Anda di halaman 1dari 15

METODOLOGI PENELITIAN

TUGAS 2

CONTOH PROPOSAL/SKRIPSI PENELITIAN


KUANTITATIF, KUALITATIF DAN DESKIPTIF

OLEH :

NAMA : MOCHAMMAD IQBAL SAPUTRA

NIM: 1923042001

HARI: KAMIS, 23 SEPTEMBER 2021

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK

OTOMOTIF FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI

MAKASSAR 2021
1. PENELITIAN KUANTITATIF
A. Judul:
PENGARUH KONDISI SOSIAL EKONOMI KELUARGA TERHADAP
KEMANDIRIAN DAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS X IPS 2 DI
MAN 1 BOJONEGORO

B. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan kita.
Pendidikan bisa dikatakan sebagai tiang pancang kebudayaan dan pondasi utama
untuk membangun peradaban bangsa. Kesadaran akan arti penting pendidikan
akan menentukan kualitas kesejahteraan lahir batin dan masa depan warganya.
Oleh karena itu maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada sistem
pendidikan yang dilaksanakan. Terbukti bahwa seluruh bangsa yang berhasil
mencapai tingkat kemajuan kebudayaan dan teknologi tinggi mesti didasari oleh
kualitas pendidikan yang sangat bagus.
Dalam UUD pasal 31 ayat 1 dan 2 tertulis bahwa setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan, wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya, negara juga memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang- kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. Namun pada kenyataanya
pendidikan yang ada di Indonesia pada saat ini masih menjadi permasalahan
karena masih banyak anak bangsa yang belum mendapatkan pendidikan yang
sebagaimana mestinya dan ada juga yang sama sekali belum pernah merasakan
bangku sekolah contoh kecilnya saja anak yang berasal dari keluarga miskin dan
anak yang terlantar, hal ini sangat memperihatinkan bagi pendidikan negara kita
yang sebenarnya mereka juga mempunyai hak yang sama seperti anak-anak yang
sudah mendapat pendidikan yang layak seperti anak orang kaya.
hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang
baik hanya anak orang kaya dan pintar. Dengan bermodalkan kemampuan
ekonomi yang lebih dari cukup, didukung dengan kemampuan berpikir tinggi,
menjadi faktor pendukung untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih baik.
Mereka berpeluang besar memasuki sekolah-sekolah elit, berkualitas, berstandar
nasional, bahkan internasional. Hal ini menciptakan lingkungan belajar mengajar
yang kondusif, karena ditunjang dengan kualitas anak didik yang punya daya pikir
tinggi.
Selain itu, tersedianya sarana prasarana yang lengkap membantu untuk
mewujudkan pendidikan yang mapan. Sedangkan, disisi lain siswa yang berasal
dari kondisi sosial ekonomi orang tua yang pas-pas an hanya menggunakan
fasilitas, sarana dan prasaranan belajar yang belum maksimal.
Namun sebagian orang menganggap bahwa faktor kemiskinan sering
menjadi faktor yang bisa memotivasi anak untuk giat belajar. Karena itu, tak
jarang banyak orang yang sukses dalam kehidupan, meskipun mereka berasal dari
keluarga miskin.2 Hal seperti ini dapat kita lihat didalam novel yang ditulis oleh
Andrea Hirata yang berjudul “Laskar Pelangi” yang menceritakan tentang
perjuangan anak- anak yang berasal dari daerah terpencil dengan keterbatasan
sarana prasarana pendidikan, dan dengan kondisi ekonomi rendah mampu meraih
cita-cita hanya bermodal dengan semangat berjuang, berusaha dengan keras, dan
kekuatan, keterbatasan bukan kendala untuk maju, dan pendidikan yang hebat
tidak selamanya berhubungan dengan fasilitas yang ada.
Meskipun demikian, ada pula anak yang gagal meraih cita-cita karena
kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan modal dan fasilitas yang
membuat anak malas belajar, selain itu sering kali mereka pun tak ada waktu
untuk belajar karena waktu mereka dipergunakan untuk membantu orang tua guna
mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari.4 Menurut Komisi Nasional
Perlindungan Anak, tingginya angka putus sekolah berkorelasi dengan kasus buta
aksara, diperkirakan ada lebih dari 11,7 juta anak usia sekolah di negeri ini yang
belum bisa baca tulis alias buta aksara. Anak bangsa yang putus sekolah di negeri
ini banyak dari kalangan keluarga tidak mampu, karena faktor ekonomi dengan
biaya sekolah yang cukup mahal membuat mereka memutuskan untuk tidak
melanjutkan pendidikannya dan memilih bekerja mencari uang.
Dimyati Mahmud mengatakan bahwa salah satu faktor yang paling
berpengaruh terhadap prestasi belajar ialah status sosial ekonomi orang tua, siswa
yang status ekonomi orang tuanya tinggi menunjukkan nilai yang lebih tinggi
dalam tes kemampuan akademik, dalam tes hasil belajar dan lamanya bersekolah
dari pada mereka yang status sosial ekonomi orang tuanya rendah.6 Sedangkan
Menurut Oemar Hamalik “kurangnya biaya sangat mengganggu kelancaran
belajar dan biaya umumnya diperoleh dari orang tua”. Pendapat lain dikemukakan
oleh Hendra Surya
yang mengatakan bahwa berhasil tidaknya suatu proses belajar dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti kematangan dan lingkungan keluarga. Disisi lain di dalam
dunia pendidikan sering kita dihadapkan pada kenyataan bahwa walaupun siswa
menerima pelajaran dari guru dengan materi pelajaran, waktu, tempat, metode,
pembelajaran yang sama namun dalam hasil yang diperoleh berbeda-beda. Ini
biasanya disebabkan kerena banyak siswa yang mengalami hambatan-hambatan
dalam belajar, baik dari dalam individu maupun dari luar individu. Salah satu
faktor yang berasal dari luar individu adalah lingkungan keluarga.
Permasalahan seperti ini juga terjadi pada siswa MAN 1 Bojonegoro yang
berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda, sehingga akan
membentuk kepribadian dan sifat siswa yang berbeda-beda serta hasil belajar
yang berbeda pula. Berdasarkan observasi awal, peneliti mewawancarai seorang
Guru MAN 1 Bojonegoro yang bernama Ibu Ninik Sukaryani, S.Pd. Beliau
menggambarkan keadaan siswa yang ada di MAN 1 Bojonegoro. Siswa yang
dirasa kurang memiliki kemandirian dalam belajar, ini terlihat ketika dalam
mengikuti proses belajar mengajar bersikap pasif, tidak berani bertanya apabila
menghadapi kesulitan, dalam ulangan mempunyai kesukaan untuk mencontoh
pekerjaan teman atau mencontek dari lembaran-lembaran yang telah dipersiapkan
dari rumah dan kurang berfikir kritis. Namun disisi lain ada pula siswa yang pada
saat di kelas selalu berusaha untuk memperoleh nilai yang bagus baik saat diskusi,
presentasi, mengerjakan tugas maupun ulangan dengan kemampuannya sendiri.
Masalah seperti ini bisa terjadi karena adanya pengaruh lingkungan
keluarga, dimana keluarga mempengaruhi perkembangan dan pembentukan
kepribadian anak karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama
yang mempunyai peran penting dalam menentukan dan membina proses
perkembangan anak. Menurut Aswadi, “pekerjaan orang tua sangat barhubungan
dengan pendapatan, dimana orang tua yang pendapatannya cenderung kurang,
mereka akan kurang mendukung atas kebebasan anaknya dibanding orang tua
menengah keatas, mereka sengat mendukung dan membimbing anak kearah
kebebasan dan mengenal diri untuk menjadi pribadi yang mandiri”.11 Oleh karena
itu tidak menutup kemungkinan bahwa masalah yang dialami siswa di sekolah
merupakan lanjutan dari situasi lingkungan keluarga.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik dan
Aswadi yang menjadi latar belakang peneliti untuk mengadakan penilitian dengan
judul “Pengaruh kondisi Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Kemandirian dan
Prestasi Belajar Siswa kelas X IPS 2 MAN 1 Bojonegoro”.

C. Rumusan Masalah
1). Apakah ada pengaruh secara signifikan kondisi sosial ekonomi keluarga
terhadap kemandirian siswa Kelas X IPS 2 MAN 1 Bojonegoro?
2). Apakah ada pengaruh secara signifikan kondisi sosial ekonomi keluarga
terhadap prestasi belajar siswa kelas X IPS 2 MAN 1 Bojonegoro?

D. Tujuan penelitian
1). Untuk mengetahui apakah ada pengaruh secara signifikan kondisi sosial
ekonomi keluarga terhadap kemandirian siswa Kelas X IPS 2 MAN 1
Bojonegoro.
2). Untuk mengetahui apakah ada pengaruh secara signifikan kondisi sosial
ekonomi keluarga terhadap prestasi belajar siswa kelas X IPS 2 MAN 1
Bojonegoro.Manfaat penelitian

E. Manfaat Penelitian
1). Manfaat Teoritis
Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengaplikasikan teori yang telah
diperoleh dan diharapkan dapat memberikan informasi tentang adanya pengaruh
kondisi sosial ekonomi orang tua terhadap kemandirian dan prestasi belajar siswa.
2). Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca tentang
pengaruh kondisi sosial ekonomi orang tua terhadap kemandirian dan prestasi
belajar siswa, sehingga orang tua bisa menyesuaikan kembali dalam
membimbing, mengarahkan, menyediakan sarana belajar dan menciptakan
lingkungan belajar yang baik untuk anak agar dapat mencapai prestasi belajar
yang sempurna.
2. PENELITIAN KUALITATIF
A. Judul:
Kontribusi Dana IDT dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa
Sidomulyo, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo.
B. Latar Belakang
Pemikiran awal yang mendasari studi ini adalah sudah banyak Strategi
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dalam rangka mengentaskan
kemiskinan dan 4mengurangi kesenjangan sosial, akan tetapi berbagai laporan
menunjukkan kekurang berhasilan strategi tersebut. Hal ini dapat dimaklumi,
karena pada umumnya strategi tersebut sasarannya adalah pembangunan fisik
sarana dan prasarana desa dengan tujuan membuka isolasi dan demi memacu
mobilitas ekonomi suatu kawasan, sehingga yang dapat merasakan bantuan
tersebut hanya sebagian kecil masyarakat saja. Sementara masyarakat kelas
marjinal semakin jauh tertinggal. Sebenarnya pembangunan desa dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat desa, jikalau pembangunan tersebut
memperhatikan potensi desa yang ada dan mendasarkan pada kebutuhan
masyarakat desa. Akan lebih baik lagi kalau semuanya itu dilaksanakan secara
terpadu (integral), seperti diungkapkan oleh Taliziduhu Ndraha sebagai berikut:
“... pembangunan desa meninggikan taraf penghidupan masyarakat desa
dengan jalan melaksanakan pembangunan yang integral daripada masyarakat
desa, berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa serta azas
permufakatan bersama antara anggota-anggota masyarakat desa dengan
bimbingan serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu
keseluruhan (kebulatan) dalam rangka kebijaksanaan umum yang sama” (1986:3).
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat kita ketahui bahwa keberhasilan
pembangunan desa tidak akan terlepas dari perhatian dan bantuan pemerintah.
Sebenarnya perhatian pemerintah dalam pembangunan desa sampai saat ini boleh
dikatakan sudah cukup besar. Penegasan pemerintah mengenai hal ini telah
dituangkan dalam ketetapan MPR Nomor II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan:
Pembangunan desa dan masyarakat pedesaan terus didorong melalui
peningkatan koordinasi dan peningkatan pembangunan sektoral, pengembangan
kemampuan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam dan
penumbuhan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya
masyarakat sehingga mempercepat peningkatan perkembangan desa swadaya dan
desa swakarsa menuju desa swasembada (1998:85-86).
Berbagai strategi pembangunan pedesaan telah ditempuh oleh Indonesia
seiring dengan bergulirnya waktu, tetapi keterbelakangan, kemiskinan dan
ketertinggalan masih menjadi teman setia dari sebagian desa di wilayah Indonesia.
Melihat kenyataan ini maka pada awal PJP II, pemerintah menerapkan strategi
pembangunan baru untuk mengatasi kondisi tersebut di atas. Strategi tersebut
adalah “Strategi pertumbuhan dan sekaligus pemerataan dan penanggulangan
kemiskinan” (growth-cum-poverty alleviation and social equity). Kebijaksanaan
ini dilaksanakan dengan dua acuan yaitu: pertama, kebijaksanaan ekonomi makro
yang

berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sebagai payung dari kebijaksanaan yang


kedua, yaitu kebijaksanaan mikro yang akan mewujudkan pemerataan dan
penanggulangan kemiskinan melalui intervensi langsung (direct attack) Moeljarto
(1996:120) Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut diberlakukan secara general
pada setiap desa baik yang telah mencapai kategori desa maju maupun yang masih
dalam kategori desa terbelakang. Namun ada kebijaksanaan yang benar-benar
diberikan pada desa yang masuk pada kategori desa terbelakang, yang dalam hal
ini diistilahkan sebagai “Desa Tertinggal”.
Untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan pada desa-desa yang masuk
kategori desa tertinggal, pemerintah telah memberikan bantuan yang cukup besar
dalam paket program yang bernama “Inpres Desa Tertinggal” yang selanjutnya
lebih dikenal dengan IDT. Paket tersebut berupa suntikan dana segar sebesar Rp
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) setiap tahunnya untuk setiap desa selama
empat kali, yang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada aparat di tingkat
desa dengan pengawasan langsung dari Camat setempat. Dengan suntikan dana
segar yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya pada manajemen desa
tersebut, maka Kepala Desa beserta masyarakatnya akan lebih leluasa dalam
membangun desanya. Sehingga secara logika akselerasi pembangunan akan
segera terwujud dan pada akhirnya akan mencapai kesejahtaraan seluruh warga
desa. Hal ini berarti pemerataan hasil-hasil pembangunan sesuai dengan amanat
GBHN 1998 akan segera terwujud.
C. Rumusan Masalah
rumusan masalah yang akan diteliti adalah:
1). Adakah latar belakang budaya yang menyebabkan kemiskinan
masyarakat? 2). Adakah latar belakang tipologi wilayah yang menyebabkan
kemiskinan?
3). Mampukah bantuan dana IDT memberdayakan aktivitas ekonomi
masyarakat miskin?
4). Bagaimana keberhasilan pembangunan pada desa setelah mendapatkan dana
IDT?
5). Bagaimana model pemberdayaan ekonomi masyarakat desa tersebut?

to live together). Keempat pilar tersebut merupakan pedoman yang digunakan


dalam pembelajaran Sains. Peserta didik seharusnya diberdayakan untuk
memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do), memahami pengetahuannya
berkaitan dengan dunia sekitarnya dengan cara meningkatkan interaksi dengan
lingkungannya (learning to know), mengkonstruksikan pengetahuan dan
kepercayaan diri sekaligus membangun jati diri (learning to be), dan melakukan
kerjasama dengan individu yang berbeda-beda untuk membentuk sikap toleran
terhadap keanekaragaman dan perbedaan masing-masing individu (learning to live
together). Untuk menumbuhkan kerjasama antar individu yang beragam dalam
kelas, Vygotsky menyarankan pembelajaran dalam setting kooperatif. Pada
pembelajaran kooperatif, peserta didik dihadapkan pada proses berpikir bersama
teman sebaya mereka. Tutorial oleh teman yang lebih kompeten akan sangat
efektif dalam mendorong pertumbuhan daerah perkembangan proximal (Zone of
Proximal Development) anak.
Perbedaan antara kelompok pembelajaran kooperatif dengan kelompok
pembelajaran tradisional menurut Sugiyanto yang dikutip oleh Ahmad Fauzi
antara lain: Pada pembelajaran kooperatif terdapat saling ketergantungan positif,
saling membantu dan saling memberikan motivasi, kelompok belajar heterogen,
baik dari segi kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, dan etnik.

Sedangkan pada model pembelajaran tradisional biasanya guru membiarkan


terdapat peserta didik yang lebih mendominasi dalam kelompok tersebut atau
menggantungkan diri pada kelompok. Berbeda dengan kelompok pembelajaran
kooperatif, pada kelompok belajar terdiri atas peserta didik yang sifatnya
homogen.

Pembelajaran kooperatif sangat penting karena dengan menggunakan


pembelajaran kooperatif peserta didik dapat memperoleh keterampilan sosial yang
diperlukan dalam kerja gotong royong seperti kepemimpinan, kemampuan
berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik yang secara
langsung diajarkan dalam proses pembelajaran. Keterampilan sosial ini cukup
sulit diperoleh dengan pembelajaran tradisional. Oleh karena itu guru harus
mampu membedakan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran kelompok
tradisional. Pembelajaran kooperatif berbeda dengan pembelajaran kolaboratif.
Menurut Sato dalam Djamilah Bondan Widjajanti, pembelajaran kolaboratif
bertujuan bukan untuk mencapai kesatuan yang didapat melalui kegiatan
kelompok, namun, para peserta didik di dalam kelompok didorong untuk
menemukan beragam pendapat atau pemikiran yang dikeluarkan oleh tiap
individu dalam kelompok.
Pembelajaran kooperatif membutuhkan beberapa skill atau keterampilan.
Keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut yang dijelaskan oleh Linda
Lundgren dalam Ruhadi, antara lain: Keterampilan kooperatif tingkat awal,
meliputi kesepakatan, menghargai kontribusi, mengambil giliran, berada dalam

kelompok, berada dalam tugas, mendorong partisipasi, memancing orang lain


untuk berbicara, menyelesaikan tugas pada waktunya, dan menghormati
perbedaan individu. Keterampilan kooperatif tingkat menengah meliputi
menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan
cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif, bertanya, membuat
ringkasan, menafsirkan, mengatur dan mengorganisir, memeriksa ketetapan,
menerima tanggung jawab, dan mengurangi ketegangan. Keterampilan kooperatif
tingkat mahir, meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan cermat, menuntut
kebenaran, menetapkan tujuan dan berkompromi.

D. Tujuan
a. Untuk mengetahui kemungkinan adanya latar belakang budaya yang
menyebabkan kemiskinan.
b. Untuk mengetahui kemungkinan adanya latar belakang tipologi wilayah
yang menyebabkan kemiskinan.
c. Untuk mengetahui kontribusi dana IDT dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Untuk mengetahui keberhasilan pembangunan desa setelah mendapat dana
IDT.
e. Untuk mencari suatu model pemberdayaan ekonomi masyarakat.

1. Manfaat
a. Bagi Pemerintah
Sebagai masukan bagi pemerintah baik di tingkat daerah maupun di tingkat
pusat untuk mengevaluasi kebijaksanaannya, apakah perlu diteruskan atau
diberhentikan sampai di sini.
b. Bagi Peneliti
Untuk memperluas wawasan tentang strategi pemerintah dalam
mengentaskan kemiskinan, dan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial PPS IKIP
Yogyakarta.
c. Bagi IKIP Yogyakarta
Untuk menambah koleksi hasil-hasil penelitian, khususnya yang
menyangkut kebijaksanaan Inpres Desa Tertinggal.

2. PENELITIAN DESKRIPTIF
1. Judul:
DESKRIPSI PENGGUNAAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF DI MAN
JAKARTA SELATAN
2. Latar Belakang
Menurut UNESCO, pendidikan dibangun atas empat pilar yaitu belajar
untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do),
belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar untuk kebersamaan
(learning

Indikator atau tujuan pembelajaran kooperatif lainnya, selain memperoleh


keterampilan sosial antara lain prestasi akademik dan penerimaan perbedaan.
Pembelajaran kooperatif tidak hanya bermanfaat bagi peserta didik berprestasi
tinggi, namun bermanfaat juga bagi peserta didik yang berprestasi rendah dalam
meningkatkan prestasi peserta didik.

Dengan adanya pembelajaran kooperatif juga memberikan kesempatan bagi


peserta didik dengan latar belakang yang berbeda- beda untuk mengerjakan tugas
bersama-sama. Biologi lebih menekankan kegiatan belajar mengajar,
mengembangkan konsep serta keterampilan proses siswa dengan berbagai metode
mengajar yang sesuai dengan bahan kajian yang diajarkan.13 Mengingat biologi
menekankan pada keterampilan proses, maka dibutuhkan metode mengajar yang
tepat untuk meningkatkan keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif dapat menjadi solusi untuk mengembangkan
keterampilan proses siswa serta meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan
belajar mengajar.
Kenyataan didalam praktek pembelajaran sains di sekolah masih enggan
meninggalkan model pembelajaran langsung.14 Di sekolah, guru masih tetap
merupakan sumber belajar yang paling dominan. Proses pembelajaran sebagian
besar masih berpusat pada kegiatan mendengar dan menghafalkan, belum
diarahkan pada kegiatan belajar secara aktif, dimana siswa membangun sendiri
pengetahuannya. Salah satu kendala yang dialami guru dalam penerapan
pembelajaran kooperatif adalah guru tidak memiliki keakraban dengan metode
pembelajaran kooperatif. Rendahnya pengetahuan guru mengenai pembelajaran
kooperatif dan metode-metode pembelajaran kooperatif menyebabkan guru
kurang variatif dalam menentukan metode pembelajaran dalam kegiatan belajar
mengajar di kelas. Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan optimal
diperlukan perencanaan pembelajaran kooperatif. Perencanaan yang baik akan
menghasilkan proses pembelajaran yang lebih terstruktur dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang diharapkan. Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
yang lengkap dan sistematis bertujuan agar pembelajaran berlangsung secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan peluang yang cukup bagi prakarsa,
kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik
serta psikologi peserta didik.17 Namun kenyataannya, kualitas RPP yang dibuat
masih cukup rendah. Umumnya para guru masih menyusun silabus, RPP dan LKS
dengan teknik “copy paste”, yang berarti mereka belum menyusun silabus, RPP
dan LKS berdasar keperluan dan kondisi mereka sendiri.
Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses
pembelajaran siswanya diobservasi, semua guru tidak membawa RPP dengan
alasan tertinggal di rumah. Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat
perbedaan antara apa yang dituliskan dengan apa yang diimplementasikan di
kelas. Di RPP guru menuliskan penggunaan pendekatan konstruktivistik, guru
berperan selaku fasilitator, namun dari observasi di kelas dapat diketahui bahwa
guru lebih dominan, banyak menggunakan ceramah, para siswa pasif, dan guru
tidak memahami bagaimana mengimplementasikan pendekatan konstruktivistik di
kelas. Perbaikan kualitas pembelajaran haruslah diawali dengan perbaikan desain
pembelajaran. Perencanaan pembelajaran dapat dijadikan titik awal dari upaya
perbaikan kualitas pembelajaran.
Penelitian survei dalam pembelajaran kooperatif sangat bermanfaat.
Penelitian survei menghasilkan informasi di tingkat mikro atau kelas mengenai
persiapan kegiatan belajar mengajar, teknik mengajar dan buku teks yang
digunakan, dan berapa banyak kemajuan telah dihasilkan.23 Selain itu survei
menghasilkan data otentik yang dibutuhkan dalam proses evaluasi dan menjadi
dasar oleh pengambil kebijakan dalam mengambil keputusan. Terutama data
otentik mengenai jumlah implementasi pembelajaran kooperatif di sekolah cukup
minim.
Mengingat berbagai kelebihan dari pembelajaran kooperatif, maka
pembelajaran kooperatif baik diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar
di sekolah-sekolah. Penelitian survei juga perlu dilakukan untuk menghasilkan
data otentik mengenai penggunaan pembelajaran kooperatif di sekolah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
mengambil fokus penelitian dengan judul: “Deskripsi Penggunaan Pembelajaran
Kooperatif di MAN Jakarta Selatan”.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada pembatasan masalahan di atas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana penggunaan pembelajaran
kooperatif yang dilakukan guru MAN di Jakarta Selatan?. Rumusan masalah
dijabarkan pada pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Bagaimana pengetahuan guru-guru biologi MAN di Jakarta Selatan tentang
pembelajarankooperatif?

a. Berdasarkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif pada tahap persiapan


dan tahap pembelajaran menurut Slavin dan Arends, aktivitas apa yang
dominan dilakukan oleh guru MAN di Jakarta Selatan dalam penerapan
pembelajaran kooperatif?
b. Berdasarkan prinsip dasar pembelajaran kooperatif menurut Anita Lie,
prinsip apakah yang dominan dilakukan oleh siswa MAN di Jakarta
Selatan?

4. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan umum penelitian ini


adalah untuk mendeskripsikan penggunaan pembelajaran kooperatif di MAN
Jakarta Selatan. Tujuan secara khusus adalah untuk mengetahui pengetahuan guru
mengenai pembelajaran kooperatif, aktivitas yang dominan dilakukanoleh guru
biologi dalam penerapan pembelajaran kooperatif, dan prinsip pembelajaran
kooperatif yang dominan dilakukan oleh siswa MAN di Jakarta Selatan.

5. Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
a. Bagi Mapenda
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Mapenda dalam peningkatan
kualitas MAN di Jakarta Selatan.
b. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan di
sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
c. Bagi Penelti
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi peneliti mengenai
penggunaan pembelajaran kooperatif di kelas sebagai calon guru kedepannya.

Anda mungkin juga menyukai