidato
panjang dalam pertemuan-pertemuan dunia tentang pemanasan bumi atau
populasi bumi atau buku tebal berisi pendasaran universal mengenai HAM.
Kota, desa dan paroki lebih cenderung mencari kota, desa dan paroki partner
mereka di benua lain dan membantu secara konkret di sana daripada
melibatkan diri dalam inisiatif global penghapusan utang.

Warga bersikap apatis terhadap gagasan-gagasan alternatif yang


mengkritisi sistem politik dan ekonomi. Yang dicari dan dirasa lebih
meyakinkan adalah langkah-langkah kecil dan konkret. Jawaban atas
pertanyaan besar mengenai globalisasi dicari dalam insiatif-inisiatif pribadi.
‘Sesama’ hanya muncul dalam relasi personal, bukan dalam realitas sosial.
“Sesama adalah yang ada di depan mata, bukan manusia dalam tatanan
sosial, dan proyek-proyek bantuan, dalam masalah rasial, dalam pekerjaan,
peran dan tuntutan-tuntutan sosial”, tulis Moltmann dalam bukunya
Theologie Hoffnung.(13) Ketimpangan yang disebabkan sistem dan
dilakukan secara sistematis dihadapi dengan aksi-aksi sporadis yang lahir
dari simpati pribadi dan kelompok. Orang tidak lagi berbicara mengenai
gagasan-gagasan urgen, tetapi mengenai sejumlah tokoh sebagai idol. Fakta
terpinggirkan oleh kebutuhan untuk membicarakan hal-hal pribadi.

Pergeseran ke ruang personal ini terjadi juga di dalam agama. Gereja dan
agama-agama lain pada umumnya semakin memahami dan
mempresentasikan diri sebagai oase bagi manusia postmodern yang
merindukan rasa nyaman dan mendambakan tanah air yang hilang. Agama-
agama menawarkan pengalaman akan keutuhan dan pemenuhan di dalam
dunia yang ditandai oleh ketidakutuhan dan penundaan pemenuhan.
Mereka memberikan keseimbangan bagi pengalaman manusia yang mesti
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial, politis dan ekonomis yang
keras, yang sering tidak memperhatikan individualitas menusia karena
mereka berfungsi dengan prinsip-prinsip umum yang indeferen terhadap
keunikan pribadi.(14)

Agama-agama melaksanakan fungsinya dengan baik dalam keseluruhan


sistem sosial, ekonomi dan politik apabila mereka berhasil menjadi
penjamin ketenangan dan rasa nyaman personal. Agama-agama mengalami
kemandulan dalam mengkritisi sistem, tetapi dengan ini mereka sebenarnya
menjadi elemen suportif yang dikehendaki dan melanggengkan sistem. Allah
diperkenalkan sebagai Engkau yang intim yang memberikan kelegaan dan
kebahagiaan. Konsekuensinya, agama-agama kehilangan kesanggupan
untuk mengformulasikan secara tajam pengalaman non-identitas dan
negativitas dalam berbagai bentuknya.

Dalam mesin sistem sosial-ekonomi dan politik yang anonim agama-agama


menghambakan diri dengan mendiamkan potensi yang terkandung di dalam
dirinya untuk membicarakan apa yang masih pincang dan tidak adil serentak
menggalang harapan yang militan. Agama-agama terjebak dalam bahaya
untuk sekadar menjadi “semacam psikologi yang buta terhadap
ketakterjangkuan yang lain dan kepada dunia serta kehilangan daya gugatan
politis”.(15)

Dengan ini agama-agama memang menjadi sebuah kontras terhadap dunia,


namun sebuah kontras yang tidak produktif dan kehilangan daya sengat.
Mereka kehilangan kesanggupan memberikan kontribusi untuk mengubah
sistem sosial dan ekonomi serta tatanan politik yang menjadi sumber
ketidakadilan dan penderitaan. Yang diutamakan di dalam agama-agama
seperti ini adalah penyembuhan luka-luka batin, kesediaan berdamai
dengan dan menerima kondisi yang ada, dan dengan demikian membuat
dunia terasa lebih nyaman bagi manusia. Namun, dengan sikap seperti ini
agama-agama justru kehilangan identitas sebagai penyuara harapan
eskatologis yang sebenarnya menjadi sumber siakap kritis terhadap dunia.

Metz tidak menyangkal bahwa salah satu tugas penting dari agama-agama
adalah menawarkan pengalaman kedamaian personal dan peneyembuhan
luka-luka batin. Untuk tugas ini psikologi dapat memberikan kontribusi
besar. Psikologi dapat membantu membebaskan manusia beriman dari rasa
takut dalam kehidupan religius dan menggereja.(16)

Namun, perlu disadari bahwa penyembuhan adalah sebuah pengertian yang


lebih luas daripada sekadar penyembuhan luka batin. Penyembuhan juga
mencakup dimensi sosial, ekonomi dan politik. Sebab itu, agama-agama
perlu mendorong manusia untuk menerima tugas penyembuhan yang
meneyeluruh ini. Manusia postmodern tidak banyak dibantu apabila agama-
agama hanya memperteguh ketidakberdayaannya berhadapan dengan
realitas problematis dunia yang besar dan berusaha menggapainya dengan
memberinya pengalaman-pengalaman yang meneduhkan batinnya.
Ketidakberdayaan hanya dapat diatasi apabila agama-agama memotivasi
orang untuk bersedia menjalankan pelayanan konkret guna membebaskan
umat manusia dan lingkungan dari ancaman kehancuran karena
ketidakadialn sistemik yang tercipta.

Tanpa menempatkan diri dalam koneksitas dengan dunia dan sejarah yang
memerlukan peneyembuhan, maka agama-agama akan menjadi suatu faktor
yang mempunyai krisis pemahamanan dan penghayatan relasi dengan
Tuhan. Allah yang berdaulat dan tidak identis dengan dunia justru di
mumifikasikan di dalam agama-agama. Agama-agama mempermak Allah
agar tampak menyenangkan manusia. Teologi tidak mempersoalkan
absensi-Nya di dalam dunia.(17) Kegelisahan manusia karena merasa
ditinggalkan Allah tidak lagi menjadi pertanyaan yang ditanggapi secara
sungguh-sungguh di dalam teologi. Yang diutamakan adalah Allah yang
sudah selalu ada, yang mewahyukan diri-Nya secara definit dan total dalam
peristiwa historis tertentu dan dibakukan di dalam ajaran yang pasti. Allah
yang sudah selalu ada sebenarnya kehilangan dimensi rahasia-Nya. Dia
tidak lagi menantang dan mengundang pencarian yang militant dari pihak
manusia.

Krisis Allah ini tidak lagi dialami di dalam ateisme yang radikal melainkan
dalam bentuk imunisasi Allah di dalam agama-agama. Allah diterima begitu
saja. Orang tidak mempersoalkan eksistensinya. Penderitaan pun tidak
menjadi wadas bagi ateisme seperti yang pernah dikatakan Georg
Bucher.(18) Di mana-mana Allah dialami dan dirayakan sebagai penjamin
dan pemberi kepenuhan bagi manusia, sebagai yang selalu setia tanpa batas
bagi manusia yang selalu meletakkan kesetiannya pada syarat-syarat
tertentu. Allah seperti ini menjadi kompensasi bagi manusia yang
mengabaikan kewajiban sosio-politisnya, yang menyalahgunakan
kekuasaan dengan tindakan korupsi dan tenggelam dalam apatisme politik
sebagai warga yang dibelenggu rasa tidak berdaya.

Agama menjadi pelarian, di mana keterbatasan manusia diabsorbsi ke dalam


ketidakterbatasan Allah dan dengan demikian ditenangkan. Disini
sebenarnya manusia beragama sedang melakukan kesalahan.
Ketidakterbatasan dan kedaulatan Allah yang mestinya dipahami sebagai
keterbukaan kepada masa depan, dimengerti dan dihayati sebagai
kepemilikan masa depan. Ketidakterbatasan adalah ciri Allah, manusia tidak
dapat masuk ke dalamnya selama sejarahnya di bumi. Ketidakterbatasan
dan keterbatasan tetaplah pengertian-penegrtian berlawanan yang
seharusnya menjadi sumber ketidaktenangan manusia.

Apabila pada tahun 1960-an ada kecemasan bahwa kita akan memasuki
sebauh masa post-religius Ketika konsep-konsep mengenai Allah dan setiap
orientasi adi- kodrati akan dinilai sebagai spekulasi murni dan tidak lagi
menyentuh hati dan budi manusia,(19) maka sekarang yang kita alami
adalah kenyataaan bahwa Allah dijinakkan di dalam bahasa doa dan liturgi
Gereja(20) dan dengan demikian hanya berfungsi untuk sebagai pompa
hlusinasi rasa bahagia dan pemberi ketenangan bagi manusia. Sebab itu, di
dalam krisis seperti ini kita harus merasa terdesak untuk mendefinisihkan
secara baru pertanyaan mengenai Allah dan membahasakannya secara
aktual.

2. Penderitaan sebagai Pusat Teologi

Jawaban yang diberikan Metz terhadap tantangan yang dilahirkan oleh


masyarakat postmodern adalah perumusan teologi politik sebagai
“Leidempfindliche Theologie”, teologi yang peka terhadap penderitaan.
Teologi ini melihat penderitaan sebagai locus theologicus. Yang menjadi titik
tolak berteologi bukan lagi manusia pada umumnya, melainkan manusia
yang menderita, bukan lagi pandangan yang optimis tentang dunia dan
sejarah, melainkan penderitaan, dan bukan lagi kebuntuan masa depan
dunia karena dominasi teknik, melainkan otoritas para penderita. Dengan
teologi ini orang tidak bergerak dari kepenuhan harapan akan masa depan
menuju perealisasinya di masa lalu dan sekarang. Di sini orang bertanya
mengenai legitimasi harapan akan Allah di hadapan realitas penederitaan
banyak warga. Kemiskinan, penderitaan dan kekejaman dilihat dan
diartikulasikan sebagai ancaman bagi harapan. Negativitas pengalaman ini
harus tetap dibuka.

Negativitas ini adalah konteks kita berteologi. Tidak ada teologi yang
dilaksanakan dalam vacuum dan bebas dari penentuan situasi aktual.
Teologi lahir di dalam satu kompleksitas permasalahan, namun dia tidak
tenggelam di sana. Sebaliknya, sebuah teologi mesti juga memiliki
kemampuan untuk di universalisasi. Sebab itu teologi mesti sungguh
menyadari godaan yang selalu mengintainya yakni untuk berbicara di dalam
rumusan-rumusan abstrak. Satu teologi yang sadar akan tantangan
situasinya dan memanfaatkan keterbukaan terhadap situasi sebagai kriteria
kredibilitasnya, mesti sanggup menjadikan pengalaman-pengalaman yang
kontradiktoris sebagai titik pusatnya.(21)

Berteologi menuntut kesediaan untuk membiarkan iman yang teguh dilukai


oleh pengalaman kegelapan iman. Teologi seperti ini bukan pertama-tama
berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat, dan hanya
karena itu dia menjadi sensitif terhadap pengalaman negativitas yang
sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. Apabila teologi dijalankan dalam
kesadaran akan janji yang belum dipenuhi seluruhnya dan membiarkan
kepastian iman dipertanyakan oleh pengalaman penderitaan, khususnya
penderitaan orang lain, maka dia sanggup memberikan kontribusi untuk
membongkar penyalahgunaan politik, penyimpangan kultural dan
indiferentisme ekonomis. Teologi hanya akan mampu memberanikan warga
untuk melihat dan mengakui keterlibatannya dalam politik, budaya dan
ekonomi yang menindas jika dia sendiri menyadari diri sebagai pencarian
akan Tuhan yang sering dikecewakan, sebagai penantian akan Tuhan dalam
ketidakpastian. Teologi seperti ini dapat mengarahkan pandangan orang
kepada penderitaan orang lain. Dia menolak netralitas.

Metz berpendapat bahwa pertnyaan paling tua dan paling kontroversial


mengenai Allah adalah pertanyaan seputar penderitaan, pertanyaan tentang
penderitaan orang-orang yang tidak bersalah. Penderitaan serupa ini tidak
dapat lagi di masukkan dalam kategori moral dan mendesakkan
pertanayaan, bagaimana orang masih bisa berharap dan ap aarti harapan
dalam kondisi seperti itu. Teologi sebagai pemberian pertanggungjawaban
tentang harapan, sebagaimana dikatakan dalam surat pertama Santo Petrus
(1 Ptr 3:2), diperhadapkan pertama-tama pada pengalaman
penderitaan.(22)

Beriman di tengah penderitaan adalah harapan yang didasarkan pada


pernyataan Tuhan mengenai masa depan. Iman tidak mendasarkan dirinya
pada kesanggupan alamiah manusia, melainkan pada janji Allah sendiri
(23). Kalau iman didasarkan pada kapasitas transedental yang terdapat
secara alamiah pada manusia, maka manusia akan sampai kepada Tuhan
dengan mengaktualisasikan kapasitas tersebut dan menemukan
kepenuhannya di dalamnya. Manusia mencapai kebahagian pribadinya dan
terhenyak dalam mistik mata tertutup.

Namun apabila kita melihat janji Allah sebagai sumber iman, maka iman
yang dihayati, ditandai oleh harapan. Dalam harapan kita menantikan
kehidupan dan kebahagiaan, tetapi ternyata yang kita alami adalah
penderitaan dan kematian dini. Masa depan menghadirkan makna dan
pemenuhan bagi masa sekarang, namun masa sekarang itu sendiri penuh
dengan penderitaan yang terkesan sia-sia. Tanggapan teologis tidak dapat
diberikan dalam bentuk soteorologi individual yang menunjukkan
bagaimana manusia pendosa dapat menemukan jalan kembali kepada
Tuhan dan dengan demikian mencapai keselamatan. Pertanyaan teodicea
pada dasarnya adalah mengenai keadilan bagi penderita. Sebab itu, jawaban
tidak dapat diberikan dalam bentuk soteriology individual (24). Namun,
teologi pun tidak dapat menjadikan harapan sebagai sebuah ideologi politik
yang mengabaikan para penderita yang konkret.

Teologi perlu menjadi sebuah tanggapan atas pengalaman eksistensial yang


terancam, namun bukan dalam arti sekedar sebagai usaha untuk
memberikan pegangan berhadapan dengan ketidakpastian eksistensi.
Tuduhan ini hanya dapat dibenarkan apabila di dalam teologi pertanyaan
tentang penderitaan ditangkal dan dijinakkan. Namun, pembicaraan
kristiani dan biblis mengenai Allah mengenal semacam “pengalaman”
kegaluan eksistensi, penolakan terhadap situasi hidup,………artikulasi
berbagai kontradiksi (25). Pembicaraan tentang Tuhan dalam Kitab Suci
tidak memiliki fungsi integratif untuk meluruskan semua yang bengkok.
Pembicaraan ini mengenal pergumulan individual yang tidak dapat
diabsorbsi ke dalam gagasan-gagasan umum. Pembicaraan tentang Allah di
dalam Kitab Suci adalah kisah personal pribadi-pribadi dengan Tuhan.

Ciri naratif pembicaraan tentang Tuhan dalam Kitab Suci tidak tanpa alasan.
Narasitas pembicaraan ini mengungkapkan keterbukaan kepada hal-hal
yang mengejutkan dan yang tidak dapat disistematisasi, kepada para
pemberontak dan pembela Allah. Kitab Suci tidak tidak menyembunyikan
pengalaman-pengalaman sulit manusia dalam relasinya dengan Tuhan.
Dalam arus pengalaman itu manusia diberi iman. Iman biblis menawarkan
janji dan harapan akan masa depan yang didasarkan pada Allah dan terbuka
kepada masa depan. Keteguhan iman menjadi paling nyata dalam protes
melawan kekuatan yang menindas dan protes menentang pereduksian
manusia menjadi pengertian-pengertian abstrak. Iman berarti berseru
kepada Allah demi penyelamatan mereka yang menderita.

2.1.Yang utama adalah penderitaan orang lain

Dalam kenyataan tidak semua penderitaan menjadi sebuah seruan


protes. Kita sering menjumpai gejala privatisasi penderitaan. Penderitaan
menjadi konsumsi pribadi. Para penderita mengurung diri atau dibelenggu
dalam penderitaannya. Akibatnya adalah suatu sikap apatis terhadap setiap
usaha perubahan atau semacam spiritualisasi penderitaan. Tanpa kesadaran
dan keyakinan yang benar dan mendalam akan janji yang diberikan
Tuhan, orang akan dengan mudah menerima saja penderitaan sebagai
sebuah kenyataan alamiah yang tidak dapat diubah, sebagai salib yang mesti
agar memperoleh pahala kebahagiaan atau sebagai akibat kesalahan di masa
lalu. Orang mencari alasan untuk penderitaannya dalam masa lalu, baik
masa lalunya sendiri maupun masa lampau orang lain.

Penderitaan pun dapat semata-mata berkonsentrasi pada persoalannya


sendiri. Orang hanya memikirkan penderitaannya sendiri dan mencari
kambing hitam untuk kenyataan itu. Hal ini tidak hanya berlaku untuk
penderitaan pribadi tetapi juga untuk kelompok. Mekanisme
pengkambinghitaman seringkali terjadi karena manusia tidak mampu dan
menolak melihat lebih jauh daripada penderitaan sendiri. Yang
dipermasalahkan di sini bukanlah kesediaan yang terlampu cepat untuk
menerima penderitaan dan ketidakadilan yang dialami sendiri. Juga yang
dimaksudkan bukanlah semacam kesalehan pietistis yang berusaha melihat
penderitaan sendiri menjadi lebih mudah diatnggung dengan
membandingkannya dengan penederitaan orang lain. Sebaliknya, yang
hendak dituju di sini adalah siakp terbuka, kerelaan untuk mengembangkan
turut merasakan penderitaan orang lain dan dengan demikian
menumbuhkan sikap belarasa.

Pandangan yang terbuka kepada penderitaan orang lain mencegah


kita untuk menginstrumentalisasi penederitaan orang lain. Orang seperti ini
tidak lagi rela membiarkan orang lain menderita sebagai pembalasan
atas penderitaannya sendiri. Di sini Metz menemukan makna politis dari
keterbukaan itu. Hanya apabila ada kesediaan untuk turut merasakan
penderitaan orang lain, kita dapat mematahkan spiral kekerasan. Pihak lain
tidak hanya dilihat sebagai penyebab penderitaan sendiri, tetapi sebagai
penderita yang mesti juga menghadapi pergumulan yang sama seperti kita.
Di sini yang menjadi pusat perhatian dan perasaan bukanlah pemenang yang
triumfalistis, melainkan para korban yang menuntut aksi solidaritas.

Tatapan pada penderitaan orang lain hanya dapat dipertahankan selama


orang melihat masa depan bersama. Harapan akan sebuah masa depan yang
tidak hanya menjadi milik para pemenang, yang dari sekadar kemenangan
kelompok kecil orang yang memiliki privilese, akan mampu melihat di dalam
musuh tidak hanya penyebab penderitaan kita sendiri. Harapan akan masa
depan bersama ini memungkinkan orang lain yang menderita tampak dalam
singularitasnya yang tak terulang. Masa depan bersama yang dijanjikan
Allah dan diharapkan terwujud melindungi orang lain dari bahaya
pereduksian pada saat sekarang.

Penderitaan mencemaskan, karena di hadapannya kita sangat


mengharapkan masa depan yang membawa perubahan, serentak
merupakan kesempatan paling meragukan harapan. Kita tidak menanggapi
kecemasan ini dengan melarang penderitaan, tetapi dengan
membahasakannya. Dinamika masa depan menyatakan kekuatannya dalam
ketidaktenangan menghadapi penundaan masa depan yang tampak jelas di
dalam penderitaan(26). Dinamika itu mengambil bentuk protes karena apa
yang sedang dialami adalah kebalikan dari harapan. Di dalam diskrepansi
yang menyakitkan ini praksis yang semestinya bukanlah penyerahan diri di
hadapan penderitaan, melainkan seruan dan upaya pembebasan. Dengan ini
kita menolak alienasi dan penghancuran diri melalui penyesuaian dengan
salah satu dari kutub-kutub yang berdialektika. Harapan yang terkandung
secara implisit di dalam seruan dan praktik pembebasan ini “melindungi
humanitas konkret manusia, melindungi setiap pribadi dan generasi dari
bahaya dikorbankan demi usaha militan untuk merealisasikan humanitas
yang masih tertunda dan tenggelam dalam momok proyek raksasa
perubahan dunia yang dilaksanakan secara paksa”.(27)

Teologi mesti melawan segala tendensi untuk membungkamkan seruan dan


praksis yang tidak menyenangkan dan yang bersifat politis ini. Kalaua
teologi menanggapi secara serius humanum yang terncam dan menjadikan
penderitaan sebagai titik tolaknya, maka humanum yang positif serentak
dihadirkan dalam bentuk penolakan untuk membiarkan manusia menjadi
korban ideologi. Teologi akan melindungi manusia dengan berkonsentrasi
pada permenungan mengenai penderitaan. Inilah yang mendasari
kemendesakan teologi politik dalam diskursus postmodern demi
menyelamatkan manusia.

2.2. Menuju sebuah Teologi yang sensitive terhadap penderitaan


Metz menyebut konsep teologisnya leidempfindliche Theologie (teologi yang
sensitif terhadap masalah penderitaan). Teologi ini menjadikan penderitaan
sebagai titik tolak sekaigus kriteriumnya. Metz juga berbicara mengenai
kekristenan yang peka terhadap penderitaan(29). Sebuah kekristenan yang
peka terhadap penderitaan memerlukan pula sebuah moral yang terbuka
terhadap penderitaan.

Teologi berbicara mengenai iman, yang menemukan legitimasinya dalam


kepekaan terhadap penderitaan, iman yang membuka mata dan hati
manusia bagi realitas penderitaan. Iman mengarahkan perilaku moral yang
berorientasi pada upaya untuk menanggapi penderitaan. Moral seperti ini
hanya dapat dibangun apabila ada kesadaran akan finalitas waktu.
Keterbatasan waktu memberikan dasar bagi kemendesakan untuk bertindak
mengatasi penderitaan. Hidup korban terbatas dan kesempatan penolong
untuk membantu pun tidak terulang. Sebab itu, orang harus menolong.
Waktu kita terbatas, sebab itu kita mesti memulai sesuatu dengan setiap
kesempatan yang tersedia.

Keterbatasan waktu juga memberikan pendasaran bagi keunikan hidup


setiap korban penderitaan. Karena hidupnya terbatas, maka dia memiliki
nilai yang tak tergantikan. Individualitas yang tidak terulang memberi
kepada setiap orang hak untuk diperlakukan sebagai pribadi, tidak
dikooptasi ke dalam kolektivitas dan menguap di dalam kekelan waktu.
Perhatian kepada individu yang memiliki waktu hidup yang terbatas
membuat kita peka untuk menangkap pemangkasan haknya untuk hidup
secara pantas karena berbagai penindasan dan ketidakadilan, karena alam
yang tidak bersahabat dan sulit diperhitungkan, karena sistem yang anonim
dan tidak manusiawi. Karena pentingnya keterbatasan ini, maka teologi
yang sensitif terhadap penderitaan mesti juga bersifat sadar waktu.

Teologi yang peka terhadap penderitaan dan sadar waktu tidak menawarkan
jawaban-jawaban final untuk setiap persoalan. Dia menanggapi sambil tetap
memperdengarkan pertanyaan yang menunjukkan ketidaktuntasan jawaban
yang tersedia. Teologi yang peka terhadap penderitaan sadar bahwa manusia
selalu mempunyai sekurang-kurangnya satu pertanyaan lebih banyak
daripada jawaban yang tersedia. Gagasan Rahner tentang manusia sebagai
pertanyaan terbuka kepada Allah mendapat artikulasinya yang paling jelas
berhadapan dengan penderitaan. Penderitaan tidak hanya melahirkan
pertanyaan tentang Allah, tetapi juga pertanyaan kepada Allah. Allah
menjadi alamat pertanyaan karena Dia setia, dan masa depan adalah masa
depan Allah. Berhadapan dengan penderitaan kita mestinya bisa bertanya
balik kepada-Nya.(30)

Hal ini menjadi tugas yang autentik dari setiap teologi. Teologi
mengandaikan iman. Namun, dia tidak mengharuskan kepemilikan iman
yang teguh tak tergoyahkan. Sebuah teologi yang merumuskan pertanyaan
dan yang hidup dari pertanyaan, dapat dilaksanakan dalam kondisi
keraguan. Sebab, di dalam doa sebagai bahasa asali teologi ini keraguan dan
pemberontakan adalah hal yang diperkenankan. “Bahasa doa jauh lebih
menyeluruh daripada bahasa iman. Di dalamnya orang dapat mengatakan
bahwa dia tidak percaya.(31)

Apakah sebuah teologi dapat sungguh bermanfaat, apabila di dalamnya


orang dapat membantah iman dan dapat menggumuli sungguh-sungguh
masalah absensi Tuhan dalam kehidupan manusia? Dan bagaimana kita
dapat mempertanggungjawabkan secara rasional sebuah teologi, apabila
bahasa aslinya adalah doa yang tak dapat ditelaah dalam bingkai teori
diskursus dan filsafat komunikasi? Apakah di sini kita tidak kembali
berhadapan dengan satu bentuk teologi yang membenarkan privatisasi
iman, satu bentuk voluntarisme yang demikian menekankan kebebasan
Tuhan sehingga kita tidak dapat memberikan satu pernyataan positif apapun
tentang Dia?

Konsentrasi teologi pada pertanyaan balik kepada Tuhan menegaskan


bahwa sebenarnya tidak banyak hal yang dapat dikatakan secara positif
tentang Tuhan. Dihadapan penderitaan teologi mesti mencegah diri dari
bahaya menenggelamkan diri dalam teori dan potensi kritis. Metz sering
berbicara mengenai kemiskinan dalam roh yang telah dibuktikan Israel
dalam sejarahnya. Maksudnya adalah kemiskinan untuk tidak menghibur
diri dengan mitos dan bentuk-bentuk lain yang membantu mengatasi
ketidakpastian eksistensi. Israel menderita karena kemiskinan roh ini. Dia
merupakan sebuah “panorama jeritan”,(32) sebuah panorama yang
dipenuhi dengan luka-luka karena mesti mempertahankan kemiskinan
rohnya.

Israel tidak mengambil alih kesenangan akan mitos yang mencirikan


bangsa-bangsa sekitarnya untuk sekadar meringankan pengalaman
penderitaan mereka yang tidak terhankan. Israel sanggup membuat
pembedaan antara penderitaan yang tidak dapat diatasi dan penderitaan
yang disebabkan oleh manusia. Penderitaan yang tidak dapat diatasi dan
penderitaan yang disebabkan oleh manusia. Penderitaan yang tidak dapat
diatasi menjadi alasan untuk bertanya kepada Tuhan, sementara
penderitaan kedua adalah protes melawan para penguasa.

Jeritan, penolakan dan idealisasi ini hanya mungkin karena ada janji. Israel
berpegang pada janji yang diberikan Allah sebagai masa depan kepada umat-
Nya. Janji ini tidak membuat Israel buta terhadap realitas penderitaan.
Israel serentak membawa dalam dirinya janji dan penderetiaan, panggilan
dan penolakan, harapan dan salib. Bangsa ini tidak bersedia melepaskan
yang satu demi yang lain. Sejarah Israel adalah godaan yang terus-menerus
atas harapan, sebuah tantangan entahkah harapan itu memiliki dasar.
Namun, konsentrasi pada ketidaksempurnaan dan penderitaan bukanlah
penyangkalan diri di dalam penderitaan. Kita tidak diharapkan untuk
sanggup menghancurkan diri di dalam pergumulan dengan kekuasaan-
kekuasaan yang mematikan.

Metz mengupayakan sebuah teologi berdasarkan model teologi penderitaan


Yahudi yang didasarkan pada pentingnya kemiskinan di dalam roh. Teologi
serupa ini harus bisa menjalankan pengaruh-pengaruhnya yang mendesak
hanya dengan sejumlah kecil pernyataan positif tentang Allah, yakni
pernyataan-pernyataan yang tidak mempertajam suasana duka dan masuk
ke dalam konflik, kita perlu menjaga agar tercipta keseimbangan antara ironi
dan pengampunan yang terlampau dini. Teologi yang terbuka terhadap
penderitaan dimotivasi oleh janji, dan dengan demikian juga oleh harapan.
Harapan ini didasarkan pada Allah, yang dalam bahasa Ernst Boch disebut
sebagai “Gott vor uns” (Allah di depan kita). Namun, serentak dengan itu
teologi ini memberikan kualifikasi tertentu pada harapan.

Dalam konteks ini pembicaraan Metz mengingatkan kita secara sangat kuat
pada Immanuel Kant(33). Keduanya menuntut pembicaraan yang tidak
terlampau tergesa-gesa mengenai Allah. Teologi tidak boleh melampaui
batasnya sendiri. Bagi Metz, batas itu adalah otoritas para penderita.
Keduanya pun berkonsentrasi pada praksis yang selalu mengandaikan
adanya harapan. Kant menyebut Allah harapan sebagai syarat transedental
yang sudah selalu hadir dan diandaikan apabila manusia mewujudkan
kebebasannya. Metz menolak transendentalitas ini, sebab menurut dia, di
dalam pengertian ini kita sudah memberikan jaminan akan kepastian
kehadiran Allah, kendatipun pengalaman terkadang menunjukkan absensi
Tuhan. Allah justru dicari dan dirindukan di dalam penderitaan. Namun,
bagaimanapun Metz, tetap mengandaikan harapan akan Allah, sebab kita
hanya mencari apa yang kehadirannya dijanjikan. Kendati demikian, catatan
kritis Metz dapat diapahami, sebab apabila kita berkonsentrasi pada syarat
transendental itu, kita tidak akan lagi memperhatikan penderitaan secara
penuh. Catatan Metz ini penting untuk dapat dari krisis mengenai paham
dan relasi manusia dan Tuhan. Namun, gagasan ini bukanlah sebuah
penolakan total melawan harapan.

3. Tanggapan Kritis

Sebagaimana sudah dikatakan di atas, konsep Metz tentang


postmodernisme dipengaruhi oleh pandangan tanpa sebuah pergumulan
yang lebih mendalam atas gagasan-gagasan pokok para filsuf yang disebut
sebagai pemikir postmodern. Sebuah telah yang lebih serius akan
menemukan bahwa di balik klaim penolakan metanarasi, Lyotard misalnya
tetap mengusung gagasan mengenai demokrasi dan keadilan. Demokrasi
perlu diperjuangkan dan dipertahankan sebab merupakan sistem yang
memberikan peluang bagi artikulasi perbedaan. Keadilan adalah sebuah
ideal yang harus selalu diupayakan, walaupun kita senantiasa berhadapan
dengan ketidakadilan dalam setiap Tindakan konkret kita.(34)

Kita tidak dapat membebaskan diri sepenuhnya dari ketidakadilan, namun


kita tidak boleh melepaskan gagasan keadilan, sebab hanya dengan ini kita
dapat mengenal ketidakadilan sebagai ketidakadilan. Kesadaran ini penting
agar kita tidak bertindak sewenang-wenang dan arogan sebagai pelaku
ketidakadilan(35). Tanpa kesadaran itu kita akan kehilangan kerendahan
hati dalam politik dan dengan demikian menjadi otoriter.

Gagasan yang serupa ditunjukkan pula oleh Jacques Derrida. Bagi Derrida,
keadilan, pengampunan, hospitalitas dan demokrasi merupakan hal-hal
universal yang diperlukan dan harus diperjuangkan. Tentang keadilan,
misalnya, Derrida menegaskan bahwa keadilan adalah sebuah pengalaman
akan yang tidak mungkin. Maksudnya, sebagai pengalaman keadilan terikat
pada hukum, namun hukum tak pernah dapat identik dengan keadilan sebab
keadilan selalu melampaui hukum. Ideal keadilan menjadi alasan untuk
terus-menerus bersikap kritis terhadap hukum dan peraturan yang ada.(36)

Hal yang sama dikatakan Derrida tentang demokrasi(37). Demokrasi dalam


arti yang sejati tidak pernah terwujud dan hanya karena itu kita dapat dan
harus bersikap kritis terhadap setiap pemerintahan demokratis yang ada.
Karena demokrasi sesungguhnya masih selalu akan datang, maka kita
mendapat sebuah imperatif untuk melihat kekurangan dan memperbaiki
kondisi demokrasi yang sekarang kita hadapi.

Pola pikir Lyotard dan Derrida sebagaimana dikatakan secara sangat singkat
di atas tidak hanya menunjukkan bahwa postmodernisme tidak bersifat anti-
universal sebagaimana dikatan Metz. Mereka mengusung juga ideal-ideal
universal, namun dalam bentuk futur yang tidak pernah menemukan
perwujudannya. Dengan demikan ideal-ideal tersebut berperan sebagai
negasi terhadap semua tendensi totalisme yang ada di dalam sejarah. Di sini
kita dapat menemukan paralelitas dengan pandangan Metz tentang otoritas
universal para penderita.

Dasar dari otoritas ini adalah kesadaran bahwa apa yang ada di dalam
sejarah belum mewujudkan sepenuhnya apa yang dijanjikan. Allah dan
pemenuhan janji-Nya masih selalu akan datang. Otoritas para penderita
bukanlah sebuah otoritas positif yang mengarah kepada diktatur para
penderita, meliankan sebagai dialektika negatif yang membongkar kerangka
teologis yang mempromosikan identifikasi Allah dan sejarah serta
melanggengkan kekuasaan totalitas baik dalam bentuk struktur dan ajaran
gerejani maupun dalam wujud politisasi agama oleh pusat-pusat kekuasaan
politik.

Gagasan tentang Allah yang selalu akan datang, yang eskatologis, tentu saja
dalam Kekristenan mesti menghadapi pertanyaan mengenai inkarnasi Allah
yang definitif di dalam diri Yesus dari Nazaret. Namun, Metz tidak
memberikan uraian yang memadai tentang posisi Kristus dalam teologinya
yang terbuka terhadap penderitaan. Teologi Metz memiliki defisit kristologis
eksplisit, kendati secara implisit pandangannya mengandung sejumlah
pikiran dasar yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah
kristologi (38). Metz lebih mempromosikan sebuah kristologi eksatologis
yang terobsesi untuk dimensi ‘belum’ dari seluruh warta Kerajaan Allah (39).
Apa yang sudah terlaksana di dalam diri Kristus masih merupakan sebuah
janji yang belum dipenuhi selama masih ada manusia yang menjadi korban
ketidakadilan dan alam tetap dieksploitasi karena keserakahan manusia.
Sebab itu, Kristus tetap hadir dan dihadirkan dalam tanda salib. Jumad
Agung tetap menjadi latar belakang setiap kali kita merayakan Paskah.

Penutup

Penderitaan sebagai locus theologicus dapat dilihat sebagai sebuah


kerangka teologis untuk memberikan pendasaran bagi solidaritas atau
belarasa. Metz tidak mendasarkan solidaritas pada Allah yang solider seperti
yang diperkenalkan Moltmann, tetapi pada Allah yang belum tuntas
melaksanakan apa yang dijanjikan-Nya. Belarasa kita lakukan bukan karena
kita hendak mencontohi Allah, melainkan karena kita diinspirasi harapan
yang dibakar oleh janji Allah. Apa yang mesti dilakukan Ketika janji tidak
sesuai kenyataan? Orang yang berharap pada Allah tidak akan tinggal diam.
Harapan ini mendorong kita untuk turut bertanggungjawab agar janji Allah
dapat diwujudkan. Penederitaan sebagai locus theologicus bukan hanya
menjadi alasan untuk membuat refleksi mengenai Allah dan keberpihakan-
Nya, melainkan mendorong aksi keberpihakan manusia.

Salah satu ungkapan yang sangat sering muncul dalam tulisan-tulisan John
M. Prior adalah belarasa. John terkesan lebih memprioritaskan penggunaan
kata ini daripada versi Latin yang juga digunakan dalam bahasa Indonesia,
solidaritas. Dari berbagai perspektif, entah dari pendekatan biblis,
misiologis, kultural atau teologis John berulang kali menunjukkan
urgensitas belarasa dalam situasi Indonesia dan di dalam dunia dewasa ini.
Leidempfindliche Theologie, teologi yang peka dan terbuka terhadap
penderitaan, pun dapat memberikan kontribusi untuk maksud ini.

—————————————————————————————

Sumber Buku Menerobos Batas – Merobohkan Prasangka Jilid 2 , Penerbit


Ledalero.

Catatan Kaki

1.John M. Prior, “Integrasi, Isolasi atau Deviasi. Membaca Galatia 3: 27-28


di Indonesia Dewasa ini”, dalam Georg Kirchberger dan John M. Prior (eds),
Jati Diri Manusia dan Injil Perdamaian, Maumere: Ledalero dan
Candraditya, 2009, hlm. 37-68.

2. Jean Baudrillard, For a Critique of the Political Economy of the Sign,


Charles Levin, St. Louis: Telos, 1981.

3. Jean-Francois Lyotard, Kondisi Postmodern, Sebuah Laporan tentang


Pengetahuan, penterj. Novella Parchiano (Yogyakarta: Panta Rhei Books,
2003)

4.Paul Budi Kleden, “Mempertimbangkan Pluralitas”, dalam Willy Gaut,


Filsafat Postmodernisme Jean-Francois Lyotard, Maumere: Ledalero 2010,
hlm. Xxv

5. Peter Zeillinger, Nachtragliches Denken. Skizze einess philosophisch-


theoligischen Aufbruchs im Ausgang von Jacques Derrida, Munster: LIT
Verlag, 2002

6. Paul Budi Kleden, “Perkawinan Baru antara Iman dan Akal Budi: Mas
Kawin yang Terlanjur Mahal”, dalam Jurnal Ledalero 6/2/2007, hlm. 161-
189

7. Wolfgang Welsch, Unsere postmoderne Moderne, cet. Ke-5, Berlin, 1997.

8. B. Metz et al. Diagnosen zur Zeit, Dusseldorf 1994.

9. Giovanni Boradori, Philosphy in a Time of Terror,University of Chicago


Press 2003.
10. Tulisan-tulisan dalam John M. Prior (ed), Kekuatan Ketiga Kekristenan.
Seabad Gerakan Pentekostal 1906-2006, Maumere: Ledalero 2007

11. B. Metz, “Gotteskrise. Versuch zur, geistigen Bestimmung der Zeit”,


dalam J.B. Metz et al. Diagnosen zur Zeit, Dusseldorf 1994, hlm. 78.

12. Ibid

13. Moltmann, Theologie der Hoffnung. Untersuchungen zur Begrundung


und zu den Konsequensen einer cristilchen Eschatologie, Munchen: Chr.
Kaiser, 1969, hlm. 290

14. Ibid hlm. 295

15. B. Metz, op. cit., hlm. 90

16. B. Metz, “In der Spur des Lebens” Kevelar: 1993

17. Dengan ini Metz secara implisit menunjuk pada teologi wahyu dalam
sisitem tertutup seperti yang diperkenalkan oleh Karl Barth dan Karl Rahner

18. Georg Buchner “Dantons Tod”, dalam George Buchner, Buchner Werke
in einem Bnad, Berlin: Aufbau-Verlag, 1967, hlm. 40

19. B. Metz, “Gott vor uns. Statt eines theologischen Arguments”. Frankfut a.
m. : Shurkamp 1965

20. B. Metz, Gotteskrise, op. cit, hlm. 80

21. B. Metz, Gotteskrise, op. cit, hlm 76

22. Metz mendefinisikan teologi dengan merujuk pada 1 Ptr. 3:15

23. Pada titik itu Metz mengambil jarak dari gurunya Karl Rahner, yang
dikritiknya kerena dinilai mengabaikan dimensi sosial iman kristiani dalam
teologi transedentalnya.

24. Metz menambhakan bahwa sebagai akibat dari perkembangan ini di


dalam sejarah teologi telah penekanan yang berat sebelah atas dosa dan
bukannya atas keadilan. Kekristenan menjadi sebuah pemberi daftar dosa,
bukannya sebuah seruan dan jeritan melawan penderitaan.

25. B. Metz, Theodize-empfindliche Theologie, op cit hlm. 84

26. Metz menekankan penting dan mendesaknya menerima dinamika


eskatologis ini dalam refleksi teologis
27. B. Metz, Gott vor uns, op. cit, hlm. 240

28. B. Metz, Theodizee-empfindliche Theologie, op cit., hlm. 82

29. J.B. Metz, Gotteskrise, op. cit., jilid 2

30. , hlm. 84

31. B. Metz, Theodizee-empfindliche Theologie, op. cit. hlm. 98.

32. Metz mengambil alih pengertian ini dari Nelly sachs.

33. Immanuel Kant, Uber das Misslingen aller philosophischen Versuche in


der Theodizee, Darmstadt 1968, Jilid ke-9

34. Jean-Francois Lyotard, Le Nome et l’exception, hlm. 44, dikutip dari


Wolfgang Welsch,cit.,hlm, 243.

35. Jean-Francois Lyotard, The Different Phrases in Dispute, penerj,


Georges Van Den Abbeele, Manchester University Press 1988, hlm 138 -141.

36. Jacques Derrida, “Force of Law. The Mystical Foundation of Authority”,


dalam Jacques Derida, Acts of Religion, New York: Routledge 2002.

37. Jacques Derrida, The Politics of Frienship, London: Verso 2005.

38. Paul Budi Kleden, Christogie in Fragmenten. Die Rede von Jesus
Christus im Spanungsfeld von Hoffnungs und Leidesgeschichte bei Johann
Baptis Metz, Munstler: LIT Verlag, 2001.

39. Ibid, 373.

Anda mungkin juga menyukai