Anda di halaman 1dari 5

Mengubah paradigma adalah solusi konflik Ujian Nasional

Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar


pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan
antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan
bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang
mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai
pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus
dilakukan secara berkesinambungan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Ujian_Nasional)

Adapun UN (Ujian Nasional) menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI


Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan pertimbangan untuk: a) penentuan kelulusan
peserta didik dari suatu satuan pendidikan, b) seleksi masuk jenjang pendidikan
selanjutnya, c) pemetaan mutu satuan dan/ atau program pendidikan, d) akreditasi
satuan pendidikan, dan e) pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Kebijakan Ujian Nasional sebagai standard kelulusan menjadikan bahan yang


unik untuk diperbincangkan, banyak konflik yang terjadi diantara masyarakat bahkan
para ahli. Seperti halnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
berhadapan dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menilai bahwa UN bertentangan
dengan undang-undang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh
membenarkan adanya kontroversi terkait penyelenggaraan UN pada 2013 mendatang. Menurut
DPD, UN dianggap bertentangan dengan undang-undang secara legal yuridis. "Tapi, menurut
Kemendikbud, UN ini tidak bertentangan dengan undang-undang. Landasan legalitasnya jelas
pada UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas," kata Nuh, saat jumpa pers mengenai
Penyelenggaraan UN 2013 di Gedung A Kemendikbud, Jakarta, Kamis (11/10/2012).

Ia menjelaskan bahwa dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat pasal-


pasal. Dalam hal ini, DPD hanya mengambil Pasal 58 ayat 1 saja yang berbunyi Pendidik
berperan mengevaluasi hasil belajar untuk memantau proses kemajuan dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ia melanjutkan, jika hanya merujuk Pasal 58
ayat 1, pihak luar tidak bisa mengevaluasi. Namun, ada pasal lanjutannya, yaitu Pasal 58 ayat 2
bahwa evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh
lembaga mandiri untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. "Dari ayat 2, itu
eksternal juga perlu. Yang kami lakukan sekarang kan mengombinasikan dua ayat itu," jelas
Nuh.

Menurutnya, UN ini berfungsi untuk menguji masalah kognitif siswa. Sementara untuk
masalah afektif dan psikomotorik dilakukan oleh pendidik atau guru sekolah yang
bersangkutan. Untuk mencapai penilaian yang optimal, ketiga hal ini harus terpenuhi dan
disimpulkan bahwa yang menentukan kelulusan peserta didik adalah sekolah. Ia juga
menjelaskan bahwa pelaksanaan UN di Indonesia sudah ada setelah proklamasi kemerdekaan.
Memang seiring berjalannya waktu, UN berganti nama beberapa kali dengan rumusan angka
penentu kelulusan yang juga ikut berubah."Dari dulu juga sudah ada, dari namanya Ujian
Negara, Ebtanas, UAN, sampai UN. Yang belakangan, penilaiannya sudah dibagi antara
sekolah dan pemerintah," tandasnya. (JAKARTA, KOMPAS.COM)

“Bagaimana mungkin ujian nasional bisa menjadi standard kelulusan nasional,


sedangkan fasilitas yang diberikan untuk anak pedesaan berbeda dengan yang di
perkotaan” ujar Jimmy Ph Paat pada seminar nasional yang bertemakan “Refleksi
Kebijakan UN Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa” yang diselenggarakan di
Universitas Negeri Medan. Hal ini memang terjadi di Negeri kita ini, Indonesia. Contoh
kecil dari ketimpangan ini terjadi di Jember.

Anggota komisi D DPRD Jember, Marduan, kepada Pro 3 RRI mengatakan


pihaknya mengakui adanya ketimpangan sarana pendidikan antara sekolah di desa dan
perkotaan, padahal di konstitusi telah mengamanahkan bahwa tugas pemerintah
mencerdaskan kehidupan anak bangsa dengan menyediakan sarana pendidikan tanpa
dikriminasi.

"Memang itu terbukti fasilitas antara kota dengan daerah pinggiran tidak sama.
Seharusnya fasilitas pendidikan harus sama karena ini adalah sesuai konstitusi yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga semua harus sama,” kata Marduan, Kamis
(3/5).

Tidak hanya berhenti disini permasalahan-permasalahan yang terjadi terhadap


kebijakan ini. Standarisasi kelulusan ini menjadikan momok bagi masyarakat, para
orang tua siswa terlebih lagi terhadap siswanya. Kejujuran menjadi bahan yang
digadaikan oleh siswa agar terealisasinya kebijakan ini. Sudah menjadi rahasia umum
menyelesaikan Ujian Nasional dengan cara tidak halal yaitu dengan menggunakan kunci
jawaban yang diperoleh dari joki-joki atau mafia pendidikan.

Sementara kepala sekolah yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya,


menekan guru, membentuk tim sukses dan atau sebagainya, yang intinya, anak didik di
sekolahnya harus bisa lulus 100 %. Jika persoalan UN sudah masuk wilayah
kepentingan politik, nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi sesuatu yang
amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sangat sulit diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari.

Lihatlahlah kejadian di Bekasi, kejujuran digadaikan dengan kepentingan dan


dilakukan secara rapi dan terpola, bahkan atas arahan dan bantuan pihak sekolahan. Para
siswa peserta UN diminta menggunakan celana panjang rangkap dua untuk meloloskan
HP ke ruang ujian. Ternyata melalui HP itulah, tim suksesnya mengirimkan jawaban.
Modus seperti itu, sering terjadi di setiap tahun pelaksanaan UN. Tapi kenapa hal
seperti itu selalu didiamkan dan bahkan cenderung dimaafkan dan diteloransi. Apakah
demi mengejar gengsi daerah, predikat kota vokasi (kota dengan angka kelulusan
tinggi), jajaran dunia pendidikan menghalalkan segala cara, dan mengorbankan nilai-
nilai luhur seperti kejujuran dan kerja keras serta karakter anak didik?. (Kamis, 26 Apr
2012, Harian Analisa)

Belum lagi membludaknya korban bunuh diri dari para siswa yang terjadi, hal
tragis ini dikarenakan tidak mampunya siswa menahan stress yang terjadi karena malu
pada masyarakat disaat tidak lulus ujian. Seperti yang diceritakan di harian surat kabar
kompas, Wahyu Ningsih (19), siswi sebuah SMKN di Muaro Jambi tewas menelan
racun jamur tanaman dikarenakan tidak lulus pada salah satu mata pelajaran yaitu
matematika padahal ia adalah siswa peraih nilai ujian tertinggi di sekolahnya pada mata
pelajaran bahasa Indonesia. Tidak hanya terjadi di muaro jambi namun fenomena ini
terjadi juga di jawa tengah.

AN, warga Desa Purwa Hamba, Kecamatan Surodadi, Kecamatan Tegal, Jawa
Tengah ini sejak Selasa (27/06/06) kemarin, masih tergolek lemah di ruang instalasi
gawat darurat Puskesmas Surodadi akibat mengalami keracunan setelah menengak obat
pembasmi hama. Pelajar SMP Negeri ini nekad minun obat pembasmi hama setelah
dinyatakan tidak lulus dalam ujian akhir nasional beberapa waktu lalu. Tindakan
percobaan bunuh diri dilakukan korban di rumahnya Senin sore setelah dinyatakan tidak
lulus. Padahal prestasi belajarnya cukup baik.

Sementara di Tabanan, Bali, seorang siswi SMP terpaksa melakukan mogok


makan dan mengurung diri dalam rumah. Aksi ini dilakukan sebagai ungkapan protes
karena dirinya dinyatakan tidak lulus ujian nasional, padahal ia termasuk siswi
berprestasi. Yogita mengaku telah belajar maksimal, namun hanya karena nilai bahasa
Inggrisnya 3,20, ia terpaksa harus menahan malu karena gagal masuk ke SMA Negeri.
Akibat kondisinya yang masih depresi, Yogita kini terpaksa masih dalam pengawasan
orangtua dan kerabatnya. (indosiar.com, Bali). Sungguh ironis bukan apa yang terjadi
dalam dunia pendidikan di negeri kita tercinta ini?.

Masalah-masalah yang terjadi diatas adalah masalah-masalah yang cukup simple


menyelesaikannya, hanya dengan mengubah pola pikir pada masing-masing individu
saja didalam tubuh masyarakat. Konflik yang terjadi pada kebijakan ini diakibatkan oleh
momok yang terbenam di pikiran masyarakat hingga akhirnya menyalahkan segala
pihak yang kurang mampu menerapkan keadilan seperti ketimpangan fasilitas
pendidikan antara pendidikan di desa dan perkotaan.

Kebijakan Ujian Nasional sebagai standarisasi kelulusan nasional adalah


kebijakan yang tepat menurut saya. Jikalaulah penilaian diberikan untuk masing-masing
institusi pendidikan hal inilah yang akan menjadikan ketimpangan didalam pendidikan.
Karena tidak jelasnya indikator kelulusan pada setiap daerah dan hal yang menggelikan
yang mungkin terjadi adalah ada beberapa siswa yang memiliki nilai standarisasi yang
lebih rendah dari yang lain namu secara aktualisasi dia lebih pintar dan cerdas dari pada
yang lain. Hal ini akan menambah masalah pada seleksi masuk jenjang pendidikan
selanjutnya yang mana hal ini adalah salah satu bahan pertimbangan Ujian Nasional
menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI Nomor 20 Tahun 2005 Pasal 4.

Karakter bangsa yang digadaikan untuk memperoleh nilai yang sempurna pada
ujian nasional dan stress pada siswa yang terjadi hingga membawa korban kepada
tindakan bunuh diri dapat diatasi dengan mengubah paradigma atau pola pikir
masyarakat terhadap siswa yang gagal mengikuti ujian nasional. “Apasih salah nya
kalau tidak lulus? Kan bisa belajar dan mengulanginya di tahun depan,” pernyataan ini
seharusnya tertanam di hati masyarakat, toh hal ini sudah lama berkembang dikalangan
mahasiswa yang tidak lulus pada mata kuliahnya, dan karena sesungguhnya belajar itu
tidak ada batasan usia, bahkan UNESCO menerangkan lewat 4 pilar pendidikan yang di
canangkanya yaitu learning to know yang tersirat arti belajar sepanjang hayat.

Dengan berkembangnya paradigma ini di kalangan masyarakat, siswa yang


tidak lulus Ujian Nasional tidak akan frustasi karena tidak adanya sanksi moral yang
diberikan masyarakat kepadanya dan terus bermotivasi untuk terus belajar agar lulus
ujian.

Untuk itu diperlukannya kerjasama dari segala aspek dalam menumbuh


kembangkan paadigma ini terutama untuk media masa agar tidak terlalu mengumbar
kegagalan yang dialami sekolah atau siswa dalam belajarnya untuk melewati Ujian
Nasional.

Dengan tercapainya kelulusan Ujian Nasional tanpa adanya prilaku-prilaku tidak


jujur, saya yakin bangsa Indonesia akan semakin dekat terhadap cita-citanya yang
terkandung pada tujuan pendidikan nasionaal menurut Undang-Undang No. 20, Tahun
2003. Pasal 3 yaitu Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai